KGD Tugas Fix Jadii Print
KGD Tugas Fix Jadii Print
DASAR TEORI
1. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya
normal secara structural maupun fungsional sebelum pencetus penyakit
timbul.
2. Gagal nafas kronik adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan
penyakit paru kronik seperti bronchitis kronik, emfisema dan penyakit
paru hitam(penyakit penambang batu baru).
Kadar oksigen (PaO2 <8kPa) atau co2 (PaCO2 >6,7 kPa) arterial yang
abnormal digunakan untuk menentukan adanya gagal napoas. Maka gagal
napas dibagi menjadi(Hudak and Gallo, 2010):
2
2. 2 ETIOLOGI
a. Depresi sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal napas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernafasan yang mengendalikan pernafasan, terletak dibawah batang otak
(pons dan medulla) sehingga pernafasan dangkal dan lambat.
d. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab
gagal napas. Kecelakaan yang mengakibatkan cedera kepala,
ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mengarah
pada obstruksi jalan napas atas dan depresi pernapasan.
Hemothoraks, pneumothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi
dan mungkin menyebabkan gagal napas. Flail chest dapat terjadi dan dapat
mengarah pada gagal napas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki
patologi yang mendasar.
3
e. Penyakit akut paru
Pneumonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pneumonia kimia
atau pneumonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengiritasi dan
materi lambung yang bersifat asam. Asthma bronkhial, atelektasis,
embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang
menyebablkan gagal nafas.
4
2.3 PATOFISIOLOGI
Etiologi
(Bronklalitis,
Permaebilitas membrane Penurunan respon statys asmatikus,
pernafasan dan otot pneumonia,
alveolar kapiler
pernapasan kelainan
neulogis
trauma/obstruksi
jalan)
Gang epithelium alveolar
alveoli
Gangguan pengembangan
Cairan surfaktan Hipoventilasi alveoli
para (atelaksis), kolaps alveoli
menurun
Hipoksia jaringan
5
Tekanan intrakranial
Disfungsi penyampihan
Gagal jantung
ventilasi resiko infeksi,
resiko cedera
6
2.4 PATHFLOW Manifestasi klinik ( Investigation ):
Penyebab (Causes ):
a. Gagal napas total
a. Depresi sistem saraf pusat b. Gagal napas parsial
What is respiratory failure ?
b. Kelainan Neurologis Primer c. Hiperkapnia yaitu penurunan
adalah kegagalan sistem c. Efusi pleura, hemothoraks kesadaran (PCO2)
pernafasan untuk
dan pneumothoraks d. Hipoksemia yaitu takikardia,
mempertahankan pertukaran
oksigen dan karbondioksida d. Trauma gelisah, berkeringat atau
dalam jumlah yang dapat e. Penyakit akut paru sianosis(PO2 menurun).
mengakibatkan gangguan
dalam kehidupan.
Gagal Nafas
Pemeriksaan penunjang:
Klasifikasi:
a. AGD
a. Gagal napas akut
b. Pemeriksaan darah
b. Gagal napas kronik
c. Rontgen dada
d. EKG Menurut Hudak and Gallo,
2010:
a. Hipoksemia tipe 1
b. Hipoksemia tipe 2
7
2.5 MANIFESTASI KLINIK
1. TANDA
1) Gagal napas total
a. Aliran udara dimulut, hidung tidak dapat didengar/ dirasakan.
b. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan
sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.
c. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan
ventilasi buatan.
2) Gagal napas parsial
a. Terdengar suara napas tambahan gargling, snoring, growing
dan wheezing.
b. Ada retraksi dada
2. GEJALA
1. Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
2. Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis(PO2
menurun).
8
5. Hemodinamik
6. EKG
Mungkin memeperlihatkan bukti- bukti regangan jantung disisi kanan,
disritmia.
2.7 PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan suportif/non spesifik
Adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas, yaitu:
1. Atasi hipoksemia: terapi oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan
secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan
sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut
kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia
sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh hiperkapnia drive
melainkan terhadap hipoksemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2
yang terlalu cepat, pasien bisa menjadi apnea.
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah
pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk
pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus
diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut.
Oksigen hatus segera diberikan dengan adekuat, karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada
kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam
waktu pendek dan terapi spesifik yang diberikan. Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia
dan meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat
diberikan terus menerus.
Cara pemberian oksigen secara umum ada dua macam yaitu
sistem arus rendah dan sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul
9
merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan secara
luas. Nasal kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring
dengan aliran 1-6L/menit, dengan FiO2 antara 0,24- 0,44(24%-
44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara
bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah
didesain beberapa alat, diantaranya elektronic demand device,
reservoir nasal kanule dan transtracheal catheter dan dibandingkan
nasal kanule konvensional alat- alat tersebut lebih efektif dan
efisien. Alat oksigen arus tinggi diantaranya ventury mask dan
reservoir nebulizer blenders.alat ventury mask menggunakan
prinsip jet mixing (efek bernaulli). Dengan sistem ini bermanfaat
untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-
35%). Pada pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe 2 bernafas
dengan mask ini mengurangi resiko retensi co2 dan memperbaiki
hipoksemia. Alat tersebut terasalebih nyaman dipakain dan
masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan
arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan
sampai 40L/menit oksigen melalui mask, yang umumnya cukup
untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk
penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang
memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan
ventilasi abnormal.
10
artefisial seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat
dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas alami.
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi,
kerusakan trakea (erosi), gangguan respon batuk, resiko
aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi,
meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan
jalan napas artifisial adalah dapat melintasi obstruksi jalan
napas atas menjadi rute pemberian okigen dan obat-obatan,
memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi
penyedotan secret dan rute bronkoskopi fibreoptik.
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada
apakah oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan
via jalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan
jalan napas artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik
adalah
Secara fisiologi:
1. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
2. PaCO2 >55mmHg dengan pH <7,25
3. Kapasitas vital <15mL/kg BB dengan penyakit
neuromuskular.
Secara klinis:
1. Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan
napas
2. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
3. Obstruksi jalan napas(pertimbangkan trakeostomi)
4. Secret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien.
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan
intubasi endotrakeal diatas mungkin berguna, tetapi
pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna dan
bermanfaat. Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah
ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan
11
positif tanpa piap trakea(ventilasi tekanan positif non
invasif).
b. Bantuan ventilasi (facemask, ambubag) dan ventilasi mekanik
Pada keadaan darurat bantuan napas dapat dilakukan secara
mulut kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan
sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan
memompa kantungnya untuk memasukkan udara kedalam
paru.
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar.
Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak
adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan
ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu
berhubungan dengan asidosis respiratoris. Namun, kegagalan
ventilasi kronik (PaCO2>46 mmHg) biasanya tidak berkaitan
dengan asidosis karena kompensasi metabolik. Dan koreksinya
pada asidosis respiratoris (pH < 7.25) dan masalahnya tidak
mengkoreksi PaCO2. Pada pasien dimana pemulihan awal
diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau
face mask merupakanalternatif yang efektif, namun seperti
telah diketahui, pada keadaan pemulihan yang lama/tertunda
pemasangan ET dengan ventilasi mode assistcontrol atau
sychronized intermittent ventilation dengan setting rate sesuai
dengan laju nafas spontan pasien untuk meyakinkan
kenyamanan pasien.
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal
napas atau keadan klinis yang mengarah kegagal napas (gawat
napas yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah
kegagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter,
hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya
adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah
diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi
PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan
12
menimbulkan asidosis. Sebanyak 75% pasien yang dipasang
ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48
jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka
kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan
saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil.
c. Terapi suportif lainnya.
1. Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan
nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk
mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan.
Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan
bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak
tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang
efektif. Dilakukan juga tepu-tepukan pada dada,
punggung, dilakukan perkusi, fibrasi dan drainage postural
kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti
mukolitik dan bronkodilator.
2. Bronkodilator (agonis beta-adrenergik/simpatomimetik).
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk
inhalasi dibandingkan jika diberikan secara parenteral/oral,
karena untuk efek bronkodilasi yang sama, efek samping
secara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat
diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif mungkin
membutuhkan jumlah agonis beta adrenergik yang dua
hinggaempat kali lebih banyak daripada yang
direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih
besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi
pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi continue) seringkali
dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada potensi,
efikasi, kemudahan pemberian dan efek samping. Diantara
yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin.
Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi,
aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan
13
penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada
dan iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia
biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazit dan
kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari
kompartement ekstra sel ke intra sel sebagai respon
terhadap stimulasi beta adrenergik.
3. Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator
terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus
parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada
asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan
inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus
parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini
direkomendasikan terutama untuk bronkodilasi pasien
dengan broncitis kronik. Pada gagal nafas,antikolinergik
harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta
adrenergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk
MDI (metered dose inhaler) atau solusi untuk nebulasi.
Efek samping jarang seperti takikardia, palpitasi, dan
retensi urine.
4. Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator
dibandingkan agonis beta adrenergik. Mekanisme kerja
adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP
siklik (cAMP), trannslokasi kalsium, antagonis adenosin,
stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktivitas anti
inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan
muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia,
hikalemia, perubahan status mental dan kejang.
5. Kortikosteriod. Mekanisme kortikosteroid dalam
menurunkan infamasi jalan napas tidak diketahui pasti
tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi
telahdi demonstrasikan setelah pemberian iskemik dan
topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya
14
pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan
preparat oral atau parenteral. Efek samping kortekosteroid
parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi
natriun, dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis
besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik,
gastritis, dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non
depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot
yang memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.
6. Ekspektoran dan nukleonik. Cairan per oral atau parenteral
dapat memperbaiki volume atau karakteristik sputum pada
pasien yang kekurangan cairan. Obat mukolitik dapat
diberikan langsung pada sekret jalan napas, terutama
pasien dengan ETT. Sedikit (3-5 ml) naCl 0,9%, salin
hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat
diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) dan bila
berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak.
d. Terapi lainnya
Penatalaksanaan spesifik
Sambil dilakukan resusitasi, (terapi suportif) diupayakan
mencari penyebab gagal napas. Pengobatan spesifik ditujukan
pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing
penyakit akan berlainan. Semua terapi diatas dilakukan dalam
upaya mengoptimalkan pasien gagal napas di UGD sebelum
selanjutnya nanti dirawat di ICU. Penanganan lebih lanjut
terutama masalah penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU
berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal napas di ICU
pada tahap berikutnya.
15
2.9 DEFINISI VENTILASI MEKANIK (VENTILATOR)
A. Pengertian
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu
sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan
oksigenasi.
D. Macam-macam Ventilator
Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:
1. Volume Cycled Ventilator.
Prinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume.
Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai
volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator
adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan
volume tidal yang konsisten.
2. Pressure Cycled Ventilator
Prinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan
16
tekanan. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah
mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup
inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada
type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara yang
diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus parunya
tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.
3. Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan
wamtu ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu
inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah
napas permenit)
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2
E. Mode-Mode Ventilator
Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan
menggunakan ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin
ventilator, tetapi tergantung dari mode yang kita setting. Mode mode
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu
pernafasan pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya
masih sangat jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode
ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien
pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan pada
ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk mengawali
inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha
nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi
dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat
alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini
adalah: CR (Controlled Respiration), CMV (Controlled
Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure
17
Ventilation)
2. Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory
Ventilation/Sincronized Intermitten Mandatory Ventilation.
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara
selang seling dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV
pernafasan mandatory diberikan pada frekwensi yang di set tanpa
menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi
sehingga bisa terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh
karena itu pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya
disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory
diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV
diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum
normal sehingga masih memerlukan bantuan.
3. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure
Suport
Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan
atau pasien yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya
tidak cukup karena nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien harus
mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu
untuk memicu trigger maka udara pernafasan tidak diberikan.
4. CPAP : Continous Positive Air Pressure.
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan
diberikan pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.
Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis
dan melatih otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari
ventilator.
F. Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu
untuk mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm
tekanan rendah menandakan adanya pemutusan dari pasien
(ventilator terlepas dari pasien), sedangkan alarm tekanan tinggi
18
menandakan adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk,
cubing tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume rendah
menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak
dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.
19
karena hipovolemia, obat dan usia lanjut), maka bisa mengakibatkan
hipotensi. Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada
kompresi microvaskuler akibat tekanan positif sehingga darah yang
menuju atrium kiri berkurang, akibatnya cardiac output juga
berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi gangguan
oksigenasi. Selain itu bila volume tidal terlalu tinggi yaitu lebih dari
10-12 ml/kg BB dan tekanan lebih besar dari 40 CmH2O, tidak
hanya mempengaruhi cardiac output (curah jantung) tetapi juga
resiko terjadinya pneumothorax.
Efek pada organ lain:
Akibat cardiac output menurun; perfusi ke organ-organ lainpun
menurun seperti hepar, ginjal dengan segala akibatnya. Akibat
tekanan positif di rongga thorax darah yang kembali dari otak
terhambat sehingga tekanan intrakranial meningkat.
20
pemberian ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi.
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokonstriksi cerebral
Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2)
dibawah normal akibat dari hiperventilasi.
b. Oedema cerebral
Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal
akibat dari hipoventilasi.
c. Peningkatan tekanan intra kranial
d. Gangguan kesadaran
e. Gangguan tidur.
4. Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, ileus
b. Perdarahan lambung.
5. Gangguan psikologi
21
L. Kriteria Penyapihan
Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan
penyapihan bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
22
3. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi ex oksigenasi.
23
O. Terapi Oxigen
Setelah jalan nafas bebas, maka selanjutnya tergantung dari derajat
hipoksia atau hiperkabinya serta keadaan penderita.
Pontiopidan memberi batasan mekanik, oksigenasi dan ventilasi
untuk menentukan tindakan selanjutnya (lihat tabel) :
PARAMETER ACCAPTABLE FISIOTERAPI INTUBASI
RANGE (TIDAK DADA, TERAPI TRACHEOSTOMI
PERLU TERAPI OKSIGEN, VENTILASI
KHUSUS) MONITORING MEKANIK
KETAT
1. MEKANIK
a. Frekwensi a. 12 – 25 a. 25 – 35 a. >35
nafas
b. Vital capacity b. 70 – 30 b. 30 – 15 b. <15
(ml/kg)
c. Inspiratori c. 100 - 50 c. 50 - 25 c. <25
force, CmH2O
2. OKSIGENASI
a. A - aDO2 a. 50 – 200 a. 200 – 350 a. >350
100% O2
mmHg
b. PaO2 mmHg b. 100 – 75 ( b. 200 – 70 ( b. <70 (O2
air) O2 Mask) Mask)
3. VENTILASI
a. VD / VT a. 03 - 0,4 a. 0,4 – 0,6 a. 0,5
b. PaCO2 b. 35 - 45 b. 5 - 60 b. 60
24
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
b) Breathing
25
Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/ bradipneu,
retraksi.
Menggunakan otot aksesori pernapasan
Kesulitan bernafas : lapar udara, diaphoresis, sianosis.
c) Circulation
Penurunan curah jantung : gelisah, latergi, takikardia
Sakit kepala
Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, mengantuk.
Penurunan pengeluaran keluaran urine.
d) Dissability Limitation
Kesadaran: komposmentis, sopor, koma, apatis
Kaji skor GCS
e) Exposure: lihat sekitaran tubuh pasien, apakah ada luka, memar, jejas,
ataupun hematoma.
26
paru
Gangguan
pertukaran gas
2. Ds : Obstruksi jalan Disfungsi
Keluarga pasien mengatakan napas sehingga penyapihan
bahwa pasien mengalami terjadi penurunan ventilasi
kecelakan dan kesulitaan respon otot
bernapas. pernapasan
Do :
Penurunan kesadaran Gangguan
Nilai GCS 3 permeabilitas alveoli
Dilakukan tindakan
BLS dan ventilasi
mekanik
Disfungsi
penyapihan ventilasi
27
2. Disfungsi respon penyapihan ventilator b.d ketidakmampuan beradapan
dengan dukungan ventilator,ketidaktepatan laju penurunan dukungan
ventilator
3. Resiko cidera b.d penggunaan ventilasi mekanik
4. Resiko infeksi b.d pernapasan selang ET dengan kondisi lemah
5. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai kebutuhan oksigen
28
bangun ada pursed lips) Berikan pelembab
Hiperkapnia Tanda-tanda vital udara
Hipoksia dalam rentang normal Atur intake untuk
Iritabilitas cairan mengoptimalkan
Napas cuping hidung keseimbangan
Gelisah Monitor respirasi dan
Samnolen status 02
29
Tentukan kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi
crackles dan ronkhi
pada jalan napas utama
Auskultasisuara paru
setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya.
30
Hangat Gas Monitor efek ventilator
Sedang Memelihara kebersihan terhadap perubahan
Peningkatan nilai dasar paru dan bebas tanda- oksigenasi pasien : gas
frekuensi pernapasan tanda distress pernafasan darah arteri, SaO2, S, O2
(<S napas/menit) PaCO2 (tekanan parsial volume tidal, dan respon
Perubahan warna oksigen alveolar) dalam subjektif dari pasien
Penurunan masuknya batas normal 85-100 Mechanical Ventilation
udara pada auskultasi mmHg Weaning
Diaphoresis PaCO2 (tekanan persial Pantau tingkat
31
Agitasi mengoptimalkan status
Ketidakselarasan napas nutrisi pasien,
dg ventilator memastikan 50% sumber
Sekresi jalan napas kalori selain protein
terdengar dalam diet adalah lemak
Sianosis bukan karbohidrat
32
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
(VENTILATOR)
I. Pengkajian
1. Hal-hal yang perlu dikaji pada psien yang mendapat nafas buatan dengan
ventilator adalah:
a) Biodata
Meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, agama,
alamt, dll.
Pengkajian ini penting dilakukan untuk mengetahui latar belakang
status sosial ekonomi, adat kebudayaan dan keyakinan spritual pasien,
sehingga mempermudah dalam berkomunikasi dan menentukan
tindakan keperawatan yang sesuai.
b) Riwayat penyakit/riwayat keperawatan
Informasi mengenai latar belakang dan riwayat penyakit yang sekarang
dapat diperoleh melalui oranglain (keluarga, tim medis lain) karena
kondisi pasien yang dapat bentuan ventilator tidak mungkin untuk
memberikan data secara detail. Pengkajian ini ditujukan untuk
mengetahui kemungkinan penyebab atau faktor pencetus terjadinya
gagal nafas/dipasangnya ventilator.
c) Keluhan
Untuk mengkaji keluhan pasien dalam keadaan sadar baik, bisa
dilakukan dengan cara pasien diberi alat tulis untuk menyampaikan
keluhannya. Keluhan pasien yang perlu dikaji adalah rasa sesak nafas,
nafas terasa berat, kelelahan dan ketidaknyamanan.
2. Sistem pernafasan
A. Setting ventilator meliputi:
a) Mode ventilator
1. CR/CMV/IPPV (Controlled Respiration/Controlled Mandatory
Ventilation/Intermitten Positive Pressure Ventilation)
2. SIMV (Syncronized Intermitten Mandatory Ventilation)
33
3. ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Suport)
4. CPAP (Continous Possitive Air Presure)
b) FiO2: Prosentase oksigen yang diberikan
c) PEEP: Positive End Expiratory Pressure
d) Frekwensi nafas
B. Gerakan nafas apakah sesuai dengan irama ventilator
C. Expansi dada kanan dan kiri apakah simetris atau tidak
D. Suara nafas: adalah ronkhi, whezing, penurunan suara nafas
E. Adakah gerakan cuping hidung dan penggunaan otot bantu tambahan
F. Sekret: jumlah, konsistensi, warna dan bau
G. Humidifier: kehangatan dan batas aqua
H. Tubing/circuit ventilator: adakah kebocoran tertekuk atau terlepas
I. Hasil analisa gas darah terakhir/saturasi oksigen
J. Hasil foto thorax terakhir
3. Sistem kardiovaskuler
Pengkajian kardiovaskuler dilakukan untuk mengetahui adanmya
gangguan hemodinamik yang diakibatkan setting ventilator (PEEP terlalu
tinggi) atau disebabkan karena hipoksia. Pengkajian meliputi tekanan
darah, nadi, irama jantung, perfusi, adakah sianosis dan banyak
mengeluarkan keringat.
4. Sistem neurologi
Pengkajian meliputi tingkat kesadaran, adalah nyeri kepala, rasa ngantuk,
gelisah dan kekacauan mental.
5. Sistem urogenital
Adakah penurunan produksi urine (berkurangnya produksi urine
menunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal)
6. Status cairan dan nutrisi
Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status
nutrisi dncairan akan memperberat keadaan. Seperti cairan yang berlebihan
dan albumin yang rendah akan memperberat oedema paru.
7. Status psycososial
Pasien yang dirawat di ICU dan dipasang ventilator sering mengalami
34
depresi mental lyang dimanifestasikan berupa kebingungan, gangguan
orientasi, merasa terisolasi, kecemasan dan ketakutan akan kematian.
Tujuan:
Kriteria hasil:
35
c) Tracheal tube bebas sumbatan.
Tindakan keperawatan:
INTERVENSI RASIONAL
1 Auskultasi bunyi napas tiap Mengevaluasi keefetifan jalan napas.
2-4 jam dan kalau
diperlukan.
2 Lakukan pengisapan bila
terdengar ronchi dengan
cara:
a. jelaskan pada pasien a. Dengan mengertinya tujuan
tentang tujuan dari tindakan yang akan dilakukan
tindakan pengisapan. pasien bisa berpartisipasi aktif.
b. Berikan oksigen b. Memberi cadangan O2 untuk
dengan O2 100 % menghindari hipoksia.
sebelum dilakukan c. Mencegah infeksi nosokomial.
pengisapan, minimal 4
- 5 X pernapasan.
c. Perhatikan teknik d. Aspirasi lama dapat
aseptik, gunakan menimbulkan hipoksia, karena
sarung tangan steril, tindakan pengisapan akan
kateter pengisap steril. mengeluarkan sekret dan O2.
d. Masukan kateter e. Tindakan negatif yang berlebihan
kedalam selang ET dapat merusak mukosa jalan
dalam keadaan tidak napas.
mengisap (ditekuk), f. Memberikan cadangan oksigen
lama pengisapan tidak dalam paru.
lebih dari 10 detik.
e. Atur tekanan isap tidak g. Menjamin keefektifan jalan
lebih dari 100 - 120 napas.
mmHg.
36
f. Lakukan oksigenasi
lagi dengan O2 100 %
sebelum melakukan
pengisapan berikutnya.
g. Lakukan pengisapan
berulang-ulang sampai
suara napas bersih
3 Pertahankan suhu Membantu mengencerkan skret.
humidifer tetap hangat (35
- 37,8 o C
4 Monitor statur hidrasi Mencegah sekresi menjadi kental.
pasien
5 Melakukan fisioterapi Memudahkan pelepasan sekret.
napas / dada sesuai indikasi
dengan cara clapping,
fibrasi dan pustural
drainage.
6 Berikan obat mukolitik Mengencerkan secret
sesuai indikasi / program.
37
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan sekresi tertahan, proses
penyakitnya
Tujuan: Pertukaran gas kembali normal.
Kriteria hasil:
Hasil analisa gas darah normal yang terdiri dari:
a) PH (7,35 - 7,45)
b) PO2 (80 - 100 mmHg)
c) PCO2 (35 - 45 mmHg)
d) BE (-2 - + 2)
e) Tidak sianosis
Tindakan Keperawatan
INTERVENSI RASIONAL
1 Cek analisa gas darah setiap Evaluasi keefektifan setting
10 - 30 menit setelah ventilator yang diberikan
perubahan setting ventilator.
2 Monitor hasil analisa gas Evaluasi kemampuan bernapas
darah (blood gas) atau
oksimeteri selama periode
penyapihan.
38
3. Diagnosa Keperawatan
Ketidak efektifan pola nafas sehubungan dengan kelelahan, pengesetan
ventilator yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal
Kriteria hasil:
Tindakan Keperawatan
INTERVENSI RASIONAL
1 Lakukan pemeriksaan Monitor suara dan pergerakan dada
ventilator tiap 1 - 2 jam. secara teratur.
39
6 Masukan penahan gigi Mencegah tergigitnya selang ETT
(pada pemasangat ETT
lewat oral)
40
Daftar Pustaka
Marilynn E doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien, EGC, Jakarta.
Suddarth Dosis Smith, (1991), The Lippincott Manual of Nursing Practive, fifth
edition, JB Lippincott Company, Philadelphia
https://books.google.co.id/books?id=G3KXne15oqQC&pg=PA221&dq=askep+ga
gal+nafas+dengan+ventilator&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjdm_evubTZAhVIbr
wKHcxCCVUQ6AEIJDAA#v=onepage&q=askep%20gagal%20nafas%20dengan
%20ventilator&f=true
https://lcncreatif.files.wordpress.com/2012/06/gadar-siste-nafas.pptx
41