Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang pesat

disegala bidang kehidupan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern.

Kesibukan luar biasa terutama di kota besar membuat manusia terkadang lalai

terhadap kesehatan tubuhnya. Pola makan tidak teratur, kurang olahraga, jam

kerja berlebihan serta konsumsi makanan cepat saji sudah menjadi kebiasaan

lazim yang berpotensi menimbulkan serangan stroke (Irfan, 2010).

Kejadian stroke di negara maju cenderung menurun karena usaha

pencegahan primer yang berhasil terutama dalam pencegahan terhadap

hipertensi. Angka kejadian stroke di perkotaan (urban) di Indonesia

diperkirakan 5 kali lebih besar daripada angka kejadian penyakit menular di

pedesaan (rural). Hal ini dapat dilihat dari jumlah pasien stroke yang dirawat

di rumah sakit terutama rumah sakit tipe B yang merupakan rumah sakit yang

berada di perkotaan (Irianto, 2014).

Definisi menurut WHO, stroke adalah terjadinya gangguan fungsional

otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih

dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak. Stroke merupakan manifestasi

keadaan pembuluh darah cerebral yang tidak sehat sehingga bisa disebut juga

“cerebral arterial disease” atau “cerebrovascular disease”. Cedera dapat

disebabkan oleh sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, atau

1
2

pecahnya pembuluh darah, semua ini menyebabkan kurangnya pasokan darah

yang memadai (Irfan, 2010).

Berdasarkan data terbaru Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas,

2013), stroke merupakan penyebab kematian utama di Indonesia dan

prevalensi stroke di Indonesia 12,1 persen per 1000 penduduk. Angka itu naik

dibandingkan Riskesdas 2007 yang sebesar 8,3 persen. Prevalensi stroke

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di

Sulawesi Selatan (17,9‰), Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰),

diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil. Ini membuktikan bahwa Sulawesi

Selatan menjadi wilayah dengan posisi tertinggi yang memiliki gejala stroke

di Indonesia.

Sementara data dari RS Wahidin Sudirohusodo pada Poliklinik

Neurologis menyimpulkan bahwa stroke berada pada urutan kedua sebagai

pasien terbanyak di Poliklinik Neurologis pada tahun 2011 dengan jumlah

1.112 orang dengan rata-rata tiap bulan adalah 93 orang (Hafid, 2014).

Hemiparese (kelemahan) atau hemiplegia (kelumpuhan) pada sebagian

sisi tubuh dapat terjadi setelah serangan stroke. Kelainan ini biasanya

disebabkan karena kerusakan pembuluh darah bagian anterior atau arteri

serebral medial yang mengakibatkan infark pada korteks motorik frontalis.

Infark pada bagian sisi kanan otak akan mengakibatkan kelumpuhan pada

bagian sisi kiri tubuh karena jaras serabut saraf akan menyilang pada traktus

pyramidal yang melewati otak sampai medulla spinalis (Yanti dkk, 2013).

Hemiparesis merupakan komplikasi yang sering terjadi setelah serangan

stroke. Sekitar 85% pada pasien stroke yang bertahan hidup mengalami
3

hemiparesis, dan terdapat sekitar 55% - 75% yang mengalami keterbatasan

fungsi tangan (Elina dan Sengkey, 2014). Menurut data dari Framingham

Stroke Study, pasien yang mengalami hemiparese 30-70% sulit untuk

menggunakan lengan mereka secara fungsional. Secara simultan, mayoritas

pasien hemiparese menunjukkan fungsi kaki yang tidak mencukupi untuk

sekadar melakukan ambulasi hingga beraktivitas dalam lingkungan

masyarakat. Kecepatan gerak juga berpengaruh, suatu penelitian kelompok

subyek dengan pasien hemiplegia pada tahap pemulihan kronis dilaporkan

memiliki kecepatan 0,58 ± 0,38 m / s; Sebaliknya, kecepatan untuk orang

sehat sekitar 1,49 m / s (Dijkerman HC et al, 2010). Di Urban Sri Lanka,

sekitar 92% yang mengalami hemiparese terdapat 16,7% mengalami

gangguan keseimbangan (Thashi Chang et al, 2015). Sedangkan data 28 RS

di Indonesia, pasien yang mengalami gangguan motorik sekitar 90,5%

(Harahap & Erika, 2016).

Gangguan sensomotorik pasca stroke mengakibatkan gangguan

keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan

lunak, serta gangguan kontrol motorik dan sensorik. Fungsi yang hilang

akibat gangguan kontrol motorik pada pasien pasca stroke mengakibatkan

hilangnya koordinasi, hilangnya kemampuan merasakan keseimbangan tubuh

dan postur (kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu) (Indah dkk,

2017).

Gangguan keseimbangan berdiri pada pasien pasca stroke berhubungan

dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan berat badan dan

kemampuan gerak otot yang menurun sehingga keseimbangan tubuh


4

menurun. Adanya problematik tersebut menyebabkan pasien pasca stroke

mengalami gangguan dalam melakukan aktifitas fungsional. Untuk

melakukan aktifitas fugsional dengan baik dibutuhkan suatu keseimbangan

yang baik pula (Indah dkk, 2017).

Selain itu, gangguan fungsi tangan juga merupakan salah satu hambatan

bagi pasien post-stroke untuk melakukan aktivitas sehari-hari sehingga

banyak penelitian di bidang rehabilitasi yang terfokus pada penanganan

perbaikan fungsi tangan setelah terserang stroke (Elina dan Sengkey, 2014).

Berdasarkan observasi peneliti di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo

didapatkan sekitar 52 pasien menderita hemiparese post sroke. Hasil

pemeriksaan terhadap 18 pasien menunjukkan adanya gangguan

keseimbangan dan gangguan tonus otot.

Pendekatan terapi pada pasien stroke sangat beragam metodenya, antara

lain pendekatan Bobath, Johnstone, Root, Propioceptive Neuromuscular

Fascilitation (PNF), Brunnstrom, Constraint Induced Movement Therapy

(CIMT) dan Motor Relearning Programme (MRP), semuanya merupakan

metode yang sering digunakan dalam penanganan pasien stroke. Pendekatan-

pendekatan tersebut di dalamnya terdapat suatu latihan yang menekankan

pada stabilisasi tulang belakang dan ekstremitas (Indah dkk, 2017).

Saat ini, salah satu metode rehabilitasi stroke yang paling sering

digunakan adalah neurodevelopmental treatment (NDT), yang juga dikenal

dengan konsep Bobath. Semakin berkembangnya ilmu dan teknologi, maka

konsep Bobath juga mengalami perkembangan, dengan menggunakan


5

pendekatan problem solving melalui pemeriksaan dan tindakan secara

individual yang di arahkan pada tonus otot, gerak dan fungsi akibat lesi pada

sistem saraf pusat. Tujuan intervensi dengan konsep Bobath adalah

optimalisasi fungsi dengan peningkatan kontrol postural dan gerakan selektif

melalui fasilitasi (Irfan, 2010).

Functional electrical stimulation (FES) adalah bentuk elektrikal

stimulasi digunakan untuk mengobati spastisitas pada berbagai kondisi

dengan lesi upper motor neuron. FES dapat menyebabkan efek inhibisi

jangka pendek terhadap aktivitas stretch refleks pada spastisitas yang berasal

dari gangguan serebral, penurunan ko-kontraksi pada otot antagonis, dan

memfalitasi perintah volunter turun ke neuron motorik pada otot yang lumpuh

atau yang lemah (D. Laddha et al, 2015).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti

“Pengaruh FES dan Stability Exercise dengan Konsep Bobath Terhadap

Perubahan Keseimbangan dan Tonus Otot Pasien Hemiparese Post Stroke di

Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “Apakah Ada Pengaruh FES dan Stability

Exercise dengan Konsep Bobath Terhadap Perubahan Keseimbangan dan

Tonus Otot Pasien Hemiparese Post Stroke di Rumah Sakit Wahidin

Sudirohusodo?”.
6

C. Tujuan Masalah

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh FES dan stability exercise dengan

konsep Bobath terhadap perubahan keseimbangan dan tonus otot pasien

hemiparese post stroke di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh FES dan stability exercise dengan konsep

Bobath terhadap perubahan keseimbangan.

b. Untuk mengetahui pengaruh FES dan stability exercise dengan konsep

Bobath terhadap perubahan tonus otot.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

a. Menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman, dalam

mengembangkan diri dan mengabdikan diri pada dunia kesehatan

khususnya di bidang fisioterapi di masa yang akan datang.

b. Menjadi sebuah pengalaman berharga bagi peniliti dalam

mengembangkan pengetahuan dan keterampilan praktis lapangan di

bidang kesehatan sesuai dengan kaidah ilmiah yang didapatkan dari

materi kuliah.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan

analisis guna pengambilan kebajikan oleh Fisoterapis Sejawat dalam

rangka perubahan keseimbangan dan tonus otot pada pasien hemiparese

post stroke.

Anda mungkin juga menyukai