Anda di halaman 1dari 62

Wanaraksa Vol. 9 No.

1 Februari 2015

PENGARUH PUPUK FOSFAT DAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA


(CMA)
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG HIJAU
(Phaseolus radiatus L.)

Ai Nurlaila

Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan


Jl. Cut Nyak Dhien 36 A, Kuningan, Jawa Barat

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) interaksi antara pupuk P dan
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang
hijau (Phaseolus radiatus L.) varietas Walet (2) dosis pupuk P dan CMA yang
memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau
(Phaseolus radiatus L.) varietas Walet (3) korelasi antara komponen pertumbuhan
dengan hasil tanaman kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) varietas Walet.
Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan percobaan
berupa Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial. Penelitian terdiri dari dua
faktor perlakuan, yaitu pupuk P dan CMA yang diulang sebanyak tiga kali. Faktor
pertama yaitu pupuk P terdiri dari tiga taraf, yaitu : P1 (30 kg SP-36/ha), P2 (45 kg SP-
36/ha), dan P3 (60 kg SP-36/ha). Faktor kedua yaitu CMA terdiri dari tiga taraf, yaitu :
M1 (5 g/lubang), M2 (7,5 g/lubang), dan M3 (10 g/lubang).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) terdapat interaksi antara Pupuk P dan
Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap parameter rata-rata tinggi tanaman umur 21
hari setelah tanam (HST), indeks luas daun umur 35 HST dan 42 HST, volume akar umur
35 HST dan 42 HST, laju pertumbuhan tanaman minggu ke-3, bobot kering per petak,
bobot kering biji 100 butri dan indeks panen, (2) perlakuan pupuk P dengan dosis 45 kg
SP-36/ha dan CMA dengan dosis 7,5 g/lubang menunjukkan pengaruh terbaik terhadap
bobot biji kering per petak yang menghasilkan 760,57 g/petak atau setara dengan 1,14
ton/ha, (3) terdapat korelasi yang nyata antara komponen pertumbuhan tinggi tanaman
umur 21 HST dan volume akar umur 35 HST dengan hasil bobot biji kering per petak.

Kata kunci : kacang hijau, Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA), pupuk Fosfor,
pertumbuhan, hasil

1
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

I. PENDAHULUAN jumlah yang banyak supaya hasilnya


tinggi.
Kacang hijau (Phaseolus radiates Fosfor adalah unsur hara makro yang
L.) selain sebagai sumber protein nabati, berperan dalam pertumbuhan generatif
merupakan komoditas strategis karena tanaman seperti bunga, buah, atau biji.
permintaannya cukup besar setiap tahun, Kacang hijau adalah tanaman yang
baik untuk bahan pangan, pakan, maupun dimanfaatkan hasil perkembangan
industri. Keunggulan lain tanaman generatifnya yang berupa biji. Oleh
kacang hijau adalah berumur genjah, karena itu, untuk memenuhi kebutuhan
toleran terhadap kekeringan karena fosfor tersebut terutama pada lahan
berakar dalam, dapat tumbuh pada lahan dengan tingkat kesuburan rendah peran
yang miskin hara karena kacang hijau CMA sangatlah diperlukan.
merupakan jenis tanaman legum Penggunaan mikoriza pada tanaman
sehingga dapat bersimbiosis dengan budidaya mempunyai beberapa
rhizobium, cara budidaya mudah, hama keuntungan antara lain : dapat
yang menyerang relatif sedikit, dan mengurangi input pupuk kimia, petani
harganya relatif stabil. dapat membuat dan memperbanyak
Kebutuhan rata-rata nasional adalah inokulan CMA sendiri, memperbaiki
350.000 ton/tahun, sedangkan produksi kualitas tanah baik secara fisik, kimia,
rata-rata adalah 311.658 ton/tahun. dan biologi. Selain itu karena CMA
Kebutuhan per kapita adalah 1.27 dapat hidup pada rentang wilayah yang
kg/tahun untuk keperluan bahan sangat luas, maka potensinya sangat
makanan, benih, pakan ternak, dan yang besar untuk dikembangkan.
tercecer. Nilai ekspor dan impor sepuluh
tahun terakhir mengalami perubahan. II. METODOLOGI
Nilai ekspor menurun sebesar 10.37%
dengan rata-rata 24.019 ton/tahun. Nilai A. Lokasi Penelitian
impor meningkat sebesar 6.83% dengan Penelitian akan dilaksanakan di
rata-rata 42.655 ton/tahun (Kementan, Kebun Percobaan Fakultas Kehutanan
Dirjen Tanaman Pangan, 2012). Universitas Kuningan, Kabupaten
Peningkatan potensi hasil kacang Kuningan, Jawa Barat. Waktu penelitian
hijau (Phaseolus radiatus L.) pada lahan dilaksanakan pada bulan April sampai
yang kurang subur dapat dilakukan dengan bulan Juli 2014.
dengan pemberian pupuk P dan
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA). B. Bahan dan Alat
Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) Bahan yang digunakan adalah benih
adalah jenis pupuk hayati yang berasal kacang hijau varietas Walet, inokulan
dari jamur yang bersimbiosis dengan mikoriza majemuk yang didapat dari
akar tanaman. CMA berperan sebagai
PAU Mikrobiologi Hutan IPB yang
pupuk hayati yang dapat meningkatkan
kemampuan tanaman dalam menyerap merupakan inokulum campuran yang
hara terutama fosfor. Tanaman seperti terdiri atas Glomus etunicatum, Glomus
kacang hijau memerlukan fosfor dalam manihotis, Gigaspora margarita, dan
Acaulospora sp., pupuk SP-36, KCl,

2
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

insektisida dan fungisida. Sedangkan alat 2. Analisis Data


yang digunakan adalah alat pengolahan Data hasil pengamatan dianalisis
tanah, timbangan analitis, ajir, karung, menggunakan uji statistik model linear
kantong plastik, oven, dan alat (Toto Warsa dan Cucu S.A dalam
Gaspersz, 1989), sebagai berikut :
pendukung lainnya.

C. Metode Penelitian
Jika terdapat perbedaaan pengaruh
1. Teknik Pengumpulan Data perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji
Metode yang digunakan dalam Berjarak Duncan (DMRT) pada taraf
penelitian ini adalah metode eksperimen signifikansi 5%.
dengan rancangan percobaan berupa Analisis korelasi menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola koefisien korelasi Pruduct Moment
faktorial. Penelitian terdiri dari dua (Wijaya, 2000) dengan rumus sebagai
faktor perlakuan, yaitu pupuk P dan berikut :
CMA yang diulang sebanyak tiga kali.
Faktor pertama yaitu pupuk P terdiri dari
tiga taraf, yaitu : P1 (30 kg SP-36/ha), P2
(45 kg SP-36/ha), dan P3 (60 kg SP-
36/ha). Faktor kedua yaitu CMA terdiri III. HASIL DAN PEMBAHASAN
dari tiga taraf, yaitu : M1 (5 g/lubang),
M2 (7,5 g/lubang), dan M3 (10 A. Pengamatan Penunjang
g/lubang). Hasil analisis tanah menunjukkan pH
Pelaksanaan penelitian meliputi tanah adalah 6,49 (agak masam),
persiapanlahan, penanaman, pemupukan, kandungan bahan organik yang
penyulaman dan pengairan, pengendalian dinyatakan dengan C-organik 1,813 %
OPT, penyiangan, dan pemanenan. (rendah), kandungan N total 0,166%
Pengamatan penunjang meliputi (rendah), kandungan nisbah C/N 10,92
kondisi umum lokasi penelitian, curah (sedang), kandungan P2O5 tersedia 43
hujan dan suhu, serangan penyakit dan ppm (sedang), Kapasitas Tukar Kation
OPT, umur berbunga, dan umur panen. 17,869 me% (sedang). Tekstur tanah
Pengamatan utama meliputi pengamatan adalah lempung dengan kandungan pasir
41,56%, debu 45,61%, dan liat 12,86%.
komponen pertumbuhan dan komponen
Keadaan tanah yang ideal untuk
hasil. Komponen pertumbuhan meliputi pertumbuhan kacang hijau adalah tanah
tinggi tanaman, Indeks Luas Daun (ILD), lempung yang banyak mengandung
volume akar, Laju Pertumbuhan bahan organik seperti tanah podsolik
Tanaman. Sedangkan komponen hasil merah kuning (pmk) dan latosol. Kacang
berupa bobot bijikering per tanaman, hijau tumbuh subur pada tanah dengan
bobot biji kering per petak, bobot biji pH 5,5-7,0 (Rukmana, 1997). Keadaaan
tanah di lokasi penelitian cukup
100 butir, dan indeks panen.

3
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

mendukung untuk pertumbuhan kacang meminimalisir kerusakan dan serangan


hijau. penyakit, atau menghambat
Tipe curah hujan menurut Schmidt perkembangan patogen (Dehne, 1982).
dan Fergusson (1951) termasuk ke dalam Tetapi perbedaan pengaruh CMA
hujan tipe C (33,30 ≤ Q < 60,00) yang terhadap kerusakan dan serangan patogen
bersifat agak basah. Hal ini sesuai dipengaruhi faktor lingkungan dan CMA
dengan syarat tumbuh kacang hijau yang itu sendiri. Tidak semua laporan
membutuhkan curah hujan 50-200 mengindikasikan bahwa mikoriza dapat
mm/bulan. Suhu harian di lokasi menekan penyakit. Kasiamdari et al.
penelitian berkisar antara 25˚C - 28˚C. (2000) melaporkan bahwa keberadaan
Hal ini sesuai dengan syarat tumbuh mikoriza pada tanaman inang kacang
kacang hijau yaitu pada suhu harian 25˚C hijaumeningkatkan patogen Binucleate
- 27˚C dengan RH 50% - 80% rhizoctonia sp. dan Rhizoctonia solani.
(Rukmana, 1997). Fase generatif terjadi pada umur 35
Hama yang ditemukan pada awal HST ditandai dengan munculnya bakal
pertumbuhan adalah ulat daun (Prodenia bunga pada ketiak-ketiak daun yang
litura), ulat jengkal, ulat penggerek berkembang menjadi bunga dewasa
polong (Heliothis sp.), tetapi jumlahnya berwarna kuning dan menjadi polong.
sangat sedikit sehingga pengendalian Munculnya bunga pada satu tanaman
dilakukan secara manual dengan tidak serempak sehingga pemanenan
membuang polong yang diserang ulat. tidak dapat dilaksanakan sekaligus.
Jenis gulma yang ditemukan adalah Panen dilakukan setelah umur 60 HST
rumput teki (Cyperus rotundus), kirinyuh setelah polong berwarna hitam.
(Euphorbiaceae), dan
bandotan/babadotan (Ageratum B. Pengamatan Utama
conyzoides). Oleh karena itu penyiangan
segera dilakukan pada umur 14 HST dan 1. Tinggi Tanaman
28 HST. Pada umur 21 HST terjadi interaksi
Penyakit ditemukan pada saat pupuk P dan CMA terhadap tinggi
memasuki masa panen pertama yaitu tanaman. Pada taraf perlakuan P1M2
penyakit bercak daun (Cercospora sp.). memberikan tinggi tanaman tertinggi
Hal ini disebabkan karena tingginya yaitu 14,80 cm. Hasil analisis dapat
curah hujan dan suhu yang menurun. dilihat pada Tabel 1.
Secara umum, CMA dapat
Tabel 1. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Tinggi Tanaman Umur 21 HST
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)

P1(30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3(60 kg/ha)


M1 (5 g/lubang) 11,8 a 10,9 a 12,3 b
M2(7.5 g/lubang) 14,8 c 12,1 b 13,0 b

M3 (10 g/lubang) 11,7 a 13,1 b 11,3 a


Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.

4
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

sehingga pada awal pengamatan (21


HST) tanaman terlihat responsif terhadap
perlakuan pupuk Fosfat dan CMA.
Setelah umur 35 HST tinggi tanaman
tidak berbeda nyata yang mungkin
disebabkan karena CMA sudah
berkembang dengan baik, penetrasi ke
dalam sel akar tanaman berjalan dengan
baik sehingga meningkatkan penyerapan
unsur hara dan memperbaiki
pertumbuhan tinggi tanaman yang
sebelumnya tertinggal. Oleh karena itu
setelah umur 35 HST tinggi tanaman
relatif seragam (tidak berbeda nyata).
Gambar 1. Hubungan AntaraPupuk Fosfat Selain itu, kandungan bahan organik (C-
Dengan Tinggi Tanaman Pada
organik) pada tanah relatif rendah yaitu
Umur 21 HST Pada Berbagai
Dosis CMA
1,813%. Bahan organik merupakan hal
yang penting untuk pertumbuhan
Hubungan antara perlakuan mikoriza karena berkaitan engan suhu,
pupuk Fosfat dan CMA terhadap tinggi tekstur tanah, dan aerasi tanah sebagai
tanaman umur 21 HST dapat dilihat pada lingkungan tumbuh mikoriza (Pujianto,
Gambar 1.Pada dosis pupuk Fosfat 30 kg 2001).
SP-36/ha dengan persamaan regeresi Y1=
-3,3 + 4,76x -0,32x2, dosis maksimum 2. Indeks Luas Daun
CMA 7,44 g/lubang menghasilkan tinggi Tidak terjadi pengaruh interaksi
tanaman 14,4 cm. Dosis pupuk Fosfat 45 antara pupuk Fosfat dan CMA terhadap
kg SP-36/ha dengan persamaan regresi Indeks Luas Daun (ILD) pada periode
Y2 = 2,6 + 1,9x -0,072x2 , dosis pengamatan 21 HST dan 28 HST. Pada
maksimum CMA adalah 6,25 g/lubang umur 21 HST perlakuan pupuk Fosfat
menghasilkan tinggi tanaman 14,03 cm. dengan dosis 45 kg SP-36/ha
Sedangkan untuk dosis pupuk Fosfat 60 menghasilkan nilai ILD tertinggi yaitu
kg SP-36/ha dengan persamaan regresi sebesar 0.15. Pada umur 28 HST
Y3 = -5,1 + 4,88x -0,32x2 , dosis perlakuan CMA dengan dosis 7,5
maksimum CMA adalah 7,63 g/lubang g/lubang dan 10 g/lubang menghasilkan
menghasilkan tinggi tanaman 13,50 cm. nilai ILD tertinggi yaitu 0,45. Sedangkan
Kondisi ini mungkin disebabkan karena perlakuan pupuk Fosfat dengan dosis 30
tidak pernah dilakukan inokulasi CMA kg SP-36/ha menghasilkan nilai ILD
sebelumnya pada lahan yang digunakan tertinggi yaitu 0,45.

5
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Tabel 2. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Indeks Luas Daun (ILD) Umur 35 HST
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 0,85 b 0,85 b 0,84 b
M2 (7.5 g/lubang) 0,87 c 0,88 c 0,84 b
M3 (10 g/lubang) 0,86 b 0,86 b 0,83 a
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.

Pada umur 42 HST terjadi pengaruh


interaksi antara perlakuan pupuk Fosfat
dan CMA. Perlakuan pupuk Fosfat
dengan dosis 45 kg SP-36/ha dan CMA
7,5 g/lubang memberikan nilai ILD
tertinggi, yaitu sebesar 1.64. Hal ini
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya
seperti terlihat pada Tabel 3.
Bentuk hubungan antara
perlakuan pupuk Fosfat dan CMA
terhadap ILD pada umur 42 HST
dapat dilihat pada Gambar 2. Pada
dosis pupuk Fosfat 30 kg SP-36/ha
dengan persamaan garis regresi Y1 =
Gambar 2. Garis Hubungan Regresi Antara
1,01 + 0,116x - 0,0064x2, dosis Pupuk Fosfat Dengan Indeks Luas Daun
maksimum CMA adalah 9,06 Umur 42 HST Pada Berbagai Dosis CMA
g/lubang menghasilkan ILD sebesar
1,54. Pada perlakuan pupuk Fosfat 3. Volume Akar
dengan dosis 45 kg SP-36/ha dengan Tidak tejadi pengaruh mandiri
persamaan regresi Y2 = 0,87 +0,212x maupun pengaruh interaksi antara
-0,0144x2, dosis maksimum perlakuan pupuk Fosfat dan CMA terhadap
CMA 7,57 g/lubang menghasilkan volume akar tanaman pada 21 HST
ILD sebesar 1,67. Sedangkan pada dan 28 HST. Pengaruh interaksi baru
perlakuan pupuk Fosfat dengan dosis terjadi pada umur 35 HST dan 42
60 kg SP-36/ha dengan persamaan HST.
regresi Y3 = 1,34 + 0,032x -0,0032x2, Pada umur 35 HST perlakuan pupuk
dosis maksimumperlakuan CMA 5 Fosfat dengan dosis 45 kg SP-36/ha dan
g/lubang menghasilkan ILDsebesar CMA 7.5 g/lubang memberikan nilai
1,42. volume akar tertinggi, yaitu 6,5 mL
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya
seperti terlihat pada Tabel 4. Hal ini
disebabkan karena pada dosis 5 g/lubang
belum mampu meningkatkan volume
akar, sedangkan pada dosis 10 g/lubang

6
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

mungkin terjadi kompetisi antar CMA meningkatkan serapan hara tidak berjalan
sendiri sehingga fungsinya dalam optimal.

Tabel 4. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) terhadap
Volume Akar Umur 35 HST
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 4,0 ab 3,3 a 4,2 ab
M2 (7.5 g/lubang) 4,3 b 6,2 c 5,0 b
M3 (10 g/lubang) 4,0 ab 4,7 b 5,3 c
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.

Pada perlakuan pupuk Fosfat dosis dengan perlakuan lainnya, seperti terlihat
30 kg SP-36/ha dengan persamaan pada Tabel 5.
regresi Y1 = 4,9 - 0,24x -0,016x2, dosis Hubungan antara pemberian pupuk
maksimum CMA 7,5 g/lubang Fosfat dan CMA terhadap volume akar
menghasilkan volume akar sebesar 4 mL. pada umur 42 HST dapat dilihat pada
Pada perlakuan pupuk Fosfat dosis 45 kg Gambar 3. Pada perlakuan pupuk Fosfat
SP-36/ha dengan persamaan regresi Y2= dosis 30 kg SP-36/ha dengan persamaan
-18 + 6,2x -0,14x2, dosis maksimum garis regresi Y1= -5,1 + 2,92x -0,192x2,
CMA 7,75 g/lubang menghasilkan dosis maksimum CMA 7,60 g/lubang
volume akar 5,25 mL. Sedangkan pada menghasilkan volume akar sebesar 6 mL.
perlakuan pupuk Fosfat dosis 60 kg SP- Pada perlakuan pupuk Fosfat dosis 45 kg
36/ha dengan persamaan regresi Y3 = -5 SP-36/ha dengan persamaan regresi Y2 =
+ 2,6x -0,16x2, dosis maksimum CMA -27,5 + 9,5x -0,6x2, dosis maksimum
8,13 g/lubang menghasilkan volume akar CMA 7,92 g/lubang menghasilkan
sebesar 5,56 mL. volume akar sebesar 10,1 mL.
Pada umur 42 HST perlakuan pupuk Sedangkan pada perlakuan pupuk Fosfat
Fosfat dengan dosis 60 kg SP-36/ha dan dosis 60 kg SP-36/ha dengan persamaan
CMA dengan dosis 10 g/lubang regresi Y3 = -15,5 + 5,5x -0,28x2, dosis
memberikan nilai volume akar tertinggi, maksimum CMA 9,82 g/lubang
yaitu 11,2 mL. Hal ini berbeda nyata menghasilkan volume akar sebesar 11,51
mL.

Tabel 5. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Volume Akar Umur 42 HST
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 4,80 a 7,7 b 5,0 a
M2 (7.5 g/lubang) 6,0 b 10,0 c 10,0 c
M3 (10 g/lubang) 5,0 a 7,7 b 11,2 c
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.

7
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

4. Laju Pertumbuhan Tanaman


Pada minggu ke-1 dan minggu ke-2
pengamatan terdapat pengaruh mandiri
dari perlakuan CMA. Seperti terlihat
pada Tabel 8, pada pengamatan minggu
ke-1 perlakuan CMA 10 g/lubang
menghasilkan nilai LPT tertinggi yaitu
dan 14.81 g/m2·minggu. Hal ini berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya. Pada
pengamatan minggu ke-2 perlakuan
CMA 7,5 g/lubang menghasilkan nilai
LPT tertinggi , yaitu 45,10 g/m2·minggu.
Perlakuan pupuk P secara mandiri
memberikan pengaruh tidak nyata pada
pengamatan minggu ke-1 dan minggu
Gambar 3. Garis Hubungan Regresi Antara ke-2. Pada pengamatan minggu ke-3
Pupuk Fosfat dan Volume Akar Pada Umur terjadi pengaruh interaksi pupuk P dan
42 HST Pada Berbagai Dosis CMA CMA terhadap Laju Pertumbuhan
Tanaman. Perlakuan P1M2 memberikan
Ketergantungan tanaman terhadap nilai LPT tertinggi, yaitu 128,29
CMA berbeda-beda tergantung jenis g/m2·minggu. Hal ini berbeda nyata
bahkan varietas dalam satu spesies dengan perlakuan lainnya, seperti terlihat
(Azcon dan Ocampo,1981). Tanaman pada Tabel 6. Hubungan antara
dengan akar besar mempunyai perlakuan pupuk P dan CMA dengan
ketergantungan terhadap mikoriza lebih Laju Pertumbuhan Tanaman minggu ke-
tinggi daripada tanaman dengan akar 3 dapat dilihat pada Gambar 4.
panjang dan memiliki banyak rambut
akar (Baylis,

Tabel 6. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) terhadap
Laju Pertumbuhan Tanaman Minggu ke-3
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 56,02 a 55,61 a 45,98 a
M2 (7.5 g/lubang) 128,29 c 72,06 b 64,82 a
M3 (10 g/lubang) 21,95 a 36,98 a 50,67 a
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.

8
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

5. Bobot Kering Biji per Tanaman


dan per Petak
Terjadi pengaruh interaksi antara
perlakuan pupuk Fosfat dan perlakuan
CMA terhadap bobot kering biji per
tanaman dan per petak. Perlakuan pupuk
Fosfat dengan dosis 45 kg SP-36/ha dan
CMA 7.5 g/lubang memberikan bobot
biji per tanaman tertinggi, yaitu 12.65 g.
Hasil ini berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya, seperti terlihat pada Tabel 7.
Untuk bobot kering biji per petak,
perlakuan pupuk Fosfat dosis 45 kg SP-
36/ha dan CMA 7,5 g/lubang
memberikan hasil bobot kering biji per
petak tertinggi, yaitu 760,57 g/petak.
Gambar 4. Garis Hubungan Regresi Antara Hubungan antara pemberian pupuk
Pupuk Fosfat dan Laju Pertumbuhan Fosfat dan CMA terhadap bobot kering
Tanaman Pada Minggu ke-3 Pada Berbagai
biji per petak dapat dilihat pada Gambar
Dosis CMA
5. Pada perlakuan pupuk Fosfat dosis 30
kg SP-36/ha dengan persamaan garis
Pada perlakuan pupuk Fosfat dosis
regresi Y1= 702,18 – 47,522x +
30 kg/ha kg SP-36/ha dengan persamaan
3,2872x2, dosis maksimum CMA 7,23
garis regresi Y1= -574,99 + 192,55x –
g/lubang menghasilkan bobot kering biji
13,289x2, dosis maksimum CMA 7,24
per petak sebesar 530,43 g. Pada
g/lubang menghasilkan LPT sebesar
perlakuan pupuk P dosis 45 kg SP-36/ha
122,495 g/m2·minggu. Pada perlakuan
dengan persamaan regresi Y2= -898,08 +
pupuk P dosis 45 kg SP-36/ha dengan
420,84x – 26,626x2, dosis maksimum
persamaan regresi Y2= -137,49 + 60,23x
CMA 7,90 g/lubang menghasilkan bobot
-4,3064x2, dosis maksimum CMA 8,61
kering biji per petak sebesar 764,83 g.
g/lubang menghasilkan LPT sebesar
Pada perlakuan pupuk P dosis 60 kg SP-
61,85 g/m2·minggu. Pada perlakuan
36/ha dengan persamaan regresi Y3=-
pupuk P dosis 60 kg SP-36/ha dengan
62,75 + 213,85x – 15,78x2, dosis
persamaan regresi Y3= -114,4 + 48,02x –
maksimum CMA 6,78 g/lubang
3,128x2, dosis maksimum CMA 7,67
menghasilkan bobot kering biji per petak
g/lubang menghasilkan LPT sebesar
69,89 g/m2·minggu. 661,77 g.

9
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Tabel 7. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Bobot Kering Biji per Tanaman (g)
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 9,01 a 8,74 a 10,23 a
M2 (7.5 g/lubang) 8,27 a 12,65 b 10,90 a
M3 (10 g/lubang) 9,10 a 10,80 a 8,17 a
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%

Tabel 8. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Bobot Kering Biji per petak (g)
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 545,76 a 526,72 a 612,08 a
M2 (7.5 g/lubang) 503,19 a 760,57 c 654,25 b
M3 (10 g/lubang) 556,39 a 647,67 a 500,64 a
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%

sebesar 1,6 ton/ha. Hal ini dapat


disebabkan oleh beberapa hal antara lain
kondisi cuaca yang kurang
menguntungkan pada saat memasuki fase
pematangan polong tahap panen pertama
(50 HST). Intensitas hujan yang tinggi
dan kelembaban tanah yang tinggi pada
fase akhir tanam dapat menyebabkan
kehilangan hasil panen karena
tertundanya pematangan polong (Dept of
Agriculture,2010).

6. Bobot Kering Biji 100 Butir


Terjadi pengaruh interaksi antara
perlakuan CMA dengan pupuk Fosfat
Gambar 5. Hubungan Pupuk P dan CMA terhadap bobot kering biji 100 butir.
dengan Bobot Kering per Petak (g) Perlakuan pupuk Fosfat dengan dosis 45
kg SP-36/ha dan CMA 7.5 g/lubang
Konversi hasil per petak menjadi memberikan bobot kering biji 100 butir
hasil per hektar menggunakan asumsi tertinggi, yaitu 7.53 g. Hal ini berbeda
efektivitas lahan sebesar 90%. Hasil yang nyata dengan perlakuan lainnya, seperti
didapatkan relatif kecil karena di bawah terlihat pada Tabel 9.
potensi hasil kacang hijau varietas walet

10
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Tabel 9. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Bobot Kering Biji 100 Butir (g)
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)

P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)


M1 (5 g/lubang) 7,37 a 7,07 a 6,97 a
M2 (7.5 g/lubang) 7,07 a 7,53 b 7,07 a
M3 (10 g/lubang) 7,17 a 6,93 a 7,27 a
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%.

7. Indeks Panen dosis 7,5 g/lubang memberikan nilai


Terjadi interaksi antara perlakuan indeks panen tertinggi, yaitu 0,75. Hal ini
pupuk Fosfat dengan CMA terhadap berbeda nyata dengan perlakuan lainnya
indeks panen. Perlakuan pupuk Fosfat seperti terlihat pada Tabel 10.
dengan dosis 45 kg SP-36/ha dan CMA

Tabel 10. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Terhadap
Indeks Panen (IP)
CMA (g/lubang) Dosis Pupuk Fosfat (kg SP-36/ha)
P1 (30 kg/ha) P2 (45 kg/ha) P3 (60 kg/ha)
M1 (5 g/lubang) 0,49 a 0,73 b 0,55 a
M2 (7.5 g/lubang) 0,66 b 0,75 b 0,73 b
M3 (10 g/lubang) 0,67 b 0,68 b 0,58 b
Keterangan : Angka rata-rata yang mengikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
berdasarkan Uji Jarak Berbeda Duncan pada taraf nyata 5%

Perlakuan pupuk P dosis 45 kg SP- C. Analisis Korelasi Komponen


36/ha dan CMA dosis 7,5 g/lubang Pertumbuhan dengan Hasil
memberikan nilai tertinggi pada
semuakomponen hasil, sementara Analisis korelasi antara tinggi
terdapat perlakuan pupuk P dan CMA tanaman umur 21 HST dengan bobot
dengan dosis yang lebih tinggi nilai kering per petak menunjukkan korelasi
hasilnya lebih rendah. Hal ini serupa yang nyata dengan kategori r rendah
dengan hasil penelitian (Simanungkalit, (0,382). Analisis korelasi antara Indeks
1993) yang menunjukkan hasil jumlah Luas Daun (ILD) pada 35 HST dan 42
polong dan serapan P kedelai menurun HST terhadap bobot kering biji per
dengan meningkatnya jumlah pupuk P petak tidak menunjukkan korelasi yang
yang diberikan. nyata dengan kategori r yang rendah,
yaitu 0,227 pada 35 HST dan 0,330 pada
42 HST.
Analisis korelasi antara volume akar
dan bobot kering biji per petak pada 35

11
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

HST menunjukkan korelasi yang nyata dosis 5 g/lubang yang


dengan kategori r sedang (0,406). menghasilkan 545,76 g/petak atau
Sedangkan pada 42 HST tidak setara dengan 0,82 ton/ha.
menunjukkan korelasi yang nyata dengan 3. Terdapat korelasi yang nyata
kategori r rendah. Analisis korelasi antara komponen pertumbuhan
antara Laju Pertumbuhan Tanaman tinggi tanaman 21 HST dan
(LPT) dengan bobot kering biji per petak volume akar 35 HST dengan hasil
pada minggu ke-2 tidak menunjukkan biji kering per petak. Komponen
korelasi yang nyata dengan kategori r pertumbuhan yang lain
sangat rendah (0,145). Demikian pula menunjukkan korelasi yang tidak
pada minggu ke-3 tidak menunjukkan nyata terhadap hasil tanaman.
korelasi yang nyata dengan kategori r
rendah (-0,207). DAFTAR PUSTAKA

IV. KESIMPULAN Anonim. 2010. Mung Bean Production


Guideline. The Department of
1. Terdapat interaksi antara pupuk Agriculture, Forestry and Fisheries
Fosfat dan Cendawan Mikoriza Republic of South Africa.
Arbuskula (CMA) terhadap tinggi Baylis, G. T. S. 1975. The Magnolioid
tanaman umur 21 HST, Indeks Mycorrhiza and Myotrophy in
Luas Daun (ILD) 35 HST dan 42 Root Systems Derived From It.
HST, volume akar 35 HST dan 42 Hlm. 373-389, Dalam : F. E.
HST, bobot kering biji per Sanders, B. Moose, dan P.B.
tanaman, bobot kering biji per Tinker, Penyunting
petak, dan bobot kering biji 100 Endomycorrhizas. Academic
butir. Perlakuan CMA Press, London.
berpengaruh mandiri pada Laju Daniels, B.A. dan Trappe, J.M. 1980.
Pertumbuhan Tanaman (LPT) Factos Affecting Spore
minggu ke-1 (28 HST) dan Germination of Vesicular-
minggu ke-2 (42 HST). Perlakuan Arbuscular Mycorrhizhal Fungus,
pupuk P berpengaruh mandiri Glomus epiganeus. Mycology.
terhadap tinggi tanaman umur 28 72:457-463.
HST, ILD 21 HST dan 28 HST. Dehne, H.W. 1982. Intercation Between
2. Perlakuan pupuk fosfat dengan Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal
dosis 45 kg SP-36/ha dan CMA Fungi and Plant Phatogens.
dosis 7,5 g/lubang menunjukkan Phytopathology 72: 1.115-1.119.
pengaruh terbaik terhadap hasil Delvian, Y. Setiadi, I. Mansur, and
tanaman. Berat kering biji per Soedarmadi.2001. Correlation
petak yang dihasilkan adalah Between Soil Salinity With
760,57 g/petak atau setara dengan Arbuscular Mycorrhiza Fungi
1,14 ton/ha. Terdapat kenaikan Distribution, Population and
sebesar 28,25% jika dibandingkan Seasonal Dynamics in Coastal
dengan perlakuan pupuk fosfat Forest. Paper of Seminar and
dosis 30 kg SP-36/ha dan CMA Workshop onMycorrhiza in

12
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Agriculture, University Rukmana, R., 1997. Kacang Hijau


ofBengkulu, 11−13 June 2001. Budidaya dan Pasca Panen.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kanisius,Yogyakarta.
Kementrian Pertanian. 2013. Setiadi, Y. 2001. Peranan Mikoriza
Petunjuk Teknis Budidaya Arbuskula dalam Reboisasi Lahan
Tanaman Pangan. Kementrian Kritis di Indonesia. Makalah
Pertanian. Jakarta. Seminar Penggunaan Fungi
Ganry, F., H. G. Diem, Y. R. Mikoriza Arbuskula dalam Sistem
Dommergues. 1985. Effect of Pertanian Organik dan Rehabilitasi
Inoculation With Glomus mosseae Lahan Kritis. 21-23 April.
on Nitrogen Fixation by Bandung.
Fieldgrown Soybeans. Plant soil Sieverding, E. 1991. Vesicular-
68: 321-329. Arbuscular Mycorrhizal
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. PT Management in Tropical
Pustaka Jaya. Bogor. Agroecosystems. GTZ GmbH,
Hidayat, C. 2012. Metabolisme Karbon Eschborn, Republic of Germany.
Dalam Simbiosis Fungi Mikoriza Simanungkalit, R. D. M. 1993.
Arbuskula. Jurnal Agribisnis dan Efficiency of vesicular-arbuscular
Pengembangan Wilayah 4:27-35 mycorrhizal (VAM) fungi-soybean
Kemas Ali Hanafiah. 1991. Rancangan symbiosis at various levels of P fertilizer.
Percobaan Teori dan Aplikasi. pp. 167-178. Di dalam Proc.
Rajawali Pers, Jakarta. Second Asian Conference on
Khan, A.G. 1975. Growth effect of VA- Mycorrhiza. Biotrop. Special
Mycorrhiza on Crops in the Field. Publication No 42.
pp. 419-435. Di dalam F.E. Sitompul, S.M. dan Bambang Guritno.
Sanders, B. Mosse dan P.B. Tinker 1995. Analisis Pertumbuhan
(Eds.). Endomycorrhizas. Tanaman. Gadjah Mada
Academic Press, London. University Press. Yogyakarta
Penerbit Andi dan Wahana Komputer.
Soelaiman M. Z., H. Hirata. 1995. Effect
2007. Pengolahan Data Statistik
Of Indigenous Arbuscular
Dengan SPSS 15.0. Andi Offset,
Mycorrhizae Fungi In Paddy
Yogyakarta.
Fields Rice Growth And NPK
Purwono dan Heni Purnamawati. 2002.
Nutrition Under Different Water
Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan
Regimes. Soil Sci. Plant Nutr.
Unggul. Penebar Swadaya.
41(3): 505−514.
Jakarta.
Soelaiman, M.Z. and H. Hirata. 1995.
Purwono dan R. Hartono, 2005. Kacang
Effect of Indigenous Arbuscular
Hijau. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mycorrhizae Fungi in Paddy
Rao Subra, N.S. 1994. Mikroorganisme
Fields Rice Growth and NPK
Tanah dan Pertumbuhan Tanaman.
Nutrition Under Different Water
Penerbit Universitas Indonesia
Regimes. Soil Sci. PlantNutr.
(UI-PRESS). Jakarta.
41(3): 505−514.

13
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Wijaya. 2000. Analisis Statistik dengan


Tumbuhan: (Spermatophyta). Program SPSS 10.0. Alfabeta,
Gadjah Mada University Press. Bandung.
Yogyakarta. Zarate, J.T. dan R.E. de la Cruz. 1995.
Toto Warsa dan Cucu, S.A. 1982. Pilot Testing the Effectiveness of
Teknik Perancangan Percobaan Arbuscular Mycorrhizal Fungi in
(Rancangan dan Analisis).
the Reforestation of Marginal
Fakultas Pertanian UNPAD,
Bandung. Grassland. Biology and
Vincent Gaspersz. 1995. Teknik Analisis Biotechnologyof Mycorrhizae.
dalam Penelitian Percobaan. Biotrop. Spec. Publ.56: 131−137.
Tarsito, Bandung.

14
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

RIAP TEGAKAN PADA AREAL ARBORETUM PT. ERYTHRINA


NUGRAHAMEGAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Yayan Hendrayana, Asep Sunandar, Oding Syafrudin

Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan


Jl. Cut Nyak Dhien 36 A, Kuningan, Jawa Barat

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Komposisi pohon pada areal arboretum di
IUPHHK PT. Erythrina Nugrahamegah dan rata-rata riap diameter kelompok jenis
dipteroscarpaceae maupun non dipteroscarpaceae. Metode pengambilan data Pengukuran
tegakan di dalam petak pengamatan merupakan kegiatan utama dalam pengukuran riap
tegakan. Seluruh tegakan yang berada di dalam semua petak pengamatan harus dicatat
untuk mendapatkan data berupa nomor pohon, jenis pohon, diameter dan perkiraan
tinggi bebas cabangnya. Data-data tersebut setiap tahunnya akan diukur ulang untuk
mendapatkan data pertambahan riap setiap tahunnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Komposisi pohon pada areal arboretum di
IUPHHK PT. Erythrina Nugrahamegah didominasi oleh pohon-pohon yang termasuk
kedalam kelompok jenis non dipterocarpaceae. Rata-rata riap diameter kelompok jenis
dipteroscarpaceae pada areal arboretum di IUPHHK PT. Erythrina Nugrahamegah 1,76
cm/th, sedangkan rata-rata riap diameter kelompok jenis non dipteroscarpaceae sebesar
1,44 cm/th, sementara rata-rata riap tinggi kelompok jenis dipterocarpaceae sebesar 1,97
m2/th, dan rata-rata riap tinggi kelompok jenis non dipteroscarpaceae sebesar 1,34 m2/th,
dan rata-rata riap volume kelompok jenis dipteroscarpaceae sebesar 1,09 /th, dan rata-rata
riap volume kelompok jenis non dipteroscarpaceae 0,50 /th.

Kata kunci : Riap tegakan, arboretum, dipteroscarpaceae

I. PENDAHULUAN tebangan dan hutan terdegradasi


lainnya. Informasi tentang tegakan
Type hutan pada areal IUPHHK PT. dapat menunjukan potensi tegakan
Erythrina Nugrahamegah, merupakan (timber standin stock) minimal yang
tipe hutan hujan tropika basah (Tropical harus tersedia sehingga layak dikelola,
Rain Forest) yang berupa dataran sedangkan ditinjau dari faktor
kering, penyebaran flora antara lokasi ekologi, struktur tegakan dapat
satu dengan lokasi lain tidak merata, memberikan gambaran tentan
tergantung dari lokasi tanah, dan kemampuan regenerasi tegakan
keragaman dimensi pohon tinggi. (Suhendang 1994).
Sebagian besar areal hutan alam saat PT. Erythrina Nugrahamegah
ini sudah berupa areal hutan bekas memperoleh ijin pengelolaan hutan

15
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

berdasar Surat Keputusan Menteri Data-data tersebut setiap tahunnya akan


Kehutanan No. 72/Menhut-II/2001 diukur ulang untuk mendapatkan data
tanggal 17 Maret 2001 tentang pertambahan riap setiap tahunnya.
“Pemberian Hak Pengusahaan Hutan
kepada PT. Erythrina Nugrahamegah” 1. Penomeran Pohon
seluas ± 42.762 ha a) Pohon-pohon yang diberi nomor
adalah pohon-pohon yang berada
II. METODOLOGI di dalam petak pengamatan dan
memiliki diameter pada
A. Lokasi Penelitian ketinggian setinggi dada (± 130
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 Cm) sama atau lebih dari 10 Cm.
bulan, mulai bulan Februari sampai b) Pohon-pohon yang akan diberi
bulan Mei 2014, yang bertempat pada nomor diberi polet berupa cat
areal arboretum dengan luas. kuning sekeliling batas 1,5 ha di IUPHHK PT. Eryt
dengan
. ketinggian sekitar sebatas dada,
B. Bahan dan Alat kecuali apabila tegakan memiliki
Bahan yang digunakan dalam banir atau berada pada posisi
penelitian ini adalah: yang kurang strategis sehingga
1. Data pengukuran arboretum yang pembuatan polet bisa lebih rendah
tahun sebelumnya atau lebih tinggi dari ± 130 Cm.
2. Data hasil pengamatan pada bulan c) Pada pohon yang bercagak atau
pebruari tahun 2014. menggarpu, apabila masing-
masing cagak dalam kondisi sehat
Alat yang digunakan dalam penelitian dan baik, maka setiap cagak
ini adalah: diberi nomor dengan tambahan
1. Meteran huruf alphabet. Misalnya nomor
2. Alat bantu/stick dengan ukuran 1a untuk cagak pertama dan 1
130 cm bentuk cagak kedua.
3. Tally sheet dan alat tulis
4. Steples d) Nomor pohon ditulis pada
5. Lebel warna kuning ketinggian satu setengah meter,
6. Golok atau 20 Cm di atas atau di bawah
7. Sarung tangan polet, dituliskan langsung pada
8. Sepatu boot batang pohon atau ditempelken
pada label, berurutan dari satu
C. Metode Pengambilan Data plot ke plot berikutnya, dan
Pengukuran tegakan di dalam petak dibuat menghadap ke satu arah.
pengamatan merupakan kegiatan utama e) Nomor pohon dibuat berurutan
dalam pengukuran riap tegakan. dimulai dari nomor 1 (satu).
Seluruh tegakan yang berada di dalam
semua petak pengamatan harus dicatat 2. Pengukuran Diameter Pohon
untuk mendapatkan data berupa nomor a) Pengukuran dilakukan terhadap
pohon, jenis pohon, diameter dan semua pohon yang berada di
perkiraan tinggi bebas cabangnya. dalam petak pengamatan tegakan.

16
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

b) Pengukuran dilakukan pada polet b) Rumus Bebas Tinggi Cabang


yang sudah dibuat sebelumnya

3. Pengukuran Tinggi Dada


a) Tinggi pohon yang diukur adalah Keterangan : hcp adalah pembacaan
tinggi pohon total (sampai ujung clinometer (%) pada tinggi bebas cabang,
tajuk) dan tinggi pangkal tajuk lab adalah pembacaan clinometer (%)
(sampai cabang pertama). Untuk pada keetinggian 1,5 m dari tanah dan
lebih jelasnya cara pengukuran lap adalah pembacaan clinometer (%)
tinggi pohon dapat dilihat pada
pada ujung tongkat.
gambar .
c) Rumus Tinggi Total

Keterangan : ht adalah pembacaan


clinometer (%) pada tinggi total hb
adalah pembacaan clinometer (%) pada
ketinggian 1,5 m dari tanah dan hp
adalah pembacaan clinometer (%) pada
ujung tongkat.

d). Jarak dari pengukur ke pohon yaitu


30 m.
Gambar 1. Cara pengukuran tinggi e). Catat anggka hasil pengukuran ke
pohon
dalam tally sheet
Tinggi Pohon (meter) x tinggi stick
ukur yang dibidik 4. Pengenalan Jenis Pohon
a) Pencatatan jenis pohon dilakukan
bersamaan dengan pengukuran
Keterangan : diameter pohon dan dilakukan oleh
A = titik cabang pertama/pangkal tajuk tenaga penduduk setempat yang
A‟ = titik ujung tajuk menguasai nama-nama daerah dari
B = titik tinggi bidik ke stick ukur
pohon bersangkutan.
(1 meter, 2 meter, 3 meter, dll)
C = titik dasar stick (dari muka tanah b) Diusahakan mencantumkan nama
atau bebas banir). jenis, bukan nama kelompok jenis
A % = sudut bidik ke tiitk A (atau A‟ seperti „meranti‟ saja tanpa
untuk tinggi pohon total) penjelasan meranti apa atau nama
B % = sudut bidik ke titik B setempat
C % = sudut bidik ke titik C

17
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

4. Pembuatan Petak Pengamatan Keterangan :


a) Di dalam petak pengamatan dl = diameter pada pengamatan ke 1
dibuat tanda berupa polet pada d2 = diameter pada pengamatan ke II
setiap pohon yang di polet berarti tl = tinggi pada pengamatan ke I
pohon tersebut menjadi pohon t2 = tinggi pada pengamatan ke II
yang diamati dalam suatu wilayah vl = volume pada pengamatan ke I
Arboretum v2 = volume pada pengamatan ke II
b) Masing-masing petak pengamatan
dibagi menjadi 8 Jalur dimana 3. Kerapatan
jarak antar jalurnya selebar 20
meter dalam pendataan di
sepanjang jalur dibuat petak- ∑ individu
petak ukur berukuran 20 x 20 m  Kerapatan =
Luas
contoh
D. Analisa Data Kerapatan
1. Volume pohon K suatu
Volume pohon ditentukan dengan  Kerapatan x
relatif = jenis
menggunakan rumus umum (Simon, 100%
(KR) Kerapatan
1996) sebagai berikut:
seluruh
jenis
∑ jumlah
Dimana : luas bidang
D = Diameter setinggi dada  Dominasi = dasar
H = Tinggi (D) Luas petak
= 3,14 contoh
F = Angka bentuk 0,56 (Darwo, 1997)
Dominasi
suatu jenis
2. Riap Tahunan Berjalan ( Current  Dominasi Dominasi x
Relatif = seluruh
Annual Increament / CAI) 100%
CAI adalah riap dalam satu tahun (DR) jenis
berjalan. Dalam teori, riap dapat
ditentukan secara tepat dengan
∑ plot
mengurangi volume pada akhir periode
ditemukannya
dengan volume pohon tersebut pada awal  Frekuensi = suatu jenis
periode (Simon, 1996). Perhitungan riap (F) ∑ total plot
tahunan berjalan berdasarkan rumus contoh
sebagai berikut:
 Frekuensi Freakuensi x
1. CAI diameter = (d2 – dl) =
Relatif suatu jenis 100%
2. CAI tinggi = (t2 – tl)
(FR) Frekuensi
3. CAI volume = (v2 – vl)

18
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

seluruh  Tingkat semai dan pancang INP


jenis =KR+FR
 Tingkat tiang dan pohon INP
 Indeks =KR+FR+DR
Nilai KR+DR+FR
Penting =
(INP)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Jumlah Pohon Pada Areal Arboretum

Tabel 1. Jumlah Pohon pada Areal Arboretum

19
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Arboretum di areal PT Erythrina ditemukan adalah jenis rimba campuran


Nugrahamegah didominasi oleh pohon- dengan jumlah individu sebesar 45.
pohon yang termasuk kedalam kelompok sedangkan jenis lain adalah jambu-
jenis non dipterocarpaceae dengan jambuan dengan jumlah individu sebesar
jumlah 115 pohon, sedankan untuk 19 individu, meranti sebanyak 14
kelompok jenis dipterocarpaceae individu, mahabay sebanyak 12, gahung
jumlahnya yaitu 38 pohon. sebanyak 11 individu, dan banyak jenis
Dari tabel diatas diketahui bahwa lain lagi yang ada di dalam areal
pada tingkat pohon paling banyak arboretum tersebut.

Tabel 2. Kerapatan Relatif, Dominansi Relatif dan Frekuensi


Relatif pada Setiap Tingkat bPertumbuhan

20
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Dari tabel diatas juga diketahui tinggi adalah jenis rimba campuran yaitu
bahwa pada tingkat pohon yang memiliki sebesar 0,2379% dan jambu yaitu sebesar
tingkat kerapatan vegetasi paling tinggi 0,1373%. Walaupun demikian,
adalah jenis rimba campuran yaitu dominansi setiap jenis vegetasi yang ada
sebesar 28,37%. Hal ini memperlihatkan tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan
persaingan yang merata pada jenis rimba masing-masing jenis vegetasi dapat
campuran dalam menempati satuan luas tumbuh dengan baik di areal arboretum.
Untuk Frekuensi Relatif
memperlihatkan sebaran jenis vegetasi B. Komposisi Jenis
pada tiap tingkat pertumbuhan. Pada Berdasarkan hasil analisis vegetasi
tingkat pohon frekuensi relatif paling paling dominan pada pohon adalah jenis
besar adalah jenis rimba campuran yaitu rimba campuran dengan nilai INP
sebesar 0,28%, dan begitu juga pada sebesar 28,89. Untuk lebih jelas nilaia
jambu adalah 0,18% INP (Indeks Nilai Penting) pada setiap
Untuk nilai dominansi relatif, jenis tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada
vegetasi yang memiliki nilai paling tabel berikut ini:

Tabel 3. INP di Areal Arboretum

21
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Dari hasil diatas diketahui bahwa 2 meliputi riap diameter, riap tinggi dan
jenis vegetasi ditemukan secara merata riap volume.
pada tiap tingkat pertumbuhan dengan
perbedaan yang tidak begitu besar. Jenis 1. Riap Diameter
rimba campuran yang paling dominan Riap diameter merupakan
pada tingkat pertumbuhan pohon perubahan dimensi pohon sevara
memiliki pertumbuhan lebih cepat di horizontal (kesamping), riap diameter
bandingkan dengan jenis jambu yang merupakan salah satu dimensi pohon
mendominasi pada tingkat pertumbuhan yang paling sering digunakan sebagai
parameter pertumbuhan. Hasil
C. Pertambahan Riap Tegakan pengamatan rata-rata riap diameter pada
Riap tegakan merupakan areal arboretum dii IUPHHK PT.
pertambahan dimensi tegakan yang Erythrina Nugrahamegah. Untuk lebih
terjadi pada periode tertentu, riap tegakan jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini,
yang diamati dalam penelitian ini yaitu

Tabel 4. Pertambahan diameter di areal arboretum

Dari tabel 4 dapat dilihat riap cm/th, dan riap terendah terdapat pada
diameter yang bervariasi antara 0,85 tahun ketiga yaitu 0,85 cm/th.
cm/th – 2,81 cm/th. Untuk jenis riap Dan dapat dilihat pertambahan riap
diameter terbesar terdapat pada tahun ke diameter untuk kedua kelompok jenis,
1 yaitu sebesar 2,81 cm/th, sedangkan ternyata riap diameter untuk jenis
riap diameter paling rendah terdapat dipterocarpaceae lebih besar
pada non dipterocarpaceae yaitu 0,85 dibandingkan dengan kelompok jenis
cm/th. non dipterocarpaceae.Dari data dalam
Sedangkan riap diameter tertinggi tabel 5.4 di atas akan dibuat diagram
untuk jenis non dipterocarpaceae batang untuk mempermudah melihat
terdapat pada tahun pertama yaitu 1,99 riap diameter pohon.

22
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Sedangkan untuk jenis non


dipterocarpaceae, riap tertinggi terdapat
pada tahun kesatu yaitu sebesar 0,97
m2/th, an riap tinggi terendah terdapat
pada tahun ketiga yaitu 0,25 m2/th
Dan dapat dilihat juga pertambahan
riap tinggi unuk kedua kelompok jenis,
pertambahan riap tinggi untuk jenis
dipterocarpaceae lebih besar
dibandingkan dengan kelompok jenis
Gambar 1. Diagram Rata-Rata Riap non dipterocarpaceae, dari data dalam
Diameter pada Areal Arboretum tabel 5.5 di atas akan dibuat diagram
PT. Erythrina Nugrahamegah batang untuk mempermudah melihat riap
diameter pohon.

2. Riap Tinggi
Riap tingi merupakan pertambahan
dimensi pohon pohon secara vertikal (ke
atas). Riap tinggi mempunyai peranan
yang penting dalam perhitungan riap
volume. Hasil pengamatan riap tinggi
pada areal arboretum di IUPHHK PT
Erythrina Nugrahamegah dapat dilihat
pada tabel 5
Tabel 5. Pertambahan tinggi di Areal
Gambar 2. Diagram Rata-Rata tinggi pada
Arboretum
Areal Arboretum PT. Erythrina
3. Riap Volume
Nugrahamegah

Riap volume pohon adalah


pertambahan volume selama jangka
waktu tertentu. Riap volume dapat
ditentukan secara tepat dengan
mengurangi volume dengan akhir
periode dengan volume pohon tersebut
pada awal periode (simon, 1996). Hasil
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa pengamatan rata-rata riap volume pada
adanya variasi riap tinggi untuk setiap areal pengamatan arboretum di IUPHHK
tahun yaitu 0,17 cm/th – 1,18 cm/th. PT. Erythrina Nugrahamegah dapat
Untuk jenis dipterocarpaceae riap tinggi dilihat pada tabel 6.
terbesar terdapat pada tahun pertama
1,18 cm/th, sedangkan riap tinggi yang
paling rendah terdapat pada tahun ketiga
yaitu 0,17 cm/th.

23
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Tabel 6. Perbedaan volume dari tahun


2011 sampai 2014 di Areal
Arboretum PT. Erythrina
Nugrahamegah

Gambar 2. Diagram Rata-Rata Riap


Volume pada Areal
Arboretum PT. Erythrina
Nugrahamegah
Pada tabel 6 dapat dilihat riap
volume yang berbeda antara jenis
dipterocarpaceae dan jeinis non Salah satu prinsip yang harus
dipterocarpaceae pada empat tahun, dipegang untuk mencapai kelestarian
untuk jenis dipterocarpaceae riap volume hasil dan produksi adalah mengusahakan
yang terbesar terdapat pada tahun kedua agar pemanfaatan kayu harus sesuai
yaitu 1,23 m2/th sedangkan riap yang dengan sifat tegakan dan tempat
terendah terdapat pada tahun kesatu yaitu tumbuhnya. Salah satu sifat tegakan yang
0,98 m/th. Sementara untuk jenis non sangat penting untuk diketahui adalah
dipterocarpaceae yang terendah pada riap tegakan, dari informasi riap dapat
tahun kesatu yaitu sebesar 0,42 m2/th diketahui dinamika stuktur tegakan hutan
sedangkan yang tertinggi ada pada tahun alam dan informasi ini sangat penting
ke keempat yaitu sebesar 0,56 m2/th. untuk pengaturan hasil pada hutan tidak
Dapat dilihat rata-rata riap volume, untuk seumur yang mengunakan sistem
jenis dipterocarpaceae riap rata-rata silvikultur tebang pilih, oleh karena itu
volumenya yaitu 1,09 m2/th, Dan data akan dapat dipergunakan untuk
dalam tabel 5.6 diatas dapat diuat mengetahui dinamika stuktur tegakan
diagram batang untuk mempermudah diperlukan data pertumbuhan atau riap,
melihat riap volume pohon, (gambar 3) sehingga dapat diprediksi waktu dan
volume produksi serta tindakan-tindakan
silvikultur yang diperlukan untuk
meningkatkan produksi, sehimgga
prinsip kelestarian hasil dapat
dilaksanakan.
Untuk mendapatkan informasi
tentang riap tegakan yang terandalkan
dan berguna bagi perencana pengelolaan
hutan yang lestari dan yang

24
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

berkelamjutan maka penetapan riap melalui program-proram kultur jaringan


tegakan akan lebih baik didasarkan atau dan pemuliaan pohon
setiap kelompok jenis. Jenis riap yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah IV. KESIMPULAN DAN SARAN
riap tahunan berjalan(CAI), yaitu riap
yang diukur untuk setiap satuan waktu A. Kesimpulan
penukuran terkecil biasanya 1 tahun.
Pada dasarnya riap terjadi karena 1. Komposisi pohon pada areal
disebabkan oleh adanya pertumbuhan arboretum di IUPHHK PT. Erythrina
faktor yang mempengaruhi besar Nugrahamegah didominasi oleh
kecilnya riap ialah tindakan silvikultur, pohon-pohon yang termasuk kedalam
jenis pohon dan kualitas tempat tumbuh. kelompok jenis non dipterocarpaceae
Besarnya riap tegakan tergantung pada dengan jumlah 115 pohon, sedangkan
kerapatan tegakan yang menyusun untuk kelompok jenis
tegakan tersebut, jenis dan kesuburan dipterocarpaceae jumlahnya yaitu 38
tanahnya. pohon.
Karena pengelolaan hutan dengan 2. Rata-rata riap diameter kelompok
prinsip hasil lestari dengan jenis dipteroscarpaceae pada areal
mengupayakan hasil yang diperokeh dari arboretum di IUPHHK PT. Erythrina
hutan kurang lebih sama dari waktu ke Nugrahamegah 1,76 cm/th,
waktu (tahun ke tahunatau rotasi ke sedangkan rata-rata riap diameter
rotasi). Prinsip ini akan dicapai apabila kelompok jenis non
terdapat keseimbangan antara riap dari dipteroscarpaceae sebesar 1,44 cm/th,
tegakan hutan dengan pemanenanya. sementara rata-rata riap tinggi
Keseimbangan ini merupakan kelompok jenis dipterocarpaceae
persyaratan minimal yang harus dipenuhi sebesar 1,97 m2/th, dan rata-rata riap
untuk mewujudkan kelestarian hasil. tinggi kelompok jenis non
2
Dengan demikian, masukan yang sangat dipteroscarpaceae sebesar 1,34 m /th,
penting dan mendasar untuk dan rata-rata riap volume kelompok
mewujudkan tercapainya prinsip jenis dipteroscarpaceae sebesar 1,09
kelestarian hasil adalah besarnya riap. /th, dan rata-rata riap volume
Dengan mengetahui riap tegakan, maka kelompok jenis non
dapat ditentukan besarnya jangka wktu dipteroscarpaceae 0,50 /th.
rotasi tebangan dan besarnya jatah tebang
tahunan (JTT = AAC) pada rotasi B. Saran
berikutnya. 1. Riap tegakan harus ditingkatkan per
Prinsip ini dapat dicapai dengan satuan luas arboretum, atau dengan
meningkatkan potensi tegakan per satuan kata lain riap tegakan harus
luasnya,atau dengan kata lain riap ditingkatkan per satuan luas per
tegakan harus ditingkatkan per satuan satuan waktu, melalui penerapan
luas per satuan waktu, melalui penerapan teknik silvikultur yang tepat,
teknik silvikultur yang tepat, misalnya misalnya melalui penjarangan yang
melalui penjarangan yang tepat, tepat, pemilihan bibit unggul melalui
pemupukan, pemilihan bibit unggul

25
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

program-program kultur jaringan, Kershaw KA. editor. 1973. Quantitative


dan pemuliaan pohon. an Dinamic plant ecology. Ed ke-
2. Pengelolaan arboretum sebagai 2 london : Butter and Tanner.
obyek penelitian riap atau Latifah S. 2004. Pertumbuhan dan Hasil
pertumbuhan hutan tanaman Tegakan Eucalyptus di Hutan
sangatlah penting karena untuk Tanaman Industri. Jurusan
menentukan pertambahan riap Kehutanan. Fakultas Pertanian.
pertahun, dalam hutan alam penting Universitas Sumatera Utara
sekali jadi perlu adanya perawatan Lal A.B. 1976. Silviculture System and
dalam mengelola arboretum tersebut. Forest Menegement. Jugal
Kishoreand Co. India.
DAFTAR PUSTAKA Manan. S. 1976. Silvikultur. Lembaga
Kerjasama Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Butar-butar. T dan S. Sembiring 1991.
Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K,
Riap Rata-Rata dan Riap Berjalan
Prawira SA. 1981. Atlas Kayu
Diameter selama 5 tahun terakhir
Indonesia. Badan Penelitian dan
hutan tanaman Shorea
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Platyclados di Purba Tongah,
Simon. H. 1996.Metode Inventore Hutan.
Sumatera Utara. Buletin
Edisi 1 Cetakan 2 Aditya Media
Penelitian Kehutanan Volume 7
Yogyakarta.
No, 1 April 1991. BPK Pematang
Suhendang E. 1994. Penerapan model
Siantar.
dinamika stuktur tegakan hutan
Davis. L. S. And K. N. Jhonson. 1987.
alam yang mengalami
Forest Menegemen. Thrid
penebangan dalam penaturan
Edition.McGrow – Hill Book
hasil dengan metode jumlah
Company, New York.
pohon dengan suatu alternatif
Darwo. 1997. Evaluasi Hasil
upaya penyempurnaan sistem
Imvemtarisasi Tegakan
silvikultur TPTI. Penelitian Hibab
Eucalyptus Urophylla di HTI PT
Bersaing Perguruan Tinggi Tahun
Inti Indo Rayon Utama, Sumatera
Anggaran 1994/1995 (tahun
Utara. Konifera No.1/Thn XIII-
ketiga). Fakultas Kehutanan IPB.
HM.April / 1997. Buletin
Tidak diterbitkan.
Penelitian Kehutanan. Pematang
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
Siantar.
1985 Tentang Perlindungan
Irwanto. 2006. Dinamika Pertumbuhan
Hutan
Hutan Sekunder. Yogyakarta.
2006.

26
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

IDENTIFIKASI KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN BAWAH DI


LERENG UTARA HUTAN LINDUNGGUNUNG SUBANG
KABUPATEN KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT

Ika Karyaningsih, Kiki Tubagus Hendrawan, Oding Sayfrudin

Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan


Jl. Cut Nyak Dhien 36 A, Kuningan, Jawa Barat

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan


bawah serta mengetahui tingkat keanekragaman jenis tumbuhan bawah di lereng
utara kawasan hutan lindung Gunung Subang, serta mengetahui jenis-jenis tumbuhan
bawah yang bermanfaat sebagai bahan pangan, tumbuhan obat dan tanaman hias.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode garis berpetak
dengan jarak anatar plot 100 m dan jumlah petak contoh sebanyak 25 plot. Untuk
pengambilan data tumbuhan bawah dengan petak ukur 2 x 2 m.
Berdasarkan hasil penelitian dijumpai sebanyak 63 jenis
tumbuhan bawah yang dikelompokan kedalam 31 famili. Dari keseluruhan jalur
pengamatan, didapatkan nilai Indeks Nilai Penting tertinggi yaitu pada jenis Keras
tulang (Turpinia montana Blume) memiliki Indeks Nilai Penting sebesar 24.35%. Hasil
perhitungan Indeks Shannon-Wiener didapatkan indeks keanekaragaman jenis
tumbuhan bawah Lereng Utara hutan lindung Gunung Subang sebesar H’=3.23,
maka keanekaragaman jenis tumbuhan bawah di Lereng Utara hutan lindung Gunung
Subang tergolong kedalam kriteria tinggi keanekaragaman jenisnya. Dengan
keanekaragaman jenis tumbuhan bawah yang tinggi, maka keberadaan tumbuhan bawah
itu sendiri berperan penting akan meminimalkan terjadinya bahaya erosi di kawasan
Lereng Utara hutan lindung Gunung Subang.
Tumbuhan bawah dikelompokan kedalam 3 (tiga) manfaat/kegunaan (tanaman
obat, pangan, hias), maka didapatkan untuk yang termasuk kedalam kelompok tanaman
obat sebanyak 24 jenis, yang termasuk kedalam kelompok tanaman pangan sebanyak
21 jenis dan yang termasuk kedalam kelompok tanaman hias sebanyak 19 jenis.

Kata Kunci : Hutan lindung, keanekaragaman jenis tumbuhan bawah, manfaat/keguaan


tumbuhan bawah

27
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

I. PENDAHULUAN dipelajari juga karena tumbuh-tumbuhan


ini mungkin merupakan indikator tempat
Keanekaragaman sumberdaya hayati tumbuh, merupakan pengganggu bagi
Indonesia termasuk dalam golongan pertumbuhan permudaan pohon-pohon
tertinggi di dunia, jauh lebih tinggi dari penting, dan sebagai penutup tanah, serta
pada keanekaragaman sumberdaya hayati penting dalam pencampuran serasah dan
di Amerika maupun Afrika trofis, bila pembentukan bunga tanah (Soerianegara,
dibandingkan dengan daerah beriklim 1998).
sedang dan dingin. Jenis tumbuh- Kawasan hutan lindung Gunung
tumbuhan di Indonesia secara Subang merupakan ekosistem hujan
keseluruhan ditafsir sebanyak 25.000 tropis dataran rendah yang terletak di
jenis atau lebih dari 10% dari flora dunia. desa Legokherang Kecamatan Cilebak
Lumut dan ganggang ditafsir jumlahnya Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa
35.000 jenis. Tidak kurang dari 40% dari Barat. Pada bagian Lereng Utara, lapisan
jenis-jenis merupakan jenis yang vegetasi berkayu tidak begitu lebat dan
endemik atau jenis yang hanya terdapat hal ini disebabkan karena aktivitas
di Indonesia (Silaban, 2011). masyarakat sekitar yang memanfaatkan
Jenis-jenis tumbuhan yang ada kayu tersebut. Penutupan vegetasi yang
sebagian besar terdapat di kawasan hutan tidak begitu lebat akan memicu
tropika basah, terutama hutan primer pertumbuhan tumbuhan bawah karena
yang menutup sebagian besar daratan sinar matahari yang masuk ke lantai
Indonesia. Hutan ini mempunyai struktur hutan lebih banyak, besar kemungkinan
yang kompleks yang menciptakan tumbuhan bawah di Lereng Utara hutan
lingkungan sedemikian rupa sehingga lindung Gunung Subang tinggi
memungkinkan beranekaragam jenis keanekaragaman jenisnya dan hal ini
dapat tumbuh didalamnya. Dari sekian diperkuat dengan pernyataan masyarakat
banyak jenis tumbuhan yang ada, banyak sekitar bahwa banyak terdapat jenis
terdapat didalamnya jenis-jenis yang tumbuhan bawah di Lereng Utara hutan
kisaran ekologinya sama tetapi banyak lindung Gunung Subang.
pula yang berbeda. Jenis-jenis tertentu Adanya tumbuhan bawah di Lereng
mempunyai kisaran penyebaran yang Utara hutan lindung Gunung Subang
luas menduduki berbagai macam habitat memiliki peranan yang sangat penting
dan seirama dengan itu pula jenis karena pukulan air hujan tidak secara
semacam ini biasanya mempunyai langsung menerpa lantai hutan sehingga
variabilitas genetika yang tinggi akan meminimalkan terjadinya bahaya
(Silaban, 2011). erosi. Selain fungsi ekologi, tumbuhan
Tumbuhan bawah adalah jenis bawah juga mempunyai nilai ekonomi,
vegetasi dasar yang terdapat dibawah masyarakat sekitar biasanya
tegakan hutan kecuali permudaan pohon memanfaatkan jenis tumbuhan bawah
hutan yang meliputi rerumputan dan untuk pengobatan tradisional, sebagai
vegetasi semak belukar. Lebih lanjut bahan pangan dan juga sebagai tanaman
dikemukakan bahwa jenis-jenis pohon hias.
kecil (perdu), semak-semak dan Belum diketahuinya
tumbuhan bawah serta liana perlu keanekaragaman jenis tumbuhan bawah

28
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

di lereng utara hutan lindung Gunung lapangan dari objek penelitian atau dari
Subang, mendorong penulis untuk lapangan melalui observasi seperti
melakukan penelitian yang berjudul jumlah individu, tumbuhan bawah,
“Identifikasi Keanekaragaman Jenis tumbuhan berupa semai, pancang, tiang
Tumbuhan Bawah di Lereng Utara Hutan dan pohon. Sedangkan data skunder
Lindung Gunung Subang Kabupaten adalah data yang diperoleh dari internet,
Kuningan Provinsi Jawa Barat”. perpustakaan dan instansi yang terkait
Penelitian ini bertujuan untuk dengan penelitian ini seperti kondisi
mengetahui dan mengidentifikasi jenis- umum kawasan dan interaksi sosial.
jenis tumbuhan bawah serta mengetahui Pengenalan jenis tumbuhan bawah
tingkat keanekragaman jenis tumbuhan yaitu membandingkan dengan buku
bawah di lereng utara kawasan hutan identifikasi tumbuhan bawah dan juga
lindung Gunung Subang dan mengetahui guide atau pengenal jenis tumbahan,
jenis-jenis tumbuhan bawah yang tumbuhan bawah di hitung jumlah
bermanfaat sebagai bahan pangan, individunya dan di dokumentasikan
tumbuhan obat dan tanaman hias. sebagai bukti adanya jenis tersebut.

II. METODOLOGI 2. Metode Analisis Vegetasi


Metode yang digunakan dalam
A. Lokasi Penelitian penelitian ini adalah metode garis
Penelitian ini dilakukan di lereng berpetak dengan menggunakan 3 jalur,
utara hutan lindung Gunung Subang yaitu : jalur 1 Gentong, jalur 2
Desa Legokherang Kecamatan Cilebak Culamega, jalur 3 Bongkok. Untuk
Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa mengetahui tegakan pada areal penelitian
Barat, Waktu pelaksanaan penelitian ini maka perlu diadakan analisis vegetasi
dilakukan pada bulan Juli sampai dengan (semai, pancang, tiang dan pohon)
Oktober 2014. dengan menggunakan garis berpetak,
metode ini di anggap sebagai modifikasi
B. Bahan dan Alat metode petak ganda dan metode jalur
Alat-alat yang digunakan dalam (Kusmana, 1997).
penelitian ini adalah buku identifikasi Dalam pengambilan petak contoh
tumbuhan bawah, pitameter, tali rapia, dari jalur tersebut dibagi ke dalam petak-
golok, kamera, tally sheet dan alat tulis. petak pengamatan yang lebih kecil
Sedangkan bahan yang digunakan dalam (nested sampling), untuk startum pohon
penelitian ini adalah sampel tumbuhan dibuat petak yang berukuran 20 m x 20
bawah yang ada di lokasi penelitian. m, untuk startum tiang dibuat petak
berukuran 10 m x 10 m, untuk startum
C. Metode Penelitian pancang dibuat petak ukur berukuran 5 m
x 5 m dan untuk startum semai dan
1. Teknik Pengumpulan Data tumbuhan bawah dibuat petak berukuran
Data yang digunakan dalam 2 m x 2 m (Kusmana, 1997). seperti pada
penelitian ini meliputi data primer dan gambar dibawah ini :
data skunder. Data primer adalah data
yang diperoleh secara langsung dari

29
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

menggunakan tiga parameter kuantitatif


yang akan memberikan gambaran
komposisi tumbuhan yaitu Kerapatan
Relatif, Frekwensi Relatif dan
Dominansi Relatif. Rumusan Indeks
Nilai Penting berdasarkan Mueller
Gambar 1. Metode Garis Berpetak Dombois (1974), adalah sebagai berikut :

Keterangan : individu
 Kerapatan =
A : pengukuran pada tingkat semai Luas
(2m x 2m) contoh
B : pengukuran pada tingkat pancang Kerapatan
(5m x 5m)
C : pengukuran pada tingkat tiang  Kerapatan suatu jenis x
=
(10m x 10m) relatif (KR) Kerapatan 100%
D : pengukuran pada tingkat pohon seluruh
(20m x 20m) jenis
∑ jumlah
Jumlah unit contoh yang akan luas bidang
 Dominasi
digunakan untuk pengambilan data = dasar
(D)
analisis vegetasi ditentukan melalui Luas petak
rumus sebagai berikut : contoh
Dominasi
suatu jenis
 Dominasi Dominasi
x
Relatif = seluruh
100%
(DR) jenis
Keterangan :
n = Jumlah sampling
N = Jumlah total penelitian ∑ plot
IS = Intensitas sampling (1%) ditemukannya
 Frekuensi
Lpc = luas petak contoh (20 x 20 = 400 = suatu jenis
(F)
m2/ 0,04 ha ∑ total plot
contoh
D. Analisis Data Freakuensi
 Frekuensi suatu jenis
1. Indeks Nilai Penting x
Relatif = Frekuensi
Kelimpahan jenis vegetasi diketahui 100%
(FR) seluruh
berdasarkan Indeks Nilai Penting jenis
(INP).Indeks Nilai Penting suaut jenis  Indeks
dalam komunitas tumbuhan Nilai
memperlihatkan tingkat peranan jenis- KR+DR+FR
Penting
jenis tersebut dalam suatu komunitas. (INP) =
Indeks Nilai Penting deitentukan

30
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

 Tingkat semai dan pancang INP memiliki nilai kemerataan maksimal, dan
=KR+FR jika nilai kemerataan kecil maka dalam
 Tingkat tiang dan pohon INP komunitas tersebut akan menjadi jenis
=KR+FR+DR dominan, sub-dominan, karena
kelimpahan individu antar spesies dalam
komunitas tersebut tidak merata.
2. Keanekaragaman Jenis
Indeks keanekaragaman jenis E = H’ / Ln.S
merupakan suatu nilai yang menunjukan
tinggi rendahnya keanekaragaman dan Keterangan :
kemantapan komunitas. Untuk komunitas E = Indeks kemerataan
yang memiliki nilai keanekaragaman H’ = Keanekaragaman jenis tumbuhan
semakin tinggi maka hubungan antar bawah
komponen dalam komunitas akan Ln `= Logaritma natural
semakin kompleks, perhitungan Indeks S = Jumlah jenis
Keanekaragaman jenis dihitung
menggunakan Indeks Shannon-Wiener Kriteria Indeks Kemerataan
(Odum, 1993) (Soerinegara, 1996) sebagai berikut:
Indeks keanekaragaman Shannon E’> 0,6 Indeks kemerataan tinggi
E’= 0,3-0,6 Indeks kemerataan sedang
(H’) = - Σ Pi Ln Pi ; Pi = ni E’< 0,3 Indeks kemerataan rendah
Ni
Keterangan : 4. Dominansi
H’ = Indeks Keanekaragaman Penentuan nilai dominansi berfungsi
Pi = Proporsi jenis-i untuk menentukan atau menetapkan jenis
ni = Jumlah individu ke-i tumbuhan bawah yang dominan, sub-
Ni = Jumlah individu seluruh jenis dominan menurut (Helvoort dalam
Rahayuningsih & Priyono et al, 2006)
Nilai indeks keanekaragaman jenis
dapat diklasifikasikan dalam beberapa
tingkatan. Jika nilai H’< 2 maka nilai H’
tergolong rendah, jika nilai H’ = 2-3 Keterangan :
maka tergolong sedang dan jika nilai H’> Di = Indeks dominan suatu jenis
3 maka tergolong tinggi. tumbuhan bawah
Ni = Jumlah individu suatu jenis
3. Indeks Kemerataan tumbuhan bawah
Indeks kemerataan (Indekx of N = Jumlah individu dari seluruh jenis
eveness) berfungsi untuk mengetahui tumbuhan bawah
kemerataan setiap jenis dalam setiap
komunitas yang dijumpai. Kemerataan Kriteria dominasi (Helvoort dalam
menunjukan derajat kemerataan Rahayuningsih & Priyono et al, 2006)
kelimpahan individu antara spesies, Di < 2 % jenis tidak dominan
apabila setiap individu memiliki jumlah Di = 2 – 5 % jenis sub-dominan
yang sama, maka komunitas tersebut Di > 5 % jenis dominan

31
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

III. HASIL DAN PEMBAHASAN burckianus), dan jenis Kucubung


(Datura metel L.) (lampiran 5, 6 dan 7).
A. Tumbuhan Bawah Penelitian pada jalur Cibongkok
Berdasarkan hasil penelitian, di dengan jumlah petak contoh sebanyak 8
jumpai tumbuhan bawah sebanyak 63 plot dijumpai sebanyak 32 jenis yang
jenis yang dikelompokan kedalam 31 dikelompokan kedalam 18 famili dengan
famili. Jenis yang sering dijumpai pada jumlah individu sebanyak 1142 individu.
yaitu jenis Daun congkok (Curculigo Jenis yang sering dijumpai yaitu jenis
cavitulata Gaertn.) dan dijumpai pada Daun congkok (Curculigo cavitulata
setiap jalur. Gaertn.) dan jenis Rumput teki (Cyperus
Penelitian pada jalur Gentong rotundus L.). Sementara dari 8 plot
dengan jumlah petak contoh sebanyak 8 tersebut yang hanya dijumpai satu kali
plot dijumpai sebanyak 28 jenis yang perjumpaan yaitu pada jenis Anggrek
dikelompokan kedalam 21 famili dengan tanah (Nephelapphylum pulchrum),
jumlah individu sebanyak 1242 individu. Anggrek tanah (Makodes petola),
Jenis yang sering dijumpai yaitu jenis Antanan geude (Centella asiatica (L.)
Pakis benyeur (Asplenium sp.). Urb.), Harendong (Astronia macrophylla
Sementara jenis yang hanya dijumpai Blume), Ki rinyuh (Chromolaena
satu kali yaitu pada jenis Hareueus odorata), Kucubung (Datura metel L.),
(Rubus moluccanus L.), Pakis tiang Laja gowah (Catimbium malaccensis
(Cyathea contaminans (Wallich ex (Burm.f.) Holtt.) Pakis handam
Hook.) Copel) Patah kemudi (Emilia (Gleichenia linearis) dan jenis Takokak
sonchifolia Benth.) dan jenis Sembung (Solanum torvum Swartz) (lampiran 5, 6
(Blumea balsamifera (L.) DC.) (lampiran dan 7).
5, 6 dan 7). Ditinjau dari segi kehadiran pada
Penelitian pada jalur Culamega suatu komunitas tumbuhan dapat
dengan jumlah petak contoh sebanyak 9 dikatakan bahwa semakin tinggi suatu
plot dijumpai sebanyak 40 jenis tempat maka semakin sedikit pula
dikelompokan kedalam 22 famili dengan tumbuhan yang tumbuh. Meskipun
jumlah individu sebanyak 1480 individu. tumbuhan penutup tanah merupakan
Jenis yang sering dijumpai yaitu jenis jenis yang mempunyai sebaran luas dan
Daun congkok (Curculigo cavitulata mempunyai kisaran toleransi tinggi
Gaertn.). Sementara dari 9 plot tersebut terhadap faktor lingkungan tetapi
jenis yang hanya dijumpai satu kali yaitu semakin menuju puncak sebaran
jenis Arbei hutan (Rubus reflexus Ker.), tumbuhan penutup tanah akan semakin
Anggrek tanah (Phaius tankerville), berkurang. Hal ini sesuai dengan
Anggrek tanah (Makodes petola), pernyataan Syafei (1990), bahwa
Anggrek tanah (Malakis kobi), Antanan semakin tinggi suatu tempat biasanya
gede (Centella asiatica (L.) Urb.), berasosiasi dengan peningkatan
Comrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. keterbukaan, kecepatan angin,
Smith), Harendong (Astronia kelembaban udara dan penurunan suhu
macrophylla Blume), Hoecacing sehingga mengakibatkan suatu
(Calamus ciliaris Bl.), Hoeteretes (Rubus komunitas yang tumbuh semakin
rosaefolius), Hoeseuti (Calamus homogen. Jenis yang ditemukan pada

32
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

jalur Gentong hanya 4 (empat) jenis, (Turpinia montana Blume) memiliki


yaitu jenis Pisang kole (Musa acuminata Indeks Nilai Penting sebesar 24.35%
Colla), Tepus (Hornstedtia (lampiran 8), jenis Keras tulang
megalochelius Ridley), Daun congkok (Turpinia montana Blume) menunjukan
(Curculigo cavitulata Gaertn.) dan jenis bahwa memliki kepentingan yang besar
Hoeteretes (Rubus rosaefolius). Pada dalam suatu komunitas.
jalur Culamega dijumpai sebanyak 6
(enam) jenis, yaitu jenis Nipung C. Indeks Keanekaragaman Jenis
(Curcuma sp.), Hoecacing (Calamus (H’) Tumbuhan Bawah
ciliaris Bl.), Tepus (Hornstedtia Untuk menganalisa
megalochelius Ridley), Daun congkok keanekaragaman jenis tumbuhan bawah
(Curculigo cavitulata Gaertn.), Anggrek yaitu dengan mempertimbangkan jumlah
tanah (Makodes petola) dan jenis Bubuay jenis dan jumlah masing-masing individu
(Plectocomia elongata Martelli ex per jenis yang ditemukan. Tingkat
Blume). Pada jalur Cibongkok dijumpai keanekaragaman jenis tumbuhan bawah
sebanyak 4 (empat) jenis Keras tulang di lereng utara hutan lindung Gunung
(Turpinia montana (Blume) Kurz), Subang pada 3 jalur penelitian memiliki
Babadotan (Ageratum conyzoides L.), indeks keanekragaman jenis yang
Begonia (Begonia robusta Blume) dan bervariasi, pada jalur Gentong indeks
jenis Anggrek tanah (Phaius tankerville). keaneragaman jenisnya sebesar H’=2.59,
Hal ini juga menunjukkan bahwa jenis jalur Culamega memiliki indeks
tersebut mampu beradaptasi pada dua keanekaragaman jenis sebesar H’=2.95
lokasi yang berbeda, sehingga kebutuhan dan jalur Cibongkok memiliki indeks
hidup spesies dapat tercukupi. keanekaragaman jenis sebesar H’=2.79.
Dengan nilai keanekaragaman pada
B. Indeks Nilai Penting Tumbuhan setiap jalur (Gentong H’=2.59, Culamega
Bawah H’=2.95, Cibongkok H’=2.79)
Nilai INP yang besar menunjukan menunjukkan bahwa jalur Gentong,
bahwa jenis tumbuhan melmiliki Culamega dan Cibongkok memiliki
kepentingan dan nilai yang besar dalam produktivitas ekosistem yang cukup baik
suatu komunitas, dan nilai INP yang dan kestabilan ekosistem cukup
kecil menunjukan bahwa jenis tumbuhan seimbang karena tekanan pada ekosistem
memiliki kepentingan dan nilai yang relatif sedang (Soerinegara, 1996).
kecil dalam suatu komunitas
(Wirakusumah, 2003). Indeks nilai
penting menyatakan kepentingan suatu
jenis tumbuhan serta memperlihatkan
besarnya peranan dalam suatu
komunitas. Indeks nilai penting
menunjukan kontribusi relatif tiap jenis
tumbuhan dalam suatu komunitas.
Dari keseluruhan jalur penelitian, Gambar 2. Perbandingan Indeks
didapatkan nilai Indeks Nilai Penting Shannon-Wiener
tertinggi yaitu pada jenis Keras tulang

33
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Dari gambar grafik diatas terlihat umpan balik negatif yang dapat
untuk keragaman jenis tumbuhan bawah mengurangi gangguan-gangguan, dan
pada jalur Gentong dengan persentase karenanya akan meningkatkan
sebesar 1.63%, jalur Culamega dengan kemantapan.
persentase sebesar 1.86% dan jalur
Cibongkok dengan persentase sebesar D. Indeks Kemerataan
1.76%, maka indeks keragaman tertinggi Nilai kemerataan jenis tumbuhan
pada lereng utara Hutan Lindung bawah dari 3 (tiga) jalur pengamatan
Gunung Subang yaitu pada jalur yaitu jalur Gentong dengan nilai Indeks
Culamega dengan persentase sebesar Kemerataan 0.36, jalur Culamega dengan
1.86%. nilai Indeks Kemerataan 0.40 dan jalur
Dari keseluruhan jalur, maka Cibongkok dengan nilai Indeks
diketahui indeks keanekaragaman Kemerataan E=0.40. Untuk indeks
Shannon-wiener pada lereng utara hutan kemerataan tumbuhan bawah di lereng
lindung Gunung Subang yaitu sebesar utara Hutan Lindung Gunung Subang
H’=3.23, menurut kriteria Odum (1993) dari ke-3 (tiga) jalur pengamatan
jika nilai keanekaragaman jenis lebih dari (Gentong, Culamega dan Cibongkok)
3 maka tergolong tinggi. Maka termasuk katagori sedang (Soerinegara,
keanekaragaman jenis tumbuhan bawah 1996).
di lereng utara hutan lindung Gunung
Subang tergolong kedalam kriteria tinggi E. Dominansi
keanekaragaman jenisnya. Untuk nilai dominasi tumbuhan
Menurut jumlah jenis yang bawah pada jalur Culamega diperoleh
ditemukan, dapat dikatakan bahwa nilai jenis tumbuhan bawah yang
kawasan Lereng Utara hutan lindung dominan sebanyak 5 jenis dengan
Gunung Subang mempunyai proporsi 40% dari seluruh populasi jenis.
keanekaragaman yang tinggi. Tingginya Jenis yang dominan meliputi : Daun
keanekaragaman jenis tersebut congkok (Curculigo cavitulata Gaertn.)
dikarenakan lingkungan mempunyai dengan nilai dominansi sebesar 5.74%,
iklim cocok untuk pertumbuhan. Harendong bulu (Clidemia hirta (L.) D.
Menurut Krebs (1978) adanya Don) 6.69%, Keras tulang (Turpinia
keanekaragaman jenis yang tinggi akan montana (Blume) Kurz) 14.53%, Pakis
mengakibatkan ekosistem yang ada sayur (Diplazium esculentum (Retz.)
meningkat kestabilannya, karena dengan Sw.) 5.07% dan jenis Remujung
keanekaragaman yang tinggi serangan (Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.)
hama dan penyakit dapat dicegah secara dengan nilai dominansi sebesar 21.82%
alami. Semakin tinggi keanekaragaman Pada jalur Gentong, diperoleh nilai
jenis penyusun maka komunitas tersebut jenis tumbuhan bawah yang dominan
semakin stabil. Ferial (2013) sebanyak 5 jenis dengan proporsi 28%
menjelaskan bahwa keanekaragaman dari seluruh populasi jenis. Jenis yang
yang tinggi berarti mempunyai rantai- dominan meliputi : Cocok buwu
rantai makanan yang panjang dan lebih (Plumbago zeylanica) dengan nilai
banyak kasus dari simbiosis (interaksi), dominansi sebesar 23.35%, Daun
kendali yang lebih besar untuk kendali congkok (Curculigo cavitulata Gaertn.)

34
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

5.23%, Harendong bulu (Clidemia hirta dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
(L.) D. Don) 6.28%, Keras tulang lain adalah persaingan antara tumbuhan
(Turpinia montana Blume) 22.22% dan yang ada, dalam hal ini berkaitan dengan
jenis Pohpohan (Pilea melastomoides iklim dan mineral yang diperlukan, jika
(Poir.) Blume) 5.48% iklim dan mineral yang dibutuhkan
Pada jalur Cibongkok, diperoleh mendukung maka spesies tersebut akan
nilai jenis tumbuhan bawah yang lebih unggul dan lebih banyak
dominan sebanyak 6 jenis dengan ditemukan. Persaingan akan
proporsi 32% dari seluruh populasi jenis. meningkatkan daya juang untuk
Jenis yang dominan meliputi : Daun mempertahankan hidup, spesies yang
congkok (Curculigo cavitulata Gaertn.) kuat akan menang dan menekan yang
6.48%, Harendong bulu (Clidemia hirta lain sehingga spesies yang kalah menjadi
(L.) D. Don) 6.65%, Jalantir (Erechtites kurang adaptif dan menyebabkan tingkat
valerianifolia (Wolf.) DC.) 5.17%, Keras reproduksi rendah dan kepadatannya juga
tulang (Turpinia montana (Blume) Kurz) sedikit (Syafei, 1990).
28.11%, Pakis sayur (Diplazium Tumbuhan bawah yang dominan
esculentum (Retz.) Sw.) 5.60% dan jenis yaitu memiliki jumlah individu yang
Solempat (Colocasia esculenta L.) banyak, maka jenis-jenis yang dominan
dengan nilai dominansi sebesar 6.83% tersebut sangat berperan dalam
Adanya tumbuhan bawah yang mencegah rintikan air hujan dengan
mempunyai nilai dominan, maka dapat tekanan keras yang langsung jatuh
dikatakan tumbuhan bawah tersebut kepermukaan tanah, sehingga akan
kebutuhan hidupnya terpenuhi, seperti mencegah hilangnya humus oleh air dan
yang dikatakan Syafei, (1990) adanya meminimalkan terjadinya erosi
spesies yang mendominasi ini dapat (Soeriaadmadja, 1997).

35
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah di Lereng Utara Hutan Lindung Gunung


Subang

36
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Pengelompokan Manfaat/Kegunaan (Obat, Pangan, Hias)

37
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

IV. KESIMPULAN DAN SARAN keanekaragaman tertinggi yaitu jenis


Keras tulang (Turpinia montana
A. Kesimpulan (Blume) Kurz) dengan nilai indeks
1. Hasil penelitian dari ke-3 (tiga) jalur keanekaragaman jenis sebesar
pengamatan (Gentong, Culamega, H’=0.328.
Cibongkok) dijumpai tumbuhan bawah 2. Tumbuhan bawah dikelompokan
sebanyak 63 jenis dari 31 famili dan kedalam 3 (tiga) manfaat/kegunaan
berdasarkan hasil perhitungan Indeks (tanaman obat, pangan, hias), maka
Shannon-Wiener didapatkan indeks didapatkan untuk yang
keanekaragaman jenis tumbuhan termasuk kedalam kelompok tanaman
bawah lereng utara hutan lindung obat sebanyak 24 jenis dari 16 famili,
Gunung Subang sebesar H’=3.23, yang termasuk kedalam kelompok
maka keanekaragaman jenis tumbuhan tanaman pangan sebanyak 21 jenis dari
bawah di lereng utara hutan lindung 13 famili dan yang termasuk kedalam
Gunung Subang tergolong kedalam kelompok tanaman hias sebanyak 19
kriteria tinggi keanekaragaman jenis dari 12 famili.
jenisnya. Jenis yang memiliki

38
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

B. Saran Silaban, A.M. Zetro. 2011.


Perlu dilakukan pengelolaan secara Keanekaragaman Vegetasi
intensif agar tumbuhan bawah di lereng Tumbuhan Bawah di Hutan Lindung
utara hutan lindung Gunung Subang dapat Boven Lais Batu Roto Kabupaten
terjaga kelestariannya. Bengkulu Utara Provinsi
Bengkulu.Skripsi. Wahana
Konservasi Hutan. Bengkulu Utara.
DAFTAR PUSTAKA Soeriaatmadja, R.E. 1981. Ilmu
Lingkungan. Penerbit ITB. Bandung
Kusmana, C. 1997. Metode Survey 1981.
Vegetasi. PT. Penerbit ITB. Bogor. Soerinegara, I dan A. Indrawan.1998.
Mueller-Dombois, D. 2008 and H. Ekologi Hutan Indonesia.
Ellenberg. 1974. Aims and Methods Laboratorium EkologiHutan
of Vegetation Ecology. Edward Fakultas Kehutanan Institus
Arnold (Publiser) Ltd. London. Pertanian Bogor. Bogor.
Odum, E. 1993. Dasar-dasar Syafei, E.S. 1990. Pengantar Ekologi
Ekologi.Permana H. 2000. Gadjah Tumbuhan. Institut Teknologi
Mada University Press. Yogyakarta. Bandung. Bandung.

39
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

TINGKAT GANGGUAN PENGUNJUNG TERHADAP


KAWASAN OBYEK WISATA BUMI PERKEMAHAN PALUTUNGAN
RESORT CIGUGUR TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

Ilham Adhya, Nina Herlina, Pitri Purwandani

Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan


Jl. Cut Nyak Dhien 36 A, Kuningan, Jawa Barat

ABSTRAK

Obyek Wisata Bumi Perkemahan Palutungan merupakan tempat rekreasi yang


menyerap banyak pengunjung dengan persepsi dan motivasinya masing-masing.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis karakteristik dan motivasi
pengunjung, mengetahui persepsi pengunjung tentang arti kelestarian, dan untuk
mengetahui tingkat gangguan pengunjung terhadap Kawasan Obyek Wisata Bumi
Perkemahan Palutungan. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah studi literatur,
observasi dan wawancara secara lisan dengan menggunakan kuisioner kepada pengunjung
dan pihak pengelola, pengambilan sampel menggunakan metode Purposive Sampling,
wawancara dilakukan terhadap 100 orang responden. Responden di domminasi oleh laki-
laki sebanyak 56 orang, usia < 20 tahun sebanyak 62 orang, pendidikan SMA sebanyak 46
orang, dan berdasarkan daerah asal pengunjung yang di dominasi oleh pengunjung yang
berasal dari Kuningan sebanyak 51 orang. Berdasarkan pengujian Chi Square karakteristik
pengunjung Bumi Perkemahan Palutungan berdasarkan usia berpengaruh terhadap tingkat
gangguan di Buper Palutungan, sedangkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan dan asal daerah tidak berpengaruh terhadap tingkat gangguan. Motivasi
pengunjung yang datang ke Buper Palutungan sebagian besar untuk berekreasi karena
udara di sekitar Buper Palutungan segar dan pemandangannya indah. Persepsi pengunjung
Buper Palutungan sebagian besar mengetahui arti kelestarian, hal tersebut didukung
dengan sikap mereka yang membuang sampah pada tempat terdekat meskipun sumber
gangguan yang sering terjadi adalah gangguan terhadap kebersihan dan vandalisme.
Tingkat gangguan pengunjung di kawasan Buper Palutungan yang tergolong kategori
tinggi diantaranya gangguan terhadap kebersihan sebesar 70%, vandalisme sebesar 16%,
dan gangguan terhadap tumbuhan 14%

Kata Kunci : Buper Palutungan, Tingkat Gangguan, Persepsi

40
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

I. PENDAHULUAN Kuningan. Ditinjau dari kepentingan


rekreasi, Obyek Wisata Bumi Perkemahan
Indonesia merupakan salah satu Palutungan dikenal masyarakat sebagai
Negara yang sedang berkembang. Hal tempat yang sehat dan nyaman. Keindahan
ini ditandai dengan adanya aktivitas alamnya, keteduhan dan kesegaran suasana
Obyek Wisata Bumi Perkemahan Palutungan
pembangunan fisik yang sering memungkinkan masyarakat untuk
mengurangi daerah-daerah terbuka beristirahat dan menjauhkan diri dari
hijau. Kualitas ruang terbuka semakin ketegangan dan kebisingan kota yang
berkurang akibat polusi yang dialami saat bekerja. Obyek wisata ini
merupakan imbas dari kemajuan di terletak di Desa Cisantana, Kecamatan
bidang teknologi industri dan Cigugur, Kabupaten Kuningan.
transportasi. Selain itu aktivitas Kawasan wisata Bumi Perkemahan
ekonomi di perkotaan sering diiringi Palutungan merupakan kawasan yang
oleh laju urbanisasi masyarakat memiliki fungsi rekreasi dan pariwisata.
pedesaan ke perkotaan, yang juga secara Areal ini menyerap banyak pengunjung
tidak langsung memberikan dampak dengan persepsi dan motivasinya masing-
masing. Bermacam-macam kegiatan yang
terhadap semakin berkurangnya ruang dilakukan wisatawan ketika berekreasi
terbuka hijau di perkotaan. Kepadatan menimbulkan berbagai tekanan pada obyek
dan kebisingan ketika melakukan yang ada. Aktivitas berwisata menyebabkan
aktivitas sehari-hari memberikan menurunnya kualitas ekosistem, seperti
sumbangan besar terhadap kepenatan pengrusakan lingkungan, vandalisme, dan
dan rasa letih kepada setiap orang yang sebagainya. Oleh karena itu, penelitian
mengalaminya. Keadaan tersebut bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis
menyebabkan munculnya kebutuhan karakteristik dan motivasi pengunjung,
untuk memanjakan fisik dan fikiran mengetahui persepsi pengunjung tentang
untuk melakukan aktivitas santai atau arti kelestarian, serta untuk mengetahui
rekreasi yang didukung oleh lingkungan tingkat gangguan pengunjung terhadap
Kawasan Obyek Wisata Bumi Perkemahan
yang nyaman, jauh dari kebisingan dan Palutungan
udara yang segar.
Salah satu Kabupaten di Provinsi
Jawa Barat yang sedang berkembang di II. METODOLOGI
bidang wisata alam adalah Kabupaten
Kuningan, karena memiliki sumberdaya A. Lokasi Penelitian
alam yang berpotensi untuk Penelitian dilaksanakan di Kawasan
pembangunan wisata. Selain itu, Obyek Wisata Bumi Perkemahan
masyarakat Kuningan maupun luar Palutungan. Secara geografis lokasi
Kuningan banyak yang membutuhkan penelitian berada pada 6056’41,530’’ –
tempat rekreasi guna menghilangkan 6056’51,290’’ LS dan 102025’54,594’’
ketegangan otot dan syaraf setelah lelah - 102054’54,530’’ BT, 1200 m di atas
bekerja, akan mencari suasana yang permukaan laut, curah hujan rata-rata
nyaman, segar dan bersih. 3000 mm/tahun, suhu rata-rata 24-270C.
Obyek Wisata Bumi Perkemahan
Palutungan merupakan salah satu kawasan
wisata yang terdapat di Kabupaten

41
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

B. Bahan dan Alat Dimana :


Bahan yang digunakan dalam n : ukuran sampel minimum yang
penelitian ini adalah kuisioner, alat tulis diperlukan
dan kamera. Kuisioner digunakan sebagai
sarana pengumpulan data dan informasi N : rata-rata populasi pengunjung 5
dari responden, kamera digunakan untuk tahun terakhir
mendokumentasikan obyek-obyek e : margin eror yang diperkenankan
penelitian. berkisar 5%-10%
C. Metode Pengumpulan Data
D. Analisis Data
Metode yang dikumpulkan Analisis data yang dilakukan mencakup:
mencakup data primer dan data sekunder. 1. Analisis data tentang pengunjung,
Data primer meliputi keadaan yaitu karakteristik, motivasi dan
pengunjung (karakteristik, motivasi, dan persepsi pengunjung. Jawaban
persepsi pengjung), dan sarana prasarana responden dikumpulkan dan di analisis
(tempat sampah, toilet dan air bersih, secara deskriptif.
serta petunjuk arah tempat dan lokasi). 2. Data tentang sarana dan fasilitas serta
Data sekunder meliputi kondisi umum kondisinya diambil dari jawaban
Obyek Wisata Bumi Perkemahan responden, pengamatan langsung serta
Palutungan, jumlah rata-rata pengunjung dari data pengelola, yang kemudian
dianalisis secara deskriptif.
selama 5 tahun terakhir, sarana prasarana
3. Untuk memudahkan menafsirkan data,
serta fasilitas yang ada dan kondisinya.
maka skor persepsi pengunjung
Metode pengumpulan data yang terhadap gangguan-gangguan yang
dilakukan adalah studi literatur, terjadi di Kawasan Obyek Wisata
observasi, dan wawancara secara lisan Bumi Perkemahan Palutungan
dan menggunakan kuisioner kepada diklasifikasinya berdasarkan interval
pengunjung dan pihak pegelola. kelas, sebagaimana dikemukakan
Teknik pengambilan sampel Jugiyanto (1984) dengan rumus
menggunakan metode Purposive sebagai berikut:
sampling. Data jumlah pengunjung dari
tahun 2009-2013 sebanyak 308.959
orang, sehingga rata-rata tiap tahunnya
sebanyak 61.792 orang. Jumlah Dimana:
responden (ukuran sampel) ditentukan i : interval kelas
dengan menggunakan rumus sampel R : range (data terbesar-data
berdasarkan Soegiyono (2003), terkecil)
sehingga jumlah responden sebanyak I : jumlah kelas
Berdasarkan hasil perhitungan, maka
100 orang. diperoleh skor persepsi pengunjung terhadap
gangguan-gangguan yang terjadi di Kawasan
Obyek Wisata Bumi Perkemahan Palutungan
yang diklasifikasikan menjadi 3 kategori,
yaitu :
- Persepsi rendah dengan skor <37
- Persepsi sedang dengan skor 38-59
- Persepsi tinggi dengan skor >60

42
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

4. Untuk melihat hubungan antara III. HASIL DAN PEMBAHASAN


karakteristik dan persepsi pengunjung
di Kawasan Obyek Wisata Bumi
Perkemahan Palutungan, dengan A. Hasil
menggunakan metode Chi Square
berdasarkan Simon (2007). 1. Karakteristik Responden
Hasil penelitian terhadap 100 orang
responden di Kawasan Obyek Wisata Bumi
Perkemahan Palutungan berdasarkan
karakteristik pengunjung diperoleh data
Keterangan : berdasarkan jenis kelamin pengunjung yang
X2 : Chi Square disominasi oleh laki-laki sebanyak 56 orang
Oi : Frekuensi hasil observasi dan perempuan 44 orang, berdasarkan usia
Ej : Frekuensi yang diharapkan pengunjung didominasi oleh usia < 20 tahun
sebanyak 62 orang, 21-30 tahun sebanyak 29
Dimana : orang, 31-40 sebanyak 2 orang, dan usia >
40 tahun sebanyak 7 orang. Berdasarkan
tingkat pendidikan pengunjung didominasi
Keterangan : oleh pengunjung yang pendidikannya SMA
E : frekuensi yang diharapkan sebanyak 46 orang, SMP sebanyak 22 orang,
R : jumlah baris Sarjana 22 orang, D3 sebanyak 9 orang, dan
C : Jumlah kolom tidak sekolah 1 orang. Berdasarkan asal
N : jumlah sampel daerah pengunjung dari Kuningan sebanyak
51 orang, Cirebon 35 orang, Indramayu 10
Jika tingkat kepercayaan (α) ditentukan orang, Kebumen 2 orang, Majalengka dan
sebesar 95%, maka nilai Xα2 dapat diperoleh Cilacap 1 orang.
dari tabel Chi Square (X2). Skor persepsi diperoleh dari jawaban
pengunjung dari setiap pernyataan dengan
Hipotesa : menggunakan rumus matematika sebagai
H0 = tidak ada pengaruh antara berikut :
karakteristik dengan variabel persepsi.
H1 = ada pengaruh antara karakteristik Skor Persepsi =
dengan variabel persepsi

Kriteria uji :
Jika Chihit > Chitab maka ada pengaruh Hasil pengamatan secara
Jika Chihit < Chitab maka tidak ada pengaruh keseluruhan rata-rata skor persepsi
terhadap Kawasan Obyek Wisata Bumi
Perkemahan Palutungan tergolong ke
dalam kategori tinggi, dengan skor rata-
rata 60,92.

43
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Tabel 1. Persepsi Pengunjung Tentang Tingkat Gangguan Pengunjung terhadap Kawasan


Obyek Wisata Bumi Perkemahan Palutungan Berdasarkan Karakteristik
Pengunjung

2. Gangguan Pengunjung yang menyebabkan menurunnya kualitas


Terjadi Pada Kawasan Obyek ekosistem, seperti pengrusakan
Wisata Bumi Perkemahan lingkungan, coret-coret, dan sebagainya.
Palutungan Gangguan-gangguan yang terjadi di
Kawasan Obyek Wisata Bumi Kawasan Obyek Wisata Bumi
Perkemahan Palutungan menyerap Perkemahan Palutungan sangat
banyak pengunjung, bermacam-macam bervariasi, diantaranya gangguan
kegiatan yang pengunjung lakukan di terhadap tumbuhan, gangguan terhadap
kawasan tersebut ketika berekreasi kebersihan dan vandalisme.
menimbulkan berbagai tekanan pada
obyek yang ada. Aktifitas berwisata

44
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

B. Pembahasan persepsi pengunjung tentang tingkat


gangguan pengunjung di Kawasan Obyek
1. Karakteristik yang Mempengaruhi Wisata Bumi Perkemahan Palutungan
Tingkat Gangguan Pengunjung menunjukkan nilai Chi Square (X2 hitung)
Terhadap Kawasan Obyek Wisata sebesar 5,684 lebih kecil dari X2tabel (db=6)=
Bumi Perkemahan Palutungan 12,591, berarti faktor asal daerah tidak
berpengaruh terhadap persepsi pengunjung
tentang tingkat gangguan pengunjung di
Hasil pengujian Chi Square persepsi
pengunjung menunjukkan nilai Chi Kawasan Obyek Wisata Bumi
Square (X2hitung) sebesar 0,989 lebih Perkemahan Palutungan.
kecil dari X2tabel (db=2) = 5,991, yang
berarti faktor jenis kelamin tidak 2. Motivasi Pengunjung
berpengaruh terhadap tingkat gangguan. Pengunjung yang berkunjung ke
Hasil pengujian Chi Square persepsi Buper Palutungan sebagian besar ikut-
pengujung terhadap tingkat gangguan di ikutan yang berjumlah 34 orang (34%)
Kawasan Obyek Wisata Buper Palutungan dan 24 orang yang menjadi pilihan utama
menunjukkan nilai Chi Square (X2hitung) (Gambar 1). Hal ini memperlihatkan
sebesar 15,466 lebih besar dari X2tabel (db=4) bahwa pengunjung yang datang ke
=9,487, berarti faktor usia ada Kawasan Obyek Wisata Buper
pengaruhnya terhadap tingkat gangguan Palutungan untuk mendapatkan suasana
di Kawasan Obyek Wisata Buper dan memulihkan kepenatan yang mereka
Palutungan. peroleh dalam keseharian.
Hasil pengujian Chi Square persepsi
pengunjung berdasarkan pendidikan
pengunjung menunjukan nilai Chi
Square (X2hitung) sebesar 5,51 lebih
kecil dari X2tabel (db=5) = 11,070,
berarti faktor pendidikan tidak ada
pengaruhnya terhadap persepsi
pengunjung tentang tingkat gangguan
pengunjung yang terjadi di Kawasan
Obyek Wisata Bumi Perkemahan
Palutungan. Berdasarkan hasil pengujian
Chi Square persepsi pengunjung tentang
gangguan pengunjung yang terjadi di
Kawasan Obyek Wisata Bumi Gambar 1. Persentase Buper Palutungan
Perkemahan Palutungan menunjukan nlai menjadi Tujuan Utama
Chi Square (X2 hitung) sebesar 7,837 Pengunjung
lebih kecil dari X2 tabel (db=5) =
11,070, berarti faktor jenis pekerjaan Tujuan pengunjung datang ke Buper
tidak berpengaruh terhadap persepsi Palutungan sebagian besar untuk rekreasi
pengunjung tentang tingkat gangguan mencapai 84%, dan tidak ada satu orang
pengunjung di Kawasan Obyek Wisata pengunjung yang mengunjungi Buper
Bumi Perkemahan Palutungan. Palutungan untuk tugas kantor (Gambar
Berdasarkan hasil pengujian Chi Square 3.2). Hal ini terjadi karena pengunjung

45
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

yang datang ke lokasi tersebut hanya 3. Kelestarian Lingkungan


untuk bersantai-santai menghilangkan Pengetahuan pengunjung terhadap
kepenatan bukan untuk bekerja atau kelestarian sebagian besar mengetahui
untuk kegiatan lainnya. Ini didukung arti kelestarian sebanyak 65 orang (65%),
oleh tingginya pilihan pengunjung yang diikuti pengunjung yang sedikit
tentang alasan mereka ke Obyek Wisata mengetahui sebesar 25%(Gambar 4). Hal
Buper Palutungan adalah udara yang ini merupakan bagian yang sangat
segar dan pemandangannya indah penting karena dengan pengetahuannya
sebesar 84% (Gambar 2). terhadap kelestarian maka kemungkinan
untuk menjaga kelestarian lingkungan
Obyek Wisata Buper Palutungan
semakin besar.

Gambar 2 Persentase Tujuan Pengunjung


Mengunjungi Buper Palutungan

Gambar 4 Persentase Pengetahuan


Penngunjung tentang Arti
Kelestarian

Pada tingkat persepsi pengunjung


tentang dirinya dalam membuang
sampah di Kawasan Obyek Wisata Buper
Palutungan memiliki nilai 79% yang
membuang sampah pada tempat sampah
terdekat, dan diikuti dengan
membawanya kembali ke rumah dengan
menggunakan kantong plastik sebesar
Gambar 3 Persentase Dorongan 11% (Gambar 5). Dengan persepsi
Penggunjung Berkunjung ke pengunjung tentang dirinya dalam
Buper Palutungan membuang sampah seperti tersebut di
atas maka besar kemungkinan kebersihan
di Buper Palutungan akan selalu terjaga

46
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

terlebih lagi jika di dukung oleh sarana


kebersihan yang memadai.

Gambar 6. Persentase Kesetujuan


Pengunjungan mengenai Petugas
Memberikan Sangsi Terhadap
Gambar 5 Persentase Cara Pangunjung Pengunjung yang Mengganggu
Membuang Sampah di Kawasan Kelestarian Buper Palutungan
Buper Palutungan
4. Gangguan-gangguan di Buper
Pemberian himbauan serta sebuah Palutungan
konsekuensi yang jelas bagi siapa pun Jenis gangguan yang dapat terjadi
yang ternyata telah terbukti melakukan pada Obyek Wisata Buper Palutungan
sesuatu yang dapat mengganggu diantaranya gangguan terhadap
kelestarian lingkungan yang mayoritas tumbuhan sebesar 14%, vandalisme
pengunjung menyatakan setuju hingga sebesar 16%, dan kebersihan sebesar
sebesar 61% (Gambar 6). dengan adanya 70%. (Gambar 7)
ketegasan para petugas terhadap para
pengunjung yang dapat mengganggu
kelestarian diharapkan gangguan
kelestarian di Buper Palutungan dapat
diminimalisir.

47
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Karakteristik pengunjung Bumi
Perkemahan Palutungan
berdasarkan usia, berpengaruh
terhadap tingkat gangguan di
Buper Palutungan, sedangkan
jenis kelamin, tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan dan asal daerah
tidak berpengaruh terhadap
tingkat gangguan, sedangkan
motivasi pengunjung yang datang
ke Buper Palutungan sebagian
besar berekreasi karena udara di
sekitar Buper Palutungan segar
dan pemandannya indah.
Gambar 7 Persentase Tingkat Gangguan 2. Persepsi pengunjung Buper
Kelestarian yang Terjadi Palutungan sebagian besar
Persepsi pengunjung terhadap mengetahui arti kelestarian, hal
kelestarian mayoritas pengunjung Buper ini didukung dengan sikap
Palutungan mengetahui tentang pengunjung yang sebagian besar
kelestarian lingkungan namun ternyata membuang sampah pada tempat
gangguan yang sering terjadi adalah sampah terdekat dan diperkuat
gangguan terhadap tumbuhan, kebersihan dengan pernyataan pengunjung
dan vandalisme. Ini mungkin saja terjadi yang sebagian besar menyatakan
karena kurangnya fasilitas tempat setuju terhadap pemberian
sampah sebagaimana yang dikeluhkan himbauan serta sebuah
oleh para pengunjung dan belum adanya konsekuensi yang jelas bagi
tindakan-tindakan yang jelas terhadap siapapun yang ternyata terbukti
para pengunjung yang melakukan melakukan suatu yang dapat
gangguan terhadap kelestarian mengganggu kelestarian
lingkungan baik yang berupa gangguan lingkungan, meskipun sumber
terhadap tumbuhan, kebersihan maupun gangguan yang sering terjadi di
vandalisme mengingat mayoritas kawasan Buper Palutungan
pengunjung yang datang adalah adalah gangguan terhadap
pengunjung dengan usia yang masih kebersihan dan vandalisme dan
remaja < 20 tahun yang kemungkinan itu terjadi karena kurangnya
besar mereka hanya sebatas tahu tentang fasilitas dan sarana untuk
kelestarian namun mereka belum terlatih kebersihan di Kawasan tersebut.
dan terbiasa untuk menjaga kelestarian. 3. Tingkat gangguan pengunjung di
kawasan Buper Palutungan yang
tergolong kategori tinggi
diantaranya gangguan terhadap

48
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

kebersihan sebesar 70%, 3. Penambahan sarana dan prasarana


vandalisme sebesar 16%, dan penunjang diantaranya toilet,
gangguan terhadap tumbuhan tempat sampah, dan gajebo
sebesar 14%. (tempat istirahat), serta
melakukan pemeliharaan terhadap
B. Saran sarana dan prasarana penunjang
1. Untuk pihak pengelola agar tersebut.
meningkatkan proses sosialisasi
tata tertib kepada pengunjung
secara aktif. Baik melalui petugas DAFTAR PUSTAKA
ticketing ataupun melalui media
Jugiyanto, MH. 1984. Statistik Dengan
audio.
Program Komputer. Jilid I. Andi
2. Melakukan pengawasan lebih
Offset, Yogyakarta.
baik lagi terhadap perilaku
Simon, H. 2007. Statistik Untuk
pengunjung yang diimbangi
Kehutanan. Pustaka Pelajar,
dengan tindakan tegas oleh
Yogyakarta.
petugas sesuai dengan yang telah
Sugiyono, DR. 2003. Statistika Untuk
di sosialisasikan.
Penelitian. CV. Alfabeta,
Bandung.

49
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

PERUBAHAN KOMPOSISI JENIS TEGAKAN, BIOMASSA DAN STOK


KARBON DI HUTAN WORNOJIWO KEBUN RAYA CIBODAS

Iing Nasihin, Ika Karyaningsih, Relyani Yuklistianti

ABSTRACT

This study aims to determine changes in the species composition of stands by


using equation Sorensen, 1949, and to assess changes in biomass and carbon stocks
in forests Wornojiwo Cibodas using Kiran Brown 1997 and 1997. Forest has an area of
3,394 hectares wornojiwo and has 174 permanent plots, based on the equation
Sorensen 1949 overall species composition of forest stands in permanent plots
wornojiwo no significant differences in 2007 recorded 61 species belonging to 29
families with a total number of 473 people standing. In 2014 recorded 62 species
belonging to 30 families, with 61 known stand is not found, 12 types of stands were
uprooted and 29 new individuals. Based on the equation Kiran Brown 1997 and 1997 the
value of forest biomass in Wornojiwo overall increase of 1017.53 tonnes in 2007 to
1497.82 tonnes in 2014, so changes in the biomass of 480.29 tons. Carbon
Potential in 2007 amounted to 269 tonnes / ha and increase in 2014 amounted to
395.98 tons / ha so the total number of carbon potential changes amounted to 126.97
tons / ha. Potential carbon stored the biggest change is the type of Castanopsis
javanica with the value of the change of 41.73 tonnes / ha. And to kind of stand there
with the smallest change in the type of Syzigium desinflorum the value change of
0.01 tonnes / ha.From the results of the study showed that the lack of control on forest
stands wornojiwo that condition is not properly maintained and standing stock is not
reached its full potential, it is necessary to improve oversight.

Keywords : Forests Wornojiwo, Biomass, Carbon

I. PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu penyerap


CO2 terbesar, dimana fungsi hutan
Perubahan iklim secara global yang sebagai penyerap CO2 merupakan
terjadi saat ini merupakan salah satu isu konservasi hutan secara global. Hampir
penting yang menjadi sorotan dunia. Hal 50% dari biomassa hutan tersusun atas
ini disebabkan karena terganggunya karbon (Brown, 1997). Hutan dikatakan
keseimbangan energi antara bumi dan sebagai penyerap karbon terbesar karena
atmosfer. memiliki keragaman pohon yang tinggi
dengan tumbuhan bawah dan serasah di

50
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

permukaan tanah yang banyak (Hairiah A. Alat dan Bahan


dan Rahayu, 2007). Hutan Wornojiwo Alat yang digunakan antara lain: Data
termasuk kedalam Hutan hujan DBH tahun 2007, peta plot, alat tulis, peta
pegunungan dataran rendah, yang kawasan, DBH meter, sarung tangan,
memiliki keunikan tersendiri ditinjau dari sepatu boot, golok, Snake Bite Kit,
lokasi, keanekaragaman jenis tumbuhan Prunning Pool, kamera.
penyusunnya dan jasa lingkungan yang
dimil Bahan yang digunakan antara lain :
Penelitian ini bertujuan untuk Areal/kawasan, vegetasi/pohon.
mengetahui perubahan komposisi jenis
tegakan, biomassa dan stok karbon pada B. Pengumpulan Data
plot permanen Hutan Wornojiwo 2007
dan 2014. Data Primer
Hutan Wornojiwo juga memiliki Data jumlah pohon tahun 2007
berbagai fungsi ekosistem sebagai jasa dan 2014, data jenis pohon tahun
lingkungan yang bisa dimanfaatkan 2007 dan 2014, data diameter pohon
seperti penahan erosi, penyerap air hujan, tahun 2007 dan 2014.
habitat bagi berbagai jenis satwa dan
Data Sekunder
tempat penyimpanan karbon.
Data sekunder yang di butuhkan
Penelitian tentang aspek struktur dan
meliputi data kondisi umum
komposisi hutan tropik telah banyak
lokasi meliputi letak dan luas,
dilakukan. Namun penelitian perubahan
iklim dan geografis, dan penelitian
tegakan pohon di hutan pegunungan
terdahulu dan literatur
dengan menggunakan plot permanen
mengenai teori yang melandasi
dalam suatu rentang waktu tertentu untuk
penelitian ini.
mengetahui perubahan komposisi jenis,
biomassa dan stok karbon tersimpan C. Teknik Pengumpulan Data
masih jarang dilakukan. maka dipilihlah
hutan wornojiwo sebagai lokasi penelitian Survey
karena hutan wornojiwo berada di lokasi Plot mengikuti plot yang dibuat
Kebun Raya Cibodas (KRC) jadi lebih pada tahun 2007
fleksibel untuk tempat penelitian. Menghitung diameter pohon ≥ 10
dbh yang diukur setinggi dada atau
II. METODE PENELITIAN pada ketinggian 1,3 m diatas
permukaan tanah .
Penelitian dilaksanakan di plot Metode sensus.
permanen hutan Wornojiwo Kebun Raya
Cibodas yang secara administrasi berada D. Analisis Data
di Desa Cimacan Kecamatan Cipanas
Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Kerapatan
Penelitian ini berlangsung selama 4
(empat) bulan, yaitu pada bulan Maret ∑ individu
sampai dengan bulan Juni 2014.  Kerapatan =
Luas
contoh

51
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

Kerapatan Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Hutan


Wornojiwo memiliki luas 3,934 Ha,
 Kerapatan K suatu terletak pada ketinggian 1.200-1.400
x
relatif = jenis meter diatas permukaan laut (Mutaqien
100%
(KR) Kerapatan dan Zuhri, 2011).
seluruh
jenis B. Iklim & Geografis
Keadaan iklim Hutan Wornojiwo
∑ jumlah memiliki curah hujan tahunan sebesar
luas bidang 2.950 mm/tahun. Suhu rata-rata suhu
 Dominasi = dasar 20oC, dan kelembaban relatif 80%
(D) Luas petak (Mutaqien,. et al. 2010). Junghuhn
contoh memasukkan KRC ke dalam kategori
daerah beriklim sejuk (Purwantoro,. et al.
Dominasi
2006). Berdasarkan klasifikasi Schmidth
suatu jenis
dan Ferguson, Hutan Wornojiwo masuk
 Dominasi Dominasi x
= kedalam tipe iklim B1 dengan rata-rata
Relatif seluruh 100% curah hujan 2.950 – 4.200 mm per tahun.
(DR) jenis Kebun Raya Cibodas berjarak ± 100 Km
dari Jakarta, dan ± 80 Km dari Bandung
(Purwantoro,. et al. 2006).
∑ plot Diketahui bahwa 61 jenis pada tahun
ditemukannya 2007, 62 jenis pada tahun 2014, dan 63
 Frekuensi = suatu jenis jenis tegakan yang sama pada tahun 2007
(F) ∑ total plot dan 2014. Satu jenis tidak ditemukan pada
contoh tahun 2014 yaitu jenis Cyptocarya ferrea,
Freakuensi namun ada dua jenis baru pada tahun
suatu jenis 2014 yaitu jenis Hamirung (Vernonia
 Frekuensi x arborea) dan (Brassaiopsis glomerulata)
Relatif = Frekuensi
100% jadi total jenis pada tahun 2007 dan 2014
(FR) seluruh
jenis adalah 63 jenis.

 Indeks IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai KR+DR+FR
Penting A. Komposisi Jenis Tegakan
=
(INP) Jumlah famili bertambah dari 29
menjadi 30, famili baru tersebut yaitu
III. KONDISI UMUM famili Asteraceae pada jenis Hamirung
(Vernonia arborea), untuk jumlah jenis
A. Letak dan Luas spesies ada perubahan dari 61 menjadi 62
Hutan Wornojiwo merupakan karena 1 jenis spesies pada tahun 2007
bagian dari Kebun Raya Cibodas, yaitu jenis Cryptocarya ferrea tidak
berdasarkan letak Adminitrasi terletak di ditemukan dan pada tahun 2014 muncul 2
Desa Cimacan Kecamatan Cipanas jenis baru yaitu pada jenis Panggang

52
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

(Brassaiopsis argentea) dan jenis INP terendah pada tahun 2007


Hamirung (Vernonia arborea). diperoleh pada jenis Petag (Syzigium
desinflorum) dengan nilai INP 0,45% dan
B. Kesamaan Komunitas INP terendah pada tahun 2014 diperoleh
Secara keseluruhan derajat kesamaan pada jenis Panggang (Brassaiopsis
komposisi jenis pohon antara kedua tahun glomerulata) dengan nilai INP 0,46%.
pada plot permanen hutan wornojiwo Hal ini dikarenakan jenis tersebut
didapat nilai kesamaan satu. ini memiliki luas basal yang relatif kecil dan
menunjukan bahwa vegetasi hutan pada kedua jenis tersebut memiliki nilai
tahun 2007 dan 2014 tersusun 100% jenis frekuensi rendah karena hanya ditemukan
pohon yang tumbuh pada kedua tahun pada satu plot penelitian dan dengan
memiliki jenis yang sama. Jika indeks jumlah tegakan satu individu saja.
menunjukan nilai satu maka kedua tahun
tersebut memiliki jenis yang sama. D. Perubahan Basal Area
Jenis tumbuhan utama yang Basal area di Hutan Wornojiwo
membangun komunitas vegetasi di lokasi mengalami penurunan karena pada tahun
penelitian. Cerem (Macropanax 2007 sebesar 89.375 m2 sedangkan pada
dispermum) memiliki jumlah individu tahun 2014 menjadi 66.365 m2 dengan
terbanyak dan persebaran frekuensi yang jumlah perubahan sebesar 23,01 m2.
merata dan Luas Basal yang besar Penurunan ini disebabkan oleh banyaknya
(dominansi). tegakan yang tidak ditemukan kembali
dan tumbang akibat dari aktivitas
C. Indeks Nilai Penting Analisis penebangan liar.
Vegetasi Jenis tegakan yang paling besar
Dari hasil analisis diperoleh bahwa perubahannya terdapat pada jenis
jenis-jenis pohon yang ada di lokasi Saninten (Castanopsis javanica) dengan
penelitian untuk tahun 2007 memiliki nilai perubahan basal area sebesar 6,612
Indeks Nilai Penting (INP) berkisar antara m2 diikuti oleh jenis Rasamala (Altingia
0,45% sampai 43,15% dan untuk tahun excelsa) dengan nilai perubahan basal
2014 berkisar antara 0,46% sampai area sebesar 2,659. Hal ini disebabkan
44,08%. karena jenis tersebut memiliki diameter
INP terbesar yang diperoleh pada besar.
penelitian 2007 terdapat pada jenis Cerem
(Macropanax dispermum) dengan nilai E. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)
43.15%. dan untuk tahun 2014 pun INP Secara umum keanekaragaman jenis
terbesar masih pada jenis Cerem di hutan wornojiwo mengalami penurunan
(Macropanax dispermum) tetapi keanekaragaman yaitu pada tahun 2007
meningkat menjadi 44,08%. Dari hasil dengan sebesar H’= 3,155, dan untuk
tersebut menunjukan bahwa vegetasi tahun 2014 dengan nilai H’=3,119.
memiliki keanekaragaman sedang. Karena Penurunan tersebut diduga disebabkan
jika nilai H’ >3,5 tinggi, H’ 1,5-3,5 oleh faktor diantaranya keadaan lokasi
sedang dan <1,5 rendah (Soerianegara, yang terbuka karena tingginya gangguan
1996). alami seperti banyak pohon yang tumbang
akibat angin kencang atau pohon tersebut

53
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

sudah tidak mampu bersaing dengan 3. Persentase Tumbuh Berdasarkan


pohon jenis asing yang pertumbuhannya Ukuran tumbuh
lebih cepat. Pertumbuhan jenis diameter
berdasarkan ukuran tumbuhnya
F. Perubahan Biomassa dan didominasi oleh kelas ukuran diameter 0.1
Perubahan Stok Karbon - 5 cm sebesar 59% dan jenis yang
termasuk ke dalam kelas ukuran tumbuh
1. Secara Keseluruhan ini diantaranya adalah Cerem
Perubahan nilai karbon tersimpan di (Macropanax dispermum), Muncang cina
Hutan Wornojiwo secara keseluruhan (Ostodes paniculata), Kibancet (Turpinia
mengalami peningkatan dari Montana), Saninten (Castanopsis
1.017.527,763 Kg pada tahun 2007 argentea), Nangsi (Villebrunea
menjadi 1.497.821,645 Kg pada tahun rubescens), Cestrum auranticum,
2014, jadi total perubahan biomassa Turpinia spahaeocarpa, Rasamala
sebesar 480.293,88 kg . Karena 46% (Altingia excelsa).
biomassa itu terdiri atas karbon yang
dapat dihitung dengan mengalikan total 4. Biomassa dan Karbon Tersimpan
biomassanya dengan 0,46. Dengan Berdasarkan Kelas Diameter
demikian karbon tersimpan pada tahun Karbon terbesar dan meningkat
2007 sebesar 269 ton/ha dan meningkat terdapat pada kelas diameter 151-200 cm
pada tahun 2014 sebesar 395,98 ton/ha sebesar 1365,322 ton/ha, hal ini
jadi jumlah total perubahan karbon disebabkan karena pertumbuhan diameter
tersimpan adalah sebesar 126.97 ton/ha. yang besar, dan untuk perubahan karbon
terkecil sekaligus menurun terdapat pada
2. Biomassa dan karbon tersimpan kelas diameter 51-100 sebesar -121.513,
berdasarkan jenis tegakan hal ini disebabkan karena banyaknya
Perubahan karbon berdasarkan jenis tegakan yang mati, hilang dan tumbang.
tegakan untuk jenis tegakan yang
mengalami perubahan terbesar adalah V. KESIMPULAN DAN SARAN
jenis Castanopsis argentea dengan nilai
perubahan biomassa sebesar 41.73 ton/ha, A. KESIMPULAN
hal ini disebabkan karena kecepatan 1. Secara keseluruhan komposisi jenis
pertumbuhannya yang tinggi dan tegakan dalam plot permanen hutan
rendahnya gangguan oleh aktivitas wornojiwo tidak terdapat perbedaan
penebangan, karena kualitas kayunya yang nyata pada tahun 2007 tercatat
yang kurang baik (Yoneda, 2006). Dan 61 jenis yang termasuk kedalam 29
untuk jenis tegakan dengan perubahan famili dengan jumlah tegakan
terkecil terdapat pada jenis Syzigium sebanyak 473 individu. Pada tahun
desinflorum hal ini disebabkan karena 2014 tercatat 62 jenis pohon yang
jenis ini hanya memiliki satu individu termasuk kedalam 30 famili dengan
saja. diketahui 61 tegakan tidak
ditemukan, 12 jenis tegakan yang
tumbang dan 29 individu baru.

54
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

2. Karbon tersimpan yang mengalami Muttaqien Zaenal dan Zuhri Musyarofah.


perubahan terbesar adalah jenis 2010. Perubahan Komposisi Vegetasi
Castanopsis argentea dengan nilai Dan Struktur Pohon Pada Plot meijer
perubahan sebesar 41.73 ton/ha. (1959-2009) Di Gunung Gede Jawa
Dan untuk jenis tegakan dengan Barat. Cianjur : Buletin Kebun Raya
perubahan terkecil terdapat pada Vol. 14 No. 1, Januari 2011. Odum,
jenis Syzigium desinflorum dengan E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi.
nilai perubahan 0,01 ton/ha. Edisi Ketiga. Gadja Mada University
Press, Yogyakarta.
Purwantoro, R., Nasution, RE., Naiola,
DAFTAR PUSTAKA PB. 2006. Sejarah Kebun Raya
Cibodas. UPT Balai Konservasi
Brown. 1997. Estimating Biomass and Tumbuhan Kebun Raya Cibodas
Biomass Change of Tropical Forest : LIPI. Cibodas.
a Primer : FAO Forestry Paper 134. Yoneda, T., Mizunaga, H., Nishimura, S.,
Rome, Italy. Fujii, S., Tamim, R. 2006. Stand
Hairiah, K. 2007. Perubahan Iklim Global structure and dynamics of a tropical
: Neraca Karbon di Ekosistem secondary forest-A rural forest in
daratan. Jurusan Tanah Fakultas West Sumatra, Indonesia. Tropics
Pertanian Universitas Brawijaya. 15(2): 189-199.
Malang.

55
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

ANALISIS JENIS KAYU RAKYAT SEBAGAI KOMODITAS UNGGULAN DI


KABUPATEN KUNINGAN

Beni Kriswanto, Rinekawiati Soelaeman, R. Ida Farida Dahlia

Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan


Jl. Cut Nyak Dhien 36 A, Kuningan, Jawa Barat

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengidentifikasi potensi pengembangan kayu,


potensi ekonomi dan pengaruh sosial budaya di 9 Lokasi Sub DAS Hilir Kabupaten
Kuningan. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan hasil kajian sisi ekologis,
ekonomi dan sosial budaya terhadap munculnya jenis kayu unggulan di Kabupaten
Kuningan, memberikan gambaran potensi pengembangan usaha kayu rakyat di DAS hilir
dan memberikan gambaran bagi para pihak yang berkempentingan dalam perencanaan
pengelolaan hutan rakyat.
Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Rakyat Kecamatan Ciniru, Luragung dan
Hantara. Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013. Metode
pengambilan sampel penelitian ini dilaksanakan pada 3 (tiga) Kecamatan dengan nilai
LQ>1 yaitu merupakan Kecamatan yang memiliki hutan rakyat sebagai sektor basis,
bahwa masing-masing wilayah yang menjadi objek penelitian dapat diwakili dengan 10
responden. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi kemudian di analisis
secara deskriptif dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk mendapatkan gambaran
mengenai karakteristik masyarakat Hutan Rakyat di Kabupaten Kuningan.
Potensi kayu unggulan dilihat dari setiap kecamatan menunjukan bahwa daerah
dengan potensi terbesar adalah kecamatan hantara dengan nilai potensi kayu sebesar 61%.
Sedangkan sisanya adalah kecamatan Ciniru dengan nilai potensi sebesar 29% dan
kecamatan luragung sebesar 10%. Besarnya nilai LQ di ketiga kecamatan >1 sehingga
dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan hutan rakyat di kecamatan Ciniru, Hantara dan
Luragung merupakan sektor basis.Ketiga jenis kayu unggulan yang merupakan bahan
baku setengah jadi biasanya dipergunakan untuk bahan baku industri mabel, kerajinan,
kontruksi/material dan kayu lapis. Berdasarkan minat masyarakat, sebagian besar memilih
jenis sengon Sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai jenis kayu unggulan.
Berdasarkan pendapat masyarakt jenis ini memiliki potensi ekonomi yang lebih besar dari
pada jenis lainnya karena daur tumbuh yang lebih cepat.

Kata Kunci : Kayu Rakyat, Komoditas Unggulan, Sub DAS Hilir

56
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

I. PENDAHULUAN untuk setiap kecamatan di DAS


hilir).
Sejumlah kawasan hutan Rakyat di 2. Mengidentifikasi potensi ekonomi
Kabupaten Kuningan memiliki potensi (Nilai jual dan biaya produksi rata-
kayu yang cukup tinggi. Terutama di rata perhektar untuk 3 jenis kayu
daerah pedesaan di daerah hilir dari Sengon (Paraserianthes falcataria),
Daerah Aliran Sungai Cisanggarung Hilir Jati (Tectona grandis), Mahoni
dan Sungai Ciberes Hilir yang (Switenia marcophylla) unggulan,
masyarakatnya menggantungkan hidup industri apa saja yang menyerap
pada kawasan hutan dan pertanian. hasil produksi kayu DAS hilir)
Wilayah hilir memiliki peluang lebih 3. Mengidentifikasi pengaruh sosial
besar bagi sejumlah jenis tanaman kayu budaya (Data hasil interview pilihan
untuk dikembangkan karena bentuk masyarakat, data jenis pohon yang
kelerengan tanah yang cenderung landai diberikan oleh program pemerintah).
sehingga memudahkan dalam proses
penanaman dan pemanenan
dibandingkan wilayah hulu yang III. METODE PENELITIAN
digunakan sebagai daerah resapan dan
tidak digunakan untuk hutan produksi. A. Waktu dan Tempat
Selain itu kondisi biofisik kawasan Penelitian ini dilaksanakan di Hutan
yang lebih stabil memberikan peluang Rakyat Kecamatan Ciniru, Luragung dan
hidup lebih besar dan pertumbuhan yang Hantara. Pelaksanaan Penelitian
lebih cepat dikarenakan suhu dan dilaksanakan pada bulan November
kelembaban udara yang lebih tinggi. 2013.
Oleh sebab itu hasil hutan yang optimal
menjadi harapan sebagian besar B. Alat Dan Bahan
penduduk desa yang mengharapkan Alat yang digunakan dalam
peningkatan industri kayu. Dengan penelitian ini diantaranya:
adanya kayu unggulan yang ditanam dan 1. Alat Tulis dan Kertas.
dipanen masyarakat Kabupaten 2. Buku Catatan.
Kuningan diharapkan dapat 3. Daftar Isian/Kuisioner.
meningkatkan nilai jual kayu itu sendiri 4. Unit Komputer.
dan meningkatkan pula taraf hidup 5. Printer dan Tinta.
masyarakat. 6. Kamera.

II. TUJUAN PENELITIAN Sedangkan bahan dalam penelitian


ini adalah data sekunder yang didapat
1. Mengidentifikasi potensi dari berbagai sumber guna menunjang
pengembangan kayu Jati (Tectona penelitian ini.
grandis), Sengon (Paraserianthes
falcataria), Mahoni (Switenia C. Sumber data
marcophylla), (diwakili dengan data Data yang dikumpulkan diperoleh
produksi terbesar dari 3 jenis kayu dari berbagai sumber, yaitu :

57
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

1. Petani yang menggarap lahan di F. Metode Analisis Data


Hutan Rakyat. 1. Gambaran dan Karakteristik
2. Industri Kayu. Masyarakat
3. Instansi terkait yang berhubungan Data yang diperoleh dari hasil
dengan penilitian (Dinas wawancara dan observasi
Kehutanan). kemudian di analisis secara
4. Sumber literatur, buku, internet deskriptif dalam bentuk tabulasi
dan surat kabar. dan gambar untuk mendapatkan
gambaran mengenai karakteristik
D. Jenis data masyarakat Hutan Rakyat di
Data yang diperlukan dalam Kabupaten Kuningan.
penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan 2. Analisis Location Quotient (LQ)
data yang diperoleh langsung dari Untuk mengetahui apakah
masyarakat sebagai responden. suatu kegiatan di suatu wilayah
merupakan sektor atau bukan basis
E. Metode Pengumpulan data di gunakan analisis Location
1. Teknik observasi Quoetient (LQ). Luas pemanfaatan
Data dikumpulkan dengan lahan untuk pengusahaan hutan
mengadakan pengamatan langsung rakyat dibandingkan dengan luas
terhadap objek yang diteliti, survey lahan secara keseluruhan dengan
lapangan dan pengukuruan objek model:
yang diteliti.

2. Teknik Wawancara
Data dikumpulkan dengan
melakukan tanya jawab secara Dimana :
langsung terhadap responden, Lqij = Indeks Kuosien Lokasi.
pejabat setempat dan pemimpin Xij = Jumlah luas areal suatu
formal maupun informasi aktifitas pada tingkat
perangkat/warga desa. Wawancara wilayah kecamatan.
dilakukan dengan menggunakan Xj = Jumlah luas areal total
daftar pertanyaan/kuisioner suatu aktivitas pada
terstruktur dan tidak terstruktur tingkat wilayah Kabupaten.
mengenai hal-hal yang masih X = Jumlah luas areal total
berhubungan dengan penelitian. seluruh aktivitas pada
tingkat wilayah
3. Studi Pustaka Kabupaten.
Pengumpulan data-data sekunder
dari instansi terkait. Kriteria penilaian dalam penentuan
ukuran derajat basis dan non basis
adalah:
1. Jika nilai LQ lebih besar dari
satu (LQ>1) maka

58
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

pemanfaatan lahan untuk Hal tersebut disebabkan karena pekerjaan


aktivitas hutan rakyat tersebut sebagai petani penggarap hutan rakyat
merupakan sektor basis. dan industri kayu/panglong
2. Jika nilai LQ sama atau kurang membutuhkan tenaga yang cukup besar.
dari satu (LQ<1) berarti sub
sektor yang dimaksud B. Status Kepemilikan Lahan Hutan
termasuk ke dalam sektor non Rakyat
basis pada kegiatan Luas hutan rakyat dengan status
pemanfaatan lahan wilayah kepemilikan milik sendiri ada seluas
Kabupaten Kuningan. 37,58 Ha atau 76% dari luas hutan
keseluruhan yang diperhitungkan dalam
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN penelitian ini sedangkan hutan rakyat
milik negara ada seluas 8,51 Ha atau
A. Karakteristik Responden 17%. Untuk hutan rakyat dengan status
Hasil penelitian menunjukkkan lahan sewaan ada sebesar 3,48 Ha.
bahwa seluruh petani dan industri Kecenderungan hutan rakyat yang
kayu/panglong yang terlibat dalam kurang produktif mendorong pemerintah,
pengolahan kayu hutan rakyat berada dalam hal ini melalui Dinas Kehutanan
pada kisaran usia 17 tahun sampai dan Perkebunan untuk memberikan hak
dengan 33 tahun ke atas. guna bagi masyarakat sekitar kawasan
Mata pencaharian sebagai petani hutan yang dikelola. Untuk
penggarap tanaman kehutanan ataupun mengoptimalkan manfaat secara
industri kayu merupakan pekerjaan berat ekonomis maka pemerintah setempat
yang memerlukan pengalaman. memberikan hak guna kepada
Kemampuan dalam teknik tanaman masyarakat dengan pembagian
maupun pada saat pemanenan biasanya keuntungan 30 berbanding 70 persen dari
dilakukan oleh orang-orang dewasa yang keuntungan bersih.
lebih banyak memiliki pengalaman kerja
dalam bidang ini. Begitu juga dalam C. Komoditas Tanaman Kehutanan
manajemen usaha industri kayu lebih Jenis tanaman kehutanan yang
banyak dilakukan oleh orang tua yang ditanam di hutan rakyat yang paling
juga mempunyai pengalaman cukup banyak adalah jenis sengon
dalam bidang pengolahan kayu unggulan (Paraserianthes falcataria), yaitu sebesar
tersebut. 39%. Sedangkan lainnya adalah jenis
Seluruh responden dalam penelitian tanaman jati (Tectona grandis), sebesar
ini berjenis kelamin laki-laki yaitu 26% dan mahoni (Swetinea macrophylla)
sebanyak 90 (sembilan puluh) orang. sebesar 34%. Jenis tanaman sengon
Begitu juga dengan responden dari (Paraserianthes falcataria) menjadi
industri kayu/panglong seluruhnya tanaman unggulan yang biasa ditanam
berjenis kelamin laki-laki. Dari hasil oleh petani disebabkan karena jenis ini
tersebut menunjukkan bahwa terdapat memiliki laju pertumbuhan yang lebih
kecendrungan laki-laki dalam cepat dibandingkan dengan jenis lain.
matapencaharian petani dan industri
pengolahan kayu dalam penelitian ini.

59
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

D. Distribusi Pemanfaatan adalah jenis komoditas jati (Tectona


Komoditas Tanaman Kehutanan grandis) dimana hanya mencapai Rp
Pemanfaatan komoditas kayu hutan 1.500.000 s/d Rp 7.000.000.
rakyat sebagian besar untuk dijual pada
orang lain melalui panglong. F. Hasil Analisis Location Quoetient
Berdasarkan tujuan penanaman untuk (LQ)
dipergunakan sendiri untuk bahan Hasil analisis Location Quoetient
bangunan memperoleh skor sebesar 20% (LQ) lebih jelas dapat dilihat pada Tabel
sedangkan untuk dijual pada orang lain 5.10 berikut ini.
sebesar 66%. Dan untuk dipergunaka diri
sendiri untuk kayu bakar sebesar 3%. Tabel 1. Hasil Analisis Location Quoetient
Sedangkan berdasarkan tujuan penjualan, (LQ)
petani biasanya menjual pada panglong Luas Luas
sebesar 64%, pengepul sebesar 18% dan No Wilayah LQ
Wilayah HR
tengkulak sebesar 18%. 1 Ciniru 4976,49 1143,56 1,15
Pola pemanfaatan oleh petani seperti a. Cijemit 475,44 132,35 1,21
b. Longkewang 236,91 128,58 2,36
demikian bertujuan untuk c.
mengoptimalkan hasil produksi kayu, Mungkaldatar 318,88 128,09 1,75
sehingga bisa bermanfaat secara d. Rambatan 903,44 318,74 1,54
langsung untuk meningkatkan 2 Luragung 4073,77 1399,01 1,71
a.
pendapatan. Biasanya petani Walaharcageur 220,66 101,71 1,34
memanfaatkan sebagian kayu yang b. Wilanagara 286,74 177,15 1,80
diproduksi sebagai bahan bangunan 3 Hantara 3537,40 810,44 1,14
rumahnya sendiri, baik untuk a. Cikondang 467,55 119,67 1,12
pembangunan awal maupun b. Citapen 476,83 132,27 1,21
c. Tundagan 683,03 181,92 1,16
pengembangan kontruksi rumah yang Sumber: Hasil Analisis Data 2013
sudah ada.
Berdasarkan Tabel diketahui bahwa
E. Tingkat Penjualan Komoditas Kayu nilai LQ di ketiga kecamatan >1
Unggulan sehingga dapat disimpulkan bahwa
Penjualan terbanyak berasal dari pemanfaatan hutan rakyat di Kecamatan
jenis sengon (Paraserianthes falcataria) Luragung, Ciniru dan Hantara
dan mahoni (Swetinea macrophylla) merupakan sektor basis.
yaitu sebesar 7 m3, sedangkan paling
rendah adalah jenis komoditas jati G. Potensi Ekonomi Kayu Unggulan
(Tectona grandis) hanya sebesar 1 m3. Potensi ekonomi kayu unggulan
Dilihat dari sisi omset pendapatan, maka berturut-turut dari jenis kayu sengon
mahoni (Swetinea macrophylla) (Paraserianthes falcataria)
merupakan komoditas dengan omset (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona
terbesar yaitu mencapai Rp 2.800.000 s/d grandis) dan mahoni (Swetinea
Rp 14.000.000. Untuk komoditas jenis macrophylla). Tetapi karena
sengon (Paraserianthes falcataria) pertumbuhan sengon (Paraserianthes
mencapai omset sebesar Rp 5.250.000 falcataria) yang relatif lebih cepat
s/d Rp 7.455.000 dan paling rendah

60
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

dibanding 2 (dua) jenis lainnya maka yang menjadi komoditas unggulan


sengon menghasilkan kayu lebih. tersebut. Walaupun luas hutan rakyat
Jenis kayu sengon (Paraserianthes yang hanya seluas 810,44 Ha,
falcataria) merupakan komoditas dengan Kecamatan Hantara lebih banyak
tingkat pendapatan paling besar, yaitu mengoptimalkan kawasannya sehingga
sebesar Rp 1.562.500 sampai dengan Rp produktifitas yang dimiliki lebih besar
2.218.750/bulan dalam satuan hektar dibandingkan dengan Kecamatan Ciniru
lahan. Hasil tersebut karena jenis sengon dan Luragung.
(Paraserianthes falcataria) mempunyai
daur tumbuh lebih cepat selama 6 tahun V. KESIMPULAN
untuk bisa dimanfaatkan, sedangkan
untuk jenis kayu jati (Tectona grandis) 1. Pemanfaatan hutan rakyat di
mempunyai daur tumbuh lebih lama kecamatan Ciniru, Hantara dan
mencapai 12 tahun untuk bisa Luragung merupakan sektor basis.
dimanfaatkan sehingga hanya dapat 2. Ketiga jenis kayu unggulan yang
menghasilkan pendapatan sebesar Rp merupakan bahan baku setengah jadi
781.250 sampai dengan Rp biasanya dipergunakan untuk bahan
3.645.833/bulan dalam satuan hektar baku industri mebel, kerajinan,
lahan. Jenis kayu mahoni (Swetinea kontruksi/material dan kayu lapis.
macrophylla) mempunyai daur tumbuh Walaupun demikian pemanfaatan
yang cukup dibandingkan dengan 2 (dua) secara langsung oleh masyarakat
jenis kayu lainnya, yaitu dapat sebagai bahan baku bangunan untuk
menghasilkan pendapatan sebesar Rp pembangunan rumah masih sangat
333.333 Samapai dengan Rp tinggi. Hal tersebut menunjukan
1.666.666/bulan dalam satuan hektar optimalnya pemanfaatan yang tidak
lahan. Oleh hal tersebut di atas jenis kayu membutuhkan proses lanjutan dalam
sengon (Paraserianthes falcataria) produksi kayu unggulan tersebut.
menjadi potensi ekonomi kayu unggulan 3. Berdasarkan minat masyarakat,
di daerah tertentu. sebagian besar memilih jenis sengon
sebagai jenis kayu unggulan.
H. Potensi Produksi Kayu Unggulan
Potensi kayu unggulan dilihat dari DAFTAR PUSTAKA
setiap Kecamatan menunjukkan bahwa
daerah dengan potensi terbesar adalah Abidin et al. 1990. Sistem Pengelolaan
Kecamatan Hantara dengan nilai potensi Hutan Rakyat. Lembaga Penelitian
kayu sebesar 61%. Sedangkan sisanya IPB. Bogor.
adalah Kecamatan Ciniru dengan nilai Ade Sunarya. 2013. Analisis Potensi
potensi sebesar 29% dan Kecamatan Kayu Rakyat Sebagai Komoditas
Luragung sebesar 10%. Unggulan Di Kabupaten Kuningan
Besarnya potensi di kecamatan (Studi Kasus: Das Hilir Kabupaten
Hantara menunjukkan karakteristik lahan Kuningan). Fakultas Kehutanan
yang sebagian besar terdiri dari kawasan Universiatas Kuningan. Kuningan.
hutan serta kesesuaian biofisik kawasan BRLKT IV. 1991 Budi Daya Kayu
yang baik untuk jenis tanaman kehutanan Rakyat. Balai Rehabilitasi Lahan

61
Wanaraksa Vol. 9 No.1 Februari 2015

dan Konservasi Tanah Wilayah IV Bogor. Sekolah Pascasarjana


Bandung. Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kehutanan. 1995. Ketentuan Hayono, J. 1996. Analisis
Luasan Hutan Rakyat. Jakarta: Pengembangan Pengusahaan Hutan
Departemen Kehutanan. Rakyat di Kabupaten Wonosobo
Departemen Kehutanan. 1996. Materi Jawa Tengah. Tesis. IPB. Bogor.
Penyuluhan Kehutanan I. Mindawati N, dan Tata. 2001. Aspek
Departemen Kehutanan Pusat Silvikultur Jenis Khaya, Mahoni
Penyuluh. Jakarta. dan Meranti. Makalah Seminar.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prosiding : Ekspose Hasil-hasil
Kabupaten Kuningan. 2012. Penelitian 6 Desember 2001.
Program Bantuan Pemerintah Pengembangan Jenis Tanaman
Berupa Kebun Bibit Rakyat dan Potensial. Balibanghut. Bogor.
IPHHK 2012. Prabowo, S. A. 1999. Sistem
Diniyati, Dyah, et.al. 2004. Info Teknis Pengelolaan dan Manfaat
Pola Tanam Hutan Rakyat di Jawa Ekonomis Hutan Rakyat. Skripsi
Dalam Rangka Meningkatkan Jurusan MNH Fakultas Kehutanan
Pendapatan Petani. Buletin Al- IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Basia Vol. I No.4 4 Desember
2004. Loka Penelitian dan
Pengembangan Hutan Monsoon
Ciamis.
Dirgantara, U. 2007. Analisis Potensi
Fisik, Sosial dan Ekonomi Untuk
Pengembangan Hutan Rakyat Di
Kabupaten Sukabumi. [Thesis].

62

Anda mungkin juga menyukai