Anda di halaman 1dari 4

Apakah boleh membeli motor (belanja modal) seharga Rp.

20 juta dengan menggunakan uang


persediaan? Itu adalah salah satu pertanyaan menarik untuk didiskusikan. Kepastian dalam bertindak
dan mengambil keputusan apakah pembayaran akan dilaksanakan dengan uang persediaan (UP)
atau mekanisme pembayaran langsung (LS) adalah suatu hal yang sangat diinginkan oleh para
pejabat perbendaharaan dalam pelaksanaan anggaran. Sebagian berpendapat bahwa pembelian
motor tersebut harus dilaksanakan dengan mekanisme pembayaran langsung, sebagian lainnya
berpendapat bahwa pembelian tersebut dapat dilaksanakan dengan uang persediaan.

Prinsip agar terjadi percepatan belanja menjadi faktor penting dalam pemilihan mekanisme
pembayaran apakah dengan uang persediaan atau pembayaran langsung

Kata kunci : uang persediaan, belanja modal

Sebuah pertanyaan yang sering diperbincangkan orang, baik oleh aparat pemeriksa, ataupun para
pejabat perbendaharaan “Apakah semua pembayaran belanja modal yang nilainya sampai
dengan Rp. 50 juta dapat dilakukan melalui mekanisme uang muka? Termasuk misalnya untuk
pengadaan yang bersifat sebagai belanja aset fisik misalnya peralatan, fisik dan lain sebagainya?
Dalam hal ini tentu uang persediaan yang dibicarakan adalah pembayaran uang persedian normal,
bukan pembayaran uang persediaan yang sudah mendapat dispensasi. Contoh riilnya adalah apakah
pembelian belanja modal berupa motor seharga Rp. 20 juta dapat dilaksanakan melalui uang
persediaan?

Pendapat I

Pembeliaan aset yang sifatnya fisik (peralatan, bangunan, dan lainnya) sampai dengan Rp. 50
juta harus dengan pembayaran langsung

Sebagian berpendapat bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan mengingat definisi uang persediaan
sesuai pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 poin 17 yaitu:

“Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang
diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satuan
kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui
mekanisme pembayaran langsung”.

Kemudian pada pasal Pasal 43 juga disebutkan sebagai berikut:

1. UP digunakan untuk keperluan membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker dan membiayai
pengeluaran yang tidak dapat dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS”
2. Pembayaran dengan UP yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran/BPP kepada 1 (satu)
penerima/ penyedia barang/jasa paling banyak sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
kecuali untuk pembayaran honorarium dan perjalanan dinas.
3. UP dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran:
a. Belanja Barang;
b. Belanja Modal; dan
c. Belanja Lain-lain.

Dari pasal-pasal tersebut, uang persediaan hanya dapat diberikan untuk membiayai kebutuhan
pembayaran operasional keperluan sehari-hari satuan kerja. Tidak semua belanja modal yang
bernilai sampai dengan Rp.50 juta dapat dibayarkan dengan uang persediaan. Jadi untuk pembelian
motor misalnya yang mempunyai nilai Rp.20 juta, tidak dapat dilaksanakan melalui uang persediaan.
Mengapa demikian? Karena motor bukan merupakan kebutuhan sehari-hari perkantoran.

Uang persediaan dapat diberikan untuk belanja modal yang sifatnya untuk keperluan operasional
sehari-hari, misalnya dalam pengadaan gedung, terdapat belanja untuk perjalanan dinasnya, maka
biaya perjalanan dinasnya tersebut dapat dibayarkan melalui uang persediaan (misal akun 531117
Belanja Modal Perjalanan Pengadaan Tanah)
Dalam pengadaan gedung misalnya terdapat honor tim tanah, ini dapat dibayar melalui uang
persediaan (misal 531113 . Belanja Modal Pembayaran Honor Tim Tanah).

Pengertian keperluan operasional sehari-hari artinya kebutuhan yang senantiasa berulang dan sudah
dapat diperkirakan pasti memang dibayarkan setiap bulannya, misalnya pembayaran tagihan air,
listrik, bensin untuk kendaraan dinas dan lain sebagainya. Jadi terus berulang setiap bulan.

Dan tidak mungkin pembeliaan motor misalnya masuk dalam perhitungan rencana uang persediaan
normal, karena tidak mungkin pembeliaan motor dilakukan setiap bulan, secara berulang-ulang.

Alasan selanjutnya adalah sesuai pengertian uang persediaan di atas yaitu “membiayai
pengeluaran yang tidak dapat dilakukan melalui mekanisme Pembayaran Langsung (LS)”.

Sebagian besar belanja modal, biasanya porsinya memang lebih banyak harus dilakukan
dengan pembayaran langsung. Dan biasanya bila kita berbicara mengenai belanja modal, maka
langsung akan langsung terbayang dalam benak pikiran kita bahwa untuk pengadaannya
berhubungan dengan lelang, dan lelang identik dengan pembayaran melalui mekanisme LS.

Sehingga seharusnya, belanja modal yang nilainya di bawah Rp. 50 juta pun harus
dilaksanakan dengan LS. Misalnya pembelian motor seharga Rp 20 juta harus melalui mekanisme
LS. Pembayaran tersebut tidak dapat dilakukan dengan uang persediaan. Karena pembelian motor
masih dapat dilaksanakan dengan LS.

Pendapat II

Semua belanja modal sampai dengan nilai nominal Rp. 50 juta dapat dibayarkan dengan uang
persediaan

Dari pengertian pasal 43 PMK Nomor 190/PMK.05/2012 di atas, sebagian yang lain berpendapat
bahwa Uang Persediaan dapat digunakan untuk keperluan Belanja Barang; Belanja Modal; dan
Belanja Lain-lain paling banyak sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk satu penerima
barang/jasa yang memang terjadi dalam kegiatan operasional sehari-hari Satker.

Jadi semua pengeluaran dari tiga jenis belanja tersebut (kelompok akun 52, 53, dan 58) dapat
dilakukan dengan menggunakan uang persediaan. Termasuk misalnya pembelian belanja modal
berupa motor seharga Rp. 20 juta, karena penyedianya menghendaki pembayaran melalui uang
persediaan. Contoh lain yang sangat nampak adalah misalnya pembelian belanja modal berupa
kalkulator seharga Rp. 350 ribu, maka sangat jelas bahwa paling mungkin pembeliaan tersebut harus
dilakukan melalui uang persediaan. Sangat kecil kemungkinannya dilakukan melalui pembayaran
langsung.

Pengertian pasal 43 ayat 1 dalam PMK Nomor 190/PMK.05/2012 yaitu: “UP digunakan untuk
keperluan membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker dan membiayai pengeluaran yang tidak
dapat dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS” dapat diartikan sebagai berikut:

 UP digunakan untuk keperluan membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker mengandung


arti jika memang dalam kegiatan sehari-hari satker terdapat kebutuhan untuk pembelian
barang/jasa yang nilainya sampai dengan Rp. 50 juta dari jenis belanja barang, belanja modal,
dan belanja lainnya dapat dibayarkan melalui uang persediaan. Dan nantinya memang
barang/jasa tersebut memang akan digunakan dalam kegiatan operasional sehari-hari satker
tersebut.
 Akan terlihat lebih jelas lagi misal untuk pembeliaan barang yang masuk belanja barang
(kelompok akun 52) dengan nilai total misal Rp. 20 juta. Maka jelas atas hal tersebut semua orang
akan maklum bahwa pembeliaan tersebut dapat dibayar dengan menggunakan uang persediaan
dengan hanya menggunakan sebuah kuitansi. Tapi mengapa pembeliaan motor (kelompok akun
53) seharga Rp. 20 juta justru ada yang berpendapat harus dilaksanakan dengan pembayaran
langsung. Padahal kalau dari sisi resiko dihilangkan, pasti lebih besar kemungkinan terjadi pada
belanja barang karena habis dipakai, sementara motor kemungkinan resiko untuk dihilangkan
lebih kecil, karena harus tetap ada selama belum dihapuskan.
 Pengertian “membiayai pengeluaran yang tidak dapat dilakukan melalui mekanisme Pembayaran
LS” lebih mengarah kepada sifat praktis pelaksanaan pembayaran. Kalau kantor mau
melaksanakan pembelian meubel (belanja modal) seharga Rp 1 juta, terus disampaikan ke toko
yang mau menjual, bahwa pembayaran akan dilaksanakan dengan cara pembayaran langsung
dan harus melalui proses ini, itu, selama misal 5 hari baru dibayar, maka kemungkinan besar toko
tersebut akan menolak. Sehingga kantor harus mencari penyedia lain lagi. Sehingga hal ini tentu
tidak praktis. Hal ini tentu lebih praktis bila pembayaran dilaksanakan melalui uang persediaan.
Terkait pendapat “membiayai pengeluaran yang tidak dapat dilakukan melalui mekanisme
Pembayaran LS” mengandung makna bahwa semua pengeluaran sedapat mungkin semuanya
dilaksanakan dengan pembayaran langsung adalah benar. Tetapi untuk yang sudah diatur boleh
dengan uang persediaan seharusnya juga tetap dapat dilaksanakan. Karena kalau mau dipaksakan
untuk dilaksanakan dengan pembayaran langsung, semua juga dapat dilakukan. Bahkan untuk
pembeliaan yang kecil-kecil pun dapat dilakukan, tetapi tentunya transaskinya jadi tidak sederhana.
Jumlahnya akan sangat banyak. Baik SPM atau pun SP2D nya. Tidak terbayangkan bila pembeliaan
kalkulator seharga Rp. 400 ribu pun harus dilaksanakan dengan pembayaran langsung.

Dari dua pendapat di atas dapat diambil beberapa poin kesimpulan sebagai berikut:

1. bahwa sebenarnya pilihan pembayaran yang akan digunakan apakah dengan melalui uang
persediaan atau pembayaran langsung adalah pilihan cara saja, yang harus mengacu pada pokok
tujuan besar semangat pelaksanaan anggaran yaitu agar penyerapan anggaran dapat berjalan
dengan lancar. Hal ini sesuai dengar semangat perubahan besaran uang persediaan yaitu:

a. Dalam Perdirjen Nomor Per-66/PB/2005 disebutkan bahwa uang persediaan boleh dibayarkan
untuk pengeluaran sampai dengan Rp. 10 juta pada belanja barang dengan MAK 5211, 5212, 5221,
5231, 5241 dan 5811. Dan dapat diberikan pengecualian untuk DIPA Pusat yang kegiatannya
berlokasi di daerah serta DIPA yang ditetapkan oleh Kanwil DJPBN setempat.

b. Selanjutnya dalam Perdirjen Nomor Per-11/PB/2011 disebutkan bahwa UP dapat diberikan


sampai dengan Rp 20 juta untuk pengeluaran Belanja Barang (52), Belanja Modal (53) untuk
pengeluaran Honor Tim, ATK, Perjalanan dinas, Biaya Pengumuman Lelang, Pengurusan Surat
Perijinan dan Pengeluaran lain yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung dalam
rangka perolehan aset dan Belanja Lain-Lian (58) serta dapat diberikan pengecualian untuk DIPA
Pusat oleh Dirjen PBN, dan untuk DIPA Pusat yang berlokasi di daerah serta DIPA yang ditetapkan
oleh Kanwil DJPBN oleh Kepala Kanwil DJPBN setempat.

Dalam konsiderans peraturan ini dijelaskan “bahwa dalam rangka kelancaran pelaksanaan anggaran
dan percepatan penyerapan anggaran Kementerian Negara/Lembaga, perlu dilakukan penyesuaian
besaran Uang Persediaan (UP) dan jenis belanja yang dapat dibayarkan melalui mekanisme UP”.

c. Peraturan selanjutnya yaitu perubahan kedua atas Perdirjen Nomor 66/PB/2005 yaitu Perdirjen
Nomor PER- 41/PB/2012 yang dalam konsideransnya juga menyebutkan “bahwa berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, telah ditetapkan ketentuan
mengenai batasan nilai/besaran tanda bukti perjanjian berupa kuitansi yang dapat digunakan untuk
Pengadaan Barang/Jasa dengan nilai sampai dengan Rp 50 juta” sehingga perlu diubah aturan
sebelumnya demi kelancaran pelaksanaan dan penyerapan anggaran kementerian negara/lembaga.

d. Yang selanjutnya diterbitkan PMK Nomor 190/PMK.05/2012 seperti diuraikan di atas tanpa
menyebutkan secara spesifik akun yang boleh dan tidak boleh dibayarkan melalui uang persediaan
(yang disebutkan hanya kelompok akunnnya).

Jadi semangat perubahan yang ada adalah agar penyerapan anggaran dapat dapat dipercepat
sesuai dengan konsiderans Perpres Nomor 70 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa dalam rangka
percepatan pelaksanaan pembangunan perlu percepatan pelaksanaan belanja Negara; dan agar
terjadi percepatan pelaksanaan belanja Negara perlu percepatan pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah;

2. Bukti bahwa pilihan pembayaran apakah akan dilaksanakan dengan LS atau UP ternyata beda
tipis adalah dengan adanya dispensasi uang persediaan. Walaupun pada dasarnya pengeluaran
tersebut harus dilaksanakan dengan LS tetapi satker dapat mengajukan dispensasi agar pembayaran
dapat dilaksanakan melalui uang persediaan.

3. Prinsip yang harus dipegang dalam melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
adalah tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Jadi cara yang paling
tepat sesuai semangat perubahan besaran uang muka, untuk mencapai tujuan percepatan belanja
negara dipilihlah cara yang paling sesuai (efektif) dengan tetap mempertimbangkan prinsip lainnya.

Karena adanya pilihan penggunaan mekanisme pembayaran maka pengeluaran belanja modal yang
sifatnya berbentuk fisik barang (peralatan, jaringan, fisik bangunan, dan aset lainnya) sampai dengan
nilai Rp. 50 juta tetap dapat dibayar melalui mekanisme uang persediaan.

Tetapi alangkah baiknya jika memang ada aturan yang lebih detil yang mengungkap mekanisme
mana yang seharusnya digunakan tanpa menimbulkan perbedaan pendapat antar berbagai pihak
yang berkepentingan.

*) Penulis adalah Widyaiswara pada Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan

Anda mungkin juga menyukai