Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS ANAK

SPEECH DELAY
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani

Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian Kedokteran Keluarga

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Disusun Oleh :

Hafiz Mirza Fadrian Shulaiha Wannur Lubis

Sarah Fadillah Putri Novian Zahra

Silvia Arga M. Caesar Tursina

Izzatunisa

Pembimbing:

dr. M. Thaib, Sp.A

dr. Amanda Yufika

SMF/ BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa adalah barometer dari perkembangan kognitif maupun emosi .
Perkembangan bahasa terjadi pada usia 2-5 tahun. Kemahiran bahasa tergantung pada
llingkungan maupun faktor instrinsik berupa bagaimana cara orang tua mengajarkan
berbicara.1
Berdasarkan prevalensi di seluruh dunia terdapat 1 dari 160 anak memiliki ASD
(Autism Spectrum Disorder). Prevalensi ASD di banyak negara berpenghasilan
rendah dan menengah. Berdasarkan studi epidemiologi yang dilakukan selama 50
tahun terakhir, prevalensi ASD meningkat secara global. ASD (Autism Spectrum
Disorder) adalah gangguan perkembangan saraf yang memengaruhi kemampuan anak
dalam berkomunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. 2
Keterlambatan bicara dan bahasa dialami oleh 5-8% anak usia prasekolah.
Prevalensi keterlambatan bicara di Indonesia terjadi pada bayi umur 24-59 bulan yang
mengalami kecacatan. Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat
diobservasi, termasuk karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Data ini menunjukkan
bahwa persentase anak tuna wicara meningkat hampir 2 kali lipat dibandingkan pada
tahun 2010. 3
Tuna wicara (berbicara/bisu) merupkan anak yang memiliki hambatan dalam
pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki
hambatan dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tuna wicara. Gangguan
berbicara pada anak balita (<5 tahun) bisanya terjadi karena anak mengalami
hambatan pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen yang berakibat anak
mengalami hambatan berbicara. Jadi anak mengalami gangguan pendengaran dan
berbicara (tuli bisu). 3
Keterlambatan bicara dapat disebabkan oleh gangguan pendengaran, gangguan
pada otak (misalnya retardasi mental, gangguan bahasa spesifik reseptif dan/atau
ekspresif), autisme, atau gangguan pada organ mulut yang menyebabkan anak sulit
melafalkan kata-kata (dikenal sebagai gangguan artikulasi). Untuk menegakkan
diagnosis penyebab keterlambatan bicara, perlu pemeriksaan yang teliti oleh dokter,
Keterlambatan bicara membutuhkan pendanganan oleh dokter anak, dokter THT, dan
psikolog atau psikiater anak. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bicara

Kemampuan bicara dan bahasa adalah dua hal yang diukur secara terpisah dan
secara bersama-sama dianggap mencerminkan kemampuan lisan seorang anak secara
keseluruhan. Kemampuan bicara terdiri dari berbagai bunyi yang dibuat orang dengan
mulut mereka untuk berkomunikasi. Hal tersebut diukur dengan membandingkan
berbagai bunyi yang dibuat orang dengan mulut mereka untuk menyampaikan suatu
pesan; hal tersebut merupakan suatu saran yang digunakan untuk berkomunikasi. Hal
tersebut diukur dengan membandingkan berbagai bunyi tertentu serta berbagai
kombinasi bunyi yang digunakan seorang anak dengan norma-norma yang ada bagi
kelompok seusianya. Kemampuan bicara juga melibatkan kualitas, puncak, taksiran,
dan intonasi suara

2.2 Tahapan Perkembangan Bicara Pada Anak

Usia 0-6 bulan


Saat lahir, bayi hanya dapat menangis untuk menyatakan keinginannya. Pada
usia 2-3 bulan, bayi mulai dapat membuat suara-suara seperti “aah” atau “uuh” yang
dikenal dengan istilah cooing. Ia juga senang bereksperimen dengan berbagai bunyi
yang dapat dihasilkannya, misalnya suara menyerupai berkumur. Bayi juga mulai
bereaksi terhadap orang lain dengan mengeluarkan suara. Setelah usia 3 bulan, bayi
akan mencari sumber suara yang didengarnya dan menyukai mainan yang
mengeluarkan suara.
Mendekati usia 6 bulan, bayi dapat berespons terhadap namanya sendiri dan
mengenali emosi dalam nada bicara. Cooing berangsur menjadi babbling, yakni
mengoceh dengan suku kata tunggal, misalnya papapapapa, dadadadada, bababababa,
mamamamama. Bayi juga mulai dapat mengatur nada bicaranya sesuai emosi yang
dirasakannya, dengan ekspresi wajah yang sesuai.
Usia 6-12 bulan
Pada usia 6-9 bulan, bayi mulai mengerti nama-nama orang dan benda serta
konsep-konsep dasar seperti ya, tidak, habis. Saat babbling, ia menggunakan intonasi
atau nada bicara seperti bahasa ibunya. Ia pun dapat mengucapkan kata-kata
sederhana seperti mama dan papa tanpa arti.
Pada usia 9-12 bulan, ia sudah dapat mengucapkan mama dan papa (atau istilah
lain yang biasa digunakan untuk ibu dan ayah atau pengasuh utama lainnya) dengan
arti. Ia menengok apabila namanya dipanggil dan mengerti beberapa perintah
sederhana (misal lihat itu, ayo sini). Ia menggunakan isyarat untuk menyatakan
keinginannya, misalnya menunjuk, merentangkan tangan ke atas untuk minta
digendong, atau melambaikan tangan (dadah). Ia suka membeo, menirukan kata atau
bunyi yang didengarnya. Pada usia 12 bulan bayi sudah mengerti sekitar 70 kata.
Usia 12-18 bulan
Pada usia ini, anak biasanya sudah dapat mengucapkan 3-6 kata dengan arti,
dapat mengangguk atau menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan,
menunjuk anggota tubuh atau gambar yang disebutkan orang lain, dan mengikuti
perintah satu langkah (Tolong ambilkan mainan itu). Kosakata anak bertambah
dengan pesat; pada usia 15 bulan ia mungkin baru dapat mengucapkan 3-6 kata
dengan arti, namun pada usia 18 bulan kosakatanya telah mencapai 5-50 kata. Pada
akhir masa ini, anak sudah bisa menyatakan sebagian besar keinginannya dengan
kata-kata
Usia 18-24 bulan
Dalam kurun waktu ini anak mengalami ledakan bahasa. Hampir setiap hari ia
memiliki kosakata baru. Ia dapat membuat kalimat yang terdiri atas dua kata (mama
mandi, naik sepeda) dan dapat mengikuti perintah dua langkah. Pada fase ini anak
akan senang mendengarkan cerita. Pada usia dua tahun, sekitar 50% bicaranya dapat
dimengerti orang lain.
Usia 2-3 tahun
Setelah usia 2 tahun, hampir semua kata yang diucapkan anak telah dapat
dimengerti oleh orang lain. Anak sudah biasa menggunakan kalimat 2-3 kata dan
mulai menggunakan kalimat tanya. Ia dapat menyebutkan nama dan kegunaan benda-
benda yang sering ditemui, sudah mengenal warna, dan senang bernyanyi atau
bersajak (misalnya Pok Ami-Ami).
Usia 3-5 tahun
Anak pada usia ini tertarik mendengarkan cerita dan percakapan di sekitarnya.
Ia dapat menyebutkan nama, umur, dan jenis kelaminnya, serta menggunakan
kalimat-kalimat panjang (>4 kata) saat berbicara. Pada usia 4 tahun, bicaranya
sepenuhnya dapat dimengerti oleh orang lain. Anak sudah dapat menceritakan dengan
lancar dan cukup rinci tentang hal-hal yang dialaminya.

2.3 Definisi Keterlambatan berbicara (speech delay)

Keterlambatan berbicara (speech delay) adalah suatu kecenderungan dimana


anak sulit dalam mengekspresikan keinginan atau perasaan pada orang lain seperti,
tidak mampu dalam berbicara secara jelas, dan kurangnya penguasaan kosa kata yang
membuat anak tersebut berbeda dengan anak lain sesusianya. Apabila perkembangan
bahasa anak berbeda dengan tingkat perkembangan bahasa anak lain seusianya maka
anak akan mengalami hambatan dalam interaksi sosialnya.

2.4 Penyebab Keterlambatan Bicara

Keterlambatan bicara dapat disebabkan gangguan pendengaran, gangguan pada otak


(misalnya retardasi mental, gangguan bahasa spesifik reseptif dan/atau ekspresif),
autisme, atau gangguan pada organ mulut yang menyebabkan anak sulit melafalkan
kata-kata (dikenal sebagai gangguan artikulasi). Adapun beberapa penyebab
gangguan atau keterlambatan bicara
adalah sebagai berikut:
A .Gangguan Pada Pendengaran
Anak yang mengalami gangguan pendengaran kurang mendengar
pembicaraan disekitarnya. Gangguan pendengaran selalu harus difikirkan
bila ada keterlambatan bicara. Terdapat beberapa penyebab gangguan
pendengaran, bisa karena infeksi, trauma atau kelainan
bawaan. Infeksi bisa terjadi bila mengalami infeksi yang berulang pada organ dalam
sistem pendengaran. Kelainan bawaan biasanya karena kelainan genetik, infeksi
ibu saat kehamilan, obat-obatan yang dikonsumsi ibu saat hamil, atau bila
terdapat keluarga yang mempunyai riwayat ketulian. Gangguan pendengaran
bisa juga saatbayi bila terjadi infeksi berat, infeksi otak, pemakaian obat-obatan
tertentu atau kuning yang berat (hiperbilirubin). Pengobatan dengan pemasangan
alat bantu dengar akan sangat membantu bila kelainan ini dideteksi sejak
awal. Pada anak yang mengalami gangguan pendengaran tetapi kepandaian
normal, perkembangan berbahasa sampai 6-9 bulan tampaknya normal dan tidak
ada kemunduran. Kemudian menggumam akan hilang disusul hilangnya suara
lain dan anak tampaknya sangat pendiam. Adanya kemunduran ini juga seringkali
dicurigai sebagai kelainan saraf degeneratif.

B. Kelainan Organ Bicara


Kelainan ini meliputi lidah pendek, kelainan bentuk gigi dan mandibula
(rahang bawah), kelainan bibir sumbing (palatoschizis/cleft palate), deviasi septum
nasi, adenoid atau kelainan laring. Pada lidah pendek terjadi kesulitan
menjulurkan lidah sehingga kesulitan mengucapkan huruf ”t”, ”n” dan ”l”.
Kelainan bentuk gigi dan mandibula mengakibatkan suara desah seperti ”f”,
”v”, ”s”, ”z” dan ”th”.Kelainan bibir sumbing bisa mengakibatkan
penyimpangan resonansi berupa rinolaliaaperta, yaitu terjadi suara hidung pada
huruf bertekanan tinggi seperti ”s”, ”k”, dan ”g”.

C. Retardasi Mental
Redartasi mental adalah kurangnya kepandaian seorang anak dibandingkan
anaklain seusianya. Redartasi mental merupakan penyebab terbanyak dari gangguan
bahasa. Pada kasus redartasi mental, keterlambatan berbahasa selalu disertai
keterlambatan dalam bidang pemecahan masalah visuo-motor.
D. Genetik Heriditer dan Kelainan Kromosom
Gangguan karena kelainan genetik yang menurun dari orang tua.
Biasanya juga terjadi pada salah satu atau ke dua orang tua saat kecil. Biasanya
keterlambatan. Menurut Mery GL anak yang lahir dengan kromosom 47
XXX terdapat keterlambatan bicara sebelum usia 2 tahun dan membutuhkan
terapi bicara sebelum usia prasekolah. Sedangkan Bruce Bender berpendapat
bahwa kromosom 47 XXY mengalami kelainan bicara ekpresif dan
reseptif lebih berat dibandingkan kelainan kromosom 47 XXX.

E. Kelainan Sentral (Otak)


Gangguan berbahasa sentral adalah ketidaksanggupan untuk menggabungkan
kemampuan pemecahan masalah dengan kemampuan berbahasa yang selalu lebih
rendah. Ia sering menggunakan mimic untuk menyatakan kehendaknya seperti
pada pantomim. Pada usia sekolah, terlihat dalam bentuk kesulitan belajar.

F. Autisme
Gangguan bicara dan bahasa yang berat dapat disebabkan karena autism.
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai
dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa,
perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.

G. Mutism Selektif
Mutisme selektif biasanya terlihat pada anak berumur 3-5 tahun, yang
tidak mau bicara pada keadaan tertentu, misalnya di sekolah atau bila ada orang
tertentu. Atau kadang-kadang ia hanya mau bicara pada orang tertentu, biasanya anak
yang lebih tua. Keadaan ini lebih banyak dihubungkan dengan kelainan yang
disebut sebagai neurosis atau gangguan motivasi. Keadaan ini juga ditemukan
pada anak dengan gangguan komunikasi sentral dengan intelegensi yang normal
atau sedikit rendah.
H. Gangguan Emosi dan Perilaku Lainnya
Gangguan bicara biasanya menyerta pada gangguan disfungsi otak minimal,
gejala yang terjadi sangat minimal sehingga tidak mudah untuk dikenali.
Biasanya diserta kesulitan belajar, hiperaktif, tidak terampil dan gejala tersamar
lainnya

I. Alergi Makanan
Alergi makanan ternyata juga bisa mengganggu fungsi otak, sehingga
mengakibatkan gangguan perkembangan salah satunya adalah keterlambatan
bicara pada anak. Gangguan ini biasanya terjadi pada manifestasi alergi pada
gangguan pencernaan dan kulit. Bila alergi makanan sebagai penyebab
biasanya keterlambatan bicara terjadi usia di bawah 2 tahun, di atas usia 2 tahun
anak tampak sangat pesat perkembangan bicaranya.

J. Deprivasi Lingkungan
Dalam keadaan ini anak tidak mendapat rangsang yang cukup dari
lingkungannya. Penelitian menunjukkan sedikit keterlambatan bicara, tetapi tidak
berat. Bilamana anak yang kurang mendapat stimulasi tersebut juga mengalami
kurang makan atau child abuse, maka kelainan berbahasa dapat lebih berat
karena penyebabnya bukan deprivasi semata-mata tetapi juga kelainan saraf
karena kurang gizi atau penelantaran anak. Berbagai macam keadaan
lingkungan yang mengakibatkan keterlambatan bicara adalah :
1. Lingkungan yang Sepi
Bicara adalah bagian tingkah laku, jadi ketrampilannya melalui meniru.
Bila stimulasi bicara sejak awal kurang, tidak ada yang ditiru maka
akan menghambat kemampuan bicara dan bahasa pada anak.
2. Status Ekonomi Sosial
Menurut penelitian Mc Carthy, orang tua guru, dokter atau ahli hukum
mempunyai anak dengan perkembangan bahasa yang lebih baik dibandingkan
anak dengan orang tua pekerja semi terampil dan tidak terampil.
3. Tehnik Pengajaran yang Salah
Cara dan komunikasi yang salah pada anak sering menyebabkan
keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa pada anak, karena
perkembangan mereka terjadi karena proses meniru dan pembelajaran dari
lingkungan.
4. Sikap Orang Tua/Orang Lain Di Lingkungan Rumah yang Tidak
Menyenangkan
Bicara bisa mengekspresikan kemarahan, ketegangan, kekacauan dan
ketidak senangan seseorang, sehingga anak akan menghindari untuk
berbicara lebih banyak untuk menjauhi kondisi yang tidak menyenangkan
tersebut.
5. Harapan Orang Tua yang Berlebihan Terhadap Anak
Sikap orang tua yang mempunyai harapan dan keinginan yang berlebihan
terhadap anaknya, dengan memberikan latihan dan pendidikan yang
berlebihan dengan harapan anaknya menjadi superior. Anak akan mengalami
tekanan yang justru akan menghambat kemampuan bicarnya.
6. Anak Kembar
Pada anak kembar didapatkan perkembangan bahasa yang lebih buruk dan
lama dibandingkan dengan anak tunggal. Mereka satu sama lain saling
memberikan lingkungan bicara yang buruk, karena biasanyamempunyai
perilaku yang saling meniru. Hal ini menyebabkan mereka saling meniru pada
keadan kemampuan bicara yang sama –sama belum bagus.
7. Bilingual ( 2 bahasa)
Pemakaian 2 bahasa kadang juga menjadi penyebab keterlambatan bicara,
namun keadaan ini tidak terlalu mengkawatirkan. Umumnya anak akan
memiliki kemampuan pemakaian 2 bahasa secara mudah dan baik. Smith
meneliti pada kelompok anak bilingual tampak mempunyai
perbendaharaan yang kurang dibandingkan anak dengan satu bahasa, kecuali
pada anak dengan kecerdasan yang tinggi.
8. Keterlambatan Fungsional
Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik, dan anak hanya
mengalami gangguan dalam fungsi ekspresif: Ciri khas adalah anak tidak
menunjukkan kelainan neurologis lain.

2.5 Tanda dan Gejala Keterlambatan Bicara

Tanda-tanda Anak mengalami Gangguan Bicara dan Bahasa,


menurut teori, seorang anak mengalami gangguan bicara dan bahasa jika:
a. Perkembangannya tertinggal dari teman sebayanya.
b. Masalah yang muncul dapat berupa masalah pada bentuk perkembangan
bicara dan bahasa, muatan dan isi bahasa, serta penggunaan bahasa.
c. Masalah yang muncul bukan hanya berupa masalah pada produksi
bahasa tetapi juga pemahaman bahasa.
d. Masalahnya dapat muncul dalam berbagai tingkat keparahan.
e. Perkembangan bicara dan bahasa menunjukkan bukan hanya
lebih lambat namun juga menunjukkan perkembangan yang berbeda.

2.6 Penanganan Terhadap Anak dengan keterlambatan bicara

Anak yang menderita GPBBE membutuhkan strategi penanganan dan


intervensi yang tepat sesuai kekuatan dan kelemahan anak yang melibatkan orang tua
dan guru terutama dalam menyusun Individual Education Plan bagi anak yang
meliputi:
a. Latihan konsentrasi
b. Latihan kemampuan mengolah kemampuan auditori
c. .Latihan oral motor
d. Latihan kemampuan bicara
e. Kelancaran bicara
f. Ketidaklancaran bicara
Penanganan gangguan bicara pada anak GPBBE:
1. Perkembangan kemampuan fonologis
2. Perkembangan kemampuan morfologib bahasa
3. Perkembangan kemampuan pemahaman bahasa (aspek semantik)
4. Perkembangan secara kuantitatif
5. Perkembangan secara kualitatif
6. Pengelompokan kata-kata baru
7. Neologisme
8. Perkembangan kemampuan membangun gramatika (aspek sintaksis)
9. Perkembangan kemampuan pragmatika bahasa (aspek pragmatik)
Orangtua dan lingkungan terdekat memegang peranan penting dalam
perkembangan bicara dan bahasa seorang anak. Kosakata anak berbanding lurus
dengan jumlah kata yang didengarnya pada masa kritikal perkembangan bicaranya.
Hal-hal yang dapat dilakukan orangtua untuk mengoptimalkan perkembangan bicara
dan bahasa anak antara lain:
1. Rajin berbicara dan berkomunikasi dengan anak, dimulai pada masa bayi.
Kapanpun, di manapun Anda berada bersama anak Anda, katakanlah apa yang
sedang terjadi, apa yang sedang Anda lakukan, dan sebutkan nama benda-
benda yang ditemui. Walau bayi yang sangat muda belum bisa berbicara,
kata-kata yang didengarnya akan menjadi bekal dalam perkembangan bicara
dan bahasanya!
2. Membacakan cerita adalah cara yang baik untuk meningkatkan kosakata
anak. Bayi dan anak kecil biasanya tertarik pada cerita yang bersajak. Sembari
membaca, anak dapat diajak menunjuk gambar dan menyebut nama benda
yang ditunjuk.
Keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa sebaiknya dapat dikenali oleh
orangtua sedini mungkin, agar tata laksana yang diberikan dapat memaksimalkan
kapasitas bicara dan bahasa yang dimiliki anak.
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Data Administrasi

Nama Fasilitas Pelayanan Kesehatan UPTD Puskesmas Lampaseh


Nomor Rekam Medis 0001504/15
Tanggal Kunjungan 20 Januari 2018
Diisi oleh (Nama) Sarah Fadillah

II. Data Pasien

Nama M. Arif Al Fatih


Umur/Tanggal lahir 3 tahun 17 hari/3 Januari 2015
Alamat Jln. AL Ikhlas, Lr.5, Gp. Peulanggahan
Jenis Kelamin Laki-Laki
Agama Islam
Pendidikan Tidak ada
Pekerjaan Tidak ada
Status perkawinan Tidak ada
Kedatangan yang ke 1
Pengobatan sebelumnya Obat TB Kelenjar selama 8 bulan
Alergi obat Tidak ada

III. Data Pelayanan

1. Anamnesis (heteroanamnesis)
a. Alasan Kedatangan/keluhan utama
Anak belum bisa berbicara
b. Keluhan lain/tambahan
Anak tidak menoleh ketika dipanggil
c. Riwayat perjalanan penyakit sekarang
Pasien dibawa oleh orangtuanya dengan keluhan belum bisa berbicara
sampai usia 3 tahun. Pasien belum bisa mengeluarkan kata-kata, hanya
berupa teriakan, atau ‘aaaa’. Pasien juga tidak menoleh ketika dipanggil
atau ketika mendengar suara benda jatuh, kecuali suara yang sangat besar
(suara mobil atau suara petasan dari jarak dekat). Hal ini disadari ibu
pasien sejak usia anak 1 tahun, namun saat ditanyakan ke dokter di
puskesmas dikatakan tidak apa-apa. Kemudian pasien mulai di bawa
berobat lagi sejak usia 2 tahun. Pasien dapat berespon dengan gerakan
apabila diajak bicara secara tatap muka yang dibantu dengan gerakan
tangan.
d. Riwayat penyakit keluarga
Adik pasien yang berusia 33 hari lahir preterm (pada usia kehamilan 32
minggu) dengan presentasi bokong dan mengalami plasenta previa. Saat
ini ibu pasien rutin melakukan kontrol ulang ke RSUDZA.
Paman pasien pernah menderita batuk-batuk lama, dan memiliki kebiasaan
merokok, namun riwayat minum obat selama 6 bulan disangkal. Riwayat
anggota keluarga dirumah atau tetangga sekitar dengan keluhan batuk-
batuk lama disangkal, riwayat anggota keluarga dengan gangguan
pendengaran atau bicara disangkal.
e. Riwayat penyakit dahulu (postnatal)
Ibu pasien mengaku saat usia 4 bulan pasien mengalami demam tinggi
selama 3 hari setelah dilakukan imunisasi BCG di puskesmas Lampaseh.
Kemudian teraba adanya benjolan di ketiak kanan pasien. Pasien
kemudian dibawa ke RS meuraksa dan didiagnosa dengan TB kelenjar dan
mulai mengkonsumsi obat TB selama 8 bulan sejak usia 6 bulan, ibu
pasien mengaku melakukan pengobatan sampai tuntas. Ibu pasien
mengaku tidak ingat lagi nama-nama obat yang dikonsumsi.. Riwayat
kejang disangkal, riwayat trauma disangkal, riwayat kuning disangkal.
f. Riwayat kehamilan (prenatal)
Ibu pasien mengaku tidak menderita DM, Hipertensi, asma maupun
demam tinggi selama hamil
g. Riwayat persalinan (natal)
Pasien lahir secara pervaginam tanpa bantuan alat di RSIA, lahir cukup
bulan dengan presentasi bokong dan berat badan lahir 2480 gr. Pasien
dirawat di NICU RSIA selama 2 hari karena berat lahir rendah, riwayat
kuning disangkal.
h. Riwayat Pemberian makanan
0-4 bulan: ASI eksklusif
4-8 Bulan: ASI + nasi/pisang lembek
8 bulan-2 tahun: ASI+ nasi biasa
2 tahun-sekarang: makan biasa
i. Riwayat Imunisasi
Hb-0: usia 0 hari
BCG: usia 4 bulan
j. Riwayat kebiasaan
Pasien sering bermain di halaman rumah tanpa alas kaki. Ibu pasien
merupakan seorang guru di akademi farmasi, ibu mengaku anaknya mau
makan dengan baik. Ayah pasien seorang pedagang, merokok sebanyak 5-
6 batang per hari, ayah pasien mengaku merokok hanya diluar rumah.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum, tanda vital, dan status gizi
KU: Baik TD: tidak diperiksa BB: 11 kg
Suhu: 36,8 ˚C TB: 88 cm
Nadi: 102 x/menit LK: 47 cm (mikrosefali)
RR: 22 x/menit LILA: 14 cm
Status gizi:
BB/U: Gizi Kurang
TB/U: Pendek
BB/TB: Normal
Status Gizi
BB/U: > -3SD –
< -2SD
: Gizi Kurang

TB/U: > -3SD –


< -2SD
: Pendek

LK: < -2SD


: Mikrosefali
b. Status Generalis
Mata : Konj. Anemis tidak ada
THT : Normotia, tragus sign (-/-), auricular sign (-/-),
meatus acusticus externus (lapang/lapang), serumen
(minimal/minimal), sekret (-/-), membran timpani
(intak/intak), fistel tidak ada, abses tidak ada)
Paru : Rhonki dan wheezing tidak ada
Jantung : Bising jantung tidak ada
Abdomen : distensi abdomen tidak ada
Ekstremitas : sianosis tidak ada, edema tidak ada
c. Status Lokalis a/r axilaris dextra
Tampak jaringan parut di regio axilaris dextra

IV. Diagnosis Holistik (Assessment)

1. Aspek Personal: Pasien dibawa ibunya karena keluhan belum bisa


berbicara sudah sampai usia 3 tahun dan curiga anaknya tidak bisa
mendengar. Ibu pasien khawatir anaknya tidak bisa berbicara sampai
besar, ia ingin mengetahui apa penyebabnya dan berharap anaknya
mendapat pengobatan secepatnya agar anaknya masih bisa disembuhkan
sehingga ibu pasien meminta di rujuk ke RSUDZA. Ibu pasien menduga
penyebab anaknya tidak bisa mendengar adalah karena salah satu efek
samping dari obat TB yang diminum anaknya dan menduga penyebab
penyakit TB kelenjar adalah karena penyuntikan vaksin BCG yang terlalu
dalam saat usia anaknya 4 bulan.
2. Aspek Klinik:
Diagnosa Kerja:

- Speech delay
- Sensorineural hearing loss bilateral
- Gizi kurang
- Post Limfadenitis TB
3. Aspek Resiko Internal: Pasien pernah menderita penyakit TB kelenjar
sejak usia 4 bulan dan mengkonsumsi obat TB sejak usia 6 bulan.
4. Aspek Resiko Eksternal: Paman pasien pernah menderita batuk lama

V. Rencana Penatalaksanaan Pasien

1. Health promotion:
– Merangsang perkembangan anak dengan sering mengajaknya
berbicara dan mempelajari gerakan isyarat
– Memberitahukan ibu untuk rutin melakukan ANC dan imunisasi
lengkap selama kehamilan berikutnya maupun terhadap bayinya
untuk mencegah kecacatan pada bayi
– Menghindari penggunaan obat-obatan teratogenik selama ibu
hamil dan menyusui
– Menanamkan pada ibu tentang pentingnya konsumsi buah dan
sayur, suplemen besi dan asam folat selama hamil dan menyusui
– Rutin melakukan skrining tumbuh kembang ke puskesmas untuk
anak selanjutnya sejak dini, termasuk skrining pendengaran pada
bayi sejak usia 2 hari.
– Memberitahukan kepada ayah tentang bahaya rokok pada keluarga
meskipun tidak merokok di dalam rumah, serta memberi motivasi
dan saran untuk berhenti merokok.
– Edukasi tentang gejala dan tanda TB pada keluarga dan segera ke
puskesmas jika terdapat anggota keluarga dengan keluhan batuk
lebih dari 3 minggu.
2. Spesific Protection:
- Melakukan pemeriksaan skrining perkembangan secara rutin dengan
KPSP di Fasilitas layanan primer dan tes perkembangan denver di
fasilitas kesehatan rujukan
Kuesioner Pra-Skrining Perkembangan (KPSP)
Keterangan:
- Bila jawaban YA=9-10 : perkembangan anak sesuai dengan tahapan
perkembangan
- Bila jawaban YA=7-8 : perkembangan anak meragukan
- Bila jawaban YA=≤ 6 : kemungkinan ada penyimpangan

Interpretasi:
Jawaban YA : 5
Jawaban TIDAK: 4
Kesimpulan: kemungkinan ada penyimpangan (P)

– Melakukan pemeriksaan skrining gangguan berbicara di RS rujukan


untuk mencari penyebab.
a. Pemeriksaan BERA (Brain Evoked Response Audiometry)
Kesimpulan: Sensorineural hearing loss bilateral

b. Pemeriksaan M-CHAT-R (Modified Checklist for Autism in Toddlers-


Revised)
Kesimpulan: Risiko rendah terhadap ASD (Autism Spectrum Dissorder)

– Menimbang anak secara teratur sebulan sekali ke puskesmas


– Melakukan imunisasi dasar lengkap pada anak terutama untuk rubela.
3. Promt treatment:

- Terapi farmakologi diberikan untuk meningkatkan asupan gizi anak untuk


mencegah anak jatuh kedalam kondisi gizi buruk dan membantu pertumbuhan
secara optimal, dapat diberikan obat-obatan seperti:

- Vit A 200.000 IU

- Terapi non farmakologi yakni dengan memenuhi kebutuhan gizi anak sesuai
kebutuhan kalori. Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan berat badan ideal
dikalikan RDA menurut usia tinggi (height age). Pemberian kalori awal
sebesar 50-75% dari target .

4. Disability limitation:

– Menghindari konsumsi obat-obatan ototoksik


– Mencegah trauma pada kepala dan organ pendengaran maupun
keseimbangan anak
– Memenuhi gizi anak untuk membantu perkembangan motorik dan
sensoriknya secara optimal
5. Rehabilitation:
– Diberikan alat bantu dengar (ABD) yang tepat dan proses fitting yang
tepat sesuai kebutuhan
– Memberikan terapi wicara atau audioverbal terapi (AVT) sehingga
anak dapat belajar mendeteksi suara dan memahami percakapan
sehingga mampu berkomunikasi dengan optimal
– Bila ABD tidak membantu dapat dipertimbangkakn implantasi koklea

VI. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengobatan

1. Faktor pendukung : Orangtua pasien merupakan golongan masyarakat


terpelajar sehingga deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang cepat
dilakukan, hal ini memberikan peluang lebih besar untuk mencegah kecacatan
permanen. Orangtua pasien juga memiliki semangat dan harapan yang tinggi
untuk terus berusaha membawa pasien ke berbagai pelayanan kesehatan

2. Faktor penghambat: Lambannya proses administrasi antar instansi


kesehatan serta antrian jadwal pemeriksaan yang memakan waktu sampai 3
bulan, membuat pasien harus menunggu lama untuk bisa dilakukan
pemeriksaan lanjutan, sehingga penegakan diagnosa tertunda dan pengobatan
belum bisa dilakukan.
BAB IV
ANALISA KASUS
Proses berbicara dimulai dengan menangis, kemudian pada usia 2-3 bulan
anak akan mulai mengeluarkan suara-suara seperti “aah” atau “uuh’ (cooing), pada
usia 3 bulan anak bisa mencari sumber suara dan biasanya menyukai mainan yang
mengeluarkan suara. Pada usia 6 bulan anak mulai bisa berespon terhadap nama
sendiri dan mengenali emosi dalam nada bicara. Cooing berangsur menjadi babbling,
yakni mengoceh dengan suku kata tunggal, misalnya papapapapa, dadadadada,
bababababa, mamamamama. Saat berusia 6-9 bulan, anak mulai dapat mengucapkan
kata-kata sederhana seperti mama dan papa tanpa arti. Pada usia 9-12 bulan, anak
sudah dapat mengucapkan mama dan papa dengan arti, anak mulai mengerti beberapa
perintah sederhana (misal lihat itu, ayo sini), mulai menggunakan isyarat untuk
menyatakan keinginannya, misalnya menunjuk atau melambaikan tangan (dadah).
Pada usia 15 bulan ia mungkin baru dapat mengucapkan 3-6 kata dengan arti, namun
pada usia 18 bulan kosakatanya telah mencapai 5-50 kata. Pada usia 24 bulan anak
akan senang mendengarkan cerita. Saat usia tersebut sekitar 50% bicaranya dapat
dimengerti orang lain. Mendekati usia 3 tahun bahkan 3 kata atau lebih - dan mulai
menggunakan kalimat tanya. Ia dapat menyebutkan nama dan kegunaan benda-benda
yang sering ditemui, sudah mengenal warna, dan senang bernyanyi atau bersajak
(misalnya Pok Ami-Ami). (1)
Pasien merupakan anak laki-laki berusia 3 tahun 17 hari diantar Ibunya
dengan keluhan anak belum bisa bicara sesuai usianya. Menurut keterangan ibu
pasien, ketika berusia 1 tahun anaknya belum bisa berespon ketika dipanggil
namanya, belum bisa mengucapkan mama atau papa dan ketika diberi mainan
bersuara tidak berespon, namun anak bisa menunjuk apa yang dia ingin dan
menanggapi dan sudah dibawa ke dokter namun disampaikan bahwa anak tidak apa-
apa. Kemudian ibu pasien tetap melatih pasien untuk berbicara, dan saat usia 3 tahun
ternyata anak tidak bisa berbicara, pasien hanya bisa bersuara seperti mengerang dan
menangis. Namun pasien bisa menanggapi orang ketika diajak bersalaman, bisa
menggunakan pensil untuk mencoret, dan memperhatikan tv. Padahal seharusnya saat
usia tersebut anak sudah bisa mengeluarkan kalimat.
Pada pemeriksaan fisik tampak jaringan parut di axilla dextra, dimana
menurut keterangan ibu pasien menderita limfadenitis TB pada usia 8 bulan dan
mendapat terapi sampai tuntas. Obat yang diberikan kepada pasien tidak diingat oleh
ibu pasien. Terapi limfadenitis TB pada anak yaitu 2RHZ (fase intensif) + 4RH (fase
lanjutan) dimana terapi tersebut tidak ada yang memberikan efek samping terhadap
pendengaran. (2) Pada pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan bahwa pada pemeriksaan KPSP
disimpulkan bahwa kemungkinan anak terdapat penyimpangan (skor 5). Pada
pemeriksaan M-CHART-R disimpulkan bahwa anak memiliki risiko ASD rendah
(skor 2). Pada pemeriksaan BERA didaptkan bahwa anak menderita profound
sensorineural hearing loss bilateral.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien didiagnosis
dengan secondary speech and language delay (Hearing loss before onset of speech).
Jika pasien dicurigai dengan gangguan tersebut maka: (3)
- Pasien disarankan untuk mendapatkan diagnosis pasti serta saran terapi dan
intervensi dari spesialis THT.
- Intervensi yang berpusat pada keluarga yang dilakukan sedini mungkin
dapat membantu perkembangan bicara dan bahasa pasien.
- Jika kecurigaan gangguan bahasa dan bicara cepat dideteksi maka
kemungkinan anak untuk bisa mengikuti perkembangan teman-temannya
bisa lebih cepat.

Pada pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan dan saran intervensi oleh
spesialis THT berupa penggunaan alat bantu dengar dievaluasi setelah 3 bulan setelah
pemeriksaan BERA, Speech therapy, implan koklea dan audio visual therapy.

Berdasarkan tabel status gizi WHO pasien ini berada pada (-2 SD) – (-3SD)
yang menandakan anak berada pada status gizi kurang. Hal tersebut bisa disebabkan
faktor risiko pasien dengan riwayat menderita limfadenitis TB ketika berusia 8 bulan.
Sedangkan dari status sosial dan ekonomi pasien tergolong dengan ekonomi
menengah ke bawah sehingga intake tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, R. E. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15 Vol 2. Jakarta : EGC,


2013
2. WHO. Deafness and hearing loss. Update February 2017.Access 28 January
2018.http.//www.who.int/entity/mediacentre/factsheets/fs300/en/ - 43k
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Indonesia (Riskesdas). 2013
4. Ikatan Dokter Anak Idonesia (IDAI). Keterlambatan bicara. Update Juni
2013. Acess 28 Januari 2018. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-
anak/keterlambatan-bicara.

5. Soebadi A. Keterlambatan Bicara. Jakarta : IDAI, 2013.

6. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak .


Jakarta : Kemenkes RI, 2016.

7. Maura R. Speech and Language Delay in Children. Virginia : American


Family Physician, 2011, Vol. 83. 1184-1187.

Anda mungkin juga menyukai