Anda di halaman 1dari 54

Leprosy . Bab : 1-4. (Anthony Bryceson, Roy E.

Pfaltzgraff)
Dr. Nanda Earlia SpKK

1. PENDAHULUAN

Definisi
Lepra merupakan penyakit infeksi kronis pada manusia yang disebabkan oleh
Mycobacterium lepra.
Lepra merupakan penyakit yang terutama menyerang syaraf perifer, tetapi
juga dapat mengenai kulit dan kadang-kadang jaringan tertentu lainnya, terutama
mata, mukosa traktus respiratorius atas, otot, tulang, dan testis.

Sejarah
Terdapat berbagai spekulasi tentang sejarah lepra. Catatan paling awal yang
memberikan desripsi akurat dari penyakit ini berasal dari India, dan telah tertulis pada
awal 600 tahun SM. Laporan dari bangsa China juga memuat penjelasan tentang
lepra pada periode berikutnya. Deskripsi dari penyakit yang disebut dengan lepra
pada Kitab Suci tidak berhubungan dengan gambaran klinis dari penyakit, dan
mungkin mencakup berbagai kelompok dari kondisi kulit.
Bukti nyata sebelumnya dari Lepra terlihat pada tulang rangka bangsa Egypt
pada abad kedua SM dan dalam dua Coptic Mummy pada abad kelima M.
Kelihatannya Lepra mencapai Negara Mediterania ketika tentara Alexander kembali
dari India pada 327-326 SM. Kemudian meluas perlahan-lahan melalui Kerajaan
Yunani dan Roma. Rumah sakit lepra pertama didirikan oleh Christian di Roma dan
Caesarea pada abad keempat M. Penyakit berkembang ke Eropa Barat, mencapai
proporsi epidemi pada abad ke 12-13, dan kemudian perlahan-lahan menurun. Lepra
mengalami perubahan yang sangat lambat terutama pada pola epidemiologi, telah
meluas melebihi beberapa abad, tetapi pencatatannya sangat sedikit dibandingkan
dengan penyakit akut lainnya seperti penyakit pes atau tipus. Di Norwegia penyakit
ini mencapai puncaknya pada abad ke 19, dimana Danielson dan Boeck membuat
deskripsi modern pertama dari penyakit leprae dan dan Armauer Hansen telah
menemukan bakteri pertama sekali dan melakukan penelitian epidemiologi. Lepra

1
telah hilang secara total di Eropa barat dan utara pada beberapa abad yang lalu,
dengan pengecualian di Iceland, tetapi masih endemik dengan level yang lebih rendah
di bagian Selatan dan Timur Eropa pada komunitas kecil dengan standar hidup
yangrendah, kemiskinan dan kondisi yang padat, dan pada komunitas Cajun di
Louisiana, Amerika.
Pada masa sekarang, lepra sering ditemukan di Asia, Afrika, dan Amerika
Tengah dan Selatan. Sejarah di Afrika belum diketahui, tetapi telah diperkenalkan ke
bangsa Amerika oleh orang-orang Spanyol dan Portugis dan budak Negro, dan oleh
bangsa Perancis ke Kanada. Belum diketahui bagaimana lepra mencapai bangsa
Aborigin Australia. Pada abad ini epidemi yang kecil telah terjadi pada beberapa
komunitas di pulau Pasifik dimana penyakit baru saja diperkenalkan.
Berdasarkan waktu sebelumnya, lepra merupakan penyakit yang dipisahkan
dari kelompok penyakit lainnya, dan pada komunitas penyakit ini sangat
menakutkan dan bahkan orang yang merawat pasien tersebut juga dijauhkan oleh
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut dan alasan lainnya, telah dicapai kemajuan
yang pesat dalam ilmu kedokteran pada abad ini, dan beberapa orang telah
mengabdikan hidup mereka untuk penyakit ini dengan staff, dana, penelitian dan
pengetahuan yang terbatas. Walaupun lapangan penelitian terkini telah menunjukkan
kesuksesan, tetapi umumnya masih merupakan teka teki dan tantangan dalam ilmu
kedokteran.

Mengapa lepra dianggap sebagai penyakit yang spesial ?


Terdapat beberapa faktor dimasa lalu dimana lepra dipisahkan dari penyakit lainnya :
1. Waktu generasi basil yang sangat lambat. Kebanyakan kuman yang patogen
terhadap manusia memperbanyak dirinya sendiri dalam beberapa menit,
sedangkan M. Leprae membutuhkan waktu mendekati 2 minggu. Hal ini
menghasilkan periode inkubasi yang panjang, perkembangan patologi yang
sangat lambat, perubahan klinis yang tersembunyi dan bentuk epidemiologi
yang belum jelas.
2. Basil tidak pernah tumbuh dalam medium buatan dan konsekuensinya
pengetahuan tentang bakteriologi lepra tertunda sampai tahun 1960 sampai
terjadi pertumbuhan pada tikus coba.
3. Lepra merupakan penyakit basil dengan predileksi pada jaringan syaraf.
Faktor-faktor yang menentukan masih belum diketahui.

2
4. Seseorang yang menderita lepra, merupakan reservoir dari infeksi, meskipun
secara alamiah armadillos yang terinfeksi pernah ditemukan di Amerika
Selatan, dan pada primata di Afrika.
5. Sampai saat ini belum ada cara yang memuaskan dalam mendeteksi infeksi
pada sebelumnya atau yang tidak tampak. Penelitian secara epidemiologi
berdasarkan pendeteksian yang luas dari kasus-kasus klinis.
6. Lepra merupakan contoh terbaik dari penyakit yang memiliki spektrum dari
tidak adanya imunitas host yang efektif, dan sering disertai oleh
hipersensitivitas yang ekstrim dan merusak. Invasi bakteri pada lepra
lepromatus kedalam dermis mencapai 109 per gram jaringan. Sebaliknya, pada
lepra tuberkuloid respon imunitas seluler terhadap bakteri sangat hebat yang
ditandai dengan terdapatnya populasi bakteri yang sangat kecil untuk dapat
dideteksi. Bentuk klinis yang dihasilkan sangat kompleks sehingga sampai
saat ini masih belum dimengerti.
7. Lepra memiliki aspek psikososial yang unik. Tidak ada penyakit lain yang
begitu berhubungan dengan stigma dan ketakutan. Situasi ini dikarenakan
timbulnya deformitas dan kecacatan tetapi jarang menimbulkan kematian,
penderita mengalami kepincangan dalam hidupnya, kekhawatiran, dan
deformitas yang terlihat oleh komunitasnya. Mungkin karena alasan inilah
lepra biasanya dianggap sebagai penyakit kutukan Tuhan. Perilaku sosial
terhadap penderita Lepra biasanya berupa hinaan, penolakan dan bahkan
sampai membunuh penderita, dan beberapa masyarakat masih meneruskan hal
ini. Bagi penderita sendiri, mereka memberikan berbagai respon terhadap
perilaku masyarakat terhadap mereka. Beberapa ada yang pasrah sementara
yang lain menunjukkan sikap marah dan menyerang masyarakat terhadap
perlakuan yang tidak adil, atau mereka berperan sebagai ‘badut’ untuk
menutupi rasa malunya disebabkan oleh penampilan aneh. Kadang-kadang
mereka hidup menyendiri untuk melepaskan diri dari penderitaan.

Masa depan
Penilaian objektif dan investigasi secara ilmiah terhadap lepra dimulai pada
tahun 1873 dengan penemuan basil Lepra oleh Armauer Hansen di Norwegia, telah
menghasilkan perubahan yang besar pada 30 tahun yang lalu. Kebangkitan dalam
imunologi, murahnya biaya perjalanan, meningkatkan aktivitas pelajar dari World

3
Health Organization, perusahaan nasional dan internasional untuk memainkan
peranannya. Ketertarikan ilmiah telah meningkatkan pengetahuan dan memberikan
kontribusi dalam mengurangi stigma.
Penemuan Sulfon pada tahun 1941 untuk penatalaksanaan lepra sangat
bermakna, dimana untuk pertama kalinya ribuan pasien berhasil diterapi. Hal
tersebut merubah bentuk penatalaksanaan : Leprosaria tertutup untuk umum, kontrol
lepra kemungkinan menjadi nyata, dan dimulainya adanya kesamaan penderita dan
masyarakat bahwa kecacatan dan deformitas bukanlah sekuele penyakit yang tidak
dapat dihindari.
Pengenalan terhadap multi drug therapy pada tahun 1981 mencegah epidemi
dari resistensi terhadap Dapson, peningkatan kualitas dan pola control. Hewan coba
memberikan petunjuk penting tentang penularan. Sero-epidemiologi mengawali
harapan bagi penderita untuk berobat lebih awal, dan biologi molekular menuju
kearah preparat diagnostik yang lebih baik dan vaksinasi.
Tidak membutuhkan waktu yang lama lagi untuk menganggap Lepra sebagai
hal yang ’spesial’. Kesejahteraaan penderita lepra menjadi bagian integral dari
pelayanan kesehatan pada berbagai komunitas.

4
2. MYCOBACTERIUM LEPRAE

Klasifikasi
Genus Mycobacterium mengandung mycolic acid dan gula yang dikenal
dengan nama mycosides. Mycolic acid bertanggungjawab terhadap karakteristik dari
kecepatan asam terlihat saat organisme diwarnai dengan karbol-fuhscin. Genus
dibagi menjadi dua kelompok : pertumbuhan cepat, yang membelah setiap beberapa
jam, dan pertumbuhan lambat, yang membelah sekitar beberapa hari. Pertumbuhan
cepat merupakan bakteri lingkungan, tetapi beberapa seperti M.chelionei dan M.
fortuitus dapat menyebabkan infeksi pada kulit atau abses pada manusia. Yang
pertumbuhan lambat lebih jauh lagi dikelompokkan berdasarkan produksi pigmen
dalam kultur. Kelompok non kromogen termasuk M.ulcerans, penyebab ulkus
Buruli, dan M. Tuberculosis, M. avium-intracellulare (non kromogen) dan M. kansasii
(fotokromogen) dapat menyebabkan penyakit yang menyerupai tuberkulosis pada
manusia, khususnya pada mereka yang sebelumnya menderita penyakit paru atau
supresi imun. Mikobakteria lain yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah
M.marinum (fotokromogen) yang normalnya dtemukan di air dan dapat menyebabkan
lesi kulit granulomatus, dan M. Scrofulaceum, yang ditemukan di tanah dan dapat
menyebabkan limfadenitis. Paparan terhadap mikobakteria lingkungan dapat
mempengaruhi respon terhadap paparan berikutnya terhadap M.tuberculosis,
M.leprae dan BCG (lihat Bab 15).
M.leprae dan M.lepraemurium (lihat h.192) diklasifikasikan secara terpisah
karena belum dapat dibiakkan dalam kultur.

Stuktur dan Komposisi


M.leprae berupa batang lurus dengan panjang sekitar 1 sampai 8 µm dan
diameter 0,3 µm. Pada jaringan yang terinfeksi batang sering tersusun bersama-sama
membentuk globi. Mikroskop elektron menunjukkan ultrastruktur yang umum untuk
semua mikobakteria (Fig. 2.1)

5
Fig. 2.1. Struktur skematik dari Mycobacterium leprae

Kapsul
Sekeliling organisme merupakan zona elektron transparan seperti busa atau
material vesikular, merupakan struktur yang unik dari M.leprae. Komposisinya terdiri
dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate, yang dianggap berperan pada perlindungan
pasif, phenolic glicolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula yang mengalami metilasi
terpaut pada molekul fenol dari lemak (phthiocerol). Trisacharida ini membuat
M.leprae unik secara kimia dan menjadi antigen yang spesifik. (Fig. 2.2)

6
Fig.2.2. Srtuktur kimia dari trisakarida Mycobacterium leprae, yang melekat pada phenolic
lipid (dari Seckl, 1985)

Dinding Sel
Terdiri dari dua lapisan :
Lapisan luar berupa elektron transparan dan mengandung lipopolisakarida
yang terdiri dari rantai cabang arabinogalaktan yang mengalami esterifikasi dengan
mycolic acid rantai panjang, mirip dengan mikobakteria lain.
Dinding dalam yang terdiri dari peptidoglikan : karbohidrat terpaut dengan
peptidanya dimana urutan asam aminonya spesifik untuk M.leprae meskipun peptida
tersebut sangat kecil untuk dijadikan sebagai antigen diagnostik.

Membran
Hanya melekat dibawah dinding sel, merupakan membran untuk transpor
molekul ke dalam dan keluar dari mikroorganisme. Membrane terdiri dari lipid dan
protein. Protein kebanyakan berupa enzim dan menurut teori merupakan target utama
dari kemoterapi. Mereka juga merupakan ’protein permukaan antigen’ yang
diekstraksi dari dinding sel M.leprae yang telah dirusak kemudian dianalisa secara
luas (lihat h. 95).

7
Sitoplasma
Kandungan bagian dalam dari sel terdiri dari timbunan granul, materi genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang
mengalami translasi dan multiplikasi. Analisa DNA berguna dalam konfirmasi
identitas mikrobakteria yang diisolasi dari armadilos liar, dan menunjukkan suatu
M.leprae, melalui perbedaan secara genetik, dan berhubungan erat dengan
M.tuberkulosis dan M. scrofulaceum.

Biokimia dan Metabolisme


Tanpa adanya organisme yang dikultur sangatlah sulit untuk dipelajari.
M.leprae memetabolisme sumber-sumber karbon melalui jalur klasik dari glikolisis,
hexose monophosphat shunt dan siklus tricarboxylic acid. Energi dibentuk oleh
konversi ADP menjadi ATP dan dihasilkan oleh ATP yang telah mengalami perubahan
ADP. Sehingga oksigen dapat digunakan. Semua bakteri membutuhkan basa purin
dari nukleotida untuk membentuk asam nukleat dan metabolisme oksidatif. Tidak
seperti mikobakteria lain, M.leprae tidak melakukan sintesa seperti ini, dan kita dapat
mencari mereka dalam sel host. Mikobakteria juga membutuhkan besi yang diambil
dari host oleh chelate mikobactin. M.leprae kekurangan mikobactin. Defek
metabolik seperti ini mungkin menjelaskan mengapa organisme ini sulit untuk
dibiakkan in vitro.

Antigen
Komponen kimia utama dari M.leprae adalah adalah antigenik (Tabel 2.1),
tetapi M.leprae hanya memiliki beberapa antigen (sekitar 20) yang dikenal dari
antibodi dalam serum pasien lepra dibandingkan dengan BCG (sekitar 100), dan
kebanyakan dari mereka berupa antigenik lemah. Pada tahun 1981, Brennan
mendiskripsikan phenolic glicolipid dan menunjukkan bahwa hal tersebut spesifik
untuk M.leprae, semua antigen yang berhasil dideteksi mengalami reaktivitas silang
dengan mikobakteria lain, walaupun sebagian ada yang memiliki epitop, yang spesifik
untuk M.leprae. Spesifisitas epitop memungkinkan dilakukannya test antibodi
spesifik (lihat Bab 7,h.108) menggunakan sera yang diabsorbsi dengan spesies
mikrobakteria lain. Antigenisitas dari M.leprae didominasi oleh antigen yang
mengandung karbohidrat,dan stabil secara fisiko-kimia.

8
Tabel 2.1. Antigen dari Mycobacterium leprae (Tabel ini tidak memuat daftar yang lengkap
dari antigen M.leprae)

Antigen MW Stabilitas Spesifisitas Imunoreaktivitas

Phenolic glicolipid I Stabil M.leprae Antibodi IgM,


Respon sel T
supressor
Mycosida lainnya Stabil Mikobacteria ?

Lipoarabinomannan 30-35 kd Stabil dan BCG dan Antibodi IgG, Sel


Kd tidak dapat epitop spesifik T, Test kulit
dicerna M.I.

Peptidoglycan ? Mikobacteria ?

Protein 65 kd Sering pada


36 kd mikobacteria Mencetuskan
28 kd Labil lain tetapi antibodi, Sel T,
18 kd memiliki epitop Test kulit (65 kd)
12 kd spesifik

Phenolic Glicolipid
Trisacharida terminal merupakan spesifisitas antigen terhadap M.lepra. Varian
minor berupa I, II, dan III. Trisakarida telah berhasil disintesa dan dapat tautkan ke
contoh protein carrier untuk digunakan dalam seroepidemiologi dan penelitian-
penelitian lain, (lihat Bab 15, h..213). Antigen ditemukan pada semua jaringan yang
terinfeksi dengan M.leprae, dan menetap dalam waktu lama setelah organisme mati.
Juga ditemukan dalam serum dan urin pasien dengan lepra lepromatus dan
pendeteksiannya menjadi test diagnostik yang berguna pada lepra lepromatous awal.
Antigen menstimulasi produksi antibodi IgM, tetapi tidak mencetuskan
hipersensitivitas tipe lambat. Juga berperan dalam mencetuskan supresi imun pada
lepra.

Lipoarabinomannan
Merupakan komponen mayor dari dinding sel M.leprae; stabil dan tidak dapat
dicerna. Menimbulkan reaktivitas silang dengan mikobakteria lain, tetapi
mengandung epitop spesifik yang dikenal oleh sera yang diabsorbsi, dan mencetuskan
antibodi IgG.

9
Antigen Protein
Terdapat berbagai antigen protein didalam M.leprae, tetapi hanya lima yang
menarik karena antibodi monoklonal tikus telah menunjukkan bahwa mereka
mengandung epitop spesifik M.leprae. Protein soluble yang diekstraksi dari M.leprae
merupakan antigen spesifik yang tidak lengkap untuk test kulit (lihat h.113).
Beberapa antigen protein telah sukses diklon dan diekspresikan pada E.coli, hal ini
sangat mendukung untuk dianalisa.

Kultur dan Identitas


Usaha untuk melakukan kultur M.leprae in vivo dipertimbangkan dalam Bab14.
Dengan ketiadaan karakteristik dari kultur, berapa banyak M.leprae yang dapat
diidentifikasi ?
1. Berupa acid-fast ketika diwarnai dengan carbol-fuchsin (lihat h.60) dan sifat
acid-fastness ini dapat dipindahkan atau diekstraksi melalui pre-terapi dengan
piridin.
2. Tidak terjadi multiplikasi dalam media konvensional yang menyokong
pertumbuhan mikobakteria lain.
3. Akan terjadi multiplikasi dalam footpads tikus, terutama tikus dengan defisiensi
imun, yang menghasilkan bentuk karakteristik secara histologi. Bahkan dapat
menginvasi saraf perifer dan menyebabkan lepra (lihat h.196).
4. Mengalami multiplikasi pada armadilos, menghasilkan karakteristik penyakit
(lihat h. 197)
5. Mengandung glikolipid yang dapat diidentifikasi secara serologis (lihat h. 108)
6. DNAnya dapat diekstraksi dan homolog dengan yang dihasilkan oleh isolasi
M.leprae.

Pertumbuhan dan Kematian In Vivo


Pada manusia, atau host mamalia lainnya, M.leprae merupakan parasit obligat
intraselular. Mengalami multiplikasi terutama pada histiosit dan sel Schwann, tetapi
juga dapat mengalami hal yang sama pada sel lain termasuk sel otot dan endotel
pembuluh darah (lihat h. 125) dalam armadilo, dalam hepatosit (lihat h. 197).
Temperatur optimum untuk pertumbuhan adalah 30-330C. Sangat sedikit hal yang
diketahui mengenai pertumbuhannya. Pada tikus dan diduga pada manusia, M.leprae

10
membelah setiap 12-13 hari. Tidak ada toksin yang dapat diidentifikasi, tetapi kapsul
dapat melindunginya dari serangan kimia dan imunologi.
Telah diketahui bagaimana M.leprae mati. Kebanyakan mikroorganisme
intraselular mati oleh H2O2 yang dihasilkan oleh makrofag yang telah mengalami
aktivasi secara imunologi (lihat h.103). Tetapi beberapa spesies dari mikobakteria
resisten terhadap mekanisme ini. Mikobakteria ini dapat dicerna oleh peroksidase
didalam halide, tetapi hanya oleh monosit yang muda, bukan makrofag mature yang
dapat menghasilkan enzim ini. Tidak adanya respon imun yang efektif, seperti pada
lepra lepromatus, M.leprae intraselular umumnya dapat hidup selama satu tahun,
kemudian mulai mengalami degenerasi . Pewarnaan dengan carbol- fuhscin
menunjukkan bentuk yang ireguler, seperti tasbih, kemudian organisme berbentuk
granular. Beberapa bulan atau tahun setelah pewarnaan ini gagal menunjukkan suatu
M. leprae, skeleton dari M.leprae dapat terlihat dalam jaringan oleh silver
impregnation dan keberadaan antigennya didemonstrasikan dengan imunofluorescein.
Kerentanan dari M.leprae terhadap bahan fisik dan kimia diluar host, dibicarakan
pada Bab 15.

11
3. PATOLOGI KLINIK

Kebanyakan orang yang terinfeksi M.leprae, mengalami infeksi subklinis :


yaitu penyembuhan alamiah tanpa gejala atau tanda dari penyakit. Beberapa orang
berkembang menjadi Lepra. Bentuk klinis dari lepra, bergantung pada respon host
terhadap organisme.
M.lepra, mengalami multiplikasi yang lambat, sehingga lepra berkembang
dengan sangat lambat dan perjalanan penyakitnya dihitung dalam bulan atau tahun,
dibandingkan dengan hitungan jam dan hari pada kasus-kasus penyakit bakterial akut.
Infeksi M.leprae biasanya melalui kulit, atau mukosa nasal dari infeksi
droplet (lihat Bab 15). Lesi klinis awal yang terdeteksi biasanya pada kulit, dan secara
histologi ditandai dengan serabut-serabut saraf di dermis yang lebih padat
mengelilingi folikel pilo-sebasea dan pembuluh darah kecil dan dengan muskulus
erektor pilorum. Selama onset, serabut saraf kecil kulit dapat terlibat. Organisme
mengalami multiplikasi sangat baik pada bagian tubuh yang dingin, sehingga kulit
pada wajah, tungkai dan saraf superfisial lainnya lebih banyak diinvasi. Invasi pada
organ lain dapat terjadi pada lepra lepromatous; pada mata, testis, dan otot yang
paling sering terkena. Basil mengalami multiplikasi didalam makrofag, baik dalam
kulit (histiosit) dan, khususnya dalam saraf (sel Schwann). Seperti pada infeksi
intramakrofag lainnya, respon host yang efektif sangat dominan bahkan didominasi
imunitas seluler, berlawanan dengan humoral. Bandingkan dengan situasi pada
Leishmaniasis yang disebabkan oleh parasit obligat intraseluler dalam vertebra host,
pada tuberkulosis, brucellosis, dan tipus yang disebabkan oleh organisme fakultatif
intraseluler dengan respon host yang serupa.
Organisme yang menginfeksi ditangkap oleh histiosit dalam kulit, terjadi
penetrasi ke cabang nervus terminal, oleh sel Schwann. Hal ini biasanya
menimbulkan respon inflamasi dari histiosit dan limfosit. Secara klinis tampak
makula kecilyang samar-samar, tampak hipopigmentasi pada kulit gelap dan eritema
pada kulit terang. Lesi tersebut dinamakan indeterminate dimana tidak ada penjelasan
bagaimana hal tersebut terjadi. Lebih dari 70% dari lesi indeterminate di Afrika
sembuh spontan; kebanyakan dari mereka bahkan dapat tidak terdeteksi. Jika
pertumbuhan basil melampaui mekanisme pertahanan, atau terdapat beberapa alasan
dimana mekanisme pertahanan tubuh gagal, kondisinya akan berkembang kesalah

12
satu bentuk spektrum pada penyakit lepra. Bentuk klinis dan akhir dari penyakit
bergantung pada sifat alamiah dan perkembangan respon host terhadap organisme dan
luasnya multiplikasi basil. Respon imun manusia terhadap infeksi bakteri adalah;
humoral dan selular. Timbulnya penyakit lepra berdasarkan derajat dari imunitas
seluler yang berkembang atau tersupresi (lihat Bab 7). Antibodi tidak menunjukkan
peranannya dalam pertahanan melawan M.leprae tetapi bertanggungjawab terhadap
gambaran patologi dan gejala klinis dari reaksi tipe 2 (lihat Bab 8).

Lepra Tuberkuloid (TT)


Ketika imunitas seluler baik, bentuk penyakit berkembang menjadi bentuk
lepra Tuberkuloid; gambaran klinis menunjukkan gambaran histologi tuberkuloid.
Makrofag menunjukkan karakteristik sel epiteloid; kromatin inti menjadi kabur.
Sitoplasma menjadi sedikit asidofilik dan granular, dan membran sel bergabung
sehingga membentuk sel raksasa Langerhans. Sarang epiteloid dikelilingi oleh
limfosit-limfosit kecil. Susunan ini disebut dengan Tuberkel. Dikulit, infiltrasi
seluler dapat meluas ke epidermis dan bahkan melibatkan lapisan basal (Fig. 3.1).
Cabang syaraf-syaraf kulit, sensoris maupun autonom tertutup oleh infiltrat, baik
didalam maupun sekeliling perineurium (Fig. 3.2) sementara syaraf yang lebih besar
mengalami pembengkakan oleh karena oedema dan sel epiteloid. Sering hanya
beberapa fasikulus yang terinfeksi, tetapi inflamasi didalam epineurium dan
selubungnya menyebabkan penekanan dalam selubung sehingga sel Schwann dan
aksonnya hancur. Kadang-kadang tuberkel dapat mengalami perkijuan dengan
produksi abses steril dalam syaraf.
Penyakit terlokalisir pada satu tempat atau lebih pada syaraf perifer yang lebih
besar. Lesi kulit dapat soliter dan jelas. Mereka cenderung sembuh spontan dari
tengah. Pada kasus-kasus yang berat, infiltrat seluler yang hebat menghancurkan
folikel pilosebasea dan kelenjar keringat pada lesi.
Lesi syaraf juga soliter, biasanya menyerang cabang yang berhubungan
dengan patch pada kulit atau gabungan syaraf perifer yang lebih besar. Syaraf
biasanya mengalami penebalan karena infiltrasi seluler yang berat, tetapi ireguler atau
fusiform, dan bentuk kelainannya tidak simetris. Kerusakan syaraf dapat
terjadidengan cepat, terdapat anestesia pada distribusi syaraf, jika syaraf yang terlibat
memiliki serabut-serabut motorik, dapat terjadi kelemahan pada otot. Kerusakan
autonom memberikan manifestasi berupa sianosis dan gangguan berkeringat.

13
Sebagian besar penderita dengan lepra tuberkuloid memiliki basil dalam otot
bergaris, yang lebih banyak dari pada lesi kulit. Acid fast bacilli jarang terdeteksi
dalam pulasan kerokan kulit dari lesi pada lepra tuberkuloid. Terdapatnya imunitas
seluler tergambar dalam test Lepromin yang positif.

Fig. 3.1. Histologi kulit, lepra tuberkuloid (TT). Semua bagian dermis diinfiltrasi oleh
granuloma. Tidak terdapat zona subepidermalyang jernih. Granuloma mengandung sarang
dari sel epiteloid dan limfosit. Kebanyakan sel epiteloid bergabung kedalam sel raksasa
langerhans. Mereka memiliki sitoplasma besar yang pucat dan dengan inti yang kabur
dimana pada giant cell tersusun setengah lingkaran mengelilingi tepi sel. Limfosit
berkelompok mengelilingi sarang sel epiteloid. Ukurannya kecil dengan sitoplasma yang
padat dan inti yang berwarna gelap. Cabang-cabang syaraf mengalami obliterasi. Kelenjar
keringat, diinfiltrasi oleh limfosit, dapat dilihat pada bawah kiri. AFB tidak dapat ditunjukkan
dengan metode Ziehl-Neelsen. (Haematoxylin dan Eosin)

Fig.3.2. Struktur syaraf, menunjukkan hubungan antara axon, sel Schwann, dan perineurium.

14
Lepra Lepromatous (LL)
Jika imunitas seluler tidak baik, bentuk penyakitnya disebut dengan lepra
lepromatus. Gambaran klinis menggambarkan pertumbuhan bakteri yang sangat
besar. Karakteristik lesi secara histologi adalah Leproma. Di kulit, makrofag gagal
berperan membentuk sel epiteloid. Bentuknya bervariasi, dari bentuk melingkar
sampai kumparan, kromatin inti masih dapat dibedakan dan sel tertentu masih
mempertahankan identitasnya. Mereka menjadi mere sacs yang mengandung basil
yang bermultiplikasi, sitoplasmanya mengalami perubahan perlemakan dan menjadi
oedematus, memberikan gambaran lesi ’foam cell’. Basil hampir keseluruhan mengisi
sel, foaming acid-fast globi (Fig. 3.3). Limfosit tidak tampak atau sedikit dan tidak
ada usaha untuk mengelilingi makrofag. Perangkat dermis tetap melekat sampai
tahap lanjut dari penyakit. Sedangkan infiltrat meluas ke epidermis, tetapi
meninggalkan karakteristik berupa zona jernih dimana basil jarang terlihat (Fig. 3.4).
Sebagian besar basil terlihat pada sel Schwann dari serabut syaraf kulit, disekeliling
ruang endoneurial, pada akson yang memiliki myelin, dan dalam sel endotel
pembuluh darah. Perineurium mengeluarkan cairan, dan pada beberapa sel biasanya
makrofag memasuki syaraf dan menangkap basil. Kemudian sel perineurium
diinvasi.

Fig. 3.3. Histologi kulit, lepra lepromatus (LL). Dengan pembesaran maksimal terlihat
karakteristik dari foam cell dan globi. Infiltrat mengandung makrofag dengan inti yang
ireguler dan foamy cytoplasma, juga banyak vakuol-vakuol. Acid-fast bacilli terlihat sebagai
batang berwarna gelap, atau tersusun sebagai globi yang mengisi sitoplasma. Tidak terdapat
limfosit. (Fite Faraco)

15
Fig. 3.4. Histologi kulit, lepra lepromatus (LL). Epidermis menunjukkan hilangnya rete
ridges dan dipisahkan dari granuloma oleh zona subepidermal yang jernih, yang merupakan
karakteristik penyakit lepromatus dan borderline. Terdapat infiltrat masif pada dermis yang
mengandung makrofag berbentuk kumparan yang sulit dibedakan, b eberapa menunjukkan
degenerasi foamy pada sitoplasmanya. Metode Ziehl-Nelsen menunjukkan acid-fast
bacilli (BI 5+) tetapi hanya sedikit terlihat globi kecil. Gambar dari penyakit yang
sangat aktif ini diambil dari biopsi nodul baru, pada penderita yang relaps dan masih
menggunakan Dapson. (Haematoxylin dan Eosin)

Dalam sebuah syaraf yang terinfeksi, semua fasikulus dapat terlibat (Fig. 3.5).
Sel Schwann mengalami reduplikasi dalam usaha memperbaiki kerusakan dan
membentuk cincin yang konsentris mengelilingi serabut-serabut syaraf, sehingga
memberikan gambaran seperti ’kulit bawang’ pada histologi. Masuknya sel dan cairan
menimbulkan penekanan didalam perineurium yang utuh. Serabut yang tidak
memiliki myelin lebih mudah mengalami kerusakan daripada serabut dengan myelin,
tetapi kerusakan berjalan perlahan dan awalnya diikuti dengan degenerasi axon dan
kemudian, setelah beberapa tahun, terjadi degenerasi hyalin dan fibrosis syaraf yang
terkena. Basil mengalami multiplikasi didalam sel Schwann, kemudian ruptur.
Fagositosis basil oleh sel Schwann lainnya dapat membantu penyebaran infeksi secara
sentripetal sepanjang syaraf, penyebaran secara hematogen juga penting.

16
Fig. 3.5. Histologi syaraf, lepra lepromatus (LL). Serabut syaraf jelas terlihat dan sebagian
terpisah oleh oedema. Terdapat sedikit atau yang tidak adanya infiltrat limfositik. Acid-fast
bacilli tampak sebagai batang berwarna gelap, kebanyakan berbentuk granular dalam
sitoplasma sel Schwann, yang mengalami pembengkakan. Pada tahap ini fungsi syaraf
biasanya normal. (Fite Faraco)

Penyakit tidak terlokalisir dan menyebar secara cepat, baik secara lokal
maupun melalui darah, ke bagian kulit yang lain, ke syaraf, ke mukosa, traktus
respiratorius bagian atas dan ke semua organ tubuh, khususnya mengenai mata, testis,
limfonoduli, bagian tengah falang dan sedikit meluas ketempat lain, permukaan otot,
hepar dan lien.
Secara klinis, penyakit memiliki karakteristik berupa multiplikasi lesi dengan
distribusi pada seluruh tubuh secara bilateral simetris. Lesi awal biasanya kecil,
berupa makula yang tidak jelas kemudian meluas dan bergabung (Gambar 2). :Lesi
tidak mengalami anestesi karena syarafnya tidak dihancurkan oleh infiltrasi seluler.
Multiplikasi basiler tidak dihalangi, lesi diinfiltrasi dan diikuti dengan pembentukan
nodul. Mukosa nasal diinfiltrasi lebih awal dan mengandung basiliferus yang tinggi.
Invasi ke laring merupakan komplikasi yang berbahaya, dan sering terlihat di di Asia
dibandingkan Afrika.

17
Gambar 2. Makula hipopigmentasi dari lepra lepromatus pada penderita dari Bangladesh.
Gambaran klinis adalah BL, tetapi histologi menunjukkan downgrading menuju LL.
Perhatikan lesi tambahan relatif pada garis tengah tubuh.

Keterlibatan syaraf biasanya simetris. Penelitian hantaran syaraf


menunjukkan bahwa hampir dua kali jumlah syaraf yang terlibat dapat dideteksi
dengan pemeriksaan klinis. Kebanyakan serabut syaraf superfisial kulit dipermukaan
tubuh yang paling dingin merupakan tempat pertama yang terkena. Sensasinya hilang
pada uji tusuk, temperatur, sentuhan ringan, dan kemudian terhadap tekanan yang
dalam dengan modalitas lainnya. Perluasan bertahap dari kerusakan syaraf selama
beberapa tahun akhirnya menghasilkan anestesi total pada tungkai dan bahkan pada
trunkal. Jika level yang sesuai dengan gabungan syaraf perifer yang luas telah
tercapai, kerusakan motorik akan terjadi. Test klinis menunjukkan syaraf autonom
mengalami kerusakan. Refleks tendon Arc masih utuh sanpai tahap lanjut dari
penyakit.
Lepra lepromatus merupakan penyakit sistemik, dengan basilemia dan
keterlibatan organ yang multipel.
Mata terinfeksi baik secara lokal maupun dari perluasan hematogen.
Lepromata dapat terbentuk pada konjungtiva, dan kornea menjadi berkabut dengan
keratitis. Cabang korneal dari nervus kelima dapat lebih awal terlibat. Basil
menyerbu ke iris dan terbentuk lepromata miliari mengelilingi pupil, dan badan siliar
dihancurkan dengan perlahan. Kerusakan mata sangat berbahaya dan perlahan,
kecuali terjadi reaksi yang menghasilkan iridosiklitis akut. Kerusakan dari nervus

18
kelima dan tujuh menyebabkan anestesi kornea dan lagoftalmus, predisposisi trauma
dan infeksi pada mata, yang dapat diperburuk jika duktus nasolakrimalis tertutup oleh
granulasi lepromatus didalam hidung. Nervus kranial lainnya dapat tidak terkena.
Baik otot polos maupun bergaris dapat terserang, terutama yang superfisial
(Fig. 3.6). Muskulus arektor pilorum dan dartos dapat mengandung banyak basil.
Invasi pada otot bergaris wajah, tangan, dan kaki selanjutnya menyebabkan
kelemahan dan terjadi sebelum saraf yang besar terlibat. Basil agaknya terlindung
didalam otot dan mereka bertahan hidup disini untuk waktu yang lama setelah mereka
lolos dari pengobatan dari tempat-tempat tersering lainnya.

Fig. 3.6. Histologi dari musculus Hipotenar, lepra lepromatus borderline (BL). Berkas dari
serabut otot diinfiltrasi dengan dan dipisahkan oleh sel inflamasi, dan sedang menuju ke
proses atropi. Atropi sebagian disebabkan oleh kerusakan syaraf. Infiltrat mengandung
histiosit, sel plasma dan limfosit. AFB dapat ditunjukkan dengan metode Ziehl-Neelsen pada
beberapa histiosit dan beberapa sel otot. Infiltrat limfositik merupakan karakteristik
borderline dan terdapatnya nekrosis dan oedema diduga penderita sedang mengalami reaksi.
(Hematoxyln-Eosin)

Vena pada tungkai terpelintir dengan lumen yang irregular, menyembpit dan
dilatasi. Fibrosis dan granuloma dapat terlihat, tetapi basil hanya sedikit yang
memberi kesan bahwa defek disebabkan oleh kerusakan syaraf.
Tulang dapat diinvasi pada lepra lepromatus. Tulang nasal dan falang sering
terlibat. Destruksi dari tulang nasal anterior menyebabkan kempisnya hidung,
sementara destruksi dari processus alveolar maksila menyebabkan bagian atas

19
incisivus sentral terlepas (Fig .3.7). Sumsum tulang falang digantikan oleh bacilli-
laden foam cells yang menginvsi tulang cancelous dan dapat terbentuk kista
didalamnya dan kemudian menghancurkannya. Kadang-kadang korteks tulang
menjadi tipis. Terdapat osteoporosis dan tulang mudah fraktur. Fraktur sering terjadi
didekat pesendian yang mengalami kolaps. Jari-jari menjadi pendek dan mengalami
distorsi. Sendi kartilago juga dapat diinvasi secara langsung, tetapi hanya kartilago
yang terletak dibawah permukaan kulit. Demikian juga tendon dan sarung tendon
yang terletak superfisial, seperti pada punggung lengan, juga dapat diinfiltrasi.

Fig. 3.7. Tulang Tengkorak, lepra lepromatus. Merupakan satu dari ribuan tulang yang
digali pada Medieval Leprosarium, St Jorgen’s Hospital, Naestved, Denmark. Menunjukkan
satu dari dua perubahan yang khas : destruksi processus alveolar dari maksila, yang dapat
mengenai akar dari incisivus sentral dan lateral. Struktur lainnya yang sering terkena adalah
nasal spine(tanda panah) yang menyokong ujung dari septum nasal. (Dari koleksi Profesor V.
Moller-Christensen, Museum of Medical History, University of Copenhagen)

Kartilago nasal sering diinvasi dan septum mengalami ulserasi, khususnya jika
terdapat infeksi sekunder. Epiglotis merupakan bagian dari laring yang dapat
diinvasi.
Testis merupakan viskus yang paling sering terlibat dengan kelainan yang
berat. Sel epitel dari tubulus seminiferus diinvasi dan dapat terjadi aspermia dan
sterilitas. Sel Leydig dapat mengalami hipertropi dan kerusakan. Patogenesis dari
ginekomasti pada lepra lepromatus diduga berhubungan dengan kerusakan sel Leydig.
Juga dapat disertai dengan kerusakan hepar dan malnutrisi protein.

20
Semua limfonoduli pada kulit dan yang lebih dalam diinvasi oleh makrofag,
kebanyakan dari mereka mengandung acid-fast bacilli. Kekhususan dari invasi ini
didiskusikan pada Bab 7.
Didalam hepar, M.leprae difagositosis oleh dan mungkin mengalami
multiplikasi dalam sel Kupfer yang merupakan fokus dari berbagai granulomata kecil.
Ginjal tidak dinvasi oleh M.leprae tetapi dapat dirusak oleh glomerulonefritis yang
diperantarai kompleks imun. (lihat h.38).
Lepra tidak melindungi penderita melawan penyakit lain, dan penyakit
lepromatus bahkan memiliki resistensi yang lebih rendah terhadap infeksi (lihat h.38)
Acid-fast bacilli terdapat pada semua lesi dari lepra lepromatus. Slit-skin
smear biasanya selalu positif, dan Bacterial Index menjadi positif 5 atau 6 (lihat h. 63)
Tidak terdapatnya imunitas seluler menggambarkan test Lepromin yang
negatif. Respon imun pada lepra lepromatus dan defek imunologi alamiah
didiskusikan pada Bab 7.

Amyloidosis
Amyloidosis sekunder merupakan komplikasi lepra yang fatal (lihat h. 40). Dapat
terjadi pada pasien dengan penyakit multibasiler yang lama, khususnya mereka yang
menderita reaksi tipe 2 berulang, dan pada beberapa pasien dengan ulkus plantar yang
kronis. Fibril-fibril amyloid yang insoluble berkumpul pada organ mayor termasuk
ginjal, hepar, lien, dan adrenal yang menyebabkan disfungsi dan kegagalan yang
irrevesible. Pada amyloidosis sekunder fibril amyloid terdiri dari protein amyloid A
(AA) yang bebeda dengan rantai imunoglobulin pada amyloidosis primer (AL).
Prekursor dari protein AA adalah protein serum SAA fase akut, dimana konsentrasiya
meningkat beberapa ratus kali lipat setelah trauma atau inflamasi, termasuk reaksi tipe
2. Mereka yang mengalami amyloidosis sekunder dapat memiliki defek enzim seperti
tidak dapat melakukan metabolisme SAA dengan lengkap, tetapi menghasilkan
protein AA yang mengalami polimerase kedalam fibril insolubel. Diagnosis dari
amiloidosis adalah melalui histologi atau biopsi rektum, ginjal, lemak subkutan atau
jaringan yang terkena lainnya. Ketika diwarnai dengan Congo Red, dan dilihat
dibawah sinar polar, jaringan amyloidosis memperlihatkan gambaran khas berupa
apel hijau bire-fringence. Di Papua New Guinea 20% dari pasien dengan lepra
lepromatus lebih dari dua tahun, menunjukkan amyloidosis pada biopsi rektum.

21
Borderline (BB)
Diantara dua bentuk ekstrim, atau polar, terdapat bentuk tenang dari spektrum
penyakit lepra, gambaran klinis yang menggambarkan keseimbangan diantara
multiplikasi dan imunitas seluler pada pasien tertentu. (Fig. 3.9)
Secara histologis makrofag mengalami diferensiasi menjadi sel epiteloid,
tetapi acid fast bacilli sering terlihat dalam sel-sel tersebut. Sel raksasa jarang
ditemukan tersebar keluar dari granuloma sel epiteloid, tetapi tidak terdapat fokalisasi
dalam tuberkel. Syaraf diinfiltrasi oleh sel mononuklear tetapi masih dapat dikenal.
Masih terdapat zona subepidermal yang jernih seperti pada lepra lepromatus.
Gambaran klinis tidak menunjukkan kekhususan dari penyakit seperti pada
keadaan keseimbangan alamiah. Terdapat lesi kulit dengan berbagai bentuk dan
ukuran. Banyak syaraf yang terlibat, tapi tidak simetris seperti pada lepra lepromatus,
juga tidak memiliki komplikasi yang berhubungan dengan invasi basiler.
Terdapat acid fast bacilli, Bakterial Index biasanya positif 3 atau 4. Test
lepromin negatif.
Pasien lepra umumnya menunjukkan beberapa karakteristik borderline
(kadang-kadang disebut dengan dimorphous), dan pada praktek klinis mungkin saja
pasien mendekati pertengahan dari spektrum (BB), menuju ke ujungTuberkuloid
(BT) atau menuju ke ujung lepromatus (BL). Penentuan yang akurat dari posisi
pasien pada spektrum dapat dilakukan dengan histologi. Titik tengah BB merupakan
posisi spektrum dalam teori. Sangat tidak stabil dan penyakit biasanya berubah
dengan cepat menjadi BT atau BL.
Pada lepra borderline tuberkuloid (BT), granuloma secara histologi serupa
dengan yang tampak pada TT, tetapi terdapat zona subepidermal yang jernih. BT
dibedakan dengan BB berdasarkan fokal sel epiteloid dengan limfosit membentuk
tuberkel, dan terdapatnya sel raksasa Langerhans. Syarat mengalami infiltrasi
moderat atau lebih berat (Fig 3.8). Bacterial Index tidak lebih dari positif 1 atau 2 dan
test Lepromin positif lemah (1+ atau 2+).
Pada lepra boderline lepromatus (BL)lesi mengandung lebih banyak limfosit
daripada LL, dan dapat ditemukan beberapa diferensiasi awal dari makrofag menjadi
sel epiteloid, tetapi perubahan foamy sering terjadi. Bakterial Index biasanya positif
4-5 dan test lepromin negatif
Mekanisme kerusakan jaringan pada lepra diringkaskan pada gambar 3.9.

22
Fig. 3.8. Histologi syaraf, lepra borderline tuberkuloid (BT). Kandungan dari selubung
syaraf digantikan oleh granuloma tuberkuloid. Sel epiteloid tidak begitu menonjol seperti
pada Fig. 3.1, tetapi tetapi masih didominasi oleh limfosit yang menyusun sebagian besar dari
lesi. (Haematoxylin dan Eosin)

Fig. 3.9. Mekanisme kerusakan dari lepra, dan jaringan yang terkena. Mekanisme dibawah
garis putus-putus merupakan karakteristik penyakit yang mendekati ujung dari spektrum
lepromatus, dan yang dibawah garis tegas adalah ujung dari tuberkuloid. Mereka
tumpangtindih di tengah, disamping itu, ketidakstabilan merupakan predisposisi terjadinya
reaksi tipe 1.

PENTINGNYA KLASIFIKASI
Berguna untuk menilai posisi pasien pada spektrum secara akurat, untuk
mengklasifikasikan penyakitnya, dan untuk alasan-alasan lainnya.
1. Pemahaman tentang konsep spektrum harus diawali dengan kewaspadaan
terhadap keragaman manifestasi klinis penyakit, jika diagnosis dari lepra ingin
dibuat dengan benar.

23
2. Lepra Tuberkuloid (TT dan khususnya BT) berhubungan dengan kerusakan
syaraf yang berat: lepra lepromatus, kronisitas dan komplikasi yang lama.
3. Mendekati kutub Tuberkuloid, penyembuhan biasanya terjadi secara spontan;
hal ini jarang terjadi bila mendekati kutub lepromatus.
4. Bentuk polar dari penyakit cenderung stabil secara imunologi dan tidak merubah
posisinya pada spektrum, yang berarti reaksi tipe I (lihat Bab 8) tidak akan
ditemui.
5. Lepra Borderline tidak stabil dan dapat bergeser sepanjang spektrum dari
penyakit. Seperti pergeseran dari imunitas seluler yang sering bersamaan
dengan reaksi akut (tipe I). Reaksi ini, dapat terjadi secara spontan atau
dicetuskan oleh terapi, yang sering berhubungan dengan kerusakan syaraf
multipel yang berat.
6. Pasien lepromatus sering mengalami reaksi yang diperantarai oleh kompleks
antigen-antibodi (tipe 2)
Penempatan yang benar dari penyakit pasien pada spektrum diagnosis akan
membantu penentuan respon dan durasi terapi, dan komplikasi yang akan terjadi
sehingga tindakan pencegahan yang tepat dapat dilakukan.
7. Untuk tujuan penelitian, klasifikasi menyediakan dasar untuk penyesuaian
pasien dalam penelitian seperti uji terapi.
8. Klasifikasi pasien terlihat selama survey lepra, yang membantu dalam
perencanaan pengukuran kontrol.

24
4. GEJALA DAN TANDA

Gambaran klinis dari lepra menggambarkan keadaan patologi, yang


bergantung pada keseimbangan antara multiplikasi basil dan respon imun seluler host.

PERIODE INKUBASI
Lambatnya onset, gejala klinis awal yang tidak signifikan dan sulitnya
dilakukan percobaan pada manusia sehingga tidak memungkinkan untuk menentukan
periode inkubasi secara akurat, baik pada individu ataupun populasi.
Biasanya dipertimbangkan terjadi dalam dua sampai empat tahun, meskipun
periode dari tiga bulan sampai 40 tahun pernah dilaporkan.

PRESENTASI
Lesi Kulit
Mungkin dapat berupa patch tunggal atau beberapa lesi. Beberapa pasien
memiliki riwayat satu lesi selama beberapa tahun sebelum terlihat lesi yang lain, atau
lesi awal hilang secara spontan beberapa bulan atau tahun sebelum lesi berikutnya
terlihat. Pada kasus yang lain lesi meluas dengan cepat dari lesi primer. Beberaa
pasien tidak memperhatikan lesinya hingga mengalami inflamasi selama reaksi.
Lesi awal memiliki karakteristik berupa lepra indeterminate (Fig. 4.1). Terlihat
sebagai penyakit tanpa gejala, ditandai degan makula hipopigmenasi ringan, dengan
diameter beberapa centimeter. Sering muncul di wajah, trunkal, atau permukaan
ektensor tungkai. Kadang-kadang terdapat beberapa lesi. Sensasinya normal , hanya
ganguan ringan. Keringat dan pertumbuhan rambut biasanya tidak terganggu. Basil
sulit ditemukan dan diagnosis tergantung pada observasi yang seksama dan terus-
menerus. Kebanyakan pasien tidak berobat hingga lesi berkembang dengan
menunjukkan karakteristik tertentu dari beberapa kondisi pada spektrum.

Mati Rasa
Anestesi sering terjadi tetapi yang mengherankan mengapa anestesi jarang
menyebabkan pasien berobat ke dokter. Kebanyakan tangan penderita terpotong atau
terbakar tanpa memberikan perhatian pada saat itu dan tidak menyadari bahwa

25
tungkainya mengalami anestesi hingga trauma melukai mereka. Mati rasa pada lesi
kulit individual sering terdapat, khususya di Asia.

Kelemahan
Kelemahan otot timbul dengan onset yang lambat atau segera. Pada lepra
borderline tuberkuloid, kerusakan pada syaraf perifer yang luas terjadi bertahap dan
kelemahan kadang-kadang terjadi sebelum anestesi disadari. Kebanyakan dari reaksi
akut dapat mencetuskan parese motorik segera, khususnya ulnar palsy, drop foot atau
facial palsy. Pada lepra lepromatus invasi basil pada otot menyebabkan kelemahan
pada wajah, kaki, atau tangan.

Nyeri
Nyeri pada satu atau beberapa syaraf merupakan gejala yang terjadi pada lepra
tuberkuloid atau borderline tuberkuloid bahkan sebelum lesi kulit terlihat.
Limfadenopati yang nyeri, sekunder terhadap infeksi tungkai yang anestesi dapat
dipertimbangkan penyebabnya adalah luka pada tangan dan kaki.

Mata
Nyeri, fotofobia, dan penglihatan kabur merupakan indikasi pertama dari
iridosiklitis pada lepra lepromatus (lihat bab 11)

Hidung
Penyumbatan hidung, sekret, atau perdarahan merupakan gejala awal dari
lepra lepromatus.

Gejala Sistemik
Kadang-kadang demam, nyeri sendi, artritis, tenosinovitis, miositis, atau
limfadenitis yang menyertai reaksi merupakan manifestasi awal dari lepra.

Gatal
Hal yang jarang terjadi, periode pruritus generalisata yang mengindikasikan
onset lepra lepromatus yang difus, cepat, dan progresif, sebelum perubahan kulit
terlihat.

26
Fig. 4.1. Makula hipopigmentasi yang tidak jelas dengan sebuah satelit didepan telinga,
merupakan satu-satunya tanda dari lepra pada seorang anak dari Nepal

EVOLUSI DARI PENYAKIT

Memasuki Spektrum

Mungkin tiga dari empat lesi indeterminate sembuh secara spontan. Sisanya
menjadi determinate dan memasuki spektrum klinis. Bentuk lesi jelas terlihat,
hipopigmentasi, hiperestesia, anestesia, atau dengan tepi yang meninggi,
mengindikasikan pergeseran menuju ke kutub tuberkuloid, sementara peningkatan
jumlah lesi, eritema dan bentuk yang tidak jelas atau peninggian bagian tengah
mengindikasikan pergeseran menuju ke kutub lepromatus (lihat tabel 4.1).
Bersamaan dengan perjalanan penyakit atau perkembangan reaksi (lihat hal. 115), lesi
makular dapat menjadi lesi yang diinfiltrasi (Fig. 4.2).

27
Tabel 4.1. Karakteristik klinis dari kutub-kutub lepra

Lepromatus Tuberkuloid

Kulit dan Syaraf


Jumlah dan distribusi Tersebar luas Satu atau beberapa tempat,
asimetris
Lesi kulit
Definisi :
Ketegasan tepi Jelek Baik
Elevasi tepi Tidak pernah Sering
Warna : Kulit gelap Sedikit hipopigmentasi Hipopigmentasi tegas
Kulit terang Sedikit eritema Warna tembaga atau merah

Permukaan Licin, terang Kering, skuama


Central healing Tidak ada Sering
Keringat dan Terganggunya lambat Terganggunya lebih awal
Pertumbuhan rambut
Hilangnya sensasi Lambat Awal dan jelas

Pembesaran syaraf dan Lambat Awal dan jelas


kerusakan

Basil (Bacterial Index) Banyak (5 atau 6+) Tidal ada (0)

Proses akhir alamiah Berkembang Penyembuhan

Fig. 4.2. Pergeseran dari spektrum dan gambaran utama dari lesi kulit. Pada akhir lepromatus
biasanya terjadi perkembangan makula menjadi nodul; plak pada akhir tuberkuloid menjadi
makula

28
Karakteristik Penyakit Pada Posisi Spektrum Yang Berbeda
Posisi pada spektrum sering berubah-ubah, dengan pengecualian pada kutub
lepromatus dimana terdapatnya imunitas seluler yang tidak lengkap, biasanya
menetap. Spektrum klinis, meskipun linear, menunjukkan jumlah yang sangat
’menonjol’, penojolan dari invasi bakteri, imunitas selular, ketidakstabilan,
kecendrungan menimbulkan kerusakan syaraf, dan kecendrungan untuk mengalami
penurunan yang cepat. Penonjolan, dan karakteristik penyakit harus diidentifikasi.
Merupakan hal yang penting dalam mengidentifikasi posisi penyakit
penderita diantara spektrum LL-TT, proses tambahan untuk melengkapi pemeriksaan
klinis adalah pemeriksaan bakteriologi, test kulit, histologi, dan deskripsi yang
sederhana dari lesi kulit yang menunjukkan gambaran tuberkuloid, borderline atau
lepromatus. Pemahaman terhadap posisi ini bertujuan agar tidak dibingungkan oleh
terminologi sebelumnya, yang hanya berdasarkan observasi klinis. Satu aspek yang
berharga dari terminologi sebelumnya adalah parenthesis, dimana mereka tidak
mampu mengenal sekelompok tanda yang mengindikasikan produk alamiah dari
penyakit.

Lepra Tuberkuloid (TT)


Lesi kulit dalam jumlah sedikit. Sering hanya satu. Diameternya jarang lebih
dari 10 cm. Tidak simetris dan menyilang garis tengah tubuh. Terdapat
hipopigmentasi pada kulit yang gelap, kadang-kadang berwarna seperti tembaga pada
kulit yang pucat, dan mudah dilihat (Gambar 1). Memiliki batas yang tegas. Dapat
berupa makular atau lesi yang lebih tinggi, juga berupa plak dengan tepi yang
meninggi, penyakit terus meluas sementara bagian tengahnya datar mengindikasikan
penyembuhan (Fig. 4.3-4). Lesi anestesi, hilangnya rambut, dan kulit kering karena
gangguan keringat. Lesi pada wajah yang mati rasa tidak seperti ditempat lain karena
banyaknya suplai syaraf pada kulit wajah.
Lesi kulit Tuberkuloid yang kecil, ditandai dengan hipopigmentasi dan lesi
menyerupai batu kerikil dengan penyembuhan bagian tengah yang cepat (tuberkuloid
minor) yang tidak selalu berhubungan dengan keterlibatan syaraf yang berat (Fig.
4.3). Lesi yang lebih besar, cenderung lebih banyak jumlahnya, bentuknya tegas dan
sama (tuberkuloid mayor) lebih sering berhubugnan dengan keterlibatan syaraf yang

29
berat. Lesi-lesi ini kemudian dapat jugan menginvasi ke ’area berambut tipis’ (lihat
hal 34), khususnya pada kepala, aksila, lipatan paha, telapak tangan dan kaki (Fig.
4.5). Gambaran klinis dari tuberkuloid mayor dan minor berhubungan dengan lesi
pada pasien BT.
Syaraf perifer soliter biasanya membesar pada lepra tuberkuloid dan kadang-
kadang merupakan satu tanda dari penyakit (Fig. 4.6). Tempat predileksi berdasarkan
frekuensi : syaraf ulnar diatas lekuk olekranon, nervus tibialis posterior dibelakang
malleolus internal, nervus peroneus (popliteal lateral) pada fossa popliteal dan
proksimal yang melingkari leher fibula , nervus kutaneus lateralis pada lengan, nervus
facialis dan aurikularis besar, dan nervus median proksimal fleksor retinakulum.
Disamping itu, berbagai cabang-cabang syaraf yang berhubungan dengan lesi kulit
dapat membesar. Pembesaran syaraf biasanya mendahului tanda dari kerusakan
syaraf pada lepra tuberkuloid kecuali jika penyakit mengalami reaksi akut ketika
pembesaran, nyeri, dan parese semuanya terlihat bersama-sama. Dengan diagnosis
awal dan terapi yang tepat kerusakan syaraf dapat dicegah. Oleh karenanya, tanda
dari kerusakan syaraf dipertimbangkan sebagai komplikasi (lihat Bab.10)
Lepra tuberkuloid (TT) merupakan puncak kenaikan imunitas seluler (Fig.
4.7), menggambarkan stabilitas dari penyakit, tidak adanya penyebaran atau perluasan
lokal, reaksi jarang terjadi, dan cenderung mengalami penyembuhan spontan. Terapi
biasanya diberikan dengan tujuan untuk meminimalkan kerusakan syaraf. Lepra
tuberkuloid ditandai dengan lesi makular (makuloanestetik) dan sembuh spontan
tanpa menjadi infiltrat.

30
Fig. 4.3. Empat tipe lesi dari lepra tuberkuloid
a. Plak hipopigmentasi soliter yang terletak pada pipi seorang gadis ini bersifat anestetik.
Perhatikan tanda dan bentuk yang tegas. Tidak ada tanda lain dari lepra (TT).
b.Wanita muda ini memiliki 3 lesi kulit anestetik, dengan tepi yang meninggi dan bagian
tengah yang tertekan, diduga penyembuhan awal (TT).
c. Lesi disini mendekati proses penyembuhan, hanya meninggalkan tepi melingkar yang
sedikit meninggi dan terlihat seperti kulit normal. Tetapi sensasi terganggu dan nervus
kutaneus radialis membesar (TT)
d.Plak ini memiliki bentuk yang tegas, tepi meninggi dan berskuama. Bagian tengah kasar,
kering, dan anestetik. Dua lesi satelit kecil mengindikasikan penyebaran lokal dari penyakit;
ini merupakan karakteristik borderline dan memberi kesan tipe BT dibandingkan TT. Biopsi
penting untuk penentuan klasifikasi.

31
Fig.4.4. Lepra borderline tuberkuloid (BT). Lesi-lesi ini menunjukkan gambaran TT tetapi
jumlahnya banyak, besar, dan ireguler, memiliki karakteristik dimana pertahanan penderita
tidak mengontrol penyakit. Meskipun lesi kulit luas, kerusakan syarafnya ringan

Fig. 4.5. Lepra tuberkuloid mayor (BT). Lesi besar pada kulit kepala ini adalah khas untuk
lepra tuberkuloid mayor. Tepi meninggi, seperti batu kerikil, dan bentuknya tegas.
Permukaan berskuama, bahkan dengan krusta dibelakang telinga, mengindikasikan terjadinya
reaksi, dimana lesi tipe ini cenderung mudah ditemukan. Beberapa syaraf perifer membesar
dan nyeri.

32
Fig. 4. 6. Lepra borderline tuberkuloid (BT). Nervus auricular besar terlihat seperti berjalan
dan menyilang muskulus sterno-mastoid. Syaraf ini teraba pada orang yang kurus.
Pembesaran dari syaraf ini sering, tetapi tidak selalu, disertai dengan lesi kutaneus pada
wajah. Syaraf ini tidak memiliki serabut motorik dan keterlibatannya tidak begitu penting
hanya sebagai petunjuk diagnostik.

Fig. 4.7. Penonjolan dari imunitas seluler. Perhatikan kecuraman dari lereng pada
pertengahan spektrum.

33
Lepra Lepromatus (LL)
Lepra lepromatus menunjukkan tingginya multiplikasi basiler (Fig. 4.8),
ditandai dengan banyaknya gambaran penyakit pada kutub ini dan komplikasi yang
dapat terjadi : onset yang tersembunyi, penurunan yang stabil, keterlibatan berbagai
organ, deformitas pada wajah dan kebutaan. Lepra lepromatus juga merupakan
predisposisi pasien untuk mengalami komplikasi reaksi antigen-antibodi dan penyakit
kompleks imun.

Fig. 4.8. Penonjolan dari multiplikasi basiler. Perhatikan bagaimana curamnya gambaran
Bacterial Index diantara BT dan BL.

Lesi awal dari lepra lepromatus adalah makula (Fig. 4.9, Gambar 2). Mereka
dapat menyebar dengan luas, simetris bilateral dan dengan jumlah yang tidak
terhitung. Batas tepitidak jelas, permukaannya berkilat dan lesi lebih eritem. Pada
kasus dengan progresivitas yang cepat mereka bergabung sehingga seluruh kulit dapat
terkena, dan bahkan pada tempat terang lesi sulit dilihat. Area tertentu pada kulit,
khususnya pada kulit kepala, aksila dan lipatan paha, telapak tangan dan kaki,
antecubiti dan fossa poplitea, dan garis tengah dari punggung jarang ditemukan
sampai penyakit berada pada tahap lanjut. Area kulit tersebut lebih hangat. Makula
awal dari lepra lepromatus tidak anestetik.
Manifestasi dari kerusakan syaraf terlihat lebih lambat. Hilangnya sensoris
dapat simetris dan pertama sekali terdeteksi diatas permukaan ekstensor dari lengan,
tungkai, dan bokong, kemudian meluas ke trunkal, tetapi selain area yang disebutkan
diatas, tidak mengalami anestesi kecuali dan sampai syaraf perifer yang besar terlibat.

34
Hal ini tidak berlaku pada tahap awal distribusi glove and stocking murni, seperti
halnya pada bentuk neuritis perifer lainnya, dan nyeri tidak seperti biasanya,
kelemahan dimulai pada otot instrinsik dari tangan dan kaki.

Fig. 4.9. Lepra lepromatus (LL atau BL). Makula hipopigmentasi kecil yang tidak terhitung
menutupi lengan atas. Makula yang sama terlihat pada trunkal, bokong, paha, dan wajah.
Lesi tidak anestetik tetapi dari pulasan kulit menunjukkan Bacterial Index 5+.

Jika penyakit dibiarkan berkembang tanpa diterapi, kulit yang terkena seperti
gambaran lilin dan terasa penuh. Penebalan dapat dilihat pada wajah, khususnya pada
dahi, lubang telinga, alis mata, hidung, dan area malar (Fig. 4.10, 4.11). Penebalan
kulit diawali dengan perkembangan menjadi lipatan, yang tergantung kebawah
memberikan gambaran klasik seperti singa, atau facies leonina.
Alis dan bulumata hilang, kondisi ini dikenal dengan Madarosis. Nodulasi
pada area ini dapat terjadi dan perubahan yang sama berkembang ke area kulit yang
lain. Nodul berupa peninggian dibagian tengah dan tepinya melandai kebawah. Pada
saat ini anestesinya sangat luas dan disertai dengan anhidrosis. Kompensasi dari
fungsi berkeringat secara berlebihan dari area kulit yang tidak sakit, khususnya
aksilla, menjadi sangat nyata, dan mungkin mendasari dugaan populer pada beberapa
negara bahwa gangguan berkeringat merupakan tanda dari lepra.
Limfonoduli mengalami pembengkakan pada 90% pasien dengan LL,
dibandingkan hanya sekitar 70% pada penyakit pausibasiler. Frekuensi tersering
adalah di inguinal, servikal, aksila, dan epitroklear.

35
Fig. 4.10. Lepra lepromatus (LL). Terdapat infiltrasi difus pada wajah memberikan gambaran
seperti lilin pada pipi, hilangnya alis mata. Perhatikan nodul pada pinna. Pulasan dari
berbagai tempat menunjukkan positif (6+).

Fig. 4.11. Lepra lepromatus (BL/LL). Infiltrat berkembang lebih jauh dibandingkan
penderita pada Fig.4.10. Lakrimasi sebagai konsekuensi iridosiklitis. Sekret hidung dipenuhi
dengan M.leprae, membuat penderita ini sangat infeksius.

Invasi ke mukosa hidung, dan kadang-kadang ke tenggorokan, disertai dengan


invasi pada kulit ditemukan sekitar 80% dari pasien lepra dan jika invasi telah terjadi
dapat berkembang dengan sangat cepat. Rasa penuh dalam hidung, seperti pada

36
commom cold, merupakan gejala pertama, dan mukosa terlihat tebal dan kuning pucat.
Terbentuk nodul atau plak yang kemudian dapat menyumbat hidung (Fig. 4.12).
Trauma minor dan infeksi sekunder menyebabkan ulserasi, epistaksis, muko-purulent
dan terbentuknya krusta. Diikuti dengan perforasi septum kecuali kondisi tersebut
diterapi dengan tepat. Pada kasus-kasus yang lanjut tulang nasal anterior dihancurkan
dan hidung menjadi kempis. Bersamaan dengan ini dapat terjadi infiltrasi pada
palatum dan laring, dengan suara parau dan obstruksi laring yang berbahaya.
Kadang-kadang palatum dapat mengalami perforasi. Kerusakan mata dibicarakan
pada Bab 11.

Fig. 4.12. Hidung, lepra lepromatus. Pemeriksaan melalui spekulum hidung menunjukkan
nodul pucat pada septum nasal. Mukosa diinfiltrasi dan mengalami ulserasi superfisial.
Aerosol yang ditimbulkan melalui bersin akan mengandung jutaan M.leprae.

Pada lepra lepromatus lanjut tangan dan kaki menjadi bengkak, tegang dan
oedem. Radiografi pada tangan dan kaki menunjukkan osteoporosis pada falang
dengan hilangnya trabekulasi (disebut dengan gambaran ’gelas pasir’) dan sering
terlihat garis fraktur yang mana tulang-tulang-tulang ini mudah mendapat kecelakaan
( Fig. 4.13). Foramen nutrisi mengalami pembesaran. Yang jarang terjadi adalah lesi
osteolitik kecil, yang merupakan predisposisi fraktur kompresi dan pembengkakan
dari sendi. Perubahan-perubahan ini menyebabkan pemendekan dari jari, suatu proses
yang dipercepat oleh dan bahkan mekanisme penghancuran oleh nekrosis tekanan,
trauma, dan infeksi, kerusakan yang besar kemungkinan diikuti oleh anestesi pada

37
pasien yang tidak mengetahui bagaimana atau lalai merawat tungkai yang anestetik
(lihat Bab 10). Pertumbuhan rambut dapat terganggu, kuku membentuk kurva, rapuh,
dan tipis. Kerusakan syaraf autonom dapat mempengaruhi respon kardiovaskular
pada posisi berdiri dan latihan.

Fig. 4.13. Lepra lepromatus. Tangan membengkak dan jari-jari berbentuk kumparan.
Musculus hipotenar tidak terpakai. Radiograf dari tangan kiri menunjukkan bagaimana
deformitas dapat terjadi. Terdapat dekalsifikasi pada ujung tulang dan berkurangnya
trabekulasi medulla pada metakarpal, berlawanan dengan peningkatan densitas kortek dari
beberapa falang. Dua tanda ini mengindikasikan keadaan disuse dan misuse. Terdapat kista
pada beberapa falang yang mendekati sendi interfalang proksimal disebabkan oleh infiltrat
lepra. Anestesi menyebabkan trauma minor menjadi fraktur pada tulang lemah yang
mendekati sendi-sendi ini, menyebabkan angulasi dan pemendekan jari-jari. Perubahan ini
terjadi tanpa ulserasi atau infeksi sekunder.

38
Kerusakan testikular berbahaya dan dapat tanpa gejala kecuali testis
mengalami inflamasi akut selama reaksi. Pada palpasi teraba lunak dan kecil.
Ginekomasti dapat mengikuti atropi testikular, dan ditemukan sekitar satu dari tiga
individu dengan LL yang lama, khususnya mereka yang memiliki pengalaman reaksi
tipe 2 (lihat h.121). Dua kondisi ini berhubungan dengan peningkatan eksresi
gonadotropin urinari dan rendahnya testosteron plasma dan 17-ketosteroid urinari,
sebuah kondisi yang menyerupai Sindroma klinefelter. Azoospermia dan sterilitas
biasanya mendahului perubahan hormon, yang menyebabkan ginekomasti, dan
memberikan kontribusi terjadinya osteoporosis dan kemungkinan impoten.
Lepra lepromatus merupakan penyakit yang ’stabil’ sehingga tidak mengalami
remisi alamiah. Sebelum diberikan terapi yang efektif, multiplikasi basiler terus
berlanjut. Downhill ditandai dengan inflamasi akut disertai dengan kumpulan
benjolan merah yang nyeri pada kulit dan kelainan sistemik dengan demam (reaksi
tipe 2 : lihat h.121). Penyebab tersering kematian pada lepra adalah gagal ginjal (10-
14%: glomerulonefritis, nefritis interstitial, dan amyloidosis pada satu dari tiga
penderita), infeksi akut (15-25%: khususnya pneumonia, tetanus dan septikemia
mengikuti infeksi piogenik dari luka pada tungkai yang anestetik), tuberkulosis (10-
30%: lebih tinggi sebelum kemoterapi antituberkulosis diberikan), dan komplikasi
pada usia tua (lihat tabel 4.2). Nefritis dan pneumonia khususnya berhubungan
dengan lepra lepromatus. Deposit amyloid sering menyebar pada lepra lepromatus.
Kematian yang disebabkan oleh obstruksi respiratorius, hiperpireksia, dan kaheksia
jarang terlihat lebih lama. Komplikasi fatal ini dapat dicegah dengan diagnosis awal
dan terapi yang tepat.

Tabel 4.2. Komplikasi lepra, dari penelitian post-mortem Hansen & Looft (1895)
Lepromatus Tuberkuloid
(Nodular) (Makulo-Anestetik)
89 kasus 36 kasus
Pneumonia 25% 8%
Tuberkulosis 46% 42%
Nefritis 20% 8%
Degenerasi lemak dari ginjal 18% 28%
Amyloidosis 55% 28%
Lain-lain 7% 29%

39
Tabel tersebut mengindikasikan persentase dari penderita yang menunjukkan gambaran
patologi pada autopsi. Kebanyakan penderita memiliki lebih dari satu komplikasi. Penyebab
kematian segera, tidak spesifik. Perhatikan peningkatan prevalensi nefritis, pneumonia, dan
amyloidosis pada penderita lepromatus (yang tidak diterapi).

Lepra Lusio
Merupakan bentuk dari lepromatus LL murni, dan ditandai dengan lambatnya
progresivitas infiltrat yang mengkilat dan difus pada kulit wajah dan sebagian besar
tubuh : lepra bonita beautiful leprosy. Alis menebal dan bulumata rontok (lepra
cantik atau tidur). Bahkan dapat timbul kongesti nasal, suara serak, matirasa, dan
oedema pada tangan dan kaki, tetapi sering dibingungkan dengan myxoedema. Bentuk
dari LL ini umumnya terjadi pada semua kondisi reaksi yang berat, Fenomena Lucio
(lihat Bab 8). Lepra Lucio terjadi di Meksiko dan Spanyol, serta keturunan
Amerindian, tetapi jarang ditemukan pada tempat lain.

Lepra Borderline (BB)


Gambaran klinis dari pertengahan spektrum menunjukkan gabungan
karakteristik penyakit pada kutub-kutub, sering terlihat aneh dan membingungkan.
Terdapat berbagai lesi kulit, tetapi tidak sebanyak LL. Cenderung simetris;
beberapa lesi menyilang garis tengah tubuh. Makula sangat besar ukuran dan
bentuknya, beberapa ada yang memiliki bentuk yang jelas, lainnya tidak, beberapa
yang lain mengalami perluasan memanjang dan mengalir seperti teluk kecil coastal
dan tanjung pada peta. Satelit seperti tepi pulau, sering ditemukan. Lesi meninggi
dan basah, mengkilat dan keluar cairan dari tepi lesi lepromatus, tetapi bagian tengah
sering membentuk lekukan, area punched-out yang dalam atau penyembuhan yang
sesungguhnya seperti pada lesi tuberkuloid (Fig. 4.14). Terdapatnya gambaran
karakteristik tuberkuloid, diduga bahwa penyakit dimulai mendekati kutub tersebut
kemudian ’downgraded (menurun)’ menyilang pertengahan spektrum. Lesi kulit
hipoestesi.
Banyak syaraf yang terkena, dalam bentuk yang asimetris. Pembesaran licin
dan regular, atau tidak halus dan iregular. Anestesi, pada distribusi syaraf, terlihat
lebih awal.
Tanda-tanda adanya invasi basil pada mukosa nasal, mata, tulang, dan testis
biasanya tidak ditemukan.

40
Fig. 4.14. Lepra borderline (BB). Lutut dari seorang wanita Saudi Arabia menunjukkan lesi
klasik. Dibagian tengah dari plak merah yang basah terlihat jelas area ’punched out’ dari
kulit normal. Batas luar dari lesitidak jelas, menghilang secara bertahap kearah kulit normal
yang terdiri dari sejumlah makula, papul, dan plak eritem.

Lepra borderline menggambarkan puncak ketidakstabilan


(Fig.4.15).Keseimbangan antara multiplikasi basil dan imunitas seluler biasanya
terganggu dan berbahaya, dan jarang bertahan lama tanpa satu atau lebih gambaran
pada lengan atas. Karakter dari penyakit pasien kemudian berubah berdasarkan hal
tersebut dan campuran dari gambaran lama dan baru dapat terlihat.

Fig. 4.15. Puncak ketidakstabilan pada lepra borderline. Penyakit berada pada area yang
diarsir, sementara tidak adanya pertumbuhan basil ataupun ketiadaan imunitas seluler adalah
keadaan yang tidak stabil : kecuraman, besarnya lereng, ketidakstabilan.
Kadang-kadang terlihat gambaran kompleks dan pemeriksaan histologi
agaknya penting untuk mengidentifikasi posisi baru pada spektrum.. Perubahan ini

41
dapat terjadi perlahan tapi sering juga terjadi dengan cepat dan disertai oleh inflamasi
pada lesi, sebagai manifestasi dari hipersensitivitas seluler akut (reaksi tipe I: lihat
h.116)
Hal ini cenderung untuk mengalami reaksi, disertai dengan kerusakan cepat
pada syaraf dan kulit, yang merupakan karakteristik penting dari lepra BB.
Ketidakstabilan pada pertengahan spektrum juga diperhitungkan untuk
gambaran lepra lainnya: yaitu meskipun penyakit borderline (BL atau BT) lebih
sering daripada penyakit polar, BB murni tanpa gambaran T atau L dalam jumlah
besar, relatif jarang ditemukan. Bentuk distribusi untuk Asia, penyakit lepromatus
relatif lebih sering, dan untuk Afrika, penyakit tuberkuloid relatif lebih sering, hal
tersebut dipresentasikan pada Fig. 4.16.

Fig. 4.16. Pengaruh dari puncak ketidakstabilan dari bentuk lepra di Asia Tenggara dan
Afrika.

Lepra Borderline Tuberkuloid (BT)


Gambarannya disini merupakan campuran dari infiltrasi seluler dan spektrum
tengah yang tidak stabil. Lesi kulit menyerupai lepra tuberkuloid, tetapi selalu
terdapat bukti bahwa penyakitnya tidak diketahui. Hal ini mungkin terlihat pada: lesi
kulit individual tidak menunjukkan tepi yang jelas dan merupakan karakteristik TT.
Tepinya mungkin merupakan bagian dari kulit normal yang tidak terasa, dapat
meluas, atau merupakan lesi satelit kecil (Fig. 4.17, 4.18, 4.19). tepinya yang
menonjol berbentuk seperti erosi pada kawah volcanic tua yang melingkar. Alternatif

42
lain, lesi terlalu banyak untuk TT, dan menunjukkan variasi pada bentuk, kontur dan
karakter (Fig. 4.4, 4.20). Sepertinya lesi menunjukkan suatu fase penyebaran
hematogen. Sering terdapat kedua karakter dari BT. Lesi kulit kecuali beberapa yang
terdapat di wajah biasanya tidak sensitif, dan kurang ekstrim dibandingkan TT.
Hipopigmentasi, kekeringan, bentuk seperti kerikil, dan skuama kurang jelas
dibandingkan TT (Fig. 4.21). Pada kulit yang pucat, lesi sering berwarna merah atau
seperti tembaga (Gambar 1,5).
Lesi syaraf lebih banyak dibandingkan TT. Beberapa syaraf perifer yang besar
mengalami pembesaran yang ireguler pada tempat predileksi dan memberikan bentuk
yang asimetris. Pada kasus-kasus kronis hampir semua syaraf perifer terlibat.
Kerusakan syaraf merupakan karakteristik penting dari lepra BT, dan anestesi atau
parese pada distribusi syaraf sering ditemukan ketika penderita pertama sekali datang.
Penderita dapat menunjukkan kerusakan syaraf yang spesifik tanpa adanya lesi kulit,
dan hal ini sulit untuk didiagnosis.

Fig. 4.17. Lepra Borderline Tuberkuloid (BT). Ini adalah tepi dari makula besar yang
menutupi bagian posterior lengan atas pada anak usia 12 tahun. Pucat, permukaan kasar,
anestetik, kering dan tidak ada rambut. Tepi jelas terlihat dibeberapa bagian, menjalar,
menunjukkan bahwa infeksi tidak terlokalisir dengan efisien (BI 1+)

43
Fig. 4.18. Lepra borderline tuberkuloid (BT). Lesi ini terdapat pada pertengahan wajah,
meninggi, dan jelas terlihat -- karakteristik tuberkuloid; tetapi juga oedema disebabkan oleh
reaksi tipe 1, derajat elevasi bervariasi, tepi ireguler, dan pada tempat yang tidak jelas,
menghilang kedalam kulit normal – karakteristik borderline. Lesinya anestetik dan terdapat
AFB (BI 3+) mengindikasikan downgrading. Beberapa syaraf dapat terlibat.

Fig.4.19. Lepra borderline tuberkuloid (BT). Kelompok makula ini merupakan tanda
kutaneus dari lepra tetapi ulnar kanan dan nervus aurikular besar juga membesar. Perhatikan
hipopigmentasi, permukaan yang kasar, bentuk tepi, tetapi pada tempat ini tepinya kurang
dapat dibedakan dan terdapat lesi satelit yang diduga bahwa respon imun penderita tidak
cukup banyak mengandung infeksi (BI 1+)

44
Fig 4.20. lepra borderline tuberkuloid (BT). Ini merupakan gambaran khas dari bentuk lepra
BT (kadang-kadang disebut tuberkuloid dengan ketahanan rendah) dimana terdapat sejumlah
makula yang menyebar. Beberapa makula cukup besar sehingga menutupi seluruh tungkai,
yang lainnya kecil-kecil dan kelihatannya bergabung. Makula hipaestetik, kering, dan
hipopigmentasi. Mereka tidak berkembang menjadi plak. Meskipun lesi kulit cukup terlihat,
kerusakan syaraf biasanya berat dan reaksi tipe 1 sering menyebabkan neuritis akut yang
berat. AFB biasanya sedikit (BI 1-2). Penderita ini memiliki lesi awal syaraf wajah. Dia
mencoba menutup matanya tetapi tidak dapat menutup dengan benar; lagoftalmus. Jarang
menimbulkan kelemahan pada pertengahan bawah dari wajah, berlawanan dengan Bell’s
Palsy dan lesi Upper Motor Neurone.

Fig.4.21. Lepra Borderline Tuberkuloid. Pada kulit yang lebih pucat lesi sering merah atau
berwarna seperti tembaga. Disini jelas terlihat, iregular, seperti batu kerikil, dan kering. Pada
kasus ini warna ditimbulkan oleh Klofazimin yang seringkali diserap oleh lesi kulit.

45
Gambar 1. Plak pada lepra borderline tuberkuloid dari seorang Indian, menunjukkan warna
seperti tembaga yang dapat terlihat pada kulit pucat.

Gambar 5. Lepra borderline tuberkuloid dengan reaksi, dari kulit bangsa Eropa. Perhatikan
eritema dan sedikit skuama pada lesi, dan terlihat lesi kemerahan sebagai eritema baru. Area
central healing tetap inaktif.

46
Lepra Neural Murni
Kadang-kadang penderita dapat menunjukkan adanya kerusakan syaraf
spesifik tanpa lesi kulit. Presentasi ini lebih sering ditemukan di India dibandingkan
dibagian lain. Biasanya hanya satu syaraf yang terlibat, khususnya nervus ulnaris
pada siku. Diagnosis yang akurat penting untuk mencegah kesalahan dalam
penatalaksanaan. Biopsi agaknya penting dilakukan, dan histologi umumnya
menunjukkan BT atau TT, tetapi penyakit multibasiler juga dapat ditunjukkan dengan
cara ini.
Lepra borderline tuberkuloid menggambarkan puncak dari kerusakan syaraf
akut (Fig. 4.22). Perluasan infiltrasi seluler menyebabkan syaraf sangat rentan untuk
mengalami kerusakan bahkan dengan derajat minor inflamasi akut selama fase reaksi,
dengan karakteristik bentuk dari penyakit borderline (puncak ketidakstabilan). Syaraf
yang terkena lebih sedikit dibandingkan BB, tetapi memiliki kemungkinan yang
lebih besar untuk mengalami kerusakan permanen yang cepat.
Lepra borderline tuberkuloid yang tidak diterapi dapat berlangsung untuk
beberapa tahun. Reaksi dapat mempercepat kerusakan syaraf dan diikuti dengan
defomitas multipel, yang menghasilkan anestesi, paralysis syaraf, dan kontraktur.
Kebanyakan kasus akhirnya sembuh-- , ’the burnt out case’. Downgrade dengan
reaksi terus menerus sehingga penyakit menjadi lepromatus, dan komplikasi dari
invasi bakteri menambah kerusakan syaraf.

Fig. 4.22. Puncak dari beratnya kerusakan syaraf, disebabkan oleh reaksi tipe 1 pada syaraf
yang dinfiltrasi pada lepra BT dan BB. Pada diagram ini puncak ketidakstabilan diperberat
sejak ketidakstabilan merupakan predisposisi untuk terjadinya reaksi.

47
Lepra Borderline Lepromatus (BL)
Gambaran disini merupakan campuran dari keadaan invasi bakteri dan
spektrum tengah yang tidak stabil.
Lesi kulit menyerupai lepra lepromatus, tetapi dengan pemeriksaan yang
detail ditemukan beberapa perbedaaan. Lesi tidak terdistribusi simetris pada tubuh.
Area kulit normal ditemukan diantara lesi. Lesi memiliki perbedaan masing-masing
bentuk dan ukuran. Papul dan nodul dapat muncul dengan jelas pada kulit, lebih
jarang dibandingkan gabungan bagian yang tidak terasa dengan latar belakang infiltrat
(Fig. 4.23, 4.24). Lesi yang lebih besar baik makula maupun plak dengan distribusi
asimetris, atau lesi dengan punched out pada bagian tengahnya, diduga bahwa
penyakit dimulai mendekati kutub tuberkuloid dan kemudian mengalami downgrade
(Fig 4.25, 4.26). Alismata tidak seluruhnya hilang.

Invasi basil pada hidung dan laring tidak seberat pada LL, dan keratitis,
lepromata pada mata, atropi testikular dan ginekomasti biasanya tidak muncul kecuali
penyakit mengalami downgrading.
Anestesi seperti yang diemukan pada LL, tetapi tidak begitu simetris;
syaraf perifer besar menebal lebih awal dibandingkan LL dengan anestesi dan paresis
yang tidak simetris. Syaraf, bagaimanapun tidak mengalami kerusakan yang begitu
cepat seperti pada lepra BB atau BT.
Lepra BL menunjukkan puncak penurunan yang cepat, dengan
ketidakstabilan dan multiplikasi basil (fig. 4.27). Penyakit pasien berada pada posisi
’salah’ dari puncak ketidakstabilan dan sering mengalami downgrade menuju LL
dengan komplikasi. Bahkan, karakteristik tanda-tanda klinis dari fase borderline awal
kemungkinan dapat ditentukan. Pengenalan dari tanda-tanda ini sangatlah penting,
yang mengindikasikan bahwa pasien potensial memiliki imunitas seluler, dan reaksi
tipe 1, prognosis dan terapi lebih baik dibandingkan pada kasus LL yang tidak
menunjukkan karakteristik borderline. Pada Asia tenggara sekitar 80% dari pasien
lepromatus memiliki bukti penyakit borderline lama. Proporsinya bahkan lebih tinggi
di Afrika.
Downgrading dapat disertai dengan inflamasi pada semua lesi, dimana pada
kasus ini penderita mengalami tekanan yang berat meskipun kerusakan syaraf tidak
serius seperti pada penderita lepra BT.

48
Fig 4.23. Lepra borderline lepromatus (BL). Terdapat sejumlah nodul basiliferus dan plak,
sering bilateral simetris. Warna fotograf menunjukkan eritema pada kulit yang pucat.
Perluasan tepi dari berbagai lesi diduga bahwa penyakit mengalami downgrading.

Fig. 4. 24. Borderline lepromatus (BL). Nodul BL sering memiliki ciri-ciri tersendiri dan
jelas terlihat, meskipun kulit sedang terinfeksi dengan berat. Bandingkan papul bentuk kubah
sikumskripta dengan papul dan pustul dari eritema nodosum leprosum pada Fig. 8.5.

49
Fig. 4.25. Downgrading : BT-BL. Lesi lama dari lepra BT terdapat diatas skapula selama
lebih kurang setahun. Tepinya membengkak dan makin meluas meskipun area central
healing masih datar : ini merupakan gambaran khas dari lesi BB (tanda panah). Pada saat
yang sama papul dan nodul kecil yang tidak dapat dihitung terlihat diseluruh tubuh, tetapi
khususnya pada wajah dan trunkal. Mereka mengkilat, eritem, bentuknya bervariasi dan
cenderung melewati garis tengah punggung. Bacterial Index pada lesi ini 5+. Pada kasus ini
tjadi erreaksi tipe 1 ringan yang disertai dengan downgrading, dan syaraf perifer umumnya
nyeri saat dipalpasi.

Fig.4.26. Downgrading : BT-BL. Penderita ini telah diterapi pada klinik lepra untuk lesi BT,
pada trunkalnya. Karena reaksi tipe 1, yang ditandai oleh lesi dengan tepi yang meninggi
dan permukaan berskuama, dapson diturunkan menjadi dosis yang tidak adekuat. Penderita
ini kemudian mengalami iritis disebabkan oleh reaksi tipe 2 dan pemeriksaan terakhir
menunjukkan infiltrat difus pada wajah dan hilangnya ali,s yang merupakan karakteristik dari
penyakit lepromatus.

50
Fig. 4.27. Proses penurunan yang cepat, terdapat kecendrungan untuk segera mengalami
downgrading dan multiplikasi bakteri

Perluasan Penyakit
Lepra dapat memburuk melalui dua cara :
1. Perluasan penyakit tetapi tidak menunjukkan karakteristik klinis atau posisinya
pada spektrum. Hal ini selalu dan berlanjut dengan LL yang tidak diterapi
dan dapat terjadi untuk yang pada waktu yang berbeda dari posisi pada
spektrum.
2. Pengurangan imunitas seluler yang menggeser posisi penderita pada spektrum
menuju kutub lepromatus (downgrading), dengan perubahan pada
karakteristik penyakit. Downgrading pada awalnya dapat menyebabkan
pengurangan dalam gambaran aktivitas penyakit, seperti pembengkakan dan
nyeri, dan kondisi penderita dapat memburuk untuk jangka waktu yang lama
sebelum ditangani.

PROGNOSIS
Prognosis dari lepra yang tidak diterapi terutama bergantung pada posisi
pasien pada spektrum (Fig.4.28). Pada kutub lepromatus kondisi penderita dapat
memburuk. Penyebab kematian telah dijelaskan (lihat h.38). Pada kutub tuberkuloid
penyembuhan sesuai dengan aturannya. Penyakit Borderline (BL, BB, BT) pada
akhirnya dapat diperlihatkan pada seseorang atau yang diluar dua jalur ini, tetapi jalur
yang mana saja, deformitas yang luas dari kerusakan syaraf multipel dapat terjadi.esar

51
Fig. 4.28. Skema Hipotesa yang menunjukkan bagaimana tipe dari penyakit secara klinis
dapat terjadi bersamaan dengan onset dari respon imun dan dengan kekuatannya. Area
berlubang menggambarkan penyakit subklinis (setelahGodal,1972)

Faktor- faktor yang Mempengaruhi Prognosis

Terapi
Terapi dapat mempengaruhi prognosis melalui dua cara. Pertama,
menghentikan multiplikasi bakteri, kemudian mengurangi muatan basil dan antigenik
dan mencegah perluasan penyakit. Kedua, pada penderita lain dibandingkan dengan
mereka yang penyakitnya diawali dengan LL murni yang menyebabkan munculnya
atau meningkatnya imunitas seluler yang merubah posisi penderita menuju kutub
tuberkuloid sehingga penyembuhan alamiah dapat membantu terapi dan mengurangi
rata-rata relaps. Tanpa adanya beberapa derajat imunitas seluler, relaps akan terjadi
setelah penghentian terapi karena tidak memungkinannya untuk membunuh basil
tunggal terakhir oleh terapi obat yang tersedia saat ini.

Ras
Variasi ketahanan alamiah. Terlihat paling besar di Negro, lebih sedikit pada
Mongolian dan paling sedikit di Caucasian. Indian, bagaimanapun memiliki
dayatahan yang lebih besar dibandingkan Angloindians, Burmese, China, dan Orang-

52
orang Eropa. Daya tahan yang rendah, merupakan kecendrungan yang lebih besar
untuk menimbulkan penyakit lepromatus.

Usia
Lepra biasanya merupakan penyakit endemik. Umumnya didapat pada masa
kanak-kanak dan sering sembuh sendiri. Bagi mereka dengan lepra yang berlanjut
hingga dewasa, memiliki proporsi yang lebih besar dengan dayatahan yang buruk.
Rata-rata lepromatus umumnya sedikit lebih tinggi pada dewasa dibandingkan pada
anak-anak, tetapi penyakit tidak memberikan sifat yang buruk pada dewasa.

Jenis Kelamin
Pada sebagian besar belahan dunia, lepra lebih sering mengenai laki-laki
dibandingkan wanita, dengan rasio 2:1. Tetapi pada beberapa tempat, khususnya di
Afrika, rasio seks sebanding, atau bahkan terbalik. Perbedaan rasio jenis kelamin,
terutama pada dewasa dibandingkan anak-anak, menggambarkan paparan terhadap
infeksi dibandingkan kerentanan terhadap tipe dari penyakit. Namun demikian, laki-
laki dewasa, rata-rata menderita lepromatus lebih tinggi dibandingkan wanita dan
bertanggungjawab terhadap perkembangan deformitas yang lebih besar.

Kehamilan
Selama kehamilan terjadi peningkatan level sirkulasi kortikosteroid, estrogen
dan hormon tiroid, dan depresi imunitas seluler non spesifik. Pada awal kehamilan
rasio sel normal T/B terbalik. (lihat Bab 7). Perubahan ini berhubungan dengan
penurunan daya tahan, khususnya terhadap infeksi intraseluler yang mungkin
mengalami reaktivasi. Perubahan segera berbalik pada puerperium, dan daya tahan
didapatkan kembali. Kehamilan berperan dalam mencetuskan munculnya lepra untuk
pertama kali, dan relaps. Penyakit dapat memburuk sebagai hasil dari downgrading,
tidak diterapi, resisten terhadap Dapson, ataupun pemberian monoterapi (lihat Bab 6).
Reaksi tipe 2 sering timbul pada trimester pertama dan selama laktasi, dan reaksi tipe
1 sering terjadi pada puerperium, berhubungan dengan upgrading. Reaksi ini
menyebabkan kerusakan syaraf yang segera (lihat h. 118). Pubertas, terutama pada
anak perempuan, berhubungan dengan resiko yang lebih ringan. Bayi yang lahir dari
ibu dengan lepromatus memiliki plasenta dan berat lahir yang rendah, berat badan

53
dicapai dengan perlahan setelah penyapihan, dan rentan untuk mengalami marasmus
dan infeksi.

Laju Perkembangan penyakit


Prognosis menjadi buruk pada penderita yang penyakitnya berkembang
dengan cepat dibandingkan dengan mereka yang relatif inaktif untuk waktu yang
lama.

Malnutrisi dan Infeksi Intercurrent


Meskipun telah diketahui bahwa malnutrsi pada anak yang lebih muda dapat
memiliki resisten yang rendah terhadap beberapa infeksi. Tidak ada hubungan dengan
malnutrisi dan insiden dari tipe lepra. Pasien lepra dapat mengalami gangguan pada
nutrisi dan hal ini dapat memperlama proses penyembuhan. Infeksi intercurrent,
seperti selulitis, osteomyelitis, dan tuberkulosis memperburuk prognosis pada
beberapa jalur. (lihat Bab 9)

54

Anda mungkin juga menyukai