BAB II Efusi Pleura
BAB II Efusi Pleura
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam
jumlah berlebihan didalam rongga pleura. Selain cairan dapat juga terjadi
penumpukan pus atau darah. Dalam keadaan normal jumlah cairan dalam rongga
pleura sekitar 10-20 cc, yang berfungsi sebagai lapisan tipis yang selalu bergerak
teratur dan berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura ( pleura viseralis dan
pleura parietalis ). Efusi pleura bukanlah suatu disease entity tapi merupakan
suatu gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa (John dan John,
M., 1993).
2.3 ETIOLOGI
Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap
yang pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis
transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang
mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
4
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura
tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat
Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif
memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi
pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal di dalam serum.
5
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh
bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun
anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,
Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan
pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan
cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi
melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening,
dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral.
Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari
jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada
didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya
unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien
pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan,
dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-
paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi
bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi
terjadinya efusi ini diduga karena :
Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi
kebocoran kapiler.
Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan
aliran balik sirkulasi.
6
Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan
negatif intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura
yang ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan
pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan
pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik
cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum
(needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita
cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus
efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun
drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang
terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube
thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:
Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam
waktu beberapa jam saja.
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi
parapneumonik.
b) Transudat, disebabkan oleh :
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.
Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena
7
sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan
filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler
pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah
subpleura dan aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga
filtrasi cairan ke rongg pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat
juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit
menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi
kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya
teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera
menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita
amat sesak.
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah
dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui
lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi
biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan
dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol
asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan
yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa
(peritoneal venous shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap
kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa dengan suntikan agen yang
menyebakan skelorasis.
4. Meig’s Syndrom
8
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-
penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat
menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma
dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya
metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya
dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura
melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini
terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan
dialisat.
c) Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak
yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena
faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan
pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal
dari trauma dinding dada.
2.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi ( transudat ) kedalam rongga
pleura tetapi cairan ini segera direabsorbsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi
keseimbangan produksi dan reabsorbsi (Price dan Wilson., 1995).
Tiap harinya diproduksi cairan kira-kira 16,8 ml ( pada orang dengan berat
badan 70 kg ). Kemampuan untuk reabsorbsinya dapat meningkat sampai 25 kali.
Apabila antara produksi dan reabsorbsinya tidak seimbang (produksinya
meningkat atau reabsorbsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura. Cairan
yang masuk kedalam rongga pleura dapat berasal dari ruang interstitial paru,
9
kapiler pleura, saluran limfe toraks dan dari rongga peritonium (Price dan Wilson.,
1995).
Menurut Price dan Wilson (1995), akumulasi cairan pleura dapat terjadi
apabila :
Meningkatnya tekanan intravaskular dari pleura meningkatkan
pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum starling.
Keadaan ini dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan
sindroma vena cava superior.
Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih
banyak cairan masuk kedalam rongga pleura.
Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis,
baik karena obstruksi bronkhus atau penebalan pleura viseralis.
Adanya defek diafragma yang mengakibatkan hubungan rongga pleura
dengan peritonium, sehingga kalau ada penimbunan cairan dalam rongga
peritonium, cairan akan masuk kedalam rongga pleura.
Obstruksi dari saluran limfe pada pleura parietalis. Saluran limfe bermuara
pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan
menghambat pengosongan cairan limfe.
10
Keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan perubahan pada rongga pleura
itu diantaranya adalah infeksi. Paling sering ditemukan adalah infeksi oleh
bakteri, sedangkan virus, jamur dan parasit relatif jarang ditemukan (Price dan
Wilson., 1995).
11
tanda yang sesuai dengan efusi pleura yang lebih besar adalah penurunan
premitus, redup pada perkusi dan berkurangnya suara nafas. Pada efusi luas yang
menekan paru, aksentuasi suara napas dan egofoni ditemukan tepat diatas batas
efusi. Adanya friction rub pleural menandai pleuritis. Efusi pleura masif dengan
tekanan intrapleural yang meninggi dapat menyebabkan pergeseran trak hea
kearah kontralateral dan pendataran spatium interkostal (Lawrence, dkk, 2002).
B. Hasil Laboratoris
Thorakosentesis diagnostik sebaiknya dilakukan bila efusi pleura
terdeteksi dan tidak ada gambaran jelas mengenai penyebabnya. Foto proyeksi
dekubitus merupakan cara yang baik untuk mendeteksi cairan pleura bebas.
Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk memastikan lokasi thorakosentesis
pada efusi pleura yang sedikit atau terlokalisir (Lawrence, dkk, 2002).
Transudat terjadi pada keadaan integritas kapiler yang normal namun ada
perubahan tekanan onkotik dan hidrostatik. Transudat dengan demikian tidak
mempunyai protein dan LDH pembeda seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
dan mempunyai karakteristik lainnya (hitung sel darah putih < 1000/mL, dengan
dominasi sel mononuklear, kadar glukosa dicairan pleura sama dengan yang
diserum, dan pH yang normal. Transudat mengarah pada tidak adanya penyakit
pleura lokal, lebih dari 90% disebabkan gagal jantung kongestif. Jika ada
kecurigaan eksudat, thorakosentesis harus dilakukan. Adanya sel maligna atau
hasil kultur yang positif merupakan temuan definitive pada cairan pleura,
identifikasi penyebab lain tergantung pada kumpulan pemeriksaan fisik,
laboratorium atau biopsi. Pemeriksaan laboratorium pada cairan pleura harus
mencakup angka lekosit dan hitung jenis lekosit, protein, glukosa, dan LDH. pH
cairan pleura penting untuk memudahkan diagnosis banding pada efusi eksudat.
pH yang kurang dari 7,30 berindikasi kepada kanker, efusi parapneumonik
komplikasi, efusi rheumatoid atau lupus, tuberculosis, atau rupture esofageal.
Persentase yang tinggi dari limfosit dicairan pleura mengarah ke tuberculosis
(sebagaimana tidak adanya sel mesothelial) atau kanker. Kadar glukosa cairan
pleura yang rendah mengarah ke kanker, empiema, tuberculosis, rupture esofagus,
12
atau penyakit jaringan ikat (khususnya pleuritis rheumatoid). Peningkatan level
amylase cairan pleura mengarah ke satu dari diagnosis berikut : pankreatitis,
pseudokista pankreas, kanker pankreas atau rupture esofagus (Lawrence, dkk,
2002).
Biopsi pleura dengan jarum Abrams atau Cope mesti dipikirkan jika ada
kecurigaan keganasan atau tuberculosis dalam diagnosis banding efusi pleura
yang tidak dapat dijelaskan setelah pemeriksaan rutin dan thorakosentesis.
(Lawrence, dkk, 2002).
Kontraindikasi termasuk perdarahan diathesis, cadangan udara respirasi
sedikit, empiema dan kekurangan cairan pleura. Hasil yang diharapkan dari
prosedur kira-kira 55% pada keganasan pleura sedikit berkurang dengan
pemeriksaan sitologi cairan pleura, dan lebih 75% pada tuberculosis pleura jika
fragmen jaringan diserahkan untuk kultur sebaik pemeriksaan histology. Biopsi
pleura terbuka kadang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis keganasan pleura
dan khusus diindikasikan untuk diagnosis mesothelioma pleura maligna.
Thorakoskopi dengan alat yang lentur atau kaku adalah sebuah prosedur alternatif
dengan ketepatan diagnosis yang baik pada orang yang berpengalaman
(Lawrence, dkk, 2002).
C. Pencitraan
Sekitar 250 mL cairan pleura harus didapatkan sebelum efusi dapat
dideteksi pada radiograf dada konvensional dengan posisi tegak posterioanterior.
Gambaran decubitus lateral dapat mendeteksi jauh lebih kecil cairan pleura bebas.
CT scanning sensitive dalam pendeteksian sejumlah kecil cairan pleura. Cairan
pleura bebas mengumpul di area subpulmonar. Sebagian besar cairan meluap
masuk kedalam sulcus costophrenicus untuk membentuk suatu meniscus.
Penebalan fisura mayor dan minor merupakan hal yang biasa terjadi. Kumpulan
cairan pleura yang tidak normal seringkali terlihat. Pemindahan apeks diafragma
ke lateral dan kehilangan tanda pulmo pada tingkat diafragma secara mendadak
merupakan ciri-ciri efusi subpulmoner. Cairan pleura dapat menjadi penjerat
(lokulus) oleh adhesi pleura, pembentukan kumpulan yang tidak seperti biasanya
13
disekitar dinding dada atau difisura pulmo. Bayangan dengan sebuah dasar yang
lebar pada dinding dada dimana tempat keluar masuk hilum merupakan
karakteristik dari efusi terlokulasi. Kumpulan cairan terlokulasi yang bulat atau
oval pada fisura-fisura menyerupai tumor (“pseudotumor”). Ultrasound sangat
bermanfaat untuk menetapkan efusi terlokulasi atau efusi kecil. Efusi pleura
massif (opasifikasi dari seluruh hemitoraks) biasanya disebabkan oleh kanker
tetapi telah diamati pada tuberculosis dan penyakit lain (Lawrence, dkk, 2002).
2.6 Diagnosis
Kriteria Diagnosis :
- Sering asimptomatik, ada nyeri dada pleuritik bila terdapat pleuritis,
dispnea bila efusi luas.
- Fremitus menurun, perkusi redup, suara nafas menjauh, egofoni bila
efusi luas.
- Gambaran radiologik efusi pleura.
- Bukti diagnostik dengan thorakosentesis.
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda sebagai berikut :
1. Demam.
2. Sesak nafas.
3. Batuk, biasanya batuknya terdengar tajam.
4. Sikap terpaksa lebih enak berbaring pada posisi yang sakit kadang-
kadang dijumpai.
5. Gejala lain yang berhubungan dengan kausa, misalnya tuberkulosa.
6. Tanda pada paru tergantung dari cairan :
- Lebih cembung dan ketinggalan gerak pada paru yang sakit.
- Redup absolut pada cairan dengan batas atas cairan melengkung
dari medial kaudal ke lateral kranial (garis Ellis Damoiseau).
- Auskultasi vesikuler diperlemah diatas redup.
- Tanda pemadatan paru pada segitiga Garland : kadang-kadang juga
pada segitiga Grocco.
- Fremitus suara diperlemah pada bagian redup.
14
7. Radiologik tergantung jumlah cairan :
- Cairan banyak.
- Cairan sedikit : hanya mengisi sudut frenikokostal.
8. Darah tepi :
- Leukositosis bila infeksi bakterial, terutama bila ada pus
(empyema).
- KED meningkat pada infeksi khususnya bakterial.
9. Punksi pleura.
15
1. Aerob diantanya adalah : Streptokokus pneumonia, Streptokokus mileri,
Stafilokokus aureus, Hemofilus spp, Entamoeba koli, Klebsiela,
Pseudomonas spp.
2. Anaerob : Bakteroides spp, Peptostreptokokus, Fusobakterium.
Pemberian kemoterapi dengan Ampisilin 4x1 gram dan Metronidazol
3x500 mg hendaknya sudah dimulai sebelum kultur dan sensitivitas bakteri
didapat. Terapi lain yang lebih penting adalah mengalirkan cairan efusi yang
terinfeksi tersebut keluar dari rongga pleura dengan efektif (Bahar, 2000).
16
menghilangkanya eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis.
Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kadang dapat juga
terjadi fibrotoraks. Untuk mencegah ini dapat diberikan kortikosteroid secara
sistemik (Bahar, 2000).
17
Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tapi dapat juga bilateral.
Mekanismenya adalah karena berpindahnya cairan yang kaya dengan enzim
pankreas ke rongga pleura melalui saluran getah bening. Efusi pleura disini
bersifat eksudat serosa, tapi kadang-kadang bisa juga hemoragik. Kadar amilase
dalam efusi lebih tinggi dari pada dalam serum (Bahar, 2000).
Efusi pleura juga sering terjadi setelah 48-72 jam pasca operasi abdomen
seperti splenektomi, operasi terhadap obstruksi intestinal atau pasca operasi
atelektasis. Biasanya terjadi unilateral dan jumlah efusi tidak banyak (lebih jelas
terlihat pada foto lateral dekubitus). Cairan bersifat eksudat dan mengumpul pada
sisi operasi. Efusi pleura pasca operasi biasanya bersifat benigna dan kebanyakan
akan sembuh secara spontan (Bahar, 2000).
1. Sirosis Hati
Efusi pleura dapat terjadi pada penderita dengan sirosis hati. Kebanyakan
efusi pleura timbulnya bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan
antara cairan asites dengan cairan pleura, karena terdapat hubungan fungsional
antara rongga pleura dan rongga abdomen melalui saluran getah bening atau celah
jaringan otot diafragma (Bahar, 2000).
Kebanyakan efusi menempati pleura kanan (70%) dan efusi bisa juga
terjadi bilateral. Torakosentesis kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi
sesak nafas, tapi bila asitesnya padat sekali, cairan pleura akan timbul lagi dengan
cepat. Dalam hal ini perlu dilakukan terapi peritoneosentesis disamping terapi
terhadap penyakit asalnya (Bahar, 2000).
2. Sindrom Meig
Tahun 1937 Meig dan Cass menemukan penyakit tumor pada ovarium
(jinak atau ganas) disertai asites dan efusi pleura. Patogenesis terjadinya efusi
pleura ini masih belum diketahui betul. Bila tumor ovarium tersebut dibuang,
efusi pleura dan asitesnya segera menghilang. Adanya massa dirongga pelvis
disertai asites dan eksudat cairan pleura sering ditafsirkan sebagai neoplasma dan
metastasisnya (Bahar, 2000).
3. Dialisis peritoneal
18
Efusi pleura dapat terjadi selama dan sesudah dilakukannya dialysis
peritoneal. Efusi terjadi pada salah satu paru maupun bilateral. Perpindahan cairan
dialisat dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma.
Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan
dialisat (Bahar, 2000).
19
juga ditemukan efusi pleura dengan sifat eksudat. Jumlah cairan efusi biasanya
sedikit dan segera menghilang bila demam reumatiknya berkurang (Bahar, 2000).
3. Skleroderma
Efusi pleura juga didapatkan pada penyakit skleroderma. Jumlah cairan
efusinya tidak banyak, tapi yang menonjol disini adalah penebalan pleura atau
adhesi pleura yang terdapat pada 75% penderita scleroderma (Bahar, 2000).
2. Emboli pulmonal
Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli pulmonal.
Keadaan ini dapat disertai infark paru ataupun tanpa infark. Emboli menyebabkan
menurunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi iskemia maupun
kerusakan parenkim paru dan memberikan peradangan dengan efusi yang
berdarah (warna merah) (Bahar, 2000).
20
Pada bagian paru yang iskemik terdapat juga kerusakan pleura viseralis.
Keadaan ini kadang-kadang disertai rasa sakit pleuretik yang berarti pleura
parietalis juga ikut terkena. Disamping itu permeabilitas antara satu ataupun kedua
bagian pleura akan meningkat, sehingga cairan efusi mudah terbentuk. Adanya
nyeri pleuritik dan efusi pleura pada emboli pulmonal tidak berarti infark paru
juga harus terjadi. Cairan efusi bersifat eksudat, jumlahnya tidak banyak dan
biasanya sembuh secara sepontan, asal tidak terjadi emboli pulmonal lainnya.
Pada efusi pleura dengan infark paru jumlah cairan efusinya lebih banyak dan
waktu penyembuhan juga lebih lama (Bahar, 2000).
Pengobatan ditujukan terhadap embolinya yakni dengan memberikan obat
anti koagulansia dan mengontrol keadaan trombosisnya (Bahar, 2000).
3. Hipoalbuminemia
Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia seperti sindrom
nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta anasarka. Efusi terjadi
karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan
tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat
transudat (Bahar, 2000).
Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan retraksi pemberian
garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin
(Bahar, 2000).
21
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan efusi atau biopsi pleura parientalis sangat
menentukan diagnosis terhadap jenis-jenis neoplasma (Bahar, 2000).
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma
yakni (Bahar, 2000) :
- Dengan menumpuknya sel-sel tumor, akan meningkatkan permeabilitas pleura
terhadap air dan protein.
- Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah
vena dan getah bening, sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan
cairan dan protein.
- Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hipoproteinnemia.
Efusi pleura karena neoplasma biasanya unilateral, tetapi bisa juga
bilateral karena obstruksi saluran getah bening, adanya metastasis dapat
meningkatkan pengaliran cairan dari rongga peritoneal ke rongga pleura via
diafragma. Keadaan efusi pleura dapat bersifat maligna. Keadaan ini ditemukan
pada 10-20% karsinoma bronchus, 8% dari limpoma malignan dan leukaemia
(Bahar, 2000).
Jenis-jenis neoplasma yang menyebabkan efusi pleura adalah :
a. Mesotelioma
Mesotelioma adalah tumor primer yang berasal dari pleura. Tumor ini
tidak banyak ditemukan. Bila tumor masi terlokalisasi, ia tidak menimbulkan efusi
pleura, sehingga dapat digolongkan sebagai tumor jinak. Sebaliknya bila ia
tersebar (difus), digolongkan sebagai tumor ganas karena dapat menimbulkan
efusi pleura yang maligna (Bahar, 2000).
b. Karsinoma bronkus
Jenis karsinoma ini adalah yang terbanyak menimbulkan efusi pleura.
Tumor biasa ditemukan dalam permukaan pleura karena penjalaran langsung dari
paru-paru melalui pembuluh getah bening. Efusi dapat juga terjadi tanpa adanya
pleura yang terganggu, yakni dengan cara obstruksi pneumonitis atau menurunya
aliran getah bening. Dalam hal ini terapi dengan operasi terhadap tumornya masih
dapat dipertimbangkan. Tetapi bila dalam pemeriksaan sitologi sudah ditemukan
22
sel-sel ganas dalam cairan pleura, penderita tidak dapat dioperasi lagi. Untuk
mengurangi keluhan sesak nafasnya dapat dilakukan thorakosintesis secara
berulang-ulang. Tapi sering cairan timbul lagi dengan cepat, sehingga kadang-
kadang pipa thorakotomi tidak dilepaskan dari dinding dada (resikonya timbul
empiema).tindakan lain untuk mengurangi timbulnya lagi cairan adalah dengan
pleurodesis memakai zat-zat seperti tetrasiklin, talk, sitostatika, kuinakrin dan
lain-lainnya (Bahar, 2000).
c. Neoplasma metastatik
Jenis-jenis neoplasma yang sering bermetastasis ke pleura dan
menimbulkan efusi adalah : karsinoma payudara (terbanyak), ovarium, lambung,
ginjal, pankreas dan bagian-bagian organ lainnya abdomen (Bahar, 2000).
Efusi pleura yang terjadi dapat bilateral. Pada gambaran radiologis dada
mungkin tidak terlihat bayangan metastasis di jaringan paru, karena inplantasi
tumor hanya mengenai pleura viseralis saja (Bahar, 2000).
Pengobatan terhadap neoplasma metastatik ini sama dengan karsinoma
bronkhus yakni dengan kemoterapi dan penanggulangan terhadap evolusi
pleuranya (Bahar, 2000).
d. Limpoma malignum
Dari kasus-kasus limpoma malignum (non-hodgkin dan Hodgkin) ternyata
30% bermetastasis ke pleura dan juga menimbulkan efusi pleura. Didalam cairan
efusi tidak selalu terdapat sel-sel ganas seperti pada neoplasma lainnya. Biasanya
ditemukan sel-sel limfosit karena sel ini ikut dalam aliran darah dan aliran getah
bening melintasi rongga pleura. Diantara sel-sel yang bermigrasi inilah kadang-
kadang ditemukannya sel-sel ganas limpoma malignum (Bahar, 2000).
23
- Bila efusi terjadi karena obstruksi duktus torasikus, cairannya akan berbentuk
kil.
- Bila efusi terjadi karena infeksi pleura pada penderita limpoma malignum
karena menurun resistensinya terhadap infeksi, efusi akan berbentuk empiema
akut atau kronik.
Seperti pada neoplasma lainnya, efusi pleura yang berulang (efusi
maligna) pada limpoma malignum kebanyakan tidak responsive terhadap tindakan
torakostomi dan instilasi dengan beberapa zat kimia. Keadaan dengan efusi
maligna ini mempunyai prognosis yang buruk (Bahar, 2000).
24
Sebagian besar efusi pleura karena uremia tidak memberikan gejala yang
jelas seperti sesak nafas, sakit dada, atau batuk. Jumlah efusi bisa sedikit atau
banyak, unilateral atau bilateral. Kadang-kadang dengan dialisis yang teratur,
efusi dapat terserap perlahan-lahan. Torakosintesis sewaktu-waktu masih
diperlukan (Bahar, 2000).
c. Miksedema
Efusi pleura dan efusi perikardium dapat terjadi sebagai bagian
miksedema. Efusi dapat terjadi tersendiri maupun secara bersama-sama. Cairan
bersifat eksudat dan mengandung protein dengan konsentrasi tinggi (Bahar, 2000).
d. Limfedema
Limfedema secara kronik dapat terjadi pada tungkai, muka, tangan dan
efusi pleura yang berulang pada satu atau kedua paruh. Pada beberapa penderita
terdapat juga kuku jari yang berwarna kekuning-kuningan (Bahar, 2000).
Patogenesis efusi pleura yang bersifat eksudat ini belum diketahui betul,
tapi diperkirakan karena adanya kegagalan aliran getah bening (Bahar, 2000).
e. Demam familial meditranian
Penyakit ini banyak terdapat didaerah timur tengah terutama pada bangsa
yahudi. Penyakit diturunkan secara autosomal resesif dari orang tua ke anaknya.
(Bahar, 2000).
Gejala penyakit berupa : serangan demam yang berulang, rasa sakit
abdominal dan pleuritis. Pleuritis disini dapat memberikan rasa nyeri pleuritik dan
efusi pleura. Pengobatan bersifat suportif saja dan operasi sebaiknya dihindarkan
(bahar, 2000).
f. Reaksi hipersensitif terhadap obat
Pengobatan dengan nitrofurantoin, metilsergid, praktolol kadang-kadang
memberikan reaksi atau perubahan terhadap paru-paru dan pleura berupa radang
dan kemudian juga akan menimbulkan efusi pleura. Bila proses menjadi kronik
bisa terjadi fibrosis paru atau pleura (Bahar, 2000).
Pengobatan dengan hidralazin, prokainamid dan kadang-kadang dengan
difenil hidantoin dan isoniazid sering juga menimbulkan pleuritis dan perikarditis
25
(drug induced lupus syndrome). Radang dan efusi yang timbul dapat menghilang
bila pemberian obat-obat tersebut dihentikan (Bahar, 2000).
g. Sindrome dressler
Pleuritis dan perikarditis dapat terjadi setelah satu sampai enam minggu
serangan infark jantung akut, tindakan resusitasi jantung atau operasi kardiotomi.
Cairan pleura/perikardium yang kemudian timbul bersifat eksudat, steril,
berwarna serosa atau hemoragik. Keadaan ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitifitas otot jantung dan perikardium terhadap tindakan/pengobatan
narkosis. Terapi hanya simtomatik saja karena penyakit ini tergolong self-limited
(Bahar, 2000).
h. Sarkoidosis
Efusi pleura sebenarnya tidak banyak ditemukan pada sarkoidosis. Efusi
biasanya unilateral tapi dapat juga bilateral. Cairan bersifat eksudat, serosa tapi
bisa juga hemoragik, banyak sel-sel limfosit (Bahar, 2000).
Diagnosis untuk sarkoidosis ialah dengan tuberculin negative, biopsi
pleuranya mengandung granulomata non kaseosa dan hasil kultur negative untuk
mikobakterium dan organisme mikosis lainnya (Bahar, 2000).
K. Efusi pleura idiopatik
Pada beberapa efusi pleura, walaupun telah dilakukan prosedur diagnostik
secara berulang-ulang (pemeriksaan radiologis, analisis cairan, biopsi pleura dan
lain-lain), kadang-kadang masih belum bisa didapatkan diagnosis yang pasti.
Keadaan ini dapat digolongkan dalam efusi pleura idiopatik. Hasil pemeriksaan
dengan operasi kadang-kadang hanya menunjukkan pleura yang menebal karena
pleuritis yang non sepesifik (Bahar, 2000).
Cairan pleuranya kebanyakan bersifat eksudatif dan berisi beberapa jenis
sel. Penyebab efusi pleura ini banyak yang belum jelas, tapi diperkirakan karena
adanya infeksi, reaksi hipersensitifitas, kontaminasi dengan asbestos dan lain-lain.
Pada daerah-daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi (negara-negara
yang sedang berkembang), efusi pleura idiopatik ini kebanyakan dianggap sebagai
pleuritis tuberculosa, sedangkan pada negara-negara yang maju sering dianggap
sebagai pleuritis karena penyakit kolagen atau neoplasma (Bahar, 2000).
26
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Umum
- O2 : bila timbul dispnea lakukan pengukuran gas darah arteri dan berikan
oksigen 5 Liter/menit dengan masker atau melalui hidung.
- Torakosentesis : bila pada pemeriksaan toraks atau sinar X toraks
menunjukkan adanya pengumpulan cairan yang massif (kebanyakan pada
satu sisi toraks), lakukan torakosentesis untuk mengeluarkan cairan
sebanyak 500-1.000 ml, sehingga dapat mengurangi gejala yang timbul.
Pengeluaran cairan dilakukan selama 30-90 menit untuk mencegah
terjadinya edema paru pada paru yang sedang mengembang lagi. Pada
cairan yang diambil dilakukan pemeriksaan jumlah sel, kadar protein dan
glukosa, pemeriksaan sitologik dan biakan. Bila pasien tidak dalam
keadaan terganggu, torakosentesis ditunda sampai pasien dirawat di rumah
sakit.
2.8.2 Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi
juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat
dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di
daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di
bawah batas suara sonor dan redup.
c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan
jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya
disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai
diahfrahma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau
jarum tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau
pleura parietalis tebal.
27
Gambar 2. Metode torakosentesis
28
a. tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea
aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar
kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
c. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai
mendapatkan pleura parietalis.
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian
trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang
toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat
dengan kasa dan plester.
g. selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari
luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.
h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.
Untuk memastikan dilakukan foto toraks.
i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan
paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
29
2.8.4 Pleurodesis
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan
penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan
adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-
fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat
dikeluarkan sbanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg)
diberikan selang waktu 710 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan
WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang
menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali
cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan
paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam
3050 ml larutan garram faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga
pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml
larutan garam faal untuk membilas selang serta 10 ml lidokain 2% untuk
mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik
diberikan 11,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna
mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama 6 jam dan
posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh
bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak
keluar, selang toreaks dapat dicabut
30