Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)

Infark miokard akut dengan elevasi ST (ST elevation myocardial

infarction) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang

terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan

elevasi ST (Alwi, 2009) STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan oleh

gejala khas iskemia miokard yang berhubungan dengan elevasi ST

elektrokardiografi (EKG) yang terus-menerus dan pelepasan biomarker nekrosis

miokard. (O’ Gara et al, 2013). Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI)

terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus

pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner

terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh

faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Alwi, 2009).

2.2 Epidemiologi

Setiap tahunnya di Amerika Serikat 1.360.000 pasien datang dengan

sindrom koroner akut (SKA). Sebanyak 810.000 diantaranya mengalami infark

miokard dan sisanya dengan unstable Angina. Sekitar satu per tiga pasien dengan

infark miokard merupakan STEMI dan sisanya merupakan NSTEMI

(Kumar,2009). Angka kejadian untuk STEMI telah menurun selama beberapa

dekade terakhir, sedangkan kejadian NSTEMI cenderung meningkat. Saat ini,

kejadian STEMI sekitar 25-40% dari infark miokard, yang dirawat di rumah sakit

3
sekitar 5-6% dan mortalitas 1 tahunnya sekitar 7-18% (O’Gara et al., 2013).

Insiden tahunan untuk STEMI yaitu 3 per 1000 penduduk, namun hal tersebut

sangat bervariasi antar negara. Angka kematian di rumah sakit lebih tinggi pada

pasien dengan STEMI daripada mereka yang memiliki NSTEMI (7%

dibandingkan 3-5%), namun dalam waktu 6 bulan tingkat mortalitasnya

cenderung serupa antara dua kondisi tersebut yaitu sekitar 12 % dan 13%. Angka

mortalitas di rumah sakit lebih tinggi pada STEMI namun mortalitas jangka

panjang didapati dua kali lebih tinggi pada pasien-pasien dengan NSTEMI dalam

rentang 4 tahun. (Hamm, Bassand, dan Agewall, 2011)

2.3 Faktor Resiko

Faktor predisposisi terjadinya infark miokard secara garis besar dibagi

menjadi 2 yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (Non-modifiable factors)

dan faktor yang dapat dimodifikasi (Modifiable factors), faktor yang tidak dapat

dimodifikasi diantara termasuk umur, jenis kelamin, riwayat penyakit jantung

koroner di keluarga. Sementara itu, faktor yang dapat dimodifikasi diantaranya

merokok, diabetes mellitus (dengan atau tanpa resisten insulin), hipertensi,

hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, kelainan lipoprotein didapat seperti

dislipidemia, obesitas, gaya hidup dan / atau kurang olahraga, stres psikososial

dan lain-lain.

Menurut studi INTERHEART, faktor risiko MI dibagi menjadi 2

kategori yaitu; Faktor risiko yang muncul (homosistein, kelainan glukosa, faktor

gizi, obesitas sentral dan faktor psikososial) dan faktor risiko konvensional

(hipertensi, diabetes, merokok dan kolesterol tinggi) antara orang-orang dengan

4
berbagai asal geografis dan etnis. Namun, faktor risiko tersebut hanya akan

menjelaskan sekitar 50% kasus penyakit jantung. (Sadia Huma et al, 2012)

Faktor resiko predisposisi yang dapat dimodifikasi (Modifiable predisposing risk

factors) : (Sadia Huma et al, 2012)

a. Merokok

Merokok dianggap sebagai faktor risiko kuat untuk terjadinya infark

miokard, aterosklerosis dini dan kematian jantung mendadak. Merokok

menyebabkan rata-rata 7 tahun lebih awal dan kemungkinan terjadinya infark

dua kali lebih besar dibandingkan non perokok.

b. Aktifitas Fisik

Orang yang tidak aktif yang memiliki beberapa faktor risiko jantung lebih

mungkin untuk mengembangkan infark miokard. Untuk mendapatkan

manfaat, orang-orang ini harus memulai dari latihan latihan sederhana. Harus

ada modifikasi faktor risiko agresif sebelum melakukan aktivitas yang kuat.

c. Kadar LDL dan Trigliserida

Peningkatan kadar trigliserida, partikel LDL bertindak sebagai faktor

predisposisi risiko MI. Tingkat trigliserida tampaknya merupakan prediktor

yang kuat dan independen terhadap risiko infark miokard di masa depan,

terutama bila kadar kolesterol total juga meningkat. Alasan di balik itu adalah

bahwa penurunan kadar HDL-C dan peningkatan kadar trigliserida

menyebabkan gangguan metabolik sehingga menimbulkan konsekuensi yang

merugikan. Untuk mengidentifikasi individu berisiko tinggi, peningkatan

kadar trigliserida dapat menjadi marker.

5
d. Obesitas/ Indeks Massa Tubuh

Peningkatan BMI secara langsung berkaitan dengan kejadian infark

miokard. Infark sangat meningkat karena obesitas ekstrim merupakan faktor

risiko infark yang diketahui. Untuk mengurangi beban populasi infark

miokard di Amerika Serikat, strategi dirancang untuk mencapai berat badan

optimal.

e. Diabetes Melitus

Perbedaan parameter yang signifikan tercatat pada saat semua pasien

diabetes dan non-diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ditemukan

bahwa pada pria dengan infark miokard, terdapat perbedaan yang signifikan

antara pasien diabetes dan non-diabetes sehubungan dengan faktor risiko

tertentu seperti usia, hipertensi dan hipertrigliseridemia pada pasien diabetes

sementara merokok dan riwayat keluarga merupakan faktor utama pada pasien

non diabetes. Namun, penderita diabetes yang baru didiagnosis memiliki profil

risiko yang serupa dengan penderita diabetes lainnya.

f. Hipertensi

Hipertensi adalah faktor risiko kuat dan independen untuk infark miokard.

Ini adalah faktor risiko utama penyebab aterosklerosis pada pembuluh darah

koroner, mengakibatkan serangan jantung atau infark miokard. Hipertensi dan

infark miokard terkait erat.

g. Stres psikososial

Stres kronis, isolasi sosial dan kecemasan meningkatkan risiko serangan

jantung dan stroke.

6
Faktor resiko predisposisi yang tidak dapat dimodifikasi (Modifiable

predisposing risk factors) : (Sadia Huma et al, 2012)

a. Usia

Orang dewasa yang lebih tua lebih sering meninggal karena penyakit

jantung. Sekitar 80% kematian akibat penyakit jantung terjadi pada orang

berusia 65 atau lebih.

b. Jenis Kelamin

Pria cenderung mengalami serangan jantung lebih dini dibandingkan

wanita. Tingkat serangan jantung wanita meningkat setelah menopause namun

tidak sama dengan laki-laki. Meski begitu, penyakit jantung adalah penyebab

utama kematian bagi pria dan wanita

c. Herediter/riwayat keluarga

Risiko yang meningkat jika first degree blood relative memiliki penyakit

jantung koroner atau stroke sebelum berusia 55 tahun untuk saudara laki-laki

dan 65 tahun untuk saudara perempuan.

d. Faktor Genetik

Penyakit arteri koroner dan infark miokard adalah penyebab paling

sering kematian. Bahkan saat ini, setiap detik infark miokard mematikan pasien

secara tidak terduga tanpa tanda atau gejala sebelumnya. Faktor risiko dapat

bertindak sebagai pengganti mekanisme penyakit spesifik yang mendasarinya.

7
2.4 Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara

mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerotik yang sudah ada

sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya

tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.

STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury

vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti

merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. (Alwi, 2009)

2.1.3.1 Pembentukan Plak Aterosklerotik

Aterosklerosis merupakan penebalan dan pengerasan arteri akibat

terbentuknya plak yang tersusun dari sekumpulan lipoprotein, matriks

ekstrasel seperti kolagen, proteoglikan dan glikosaminoglikan, kalsium,

sel-sel otot polos, pembuluh darah baru. sel-sel radang terutama makrofag,

limfosit T, mastosit dan sel dendritik (Falk, 2012). Aterosklerosis dapat

terjadi pada seluruh arteri, sehingga manifestasi klinis yang muncul

tergantung pada sistem organ yang terkena. Pada sistem saraf pusat

menimbulkan stroke, pada sirkulasi perifer menyababkan klaudikasio

intermiten, pada sirkulasi splanknik menimbulkan iskemia mesenterika

dan pada arteri koroner menyebabkan penyakit jantung koroner (PJK)

yang menimbulkan infark miokard dan angina pectoris (Libby, 2008).

Proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses sederhana

karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi

endotel dan proses inflamasi juga berperan penting.

8
1. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel

Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika

intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama

hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis

ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol

LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respon

inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis. (Risalina, 2011).

Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses

aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan

merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan

endotel. Faktor- faktor risiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel

dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel

memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas

endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel,

kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan

pertumbuhan plak. Endotel yang mengalami disfungsi ditandai hal-hal

sebagai berikut :

1. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi endothelin-1 yang

berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler

2. Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin, molekul

adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular

Cell Adhesion Molecules-1 [VCAM-1])

3. Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi

aktif lokal.

9
Komponen primer pembentukan plak aterosklerosis karena disfungsi

endotel :

 Peningkatan adhesivitas endotel

 Peningkatan permeabilitas endotel (memudahkan migrasi LDL

dan monosit ke tunika intima pembuluh darah)

 Migrasi dan proliferasi sel otot polos dan makrofag

 Pelepasan enzim hidrolitik, sitokin, dan faktor pertumbuhan

 Nekrosis fokal dinding pembuluh darah

 Perbaikan jaringan dengan fibrosis (Risalina, 2011).

Gambar 1. Proses pembentukan aterosklerosis (Cefalu, 2006)

2. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi

Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit,

bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan

molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-

sel ini mengalami diferensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan

mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri,

10
berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks.

Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan

sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis

factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin

mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T,

dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks

ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah

bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis

kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara

membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga

menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna

matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak (Risalina,

2011).

3. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami ruptur

Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel

otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak

dan kecenderungan untuk mengalami ruptur.

LDL yang termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh

makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan

lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya

mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi

akan memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen.

Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk

kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis,

11
ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap

zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan.

Proses proinflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan

instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi

pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan

TGF-β bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal

ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka.

Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah

pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh

darah dan menjadi rentan mengalami ruptur (Risalina, 2011)

4. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA

Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan

seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul

bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi

karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya

menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang

ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul

fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi untuk

terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks

subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini

menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi

trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam

proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga

12
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan

jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan

dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit.

(Risalina,2011)

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis

mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik

memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur

yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis

menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai

fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI

gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang

dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap

terapi trombolitik. (Alwi, 2009)

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,

efinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan

memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang

poten). Selain aktivasi trombosit, terjadi juga perubahan konformasi reseptor

glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor tersebut

mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi

yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen,

dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet

yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan

agregasi. (Alwi, 2009)

13
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel

endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi

protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen

menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi

oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Ada 2 macam trombus

yang dapat terbentuk :

a. Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya

menyebabkan oklusi sebagian.

b. Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fibrin. Terbentuk

karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri. Bekuan

ini bersuperimposisi dengan trombus putih, menyebabkan terjadinya oklusi

total.

Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner,

abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik

(Alwi, 2009)

2.5 Diagnosis

Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut

disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.

(Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut PERKI, 2015) Pemeriksaan

enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat memperkuat diagnosis,

namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil

pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama

penatalaksanaan adalah time is muscle. (Alwi,2009)

14
2.5.1 Anamnesis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis

secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung.

Jika dicurigai nyeri dada berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya

berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis faktor-faktor risiko antara lain

hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress berat serta riwayat

sakit jantung koroner pada keluarga. Pada hampir sebagian kasus, terdapat faktor

pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau

penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau

malam, variasi sirkardian dilaporkan pada paagi hari dalam beberapa jam setelah

bangun tidur. (Alwi, 2009)

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang

tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Nyeri dada tipikal

merupakan gejala kardinal pasien IMA. Keluhan angina tipikal berupa rasa

tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area

interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung

intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal

sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri

abdominal, sesak napas, dan sinkop. (Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner

Akut PERKI, 2015)

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :

 Lokasi : substernal, retrosternal, dan precordial.

 Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda

berat, seperti ditusuk rasa diperas dan dipelintir

15
 Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang

bawah, gigi, punggung/ interskapula, perut dan dapat juga ke

lengan kanan.

 Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin , dan

sesudah makan.

 Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat

dingin, cemas dan lemas.

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli

paru, diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada

tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai

pada diabetes mellitus atau usia lanjut. (Alwi, 2009)

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah

penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas

yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.

Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun)

atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun,

atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,

keluhan ini patut dicurigai sebagai angina tipikal jika berhubungan dengan

aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).

Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap

diagnosis SKA. (Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut PERKI, 2015)

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard


(nyeri dada nonkardiak) :

1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk) 


2. Nyeri abdomen tengah atau bawah 


16
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral. 


4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi 


5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik 


6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah 


Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan

untuk menapis indikasi kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan

diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai

sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit

serebrovaskular. (Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut PERKI, 2015)

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sering normal. Tanda-tanda gagal jantung atau

ketidakstabilan hemodinamik harus mendorong dokter untuk mempercepat

diagnosis dan penatalaksanaan. Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk

menyingkirkan penyebab nyeri dada non-jantung dan gangguan jantung non-

iskemik (misalnya emboli paru, diseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung katup)

atau kemungkinan penyebab diluar jantung seperti penyakit paru akut (misalnya

pneumotoraks, pneumonia, atau efusi pleura). Dalam hal ini, perbedaan tekanan

darah antara tungkai atas dan bawah, denyut nadi tidak teratur, murmur jantung,

pericardial friction rub, nyeri pada palpasi, dan massa abdomen adalah temuan

fisik yang mungkin menyarankan adanya diagnosisosis selain SKA . Temuan fisik

lainnya seperti pucat, peningkatan keringat, atau tremor dapat mengarah pada

kondisi yang memicu terjadinya anemia dan tirotoksikosis. (Hamm, Bassand, dan

Agewall, 2011)

17
Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus

iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis

banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus

dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi

iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,

diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan

terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak

seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri

pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam

memikirkan diagnosis banding SKA. (Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner

Akut PERKI, 2015).

2.5.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram.

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah

kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin

sesampainya di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG di IGD menjadi landasan

dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran

elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk

dilakukan reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI

tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial

dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu

harus dlakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada

pasien STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi

kemungkinan infark pada ventrikel kanan. (Alwi, 2009)

Sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua

18
pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.

Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang

mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat

dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan

EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup

bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/

persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak

persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan

yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI

untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada

sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan

jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia

≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.

Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa

memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi

segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30

tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-

V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang

berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada

pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).

Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB

(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi

19
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI

dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung

tersedia (Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut PERKI, 2015)

Selama terjadi STEMI, dapat diamati karakteristik perubahan morfologi

EKG.yang berbeda-beda dalam jangka waktu tertentu, di antaranya adalah :

Gambar 2.1 Perubahan morfologi segmen ST dan gelombang T pada SKA

1. Gelombang T hiperakut

Pada periode awal terjadinya STEMI, bisa didapatkan adanya T

prominen. Gelombang T prominen itu disebut gelombang T hiperakut, yaitu

gelombang T yang tingginya lebih dari 6 mm pada sadapan ekstremitas dan lebih

dari 10 mm pada sadapan precordial. Gelombang T hiperakut ini merupakan tanda

sugestif untuk STEMI dan terjadi dalam 30 menit setelah onset gejala. Namun

gelombang T prominen ini tidak selalu spesifik untuk iskemia.

20
2. Gambaran awal elevasi segmen ST

Jika oklusi terjadi dalam waktu lama dan derajatnya signifikan

(menyumbat 90% lumen arteri koroner), gelombang T prominen akan diikuti

dengan elevasi segmen ST. Elevasi segmen ST menggambarkan adanya daerah

miokardium yang berisiko mengalami kerusakan ireversibel menuju kematian sel

(dapat diukur berdasarkan peningkatan kadar troponin) dan lokasinya melibatkan

lapisan epikardial. Diagnosis STEMI ditegakkan jika didapatkan elevasi segmen

ST minimal 0,1 mV (1 mm) pada sadapan ekstremitas dan lebih dari 0,2 mV (2

mm) pada sadapan prekordial di dua atau lebih sadapan yang bersesuaian. Elevasi

segmen ST merupakan gambaran khas infark miokardium akut transmural, tetapi

bisa ditemukan pula pada kelainan lain. Pada kebanyakan kasus, untuk

membedakan STEMI dari kelainan lain biasanya tidak sulit, cukup dengan

memperhatikan gambaran klinisnya

3. Elevasi segmen ST yang khas (berbentuk konveks)

Gelombang R mulai menghilang. Pada saat bersamaan, mulai terbentuk

gelombang Q patologis. Gelombang Q patologis berhubungan dengan infark

transmural yang disertai dengan adanya fibrosis pada seluruh dinding. Pada 75%

pasien, elevasi segmen ST yang khas ini terbentuk dalam beberapa jam sampai

beberapa hari.

4. Inversi gelombang T

Bila berlangsung lama dan tidak dilakukan reperfusi arteri koroner, elevasi

segmen ST mulai menghilang kembali ke garis isoelektrik. Bersamaan dengan itu,

21
mulai timbul gambaran inversi gelombang T. Gelombang T dapat kembali normal

dalam beberapa hari, minggu, atau bulan.

5. Morfologi segmen ST kembali normal

Segmen ST biasanya stabil dalam 12 jam, kemudian mengalami resolusi

sempurna setelah 72 jam. Elevasi segmen ST biasanya menghilang sempurna

dalam 2 minggu pada 95% kasus infark miokardium inferior dan 40% kasus

infark miokardium anterior. Elevasi segmen ST yang menetap setelah 2 minggu

berhubungan dengan morbiditas yang lebih tinggi. Jika elevasi segmen ST

menetap selama beberapa bulan, perlu dipikirkan kemungkinan adanya aneurisma

ventrikel.

Tabel 2.1 Evolusi Gambaran EKG Pada Iskemia Miokardium

Gelombang T Memuncak dalam 30 menit, dan kadang masih didapatkan


setelah beberapa jam. Gelombang T menjadi terbalik (inversi)
dengan reperfusi spontan maupun terapi. Sering menjadi
normal kembali dalam beberapa hari, minggu, atau bulan.
Kadang- kadang, kelainan gelombang T menetap.

Segmen ST Elevasi dalam beberapa menit sampai jam. Jika tidak dilakukan
reperfusi secepatnya, biasanya menetap setelah 12 jam,
kadang-kadang sampai beberapa hari. Biasanya menghilang
dalam 2-3 minggu. Jika menetap setelah 3-4 minggu, perlu
dicurigai adanya aneurisma ventrikel.
Q Patologis Berkembang dalam beberapa jam. Jika dilakukan reperfusi
secepatnya, dapat menghilang sempurna. Tanpa reperfusi,
didapatkan persisten pada 70% kasus. Q patologis
menggambarkan adanya kematian jaringan.

22
Tabel 2.2 Lokasi Infark berdasarkan sadapan EKG

Letak Infark/ Iskemi Kelainan tampak di

Anterior Luas I,aVL, V1 s/d V6

Anteroseptal V1 s/d V4

Lateral I, aVL, V5,V6

Inferior II,III, aVF

Lateral atas I, aVL

Posterior V7 s/d V9

Kanan V3R s/d V6R

4) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dari

tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi

reperfusi.

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan

cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus

digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan

otot skeletal, karena pada keadaan ini juga disertai peningkatan CKMB. Pada

pasien dengan elevasi segmen ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan

segera mungkin dan tidak tergantung dari pemeriksaan biomarker.

Peningkatan nilai enzim diatas sedikit melebihi batas atas normal

menunjukkan nekrosis jantuung (infark miokard)

 CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan

mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4

23
hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat

meningkatkan CKMB.

 cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat

setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam

10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari

sedangkan cTn I setelah 5-10 hari

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu :

 Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai

puncak dalam 4-8 jam

 Creatinin Kinase (CK) : Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark

miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali

normal dalam 3-4 hari

 Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila

ada infark miokard. mencapai puncak dalam 3-6 hari dan kembali

normal dalam 8-14 hari. (Alwi , 2009)

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka

nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark

miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka

jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat

dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab

koroner/nonkoroner). Pada dasarnya troponin T dan troponin I

memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,

kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I

24
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.

Tabel 2.2 Kemungkinan penyebab peningkatan kadar troponin selain

Sindrom Koroner Akut (yang bercetak tebal diagnosis banding penting)

• Chronic or acute renal dysfunction


• Severe congestive heart failure – acute and chronic
• Hypertensive crisis
• Tachy- or bradyarrhythmias
• Pulmonary embolism, severe pulmonary hypertension
• Inflammatory diseases, e.g. myocarditis
• Acute neurological disease, including stroke, or subarachnoid haemorrhage
• Aortic dissection, aortic valve disease or hypertrophic cardiomyopathy
• Cardiac contusion, ablation, pacing, cardioversion, or endomyocardial biopsy
• Hypothyroidism
• Apical ballooning syndrome (Tako-Tsubo cardiomyopathy)
• Infiltrative diseases, e.g. amyloidosis, haemochromatosis, sarcoidosis,
sclerodermia
• Drug toxicity, e.g. adriamycin,
(Hamm, Bassand, dan Agewall, 2011)

Pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T pada nekrosis miokard

menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,

pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika

awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan

hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB

yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot

skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang

singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih

terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun

infark periprosedural. Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di

laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat

intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif

25
atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point

of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika

waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam.

Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif

maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral. (Pedoman Tata

Laksana Sindroma Koroner Akut PERKI, 2015

26
Gambar 2.3 Pendekatan Pasien yang diduga STEMI

MI symptomps (history, physical examination)

EKG (right sided EKG if inferior or RV STEMI is suspected?


Morphin, oxygen, nitrates, aspirin *

No STEMI (laboratory,
chest radiography, serial EKG)

STEMI (>0,1 mV elevation in two contagious


Non STEMI management
leads or new left branches bundle block or
true posterior MI ‡

Fibrinolytic therapy? (Goal : within


30 minutes accesing EMS)

contraindications

No Yes

Fibrinolytic theraphy generally preferred if : PCI goal within 90


 Early presentation (less than three minutes of accesing EMS
hours from symptom onset and PCI not
readily available PCI generally preferred if :
 Invasion strategy is not an option(.g  Diagnosis of STEMI in doubt
catheterization not available , vascular  Skilled PCI facility with surgical backup is
acces is difficulties, skilled PCI facility accessible (operatoer experiences >75
primary PCI cases per year, team
not accessible. Patient cannot undergo
experience > 36 primary PCI cases per
PCI within 90 minutes of first medical year )
contact  High risk STEMI (cardiogenic shock or
Killip Class 3 or greater)
 Contraindications for fibrinolytic:
increased risk of bleeding or intracranial
haemmorhage
 Late presentation (more than three hours
from symptom onset)
 Failed fibrinolysis

27
Keterangan :

* Berikan morfin sulfat (2 sampai 4 mg IV, dengan 2 sampai 8 mg IV setiap 5


sampai 15 menit sesuai kebutuhan). Berikan 0,4 mg nitrogliserin secara
sublingual setiap 5 menit (sampai tiga dosis). Dengan asumsi tidak ada
kontraindikasi, harus berhati-hati saat menggunakan nitrat pada pasien dengan
iskemia sisi kanan. Pasien harus mengunyah 162 sampai 325 mg aspirin.
Pertimbangkan nitrat intravena jika pasien tidak memiliki kontraindikasi
(hipotensi, bradikardia, atau inhibitor phosphodiesterase yang digunakan untuk
disfungsi ereksi dalam 24 jam terakhir [48 jam untuk tadalafil (Cialis)]).
† Studi laboratorium meliputi hitung darah lengkap; INR; aPTT; pengukuran
kreatin kinase, troponin I, enzim, elektrolit, magnesium, nitrogen urea darah,
kreatinin, glukosa, dan lipid serum.
‡ Jangan menunda pengelolaan STEMI kecuali bila ada dugaan diagnosis
alternatif (mis., Diseksi aorta, perikarditis). Radiografi dada dan tes laboratorium
direkomendasikan namun tidak boleh menunda reperfusi. (Scherer dan Green,
2009)

2.6 Tatalaksana

Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera

menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan

selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada

pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan

angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau

marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,

Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan. .

(Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut PERKI, 2015)

2.6.1 Tatalaksana Umum :

1. Tirah Baring

2. Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan

saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi.

28
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan

oksigen selama 6 jam pertama tanpa mempertimbangkan saturasi

O2 arteri.

3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang

tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak

bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah

lidah) yang lebih cepat

4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

 Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari

kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk

reperfusi menggunakan agen fibrinolitik

atau

 Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan

dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang

direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen

fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan

adalah clopidogrel)

5. Nitrogliserin

Nitrogliserin (NTG) tablet sublingual diberikan 0,4 mg bagi pasien

dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat

darurat jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian,

dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Selain

mengurangi nyeri dada, nitrogliserin juga dapat menurunkan

29
kebutuhan oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah

koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Nitrogliserin

intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi

tiga dosis NTG sublingual, dalam keadaan tidak tersedia NTG,

isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.

Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan

sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark

ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru

bersih dan hipotensi). Nitrat harus dihindari pada pasien yang

menggunakan phospodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam

karena dapat memicu efek hipotensi nitrat. (Alwi, 2009)

6. Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan

analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI.

Morfin diberikan dengan dosis 2-4mg dan dapat diulang dengan

interval 5-15 menit sampai dosis total 20mg. Efek samping yang

perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena

dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling

vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek

hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada

kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl

0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan vagotonik yang

menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tertinggi,

30
terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat

diatasi dengan pemberian atropin 0,5mg IV. (Alwi, 2009)

2.6.2 Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan

derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien

STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikuler yang

maligna. (Alwi, 2009)

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan

untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi

segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga)

baru.

Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan

apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang

berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika

nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.

Seleksi Strategi Reperfusi

Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara

lain : (Alwi, 2009)

1. Waktu onset gejala

Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor

penting luas infark dan outcome. Efektivitas obat fibrinolisis dalam

menghancurkan trombus sangat penting tergantung waktu. Terapi

fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam

31
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis

menurunkan angka kematian.

2. Resiko perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada

pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis,

semakin tinggi resiko perdarahan , semakin kuat untuk memilih PCI. Jika

PCI tak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus

mempertimbangkan manfaat dan resiko.

3. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI

Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu apakah

PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI,

penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis.

Langkah-langkah Penilaian dalam Memilih Terapi Reperfusi pada

Pasien STEMI

Langkah 1: Nilai waktu dan risiko

 Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam

dengan tanda dan gejala iskemik)

 Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis

 Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang

mampu melakukan IKP (<120 menit)

Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau

strategi invasif untuk kasus tersebut

Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa

penundaan, tidak ada preferensi untuk strategi lain.

32
Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:

 Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat

halangan untuk strategi invasif

 Strategi invasif tidak dapat dilakukan

* Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai


* Kesulitan mendapatkan akses vaskular
* Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang
mampu melakukan IKP dalam waktu <120 menit
 Halangan untuk strategi invasif

* Transportasi bermasalah
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60
menit
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-
balloon lebih dari 90 menit
Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:
* Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-
balloon kurang dari 90 menit
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1
jam
* Risiko tinggi STEMI
* Syok kardiogenik

* Kelas Killip ≥ 3

* Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko

perdarahan dan perdarahan intracranial.

* Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala

* Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

33
2.6.2.1 Intervensi koroner perkutan (Percutaneous Coronary Intervention)

Intervensi koroner perkutan (IKP) , biasanya angioplasti dan atau stenting

tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam

mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama

infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka

arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek

dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih

dipilh jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), resiko

perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam

jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis.

Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan

aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana hanya di beberapa rumah

sakit. (Alwi, 2009).

IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan

dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120

menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien

dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila

diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang

dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan

angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP

secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan

gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum

diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi

antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh

34
terhadap pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare

metal stents (BMS) (Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut PERKI,

2015).

Farmakoterapi periprosedural

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi

antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera

mungkin sebelum angiografi disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin

dapat dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP

yang dapat digunakan antara lain:

1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua

kali sehari)

2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading

600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau

diindikasikontrakan.

Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara

lain:

1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP

Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan

bivarlirudin atau enoksaparin

2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat

lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi

3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer

35
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang

direncanakan untuk IKP primer. (Pedoman Tata Laksana Sindroma

Koroner Akut PERKI, 2015)

2.6.2.2 Terapi Fibrinolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada

tempat- tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam

waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam

12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila

IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120

menit sejak kontak medis pertama Pada pasien-pasien yang datang segera (<2

jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan

rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis

pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit . Fibrinolisis harus dimulai

pada ruang gawat darurat. (Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut

PERKI, 2015)

Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner.

Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik yang bekerja dengan cara memicu

konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus

fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu : i) golongan spesifik fibrin (seperti tPA),

ii) non spesifik fibrin (seperti streptokinase). Jika dinilai secara angiografi,

aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan

skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction

(TIMI) grading system :

36
- Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang

terkena infark

- Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik

obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal

- Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian

distal tetapi dengan aliran darah yang melambat dibandingkan aliran arteri

normal

- Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark

dengan aliran normal

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh

pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik

dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan

menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka panjang. (Alwi, 2009).

Agen fibrinolitik yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase,

reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik

terhadap fibrin (streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan

Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin

Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati

dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat

di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:

1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak

terfraksi)

2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan

dan infus selama 3 hari

37
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena

secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.

Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan

IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. IKP

“rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen

ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada IKP

emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti

adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh

gambaran elevasi segmen ST kembali.

Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi

diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis

inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan

revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah

fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah

lisis yang berhasil adalah 3-24 jam.

38
Gambar 2.4 Langkah-langkah reperfusi (Pedoman Tata Laksana Sindroma

Koroner Akut PERKI, 2015).

39
Tabel 2.3 Regimen terapi fibrinolitik untuk infark miokard akut

Dosis awal Koterapi anti trombin

Streptokinase (Sk) 1,5 juta U dalam 100 mL Heparin i.v. selama 24-48
Dextrose 5 % atau larutan jam
salin 0,9% dalam waktu
30-60 menit

Alteplase (tPA) Bolus 15 mg Heparin i.v. selama 24-48


intravena
0,75 mg/kg jam
selama 30 menit,
kemudian 0,5 mg/kg
selama 60 menit
Dosis
total tidak lebih dari 100
mg

(Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut PERKI, 2015).

Koterapi Antikoagulan

1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya

diberikan terapi elama minimum 48 jam dan lebih baik selama

rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH

bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced

thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan 


2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat

diberikan terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat

inap, hingga maksimum 8 hari pemberian 


3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (atau

fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien yang

mendapat terapi fibrinolisis. 


4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan

antikoagulan berikut ini merupakan rekomendasi dosis: 


40
5. Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai

kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP

IIb/IIIA telah diberikan

6. Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan

dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir

antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3

mg/kg.

7. Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan

tambahan dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah

diberikan GP IIb/ IIIa.

8. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak

dianjurkan digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung

IKP, sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas

anti IIa 


Kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI


1) Kontraindikasi absolut
- Setiap riwayat perdarahan intraserebral
- Terdapat lesi vaskuler serebral struktural (malformasi AV)
- Terdapat neoplasma intrakranial ganas (primer atau metastasis)
- Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali stroke iskemik akut dalam 3
jam
- Dicurigai diseksi aorta
- Perdarahan aktif atau diatesis berdarah
- Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
2) Kontraindikasi relatif
- Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali

41
- Hipertensi berat tak terkendali saat masuk (TDS>180 mmHg atau
TDD>110 mmHg)
- Riwayat stroke iskemik sebelumnya >3 bulan, demensia, atau
diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
- Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10 menit) atau
operasi besar (<3 minggu)
- Perdarahan internal baru (dalam 2-4 minggu)
- Pungsi vaskular yang tak terkompresi
- Untuk streptase/anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari
sebelumnya atau reaksi allergi sebelumnya terhadap obat ini
- Kehamilan
- Ulkus peptikum aktif
- Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi
resiko perdarahan
TDS : tekanan darah sistolik TDD : tekanan darah diastolik

2.7 Komplikasi

Komplikasi STEMI :

- Gangguan hemodinamik meliputi : gagal jantung, hipotensi,

keadaan output rendah, kongesti paru, syok kardiogenik

- Aritmia dan gangguan konduksi pada fase akut : aritmia

supraventrikular, aritmia ventrikular, sinus bradikardi dan blok

jantung

- Komplikasi kardiak : regurgitasi katup mitral, rupture jantung,

rupture septum ventrikel, infark ventrikel kanan, pericarditis,

aneurisma ventrikel kiri, aneurisma ventrikel kiri dan trombus

ventrikel kiri (Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut

PERKI, 2015).

42
43

Anda mungkin juga menyukai