Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

SURGICAL NURSING

Disusun Oleh :

Cicilia Gorreti Putri

135070200111013

Kelompok 2

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

1. Definisi

Definisi BPH adalah gangguan yang makroskopiknya ditandai dengan pembesaran dari
kelenjar prostat dan histologisnya disebabkan oleh hiperplasia stroma yang progresif dan
hiperplasia kelenjar prostat. Jaringan prostat yang terus berkembang ini pada akhirnya dapat
mengakibatkan penyempitan dari pembukaan uretra. Akibatnya, klinis BPH sering dikaitkan
dengan lower urinary tract symptoms (LUTS). Bahkan, BPH merupakan penyebab utama LUTS
pada pria tua (Speakman , 2008).

2. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu:
 Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan
penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
 Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol,
batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
 Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml.
 Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

3. Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan (Roehrborn, 2013).
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah:

a. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh
5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen
relative tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif meningkat
.Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam terjadinya proliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen ,meningkatkan jumlah reseptor androgen dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua
keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosterone menurun tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
c. Interaksi stromal-epitel
Cunha(1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHT,
sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri. Stimulasi itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan masa prostat.
e. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
hormon androgen sehingga jika hormone ini kadarnya menurun menyebabkan
apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel
stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan stroma maupun sel epitel. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan estrogen pada proses penuaan yang mengakibatkan
induksi dari reseptor androgen yang menjadikan prostat lebih sensitif pada testosteron
bebas.
f. Teori Inflamasi
Uji klinis terbaru menunjukkan adanya hubungan antara proses inflamasi pada prostat
dengan LUTS. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali
lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger, 2008). Inflamasi prostat juga dikaitkan
dengan pembesaran volume prostat, semakin berat derajat inflamasi, semakin besar
volume prostat.

4. Epidemiologi
Prevalensi histologis BPH dalam studi otopsi meningkat dari sekitar 20% pada
pria berusia 41-50 tahun, 50% pada pria berusia 51-60 tahun, dan >90% pada pria yang
berusia lebih dari 80 tahun. Gejala obstruksi prostat juga terkait dengan usia meskipun
bukti klinisnya lebih jarang terjadi. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria dilaporkan
mengalami obstruktif gejala voiding. Pada usia 75 tahun, 50% dari pria mengeluhkan
terjadinya penurunan dalam kekuatan dan kaliber pancaran urin (Presti , et al., 2008).

5. Faktor resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :

1. Kadar Hormon
Menurut Guess (1995) dalam Amelia (2007) kadar testosteron yang tinggi berhubungan
dengan peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih
poten yaitu DHT oleh enzim 5α-reduktase, yang berperan penting dalam proses
pertumbuhan sel-sel prostat.
2. Usia
Proses penuaan akan menginduksi penghambatan proses maturasi sel sehingga
perkembangan sel-sel yang berdiferensiasi berkurang dan mengurangi tingkat kematian
sel (Roehborn et al., 2007).
3. Ras
Menurut Roehborn (2002) dalam Amelia (2007) orang dari ras kulit hitam memiliki risiko
2 kali lebih besar menderita BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi
BPH paling rendah.
4. Genetik
Salah satu analisis kasus-kontrol, di mana subjek penelitiannya adalah pria berusia
dibawah 64 tahun yang menjalani operasi BPH, diperkirakan lebih dari 50% pria
menderita penyakit BPH secara genetik. Penelitian lain telah menyebutkan bahwa
penyakit ini diwariskan secara autosomal dominan (Parsons, 2010).
5. Obesitas
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap
pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan
menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat (Bain, 2006).
6. Penyakit Diabetes Mellitus
Dalam beberapa studi kohort yang berbeda yang dilakukan secara kumulatif yang
menggabungkan puluhan ribu orang menunjukkan bahwa peningkatan kadar glukosa
puasa plasma berhubungan dengan peningkatan ukuran prostat dan peningkatan risiko
pembesaran prostat, klinis BPH, operasi BPH, dan LUTS (Parsons, 2010).

6. MANIFESTASI KLINIK

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan
pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar
saluran kemih.

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


- Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga
urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah,
Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah
miksi).
- Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
c. Gejala diluar saluran kemih
Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat
didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan
retensi kronis dan volume residual yang besar.
7. PATOFISIOLOGI
(Terlampir)
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan Penunjang

Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :

1. Laboratorium
- Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk
menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa
antimikroba.
- Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolic.
- Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak
perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate
specific antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya
dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
2. Radiologi
- Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh
dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat.
- Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya
kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan
memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi
prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang
berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika.
- Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa
masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli,
mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari
kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.

9. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk
mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan
tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan
untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah.
Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing
terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih.

Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan


laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011). Pemeriksaan
derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur
residual urin dan pancaran urin:

- Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan
cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG
setelah miksi.
- Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi
dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH
adalah :
- Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
- Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker
(penghambat alfa adrenergenik)
- Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/
dehidrotestosteron (DHT).
3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan
didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri,
tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada
prostat. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan
meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.

Teknis operasi prostatekomy :

- Transurectal Resection Of The Prostate (TURP)


Jaringan prostate obstruktif dari lobus medial sekitar uretra diangkat dengan
sistoskop resektoskop dimasukkan melalui uretra.
- Suprapubic / Open Prostatektomy
Diindikasikan untuk masa lebih dari 60 g / 60 cc. Penghambat jaringan prostat
diangkat melalui insisi garis tengah bawah dibuat melalui kandung kemih.
Pendekatan ini lebih ditujukan bila ada batu kandung kemih.
- Retropubic Prostatectomy
Massa jaringan prostat hipertrofi ( lokasi tinggi dibagian pelvis ) diangkat melansisi
abdomen bawah tanpa pembukaan kandung kemih.
- Perineal Prostatectomy
Massa prostat besar dibawah area pelvis diangkat melalui insisi diantara skrotum
dan rektum. Prosedur radikal ini dilakukan untuk kanker dan dapat mengakibatkan
impotensi.

10. KOMPLIKASI

Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :

- Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi


- Infeksi saluran kemih
- Involusi kontraksi kandung kemih
- Refluk kandung kemih
- Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
- Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
- Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menimbulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis.
Daftar pustaka

Amalia, R., 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak (Studi

Kasus di RS dr. Kariadi, RS Roemani dan RSI Sultan Agung Semarang)

Speakman, M.J., 2008. Lower Urinary Tract Symptoms Suggestive of Benign Prostatic

Hyperplasia (LUTS/BPH): More Than Treating Symptoms?. In : European


Association of Urology. 7th Ed. UK : Elsevier B.V., 680-689.

Roehrborn, C. G., 2013 Benign Prostate Hyperplasia. In: Campbell-Walsh Urology. 10th

ed. Elsevier Inc

Roehborn, C.G., McConnell, J.D., 2007. Prostate. In : Wein, A.J., Kavoussi, L.R.,

Novick, A.C., Partin, A.W., Peters, C.A., Campbell’s Urology. 9th ed. W.B.
Saunders, Section IV-XVI.

Presti J.C., Kane, C.J., Shinohara, K., Carroll, P.R., 2008. Neoplasms of the Prostate

Gland. In : Tanogho, E.A., McAninch, J.W., Smith’s General Urology. 17th Ed.
USA : Lange, 348, 350-351.

Parsons, J.K., 2010. Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract

Symptoms: Epidemiology and Risk Factors.

Bain, B.S., 2006. Obesity and Diabetes Increase Risk for BPH : Presented at AUA.

Atlanta, GA.

Kowalak, Jennifer. 2009. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai