Anda di halaman 1dari 6

Diare Akut Disebabkan Bakteri

Umar Zein
Khalid Huda Sagala
Josia Ginting

Fakultas Kedokteran
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200
ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3
kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1,2
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14
hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat
disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare
3
infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara
berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB
(Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat.4,5
Dinegara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi masyarakat
tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan. Di Inggris 1
dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1 dari 6 orang pasien yang berobat
ke praktek umum menderita diare infeksi. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh
karena foodborne infections dan waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella
spp, Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens
dan Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta penduduk
setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap tahunnya di banding di
negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3 kali setiap tahun.6
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang kerumah
sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar
dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab terbanyak adalah Vibrio cholerae 01,
diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp, V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi,
Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan Salmonella paratyphi A.7

EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika Serikat
keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang praktek
dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare akut karena
infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah
sakit.dikutip dari 8
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan di
negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99
juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya.5 WHO memperkirakan ada
sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.9
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare
pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah kasus diare

1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada penderita rawat inap
dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di Indonesia adalah Shigella,
Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri
berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan
oleh Shigella flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC).11
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien diare akut
yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi, berpergian,
penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk penting dalam
mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12

PATOFISIOLOGI1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non
inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di
kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah.
Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik,
mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja
rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel
leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya
minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama
pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak
ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi bila
ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air
dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat
defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai
pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive
intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat
non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat
radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit
usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel
atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak
ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus.
Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan
terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit
dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan
produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih
mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.

2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer fimbria
atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria terdiri atas
lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen (CFA) yang lebih sering
ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli (EPEC),
yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan konsentrasi
kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi
intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga
like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada jenis
kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.

Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di
dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel sekitarnya. Invasi
dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi
inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat
vasoaktif lain. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan
sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa
lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.

Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella
dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin adalah
Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis
hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus.

Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang secara
biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera terdiri dari satu
subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas adenil siklase,
meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan
klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa
usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama dengan
CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular, mengaktifkan
protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal dan mengaktifkan
sekresi klorida.

Peranan Enteric Nervous System (ENS)


Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan reseptor
neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus mienterikus, neuron
nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan refleks
neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen kolinergik,
interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik. CT juga
menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan prostaglandin.
Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja pada ENS selain
yang bersifat antisekretorik pada enterosit.

3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
DIAGNOSIS

Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri

Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan yang
sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar belakang dan
lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat perjalanan,
1,3,13
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan umum Diare akut infeksi
bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat pada gambar 1.

Diarrhea, Nausea
or Vomitting
AR = 2-15 illnesses/person-yr

SYMPTOMATIC THERAPY ORAL


REHYDRATION THERAPY
Resolution
Assess
-Duration ( > 1 day) NO
-Severity (dehydration, Continued or
fever, blood, wt.loss) Recurrent
Illness
YES

Explore History of : OBTAIN STOOL


Fever, tenesmus Travel FOR WBC
Blood Otbreak (or Fecal Lactoferrin)
Seafood Sexual exp.
Antibiotic use Abd.pain
Wt. loss Immunosupp.

NONINFLAMMATORY INFLAMMATORY
(No WBC) ( WBC or Lactoferrin
Ex: Vibrio (cholerae et al) or continued illnesses)
E.coli (LT, ST) Ex: Shigella
C.perfringens Salmonella
S.aureus C.jejuni
B.cereus E.coli (EIEC)
Cytotoxic C.difficile

Culture for :
Shigella, Salmonella, C.jejuni

Consider :
Continue sypmtomatic
C.difficile cytotoxin
therapy : consider
further evaluation
Consider :
Empiric Antimicrobial Therapy

Gambar1. Pendekatan umum Diare infeksi Bakteri. Dikutip dari 1

4
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Manifestasi Klinis8,14,15

Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau demam,
tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat
dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan
renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang
lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang, mata
menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi
serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan
sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha
tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada keadaan
asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal
dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien
mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena
kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan timbul
anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus
ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan
asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan
pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat
menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.

Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan feses
adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap sebagai
penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah,
sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi
patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses
bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin
adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses
menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada
suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang
tersedia secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap pasien
dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin positip,
atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses untuk
EHEC O157 : H7.1
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus
diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah dan
pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14
Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya
tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.6

5
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Thank you for using PDFelement 6 Professional.

You can only convert up to 5 pages in the trial version.

To get the full version, please purchase the program here:

https://pdf.wondershare.com/ad/store/buy-pdfelement.html?f=p
ro

Anda mungkin juga menyukai