Anda di halaman 1dari 5

PELABUHAN SUNDA KELAPA

Pada awalnya merupakan Pelabuhan Kerajaan Pajajaran di muara Ciliwung, yang


kemudian berkembang menjadi Kota Jakarta (sekarang). Menurut sejarahnya, pelabuhan
Sunda Kelapa dibangun tahun 1610 dengan kanaal sepanjang 810 m. Tahun 1817
pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1,825 m. Setelah jaman kemerdekaan
dilakukan rehabilitasi sehingga memiliki kanaalsepanjang 3,250 m dan dapat menampung
70 perahu layar dengan sistem Susun Sirih. Sampai sekarang pelabuhan ini masih
berfungsi sebagai pelabuhan yang melayani kapal-kapal tradisional, yaitu angkutan antar
pulau di Indonesia, dan berdasar SK Gubernur DKI Jakarta tanggal 6 Maret 1974 nama
Sunda Kelapa di pakai lagi sebagai pelabuhan di DKI Jakarta untuk kapal antar pulau. Di
kawasan ini sekarang diadakan pemugaran-pemugaran, antara lain untuk gedung
Museum Bahari (dulu bernama Pasar Ikan).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Pelabuhan Sunda Kelapa yang tadinya Pasar Ikan
banyak dikunjungi berbagai macam pedagang dari dalam maupun luar negeri, walaupun
Pelabuhan Tanjung Priok sudah dibangun.Dengan lajunya pembangunan secara setapak
demi setapak Pelabuhan Pasar Ikan mulai menyesuaikan arus pembangunan demi
kesempurnaan dan lajunya arus pelayaran. Mengingat Pelabuhan Sunda Kelapa
aktifitasnya tinggi, maka pada tahun 1977 kegiatan pendaratan ikan lewat jalur pelabuhan
tersebut dinyatakan tertutup berdasarkan Kep. Gub. KDKI No. 268 Tahun 1977, dimana
kegiatan pendaratan ikan melalui Pelabuhan Sunda Kelapa dinyatakan ditutup, namun
untuk aktifitas bongkar muat dan pelelangan ikan tanpa jalur laut dizinkan sampai
sekarang ini dimana diberikan klasifikasi menjadi Pos Retribusi Ikan.

Berdasarkan SK Dirjen Perla tanggal 1 April 1974 nama Pelabuhan Pasar Ikan menjadi
Pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan kemajuan-kemajuan yang diperoleh, Pelabuhan Sunda
Kelapa menjadi obyek pariwisata. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sangat
dominannya pelabuhan itu masih banyak perahu-perahu tradisional yang masih
memegang tradisinya masing-masing dan sekaligus merupakan pangkalan pelabuhan
kayu dari pelosok Nusantara.

Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan kayu menyediakan prasarana khusus untuk
bongkar muat kayu di Jakarta yang keberadaannya di bawah manajemen Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan RI. Aktifitas bongkar muat kayu
di pelabuhan ini kian hari semakin meningkat volumenya, sehingga terjadi perluasan-
perluasan prasarana pelabuhan, diantaranya lapangan penumpukan, gudang dan kolam
pelabuhan.
Arti nama Sunda Kelapa versi Wikipedia

Sunda Kelapa sekitar pertengahan abad ke-20.

Sunda Kelapa adalah nama sebuah pelabuhan dan tempat sekitarnya


di Jakarta,Indonesia. Pelabuhan ini terletak di kelurahan Penjaringan, kecamatan
Penjaringan, Jakarta Utara.
Meskipun sekarang Sunda Kelapa hanyalah nama salah satu pelabuhan di
Jakarta, daerah ini sangat penting karena desa di sekitar pelabuhan Sunda
Kelapa adalah cikal-bakal kota Jakarta yang hari jadinya ditetapkan pada
tanggal 22 Juni 1527. Kala itu Kalapa, nama aslinya, merupakan pelabuhan
kerajaan Pajajaran yang beribukota diPakuan (sekarang kota Bogor) yang direbut
oleh pasukan Demak dan Cirebon. Walaupun hari jadi kota Jakarta baru
ditetapkan pada abad ke-16, sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai jauh lebih awal,
yaitu pada zaman pendahulu Pajajaran, yaitu kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Tarumanagara pernah diserang dan ditaklukkan oleh
kerajaan Sriwijaya dari Sumatera.

Kastil Batavia, dilihat dari Kali Besar Barat oleh Andries Beeckman, sekitar
tahun 1656-1658

Sunda Kelapa
Bukti tertua mengenai eksistensi permukiman penduduk yang sekarang bernama
Jakarta adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara.
Prasasti tersebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman
kerajaan Hindu, Tarumanegaraketika diperintah oleh Raja Purnawarman.
Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri
diperkirakan baru muncul abad sepuluh.
Permukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga
dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan
orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu
lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasaiMalaka,
dan tahun 1522 Gubernur Portugis d'Albuquerque mengirim utusannya, Enrique
Leme yang didampingi olehTomé Pires untuk menemui Raja Sangiang
Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan
antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh sang
raja Pakuan Pajajaran tersebut guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam
menghadapi ancaman Kesultanan Demak, yang telah menghancurkan beberapa
kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja,
karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu
mempertahankan Sunda Kalapa.
Jayakarta
Pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak pada 1526, yang dipimpin
oleh Fatahillah, Panglima Perang asalGujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527,
dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah
Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di
bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan. Orang Sunda yang
membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk
beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari
orang yang berasal dari Demak danCirebon.
Sampai Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten
bersama saudagar Arab dan Tionghoatinggal di muara Ciliwung. Selain orang
Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten
waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Batavia

Peta Batavia tahun 1897


Lambang Kota Batavia

Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih
Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan
Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan
orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris,
sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan
fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa
lahan sekitar 1,5 hektare di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung,
yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda,
dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia
mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis,
dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa
meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang
mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu
benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang
memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta
hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh
kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan
kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di Belanda
memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang
orang Batavia.
Jan Pieterszoon Coen menggunakan semboyan hidupnya “Dispereert niet, ontziet
uw vijanden niet, want God is met ons” menjadi semboyan atau motto kota
Batavia, singkatnya “Dispereert niet” yang berarti “Jangan putus asa”.

Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk[1].


Jayakarta dibumiratakan dan dibangun bentengyang bagian depannya digali
parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga dikitari parit, pagar besi dan
tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat.
Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di
selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh
banyak parit.
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia
mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan
sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak
aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629)
yang tidak mau pulang.
Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram
(1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah
kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni
orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan
orang pribumi yang bebas.
Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8
Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia[2].

Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi
"Jakarta" oleh Jepang untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.

Arti sebuah nama


Konon kata penyair legendaris eropa W. Shakespeare: Apalah arti sebuah nama.
Bahwa ada yg berpendapat klo nama itu tidak berarti saya kurang sependapat.

Nama Sunda Kelapa yg kemudian berubah menjadi Jayakarta kala sang


Laksamana digjaya dari Cirebon bernama Fatahillah berhasil memimpin pasukan
muslim mengusir protugis. Lalu kemudian berubah lg menjadi Batavia sejak VOC
memulai pemerintahan koloninya di Nusantara. Kemudian setelah Sukarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia (bukan nusantara) dikembalikan?
lagi menjadi Jakarta. Dan sekarang menjadi Ibukota.
Klo memang nama tanpa arti kenapa harus berubah terus. Pastilah ada artinya
kenapa Fatahillah merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Pasti juga
karena arti dan tujuan tertentu VOC menggantinya dg nama Batavia. Pasti juga
ada makna dibalik pemakaian kembali nama Jayakarta meski sedikit disingkat
menjadi Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai