Anda di halaman 1dari 32

Asal-Usul dan Pengertian Halal Bihalal

Posted by Risalah Islam

Add Comment
Kamus Islam

USAI Idul Fitri, biasanya kita mengadakan halal bihalal. Apa makna, arti,
atau pengertian halal bihalal dan bagaimana asal-usulnya?

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan halal bihahal sebagai “acara


maaf-memaafkan pada hari Lebaran”.

Menurut pakar tafsir, Prof Dr Quraish Shihab, halal bihalal merupakan


kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata bahasa Arab halal diapit
satu kata penghubung ba (baca, bi) (Shihab, 1992).

Dikatakan, meski dari bahasa Arab, yakinlah, orang Arab sendiri tidak
akan mengerti makna sebenarnya halal bihalal karena istilah halal bihalal
bukan dari Al-Quran, Hadits, ataupun orang Arab, tetapi ungkapan khas
dan kreativitas bangsa Indonesia.

Meski “tidak jelas” asal-usulnya, hahal bihalal adalah tradisi sangat


baik, karena ia mengamalkan ajaran Islam tentang keharusan saling
memaafkan, saling menghalalkan, kehilafan antar-sesama manusia.
Quraish Shihab memberi catatan, tujuan hahal bihalal adalah
menciptakan keharmonisan antara sesama. Kata “halal” biasanya
dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang
sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa.
Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak
mengundang dosa.

Jika demikian, kata pakar tafsir alumnus Universitas Al-Azhar Kairo ini,
halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang
tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon
maaf. Bentuknya (halal bihalal) memang khas Indonesia, namun
hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam.

Halal Bihalal, yaitu berkumpul untuk saling memaafkan dalam suasana


lebaran, adalah sebuah tradisi khas umat Islam Indonesia.

Menurut Drs. H. Ibnu Djarir (MUI Jateng), sejarah atau asal-mula halal
bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan
Keraton Surakarta, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA
Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.

Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat
Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan
prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit
dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. (Dari
berbagai sumber, www.risalahislam.com).*
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru
oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal.

Menurut Ensiklopedi Islam, 2000, hingga abad sekarang; baik di negara-


negara Arab maupun di negara Islam lainnya (kecuali di Indonesia)
tradisi ini tidak memasyarakat atau tidak ditemukan. Halal bihalal bukan
bahasa Arab.

Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari


bahasa (lafadz) Arab yang tidak berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu
nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Sebuah tradisi yang telah
melembaga di kalangan penduduk Indonesia.
Pengertian Halal bi Halal
Selasa, 28 Agustus 2012, 03:00 WIB
http://www.republika.co.id/berita/komunitas/perhimpunan-pelajar-
indonesia/12/08/27/m9f0oi-pengertian-halal-bi-halal
Komentar : 5

Blogspot.com

Salaman (ilustrasi).
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID,Bagi masyarakat Indonesia, Idul Fitri dan Halal
bi Halal bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan;
saling berkelit kelindan mempercantik nuansa masing-masing.
Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan tahunan yang sifatnya
syar'i, dalam artian bahwa eksistensinya memang ditetapkan oleh
syariat. Lain halnya dengan Halal bi Halal yang status syar'i-nya
masih debatable di kalangan ulama, karena ia merupakan produk
asli Indonesia baik sisi penamaannya maupun cara
pelaksanaannya.

Ada sementara kalangan yang enggan menamainya dengan istilah


Halal bi Halal, dikarenakan menurut mereka, istilah itu secara
gramatika Bahasa Arab tidak benar. Bahkan ada sementara
kalangan yang menentang kegiatan ini apabila isinya adalah
kegiatan saling memafkan, dengan alasan bahwa mengkhususkan
maaf hanya pada Hari Raya Idul Fitri itu tidak dibenarkan secara
syariat (bid'ah).
Namun demikian, semuanya menyadari bahwa tujuan Halal bi
Halal adalah mengharmoniskan hubungan kekerabatan. Tulisan
sederhana ini akan sedikit menelisik kembali esensi Halal bi Halal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Halal bi Halal diartikan


sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa
Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok
orang. Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan bahwa Halal bi
Halal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan
gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah silaturrahmi.

Sangat sulit menentukan awal mula tradisi Halal bi Halal ini


digelar. Drs H Ibnu Djarir menulis bahwa sejarah dimulainya Halal
bi Halal ada banyak versi. Menurut sebuah sumber yang dekat
dengan Keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula digelar oleh
KGPAA Mangkunegara I, yang masyhur dipanggil Pangeran
Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, fikiran,
dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara
raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai
istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada
raja dan permaisuri.

Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas


Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh
instansi-instansi tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang
setelah pasca-Kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak
hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan juga pada hari-hari
berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.

Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab, hemat penulis, istilah


Halal bi Halal tidaklah patut disalahkan. Meskipun istilah ini asli
made in Indonesia dan tidak di kenal di dunia Arab, apalagi di
dunia Islam lainnya, namun tidaklah meniscayakan istilah ini tidak
benar secara Arabic. Dalam ilmu Bahasa Arab sering dijumpai
teori izhmâr (sisipan spekulatif pada kalimat). Setidaknya ada dua
cara agar istilah Halal bi Halal ini benar secara bahasa dengan
pendekatan teori tersebut.

Pertama Halal bi Halal menjadi: thalabu halâl bi tharîqin halâl;


mencari kehalalan dengan cara yang halal. Kedua, halâl "yujza'u"
bi halâl; kehalalan dibalas dengan kehalalan. Untuk yang kedua ini
hampir sepadan dengan redaksi ayat al-Qur'an saat berbicara
hukum qishâs "anna al-nafsa bi al-nafsi, wa al-'aina bi al-'aini;
sesungguhnya jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan
mata" (QS. Al-Maidah: 45).

Dalam redaksi ayat tersebut, mufasir biasanya memahaminya


dengan teori izhmâr, menjadi: anna al-nafsa "tuqtalu" bi al-nafsi,
wa al-'aina "tufqa'u" bi al-'aini. Hanya bedanya kalau Halal bi Halal
berbicara dalam konteks positif, sedangkan redaksi ayat tersebut
dalam konteks negatif.

Merujuk kepada keterangan Prof Dr Quraish Shihab, bahwa istilah


Halal bi Halal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya
dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Pada
tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah
sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti
sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Dengan
demikian, Halal bi Halal adalah menjadikan sikap kita terhadap
pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal
dengan jalan mohon maaf.

Namun tinjauan hukum ini secara hakikat belum menyentuh tujuan


Halal bi Halal itu sendiri yang merupakan untuk mengharmoniskan
hubungan. Karena dalam bagian halal terdapat hukum makruh,
tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan, seperti
menceraikan isteri yang justru lepas dari tujuan mengharmoniskan
hubungan.

Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat


terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara
lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”,
“melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan
“membebaskan sesuatu”. Bahkan jika langsung dikaitkan dengan
kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni
kesalahan”. Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu
aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan
masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut,
melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan
memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi
harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini merupakan tujuan
diselenggarakannya Halal bi Halal.

Oleh sebab itu, maka makna filosofis Halal bi Halal berdasarkan


teori izhmâr tadi dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin
halâl) adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari
keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.
Atau dengan analisis kedua (halâl "yujza'u" bi halâl) adalah:
pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan
kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi merupakan
ajaran luhur dalam Islam. Setiap saat kaum Muslim harus
mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen
tertentu. Jadi tidak terbatas saat Idul Fitri saja. Bahkan secara
tegas Allah Swt. akan melaknat orang yang memutuskan tali
persaudaraan (QS. Muhammad: 22-23). Rasulullah juga
menyabdakan yang artinya, "Tidak ada dosa yang pelakunya lebih
layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat
daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan" (HR.
Ahmad dan al-Tirmidzi).

Betapa pentingnya memelihara hubungan persaudaraan agar


tidak kusut, sampai-sampai Allah dan Rasul-Nya menegaskan
laknat besar sebagai ganjaran bagi pemutus tali silaturrahmi.
Bahkan urgensitasnya tampak begitu jelas manakala memelihara
silaturrahmi ini dikaitkan dengan keimanan seorang Muslim.
Seperti dalam hadits, "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi " (HR. Al-Bukhari).
Kegiatan ini juga sangat banyak nilai positifnya bagi kehidupan
duniawi. Rasulullah menyabdakan, "Siapa saja yang ingin
diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka
sambunglah tali persaudaraan" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Oleh sebab itu, dalam dunia karier pun manusia tak bisa lepas dari
ketergantungan relasi dan partner.
Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk
memperbaharui dan mempererat persaudaraan. Aktivitas manusia
yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya jauh dari
kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halal bi Halal.

Paling tidak agar acara tahunan itu benar-benar menjadi perhatian


khusus untuk ber-silaturrahmi dan saling memafkan bagi semua
pihak. Ketimbang jikalau tidak ada acara tahunan seperti itu,
mungkin kesibukan akan meleburkan perhatian mereka akan
pentingnya ber-silaturrahmi.

Saling maaf-memaafkan pada saat Idul Fitri dan Halal bi Halal


bukan berarti mengkhususkan maaf hanya pada momen itu saja.
Terlebih dikatakan sebagai menambah-namabahi syariat (bid'ah).
Yang terpenting adalah Muslimin meyakini bahwa saling
memaafkan tidak memiliki batas waktu. Karena, jika sampai
meyakini bahwa memaafkan dan silaturrahmi hanya berlaku saat
Idul Fitri atau Halal bi Halal saja, itulah yang salah secara syariat.
Halal bi halal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam
dalam implementasi nilai-nilai universalitasnya. Nilai universalitas
silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara
sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan
catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah
ditentukan. Maka tidak boleh tercampuri kemaksiatan apa pun
dalam implementasinya.

Setelah manusia berbuat baik kepada Allah dengan berpuasa


sebulan penuh; mengabdikan diri kepada-Nya. Maka pada momen
Idul Fitri dan Halal bi Halal, giliran mereka meneguhkan kesadaran
persaudaraan antar sesama dengan saling memafkan dan berbagi
keceriaan. Aktivitas ini sangat indah sebagaimana diisyaratkan
surat al-Hajj ayat 77, "Hai orang-orang yang beriman, rukuklah
kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah
kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan". Dan surat al-
A'raf ayat 199, "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh".

Maka, Halal bi Halal meskipun asli kelahiran Indonesia, namun


esensinya tetap Islami.

Penulis: Pandi Yusron (Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff, Yaman)

HALAL BI HALAL SUNNAH ATAU BID’AH?

1 Vote
Dian Hardiana

Oleh : Dian Hardiana


Pendahuluan
Manusia adalah makhluq mukallaf yang sejatinya sudah
mengemban amanah untuk melaksanakan keta’atan kepada Allah
sebagai tujuan dari penciptaan dirinya sebagaimana yang
termaktub dalam qur’an surat Ad-Dzariyat:56. Maka sebagai
makhluq mukallaf, sudah seyogyanya manusia harus mau
mengikuti apa yang diperintah Tuhannya, atau meninggalkan apa
yang dilarang oleh Tuhannya.
Dalam istilah fiqh, keberadaan hukum yang mengikat
manusia sebagai makhluq mukallaf paling tidak terbagi menjadi
tiga, ya’ni yang dituntut pelaksanaannya dimana nanti akan
menjadi bentuk wajib atau sunnah, atau apa yang dituntut untuk
ditinggalkan dimana hal tersebut akan berwujud haram atau
makruh, dan apa yang tidak dituntut untuk dilaksanakan juga
tidak dilarang untuk dilaksanakan, maka inilah yang namanya
mubah-Al-‘Itisham:25-.

Nabi s.a.w telah melakukan klasifikasi terhadap segala


perbuatan manusia menjadi dua bentuk, yaitu perkara dunia dan
perkara agama. Maka semua yang berkaitan dengan perkara dunia
nabi memberi kebebasan dalam mengekspresikannya sebagaimana
haditsnya: “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian”-HR.Muslim-,
tapi kalau dalam urusan agama nabi sangat membatasi bahkan
tidak memberi ruang kepada manusia untuk bebas berekspresi
sebagaimana sabdanya: “Dan jika yang berkaitan dengan agama
kalian,maka kembalikanlah kepadaku”-HR.Muslim-, dalam hadits
lain nabi mengatakan: “Barangsiapa yang melakukan suatu
perbuatan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka
perbuatan itu tertolak”.-Mutaffaq’Alaih-

‘Idul Fithri adalah perayaan umat islam setelah shaum


Ramadhan sebulan penuh yang dalam pelaksanaannya ditetapkan
oleh syari’at, bahkan didefinisikan sendiri maknanya oleh nabi
sebagaimana hadits yang diriwayatkan tirmidzi: “Sungguh Allah
telah merubah kedua hari yang biasa padanya orang-orang
madinah pada masa jahiliyyah berhari raya dan bergembira ria
dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari adlha dan hari
fithri”. Maka tidak heran jika dalam ‘idul fithri nabi mencontohkan
sendiri amalan waktu ‘id seperti mandi dan memakai wangi-
wangian, memulai dengan makan sebelum kelapang, shalat ‘id
dilanjutkan dengan khutbah, kemudian amalan lainnya seperti
pulang dari arah yang berbeda atau amalan sahabat dalam
mengucapkan tahniyyah ‘idul fithri yaitu taqabbalallahu minna
waminkum.

Dewasa ini di Indonesia, ‘Idul


fithri bukan sekedar perayaan rutinan setelah ramadhan saja,
tetapi dimaknai dan bahkan difahami oleh kebanyakan orang
sebagai waktu untuk saling memaaf-maafkan dan saling berjabat
tangan guna saling membebaskan kesalahan masing-masing agar
kembali kepada fihtrah (kesucian)[1]. Kemudian dari pemahaman
tersebut melahirkan tradisi yang mengakar dalam masyarakat
Indonesia untuk melakukan acara ziarah ke makam untuk
meminta maaf kepada yang sudah meninggal (nadran), atau
mengadakan acara halal-bihalal sebagai media untuk
mengumpulkan orang dan sebagai efektifitas waktu dalam
melakukan acara saling memaafkan dan bersalaman, sebagaimana
definisi kamus bahasa Indonesia (Em Zul Fajri:344) dikatakan
bahwa: “halal-bihalal merupakan kata benda bermakna hal maaf
memaafkan setelah menyelesaikan ibadah puasa ramadhan, dalam
acara halal bihalal nanti akan diisi dengan ceramah agama.
Menurut Rizqon Khamami[2] mengutip ungkapan Dr. Quraish
Shihab, bahwa halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua
kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung
ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Lanjut beliau, meskipun kata
ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui, masyarakat
Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal yang
merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu. Halal-bihalal, tidak
lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat
Asia Tenggara. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik
bangsa ini. Menurut Ustadz Anas Burhanuddin MA[3] mengutip
pendapat Iwan Ridwan yang menyebutkan bahwa halal
bihalal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di
Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman
sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi
halal. Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan
shalat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal bihalal juga
dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian,
ramah tamah atau makan bersama. Menurut beliau[4], Konon,
tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA
Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan
‘Pangeran Sambernyawa’. Untuk menghemat waktu, tenaga,
pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan
pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara
serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan
tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang
dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh
organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal. Kemudian
instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal
bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai
pemeluk agama.
Pembahasan
Maaf-memaafkan adalah ibadah
Manusia adalah makhluq yang memiliki potensi untuk
berbuat salah sebagaimana sabda nabi yang disimpan oleh Imam
Al-Maraghi untuk menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam QS.Al-
Baqarah:285[5]:
‫ الخطأ والنسيان‬:‫ورد فى السنة قوله صلى هللا عليه وسلم «وضع هللا عن هذه األمة ثالثا‬
‫واألمر يكرهون عليه» رواه ابن ماجهورد فى السنة قوله صلى هللا عليه وسلم «وضع هللا عن‬
.‫ الخطأ والنسيان واألمر يكرهون عليه» رواه ابن ماجه‬:‫هذه األمة ثالثا‬
Terdapat keterangan dalam sunnah tentang sabda nabi s.a.w:
“Allah telah meletakkan dari umat ini tiga hal, yaitu kesalahan,
lupa, dan perkara yang mereka tidak suka”.-HR.Ibnu Majah-
Maka berdasarkan keterangan diatas, sudah seyogyanya
manusia menyadari potensi diri yang memiliki dua kemungkinan
sekaligus yaitu kemungkinan berbuat salah dan kemungkinan
lupa, untuk senantiasa meminta ampun kepada Allah dalam shalat
maupun diluar shalat terlebih ketika manusia berbuat kesalahan
sebagaimana firman-Nya dalam QS.Ali Imran:134-135, bahkan
diterangkan bahwa rasulullah dalam satu hari meminta ampun
kepada Allah (istighfar) lebih dari 70 kali. Akan tetapi jika
kesalahan itu dilakukan sesama manusia, maka seorang mu’min
tidak cukup meminta ampun kepada Allah saja, melainkan dia
harus meminta maaf terlebih dahulu kepada orang yang
terdzhalimi oleh perbuatannya, sebagaimana sabdanya:

‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ( من كانت له مظلمة‬:‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫ألحد من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن ال يكون دينار وال درهم إن كان له عمل‬
‫صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه ) –رواه‬
-‫البخاري‬
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah –shallallah ‘alaih
wasallam- bersabda: “Barang siapa melakukan kezhaliman
kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan)
darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan
dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada
saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka
keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan
kepadanya”. (HR. al-Bukhari)
Maka dari keterangan diatas jelaslah bahwa maaf atau
memaafkan merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab
itu, jika maaf memaafkan akan ditetapkan dalam moment tertentu,
maka harus ada dalil yang mengkhususkannya atau yang
memalingkannya bahwa maaf memaafkan bisa dilakukan meski
tanpa ada sebab. Perbedaan antara bid’ah dan sunnah adalah
bahwa bid’ah menetapkan dan melaksanakan perkara baru tanpa
adanya keterangan dan contoh dari nabi dan terkadang
bertentangan dan menghapus sunnah nabi dan para sahabat
seperti maaf memaafkan diwaktu ‘Id, sebab orang yang meminta
maaf keumumannya tidak mengucapkan do’a yang dicontohkan
para sahabat. Sementara sunnah adalah melaksanakan sesuatu
disertai adanya perintah dan contoh dari nabi.
Berjabat tangan adalah ‘ibadah bahkan sunnah nabi
Berjabat tangan merupakan amalan sahabat, juga sunnah
yang dilakukan nabi ketika bertemu dengan sahabat-sahabatnya
sebagaimana hadits:
-.‫ أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى هللا عليه و سلم ؟ قال نعم‬:‫عن قتادة قال قلت ألنس‬
-‫رواه البخاري‬
Dari Qatadah dia berkata, aku bertanya kepada Anas :
Apakah Berjabat tangan pernah terjadi pada masa para sahabat
nabi s.a.w. ? Anas menjawab iya. (HR.Bukhari)

‫رواه‬-‫ كنا مع النبي صلى هللا عليه و سلم وهو آخذ بيد عمر بن الخطاب‬:‫عبد هللا بن هشام قال‬
-‫باب المصافحة‬,‫كتاب اإلستأذان‬,‫البخاري‬
Berkata ‘Abdullah bin Hisyam : Kami bersama nabi saw dan beliau
memegang tangan (berjabaat tangan) umar bin khatab,
(HR.Bukhari kitab istadzin bab jabat tangan)

Berjabat tangan dapat menghapuskan dosa dan


kesalahan sebagaimana sabdanya:
ُ ‫صافَ َحان إالا‬
‫عَن ا ْلبَ َراء قَا َل‬: ‫غف َر‬ َ َ ‫سل َميْن يَ ْلتَقيَان فَيَت‬
ْ ‫سلا َم َما م ْن ُم‬
َ ‫علَيْه َو‬ ‫صلاى ا‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫َللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬
‫سو ُل ا‬
‫صحيح‬:‫وقال األلباني‬,2727:‫والترمذي‬,5212:‫رواه أبو داود‬-َ ‫لَ ُه َما قَ ْب َل أ َ ْن يَتَفَ ارقَا‬-
Dari al-Bara’ (bin ‘Azib) ia berkata: Rasulullah –shallallah ‘alaih
wasallam- bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu
berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum
berpisah.” (HR. Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727,
dihukumi shahih oleh al-Albani)
Dan perlu diketahui bahwa berjabat tangan atau
musafahah itu tidak sekedar ketika bertemu saja, malah nabi dan
para sahabatnya melakukan itu pada saat pelaksanaan ba’iat meski
bukan sebuah syarat, sebagaimana keterangan dibawah ini:

– ‫سا َء يُري ُد َال أُبَاش ُر أ َيْديَ ُهنا بيَدي يُري ُد‬ َ ُ ‫سلام إني َال أ‬
َ ‫صاف ُح الن‬ َ ‫علَيْه َو‬ ‫صلاى ا‬
َ ُ‫َللا‬ َ ُ‫( فَصْل ) َوقَ ْولُه‬
‫صافَ َحةَ فَ َمنَ َع م ْن ذَلكَ في ُمبَايَعَة‬ َ ‫اب َوذَلكَ أ َنا م ْن ُحكْم ُمبَايَعَة الر َجال ا ْل ُم‬ َ َ‫َللاُ أ َ ْعلَ ُم – االجْ تن‬
‫َو َ ا‬
َ ‫ْس ذَلكَ بش َْرط في ص احة ا ْل ُمبَايَعَة ؛ ألَنا َها‬
‫ع ْقد فَإنا َما يَ ْنعَق ُد‬ َ ‫ساء ل َما فيه م ْن ُمبَاش ََرتهنا َولَي‬ َ ‫الن‬
َ‫ع َم َر لعَبْد ا ْل َملك بْن َم ْر َوانَ با ْل ُمكَاتَبَة ُدون‬
ُ ‫َللا بْن‬
‫عبْد ا‬ ُ َ َ‫سائر ا ْلعُقُود َولذَلك‬
َ ‫ص احتْ ُمبَايَعَة‬ َ ‫با ْلقَ ْول َك‬
-442/4:‫ المكتبة الشاملة‬,‫منتقى شرح موطأ‬-.‫صافَ َحة‬ َ ‫ا ْل ُم‬
(pembahasan) mengenai sabda nabi saw “sesungguhnya aku
tidak berjabat tangan dengan wanita”, maksud beliau “Aku
tidak berjabat tangan secara langsung dengan mereka”. Beliau
bermaksud – wallahu a’lam- menjahui, dan itu karena diantara
yang termasuk hukum bai’at kaum laki-laki adalah bejabat tangan.
Kemudian hal itu dilarang pada bai’at wanita karena apa yang
padanya terdapat mubasyarah (jabat tangan secara langsung), dan
itu bukanlah syarat sahnya bai’at; karenanya bai’at itu aqad,
sehingga apa yang di’akadi dengan perkataan seperti semua ‘akad.
Oleh karena itu sah bai’at Abdullah bin umar terhadap abdul malik
bin marwan dengan surat menyurat tanpa adanya musafahah –
Muntaqa Syarah Muwattha’, maktabah as-syamilah; 4/ 442
‫اعلم أن السنة أن تكون بيعة الرجال بالمصافحة والسنة في المصافحة أن تكون باليد اليمنى‬
‫فقد روى مسلم في صحيحه عن عمرو بن العاص قال أتيت النبي صلى هللا عليه و سلم فقلت‬
-183/5:‫المكتبة الشاملة‬,‫تحفة األحوذي‬-.‫أبسط يمينك فألبايعك فبسط يمينه الحديث‬
Ketahuilah bahwasanya sunnahnya itu, hendaklah bai’at laki-laki
dengan berjabat tangan dan sunnah pada berjabat tangan
hendaklah dengan tangan kanan. Sungguh telah diriwayatkan
muslim pada kitab shahihnya dari Amr bin Ash berkata: Aku
mendatangi nabi saw lalu aku berkata: Rentangkanlah tangan
kananmu sebab aku akan berbai’at kepadamu. Kemudian nabi
menjulurkan tangan kanannya. Al-hadits.-tuhfatul ahwazi,
makhtabah syamilah 5/ 183-

Komentar para ulama seputar musafahah


‫قوله ( قلت ألنس بن مالك هل كانت المصافحة في أصحاب رسول هللا قال نعم ) فيه مشروعية‬
.‫المصافحة قال بن بطال المصافحة حسنة عند عامة العلماء وقد استحبها مالك بعد كراهته‬
‫ تنبيه قال النووي في األذكار اعلم أن‬.‫وقال النووي المصافحة سنة مجمع عليها عند التالقي‬
‫هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صالتي الصبح‬
‫والعصر فال أصل له في الشرع على هذا الوجه ولكن ال بأس به فإن أصل المصافحة سنة‬
‫وكونهم حافظوا عليها في بعض األحوال وفرطوا فيها في كثير من األحوال أو أكثرها ال يخرج‬
‫وقد ذكر االمام أبو محمد بن عبد‬.‫ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها‬
‫السالم أن البدع على خمسة أقسام واجبة ومحرمة ومكروهة ومستحبة ومباحة قال ومن أمثلة‬
‫البدع المباحة المصافحة عقب الصبح والعصر انتهى‬
(maksud) Perkataannya: (Aku berkata kepada anas bin malik
apakah bersalaman terjadi pada masa sahabat rasulullah? Aku
berkata” ya” ) pada hadits itu terdapat syari’at bersalaman.
Berkata Ibnu Baththal: Bersalaman itu baik menurut keumuman
para ulama dan sungguh malik telah menyunnahkan bersalaman
itu setelah dia memakruhkannya. Berkata imam an-nawawi:
Bersalaman itu sunnah yang disepakati atasnya ketika bertemu.
Perhatian: Berkata imam An-Nawawi didalam Al-Adzkar:
Ketahuilah bahwa berjabat tangan ini adalah sunnah pada setiap
bertemu. Adapun apa yang dilakukan orang-orang seperti
bersalamaan setelah shalat subuh dan ashar, tidak ada dasarnya
menurut syara’ dalam aspek ini, akan tetapi tidak apa-apa, karena
asal dari bersalaman itu adalah sunnah, sedangkan mereka
memelihara bersalaman dalam sebagian keadaan dan mereka
menyalah gunakannya dalam setiap keadaan atau kebanyakannya.
Dan sebagiannya tidak akan keluar dari kedudukannya termasuk
musafahah yang ditetapkan syara’ secara asli. Sungguh Imam Abu
Muhammad bin ‘Abdus Salam telah menyebutkan bid’ah itu ada
lima, yaitu wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Nawawi
berkata: Dan diantara bentuk-bentuk bid’ah yang mubah adalah
bersalaman setelah subuh dan ashar,selesai.
‫قال الحافظ بعد ذكر كالم النووي هذا ما لفظه وللنظر فيه مجال فإن أصل صالة النافلة سنة‬
‫مرغب فيها ومع ذلك فقد كره المحققون تخصيص وقت بها دون وقت ومنهم من أطلق مثل ذلك‬
‫ وقال القارىء بعد ذكر كالم النووي وال يخفى أن في‬.‫كصالة الرغائب التي ال أصل لها انتهى‬
‫كالم االمام نوع تناقض ألن إتيان السنة في بعض األوقات ال يسمى بدعة مع أن عمل الناس في‬
‫الوقتين المذكورين ليس على وجه االستحباب المشروع فإن محل المصافحة المشروعة أول‬
‫المالقاة وقد يكون جماعة يتالقون من غير مصافحة ويتصاحبون بالكالم ومذاكرة العلم وغير‬
‫مدة مديدة ثم إذا صلوا يتصافحون فأين هذا من السنة المشروعة ولهذا صرح بعض علمائنا‬
‫بأنها مكروهة حينئذ وأنها من البدع المذمومة انتهى‬
Berkata Al-Hafidz setelah menyebutkan perkataan Nawawi: ini
adalah apa yang beliau ungkapkan dan untuk melihatnya ada
beberapa aspek, sebab sesungguhnya asal shalat sunnah itu adalah
sunnah yang dicintai, dan oleh sebab itu para ahli tahqiq tidak
menyukai pengkhususan waktu musafahah bukan pada waktunya.
Dan diantara mereka ada yang memutlakan yang seperti itu,
seperti shalat raghaib (shalat pengharapan) yang tidak ada
dalilnya, selesai. Berkata Al-Qari setelah menyebutkan pendapat
Nawawi: Jelas sekali bahwa dalam pendapat Imam Nawawi
terdapat bagian yang diperdebatkan, karena sesungguhnya
mengkhususkan sunnah dalam sebagian waktu tidak dikatakan
bid’ah padahal amalan orang-orang pada dua waktu yang
disebutkan tidak menurut aspek sunnah yang disyari’atkan, karena
tempat musafahah yang disyari’atkan adalah awal pertemuan,
sedangkan kadang-kadang sekelompok orang saling bertemu
tanpa bermusafahah dan mereka saling akrab dalam pembicaraan
dan kajian keilmuan dan seterusnya. Kemudian jika mereka shalat,
lalu ini (musafahah) ditegaskan sebagai sunnah yang disyari’atkan,
oleh sebab itu sebagian ulama kami menegaskan bahwa
musafahah (setelah shalat) tercela pada saat tersebut, dan
bahwasanya dia itu termasuk bid’ah yang tercela, selesai.

‫ وقال صاحب عون المعبود وتقسيم البدع إلى خمسة‬.‫قلت األمر كما قال القارىء والحافظ‬
‫أقسام كما ذهب إليه بن عبد السالم وتبعه النووي أنكر عليه جماعة من العلماء المحققين ومن‬
‫آخرهم شيخنا القاضي العالمة بشير الدين القنوجي فإنه رد عليه ردا بليغا قال وكذا المصافحة‬
‫ قلت وقد أنكر القاضي‬.‫والمعانقة بعد صالة العيدين من البدع المذمومة المخالفة للشرع انتهى‬
‫الشوكاني أيضا على تقسيم البدعة إلى األقسام الخمسة في نيل األوطار في باب الصالة في ثوب‬
‫تحفة‬-.‫الحرير والقصب وأنكر عليه أيضا صاحب الدين الخالص ورده بستة وجوه‬
-55/11:‫فتح الباري‬, 426/7:‫المكتبة الشاملة‬,‫األحوذي‬
Aku mengatakan: Urusan (musafahah) itu seperti yang dikatakan
Al-Qari dan Al-Hafidz. Berkata pengarang ‘Aun Al-Ma’bud: dan
pembagian bid’ah menjadi 5 bagian sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ibnu ‘Abdus Salam dan diikuti Nawawi telah
diingkari oleh jama’ah ‘Ulama ahli tahqiq, dan diantara yang
paling akhir dari mereka adalah Syaikh kami Al-Qadlhi Al-
‘Allamah Basyirud Din Al-Qanuji, sesungguhnya dia menolak
dengan penolakan yang fasih, dia berkata: Begitupula Musafahah
dan berpelukan setelah shalat dua ‘Id (‘Idul Adlha dan ‘Idul Fithri)
termasuk bid’ah yang tercela yang menyelisihi Syara’, selesai. Aku
berkata: Sungguh Al-Qadlhi As-Syaukani juga telah mengingkari
pembagian bid’ah menjadi 5 bagian dalam Nailul Authar pada bab
As-Shalatu fi Tsaubil harir wal qashabi, dan diingkari juga
(pembagian bid’ah menjadi 5) oleh Shahibud Din Al-Khalis, dan
beliau membantahnya dengan 6 aspek.-Tuhfatul Ahwadzi, Al-
Maktabah As-Syamilah:7/426, Fathul Bari:11/55-

Kesimpulan
Berdasarkan semua keterangan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa halal bihalal yang menjadiu media dan
didalamnya mengharuskan bermaaf-maafan dan bersalam-
salaman sangat bermasalah baik dari segi istilah maupun inti
keberadaan halal bihalal itu sendiri dan bahkan merupakan
perbuatan mengada-ada dalam agama atau perbuatan bid’ah.
Maka bagi kita yang takut akan ancaman dari rasulullah bahwa
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama apa yang
tidak ada dalilnya dari kami, maka hal itu tertolak”-HR.Muslim-,
bahkan dalam redaksi lain rasul mengusir kaum muslimin yang
mengada-ada suatu perbuatan dalam agama dengan bahasa
“innaka laa tadri maa ahdatsu ba’daka ”(sesungguhnya kamu tidak
tau apa yang mereka ada-adakan setelah kamu tiada) lalu nabi
mengusir mereka dari telaga.-HR.Bukhari-
Dan perlu kita ketahui bahwa apapun yang dipandang baik apalagi
dapat mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari
‘adzabnya pasti telah ditetapkan oleh Allah dan dicontohkan oleh
nabi dan para sahabat sebab telah sempurnanya islam
sebagaimana dalam QS.Al-Maidah:4, maka apapun yang tidak
dilakukan nabi dan para sahabat dalam urusan agama janganlah
kita mengira itu baik apalagi sunnah, dan apapun yang dilakukan
nabi dan para sahabat sekalipun tidak cocok dengan keinginan kita
maka janganlah kita mengatakan tidak baik apalagi
meninggalkannya, sebab mereka adalah generasi terbaik yang
pernah dilahirkan sebagaimana firman Allah dalam QS.Ali
Imran:110 yang ditafsirkan Ibnu Katsir dengan hadits: “Sebaik-
baik zaman adalah zamanku (nabi), kemudian seterusnya,
kemudian selanjutnya”.-HR.Bukhari-

Maka marilah kita tempatkan dan maknai ‘Idul ithri seperti nabi
dan para sahabat memaknainya sebagaimana keterangan-
keterangan dibawah ini:

‫ ا ْل َمدينَةَ َولَ ُه ْم يَ ْو َمان يَ ْلعَبُونَ فيه َما فَقَا َل « َما‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َللا‬ ‫سو ُل ا‬ ُ ‫ع َْن أَنَس قَا َل قَد َم َر‬
« -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َللا‬ ‫سو ُل ا‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬.‫ب فيه َما فى ا ْل َجاهلياة‬ ُ َ‫ قَالُوا ُكناا نَ ْلع‬.» ‫َهذَان ا ْليَ ْو َمان‬
‫رواه أبو داود وأحمد قال‬-.» ‫ض َحى َويَ ْو َم ا ْلف ْطر‬ ْ َ ‫َللاَ قَ ْد أ َ ْب َدلَ ُك ْم به َما َخي ًْرا م ْن ُه َما يَ ْو َم األ‬
‫إنا ا‬
-‫صحيح‬:‫األلباني‬
Dari Anas dia berkata: Rasulullah s.a.w. datang ke Madinah,
sedangkan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain pada
hari itu, kemudian nabi s.a.w. bersabda: Hari apa ini? Mereka
menjawab: Kami suka bermain-main pada dua hari itu sewaktu
jahiliyyah. Lalu rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah
SWT telah menggantikan buat kalian dua hari yang lebih baik dari
pada keduanya, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.-HR.Abu Daud
dan Ahmad. Berkata Al-Bani:Shahih-

‫سلا َم إ اال‬
َ ‫علَيْه َو‬ ‫صلاى ا‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫َللا‬
‫سول ا‬ ُ ‫عهْد َر‬ َ ‫علَى‬ َ َ‫عبَا َدةَ قَا َل َما م ْن ش َْيء كَان‬
ُ ‫س ْعد ْبن‬َ ‫ع َْن قَيْس ْبن‬
‫س لَهُ يَ ْو َم ا ْلف ْطر قَا َل َجابر‬
ُ ‫سلا َم َكانَ يُقَلا‬
َ ‫علَ ْيه َو‬ ‫صلاى ا‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫َللا‬
‫سو َل ا‬ُ ‫ش ْيئ ًا َواحدًا أَنا َر‬
َ ‫َوقَ ْد َرأ َ ْيتُهُ إ اال‬
-‫رواه أحمد‬-.‫ب‬ ُ ‫ُه َو اللاع‬
Dari Qais bin Sa’id bin ‘Ubadah dia berkata: Tidak ada sesuatupun
yang terjadi pada masa rasulullah kecuali aku telah melihatnya,
kecuali ada satu saja (yang baru kuketahui), bahwa rasulullah
s.a.w. dipukulkan rebana sambil bernyanyi untuknya pada hari
‘Idul Fithri. Jabir berkata: dia itu adalah permainan.-HR.Ahmad-

- ‫َللا‬
‫سو ُل ا‬ ْ َ ‫علَ ْي َها َوع ْن َد َها َجاريَتَان فى أَياام منًى ت ُغَنيَان َوت‬
ُ ‫ضربَان َو َر‬ َ ‫عائشَةَ أ َنا أ َبَا بَكْر َد َخ َل‬ َ ‫ع َْن‬
-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َللا‬ ‫سو ُل ا‬ُ ‫َف َر‬َ ‫س ًّجى بث َ ْوبه فَا ْنت َ َه َر ُه َما أ َبُو بَكْر فَ َكش‬
َ ‫ ُم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬
-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َللا‬ ‫سو َل ا‬ ُ ‫ َوقَالَتْ َرأَيْتُ َر‬.» ‫ع ْنهُ َوقَا َل « َد ْع ُه َما يَا أَبَا بَكْر فَإنا َها أ َياا ُم عيد‬ َ
‫رواه مسلم باب الرخصة في اللعب الذي ال‬-. َ‫ظ ُر إلَى ا ْل َحبَشَة َو ُه ْم يَ ْلعَبُون‬ ُ ‫ست ُ ُرنى بردَائه َوأَنَا أ َ ْن‬
ْ َ‫ي‬
-‫معصية فيه في أيام العيد‬
‫صة فى اللاعب الاذى الَ َم ْعصيَةَ فيه فى أَياام ا ْلعي‬ َ ‫لر ْخ‬
ُّ ‫باب ا‬
Dari ‘Aisyah bahwa Abu Bakar datang kepadanya, sedangkan
bersamanya ada dua pelayan perempuan pada har-hari Mina (hari
raya) dan mereka berdua bernyanyi dan memukul rebana
sedangkan rasulullah s.a.w. santai saja. Kemudian Abu Bakar
membentak keduanya, lalu rasulullah mencegahnya dan berkata
kepadanya: Tinggalkan keduanya wahai Abu Bakar, sesungguhnya
hari ini adalah hari-hari ‘Id. ‘Aisyah berkata: Aku melihat
rasulullah s.a.w. menutupiku dengan pakaiannya ketika aku
melihat orang habsyi bermain-main.-HR.Muslim, Bab Rukhsah
dalam permainan yang tidak ada padanya kemaksiatan pada hari-
hari raya-

‫صلى هللا‬- ‫َللا‬ ‫سو َل ا‬ ‫ع َم َر فَبَ َدأ َ بال ا‬


ُ ‫صالَة قَ ْب َل ا ْل ُخ ْطبَة ث ُ ام قَا َل إنا َر‬ ُ ‫شهدْتُ ا ْلعي َد َم َع‬ ُ ‫ع َْن أ َبى‬
َ ‫عبَيْد قَا َل‬
ُ ُ‫ض َحى فَتَأ ْ ُكلُونَ م ْن لَحْ م ن‬
‫سك ُك ْم َوأ َ اما يَ ْو ُم‬ ْ َ ‫ع ْن صيَام َهذَيْن ا ْليَ ْو َميْن أ َ اما يَ ْو ُم األ‬ َ ‫ نَ َهى‬-‫عليه وسلم‬
‫وقال‬,‫رواه أبو داود وابن ماجة والتروذي والبخاري وأحمد‬-.‫ا ْلف ْطر فَف ْط ُر ُك ْم م ْن صيَام ُك ْم‬
-‫صحيح‬:‫األلباني‬
Dari ‘Abu ‘Ubaid dia berkata: Aku menghadiri ‘Id bersama ‘Umar,
kemudian beliau memulai shalat sebelum khutbah, kemudian
berkata: Sesungguhnya rasulullah s.a.w. melarang shaum di
duahari ini. Adapun hari Adlha adalah hari kalian makan daging
sembelihan kalian, dan hari fithri adalah hari kalian makan-makan
setelah kalian shaum ramadhan.-HR.Abu Daud, Ibnu Majah,
Tirmidzi, Bukhari, dan Ahmad, berkata Al-Bani:Shahih-

-‫رواه مسلم‬-.» ‫ع ْمرو « يَ ْو ُم ا ْلف ْطر يَ ْو ُم ا ْل َج َوائز‬


َ ‫َللا بْن‬
‫عبْد ا‬
َ ‫عن‬
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr: Hari Fithri adalah hari hadiah (hari
diperkenankannya segala hal kecuali kemaksiatan-Pen).-
HR.Muslim-

Wallahu ‘Alam. (Penulis adalah Bidang Jam’iyyah PW. Pemuda


Persis Jawa Barat)

Daftar Pustaka
1. 1. http://www.pesantrenvirtual.com
2. 2. http://muslim.or.id
3. 3. Tafsir Al-Maraghi, Al-Maktabah As-Syamilah.
4. Muntaqa Syarah Muwattha, maktabah as-syamilah.
5. Tuhfatul ahwazi, makhtabah syamilah.
6. Fathul Bari, Al-Maktabah As-Syamilah.
7. Kutubu As-Sittah Maktabah Syamilah.
8. Al-‘Itisham Imam Asy-Syathibi, Dar Al-‘Aqidah-Kairo.2007 M.

Halal bi Halal dan Sejarahnya


1 September 2011
Admin Artikel [Bagus], Kajian Ramadhan [NEW] Ustadz Anas
Burhanuddin10 Komentar
http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/09/01/halal-bi-halal-
dan-sejarahnya/

8 Votes
Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, MA

PENGERTIAN HALAL BI HALAL


DAN SEJARAHNYA
Secara bahasa, halal-bihalal adalah kata majemuk dalam bahasa
Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi
kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab
maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat
Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah
haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab
mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan
pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat
dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang
menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik
mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang
dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya
“halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut
gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk
asli negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia
dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan
ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan du sebuah tempat
(auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu
kebiasaan khas Indonesia” [1]
Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah
suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia
dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai
ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal.
Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat
Idul Fithri [2]. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan
di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah
tamah atau makan bersama.
Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA
Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan
Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga,
pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan
pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara
serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan
tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang
dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh
organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian
instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi
halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai
pemeluk agama [3]
Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan
penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis
dengan bangga menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil
kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di
tengah masyarakat Indonesia [4]. Namun dalam kacamata ilmu
agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin
jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin
diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan
padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan
pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bihalal
menurut pandangan syariat.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling
mengunjungi di hari raya Idul Fithri yang juga umum dilakukan di
dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan
ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.
HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL
(TAUFIQI)
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah
haram (dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab
adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil
yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya
lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi, masalah ‘id
adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa
‘id adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak
hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi
rahimahullah mengatakan.
َ ‫ َو ِم ْن َحي ُْث يُتعبَّ ُد ب ِ َها َأ ْو تُ ْو‬،‫ت ِم ْن َحي ُْث ِهيَ عَا ِديَّ ٌة الَ ب ِ ْد ع ََة فِ ْي َها‬
ْ ‫ض ُع َو‬
‫ض َع التَّعَبَّ ِد‬ ِ ‫َوإِنَّ ا ْلعَا ِديَّا‬
‫تَ ْد ُخ ُل َها ا ْلب ِ َد ع َُة‬
Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada
bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai
ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya [5]
Sifat tauqifi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :
1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi hanya ada dua hari raya
dalam sau tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.
‫َّللا عليه وسلم ا ْل َمدِي َن َة َو َل ُهم‬ َّ ‫َّللا صلى‬ َّ ‫عن َأ َن ِس ْبنَ َما ِل ِك رضي‬
َ َ‫ َق ِدم‬: ‫َّللا عنه قال‬
َّ ‫س ِم َع رسول‬
‫ ُك َّنا‬: ‫ قا ُلوا‬،‫ َما َه َذا ِن ا ْليَ ْو َما ِن؟‬: ‫َّللا عليه وسلم‬ َّ ‫ َف َقا َل رسول‬،‫يَو َما ِن يَلعَبُونَ في ِه َما‬
َّ ‫َّللا صلى‬
َ‫ يَ ْومَ ا ْل ِف ْط ِر َويَ ْوم‬: ‫َّللا َ ع ََّز َو َج َّل َق ْد َأ ْب َد َل ُك ْم ب ِ ِه َما َخ ْي ًرا ِم ْن ُه َما‬
َّ َّ‫ إِن‬:‫ قال‬،‫ب فِ ْي ِه َما فِي ال َجا ِه ِليَّ ِة‬ُ َ‫َن ْلع‬
‫ال َّنحْ ِر‬
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya
memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka
beliau bertanya : Apakah dua hari ini? Mereka menjawab : Dahulu
kami biasa bermain di dua hari ini semasa jahiliyah. Beliau pun
bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya dengan dua hari
yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu Dawud
no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani][6]
Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam
tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7],
berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak
sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syar’i.
2. Taufiqi dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam,
hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah
diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di
hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya
berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya
berupa keleluasaan dalam makan-minum, berpakaian, bermain-
main dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan
syariat. [8]
PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL
Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi
di sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam
perayaan ‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan,
bagaimana berhias dan berpakaian, atau permainan apa yang
boleh dilakukan. Syari’at Islam merujuk perkara ini kepadaadat
dan tradisi masing-masing.
Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata,
saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan
kegembiraan ini perlu ditekankan agar anggota keluarga
merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, sehingga
mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak
ada dasarnya dalam Islam.[9]
Namun mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan
membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam
menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang
disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) tersendiri
yang membutuhkan dalil.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah
melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan
juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki
kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang
paling bersemangat untuk membebaskan diri dari kesalahan
kepada orang lain. Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat
mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan.
Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah
penambahan syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata.
َ‫َّللا عليه وسلم َم ْو ُج ْوداً َل ْو كَان‬ َّ ‫َف ُك ُّل َأ ْم ٍر يَك ُْونُ ا ْل ُم ْقتَ ِضي ِلف ْع ِله َع َلىَ َع ْه ِد رسول‬
َّ ‫َّللا صلى‬
‫ص َل َح ٍة‬ َ ‫ يُ ْع َلمُ َأ َّنهُ َلي‬،ْ‫ص َل َح ًة َو َل ْم يُ ْفعَل‬
ْ ‫ْس ب ِ َم‬ ْ ‫َم‬
Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada
masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu
(betul-betul) merupakan sebuah kemaslahatan (kebaikan), dan
(namun) beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa
perkara tersebut bukanlah kebaikan. [10]
KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH
SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH KUBUR DI HARI
RAYA
Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada
abad-abad terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang
membahas halal bi halal secara khusus. Namun ada masalah lain
yang memiliki kesamaan karakteristik dengan halal bi halal dan
sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu, yaitu
masalah berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat
dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya.
Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain,
sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut.
‫س ِل َم ْي ِن يَ ْلتَ ِقيَا ِن‬
ْ ‫ َما ِم ْن ُم‬: ‫َّللا عليه وسلم‬
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫ رسول‬: ‫َّللا عنه قا َل‬ َّ ‫اء ِِ رضي‬ ِ ‫ع ِن ا ْلبَ َر‬
َ ‫صا َف َحا ِن إِالَّ ُغ ِف َر َل ُه َما َق ْب َل َأ ْن يَتَ َف َّر َقا‬ َ َ‫َفيَت‬
Dari al-Bara (bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah dua orang
Muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah
diampuni sebelum berpisah” [HR Abu Dawud no. 5212 dan at-
Tirmidzi no. 2727, dihukumi shahih oleh al-Albani] [11]
Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan
diyakini sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap
selesai shalat, hukumnya berubah ; karena pengkhususan ini
adalah tambahan syariat baru dalam agama.
Disamping itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat
orang menomorduakan amalan sunnah setelah shalat yaitu
berdzikir. [12]
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka
beliau menjawab : Berjabat tangan setelah shalat bukanlah
sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu a’lam. [13]
Lebih jelas lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan
ziarah kubur di hari raya termasuk bid’ah, [14] padahal ziarah
kubur juga merupakan amalan yang pada dasarnya dianjurkan
dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits berikut
ِ‫ إ ِ ِّنِي ُك ْنتُ َن َه ْيتُكُم ْعَن ِزيَا َرة‬: ‫َّللا عليه وسلم‬
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫ رسول‬:‫َّللا عنه قال‬ َّ ‫عن بُ َر ْي َد َة رضي‬
ِ ‫ور َف ُزو ُرو َها؟ َفإِ َّن َها تُ َذ ِ ِّك ُر ْا‬
‫آلخ َرة‬ ِ ُ‫ا ْل ُقب‬
Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian
berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah ; karena ia
mengingatkan akhirat. [HR Ashabus Sunnan, dan lafazh ini adalah
lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi shahih oleh Syu’aib al-
Arnauth]
Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah
bagian dari ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari
tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang terus-menerus
dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi tercela.
Wallahu a’lam.
BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI
HALAL
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga
sering didapati beberapa pelanggaran syariat, di antaranya ;
1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul
Fithri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang
lain, sebagian orang menunggu Idul Fithri untuk meminta maaf,
seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal ‘urusan maaf
memaafkan adalah urusan hari lebaran’. Dan jadilah “mohon maaf
lahir dan batin” ucapa yang “wajib”. pada hari raya Idul Fithri.
Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fithri dan kita
diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita
lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut
‫ َم ْن كَا َنتْ ِع ْن َدهُ َم ْظ ِل َم ٌة‬: ‫َّللا عليه وسلم قال‬ َّ ‫َّللا صلى‬ َّ ‫َّللا عنه َأنَّ رسول‬ َّ ‫عن َأبِي ُه َر ْي َر َة رضي‬
‫ َفإِ ْن‬،‫س َناتِ ِه‬ َ ُ‫ْس َثمَّ ِد ْي َنا ٌر َوال در َهمٌ ِم ْن َق ْب ِل َأ ْن ي‬
َ ‫ؤخ َذ َأل ِِ ِخي ِه ِم ْن َح‬ َ ‫َأل ِِ ِخي ِه َف ْليَتَ َح َّل ْل ُه ِم ْن َها؟ َفإِ َّنهُ َلي‬
‫ت َأ ِخي ِه َف ُط ِر َحتْ َع َل ْي ِه‬ َ ‫س َناتٌ ُأ ِخ َذ ِم ْن‬
ِ ‫سيِِّئَا‬ َ ‫َل ْم يَك ُْن َلهُ َح‬
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa melakukan
kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan
(dimaafkan) darinya ; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi
perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan
kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka
keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya.
[HR al-Bukhari no. 6169]
2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke
maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, seperti dalam
hadits Abu Usaid berikut.
‫َّللا عليه وسلم يَ ُقو ُل‬
َّ ‫َّللا صلى‬ َّ ‫َّللا عنه َأ َّنهُ سَ ِم َع رسول‬ َّ ‫ى رضي‬ ِّ ِ ‫ص ِار‬ َ ‫عن َأبِى ُأ‬
َ ‫س ْي ٍد ْا َأل ْن‬
‫َّللا عليه‬
َّ ‫َّللا صلى‬ َّ ‫سا ِء فِى ال َّط ِريق ِ َف َقا َل رسول‬ ِّ ِ ‫س ِج ِد َفا ْختَ َل َط‬
َ ِ‫الر َجا ُل َم َع ال ِّن‬ ْ ‫َو ُه َو َخ ِار ٌخ ِمنَ ا ْل َم‬
‫ت ا ْل َم ْراَ ُة‬ ِ ‫ْس َلكُنَّ َأ ْن تَحْ ُق ْقنَ ال َّط ِر ْي َق َع َل ْيكُنَّ ب ِ َحا َفا‬
ِ ‫ َفكَا َن‬،ِ‫ت ال َّط ِريْق‬ َ ‫أخ ْرنَ َفإِ َّنهُ َلي‬ِ َ ‫ست‬ َ ِ‫وسلم ِال ِّن‬
ْ ‫سا ِء ا‬
ُ ‫َار ِم ْن ُل‬
‫صوقِ َهاب ِ ِه‬ ِ ‫ق بِا ْل ِجد‬ُ ‫َار َحتَى إِنَّ َث ْوبَ َها َليَتَعَ َّل‬
ِ ‫الجد‬
ِ ِ‫ق ب‬ ُ ‫تَلتَ ِص‬
Dari Abu Usaid al-ِAnshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari
masjid dan kaum pria bercampur-baur dengan kaum wanita di
jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita : “Mundurlah
kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di
pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju
mereka menempel di dinding, lantaran begitu mepetnya baju
mereka dengan dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi
hasan oleh al-Albani] [15]
3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang
dalam cara halal bihalal atau kehidupan sehari-hari, padahal
keharamannya telah dijelaskan dalam hadist berikut.
‫ َأل ْن يُ ْطعَنَ فِي‬: ‫َّللا عليه وسلم‬ َّ ‫َّللا صلى‬ َّ ‫ قال رسول‬: ‫َّللا عنه يَ ُقو ُل‬ َّ ‫س ِار رضي‬ َ َ‫عن َم ْع ِقل بن ي‬
ُ‫س ا ْم َر َأ ًة تَ ِح ُّل َله‬ ْ
َّ ‫رأ ِس َأ َح ِد كُ ِْم ب ِ ِم ْخيَ ِط ِم ْن َحد ِي ٍد َخ ْي ٌر َلهُ ِم ْن َأ ْن يَ َم‬
Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika seorang di
antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih
baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal
baginya”. [HR ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani] [16]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Ancaman keras bagi
orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya yang
terkandung dalam hadits ini menunjukkan haramnya menjabat
tangan wanita (yang bukan mahram, ed) karena tidak diragukan
lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat
Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama”
[17]
PENUTUP
Dari paparan diatas, bisa kita simpulkan bahwa yang
dipermasalahkan dalam halal bi halal adalah pengkhususan
bermaaf-maafan di hari raya. Pengkhususan acara ini sudah
menjadi penambahan syariat baru yang jelas tidak memilki
landasan dalil syar’i. Jadi seandainya perkumpulan-perkumpulan
yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fithri kosong dari
agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan
yang diperbolehkan ; karena merupakan ekspresi kegembiraan
yang disyariatan Islam di hari raya dan batasannya merujuk ke
adat dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya, jika terlepas dari
pelanggaran-pelanggaran syariat, antara lain yang sudah kita
sebutkan diatas. Selain di Indonesia, pertemuan yang umum
disebut mu’ayadah (saling mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada
di belahan dunia Islam lain tanpa pengingkaran dari Ulama.
Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!”,
ingatlah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut setiap
perkara baru dalam agama sebagai syarrul umur (seburuk-buruk
perkara). Maka bagaimana kita bisa meremehkannya? Setiap
Muslim haris berhati-hati dengan perkara-perkara baru yang
muncul belakangan. Mari, amalkan sunnah dan Islam yang murni,
karena itulah wasiat Nabi tercinta Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Wallahu a’lam
REFERENSI
1. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, Dr. Sulaiman as-Suhaimi,
Universitas Islam Madinah.
2. Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, Darul
Ashimah.
3. Mi’yarul Bid’ah, Dr. Muhammad Husain al-Jizani, Dar Ibnil Jauzi.
4. Risalatun fil Ikhtilath, Syaikh Muhammad bin Ibrahim
5. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
Sumber: Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun
XIII/1430/2009 M (almanhaj.or.id)
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com
_______
Footnote
[1]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
[2]. Ibid
[3]. Ibid
[4]. Ibid
[5]. Al-I’tisham 2/98
[6]. Shahih Sunan Abi Dawud 4/297
[7]. Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499
[8]. Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262
[9]. Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6
[10]. Ibid. 2/101
[11]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525
[12]. Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141
[13]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339
[14]. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247
[15]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856
[16]. Lihat Ghayatul Maram 1/137
[17]. Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah)
Berbagi dengan yang lain via:

Idul Fithri Dan Halal Bi Halal


Rabu, 31 Agustus 2011 15:26:52 WIB
Kategori : Fiqih : Hari Raya

IDUL FITHRI DAN HALAL BI HALAL

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
http://almanhaj.or.id/content/3157/slash/0/idul-fithri-
dan-halal-bi-halal/

Idul Fithri adalah salah satu di antara dua hari raya besar
yang ada dalam Islam. Biasanya dalam Idul Fithri, di
negeri tercinta ini, selalu identik dengan acara halal
bihalal. Entah bagaimana asal muasalnya, tetapi tradisi itu
telah berlangsung sejak lama.

Yang jelas, hari Idul Fithri adalah hari dimana kaum


muslimin merayakan kegembiraannya pasca Ramadhan.
Bahkan hari itu kaum muslimin diperbolehkan bersukaria
sebagai ungkapan syukur kepada Allah dengan melakukan
kegaiatan apa saja yang menyenangkan hati sepanjang
hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab membawakan


perkataan Ibu al-A’rabiy : “Hari Raya (‘Id) dinamakan ‘Id,
karena hari itu selalu berulang setiap tahun dengan
kegembiraan yang selalu baru”

Al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah [2] mengatakan,


“Hari raya disebut dengan sebutan ‘Id, karena di hari itu
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki berbagai macam
kebaikan yang samua kebaikan itu kembali kepada para
hamba-Nya. Antara lain : (Kebaikan) berbuka puasa
setelah sebelumnya ada larangan makan, demikian pula
zakat fithri. Juga menyempurnakan ibadah haji (pada Idul
Adha) dengan thawaf ziarah, makan daging kurban, dan
lain-lain. Karena kebiasaannya pada hari itu berisi
kegembiraan, kesenangan, dan keriangan.

Misalnya, dalam suatu riwayat yang shahih, Aisyah


Radhiyallahu anha mengatakan, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam datang kepadaku, sedangkan
dihadapanku ada dua orang hamba sahaya wanita yang
sedang menyanyi (dalam riwayat lain disebutkan :
keduanya bukan penyanyi) dengan nyanyian bu’ats. Lalu
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring di
pembaringan sambil memalingkan wajahnya (dalam
riwayat lain disebutkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menutupi kepalanya dengan kain). Abu Bakar
masuk, maka ia menghardikku seraya berkata, “Nyanyian
setan dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi Abu Bakar
seraya bersabda, “Biarkan keduanya”. Ketika beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak mengambil
perhatian, maka aku memberikan isyarat kepada
keduanya supaya keluar.

Di dalam riwayat lain (disebutkan). Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda.

‫ َو َه َذا ِع ْي ُدنَا‬،‫ إِ َّن ِل ُك َّل قَ ْوم ِع ْيدًا‬،‫َيا أ َ َبا َب ْك ِر‬

Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap golongan umat


memiliki hari raya. Dan (hari) ini adalah hari raya (id)
kita. [3]

Yang dimaksud nyanyian Bu’ats adalah syair yang


disenandungkan ala nasyid, berisi penggambaran tentang
peperangan dan keberanian.

Syaikh Ali bin Hasan hafizhahullah menukilkan perkataan


Imam Baghawi rahimahullah yang mengatakan sebagai
berikut, “Bu’ats adalah hari yang dikenal di kalangan
bangsa Arab. Sejarahnya, pada hari itu terjadi
pembunuhan besar-besaran oleh tentara Aus terhadap
tentara suku Khazraj. Pertempuran yang terjadi antara
kedua suku itu terus berlanjut selama seratus dua puluh
tahun hingga datangnya Islam.

Syair yang disenandungkan oleh dua budak wanita itu


adalah syair yang menggambarkan tentang peperangan
dan tentang keberanian. Sementara penyebutan syair ini
akan dapat membantu menggugah semangat pembelaan
terhadap urusan dinul Islam ini.

Adapun nyanyian-nyanyian yang menyebutkan hal-hal


jorok, menyebarluaskan perkara-perkara haram serta
secara terbuka menyuarakan kata-kata mungkar, maka
hal itu termasuk nyanyian yang diharamkan. Dan itu tidak
mungkin berlangsung di haribaan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sedangkan Beliau mengabaikan
pengingkaran terhadapnya.

Kemudian, dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam, “hari ini adalah ‘Id (hari raya) kita”, dapat
dimaklumi bahwa menampakkan kegembiraan pada dua
hari raya Islam merupakan syiar agama. Hari itu bukanlah
sebagaimana hari-hari lain.[4]

Di sisi lain, ketika menjelaskan salah satu riwayat bahwa


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupi kepalanya
dengan kain (supaya tidak melihat nyanyian dua orang
wanita budak sahaya tersebut), al-Hafizh Ibnu Hajar al-
Asqalani rahimahullah mengatakan.

“Adapun ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


menyelimuti kepala dan wajahnya dengan kain, maka di
dalamnya terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berpaling dari hal itu karena kedudukan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut agar tidak
memperhatikan hal semacam itu. Akan tetapi bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya,
menunjukkan bolehnya hal semacam itu jika sesuai
dengan apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
setujui, sebab beliau tidak mungkin menyetujui kebatilan.

Tetapi, pada asalnya orang harus membersihkan diri dari


permainan-permainan di atas dan hal-hal yang tiada
guna. Maka dalam hal ini, orang harus membatasi diri
pada hal-hal yang ada nashnya, baik secara waktu
maupun tata caranya, untuk maksud memperkecil
penyimpangan dari asal yang diperbolehkan” [5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah kemudian


mengatakan : “Di dalam hadits ini juga terdapat beberapa
faidah (di antaranya) disyariatkannya memberikan
keleluasaaan kepada keluarga pada hari-hari raya, untuk
melakukan berbagai macam hal yang dapat
menyenangkan jiwa dan menyegarkan badan setelah
penat melakukan ibadah. Tetapi berpaling dari hal-hal
(main-main) itu lebih baik. Di dalam hadits ini juga
terdapat keterangan bahwa menampakkan kegembiraan
pada hari raya termasuk syiar agama” [6]

Demikian, maka halal bihalal atau apapun istilahnya,


adalah kegiatan yang menjadi mubah, jika hanya
dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa gembira pada
hari raya, baik Idul Fithri maupun Idul Adha ; misalnya
untuk makan-makan bersama, bertemu keluarga dan
handai taulan. Sebab memang diperbolehkan kaum
musilmin mengungkapkan kegembiraan hatinya pada
saat-saat hari raya, sepanjang kegembiraan itu tidak
menyimpang dari ketentuan syar’i.

Masalahnya, memang terdapat banyak hal yang kemudian


menyimpang dari ketentuan syariat, seperti ikhtilath
(bercampur antara laki-laki dan perempuan bukan
mahram), jabat tangan antara lawan jenis, hura-hura,
pamer aurat, pamer kecantikan, nyanyian-nyanyian
maksiat, main petasan dan lain sebagainya.

Kegiatan-kegiatan maksiat semacam itulah yang


semestinya dihindari. Di samping itu, tidak usahlah
kegiatan saling maaf memaafkan menjadi menu utama
dalam acara berhari raya atau berhalal bihalal. Saling
memaafkan tidak perlu menunggu acara halal bihalal.
Anggapan bahwa saling memaafkan seakan-akan lebih
afdhal jika dilakukan saat hari raya, adalah anggapan
yang keliru. Dan saling maaf semacam itu lebih banyak
bersifat semu. Tidak bersifat sungguh-sungguh dan ikhlas.
Orang bilang : “Mumpung hari raya, kita saling
memaafkan”. Akibatnya, orang begitu mudah untuk saling
menyakiti, saling menzalimi dan saling melanggar hak
pihak lain, dengan asumsi : “gampang nanti minta maaf
pada hari raya”.

Allahu al-Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun


XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858197]
_______
Footnote
[1]. Dinukil dari Ahkam al-Idain Fi as-Sunnah al-
Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Daar Ibnu
Hazm, Beirut, cet II, 1414H/1993M, hlm.13, no.1. Lihat
pula Lisan al-Arab, Ibnu Manzhur, Dar Ihya at-Turats al-
Arabi – Mu’assasah at-Tarikh al-Arabi, Beirut, cet. III,
1419H/1999M.IX/461
[2]. Dinukil perkataannya oleh Syaikh Ali bin Hasan al-
Halabi, ibid. hlm.13-14, Diterjemah secara bebas.
[3]. Dua riwayat ini adalah riwayat Imam Bukhari. Lihat
Fathu al-Bari II/440 no. 949, dan II/445, no. 953. Juga
diriwayatkan oleh Muslim, lihat Shahih Muslim Syarh an-
Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha : VI/423-424, no.
hadits: 2058, 2060
[4]. Lihat Ahkam al-Idain Fi as-Sunnah al-Muthahharah,
op.cit.hal 17-18. Lihat pula, Syarhu as-Sunnah, Imam al-
Baghawi, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet.II,
1403H/1983M, hal.322-323. Diterjemah secara bebas.
[5]. Lihat Fathu al-Bari II/443, Diterjemah secara bebas.
[6]. Ibid. Lihat pula Ahkam al-Idain Fi as-Sunnah al-
Muthahharah, op.cit.hlm

Anda mungkin juga menyukai