Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


PENYAKIT GINJAL KRONIK

OLEH
Sri Rahayu MK 1210312023

PRESEPTOR
Dr. Djunianto, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD LUBUK BASUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m².
Batasan penyakit ginjal kronik:1,2

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan
atSau tanpa kerusakan ginjal.
1.2 Klasifikasi

Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.


Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal,
stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3
kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4
kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah
gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:1
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi
glomerolus.1,3

Derajat Penjelasan LFG


(mL/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90


atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ 30-59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

1.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik


diperkitakan 100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal pertahunnya. Di Negara berkembang lainnya, insidens ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per tahun.1

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun


2000:1

1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.2

1.4 Etiologi1,3,4

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).

a. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal


di mana mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan
glomerular yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal,
mesangium, atau endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan
manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan
berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu menggambarkan
perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan
sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan
silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi,
edema, dan fungsi ginjal terganggu.2

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan


primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal
dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.2

Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10%
terjadi pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut
yaitu dapat terjadi hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi
hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul
ginjal.2

b. Diabetes mellitus

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua duanya.2
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun.2

Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan


hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan
tekanan darah sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di
ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin.
Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi
dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara
proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa
peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang
mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf .2,4

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.5,6
Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya
hidup, serta terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:5,6

Klasifikasi Sistolik Diastolik Modifikasi Terapi


Tekanan (mmHg) Gaya
Darah (mmHg) Hidup

Normal < 120 Dan < 80 edukasi tidak perlu obat


antihipertensi
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89 Ya
Stage 1 HT 140 – 159 Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI, ARB,
BB, CCB, atau
kombinasi
Stage 2 HT > 160 Atau > 100 Ya Kombinasi 2 jenis obat
(biasanya thiazid tipe
diuretik dan ACEI atau
ARB atau BB atau
CCB)

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah
<130/80 mmHg.

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.2
1.5 Faktor risiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal
akut, infeksi saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan
lingkungan seperti obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia dan
lingkungan tertentu.3

1.6 Patofisiologi

Gambar 1 Patofisiologi penyakit ginjal kronik

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada


penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1,2

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron


intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis,
dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerolus maupun interstitial.1

Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium.
Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan
fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang
berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan
mengadakan test LFG yang teliti.1

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana


lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein
dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat
melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya
mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium
insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons
terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita
biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut
hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.1

Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar
90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang
masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin
mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum
dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons
terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal
tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap
sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang
dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-
mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala
yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.1

Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat


stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-
stadium tersebut.

1.7 Gambaran Klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia


sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular.1,2,6

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering


ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal
perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.1

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya.1,6

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping


penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-
hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora
usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.2

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil


pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan


diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.1,3

e. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

1.8 Pendekatan Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan
histopatologis.1,6

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)


2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan


pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang


berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritusm uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,


payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, chlorida).1

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan


penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat
dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah
lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria,
hematuri, leukosuria, dan silinder.1

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1

1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak


2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing
tidak bisa melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksisk oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

1.9 Penatalaksanaan1,2,3,6

1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.

a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat


dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan dan elektrolit

Pembatasan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi


kardiovaskuler sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500-800
ml ditambah jumlah produksi urin. Elektrolit harus diawasi asupannya adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat
menyebabkan aritmia jantung yang fatal. Kadar kalium darah yang dianjurkan
adalah 3,3-5,5 meq/lt. Pembatasan naterium dimaksudkan untuk mengndalikan
hipertensi dan edema.

2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum


kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20
mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis


inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL
kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian
200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.6

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah


satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang


sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan


kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi


hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat


Enzym Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE
inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular


merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit
ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang
diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah


gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk
faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut
dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,


anoreksia, muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal


Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan
residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-
morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan
di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
1.10 Prognosis

Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium


terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang
mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien
yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi
ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian
terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan
pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).2

1.11 Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai


dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,
anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat
badan.3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTIFIKASI

• Nama : Ny. T
• Umur : 27 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Alamat :
• Status : Menikah
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Agama : Islam

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama

Sesak bertambah berat sejak 7 hari SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit

Sesak napas sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan
terus-menerus. Sesak meningkat dengan aktivitas. Sesak tidak dipengaruhi oleh
cuaca dan makanan. Sesak tidak menciut. Pasien tidur menggunakan 3 bantal
untuk mengurangi sesak. Riwayat terbangun malam karena sesak ada.

Pasien pernah mengalami bengkak kecil-kecil dan sembab di kaki, dan


dirasakan nyeri 2 tahun yang lalu. Pasien berobat ke bidan dan dinyatakan asam
urat tinggi. Pasien diberikan obat untuk mengurangi nyeri, dan keluhan berkurang.
Pasien kadang membeli obat di toko obat, ketika keluhan kembali muncul. Pasien
rutin menkonsumsi obat tersebut 2 tahun ini. Riwayat sembab di mata pada pagi
hari tidak ada.
Pasien merasakan pucat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit dan
semakin tampak pucat sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.

Batuk dirasakan pasien sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, batu
dirasakan terutama ketika sesak. Batuk berdahak, dan warna dahak putih. Demam
tidak ada.

Mual muntah dirasakan sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.


Frekuensi 3-4 kali sehari. Isi muntahan cairan dan makanan yang dimakan.

Badan terasa letih sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. BAB tidak
lancar sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.

Buang air kecil (BAK) tidak ada keluhan. Riwayat batu saluran kemih
disangkal. Riwayat BAK berpasir disangkal. Riwayat BAK berdarah disangkal.
Riwayat BAK seperti air cucian daging disangkal. Riwayat nyeri pinggang
disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat penyakit asma disangkal

- Riwayat penyakit hipertensi disangkal

- Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal

- Riwayat sakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum

Keadaan umum : tampak sakit berat

Kesadaran : composmentis

Tekanan darah : 160/60 mmHg


Nadi : 130 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan : 36 x/menit

Suhu : 36,5° C

Keadaan spesifik

Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus (-
), sianosis (-), spider nevi (-), telapak tangan dan kaki pucat (-), pertumbuhan
rambut normal.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula,
supraklavikula, infraklavikula, aksila, inguinalis.
Kepala

Bentuk normochepali, simetris, deformasi (-), rambut hitam, lurus, tidak


mudah dicabut.

Mata

Edema palpebra (-), konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik (-)

Hidung

Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan
baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping
hidung (-).

Telinga

Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), Tophi (-), nyeri tekan
processus mastoideus (-), pendengaran baik.

Mulut

Pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-
), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernafasan khas (-).
Leher

Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak ada,
JVP (5+3) cmH2O, kaku kuduk (-).

Thoraks

Bentuk dada simetris, spider nevi (-).

Paru-paru

I : Statis,dinamis simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar

P : Stem fremitus kanan normal, stem fremitus kiri normal

P : Sonor pada kedua lapangan paru

A: bronkoesikuler (+) di kedua lapangan paru, ronkhi basah halus (+) di


kedua basal paru, wheezing (-).

Jantung

I : ictus cordis terlihat

P : ictus codis teraba 1 jari lateral LMCS RIC VI

P : batas atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas
jantung kiri LMCS RIC VI

A: HR = 130 x/menit, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

I : tidak membuncit, venektasi (-)

P: supel, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae kanan,
dan 1 jari dibawah processu xipoideus, lien tidak membesar.

P : timpani

A: BU (+) normal
Alat kelamin

Tidak diperiksa

Ekstremitas atas : nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan
parut (-), pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), jari
tabuh (-), turgor kembali lambat (-), eritema palmaris (-),
sianosis (-).
Ekstremitas bawah : nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema pretibia (+)
pada kedua tungkai, jaringan parut (-), pigmentasi normal,
jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), akral pucat (-),
sianosis (-).

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Darah rutin:

Hb : 3,4 gr/dl

Leukosit : 16.600/mm3

Trombosit : 629.000/mm3

Hematokrit : 10 %

Eritrosit : 1.15 juta/m3

MCV : 90 u3

MCH : 30 pikogram

MCHC : 33 %

LED : 170 mm

Hitung jenis

Basofil :0%
Eosinofil : 1%

Batang : 0%

Segmen : 77%

Limposit : 20%

Monosit : 2%

Kimia Klinik :

Gula darah puasa : 116 mg

Gula darah 2 jam pp : 153 mg

Total kolesterol : 181 mg/dl

Trigliserida : 810/ duplo

HDL : 16 mg/dl

Total bilirubin : 0.6 mg/dl

Bilirubin direct : 0,4 mg/dl

Bilirubin indirect : 0,2 mg/dl

Total protein : 6,3 gr/dl

Albumin : 2,2 gr/dl

Globulin : 3,6 gr/dl

SGOT : 13 u/l

SGPT : 23 u/l

Ureum : 379 mg/dl

Creatinin : 5,7 mg/dl

Asam urat : 15,2 mg/dl


Na/ K/ Cl/ Ca : 132/4.26/104/1.17

Analisa Gas Darah

pH : 7,14

Urinalisa

Warna

pH : 8.5

Protein : (+) positif 1

Reduksi : negatif

Bilirubin : negatif

Urobilin : normal

Sedimen

-eritrosit : (+) 8-10 / lpb

- leukosit : (+) 3-5 /lpb

- silinder : negatif

- kristal : negatif

- Sel epitel : negatif

Gambaran Darah Tepi

E : anisositosis normokrom, hipokrom (+)

L : jumlah meningkat, netrofil shift to the right

T : kesan jumlah cukup


EKG

Rontgen Thoraks
Diagnosis Kerja

Congestive Heart Failure fc III

CKD stage V ec susp.NSAID

Bronkopneumoni duplex

Anemia berat normositik normokrom ec CKD

Penatalaksanaan

Nonfarmakologis

 Istirahat, posisi setengah duduk


 O2 3 liter/menit
 Diet ML DJ II, R6 V, rendah protein 48 gram
Farmakologis

 NaCl 0,9% 500 cc/24 jam


 Furosemid 1 x 20 mg iv
 Injeksi ceftriaxon 1x2 gram
 Injeksi omeprazole 1x40 mg iv
 Paracetamol 3x500 mg
 Candesartan 1x8 mg po
 Asam folat 1x5 mg po
 Meylon koreksi 100 ml (4 flc) dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 4
jam
 Pasang cateter balance cairan

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : malam
Rencana Lanjutan

 Transfusi 1 unit PRC


BAB 3

DISKUSI

Seorang pasien perempuan usia 27 tahun dirawat di bangsal RSUD Lubuk


Basung dengan diagnosis Congestive Heart Failure Fc III, Chronic Kidney
Diasease ec susp NSAID, bronkopneumonia dupleks dan anemia berat normositik
normokrom ec CKD. Penegakkan diagnosa congestive heart failure pada pasien
ini, berdasarkan kriteria Framingham. Terdapat dua kriteria, yaitu kriteria mayor
(paroxysmal nocturnal dyspnea, distensi vena leher, ronki paru, acute pulmonary
edema, hepatojugular refluks, s3 gallop, kardiomegali, peninggian vena jugularis)
dan kriteria minor (edema ekstremitas, batuk malam hari, dispneu de effort,
hepatomegali, efusi pleura, penurunan vital capacity <1/3 normal dan takikardi).
Penegakkan congestive heart failure minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor atau 2 kriteria mayor.7,8 Pada pasien ini terdapat 4 kriteria mayor (
proxysmal nocturnal dyspneu, ronki paru, kardiomegali, dan peninggian vena
jugularis) dan 3 kriteria minor (edema ekstremitas, hepatomegali, dan takikardi).

Klasifikasi NYHA untuk congestive heart failure dibagi atas 4, yaitu kelas
1 (tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik, aktivitas fisik sehari-
hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak napas), kelas II ( terdapat
batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktivitas
fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi dan sesak napas), kelas III
(terdapat batasan aktivitas yang bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan palpitasi dan sesak napas) dan
kelas IV (tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan). Pada pasien ini
terdapat batasan aktivitas yang bermakna, tidak terdapat keluhan saat istirahat,
tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan palpitasi dan sesak napas,
sehingga diklasifikasikan sebagai NYHA kelas III.9
Pasien ini dikatakan mengalami penyakit ginjal kronik. Hal ini
disimpulkan berdasarkan keluhan yang mengarah ke sindroma uremia, dan
pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan ureum dan kreatinin yang
meningkat. Kadar ureum yang tinggi (uremia) akan menyebabkan keluhan
berbagai organ seperti saluran cerna (nafsu makan menurun, mual, muntah), kulit
(uremic frost dan gatal di kulit), kelainan neuropsikiatri ( emosi labil, dilusi,
insomnia, dan depresi) dan kelainan kardiovaskular (gagal jantung, hipertensi,
edema). Pada pasien terdapat peningkatan kadar ureum (379 mg/dl) yang
menyebabkan keluhan mual dan muntah, hipertensi, edema dan gagal jantung
kongestif.

Kadar ureum 379 mg/dl dan kreatinin 5,7 mg/dl. Berdasarkan rumus
Kockroft-Gault, maka didapatkan nilai LFG sebagai berikut :1

LFG= (140-umur)x berat badan

72x kreatinin plasma

LFG= (140-27)x 50 kg = 13,7 ml/menit/1,73 m2

72x 5,7

Berdasarkan klasifikasi gagal ginjal kronik, maka pasien ini diklasikasikan


penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease) stage V.

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun


2000:1

1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Pada anamnesis perlu ditanyakan penyebab gagal ginjal kronik pada
pasien seperti riwayat hipertensi, riwayat DM, riwayat gangguan miksi
sebelumnya, misalnya miksi tidak lancar karena adanya batu saluran kemih atau
BPH, urin seperti cucian daging karena glomerulonefritis, nyeri pinggang karena
infeksi dan peradangan ginjal serta riwayat penggunaan obat-obatan.11Pada pasien
ini riwayat hipertensi disangkal, riwayat DM disangkal, riwayat gangguan miksi
sebelumnya disangkal dan terdapat riwayat penggunaan obat-obatan penghilang
rasa nyeri jangka lama.

Pada pasien terdapat anemia berat nomrositik normokrom. Anemia


normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin.1

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah penatalaksanaan nonfarmakologis


(Istirahat, posisi setengah duduk, O2 3 liter/menit, Diet ML DJ II, R6 V, rendah
protein 48 gram, pasang cateter balance cairan) dan farmakologis (NaCl 0,9% 500
cc/24 jam, furosemid 1 x 20 mg iv, Injeksi ceftriaxon 1x2 gram, Injeksi
omeprazole 1x40 mg iv, Paracetamol 3x500 mg, Candesartan 1x8 mg po, Asam
folat 1x5 mg po, Meylon koreksi 100 ml (4 flc) dalam 100 cc NaCl 0,9% habis
dalam 4 jam). Pada pasien direncanakan transfusi PRC 1 unit.

Istirahat, posisi setengah duduk dan pemberian oksigen bertujuan untuk


mengurangi rasa sesak pada pasien dengan congestive heart failure. Pemberian
diuretik direkomendasikan pada gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolume
(kering dan hangat) dengan dosis serendah mungkin sesuai kebutuhan pasien,
untuk mengurangi dehidrasi.9
Pembatasan asupan protein pada pasien gagal ginjal kronik bertujuan
untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus. Pemberian diet tinggi protein
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan cairan dan elektrolit untuk mencegah
terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular lebih lanjut.
Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH
≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L. Pada psien ini pH darah adalah 7,14
yang menandakan adanya asidosis.
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada penyakit ginjal kronik. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari penyakit ginjal kronik. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
Pemberian omeprazole pada pasien merupakan salah satu obat-obatan
simptomatik untuk mengurangi mual dan muntah pada pasien.

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym


Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor).
Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
antihipertensi dan antiproteinuria. Menurut JNC 8, obat antihipertensi pada pasien
penyakit ginjal kronik yang dapat diberikan adalah ACEI atau ARB.11 Pada pasien
ini diberikan candesartan yang merupakan golongan ARB.

Untuk anemia pada pasien penyakit ginjal kronik, transfusi merupakan


salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Sasaran hemoglobin adal
11-12 gr/dL.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,


Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
2. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.
medscape.com/article/238798-overview, 25 Mei 2013.
3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis
R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. hlm 168-70.
5. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University;
2007. 294-97.
6. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8.
Jakarta: CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.
7. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam jil 1:ed V. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. Hal:1597
8. Murphy, Joseph G, llyod, Margareth A, dkk. Mayo clinic cardiology
3thedition. Mayo clinic scientific pressand informa healthcare USA, inc.
Canada:2007. Page:741-742
9. Perhimpunan dokter spesialis jantung indonesia. 2015. Pedoman
tatalaksana gagal jantung edisi I.
10.

Anda mungkin juga menyukai