Radioimmunoassay merupakan metode laboratorium (in vitro method) untuk mengukur dengan relative tepat jumlah
zat yang ada pada tubuh pasien[1] dengan isotop radioaktif yang bercampur dengan antibody yang disisipkan ke dalam
sampel. Radioimmunoassay merupakan revolusi dalam pemeriksaan medis. Pada tahun 2009, teknik ini masih
revolusioner karena merupakan blueprint untuk pengembangan metode lebih lanjut dalam teknik laboratorium di
bidang medis.
Dasar-dasar teknik radioimmunoassay (RIA) atau prinsip competitive-binding radioassay ini pertama kali
dikembangkan pada tahun 1950-an oleh Solomon Berson dan Rosalyn Yallow[1,2] untuk memeriksa volume darah,
metabolism iodine, menentukan kadar hormone insulin dalam plasma darah. Dengan menggunakan prinsip ini titer
atau kadar berbagai hormon, antigen, antibodi, enzim dan obat dalam darah dapat diukur dengan ketepatan dan
ketelitian yang sangat tinggi. Karena limit deteksi yang sangat baik ini maka RIA digunakan sebagai peralatan
laboratorium standar.
RIA memanfaatkan radioaktivitas dari isotop radioaktif yang diinjeksikan ke dalam sampel. Cacahan radiasi dideteksi
menggunakan pencacah seperti detector Geiger-Muller, scintillator, dan sebagainya.
Pemanfaatan Radioaktivitas
Teknik RIA adalah suatu teknik penentuan zat-zat yang berada dalam tubuh berdasarkan reaksi imunologi yang
menggunakan tracer radioaktif[3]. Tracer radioaktif adalah isotop radioaktif yang akan meluruh pada melalui proses
radioaktivitas. Radioaktivitas adalah proses peluruhan isotop tidak stabil (radioaktif) menjadi isotop yang lebih stabil
dengan memancarkan energy melalui materi berupa partikel-partikel (alpha atau beta) ataupun gelombang
elektromagnetik (sinar gamma)[4]. Intensitas dari sumber radioaktif dinyatakan oleh transformasi inti rata-rata per
satuan waktu. Satuan radioaktivitas dinyatakan dengan Curie (Ci). 1 Ci awalnya didefinisikan sebagai radiasi yang
dipancarkan oleh 1 gram 226Ra, tetapi definisi ini diubah sebagai kemurnian dari peningkatan nuklida. Nilai absolute
dari 1 Ci sama dengan 3,7×1010 disintegrasi/sekon. Satuan lain dari radioaktivitas adalah Becquerel (Bq), 1 Bq sama
dengan 1 disintegrasi/sekon[5,6].
RIA memiliki 2 keampuhan metode[3] antara lain adalah: Pertama, pengukuran radioaktivitas memberikan kepekaan
dan ketelitian yang tinggi serta tidak terpengaruh oleh factor-faktor lain yang terdapat dalam system. Kedua, reaksi
immunologi berlangsung secara spesifik karena antigen hanya dapat bereaksi dengan antibody yang sesuai dengannya
sehingga zat lain atau antigen lain yang tidak sesuai karakteristiknya tidak dapat ikut campur dalam reaksi.
Prinsip Kerja
Prinsip radioimmunoassay dapat diringkas sebagai persaingan reaksi dalam campuran yang terdiri dari
antigen/hormon berlabel radioaktif, antibodi dan antigen/hormon yang tidak berlabel radioisotop. Antigen radioaktif
dicampur dengan sejumlah antibodi. Antigen dan antibodi berikatan satu sama lain menjadi satu zat. Kemudian
ditambahkan zat yang tidak diketahui jenisnya yang mengandung sedikit antigen. Zat baru ini merupakan zat yang
diuji[1,9].
Secara sederhana digambarkan dengan asumsi bahwa antibodi yang dimaksud berkonsentrasi sangat tinggi untuk
dikombinasikan dengan antigen atau antigen yang berlabel dalam molekul antibodi. Pada saat ikatan kadar protein dan
steroid radioaktif konstan, penghambatan ikatan hormon radioaktif dengan ikatan protein merupakan fungsi dari
jumlah hormon nonradioaktif yang berada pada sampel.
Secara ringkas, skema proses pengujian zat dengan teknik radioimmunoassay diperlihatkan pada gambar di bawah ini.
Telah banyak pemanfaatan teknologi nuklir di bidang kedokteran, salah satudiantaranya adalah Radioimmunoassay
(RIA) , yang merupakan aplikasi teknologi nukliryang dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi antigen. Prinsip
utama dari teknik RIAadalah dengan memanfaatkan interaksi antara antigen dan antibody. RIA adalah
suatu cara pengukuran yang bersifat indirect, hormon (antigen) yang dilabel radio isotop digunakanuntuk mendeteksi
dan mengukur hormon dalam sampel, pada umumnya radio isotop yangdigunakan dalam teknik RIA adalah Iodium-
125. Antigen yang ditempeli dengan Iodium-125 akan menjadi perunut 125I-Antigen. Kemudian kadar dari antigen
tersebut diukurdalam plasma darah.Teknologi nuklir sekarang ini semakin berkembang seiring dengan
meningkatnya pemanfaatan teknologi nuklir dalam berbagai bidang. Hal ini juga didukung dengansemakin
berkembangnya teknologi. Pemanfaatan teknik nuklir terutama adalah
yang bertujuan untuk kedamaian dan kesejahteraan telah banyak digunakan dan diaplikasikan.Salah satu contohnya
adalah pemanfaatan teknik nuklir dalam bidang kedokteran.Salah satu cabang ilmu kedokteran yang memanfaatkan
teknologi nuklir adalahkedokteran nuklir. Kedokteran nuklir menggunakan sumber radiasi terbuka(“unsealed ”)
dari disintegrasi inti radionuklida buatan (radiofarmaka) untuk tujuan diagnostik dan terapidengan berdasarkan pada
perubahan fisiologi, anatomi, biokimia, metabolisme danmolekuler dari suatu organ atau sistem dalam tubuh. Dalam
kedokteran nuklir, radioisotopdapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien (in-vivo) maupun hanya direaksikan saja
dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urin, dan sebagainya yang diambil daritubuh pasien (in-
vitro).
Radioimmunoassay
(RIA) merupakan salah satu teknik analisis dalam studi in-vitro.Teknik ini sangat peka serta spesifik dan biasanya
digunakan untuk mengetahui kandunganzat biologik tertentu dalam tubuh yang jumlahnya sangat kecil, misalnya
hormon insulinatau tiroksin, enzim, dan juga penanda tumor (CA 15-3, CA-125, PSA dan lain-lain).Prinsip
pemeriksaan RIA adalah kompetisi antara antigen (bahan biologi yang diperiksa)dengan antigen radioaktif dalam
memperebutkan antibodi yang jumlahnya sangat terbatas.Pemeriksaan dengan teknik radioimmunoassay (RIA)
dilakukan dengan bantuandetektor sinar gamma yang disusun dengan suatu sistem instrumentasi. Detektor
yang digunakan dapat berupa detektor Geiger-Muller (GM), sintilasi maupun detektorsemikonduktor dimana
penggunaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Dalam pemilihan detektor hal penting yang perlu diperhatikan dalam pencacahan untuk analisisradioimmunoassay
(RIA) ini adalah parameter efisiensi.Sampai saat ini alat pencacah radioimmunoassay (RIA) yang ada
menggunakansistem manual, artinya penempatan sampel dilakukan dengan manual satu persatukemudian dilakukan
pencacahan serta tidak ada fasilitas memori sebagai penyimpan datadan ada yang menggunakan sistem otomatisasi
yang pada dasarnya bersifat fleksibel, portable dan programmable.
Metode pada Radioimmunoassay (RIA)
Kedokteran nuklir adalah salah satu ilmu kedokteran yang memanfaatkan materialradioaktif untuk keperluan
diagnosis, terapi serta penelitian. Secara lengkap definisiKedokteran Nuklir menurut WHO adalah ilmu kedokteran
yang dalam kegiatannya
menggunakan sumber radiasi terbuka (“unsealed”) baik untuk tujuan diagnosis, maupun untuk pengobatan penyakit
(terapi), atau dalam penelitian kedokteran.Kedokteran Nuklir mencakup pemasukan radioisotop ke dalam tubuh pasien
(studi in-vivo) dan dapat pula dengan mereaksikannya dengan bahan biologis seperti darah,cairan lambung, urine, dan
sebagainya, yang berasal dari tubuh pasien, yang lebih dikenalsebagai studi in-vitro (dalam tabung percobaan).Teknik
radioimmunoassay (RIA) adalah termasuk studi in-vitro, pertama kaliditemukan pada tahun 1960 oleh Solomon
Berson dan Rosalyn Yalow. Teknik inidigunakan untuk mengetahui kandungan zat biologik tertentu dalam tubuh yang
jumlahnyasangat kecil, misalnya hormon insulin, tiroksin, enzim dan lain-lain. Prinsip pemeriksaanRIA adalah
kompetisi antara antigen (bahan biologi yang diperiksa) dengan antigenradioaktif dalam memperebutkan antibodi
yang jumlahnya sangat terbatas.Dasar kerja dari RIA adalah untuk mengetahui perbandingan konsentrasi antibodiyang
terdapat pada bagian dalam tabung dan antigen yang terdapat dalam sampel denganmenggunakan radioaktif. Analisis
RIA sederhana yaitu dengan mencampur isotop denganantibodi kemudian disisipkan pada sampel darah pasien
Substansi radioaktif dalam darah akan menggantikan posisi radioaktif pada antibodiyang mengakibatkan timbulnya
radiasi. Radiasi yang dipancarkan kemudian diukur untukmenentukan berapa banyak subtansi yang terkandung pada
darah. Cacahan radiasidideteksi menggunakan pencacah seperti detektor Geiger-Muller (GM), sintilator,
dansebagainya.
a.Prinsip Non-Kompetitif
Prinsip non kompetitif yang paling sering digunakan adalah sandwich, yang mana prinsip dasarnya adalah reaksi suatu
antibodi dalam konsentrasi yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen.
b.Prinsip Kompetitif
Sejumlah tertentu antibodi dimobilisasi (ditempelkan) pada suatu fase padat misalkandinding tabung plastik. Sampel
pasien yang mungkin mengandung biomolekul,misalkan patogen ditambahkan bersama sejumlah tertentu biomolekul
bertandaradioaktif yang akan berinteraksi dengan antibodi yang timbul. Assay kompetitifantibodi berlabel enzim (E-
AB). Antigen (L) terikat pada fasa padat dan antigen daricontoh berkompetisi untuk mendapatkan tempat pada
molekul antibodi berlabel enzim yang terbatas. Assay ‘sandwich’ dimana suatu antigen multivalen (L) pertama-tama
diikatkan pada suatu antibodi poliklonal (AB-1) yang dimobilisasi
Diluar kekurangan yang dimiliki oleh teknik RIA, teknik ini banyak dimanfaatkan pada bidang medis untuk keperluan
diagnosis, terapi pengobatan maupun penelitian. Untukkeperluan diagnosis, teknik RIA diantaranya digunakan untuk
pendeteksian kandunganobat-obatan terlarang (Narkotika) pada darah, selain itu teknik RIA juga digunakan
untuk pemeriksaan kandungan virus dalam darah pada kantung donor darah. Karena tingkatsensitivitas yang tinggi,
teknik Radioimmunoassay juga digunakan untuk pendeteksian dinidari gejala kangker, diantaranya kanker tiroid.
Selain itu teknik Radioimmunoassay jugadigunakan dalam penelitian neurotransmitters, yaitu zat yang terdapat pada
otak manusia.
Detektor
Detektor terdiri dari suatu medium yang menyerap energi radiasi dan mengubahnyakedalam bentuk sinyal. Jenis
detektor yang umum digunakan dalam teknik RIA inidiantaranya adalah detektor Geiger Muller (GM) dan detektor
sintilasi.Berikut ini adalah blok diagram Pencacah RIA :
a.Detektor SintilasiSintilasi pada dasarnya adalah suatu proses interaksi radiasi dengan bahan sintilatorsehingga terjadi
suatu keadaan eksitasi dari elektron orbital ke suatu tingkat energiyang lebih tinggi beberapa saat dan kembali ke
keadaan awal dengan memancarkan cahaya. Detektor sintilasi pada umumnya terdiri dari bahan sintilator yang
dapatmemancarkan cahaya apabila terkena radiasi dan photomultiplier tube (PMT) yangdigunakan untuk mengubah
percikan cahaya menjadi arus listrik.
b.Detektor Geiger Muller (GM)Detektor Geiger Muller atau yang biasa disebut GM merupakan salah satu
jenisdetektor isian gas. Detektor ini berupa tabung dengan dinding dan poros yang terbuatdari logam dan diisi dengan
gasi isian, misalkan argon atau butan. Detektor GeigerMuller memperlihatkan pulsa yang cukup tinggi sehingga tidak
memerlukan penguatan (amplifikasi) untuk radiasi baik dengan energi rendah maupun tinggi.Kekurangan detektor ini
adalah tidak mampu untuk membedakan energi radiasi yangmasuk ke dalam detektor.
Penggunaan catu daya tegangan tinggi pada sistem pencacah gamma sangatmenentukan kualitas pulsa yang dihasilkan
oleh detektor. Catu daya tegangan tinggimemiliki keluaran yang dapat diatur hingga 1000 Volt DC. Sumber tegangan
yangdigunakan dalam sistem ini ada dua macam yaitu tegangan tinggi untuk detektor dantegangan rendah untuk
rangkaian elektroniknya.
Penguat awal digunakan untuk melakukan pembentukan pulsa pendahuluan,mencocokan impedansi keluaran detektor
dengna kabel signal masuk ke penguat.
Untuk memperkuat pulsa sampai dengan amplitudo yang dapat dianalisis dengan
alat penganalisa tinggi pulsa. Kemampuan suatu penguat untuk memperkuat pulsa disebutdengan gain.
Penganalisa saluran tunggal mempunyai saluran pencacahan yang dibatasi olehsuatu ambang (treshold) dan celah
yang lebarnya dapat diatur, yang biasa disebut jendela(window). Hanya pulsa-pulsa yang mempunyai tinggi amplitudo
lebih besar dari padaharga ambang dan lebih kecil dari batas atas jendela yang dapat diteruskan menuju alatcacah.
F. Pencacah (Counter)
1.Perangkat RIA dengan media sampel manual tanpa PCTipe perangkat RIA ini ada yang menggunakan banyak
detektor, seperti multi well gamma counters dan multi detectors gamma counters.
Alat RIA tipe inimembutuhkan banyak detektor. Sistem pencacahannya manual dan operator harus berada
ditempat sampai mendapatkan hasil pencacahan. Secara elektronik perangkattersebut masih banyak menggunakan
rangkaian analog. Akusisi datanya tanpa PC,hanya menggunakan keypad dan printer.
Perangkat RIA tipe seperti ini adalah gamma ganagement system,yaitu perangkatRIA media sampel manual multi
detektor. Detektor yang digunakan
jumlahnya bervariasi dari 6 sampai 10 detektor. Sistem akusisi datanya sudah memakaikomputer, dengan sistem
interfacenya menggunakan parallel port.
Radioimmunoassay (RIA) merupakan metode laboratorium (in vitro method) untukmengukur dengan relatif tepat
jumlah zat yang ada pada tubuh pasien dengan isotopradioaktif yang bercampur dengan antibodi yang disisipkan ke
dalam sampel.Radioimmunoassay merupakan revolusi dalam pemeriksaan medis. Pada tahun 2009,teknik ini masih
revolusioner karena merupakan blueprint untuk pengembangan metodelebih lanjut dalam teknik laboratorium di
bidang medis. Dasar-dasar teknikradioimmunoassay (RIA) atau prinsip competitive-
binding radioassay ini pertama kalidikembangkan pada tahun 1960-an oleh Solomon Berson dan Rosalyn Yallow
untukmemeriksa volume darah, metabolism iodine, menentukan kadar hormone insulin dalam plasma darah. Dengan
menggunakan prinsip ini titer atau kadar berbagai hormon, antigen,antibodi, enzim dan obat dalam darah dapat diukur
dengan ketepatan dan ketelitian yangsangat tinggi. Karena limit deteksi yang sangat baik ini maka RIA digunakan
sebagai peralatan laboratorium standar. RIA memanfaatkan radioaktivitas dari isotop radioaktifyang diinjeksikan ke
dalam sampel. Cacahan radiasi dideteksi menggunakan pencacahseperti detector Geiger-Muller, scintillator, dan
sebagainya.
1.7.
Prinsip Kerja
Prinsip kerja radioimmunoassay dapat diringkas sebagai persaingan reaksi dalamcampuran yang terdiri dari
antigen/hormon berlabel radioaktif, antibodi danantigen/hormon yang tidak berlabel radioisotop. Antigen radioaktif
dicampur dengansejumlah antibodi. Antigen dan antibodi berikatan satu sama lain menjadi satu zat.Kemudian
ditambahkan zat yang tidak diketahui jenisnya yang mengandung sedikitantigen. Zat baru ini merupakan zat yang
diuji. Secara sederhana digambarkan denganasumsi bahwa antibodi yang dimaksud berkonsentrasi sangat tinggi untuk
dikombinasikandengan antigen atau antigen yang
Pemanfaatan Radioaktivitas
Teknik RIA adalah suatu teknik penentuan zat-zat yang berada dalam
tubuh berdasarkan reaksi imunologi yang menggunakan tracer radioaktif. Tracer radioaktif adalah isotop radioaktif
yang akan meluruh pada melalui proses radioaktivitas.Radioaktivitas adalah proses peluruhan isotop tidak stabil
(radioaktif) menjadi isotop yanglebih stabil dengan memancarkan energy melalui materi berupa partikel-partikel
(alphaatau beta) ataupun gelombang elektromagnetik (sinar gamma). Intensitas dari sumberradioaktif dinyatakan oleh
transformasi inti rata-rata per satuan waktu. Satuanradioaktivitas dinyatakan dengan Curie
(Ci). 1 Ci awalnya didefinisikan sebagai radiasiyang dipancarkan oleh 1 gram 226 Ra, tetapi definisi ini diubah
sebagai kemurnian dari peningkatan nuklida. Nilai absolute dari 1 Ci sama dengan 3,7×10
10 disintegrasi/sekon.Satuan lain dari radioaktivitas adalah Becquerel (Bq), 1 Bq sama dengan 1disintegrasi/sekon
Flowsitometri merupakan suatu metode yang diaplikasikan untuk mampu menganalisa berbagai komponen seluler
(asam nukleat, lemak, protein dll),organel (lisosom, mitokondria dll), bahkan fungsi ( viabilitas, aktivitas enzimatis
dll).Salah satu manfaat dari flowsitometri adalah analisa siklus sel. Analisa siklus sel dengan flowsitometri
merupakan hal yang menarik untuk dikaji baik pada penelitian dasar maupun pada ranah biomedik.
Penerapan analisis siklus sel pada berbagai bidang memiliki poteni yang besar untuk terus dikembangkan. Pada
bidang farmakologi, flowsitometri menyediakan kesempatan untuk menyelidiki efek terapi obat secara in vitro seperti
efikasi dari faktor-faktor anti tumor untuk mengembangkan terapi baru. Pada onkologi, jumlah DNA sel dan
distribusinya pada berbagai fase dalam siklus sel dapat dianalisa untuk mendeteksi sel yang patologisuntuk
menentukan prognosis maupun untuk monitoring terapi. Analisa siklus sel dengan flowsitometri juga tidak terbatas
digunakan pada model eksperimen selain hewan dan famili tumbuhan tingkat tinggi saja, namun juga dapat digunakan
untuk meningkatkan pengetahuan pada model eksperimen seperti bakteri, jamur, ataupun alga uniseluler. Untuk
aplikasi analisa siklus sel dengan flowsitometri lainnya akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini:
Analisa monoparametrik atau multiparametrik dari siklus sel termasuk studi kinetika dapat digunakan untuk
mengevaluasi efek obat in vitro. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas, fase aksi sepesifik,
pengaruh pada metaolisme sel atau posisi pada siklus dimana sel tersebut terbunuh oleh karena suatu obat. Oleh
karena manfaat tersebut, metode ini dapat mengkarakterisasi sifat obat dan memberikan prediksi efek obat in vivo dan
mengevaluai sensitivitas atau resisitensi untuk dapat menentukan langkah selanjutnya termasuk penggantian terapi.
B. Patologi tumoral
Berbagai tumor baik ganas maupun lesi prekanker memiliki asosiasi dengan abnormalitas pada jumlah DNA yang
didapat dari aberasi kromosomal. Sehingga, dibutuhkan informasi yang dapat didapat dari flowsitometri sehingga
nantinya diperoleh informasi berupa indeks DNA. Indeks DNA merupakan rasio antara konten relatif DNA pada sel
tumor pada fase G1 dengan sel diploid normal.Ketika sel memiliki abnormalitas konten DNA, indeks DNA akan
berbeda dari satu (1) dan disebut populasi aneuploid. Indeks DNA yang dihitung dengan flowsitometri memiliki
korelasi yang baik dengan jumlah kromosom terutama pada leukimia dan tumor padat.Populasi aneuploidi merupakan
indikator yang baik untuk mengetahui adanya tumor ganas. Akan tetapi. Konten DNA memiliki keterbatasan sebagai
metode diagnostik karena resolusi analisis kadangkala tidak cukup untuk menunjukkan populasi yang berbeda sedikit
dengan sel diploid seperti pada beberapa jenis leukimia.
Repartisi sel pada berbagai fase siklus sel merupakan informasi yang penting olehkarena beberapa tumor memiliki
karakter khas berupa proliferasi seluler yang tak terkontrol. Jumlah sel pada fase S, secara langsung yang memiliki
hubungan erat dengan proliferasi merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Akan tetapi, walaupun pada beberapa
jenis tumor berkorelasi dengan tingginya angka proliferasi seperti pada acute myeloblastic leukemias dan limfoma,
juga terdapat sel yang sangat rendah tingkat proliferasinya sepertiacute lymphoblastic leukemias dantumor padat
terutama tumor diploid. Oleh karena itu, proliferasi seluler memiliki keterbatasan sebagai alat diagnostik. Hal ini dapat
disebabkan oleh karena perbedaan presentasi sel pada fase S (S%) tergantung pada besarnya tumor atau lokasi
pengambilan.
Flowsitometri juga dapat digunakan sebagai alat monitoring terapi dengan menganalisa pada populasi tumor. Metode
ini dapat digunakan untuk mengevaluasi efek radioterapi atau kemoterapi Analisa dapat mendeteksi resistensi terhadap
regimen terapi yang nantinya dapat menentukan keputusan berikutnya. Pada kasus leukimia dan limfoma,
flowsitometri dapat menentukan efisiensi terapi. Metode ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi sel tumor yang
tersisa yang dapat menyebabkan relaps. Konten DNA dapat dianalisa secara bersamaan dengan indikator tumor untuk
mendeteksi adanya modifikasi dari ekspresi yang mungkin menandai adanya transisi dari tingkatan keganasan tumor
maupun respon terhadap terapi.
C. Aplikasi lainnya
Secara aplikasi selain pada terapi kanker dan farmakologi, masih banyak manfaat dari analisa siklus sel dengan
flowsitometri. Analisis siklus sel secara luas terbukti mampu mengambil peran luas pada peningkatan pengetahuan
dalam berbagai bidang ilmu seperti pada studi sperma dan sel testikular, atau pada interaksi antara virus dan sel.
Analisa ini juga terbukti pada beberapa tipe sel lain diluar sel yang lazim dianalisa seperti pada bakteri, jamur,
fitoplankton ataupun alga.
Pada studi sel testikular, analisa ini mampu membantu membedakan antara sel haploid, diploid, dan tetraploid
berdasarkan jumlah DNAnya. Selain itu, hasil yang lebih akurat mampu didapatkan berkat adanya analisa bivariat
pada DNA dan RNA setelah pemberian pewarnaan dengan acridine orange atau setelah inkorporasi dengan BrdUrd.
Analisa DNA juga ditujukan untuk mengetahui alterasi sel atau modifikasi pada berbagai subpopulasi setelah terpapar
oleh zat kimia tertentu atau terpapar oleh radiasi ionik. Selain itu, terdapat kemungkinan dalam menentukan kualitas
dari cairan semen atau untuk membedakan antara sel normal dengan sel tumor testis berdasarkan kondensasi kromatin
seluler setelah in situ denaturasi DNA dan pewarnaan dengan acridine orange.
Pada taraf interaksi virus dengan sel, beberapa studi yang fokus pada Simian virus 40 (SV40) mendapatkan bahwa sel
yang terinfeksi terinduksi untuk melakukan sintesis DNA yang berkorelasi dengan peningkatan konten DNA. Analisa
multiparametrik pada konten DNA dan antigen T darusel yang terinfeksi SV40 juga telah dilakukan untuk
membedakan gen yang diregulasi oleh siklus sel atau yang meregulasi siklus sel.
Selain manfaat yang dapat diamati pada hewan atau pada tumbuhan tingkat tinggi, analisa siklus sel telah
terealisasikan untuk diaplikasikan pada bakteri, terutama untuk proses studi efek obat. Analisa ini juga dapat
digunakan untuk studi proses evolusi pada populasi jamur, efek stress lingkungan pada spesies fitoplankton ataupun
proliferasi dari Euglena gracilis akibat pengaruh vitamin B12.
Flow Cytometry
Pada 1934, Moldavan pertama kali memperkenalkan alat hitung sel darah otomatik dengan metode flow through.
Kemudian, pada 1950 dikomersialkan alat dengan metode impedansi, tetapi masih menggunakan pengenceran bahan
di luar alat. Sepuluh tahun kemudian, pengenceran tidak dilakukan di luar alat, tapi secara otomatis.
Pada 1953, Crossland and Taylor memperkenalkan teknik penghitungan sel darah, di mana sel dialirkan dalam saluran
tunggal, menggunakan bahan cair sebagai laminar sheat flow, dan sel diperiksa dengan metode pendar cahaya.
Pada 1965, diperkenalkan pengukuran sel dengan pendar cahaya yang ditangkap oleh detektor di lebih dari satu sudut
dan menggunakan sinar dengan intensitas kuat, yaitu sinar laser. Sinar ini oleh sel itu dapat dipantulkan, dibias,
bahkan tembus ke dalam sel, sehingga dapat mendeteksi intrasel.
Metode flow cytometry terus berkembang dengan perkembangan elektrik komputer dan reagen, termasuk
digunakannya monoklonal antibodi. Sampai saat ini, pengukuran dengan metode flow cytometrymenggunakan label
fluoresensi, selain mengukur jumlah, ukuran sel, juga dapat mendeteksi petanda dinding sel, granula intraselular,
struktur intra sitoplasmik, dan inti sel.
Flow cytometry adalah metode pengukuran (metri) jumlah dan sifat-sifat sel (cyto) yang dibungkus oleh aliran cairan
(flow) melalui celah sempit yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser
menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik
molekul pada permukaan sel maupun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau
lebih probe. Oleh karena itu, instrumen dapat mengidentifikasi setiap jenis aktivitas sel dan menghitung jumlah
masih-masing dalam suatu populasi campuran.
Setiap sel yang melewati berkas sinar laser akan menyebabkan sinar laser terpencar (scattered) ke dua arah,
yaitu forward scatter (FSC) yang pararel dengan arah sinar dan side scatter (SSC) yang arahnya tegak lurus pada arah
sinar laser. Besarnya FSC berbanding lurus dengan atau menggambarkan volume atau ukuran sel. Sel yang mati
(walaupun penampakan mikroskopis sebaliknya), terlihat lebih kecil dibanding sel hidup. Sel darah merah juga
berbeda dengan sebenarnya, umumnya lebih kecil dari semua sel darah. Adapun SSC ditentukan oleh morfologi dan
emisi sinar fluoresen yang dipancarkan oleh fluorokrom yang digunakan untuk mewarnai sel. Sinyal-sinyal itu
dikonversikan menjadi angka digital dan diperlihatkan pada suatu histogram yang dapat dianalisis untuk memperoleh
informasi tentang karakteristik sel bersangkutan.
Untuk identifikasi antigen, dapat digunakan berbagai zat pewarna fluorokrom. Fluorokrom merupakan suatu senyawa
fluoresein yang dapat berpendar saat mengalami eksitasi oleh sinar dengan panjang gelombang tertentu. Berikut
beberapa fluorokrom yang sering digunakan dalam flow cytometry, yaitu fluorescein isothyocyanate (FITC) yang
memancarkan sinar hijau-kuning dengan emisi 519 nm, 4,6-Diamidino 2-Phenylinidole (DAPI) dengan emisi 455
nm, propidium iodide (PI) dengan emisi 617 nm dan phycoeritrin (PE) yang memancarkan sinar merah-orange dengan
emisi 578 nm.
Flow cytometry merupakan sebuah metode yang secara luas digunakan untuk meneliti ekspresi permukaan sel dan
molekul sellular, menggolongkan dan mendeskripsikan tipe sel yang berbeda dalam populasi sel yang heterogen,
menaksirkan kemurnian subpopulasi yang terisolasi, dan menganalisis ukuran dan jumlah sel.
Flow cytometry dengan cell sorting (fluorescence activated cell sorter, FACS) memiliki aplikasi dalam sejumlah
bidang, termasuk biologi molekuler, patologi, imunologi, biologi tanaman, dan biologi kelautan. Beberapa di
antaranya, meliputi:
a. Analisis dan pemisahan subpopulasi limfosit dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen
permukaan yang diberi label dengan zat warna fluorokrom.
b. Pemisahan limfosit yang memproduksi berbagai kelas imunoglobulin dengan menggunakan antibodimonoklonal
terhadap kelas dan subkelas Ig spesifik dan tipe L-chain.
d. Analisis kinetik atau siklus sel dan kandungan DNA atau RNA.
B. Flow Cytometer
Flow cytometer merupakan salah satu instrumen yang menggunakan metode flow cytometry. Alat tersebut memiliki
kemudahan serta keunggulan dibanding dengan cara konvensional. Selain dapat mengukur berbagai macam
karakteristik sel dalam waktu yang cepat secara simultan, teknologi ini juga memiliki ketepatan dan ketelitian yang
tinggi.
Flow cytometer pada dasarnya adalah mikroskop yang dilengkapi dengan komponen yang berfungsi untuk melalukan
individu sel secara sekuensial melalui berkas cahaya (laser) yang akan dianalisis. Komponen penyusunnya terdiri atas
tiga sistem, yaitu fluida, optik, dan elektronik.
Sistem fluida mengarahkan sel melalui cahaya (laser) untuk dianalisis, terdiri darisheath fluid dan central
channel. Tenaga hidrodinamik mengakibatkan sel satu per satu melewati central channel. Fluida merupakan bagian
yang paling sensitif pada flow cytometer. Jika terjadi kesalahan, semuanya akan salah dan fatal. Masalahnya sebagai
berikut:
b. Gelembung udara, akan mengganngu aliran dan yang akan diinterpretasikan sebagai sel.
c. Leaks, kurangnya tekanan udara dalam sistem akan mengganggu aliran selular dan akan memengaruhi hasil.
- Clumps of cells. Hal ini akan “clog” mesin dan berakibat kesulitan utama dan “headaches”. Kejadian ini dapat
diatasi dengan pre-filtrasi populasi sel tidak lebih besar dari 50 um filter.
- Konsentrasi sel yang tidak sesuai. Semua larutan memiliki proporsi partikel debu yang rendah. Suatu flow rate
yang lebih besar sekitar 4.000 sel/sekon meningkatkan resiko pada pengukuran multiple cellsecara simultan.
2. Sistem optik
Sistem optik terdiri atas laser sebagai sumber cahaya dan mengeksitasi (fluorokrom) sel dalam aliran sampel, serta
filter optik untuk mengarahkan sinyal cahaya yang dihasilkan ke detektor yang sesuai.
Alasan penggunaan laser, karena kemampuannya untuk difokuskan menjadi berkas cahaya elliptis. Ini terkait dengan
komponen-komponen fluida terkait. Laser memancarkan cahaya koheren dan merupakan berkas sangat pararel. Hal ini
memungkinkan dasar pengukuran yang berbasis pada gangguan berkas (beam disturbance) dapat dilakukan (forward
scatter, side scatter). Penggunaan berkas terfokus yang elliptis dapat menghasilkan hanya cahaya fluoresensi
dari single cell(size dependent) yang dapat diukur setiap saat.
Pengukuran sel pada flow cytometer menggunakan prinsip pendar cahaya (light scattering). Prinsip light
scattering adalah metode di mana sel dalam suatu aliran melewati celah di mana berkas cahaya difokuskan ke sel
(sensing area). Apabila cahaya tersebut mengenai sel, akan dihamburkan, dipantulkan, atau dibiaskan ke semua arah.
Beberapa detektor yang diletakkan pada sudut-sudut tertentu akan menangkap berkas-berkas sinar sesudah melewati
sel. satu detektor diletakkan berhadapan dengan sumber sinar (FSC), beberapa diletakkan dengan membentuk sudut
(SSC), dan detektor fluoresen. FSC berkorelasi dengan volume atau ukuran sel, sedangkan SSC berhubungan dengan
kompleksitas bagian dalam partikel, seperti ukuran nukleus, tipe granula sitoplasma, dan kekasaran membran plasma.
Deteksi sinyal dilaksanakan dengan menggunakan kombinasi photomultiplier (cathode-ray) dan rangkaian elektronika.
Sinyal yang dibangkitkan oleh setiap sel pada dasarnya merupakan oscilloscope trace. Dengan melakukan integrasi
sinyal ini, akan dihasilkan suatu nilai numerik bagi fluoresensi maupun nilai SSC.
3. Sistem elektronik
Sistem elektronik berfungsi untuk mendeteksi cahaya dan mengubahnya ke bentuk sinyal digital. Data yang
dihasilkan oleh flow cytometer dapat diplot dalam satu dimensi, untuk menghasilkan histogram atau dalam dua
dimensi plot titik, atau bahkan dalam tiga dimensi. Plot sering dibuat pada skala logaritmik, karena emisi pewarna
fluoresen yang berbeda. Data akumulasi menggunakan flow cytometer dapat dianalisis menggunakan perangkat lunak
komputer, seperti WinMDI Flowjo, FCS Ekspres, VenturiOne, CellQuest Pro, atau Cytospec.
Pengukuran kinetik pertumbuhan sel diperlukan untuk menentukan prognosis kanker, mengetahui dinamika sel T pada
infeksi HIV, dan sebagainya. Kinetik sel dapat dipelajari dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan
mengukur indeks proliferasi. Pengukuran indeks proliferasi sel dapat dilakukan dengan menentukan proporsi atau
fraksi sel dalam fase-S (yaitu: suatu fraksi dari populasi sel total dalam siklus sel) dan mengukur kandungan DNA.
Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode flow cytometry. Prinsip metode ini adalah mengukur emisi
fluoresen fluorokrom yang terikat pada DNA dalam sel apabila sel itu dilewatkan berkas sinar dengan panjang
gelombang yang sesuai (laser). Zat warna fluorokrom dapat mengikat DNA secara stokiometris. Pengikatan zat warna
fluorokrom pada DNA dapat memberikan informasi tentang kandungan DNA total dan fraksi sel yang berada pada
siklus sel secara cepat, akurat, dan praktis. Fluorokrom yang digunakan untuk kuantifikasi DNA adalah propidium
iodide (PI) dan ethidium bromida. Interkalasi fluorokrom ini di antara pasangan basa dsDNA atau RNA menghasilkan
suatu kompleks dengan fluoresensi efisien yang dapat dideteksi dengan sinar laser dengan kekuatan relatif rendah.
Kandungan DNA relatif (status ploidi) dari satu populasi sel dinyatakan dengan indeks DNA dalam fraksi Go/G1
populasi sel bersangkutan dibandingkan terhadap populasi sel kontrol diploidi. Indeks DNA populasi sel normal ploidi
adalah 1.0. Sel ganas, walaupun tidak selalu, biasanya menunjukkan kandungan DNA abnormal (aneuploidi) dan pada
histogram, populasi abnormal akan menunjukkan puncak ekstra (hiperdiploidi). Fraksi sel yang berada pada fase
Go/G1, S dan G2M dapat dihitung dari distribusi DNA.
Analisa ploidi tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan flow cytometry. Sampel dapat berupa jaringan daun
tanaman yang kemudian dilisiskan dalam larutan buffer pelisis dan DAPI (4’,6-diamidino-2-phenylindole).
Selanjutnya larutan difiltrasi untuk memisahkan debris. Filtrat kemudian dideteksi kandungan DNA-nya dengan flow
cytometry. Ploidi dari tanaman ditentukan dengan mengamati peak atau puncak yang ditunjukkan pada layar
monitor.
Uji fungsi neutrofil merupakan parameter penting dalam menganalisis respon imun seluler nonspesifik. Pengujian ini
dapat dilakukan dengan cara uji fagositosis partikel bakteri dan uji aktivitasphagocyte respiratory burst menggunakan
metode flow cytometry. Prinsip uji fagositosis adalah menganalisis jumlah neutrofil yang mengandung bakteri
berlabel yang dibubuhkan.
Pengukuran fungsi fagositosis dan respiratory burst secara simultan dapat dilakukan menggunakan darah yang
diinkubasi dengan kumanStafilococcus aureus atau E coli yang telah diberi label fluorescein FITC selama waktu
tertentu (biasanya 60 menit) guna menganalisis proporsi sel yang berisi bakteri. Fungsi respiratory burst dievaluasi
dengan mengukur banyaknya ethidium bromide (EB) berfluoresensi merah yang dihasilkan oleh oksidasi hidroethidin
yang terjadi akibat dibentuknya produk oksidatif oleh PMN atas rangsangan bakteri yang difagositosis. Jadi, yang
diukur oleh flow cytometer adalah proporsi sel yang berisi bakteri yang berfluoresensi hijau dan intensitas fluoresensi
merah yang dihasilkan EB dalam sel PMN bersangkutan. Fluorokrom yang dapat digunakan, antara lain propidium
iodide yang berfluoresensi merah untuk melabel Stafilococcus dan dihidrorhodamine 123 yang akan berubah menjadi
rhodamine 123 yang berfluoresensi hijau setelah dioksidasi.
Monitoring status imunologi pada infeksi HIV bisa dilakukan dengan metode flow cytometry. Pemeriksaan
menggunakan flow cytometer yang berbasis flow cytometry merupakan pemeriksaan yang paling baik untuk limfosit
T helper/inducer (CD4+) atau limfosit T supressor/cytotoxic (CD8+).
Virus HIV menginfeksi limposit T helper atau melalui antigen CD4+. Limposit yang terinfeksi ini kemudian lisis
ketika virion baru dilepaskan atau dipindahkan oleh sistem imun selular. Pada infeksi HIV yang progresif, jumlah
CD4+ dan limposit T menurun. Jumlah absolut CD4+ merupakan pengukuran yang penting untuk memprediksi,
menentukan derajat, dan monitoring progresivitas serta respons terhadap pengobatan pada infeksi HIV. Pemeriksaan
jumlah virus melengkapi pemeriksaan laboratorium untuk monitoring penyakit. Besarnya berbanding terbalik dengan
jumlah CD4+. Jadi, jumlah CD4+ dan jumlah virus secara langsung menunjukkan status imun penderita. Ini berguna
untuk menentukan diagnosa, prognosa, dan manajemen pengobatan pada penderita yang terinfeksi HIV.
Dewasa:
Bayi ≥ 12 bulan:
a. Persiapan sampel : 3 ml darah vena dimasukkan ke dalam tabung vakum K3EDTA dan ditutup rapat (pada suhu
kamar, sampel stabil <30 jam). Jika tidak langsung digunakan, dapat disimpan terlebih dahulu dalam styrofoam. Pada
penyimpanan lebih dari 48 jam sampel darah dapat membeku (hemolisis).
b. Memasukkan 20 µL reagen BD Trites CD3/CD4/CD45 dan 50 µL sampel darah ke dalam tabung BD Trucount.
Tabung BD Trucount berisi lycophilized pellet yang akan melepaskan fluorescent beads yang diketahui jumlahnya
apabila ke dalam tabung ditambahkan reagen monoklonal antibodi dan darah EDTA, gunanya adalah untuk
menghitung jumlah absolut leukosit. Reagen BD Tritest CD3/CD4/CD45 terdiri dari CD4+ FITC/ CD8+ PE/ CD3+ per
CP. Reagen tersebut merupakan reagen imunofluoresen tiga warna untuk identifikasi absolut limfosit T CD4, limfosit
T CD3+CD4+, dan limfosit T CD3+ CD8+.
c. Campuran tersebut di-vortex dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu kamar (di tempat gelap).
d. Menambahkan 450 µL lysing solution ke dalam campuran, kemudian di-vortex dan diinkubasi kembali selama
15 menit pada suhu kamar.