Anda di halaman 1dari 10

Kisah penyebaran agama Islam di tanah jawa secara besar-besaran ini mengandung rasa

kekaguman semua pihak, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari kalangan pemeluk
agama lain.

MASALAH SYEKH SITI JENAR

Kisah – kisah Wali Songo


MASALAH SYEKH SITI JENAR
Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar

Baca selengkapnya »
Blog Kisah-kisah Wali Songo

MASALAH ADAT ORANG-ORANG JAWA

Sidang-sidang Wali Songo


MASALAH ADAT ORANG-ORANG JAWA
Pada suatu ketika Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat orang jawa seperti
selamatan, bersaji dll tidak langsung ditentang, sebab orang jawa akan lari menjauhi ulama
jika ditentang secara keras. Adat istiadat itu diusulkan agar diberi warna atau unsur Islam.

Sunan Ampel bertanya atas usulan Sunan Kalijaga itu.


Apakah adat istiadat lama itu nantinya tidak mengkhawatirkan bila dianggap ajaran Islam?
Padahal yang demikian itu tidak ada dalam ajaran Islam. Apakah hal ini tidak akan
menjadikan bid’ah?

Pertanyaan Sunan Ampel ini dijawab oleh Sunan Kudus.


.............
Baca selengkapnya »
Blog Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN GUNUNG JATI

Kisah-kisah Wali Songo


SUNAN GUNUNG JATI
1. Asal Usul Sunan Gunung Jati

Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk
untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih berusia dua
puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah jawa berdakwah di
Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif
Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar
didaratan timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika
pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
2. Perjuangan Sunan Gunung Jati

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang
bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah
satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah
seorang penyebar Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati. Sedangkan
Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan
Gunung Jati berperang melawan Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati
adalah makam dekat Sunan Gunung Jati yang ada tulisan Tubagus Pasai adalah Fathullah
atau Fatahillah atau Faletehan menurut Lidah Orang Portugis......

KISAH DAN SEJARAH WALISONGO LENGKAP

• Pengertian/Arti Walisongo
• Sejarah Walisongo
• Tokoh Pendahulu Walisongo
• Teori Keturunan Hadramaut
• Teori Keturunan Cina
• Sumber Tertulis
• Refferensi

ARTI / PENGERTIAN WALISONGO

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti
mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang
pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi
(808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim
sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan
Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari
Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan
Syekh Subakir.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal
sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Drajat atau Raden Qasim
4. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
5. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Muria atau Raden Umar Said
8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
9. Sunan Kalijaga atau Raden Said
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat
Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian,
kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

SEJARAH WALISONGO / WALISANGA MENURUT PERIODE WAKTU

Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1]
majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa
angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama
lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun
dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya
digantikan oleh tokoh lainnya:
• Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419),
Maulana Ishaq, Maulana Ahmad
Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435),
Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin,
dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
• Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419
menggantikan Maulana Malik Ibrahim,
Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-
Maghrabi, Sunan Kudus yang
tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435
menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana
‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
• Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463
menggantikan Maulana Ishaq,
Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat
1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan
Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin,
dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
• Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat
1505), Raden Fattah yang
pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan)
yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan
Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
• Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481
menggantikan Sunan Ampel (wafat
1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan
Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550),
Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan
Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
• Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang
ahun 1517 menggantikan
ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540
menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518
menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan
yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569),
Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan
Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan
Muria (wafat 1551).
• Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan
Prapen yang tahun 1570
menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546
menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada
tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana
Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan
Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun
1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak
Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan
Muria.
• Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang
menggantikan Sunan Sedayu
(wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan
Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto,
Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-
Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin
Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh
(Panembahan Pekaos).

SYEKH JUMADIL QUBRO (TOKOH PENDAHULU WALISONGO)

Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far
Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain
Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri
Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai
salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo
(dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan
kuburnya.

TEORI KETURUNAN HADRAMAUT

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia
Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih
merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang
sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh
Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
# L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada
1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien
(1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang
Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di
Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang
bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu.
Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam
(Nabi Muhammad SAW).”
# Van Den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu
sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan
penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan
pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan
Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka
berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt
(Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh
peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik
kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih
awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum
Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab,
Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
# Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti
mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia.
Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India
pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
# Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul
Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa
Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat,
Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul
Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya
memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut
mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber
pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf
dan pengutamaan Ahlul Bait.
# Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan
Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar
yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14,
yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi,
seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga
besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia
Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama
Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

TEORI KETURUNAN CINA

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu
Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.
Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo
adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan
Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud
hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk
kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang
yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa
diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan
dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang
banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah
sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan
banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul
Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell
Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada
dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya
yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.

SUMBER TERTULIS TENTANG WALISONGO

1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat
Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem
(Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak
dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962)
juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh
(Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin
Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi
sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh
Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah
oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan
Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)


Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan
Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid
Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid
Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam
Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu
tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-
Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-
Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-
Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-
Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-
Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi
Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad
Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang
Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek
Bantal.
Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam
Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana
Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu:
Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-
Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah
binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/
Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman
Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid
Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam
di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit.
Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan
perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun
1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (Raden Rahmat)


Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut
riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang
bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab
lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib
Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid
Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid
Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-
Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra
binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh
para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah
satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati
yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga
dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti
Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan
Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi
Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan
Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak
di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)


Bonang, sederetan gong kecil diletakkan horisontal.
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban
bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik
penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan
tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan
Jawa ialah dengan memasukkan rebab danbonang, yang sering dihubungkan dengan
namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het
Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan
Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada
tahun 1525.

Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban
bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia
menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai
pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai
wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang
macapat Pangkurdisebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya
terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat
pada 1522.

Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil
atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan
Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan
Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-
Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus
memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima
perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak
berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi
muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang
Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada
tahun 1550.

Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan
Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya
berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke
kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang
menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden
Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah,
antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-
Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan
Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga
Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

Sunan Muria (Raden Umar Said)


Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan
Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah
dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan
Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Gapura Makam Sunan Gunung Jati diCirebon, Jawa Barat
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra
Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan
keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan
Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang
sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana
Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di
Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Share this:

Anda mungkin juga menyukai