Jhon Jurnal Printn PDF
Jhon Jurnal Printn PDF
1 Februari 2015
Ai Nurlaila
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) interaksi antara pupuk P dan
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang
hijau (Phaseolus radiatus L.) varietas Walet (2) dosis pupuk P dan CMA yang
memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau
(Phaseolus radiatus L.) varietas Walet (3) korelasi antara komponen pertumbuhan
dengan hasil tanaman kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) varietas Walet.
Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan percobaan
berupa Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial. Penelitian terdiri dari dua
faktor perlakuan, yaitu pupuk P dan CMA yang diulang sebanyak tiga kali. Faktor
pertama yaitu pupuk P terdiri dari tiga taraf, yaitu : P1 (30 kg SP-36/ha), P2 (45 kg SP-
36/ha), dan P3 (60 kg SP-36/ha). Faktor kedua yaitu CMA terdiri dari tiga taraf, yaitu :
M1 (5 g/lubang), M2 (7,5 g/lubang), dan M3 (10 g/lubang).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) terdapat interaksi antara Pupuk P dan
Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap parameter rata-rata tinggi tanaman umur 21
hari setelah tanam (HST), indeks luas daun umur 35 HST dan 42 HST, volume akar umur
35 HST dan 42 HST, laju pertumbuhan tanaman minggu ke-3, bobot kering per petak,
bobot kering biji 100 butri dan indeks panen, (2) perlakuan pupuk P dengan dosis 45 kg
SP-36/ha dan CMA dengan dosis 7,5 g/lubang menunjukkan pengaruh terbaik terhadap
bobot biji kering per petak yang menghasilkan 760,57 g/petak atau setara dengan 1,14
ton/ha, (3) terdapat korelasi yang nyata antara komponen pertumbuhan tinggi tanaman
umur 21 HST dan volume akar umur 35 HST dengan hasil bobot biji kering per petak.
Kata kunci : kacang hijau, Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA), pupuk Fosfor,
pertumbuhan, hasil
1
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
2
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
C. Metode Penelitian
Jika terdapat perbedaaan pengaruh
1. Teknik Pengumpulan Data perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji
Metode yang digunakan dalam Berjarak Duncan (DMRT) pada taraf
penelitian ini adalah metode eksperimen signifikansi 5%.
dengan rancangan percobaan berupa Analisis korelasi menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola koefisien korelasi Pruduct Moment
faktorial. Penelitian terdiri dari dua (Wijaya, 2000) dengan rumus sebagai
faktor perlakuan, yaitu pupuk P dan berikut :
CMA yang diulang sebanyak tiga kali.
Faktor pertama yaitu pupuk P terdiri dari
tiga taraf, yaitu : P1 (30 kg SP-36/ha), P2
(45 kg SP-36/ha), dan P3 (60 kg SP-
36/ha). Faktor kedua yaitu CMA terdiri III. HASIL DAN PEMBAHASAN
dari tiga taraf, yaitu : M1 (5 g/lubang),
M2 (7,5 g/lubang), dan M3 (10 A. Pengamatan Penunjang
g/lubang). Hasil analisis tanah menunjukkan pH
Pelaksanaan penelitian meliputi tanah adalah 6,49 (agak masam),
persiapanlahan, penanaman, pemupukan, kandungan bahan organik yang
penyulaman dan pengairan, pengendalian dinyatakan dengan C-organik 1,813 %
OPT, penyiangan, dan pemanenan. (rendah), kandungan N total 0,166%
Pengamatan penunjang meliputi (rendah), kandungan nisbah C/N 10,92
kondisi umum lokasi penelitian, curah (sedang), kandungan P2O5 tersedia 43
hujan dan suhu, serangan penyakit dan ppm (sedang), Kapasitas Tukar Kation
OPT, umur berbunga, dan umur panen. 17,869 me% (sedang). Tekstur tanah
Pengamatan utama meliputi pengamatan adalah lempung dengan kandungan pasir
41,56%, debu 45,61%, dan liat 12,86%.
komponen pertumbuhan dan komponen
Keadaan tanah yang ideal untuk
hasil. Komponen pertumbuhan meliputi pertumbuhan kacang hijau adalah tanah
tinggi tanaman, Indeks Luas Daun (ILD), lempung yang banyak mengandung
volume akar, Laju Pertumbuhan bahan organik seperti tanah podsolik
Tanaman. Sedangkan komponen hasil merah kuning (pmk) dan latosol. Kacang
berupa bobot bijikering per tanaman, hijau tumbuh subur pada tanah dengan
bobot biji kering per petak, bobot biji pH 5,5-7,0 (Rukmana, 1997). Keadaaan
tanah di lokasi penelitian cukup
100 butir, dan indeks panen.
3
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
4
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
5
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
Tabel 2. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Indeks Luas Daun (ILD) Umur 35 HST
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 0,85 b 0,85 b 0,84 b
M2 (7.5 g/lubang) 0,87 c 0,88 c 0,84 b
M3 (10 g/lubang) 0,86 b 0,86 b 0,83 a
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.
6
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
mungkin terjadi kompetisi antar CMA meningkatkan serapan hara tidak berjalan
sendiri sehingga fungsinya dalam optimal.
Tabel 4. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) terhadap
Volume Akar Umur 35 HST
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 4,0 ab 3,3 a 4,2 ab
M2 (7.5 g/lubang) 4,3 b 6,2 c 5,0 b
M3 (10 g/lubang) 4,0 ab 4,7 b 5,3 c
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.
Pada perlakuan pupuk Fosfat dosis dengan perlakuan lainnya, seperti terlihat
30 kg SP-36/ha dengan persamaan pada Tabel 5.
regresi Y1 = 4,9 - 0,24x -0,016x2, dosis Hubungan antara pemberian pupuk
maksimum CMA 7,5 g/lubang Fosfat dan CMA terhadap volume akar
menghasilkan volume akar sebesar 4 mL. pada umur 42 HST dapat dilihat pada
Pada perlakuan pupuk Fosfat dosis 45 kg Gambar 3. Pada perlakuan pupuk Fosfat
SP-36/ha dengan persamaan regresi Y2= dosis 30 kg SP-36/ha dengan persamaan
-18 + 6,2x -0,14x2, dosis maksimum garis regresi Y1= -5,1 + 2,92x -0,192x2,
CMA 7,75 g/lubang menghasilkan dosis maksimum CMA 7,60 g/lubang
volume akar 5,25 mL. Sedangkan pada menghasilkan volume akar sebesar 6 mL.
perlakuan pupuk Fosfat dosis 60 kg SP- Pada perlakuan pupuk Fosfat dosis 45 kg
36/ha dengan persamaan regresi Y3 = -5 SP-36/ha dengan persamaan regresi Y2 =
+ 2,6x -0,16x2, dosis maksimum CMA -27,5 + 9,5x -0,6x2, dosis maksimum
8,13 g/lubang menghasilkan volume akar CMA 7,92 g/lubang menghasilkan
sebesar 5,56 mL. volume akar sebesar 10,1 mL.
Pada umur 42 HST perlakuan pupuk Sedangkan pada perlakuan pupuk Fosfat
Fosfat dengan dosis 60 kg SP-36/ha dan dosis 60 kg SP-36/ha dengan persamaan
CMA dengan dosis 10 g/lubang regresi Y3 = -15,5 + 5,5x -0,28x2, dosis
memberikan nilai volume akar tertinggi, maksimum CMA 9,82 g/lubang
yaitu 11,2 mL. Hal ini berbeda nyata menghasilkan volume akar sebesar 11,51
mL.
Tabel 5. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Volume Akar Umur 42 HST
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 4,80 a 7,7 b 5,0 a
M2 (7.5 g/lubang) 6,0 b 10,0 c 10,0 c
M3 (10 g/lubang) 5,0 a 7,7 b 11,2 c
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.
7
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
Tabel 6. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) terhadap
Laju Pertumbuhan Tanaman Minggu ke-3
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 56,02 a 55,61 a 45,98 a
M2 (7.5 g/lubang) 128,29 c 72,06 b 64,82 a
M3 (10 g/lubang) 21,95 a 36,98 a 50,67 a
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.
8
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
9
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
Tabel 7. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Bobot Kering Biji per Tanaman (g)
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 9,01 a 8,74 a 10,23 a
M2 (7.5 g/lubang) 8,27 a 12,65 b 10,90 a
M3 (10 g/lubang) 9,10 a 10,80 a 8,17 a
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%
Tabel 8. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Bobot Kering Biji per petak (g)
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 545,76 a 526,72 a 612,08 a
M2 (7.5 g/lubang) 503,19 a 760,57 c 654,25 b
M3 (10 g/lubang) 556,39 a 647,67 a 500,64 a
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%
10
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
Tabel 9. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Bobot Kering Biji 100 Butir (g)
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
Tabel 10. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Indeks Panen (IP)
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 0,49 a 0,73 b 0,55 a
M2 (7.5 g/lubang) 0,66 b 0,75 b 0,73 b
M3 (10 g/lubang) 0,67 b 0,68 b 0,58 b
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%
11
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
12
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
13
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
14
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Komposisi pohon pada areal arboretum di
IUPHHK PT. Erythrina Nugrahamegah dan rata-rata riap diameter kelompok jenis
dipteroscarpaceae maupun non dipteroscarpaceae. Metode pengambilan data Pengukuran
tegakan di dalam petak pengamatan merupakan kegiatan utama dalam pengukuran riap
tegakan. Seluruh tegakan yang berada di dalam semua petak pengamatan harus dicatat
untuk mendapatkan data berupa nomor pohon, jenis pohon, diameter dan perkiraan
tinggi bebas cabangnya. Data-data tersebut setiap tahunnya akan diukur ulang untuk
mendapatkan data pertambahan riap setiap tahunnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Komposisi pohon pada areal arboretum di
IUPHHK PT. Erythrina Nugrahamegah didominasi oleh pohon-pohon yang termasuk
kedalam kelompok jenis non dipterocarpaceae. Rata-rata riap diameter kelompok jenis
dipteroscarpaceae pada areal arboretum di IUPHHK PT. Erythrina Nugrahamegah 1,76
cm/th, sedangkan rata-rata riap diameter kelompok jenis non dipteroscarpaceae sebesar
1,44 cm/th, sementara rata-rata riap tinggi kelompok jenis dipterocarpaceae sebesar 1,97
m2/th, dan rata-rata riap tinggi kelompok jenis non dipteroscarpaceae sebesar 1,34 m2/th,
dan rata-rata riap volume kelompok jenis dipteroscarpaceae sebesar 1,09 /th, dan rata-rata
riap volume kelompok jenis non dipteroscarpaceae 0,50 /th.
15
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
16
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
17
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
18
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
19
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
20
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
Dari tabel diatas juga diketahui tinggi adalah jenis rimba campuran yaitu
bahwa pada tingkat pohon yang memiliki sebesar 0,2379% dan jambu yaitu sebesar
tingkat kerapatan vegetasi paling tinggi 0,1373%. Walaupun demikian,
adalah jenis rimba campuran yaitu dominansi setiap jenis vegetasi yang ada
sebesar 28,37%. Hal ini memperlihatkan tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan
persaingan yang merata pada jenis rimba masing-masing jenis vegetasi dapat
campuran dalam menempati satuan luas tumbuh dengan baik di areal arboretum.
Untuk Frekuensi Relatif
memperlihatkan sebaran jenis vegetasi B. Komposisi Jenis
pada tiap tingkat pertumbuhan. Pada Berdasarkan hasil analisis vegetasi
tingkat pohon frekuensi relatif paling paling dominan pada pohon adalah jenis
besar adalah jenis rimba campuran yaitu rimba campuran dengan nilai INP
sebesar 0,28%, dan begitu juga pada sebesar 28,89. Untuk lebih jelas nilaia
jambu adalah 0,18% INP (Indeks Nilai Penting) pada setiap
Untuk nilai dominansi relatif, jenis tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada
vegetasi yang memiliki nilai paling tabel berikut ini:
21
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
Dari hasil diatas diketahui bahwa 2 meliputi riap diameter, riap tinggi dan
jenis vegetasi ditemukan secara merata riap volume.
pada tiap tingkat pertumbuhan dengan
perbedaan yang tidak begitu besar. Jenis 1. Riap Diameter
rimba campuran yang paling dominan Riap diameter merupakan
pada tingkat pertumbuhan pohon perubahan dimensi pohon sevara
memiliki pertumbuhan lebih cepat di horizontal (kesamping), riap diameter
bandingkan dengan jenis jambu yang merupakan salah satu dimensi pohon
mendominasi pada tingkat pertumbuhan yang paling sering digunakan sebagai
parameter pertumbuhan. Hasil
C. Pertambahan Riap Tegakan pengamatan rata-rata riap diameter pada
Riap tegakan merupakan areal arboretum dii IUPHHK PT.
pertambahan dimensi tegakan yang Erythrina Nugrahamegah. Untuk lebih
terjadi pada periode tertentu, riap tegakan jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini,
yang diamati dalam penelitian ini yaitu
Dari tabel 4 dapat dilihat riap cm/th, dan riap terendah terdapat pada
diameter yang bervariasi antara 0,85 tahun ketiga yaitu 0,85 cm/th.
cm/th – 2,81 cm/th. Untuk jenis riap Dan dapat dilihat pertambahan riap
diameter terbesar terdapat pada tahun ke diameter untuk kedua kelompok jenis,
1 yaitu sebesar 2,81 cm/th, sedangkan ternyata riap diameter untuk jenis
riap diameter paling rendah terdapat dipterocarpaceae lebih besar
pada non dipterocarpaceae yaitu 0,85 dibandingkan dengan kelompok jenis
cm/th. non dipterocarpaceae.Dari data dalam
Sedangkan riap diameter tertinggi tabel 5.4 di atas akan dibuat diagram
untuk jenis non dipterocarpaceae batang untuk mempermudah melihat
terdapat pada tahun pertama yaitu 1,99 riap diameter pohon.
22
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
2. Riap Tinggi
Riap tingi merupakan pertambahan
dimensi pohon pohon secara vertikal (ke
atas). Riap tinggi mempunyai peranan
yang penting dalam perhitungan riap
volume. Hasil pengamatan riap tinggi
pada areal arboretum di IUPHHK PT
Erythrina Nugrahamegah dapat dilihat
pada tabel 5
Tabel 5. Pertambahan tinggi di Areal
Gambar 2. Diagram Rata-Rata tinggi pada
Arboretum
Areal Arboretum PT. Erythrina
3. Riap Volume
Nugrahamegah
23
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
24
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
25
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
26
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
ABSTRAK
27
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
28
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
di lereng utara hutan lindung Gunung lapangan dari objek penelitian atau dari
Subang, mendorong penulis untuk lapangan melalui observasi seperti
melakukan penelitian yang berjudul jumlah individu, tumbuhan bawah,
“Identifikasi Keanekaragaman Jenis tumbuhan berupa semai, pancang, tiang
Tumbuhan Bawah di Lereng Utara Hutan dan pohon. Sedangkan data skunder
Lindung Gunung Subang Kabupaten adalah data yang diperoleh dari internet,
Kuningan Provinsi Jawa Barat”. perpustakaan dan instansi yang terkait
Penelitian ini bertujuan untuk dengan penelitian ini seperti kondisi
mengetahui dan mengidentifikasi jenis- umum kawasan dan interaksi sosial.
jenis tumbuhan bawah serta mengetahui Pengenalan jenis tumbuhan bawah
tingkat keanekragaman jenis tumbuhan yaitu membandingkan dengan buku
bawah di lereng utara kawasan hutan identifikasi tumbuhan bawah dan juga
lindung Gunung Subang dan mengetahui guide atau pengenal jenis tumbahan,
jenis-jenis tumbuhan bawah yang tumbuhan bawah di hitung jumlah
bermanfaat sebagai bahan pangan, individunya dan di dokumentasikan
tumbuhan obat dan tanaman hias. sebagai bukti adanya jenis tersebut.
29
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
30
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
Tingkat semai dan pancang INP memiliki nilai kemerataan maksimal, dan
=KR+FR jika nilai kemerataan kecil maka dalam
Tingkat tiang dan pohon INP komunitas tersebut akan menjadi jenis
=KR+FR+DR dominan, sub-dominan, karena
kelimpahan individu antar spesies dalam
komunitas tersebut tidak merata.
2. Keanekaragaman Jenis
Indeks keanekaragaman jenis E = H’ / Ln.S
merupakan suatu nilai yang menunjukan
tinggi rendahnya keanekaragaman dan Keterangan :
kemantapan komunitas. Untuk komunitas E = Indeks kemerataan
yang memiliki nilai keanekaragaman H’ = Keanekaragaman jenis tumbuhan
semakin tinggi maka hubungan antar bawah
komponen dalam komunitas akan Ln `= Logaritma natural
semakin kompleks, perhitungan Indeks S = Jumlah jenis
Keanekaragaman jenis dihitung
menggunakan Indeks Shannon-Wiener Kriteria Indeks Kemerataan
(Odum, 1993) (Soerinegara, 1996) sebagai berikut:
Indeks keanekaragaman Shannon E’> 0,6 Indeks kemerataan tinggi
E’= 0,3-0,6 Indeks kemerataan sedang
(H’) = - Σ Pi Ln Pi ; Pi = ni E’< 0,3 Indeks kemerataan rendah
Ni
Keterangan : 4. Dominansi
H’ = Indeks Keanekaragaman Penentuan nilai dominansi berfungsi
Pi = Proporsi jenis-i untuk menentukan atau menetapkan jenis
ni = Jumlah individu ke-i tumbuhan bawah yang dominan, sub-
Ni = Jumlah individu seluruh jenis dominan menurut (Helvoort dalam
Rahayuningsih & Priyono et al, 2006)
Nilai indeks keanekaragaman jenis
dapat diklasifikasikan dalam beberapa
tingkatan. Jika nilai H’< 2 maka nilai H’
tergolong rendah, jika nilai H’ = 2-3 Keterangan :
maka tergolong sedang dan jika nilai H’> Di = Indeks dominan suatu jenis
3 maka tergolong tinggi. tumbuhan bawah
Ni = Jumlah individu suatu jenis
3. Indeks Kemerataan tumbuhan bawah
Indeks kemerataan (Indekx of N = Jumlah individu dari seluruh jenis
eveness) berfungsi untuk mengetahui tumbuhan bawah
kemerataan setiap jenis dalam setiap
komunitas yang dijumpai. Kemerataan Kriteria dominasi (Helvoort dalam
menunjukan derajat kemerataan Rahayuningsih & Priyono et al, 2006)
kelimpahan individu antara spesies, Di < 2 % jenis tidak dominan
apabila setiap individu memiliki jumlah Di = 2 – 5 % jenis sub-dominan
yang sama, maka komunitas tersebut Di > 5 % jenis dominan
31
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
32
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
33
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
Dari gambar grafik diatas terlihat umpan balik negatif yang dapat
untuk keragaman jenis tumbuhan bawah mengurangi gangguan-gangguan, dan
pada jalur Gentong dengan persentase karenanya akan meningkatkan
sebesar 1.63%, jalur Culamega dengan kemantapan.
persentase sebesar 1.86% dan jalur
Cibongkok dengan persentase sebesar D. Indeks Kemerataan
1.76%, maka indeks keragaman tertinggi Nilai kemerataan jenis tumbuhan
pada lereng utara Hutan Lindung bawah dari 3 (tiga) jalur pengamatan
Gunung Subang yaitu pada jalur yaitu jalur Gentong dengan nilai Indeks
Culamega dengan persentase sebesar Kemerataan 0.36, jalur Culamega dengan
1.86%. nilai Indeks Kemerataan 0.40 dan jalur
Dari keseluruhan jalur, maka Cibongkok dengan nilai Indeks
diketahui indeks keanekaragaman Kemerataan E=0.40. Untuk indeks
Shannon-wiener pada lereng utara hutan kemerataan tumbuhan bawah di lereng
lindung Gunung Subang yaitu sebesar utara Hutan Lindung Gunung Subang
H’=3.23, menurut kriteria Odum (1993) dari ke-3 (tiga) jalur pengamatan
jika nilai keanekaragaman jenis lebih dari (Gentong, Culamega dan Cibongkok)
3 maka tergolong tinggi. Maka termasuk katagori sedang (Soerinegara,
keanekaragaman jenis tumbuhan bawah 1996).
di lereng utara hutan lindung Gunung
Subang tergolong kedalam kriteria tinggi E. Dominansi
keanekaragaman jenisnya. Untuk nilai dominasi tumbuhan
Menurut jumlah jenis yang bawah pada jalur Culamega diperoleh
ditemukan, dapat dikatakan bahwa nilai jenis tumbuhan bawah yang
kawasan Lereng Utara hutan lindung dominan sebanyak 5 jenis dengan
Gunung Subang mempunyai proporsi 40% dari seluruh populasi jenis.
keanekaragaman yang tinggi. Tingginya Jenis yang dominan meliputi : Daun
keanekaragaman jenis tersebut congkok (Curculigo cavitulata Gaertn.)
dikarenakan lingkungan mempunyai dengan nilai dominansi sebesar 5.74%,
iklim cocok untuk pertumbuhan. Harendong bulu (Clidemia hirta (L.) D.
Menurut Krebs (1978) adanya Don) 6.69%, Keras tulang (Turpinia
keanekaragaman jenis yang tinggi akan montana (Blume) Kurz) 14.53%, Pakis
mengakibatkan ekosistem yang ada sayur (Diplazium esculentum (Retz.)
meningkat kestabilannya, karena dengan Sw.) 5.07% dan jenis Remujung
keanekaragaman yang tinggi serangan (Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.)
hama dan penyakit dapat dicegah secara dengan nilai dominansi sebesar 21.82%
alami. Semakin tinggi keanekaragaman Pada jalur Gentong, diperoleh nilai
jenis penyusun maka komunitas tersebut jenis tumbuhan bawah yang dominan
semakin stabil. Ferial (2013) sebanyak 5 jenis dengan proporsi 28%
menjelaskan bahwa keanekaragaman dari seluruh populasi jenis. Jenis yang
yang tinggi berarti mempunyai rantai- dominan meliputi : Cocok buwu
rantai makanan yang panjang dan lebih (Plumbago zeylanica) dengan nilai
banyak kasus dari simbiosis (interaksi), dominansi sebesar 23.35%, Daun
kendali yang lebih besar untuk kendali congkok (Curculigo cavitulata Gaertn.)
34
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
5.23%, Harendong bulu (Clidemia hirta dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
(L.) D. Don) 6.28%, Keras tulang lain adalah persaingan antara tumbuhan
(Turpinia montana Blume) 22.22% dan yang ada, dalam hal ini berkaitan dengan
jenis Pohpohan (Pilea melastomoides iklim dan mineral yang diperlukan, jika
(Poir.) Blume) 5.48% iklim dan mineral yang dibutuhkan
Pada jalur Cibongkok, diperoleh mendukung maka spesies tersebut akan
nilai jenis tumbuhan bawah yang lebih unggul dan lebih banyak
dominan sebanyak 6 jenis dengan ditemukan. Persaingan akan
proporsi 32% dari seluruh populasi jenis. meningkatkan daya juang untuk
Jenis yang dominan meliputi : Daun mempertahankan hidup, spesies yang
congkok (Curculigo cavitulata Gaertn.) kuat akan menang dan menekan yang
6.48%, Harendong bulu (Clidemia hirta lain sehingga spesies yang kalah menjadi
(L.) D. Don) 6.65%, Jalantir (Erechtites kurang adaptif dan menyebabkan tingkat
valerianifolia (Wolf.) DC.) 5.17%, Keras reproduksi rendah dan kepadatannya juga
tulang (Turpinia montana (Blume) Kurz) sedikit (Syafei, 1990).
28.11%, Pakis sayur (Diplazium Tumbuhan bawah yang dominan
esculentum (Retz.) Sw.) 5.60% dan jenis yaitu memiliki jumlah individu yang
Solempat (Colocasia esculenta L.) banyak, maka jenis-jenis yang dominan
dengan nilai dominansi sebesar 6.83% tersebut sangat berperan dalam
Adanya tumbuhan bawah yang mencegah rintikan air hujan dengan
mempunyai nilai dominan, maka dapat tekanan keras yang langsung jatuh
dikatakan tumbuhan bawah tersebut kepermukaan tanah, sehingga akan
kebutuhan hidupnya terpenuhi, seperti mencegah hilangnya humus oleh air dan
yang dikatakan Syafei, (1990) adanya meminimalkan terjadinya erosi
spesies yang mendominasi ini dapat (Soeriaadmadja, 1997).
35
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
36
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
37
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
38
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
39
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
ABSTRAK
40
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
41
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
42
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
Kriteria uji :
Jika Chihit > Chitab maka ada pengaruh Hasil pengamatan secara
Jika Chihit < Chitab maka tidak ada pengaruh keseluruhan rata-rata skor persepsi
terhadap Kawasan Obyek Wisata Bumi
Perkemahan Palutungan tergolong ke
dalam kategori tinggi, dengan skor rata-
rata 60,92.
43
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
44
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
45
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
46
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
47
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
48
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
49
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
ABSTRACT
50
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
51
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
52
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
53
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
54
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
55
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
ABSTRAK
56
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
57
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
2. Teknik Wawancara
Data dikumpulkan dengan
melakukan tanya jawab secara Dimana :
langsung terhadap responden, Lqij = Indeks Kuosien Lokasi.
pejabat setempat dan pemimpin Xij = Jumlah luas areal suatu
formal maupun informasi aktifitas pada tingkat
perangkat/warga desa. Wawancara wilayah kecamatan.
dilakukan dengan menggunakan Xj = Jumlah luas areal total
daftar pertanyaan/kuisioner suatu aktivitas pada
terstruktur dan tidak terstruktur tingkat wilayah Kabupaten.
mengenai hal-hal yang masih X = Jumlah luas areal total
berhubungan dengan penelitian. seluruh aktivitas pada
tingkat wilayah
3. Studi Pustaka Kabupaten.
Pengumpulan data-data sekunder
dari instansi terkait. Kriteria penilaian dalam penentuan
ukuran derajat basis dan non basis
adalah:
1. Jika nilai LQ lebih besar dari
satu (LQ>1) maka
58
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
59
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
60
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
61
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015
62