Anda di halaman 1dari 3

Model Pendidikan Inklusi

Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) sebagaimana dikutip oleh Ashman (dalam Darma dan Rusyidi)
menjelaskan tentang penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan
beberapa model sebagai berikut.1

a. Kelas Reguler (Inklusi Penuh)


Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus sepanjang hari di
kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
b. Kelas Reguler dengan Cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas regular
dalam kelompok khusus.
c. Kelas Reguler dengan Pull Out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas regular
namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan
guru pembimbing khusus.
d. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler
dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain
untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
e. Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam
bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler.
f. Kelas Khusus Penuh
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

Dari beberapa model pendidikan sekolah inklusif seperti yang dijelaskan di atas, maka sekolah
inklusif, sejatinya membutuhkan beberapa kualifikasi guru sebagai berikut:2
a. Guru Kelas, yaitu pendidik atau pengajar pada suatu kelas sesuai dengan kualifikasi yang
dimilikinya. Misalkan di taman kanak-kanak, maka seorang guru kelas haruslah mereka
yang mempunyai latar pendidikan Anak Usia Dini atau pendidikan Taman Kanak-Kanak.
b. Guru Mata Pelajaran (GMP), yaitu guru yang mengajar mata pelajaran tertentu sesuai
kualifikasi yang di syaratkan. Untuk kasus pada pendidikan anak usia dini seperti di
taman kanak-kanak, GMP mungkin jarang ditemui, biasanya satu guru kelas sudah
mengajar seluruh mata pelajaran.
c. Guru Pembimbing Khusus (GPK), yaitu guru yang mempunyai latar belakang pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus atau yang pernah mendapat pelatihan khusus tentang
pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Tugas dari GPK ini adalah:
1. Menyusun instrumen assessment pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan
guru mata pelajaran.
2. Membangun sistem koordinasi antara guru, pihak sekolah dan orang tua siswa.

1
Indah Permata Darma dan Binahayati Rusyidi. “Pelaksanaan Sekolah Inklusi di Indonesia”, Prosiding KS: Riset &
PKM, Vol. 2, No. 2, hlm. 147-300.
2
Edi Purwanto, Pendidikan Inklusi. Makalah disampaikan dalam Temu Ilmiah Tingkat Nasional Tahun 2002 di UPI,
6-8 Agustus 2002.
3. Memberikan bimbingan khusus kepada Anak Berkebutuhan Khusus kepada anak luar
biasa yang membutuhkan.
4. Memberikan bantuan kepada guru kelas dan guru mata pelajaran agar dapat
memberikan pelayanan pendidikan khusus kepada anak luar biasa yang
membutuhkan.

Problematika Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus


Sekolah inklusif memang menawarkan sebuah sistem pendidikan yang sangat ideal,
khususnya bagi anak berkebutuhan khusus, namun juga menimbulkan beberapa problematika.
Misalnya, anak yang berkebutuhan khusus cenderung akan mengacaukan kondisi kelas, karena
mereka memiliki perkembangan kognitif yang berbeda dari teman-temannya. Seorang guru juga
harus melatih ABK dengan cara berbeda dari standar pembelajaran pada umumnya. Jika
diajarkan dengan cara yang sama, ABK akan berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan
jika dicocokkan dengan siswa yang levelnya di atas mereka.3 Seperti halnya dalam aktivitas
fisik, tidak ada kurikulum pendidikan yang mengatur hal tersebut, akibatnya ketika mereka
terlibat, mereka akan “gagal” dan hanya akan menjadi bahan olok-olok temannya, mereka akan
mengalami tindakan diskriminatif dan bulliying dari teman-temannya. Hal ini secara negatif akan
berdampak pada rasa percaya diri dan martabat ABK.
Dari beberapa masalah di atas, menurut Dilan, ada 4 kategori problematika pembelajaran
yang secara signifikan mempengaruhi kesuksesan penyelenggaran pendidikan di sekolah
inklusif.
a. Problematika Nilai (Value Barriers).
Beberapa orang menganggap bahwa perbedaan nilai seperti halnya perbedaan ras,
suku, gender, dan juga kondisi fisik dan juga mental merupakan bagian dari suatu
kebudayaan. Namun, faktanya sekolah inklusif masih mengalami kendala dalam
menghadapi perbedaan nilai ini. Misalnya seperti tindakan bullying dan rasisme
yang pasti terjadi di sekolah biasa yang menampung anak berkebutuhan khusus.
Konflik seperti ini mungkin bukan disebabkan karena penyelenggaraan sekolah
inklusif tapi mungkin diakibatkan oleh pengguna (users) termasuk murid, atau
mungkin guru yang belum siap. Kesiapan yang dimaksud adalah kesiapan guru
siswa, dan orang tua siswa dalam menerima segala bentuk perbedaan.
b. Problematika Kekuasaan (Power Barriers)
Penulis mendefinisikan problematika kekuasaan sebagai problematika yang
dihasilkan oleh kebijakan yang dibuat oleh pihak autoritatif (pemerintah). Sebagai
pihak yang “mewajibkan” penyelenggaraan pendidikan inklusif ini, pemerintah
belum secara maksimal mempersiapkan segalanya, misalnya minimnya sarana
penunjang sistem pendidikan inklusif yang disediakan. Selain itu distribusi guru
kelas dan guru pembimbing khusus (GPK) atau teacher assistant (TA) yang ahli
menangani ABK masih belum diatur dengan jelas. Padahal disproporsi antara
Guru Kelas dan Guru Pembimbing Khusus akan berpengaruh negatif bagi proses
pendidikan di sekolah inklusif. Kenyataan yang dihadapi selama ini adalah
Dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah belum merata di semua daerah dan
masih sangat terbatas, baik dalam bantuan teknis (keterlibatan dalam pelaksanaan :
monitoring, pembimbingan maupun evaluasi pelaksanaan pendidikan inklusi) maupun
bantuan non-teknis (dana maupun peralatan).

3
c. Problematika dalam Teknis Pelaksanaan (Practical Barriers)
Problematika dalam teknis pelaksanaan ini berkaitan dengan kondisi natural yang
ada di sekolah, meliputi waktu, sumber materi pembelajaran, dan sistem
pembelajaran. Tantangan teknis ini memang menjadi problematika tersendiri bagi
sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, karena pasti membutuhkan
proses adaptasi terhadap sistem pendidikan yang ada. Masalah yang muncul
misalnya dalam hal penerimaan jenis kekhususan, tingkat kecerdasan yang masih
dibawah rata, belum ada penentuan batas jumlah siswa yang diterima, kurangnya
pelatihan bagi guru kelas yang menangani ABK, kurikulum yang ada belum
mengakomodasi keberadaan ABK, dan juga kurangnya materi pembelajaran yang
sesuai untuk diajarkan di sekolah inklusif.
d. Problematika Psikologi (Psychological Barriers)
Terkadang masyarakat masih menentang segala bentuk perubahan meskipun
perubahan tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap hidup mereka.
Kurangnya dukungan moral dari orang tua ABK dan orang tua siswa regular, dan
juga dari masyarakat umum seperti ini merupakan sebuah masalah psikologi,
mereka menganggap ABK sebagai beban bukan memikirkan bersama cara
mengatasi hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai