Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Pelabuhan Sunda Kelapa yang tadinya Pasar Ikan
banyak dikunjungi berbagai macam pedagang dari dalam maupun luar negeri, walaupun
Pelabuhan Tanjung Priok sudah dibangun.Dengan lajunya pembangunan secara setapak
demi setapak Pelabuhan Pasar Ikan mulai menyesuaikan arus pembangunan demi
kesempurnaan dan lajunya arus pelayaran. Mengingat Pelabuhan Sunda Kelapa
aktifitasnya tinggi, maka pada tahun 1977 kegiatan pendaratan ikan lewat jalur pelabuhan
tersebut dinyatakan tertutup berdasarkan Kep. Gub. KDKI No. 268 Tahun 1977, dimana
kegiatan pendaratan ikan melalui Pelabuhan Sunda Kelapa dinyatakan ditutup, namun
untuk aktifitas bongkar muat dan pelelangan ikan tanpa jalur laut dizinkan sampai
sekarang ini dimana diberikan klasifikasi menjadi Pos Retribusi Ikan.
Berdasarkan SK Dirjen Perla tanggal 1 April 1974 nama Pelabuhan Pasar Ikan menjadi
Pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan kemajuan-kemajuan yang diperoleh, Pelabuhan Sunda
Kelapa menjadi obyek pariwisata. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sangat
dominannya pelabuhan itu masih banyak perahu-perahu tradisional yang masih
memegang tradisinya masing-masing dan sekaligus merupakan pangkalan pelabuhan
kayu dari pelosok Nusantara.
Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan kayu menyediakan prasarana khusus untuk
bongkar muat kayu di Jakarta yang keberadaannya di bawah manajemen Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan RI. Aktifitas bongkar muat kayu
di pelabuhan ini kian hari semakin meningkat volumenya, sehingga terjadi perluasan-
perluasan prasarana pelabuhan, diantaranya lapangan penumpukan, gudang dan kolam
pelabuhan.
Arti nama Sunda Kelapa versi Wikipedia
Kastil Batavia, dilihat dari Kali Besar Barat oleh Andries Beeckman, sekitar
tahun 1656-1658
Sunda Kelapa
Bukti tertua mengenai eksistensi permukiman penduduk yang sekarang bernama
Jakarta adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara.
Prasasti tersebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman
kerajaan Hindu, Tarumanegaraketika diperintah oleh Raja Purnawarman.
Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri
diperkirakan baru muncul abad sepuluh.
Permukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga
dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan
orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu
lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasaiMalaka,
dan tahun 1522 Gubernur Portugis d'Albuquerque mengirim utusannya, Enrique
Leme yang didampingi olehTomé Pires untuk menemui Raja Sangiang
Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan
antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh sang
raja Pakuan Pajajaran tersebut guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam
menghadapi ancaman Kesultanan Demak, yang telah menghancurkan beberapa
kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja,
karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu
mempertahankan Sunda Kalapa.
Jayakarta
Pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak pada 1526, yang dipimpin
oleh Fatahillah, Panglima Perang asalGujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527,
dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah
Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di
bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan. Orang Sunda yang
membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk
beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari
orang yang berasal dari Demak danCirebon.
Sampai Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten
bersama saudagar Arab dan Tionghoatinggal di muara Ciliwung. Selain orang
Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten
waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Batavia
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih
Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan
Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan
orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris,
sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan
fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa
lahan sekitar 1,5 hektare di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung,
yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda,
dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia
mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis,
dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa
meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang
mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu
benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang
memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta
hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh
kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan
kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di Belanda
memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang
orang Batavia.
Jan Pieterszoon Coen menggunakan semboyan hidupnya “Dispereert niet, ontziet
uw vijanden niet, want God is met ons” menjadi semboyan atau motto kota
Batavia, singkatnya “Dispereert niet” yang berarti “Jangan putus asa”.
Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi
"Jakarta" oleh Jepang untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.