Anda di halaman 1dari 26

Keperawatan

Senin, 26 September 2016


ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu masalah gangguan kesehatan yang menonjol pada usia lanjut adalah gangguan
muskoloskeletal, terutama osteoartritis dan osteoporosis. Menghadapi problem ini tanpa adanya
persiapa yang baik, di khawatirkan akan menjadikan beban yang akan di tanggung pemerintah,
masyarakat, dan warga usia lanjut dengan keluarga akan menjadi sangat besar dan
akan menghambat perkembangan ekonomi serta memperburuk kualitas hidup manusia secara
utuh (isbagio H dalam Daniel, 2007).
Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di amerika serikat
dijumpai satu kasus osteoporosis di antara dua sampai tiga wanita pascamonopause. Massa tulang
pada manusia mencapai maksimum pada usia sekita 35 tahun, kemudian terjadi penurunan massa
tulang secara eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar antara 3-5% setiap decade, sesuai
dengan kehilangan massa otot dan hal ini di alami baik pada pria dan wanita. Pada masa
klimakterium, penurunan massa tulang pada wanita lebih mencolok dan dapat mencapai 2-
3% setahun secara eksponensial. Pada usia 70 tahun kehilangan massa tulang pada wanita ini
baru mencapai 25% (Gonta,P.1996).
Kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, sehingga dapat
menurunkan massa tulang total. Osteoporosis adalah penyakit yang mempunyai sifat-sifat khas
berupa massa tulang yang rendah, disertai mikroarsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Tulang secara
progresif menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi mudah patah dengan stres, yang pada
tulang normal tidak menimbulkan pengaruh. Sherwood (2001), mengatakan selama dua decade
pertama kehidupan, saat terjadi pertumbuhan, pengendapan tulang melebihi resorpsi tulang
dibawah pengaru hormone pertumbuhan. Sebaiknya pada usia 50-6- tahun, resorpsi tulang
melebihi pembentukan tulang. Kalsitonin yang menghambat resorpsi tulang dan merangsang
pembentukan tulang mengalami penurunan. Hormone paratiroid meningkat bersama
bertambahnya dan meningkatkan resorpsi tulang. Hormone estrogen yang
menghambat pemecahan tulang, juga berkurang bersama bertambahnya usia.
Menurut Ganong (2003), perempuan dewasa memiliki massa tulang yang lebih
sedikit daripada pria dewasa, dan setelah menopause mereka mulai kehilangan tulang lebih cepat
daripada pria. Akibatnya perempuan lebih rentang menderita ospteoporosis serius. Penyebab
utama berkurangnya tulang setelah menopause adalah defesiensi hormone estrogen. Pada
osteoporosis, matriks dan mineral tulang hilang, hingga massa dan kekuatan tulang, dengan
peningkatan fraktur.
Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra torakalis. Terdapat
penyempitan diskus vertebra, apabila penyebaran berlanjut keseluruh korpus vertebra akan
menimbulkan kompresi vertebra dan terjadi gibus. Fraktur kolum femur sering terjadi pada usia
di atas 60 tahun dan lebih sering pada perempuan, yang disebabkan oleh penuaan dan osteoporosis
pascamenopause.
Kolaps bertahap tulang vertebra mungkin tidak menimbulkan gejala, namun terlihat
sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat mengakibatkan pengurangan tinggi badan. Pada beberapa
perempuan dapat kehilangan tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps vertebra.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep medis osteoporosis ?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan osteoporosis ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep medis osteoporosis.
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan osteoporosis.

BAB II
KONSEP MEDIS OSTEOPOROSIS
A. Defenisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata yang berakibat
pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi keropos dan rapuh. “Osto” berarti
tulang, sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang mudah patah akibat Osteoporosis adalah
tulang belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan tangan (Endang Purwoastuti : 2009) .
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit skeletal
sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari
jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan
terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Menurut konsesus di Kopenhagen 1990, osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit
dengan karakteristik massa tulang yang berkurang dengan kerusakan mikroarsitektur jaringan
yang menyebabkan kerapuhan tulang dan resiko fraktur yang meningkat (Lukman, Nurma Ningsih
: 2009).
Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana terdapat pengurangan jaringan tulang per unit
volume,sehingga tidak mampu melindungi atau mencegah terjadinya fraktur terhadap trauma
minimal (Kholid Rosyidi : 2013).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total. Terdapat
perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari
kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara
progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stres yang
tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal (Brunner&Suddarth, 2000).

B. Klasifikasi Osteoporosis
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis primer dan
osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita postmenopause (postmenopause
osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum
diketahui dengan pasti. Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang
berhubungan dengan Kelainan endokrin misalnya Chusing’s disease, hipertiriodisme,
hiperparatiriodisme, hipogonadisme, kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan
minum alcohol, pemakaian obat-obatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok (Lukman,
Nurma Ningsih : 2009).
Djuwantoro (1996), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis postmenopause (Tipe I),
Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik, osteoporosis juvenil dan osteoporosis
sekunder.
1. Osteoporosis Postmenopause (Tipe I)
Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia. Bentuk
osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resopsi tulang yang berlebihan dan lama setelah
penurunan sekresi hormon estrogen pada masa menopause.
2. Osteoporosis involutional (Tipe II)
Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki. Tipe ini diakibatkan
oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan
pembentukan tulang.
3. Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada wanita premenopouse dan pada
laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau
faktor resiko yang mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang.
4. Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk osteoporosis yang terjadi pada
anak-anak prepubertas.
5. Osteoporosis sekunder.
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur atraumatik akibat
faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, atraumatik reumatoid, kelainan hati/ ginjal
kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik, hipertiriodisme , varian status hipogonade dan
lain-lain.
C. Etiologi Osteoporosis
Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada
wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya
gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat
ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita
osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita
penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kasium yang
berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan
pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan masa tulang yang hanya terjadi
pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan postmenopouse
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder,
yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obet-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan
oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat-
obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang, hormon tiroid yang berlebihan).
Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa memperburuk keadaan ini
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak
diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa yang normal dan tidak memiliki penyebab
yang jelas dari rapuhnya tulang (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis. Pada seseorang dengan
tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur daripada seseorang dengan tulang
yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang
normal. Setiap individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya beban mekanis
dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang besar, kemudian terjadi proses penurunan
massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif
masih mempunyai tulang lebih banyak daripada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia
yang sama (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
D. Patofisiologi Osteoporosis
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol), dan aktivitas
mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan masa tulang mulai terjadi setelah tercaipainya
puncak massa tulang. Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal
mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopouse dan pada
ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun
pasca menopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk mempertahankan
remodelling tulang selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan fungsi
tubuh. Asupan kasium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun
mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian kalsium
yang dianjurkan (RDA : recommended daily allowance) meningkat pada usia 11 – 24 tahun
(adolsen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk memaksimalakan puncak massa
tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi pada perempuan pasca menoupose 1000-
1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak
terbatas. Karena penyerapan kalsium kurang efisisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal
(Smeltzer, 2002).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen dapat
menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindron Cushing,
hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan massa tulang. Obat- obatan
seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung alumunium, furosemid,
antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan
metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi dengan gips,
paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga
terjadi osteoporosis.
E. Manifestasi Klinis Osteoporosis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya osteoporosis tidak
menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan tulang sangat berkurang yang
menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan
bentuk. Tulang-tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal, korpus
vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang
rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul
secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari pungung yang akan bertambah nyeri jika
penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa
sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika
beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang
belakang (punuk), yang menyebabkan terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau
karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Selain itu ,
yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan
pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita osteoporosis, patah tulang
cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
F. Pengobatan Osteoporosis
Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis yang lebih
menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat patah tualng. Selain itu, juga
dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau hormone replacement therapy (HRT) yaitu
menggunakan estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non hormonal antara lain
suplemen kalsium dan vitamin D.
1. Terapi medis
Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat mengembalikan efek dari
osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk menekan atau memperlambat
menurunnya massa tulang serta mengurangi rasa sakit.
a. Obat pereda sakit
Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya diperlukan obat pereda sakit yang
kuat, seperti turunan morfin. Namun, obat tersebut memberikan efek samping seperti mengantuk,
sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami rasa sakit yang sangat dan tidak dapat diredakan
dengan obat pereda sakit, dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti paracetamol atau codein
ataupun kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co- codramol, atau co-proxamol bagi banyak
pasien cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien dapat melakukan aktivitas
sehari-hari.
2. Terapi hormone pada wanita
Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya pengobatan hanya
dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang yang lebih besar. Namun, demikian,
pengobatan masih perlu dilakukan pada kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya patah
tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa tulang biasanya bekerja lambat dan efeknya
kurang terasa sehingga banyak pasien penderita osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan
pengobatan. Hal tersebut sangat tidak baik karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk
dapat secara maksimal menekan laju penurunan massa tulang dan patah tulang.
Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause. Lamanya pemberian
terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin terhindar dari osteoporosis, terapi hormone
dapat terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi hormone seumur
hidup semenjak menopause pada wanita yang mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga
berpendapat bahwa penggunaan terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah penggunaan selama
5-10 tahun untuk menghindari kemungkinan terjadinya kanker.
a. Hormone Replacement Theraphy (HRT)
Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone pengganti (THP)
menggunakan hormone estrogen atau kombinasi estrogen dan progesterone. Hormone-hormon
tersebut sebenarnya secara alamiah diproduksi oleh indung telur, tetapi produksinya semakin
menurun selama menopause sehingga perlu dilakukan HRT.
Penggunaan estrogen memang efektif dalam upaya pengobatan dan pencegahan
osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek samping berupa munculnya
kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya hormone tersebut akan merangsang
pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat
berkembang menjadi kanker ganas. Oleh karena itu, penggunaan estrogen biasanya di
kombinasikan dengan progesterone untuk mengurangi resiko tersebut.
Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi hormone, diantaranya adalah
pembesaran payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan,
dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek tersebut biasanya hanya terjadi pada awal terapi dan
kondisi berangsur membaik dengan sendirinya. Dapat juga dilakukan pemberian hormone
estrogen dan progesterone secara bertahap, dosis kecil diberikan pada awal terapi dilihat dulu
reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis dapat diterima tubuh, dosis kemudian dinaikkan secara
bertahap.
b. Kalsitonin
Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang biasa digunakan dalam
pencegahan dan pengobatan osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga kestabilan
struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja sel osteoclast.
Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang mungkin timbul pada keadaan
patah tulang. Hormone ini secara normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat
meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya diberikan dalam bentuk suntikan
yang diberikan setiap hari atau dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini juga
dapat menimbulkan efek samping berupa rasa mual dan muka merah, mungkin pula terjadi
muntah dan diare serta rasa sakit pada bekas suntikan.
c. Testosterone
Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh pria. Penggunaan hormone
testosterone pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause mampu menghambat kehilangan
massa tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti penambahan rambut secara
berlebihan di dada, kaki, tangan, timbulnya jerawat dimuka dan pembesaran suara seperti yang
biasa terjadi pada pria.
3. Terapi non-hormonal
Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik untuk
mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat ditimbulkan dan
tidak dapat diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka sekarang mulai dikembangkan terapi
non-hormonal.
a. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal dalam
pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel
penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari. Obat-obat yang
termasuk golongan bisfosfonat adalah etidronat dan alendronat.
b. Etidronat
Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan dalam
pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis satu kali sehari
selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan konsumsi suplemen
kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi suplemen kalsium harus dihindari dalam waktu
dua jam sebelum dan sesudah mengkonsumsi etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya.
Kadang kala konsumsi etidronat memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya timbul
mual, diare, ruam kulit dan lain-lain.
c. Alendronat
Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan etidronat, perbedaannya
adalah pada penggunaannya tidak perlu dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium,
tetapi bila asupan kalsium masih rendah, pemberian kalsium tetap dianjurkan. Efek samping yang
mungkin ditimbulkan pada konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung
pada perut, serta gangguan pada tenggorokan.
4. Terapi alamiah
Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati osteoporosis tanpa
menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan dengan gaya hidup dan pola
konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan berolahraga secara teratur,
hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan menjaga pola makan yang baik.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah pencegahan karena
bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan. Seyogyanya, sedini mungkin dilakukan
diagnosis untuk mendeteksi keadaan massa tulang sebelum terjadi akibat yang lebih fatal
seperti terjadinya patah tulang . penilaian langsung tulang untuk mengetahui ada tidaknya
osteoporosis dapat dilakukan dengan berbagai cara , yaitu sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologic
Saat ini, sing dkk telah mengembangkan indeks sing untuk mengukur ketebalan colum
femaris dan komponen-komponen trabekulasinya secara radiologic . caranya dengan
menganalisis komponen-komponen yang berkolerasi cukup tepat dengan adanya osteoporosis.
Namun hasil pengukuran pengukuran ini masih sangat lemah untuk mendiagnosis adanya
osteoporosis. Pada pemeriksaan radiologic ini digunakan X-ray konvensional sehingga
osteoporosis baru akan terlihat apabila massa tulang sudah berkurang hingga 30% atau lebih.
2. Pemeriksaan radioisotope
Pemeriksaan ini menggunakan sinar foton radionuklida yang dapat mendeteksi densitas
tulang dan ketebalan korteks tulang. Ada dua jenis pemeriksaan yaitu : single photon
absorptiometry dan dual photon absorptiometry.
a. Single photon absorptiometry (SPA) sinar photon bersumber dari 1-125 dengan dosis 200 mci
yang diperiksa.
b. Dual photon absorptiometry (DPA) sinar photon bersumber dari nuklida GA-135 sebanyak 1,5
Cl yang mempunyai energy (44 kev dan 100 kev). Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur
vertebra dan colum femoris.
3. Pemeriksaan Quantitative
Computerized Tamography (QCT). Quantitative computerized tomography (QCT)
merupakan salah satu cara yang dipakai untuk mengukur mineral tulang karena dapat menilai
secara volumetric trabekulasi tulang radius , tibia, dan vertebra. keuntungan QCT adalah tidak
dipengaruhi oleh korteks dan artefak kalsifikasi osteosit dan kalsifikasi aorta, serta tidak perlu
diperhitungkan dengan berat badan dan tinggi badan. Kerugiannya adalah paparan
radiasinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lainnya.
4. Magnetic resonance imaging (MRI)
Cara ini dapat mengukur struktur trabekuler tulang dan kepadatannya. Alat tersebut tidak
memakai radiasi, melainkan hanya dengan lapangan magnet yang sangat kuat. Sayangnya
pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan sarana yang banyak.
5. Quantitative Ultra Sound (QUS)
Cara ini menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang menembus tulang.
Kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus melalui tulang yang dinyatakan sebagai
pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band ) dan kekuatan (stiffness). Keuntungannya adalah
mudah dibawah kemana-mana , tetapi kerugiannya adalah tidak dapat mengetahui lokalisasi
osteoporosis secara tepat.
6. Densitometer (X-ray absorptiometry)
Menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. Ada dua jenis X-ray absorptiometry
yaitu SXA (Single X-ray absorptiometry) yang juga disebut scan tulang. Pengukuran
dilakukan pada tulang yang kemungkinan mudah patah, seperti tulang belakang, pinggul, dan
pergelangan tangan atau seluruh rangka tubuh.
Nilai massa tulang yang didapat dari pengukuran ini disebut kerapatan mineral tulang (BMD=
bone mineral density). Pengukuran ini tidak menimbulkan rasa sakit, mudah dilakukan, hasil
pemeriksaan diperoleh dalam waktu singkat, dan relative aman. Walaupun menggunakan sinar X,
tingkat radiasinya sangat kecil , seingkali lebih kecil dari radiasi alamiah. Oleh karenanya,
pengukuran dapat dilakukan pada anak-anak dan ibu hamil, serta dapat pula di ulang bila
diperlukan.
7. Tes darah dan urine
Sebenarnya osteoporosis tidak dapat di deteksi menggunakan tes darah dan urine. Namun
demikian tes itu kedua tes ini masih mungkin dilakukan untuk mengetahui dan melihat kondisi
lain yang terkait dengan hilangnya massa tulang.

BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status
kesehatan dan pola pertahanan penderita, mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita
yang dapat diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik dan riwayat psikososial.
1. Anamnese
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal
masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai
identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi penanggung
jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan,
hubungan dengan klien dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
Dalam pengkajian riwayat kesehatan, perawat perlu mengidentifikasi adanya:
1) Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher,dan pinggang
2) Berat badan menurun
3) Biasanya diatas 45 tahun
4) Jenis kelamin sering pada wanita
5) Pola latihan dan aktivitas
c. Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga, pengisian waktu luang
dan rekreasi, berpakaian, makan, mandi, dan toilet. Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik
dan individu akan merasa lebih baik. Selain itu, olahraga dapat mempertahankan tonus otot dan
gerakan sendi. Lansia memerlukan aktifitas yang adekuat untuk mempertahankan fungsi tubuh.
Aktifitas tubuh memerlukan interaksi yang kompleks antara saraf dan muskuloskeletal.
Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan menurunnya gerak persendian adalah
agility ( kemampuan gerak cepat dan lancar ) menurun, dan stamina menurun.
2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Inspeksi : Ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : Cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Pada kasus lanjut usia, biasanya didapatkan suara ronki
b. B2 ( Blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering terjadi keringat dingin dan pusing. Adanya pulsus
perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek
obat.
c. B3 ( Brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah, klien dapat mengeluh pusing
dan gelisah.
1) Kepala dan wajah : ada sianosis
2) Mata : Sklera biasanya tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis
3) Leher : Biasanya JVP dalam normal
Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan spinal yang disadari dan halus merupakan
indikasi adanya satu fraktur atau lebih, fraktur kompresi vertebra
d. B4 (Bladder)
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem perkemihan.
e. B5 ( Bowel)
Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi namun perlu di kaji frekuensi, konsistensi,
warna, serta bau feses.
f. B6 ( Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis. Klien osteoporosis sering menunjukan
kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan dan berat badan. Ada perubahan
gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering
terjadi adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang menurun yang dapat
dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang
paling berat. Penipisan korteks dan hilangnya trabekula transversal merupakan kelainan yang
sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebrae menyebabkan penonjolan yang menggelembung
dari nucleus pulposus kedalam ruang intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf.
b. CT-Scan
Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai penting dalam
diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3 biasanya tidak menimbulkan
fraktur vertebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3 ada pada hampir
semua klien yang mengalami fraktur.
B. Analisa Data
No Data Etiologi Problem
1. DS : Tulang rapuh dan mudah Nyeri berhubungan dengan
- Pasien mengatakan Nyeri patah akan menyebabkan dampak skunder dari fraktur
Tulang, belakang yang Fraktur yang akan vertebra
intensitas serangannya mengakibatkan Gangguan
meningkat pada malam pada fungsi ekstremitas atas
hari.(skala : 1-10). dan bawah sehingga
Pergerakan fragmen tulang,
- Pasien mengatakan Sakit hebat spasme otot dan akan
dan terlokalisasi pada vertebra menimbulkan masalah
yg terserang. Nyeri
- Pasien mengatakan Nyeri
berkurang pada saat istirahat di
tempat tidur
DO :
- Pasien kelihatan menahan
nyeri.
- Pasien tidak bisa bergerak
bebas
2. DS : Tulang rapuh dan mudah Hambatan mobilitas fisik
- Pasien mengatakan aktivitasnya patah akan menyebabkan berhubungan dengan
terganggu pasien Jatuh sehingga disfungsi sekunder akibat
- Pasien mengatakan kesulitan terjadi Deformitas skelet perubahan skeletal (kifosis)
dalam bergerak Sehingga menyebabkan atau fraktur baru
DO : Berkurangnya kemampuan
- Pasien mengalami kesulitan pergerakan yang akan
bergerak tempat tidur menyebabkan masalah
- Pasien terlihat terbaring lemah hambatan mobilitas fisik.
di tempat tidur
3. DS : Osteoporosis akan Risiko tinggi injury atau
- Pasien mengatakan lemas Dan menyebabkan Tulang rapuh fraktur berhubungan dengan
kaku dan mudah patah sehingga kecelakaan ringan/jatuh
DO : pasien mudah
- Pasien tampak lemah Jatuh/kecelakaan yang akan
menyebabkan masalah
Resiko Tinggi Cidera
4.
5.
C. Penyimpangan KDM Osteoporosis

Normal ( Osteoblast lebih besar daripada osteoklast)


Penurunan Faali

Menopouse Kurangnya kalsium Disebabkan keadaan medis atau obat-


obatan Tidak diketahui penyebabnya
Kurangnya hormon estrogen Reabsorpsi berkurang GGK dan kelainan hormonal

Penyerapan tulang lebih banyak daripada


pembentukan baru
( Osteoklas lebih besar daripada osteoblast)
Defisiensi Pengetahuan
Massa tulang menurun / densitasnya menurun
OSTEOPOROSIS Kurang
informasi

Pengaruhnya pada fisik Psikososial


Fungsi tubuh menurun : Keterbatasan lingkup gerak Konsep diri
Gangguan harga diri rendah
Hambatan mobilitas fisik
Nyeri punggung Pembatasan gerak dan latihan Gambaran body image

Primer Sekunder
Osteoporosis idiopatik
Pemberian steroid
Post menopouse Senile osteoporosis Osteoblast terganggu
Tulang mudah rapuh dan patah
Reabsorpsi tulang meningkat Absorbsi kalsium meningkat
Resiko cedera
Fraktur vertebrata
Nyeri
D. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri
2. Hambatan mobilitas fisik
3. Gangguan harga diri rendah
4. Resiko cedera
5. Defisiensi pengetahuan
E. Intervensi
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Nyeri NOC : Pain Management
Definisi : Sensori yang tidak
- Pain Level, Pain control, - Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
menyenangkan dan pengalaman
- Comfort level termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
emosional yang muncul secara Kriteria Hasil : kualitas dan factor presipitasi.
actual atau potensial kerusakan
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
jaringan atau menggambarkan nyeri, mampu menggunakan tehnik
- Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
adanya nonfarmakologi untuk mengurang nyeri, mengetahui pengalaman nyeri pasien.
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri mencari bantuan). - Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
Internasional): - Melaporkan bahwa nyeri berkurang
- Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
serangan mendadak atau pelan dengan menggunakan manajemen nyeri. - Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
intensitasnya dari - Mampu mengenali nyeri (skala, tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau.
ringan sampai berat yang dapat intensitas, frekuensi dan tanda nyeri). - Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
diantisipasi dengan - Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri menemukan dukungan.
akhir yang dapat diprediksi dan berkurang. - Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
dengan durasi seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
kurang dari 6 bulan. - Kurangi faktor presipitasi nyeri.
Batasan karakteristik : - Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi,
- Laporan secara verbal atau non non farmakologi dan inter personal).
verbal. - Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
- Fakta dari observasi. intervensi.
- Posisi antalgic untuk - Ajarkan tentang teknik non farmakologi.
menghindari nyeri. - Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
- Gerakan melindungi. - Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.
- Tingkah laku berhati-hati. - Tingkatkan istirahat.
- Muka topeng. - Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan
- Gangguan tidur (mata sayu, tindakan nyeri tidak berhasil.
tampak capek, sulit atau gerakan - Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
kacau, menyeringai). Analgesic Administration
- Terfokus pada diri sendiri. - Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat
- Fokus menyempit (penurunan nyeri sebelum pemberian obat.
persepsi waktu, kerusakan - Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan
proses berpikir, penurunan frekuensi.
interaksi dengan orang dan - Cek riwayat alergi.
lingkungan). - Pilih analgesic yang diperlukan atau kombinasi dari
- Tingkah laku distraksi, contoh : analgesik ketika pemberian lebih dari satu.
jalan-jalan, menemui orang lain - Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe
dan/atau aktivitas, aktivitas dan beratnya nyeri.
berulang-ulang). - Tentukan analgesik pilihan,
- Respon autonom (seperti rute pemberian, dan dosis optimal.
diaphoresis, perubahan tekanan - Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan
darah, perubahan nafas, nadi dan nyeri secara teratur.
dilatasi pupil) - Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
- Perubahan autonomic dalam analgesik pertama kali.
tonus otot (mungkin dalam - Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri
rentang dari lemah ke kaku). hebat.
- Tingkah laku ekspresif (contoh : - Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek
gelisah, merintih, menangis, samping).
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah).
- Perubahan dalam nafsu makan
dan minum.
Faktor yang berhubungan :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis)
2. Defisiensi Pengetahuan NOC : NIC :
Definisi : Tidak adanya atau
- Kowlwdge : disease process. Teaching : disease Process
kurangnya informasi kognitif
- Kowledge : health Behavior - Berikan penilaian
sehubungan dengan topic Kriteria Hasil : tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
spesifik. - Pasien dan keluarga menyatakan penyakit yang spesifik.
Batasan karakteristik : pemahaman tentang penyakit, kondisi,
- Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal
memverbalisasikan adanya prognosis dan program pengobatan. ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan
masalah, ketidakakuratan
- Pasien dan keluarga mampu melaksanakan cara yang tepat.
mengikuti instruksi, perilaku prosedur yang dijelaskan secara benar. - Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada
tidak sesuai. - Pasien dan keluarga mampu menjelaskan penyakit, dengan cara yang tepat.
Faktor yang berhubungan : kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
- Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat.
keterbatasan kognitif, kesehatan lainnya - Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang
interpretasi terhadap informasi tepat.
yang salah, kurangnya keinginan - Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi,
untuk mencari informasi, tidak dengan cara yang tepat.
mengetahui sumber-sumber - Hindari harapan yang kosong.
informasi. - Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan
pasien dengan cara yang tepat.
- Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang
akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit.
- Diskusikan pilihan terapi atau penanganan.
- Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau
mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat
atau diindikasikan.
- Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan,
dengan cara yang tepat.
- Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal,
dengan cara yang tepat.
- Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk
melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan,
dengan cara yang tepat.
3. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC:

Defenisi : keterbatasan pada Joint movement: active Exercise theraphy : ambulation
pergerakan fisik  Mobility level  Monitoring vital sign sebelum/sesudah
 Self care : ADLs
Tubuh atau satu atau lebih latihan dan lihat respon pasien saat latihan
ekstremitas secara Kriteria hasil :  Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
Mandiri atau terarah  Klien meningkat dalam aktifitas fisik rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan

 
Mengerti tujuan dari peningkatan mobilias Bantu klien untuk menggunakan tongkat

 Memverbalisasikan perasaan dalam Saat berjalan dan cegah terhadap cedera

meningkatkan kekuatan dan kemampuan  Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan


berpindah Lain tentang teknik ambulasi

 Memperagakan penggunaan alat bantu  Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi


Untuk mobilisasi  Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri sesuai dengan
Kemampuan
 Damping dan bantu pasien saat mobilisasi
Dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien
 Berikan alat bantu jika klien memerlukan
4. Risiko cidera NOC NIC

Definisi : beresiko mengalami Risk control Environment management (manajemen lingkungan
cedera sebagai akibat kondisi Kriteria hasil :  Sediakan lingkungan yang aman untuk
lingkungan yang berinteraksi
- Klien terbebas dari cedera Pasien
dengan sumber adaptif 
dan Klien mampu menjelaskan cara atau Identifikasi kebutuhan keamanan pasien
sumber defensive individu. metode Sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
Untuk mencegah injury/cedera Kognotif pasien dan riwayat penyakit
 Klien mampu menjelaskan factor resiko Terdahulu pasien.
dari  Menghindari lingkungan yang berbahaya
Lingkungan / perilaku personal (memindahkan perabotan)
 Mampu memodifikasi gaya hidup untuk  Menyediakan tempat tidur yang nyaman
Mencegah injury/ cedera Dan bersih
 
Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada Menganjurkan keluarga pasien untuk
 Mampu mengenali perubahan status Menemani pasien
Kesehatan.  Memindahkan barang-barang yang dapat
Membahayakan

Harga diri rendah situasional NOC NIC


Definisi : 
Perkembangan Body image Self estreem enhancement
persepsi negative  Coping ineffective  Tunjukan rasa percaya diri terhadap
Tentang harga diri sebagai Kriteria hasil : Kemampuan pasien untuk mengatasi
respon terhadap  Adaptasi terhadap ketunandayaan Situasi
Situasi saat ini Fisik: respon adaptif klien terhadap  Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan
Tantangan fungsional penting akibat Dirinya
Ketunandayaan fisik  Ajarkan keterampilan perilaku yang positif
 Resolusi berduka : penyusuaian dengan Melalui bermain peran, atau diskusi
Kehilangan actual atau kehilangan yang  Monitor frekuensi komunikasi verbal
Akan terjadi Pasien yang negative
 
Penyusuaian psikososial: perubahan hidup Kaji alasan-alasan untuk mengkritik atau
Respon psikososial adaptif individu Menyalahkan diri sendiri
terhadap
Perubahan bermakna dalam hidup
 Mengungkapkan penerimaan diri
Komunikasi terbuka
 Menggunakan strategi koping efektif
F. Implementasi
Selama tahap implementasi, perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi
keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien memenuhi kebutuhan yang telah
direncanakan.
G. Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
1. Nyeri berkurang
2. Terpenuhinya kebutuhan mobilitas fisik
3. Status psikologi yang seimbang
4. Tidak terjadi cedera
5. Terpenuhinya kebutuhan, pengetahuan dan informasi

Anda mungkin juga menyukai