Anda di halaman 1dari 204

GAMBARAN PERENCANAAN PEMASARAN SOSIAL PROGRAM

VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) HIV-AIDS


DI PUSKESMAS CIPUTAT
TAHUN 2014

SKRIPSI

Disusun Oleh:
SUROTUL ILMIYAH
NIM : 1110101000038

PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
TAHUN 1436 H/2014 M
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN

Skripsi, 15 Juli 2014

Surotul Ilmiyah, NIM : 1110101000038

Gambaran Perencanaan Pemasaran Sosial Program Voluntary Counselling


And Testing (VCT) HIV-AIDS di Puskesmas Ciputat Tahun 2014

xxiv+ 177 halaman + 6 lampiran


Kata kunci: perencanaan pemasaran sosial, VCT, HIV-AIDS

ABSTRAK

Peningkatan epidemi HIV-AIDS masih menjadi masalah serius kesehatan


masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Konseling dan tes HIV sukarela (Voluntary
Counselling and Testing) merupakan strategi kesehatan masyarakat untuk mengantisipasi
tingginya penyebaran infeksi HIV. Puskesmas Ciputat, puskesmas pertama di Tangerang
Selatan yang sudah memiliki layanan VCT. Namun, dalam pelaksanaannya ditemukan
adanya masalah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perencanaan
pemasaran sosial program VCT (Voluntary Conselling and Testing) HIV-AIDS di
Puskesmas Ciputat.
Jenis penelitian yaitu kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informan didapat
dari purpossive sampling sebanyak 7 informan, meliputi Penanggungjawab program VCT
di Puskesmas Ciputat, Kepala Puskesmas, Tenaga promosi kesehatan Puskesmas, Dinas
Kesehatan Tangerang Selatan, Lembaga Swadaya Masyarakat mitra, Pasien yang telah
melakukan VCT di Puskesmas Ciputat, Pasien yang belum melakukan VCT di
Puskesmas Ciputat. Hasil penelitian menunjukkan Puskesmas Ciputat belum melakukan
perencanaan pemasaran sosial program Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV-
AIDS secara optimal karena belum ada bukti otentik proposal pemasaran sosial VCT
yang dilegalisasi Kepala Puskesmas. Perencanaan hanya mendukung segmentasi pasar,
identifikasi faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku, bauran pemasaran,
perencanaan pemantauan dan evaluasi, perencanaan anggaran biaya, perencanaan
kampanye implementasi dan manajemen. Perencanaan yang belum dilakukan yaitu tujuan
dan target pemasaran sosial, pernyataan positioning. Hal ini membuktikan bahwa
rendahnya minat masyarakat disebabkan karena belum optimalnya perencanaan
pemasaran sosial. Diharapkan puskesmas dapat melakukan upaya perencanaan pemasaran
sosial program VCT HIV-AIDS secara detail yaitu melakukan perencanaan latar
belakang, tujuan dan fokus program VCT, analisis situasi, penentuan tujuan dan target
pemasaran sosial, pernyataan positioning dan mendokumentasikan dalam bentuk proposal
pemasaran sosial yang dilegalisasi oleh Kepala Puskesmas sebagai pedoman pelaksanaan
pemasaran sosial.

ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH DEPARTMENT
HEALTH PROMOTION SPECIALIZATION

Undergraduate Thesis, July 15, 2014


Surotul Ilmiyah, NIM: 1110101000038

The Overview of Social Marketing Planning of Voluntary Counselling and


Testing (VCT) of HIV-AIDS Program in Ciputat Health Center, 2014

xxiv + 177 pages + 6 appendix


Keywords: social marketing planning, VCT, HIV-AIDS

ABSTRACT
HIV-AIDS epidemic increased remains a serious public health problem in
the world, including Indonesia. Voluntary Counselling and Testing (VCT) is a
public health strategy to anticipate the spread of HIV infection. Ciputat Health
Center is the first health center in South Tangerang which already have VCT
services. However, It found a problem in practice. This study aims to describe the
social marketing planning of VCT (Voluntary Counselling and Testing) of HIV-
AIDS program in Ciputat Health Center, 2014.
This research was a qualitative research with a descriptive approach.
Informants were selected by purposive sampling, It obtained by 7 informants,
including Responsible Person of VCT program at the health center, head of the
health center, health promotion Workers, South Tangerang Health Department,
NGO partner, VCT patients in Health Center, and non-VCT patients. The results
showed thet Ciputat Health Center has not made an optimal social marketing plan
of VCT HIV-AIDS programs because there is no authentic evidence of VCT social
marketing proposal legalized by Head of Puskesmas. This Health Center just
support the planning of target audience profile, factors influencing adoption of
behavior, develop a strategic marketing mix (4P’s), outline a plan for monitoring
and evaluating, establish budget and find funding source, plan for campaign
implementation and management. It does not describe background, purpose and
focus, situation analysis, marketing objectives and goals, positioning statement.
This proves that the low interest of the community due to an unoptimal social
marketing plan. It is expected that health center can do a social marketing
planning efforts for VCT HIV-AIDS program in detail of describe background,
purpose and focus, situation analysis, marketing objectives and goals, positioning
statement and documented in the form of social marketing proposals validated by
the Head of Health Center as guidelines for the implementation of social
marketing.

iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Judul Skripsi
GAMBARAN PERENCANAAN PEMASARAN SOSIAL PROGRAM
VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) HIV-AIDS
DI PUSKESMAS CIPUTAT
TAHUN 2014

Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi


Peminatan Promosi Kesehatan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh:
SUROTUL ILMIYAH
NIM. 1110101000038

Jakarta. September 2014

Pembimbing I Pembimbing II

Raihana. N. Alkaff, SKM, MMA Drs. M. Farid Hamzens, M.Si


NIP. 1978121620090120005 NIP. 196306211994031001

iv
PANITIA SIDANG SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

Jakarta, September 2014

Penguji I

Raihana. N. Alkaff, SKM, MMA


NIP. 1978121620090120005

Penguji II

dr. Yuli Prapancha Satar, MARS


NIP. 195 3073 01 98 0111001

Penguji III

Milza N Rosad, SH, MARS

v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Surotul Ilmiyah

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan Tanggal Lahir : Pasuruan, 30 Juni 1993

Agama : Islam

Kewarnegaraan : Indonesia
Alamat
: Jl. Ibnu Taimia IV No. 195 Komplek Dosen UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 15419

E-mail : ilmiyah_hkarim@yahoo.co.id

Telepon : 085780334188

Riwayat Pendidikan :
TAHUN PENDIDIKAN FORMAL

1996 – 1998 TK Dharma Wanita

1998 – 2004 SDN Sambirejo 2 Pasuruan

2004 – 2007 MTs Negeri Pasuruan

2007 – 2010 SMA Al-Yasini Pasuruan

2010 – sekarang S1 – Peminatan Promosi Kesehatan, Program Studi


Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta

vi
Penghargaan:

TAHUN PENGHARGAAN
2010 Penerima Beasiswa S1 Program Beasiswa Santri
Berprestasi (PBSB) Kementrian Agama RI
2011 Juara Harapan 3 Lomba National Business Plan
2012 Runner Up dan Juara Favorit Mahasiswa Berprestasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2013 Delegasi Indonesia untuk AISEF Student Exchange,
ASEAN Youth Friendship Network in Chiang Mai,
Thailand
2013 Best Delegate International Studies Club ISCDC United
State Diplomatic Course
2013 Inspiring Writer for a Great Dream Book, Ministry of
Religious Affairs
2013 Juara 1 Lomba Health Interprofesionalism Education

Pengalaman Kerja :
TAHUN PROFESI
2010 Freelance Writer in Mata Pena Writer (MPW)
2011-2012 Researcher in KOMPAS

2013 Project Officer of Health, Indonesian Women’s


Institute
2013 Project Officer in Middle East Institute

2011-2013 Marketing Manager in Alphabet English Course and


Camp
2012-2014 Director in SANTRI National Magazine

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dan junjungan Nabi besar kita,
Muhammad SAW atas segala limpahan rahmat serta hidayahnya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul
“GAMBARAN PERENCANAAN PEMASARAN SOSIAL PROGRAM
VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) HIV-AIDS DI
PUSKESMAS CIPUTAT TAHUN 2014”. Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan proposal ini tidak terwujud tanpa ada bantuan dan
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Prof. DR (hc). Dr. M. K. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat, Febrianti, SP, M.Si dan
Sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat, Catur Rosidati,
MKM yang senantiasa mengorganisasi Prodi Kesehatan Masyarakat
dengan baik.
4. Raihana N. Alkaff, SKM, MMA, selaku dosen pembimbing fakultas,
mentor promosi kesehatan yang telah memberi kesempatan dan
dukungan kepada penulis untuk melakukan penelitian
5. Dr. Drs. M. Farid Hamzenz, M.Si selaku dosen pembimbing fakultas,
mentor promosi kesehatan yang telah memberi kesempatan dan
dukungan kepada penulis untuk melakukan penelitian
6. dr. Yuli Prapancha Satar, MARS yang telah banyak memberikan
saran selama menjadi penguji sidang skripsi
7. Milza N. Rosad, SH, MARS yang telah banyak memberikan saran
selama menjadi penguji sidang skripsi
8. Kepada seluruh staf dosen pengajar peminatan promosi kesehatan dan
Program Studi Kesehatan Masyarakat, ibu Yuli Amran, MKM, Fase

viii
Badriah, PhD, Rostini, MKM, Julie Rostina, MKM, Narila Mutia
Nasir, Ph.D, Gitalia Budhi Utami, MKM, Farihah Sulasiah, MKM,
Riastuti MKM, Minsarnawati Tahangnacca, MKM, Lilis Muchlisoh,
MKM, Ratri Ciptaningtyas,S.sn.Kes, Prof. Alisa, Prof. Huzaimah
Tahido Yanggo dosen penulis yang telah memberikan banyak ilmu
yang bermanfaat, saran dan bimbingan selama kuliah
9. Dr. Abdillah Assegaff, dr. Derly, Ibu Februanti, Bidan Popoy, Bidan
Rahma, Mba Chory LSM Kotek, Mas Puja, S.Kep dari Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan, segenap staff serta ibu kader
Puskesmas Ciputat terima kasih atas ilmu yang diberikan, telah
mengizinkan peneliti untuk menyelesaikan penelitian skripsi
10. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementrian
Agama RI, Bapak Dr. H. Imam Safei, M.Pd, Kasubdit Pendidikan
Pesantren, Drs. Khaeroni, M.Si Kasubdit Penelitian dan Pengabdian
pada Masyarakat, Bapak Ruchman Basori yang telah memberikan
banyak inspirasi dan membimbing selama proses menjalankan studi
S1 dari Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB)
11. dr. Fika Ekayanti, M.Med.Ed pembimbing dan pengelola PBSB
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
12. Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Miftahul Ulum Al-Yasini
beserta Dewan Guru, KH. A. Mujib Imron, SH, MH, Ibu Nyai Hj.
Zakiyah, Ning Hj. Hanifah, Ning Hj. Ilvi Nur Diana, Ning Hj. Nanik,
Mas Ahmad Ghozali, SE, Mas Fuad, dr. Kholidatul Husna yang telah
memberikan banyak wejangan, ilmu yang bermanfaat serta semangat
untuk menempuh pendidikan tinggi.
13. Keluarga tercinta, khususnya untuk Ayah H. Abdul Karim dan Umi
Hj. Siti Anisah, Adik tersayang M. Ainul Yaqin, M. Ainur Rofiq yang
selalu memberikan doa dan motivasi tak terhingga selama proses studi
dan skripsi. Terima kasih untuk kasih sayang yang tak bertepi.
14. Ari Hardianto, SPd.I calon pendamping dunia akhirat, terima kasih
untuk motivasinya, waktunya, bantuannya dan doanya dalam
menyelesaikan skripsi ini.

ix
15. Dr. H. TB. Ace Hasan Syadzily, M.Si, anggota DPR RI Komisi VIII
beserta istri Hj. Rita Fitria, SPd.I yang telah banyak memberikan
inspirasi dan motivasi serta memberikan tempat untuk mengajar di
TPQ At Taawun.
16. Sahabat seperjuangan penulis Kurnia Anisah, S.Farm, Qoriatus
Sholiha, Miftahul Ma’wah, Ayu Wulan Sari, Siti Anisah Mahfudzhoh
sahabat di Community Santri Scholar of Ministry of Religious Affairs
(CSS MoRA), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
KOPRI dan ASPI PMII Cabang Ciputat, Sahabat-sahabat terbaikku di
Promosi Kesehatan 2010, Promkes 2011, Kesmas 2010, terima kasih
atas kebersamaan yang telah kita lalui selama empat tahun ini semoga
kebersamaan ini selalu terjaga
17. Terima kasih untuk seluruh sahabat Redaktur majalah SANTRI CSS
MoRA Nasional, sahabat seprofesi di LSM Indonesian Women’s
Institute (IWI) Hj. Siti Haniatunnisa Ma’ruf Amin, LLB, MH, Any
Arifaeni, SThi, sahabat di Himpunan Pengusaha Santri Indonesia
(HIPSI), sahabat Pimpinan Wilayah Fatayat NU Banten, Pimpinan
Cabang Fatayat Tangerang Selatan.
18. Terima kasih untuk anak didikku di TPQ At-Ta’awun, member-
member ku dan sahabat tutor di Alphabet English Course and Camp.
19. Terima kasih untuk kakak angkatku di CSS MoRA Kak Ida Farida,
SKM, Zumroti, SKM, Liazul Kholifah, SKM, Azizatul Hamidiyah,
SKM dan adik angkatku di CSS MoRA, Sukma Mardiyah, Astuti, Sri
Purwanti, semoga kebersamaan kita tetap terjaga.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
kurang dari sempurna sehingga penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran demi kemajuan dan kesuksesan di masa yang akan datang.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Ciputat, 04 September 2014


(Surotul Ilmiyah)

x
LEMBAR PERSEMBAHAN

Detik ini, Hari ini


Bulan dan Bintang bersaksi
Mereka bercerita pada batu pualam,
Cerita tentang gadis kecil yang tak asing
Wajahnya berseri,
Ia berjalan memegang buku, memanggul tas punuknya
Ia bercerita tentang memoar kejoranya sejak kecil hingga dewasa
Berkali-kali Ia terjatuh, berdarah ..
Namun berkali-kali pula ia terbangun lagi dan berada di puncak
Di dadanya, yang ada hanya satu
Bagaimana aku bisa menjadi bintang untuk ayah
Bagaimana aku bisa menjadi cahaya untuk bunda
Bagaimana aku bisa menjadi tajalli untuk Allah dan Rosulnya
Gadis itu tertunduk dan terpaku
Kini ia sudah tumbuh seindah mawar berduri
Indah dilihat dan sulit diraih
Cita-citanya hanya satu
Ingin memegang toga dan bersujud di pangkuan ayah bunda
Menebar senyum untuk desanya,
Menebar ranum untuk bangsanya,
Menebar kejora untuk agamanya,
Kini, toga itupun dalam genggaman,
Semoga keberuntungan dan keberkahan selalu dihadapan.
Cinta dan Cita ini untukmu Ayah, Bunda
Terima kasih untuk segalanya..

It’s begin from My Parent’s Dream in my name.. “Surotul Ilmiyah”


Semoga tetap menjadi Teladan dan Pelita dalam Ilmu Pengetahuan

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk kedua orang tuaku tersayang.


H. Abdul Karim dan Hj. Siti Anisah.
Terima kasih atas semua cinta dan doa yang mengiringi langkah..

“Hidup itu bukan sekedar untuk hidup, hidup juga bukan sekedar untuk mati,
tapi hidup itu untuk hidup selamanya” (Ayah)

xi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ……………....……………………………..…. i

ABSTRAK …………………………………………………………............. ii

ABSTRACT ……………………………………………………….............. iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ……………………………………....... iv

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………................... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................................vi

KATA PENGANTAR…………………………………………………..... viii

LEMBAR PERSEMBAHAN……………………………………............... xi

DAFTAR ISI ……………………………………………………………... xii

DAFTAR TABEL ………………………………………………………...xvii

DAFTAR BAGAN ……………………………………………………... xviii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. xix

DAFTAR LAMPIRAN ………….............................................................. xx

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…….....……………………………………….…......1

1.2 Rumusan Masalah...………………….………………………….....10

1.3 Pertanyaan Penelitian……………….……………………………...12

1.4 Tujuan Penelitian ……..…….……………………..……….……...13

1.5 Manfaat Penelitian.……………………………………….…........14

1.3.1 Bagi Puskesmas Ciputat……………………………………...14

1.3.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat.......………..........14

1.3.3 Bagi Peneliti Lain .............…………………………….……..14

xii
1.6 Ruang Lingkup Penelitian................................................................14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV-AIDS………………………….....……….………16

2.1.1 Pengertian HIV…………………..………………………….16

2.1.2 Pengertian AIDS..........................………….....…………… 17

2.1.3 Cara Penularan HIV........................………………………...18

2.1.4 Mengetahui Status HIV......................…………...……….....19

2.1.5 Hal-Hal yang tidak menularkan HIV..........………………...19

2.1.6 Proses Infeksi..........................................................……….. 20

2.1.7 Penyakit Penyerta AIDS.........................................………...22

2.1.8 Terapi untuk Pegidap HIV......................................………...27

2.1.9 Pencegahan Penularan HIV........................………………...28

2.2 Voluntary Counseling and Testing (VCT) ...............................……30

2.2.1 Definisi VCT...............................………………..................30

2.2.2 Tujuan VCT............................………………......................31

2.2.3 Tahap VCT...........................................................................32

2.2.4. Prinsip Pelayanan VCT.......................................................33

2.3 Pemasaran Sosial..............................................................................35

2.3.1 Batasan dan Pengertian .......................................................37

2.3.2 Prinsip Pemasaran sosial......................................................38

2.3.3 Langkah Kegiatan Pemasaran Sosial...................................39

2.3.4 Langkah Perencanaan Pemasaran Sosial.............................39

2.3.5 Faktor Penentu Keberhasilan Pemasaran Sosial..................45

2.4 Kerangka Teori................................................................................ 49

xiii
BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH

3.1. Kerangka Pikir………………………….....................................51

3.2. Definisi Istilah……………………………………….................52

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian .............................................................................56

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.........................................................57

4.3 Informan Penelitian…………………………………...................63

4.4 Pengumpulan Data .......................................................................63

4.5 Instrumen Penelitian.....................................................................64

4.6 Sumber Data.................................................................................64

4.7 Validasi Data................................................................................65

4.8 Pengolahan dan Analisis Data .....................................................66

4.9 Penyajian Data..............................................................................67

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................68

5.1.1 Situasi HIV-AIDS di Ciputat Tangerang Selatan.............70

5.1.2 Layanan HIV-AIDS di Kota Tangerang Selatan..............70

5.1.3 Klinik VCT di Puskesmas Ciputat....................................71

5.1.4 Sumber Daya Manusia VCT.............................................71

5.1.5 Anggaran Kesehatan Klinik VCT.....................................71

5.1.6 Visi dan Misi Puskesmas..................................................72

5.2 Gambaran Informan Penelitian.....................................................72

5.3 Gambaran Perencanaan Pemasaran Sosial Program VCT............74

xiv
5.4 Gambaran Perencanaan Latar Belakang, Tujuan dan Fokus

Program........................................................................................78

5.5 Gambaran Analisis Situasi Program VCT di Puskesmas Ciputat.88

5.6 Gambaran Perencanaan Segmentasi Pasar....................................90

5.7 Gambaran Tujuan dan Target Pemasaran Sosial.........................101

5.8 Gambaran Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku.......104

5.9 Gambaran Pernyataan Positioning.............................................. 110

5.10 Gambaran Bauran Pemasaran (Marketing Mix).........................110

5.11 Gambaran Perencanaan Pemantauan dan Evaluasi.....................118

5.12 Gambaran Perencanaan Anggaran Biaya....................................122

5.13 Gambaran Perencanaan Implementasi Kampanye, Manajemen.123

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian..................................................................128

6.2 Gambaran Perencanaan Pemasaran Sosial Program VCT.............129

6.3 Gambaran Perencanaan Latar Belakang, Tujuan, Fokus Program 134

6.4 Gambaran Analisis Situasi Program VCT di Puskesmas Ciputat...139

6.5 Gambaran Perencanaan Segmentasi Pasar......................................144

6.6 Gambaran Tujuan dan Target Pemasaran Sosial.............................149

6.7 Gambaran Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku..........152

6.8 Gambaran Pernyataan Positioning..................................................155

6.9 Gambaran Bauran Pemasaran (Marketing Mix).............................156

6.10 Gambaran Perencanaan Pemantauan dan Evaluasi.......................163

6.11 Gambaran Perencanaan Anggaran Biaya......................................168

6.12 Gambaran Perencanaan Implementasi Kampanye, Manajemen...169

xv
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN.......................................................173

7.1 Simpulan…………………….........……......…….….....................173

7.2 Saran…………………….........……......………………................176

DAFTAR PUSTAKA…………………….........……......…….….............xxi

LAMPIRAN

xvi
DAFTAR TABEL

No. Tabel

Tabel 3.1 Matriks Definisi Istilah...................................................................51

Tabel 4.1 Informan Penelitian........................................................................59

Tabel 5.1 Tenaga Kesehatan Voluntary Counselling and Testing (VCT)...73

Tabel 5.2. Informan Penelitian......................................................................76

Tabel 6.1 Analisis SWOT Pemasaran Sosial Program VCT di Puskesmas

Ciputat........................................................................................ 143

Tabel 6.2 Strategi Produk Pemasaran Sosial VCT..................................... 157

Tabel 6.3 Peran Pihak Yang Terlibat dalam Pemasaran Sosial VCT

Puskesmas Ciputat..................................................................... 172

xvii
DAFTAR BAGAN

No. Bagan

Bagan 2.1 Roda Pemasaran Sosial................................................................38

Bagan 4.1 Pengolahan dan Analisis Data.....................................................68

xviii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Peta Penyebaran Kasus HIV-AIDS Tangerang Selatan 2014...... 70

Gambar 5.2 Ruang Konseling dan Tes HIV......................................................116

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Persetujuan Penelitian

Lampiran 2 Pedoman Wawancara Mendalam

Lampiran 3 Lembar Observasi

Lampiran 4 Lembar Telaah Dokumen

Lampiran 5 Matriks Hasil Wawancara

Lampiran 6 Grafik Kasus HIV Tangerang Selatan

xx
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Ricardi. (2013). Target Adopter Transformasi Pemasaran Sosial yang

Mengubah Wajah Indonesia. Jakarta: UI Press.

Basir, Abdul. (2006). Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Minat Ulang

Konsumen Menggunakan Pelayanan Rawat Jalan di Klinik “Aba Medica“

Jepara. Semarang: Universitas Diponegoro Semarang.

Buchari A, 2005. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Alfabeta,

Bandung.

Cheng, Hong, Kotler, Lee. 2009. Social Marketing for Public Health An

Introduction. USA: Jones and Bartlett Publishers.

Clinical Services Unit FHI. 2007. Standar Operasional Prosedur Klinik IMS dan

VCT. Jakarta: Family Health Indonesia (FHI).

Cooper D.R dan Schinder, P.S. 2006. Metode Riset Bisnis. Jakarta: Media Global

Edukasi.

Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed

Methods Approaches, SAGE dalam Badriyah F dan Alkaff R. 2013.

Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing

HIV-AIDS secara Sukarela (Voluntary Counseling and Testing). Jakarta:

Departemen Kesehatan RI.

Dinas Kesehatan Banten. 2012. Estimasi Jumlah Populasi Kunci Tahun 2012.

Pamulang: Dinas Kesehatan Tangerang Selatan.

xxi
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2013. Laporan Bulanan Program

Pengendalian Penyakit HIV-AIDS Kota Tangerang Selatan Proyek GF ATM

Komponen AIDS Bulanan Q-15 Bulan Januari s.d Maret 2014. Pamulang:

Dinas Kesehatan Tangerang Selatan

Dinas Kesehatan Provinsi Banten. 2006. Konseling dan Tes HIV Sukarela

(Voluntary Counselling and Testing) Informasi untuk Petugas Kesehatan

dan Penjangkau Masyarakat. Banten: Dinas Kesehatan

Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. 2012. Estimasi Jumlah Populasi Kunci

Tahun 2012. Pamulang: Dinas Kesehatan Tangerang Selatan.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kementrian Kesehatan RI. (2013). Laporan Perkembangan HIV-AIDS

Triwulan III Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Ditjen PP & PL DepKes RI, 2006. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing

HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Counseling and Testing). Jakarta.

http://www.aids-ina.org/files/publikasi/panduanvct.pdf

Ermarini, Anggia. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan

Layanan VCT pada Populasi Berisiko Tinggi HIV/AIDS di Provinsi Banten

Tahun 2013. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

ibid. 2013. Panduan Penanggulangan AIDS Perspektif Nahdlatul Ulama. Jakarta:

PP LKNU

Glanz, Karen, Lewis, F.M., Rimer, B.K (2008). Health Behavior and Health

Education Theory, Research, and Practice. Fourth Edition. San Fransisco:

Jossey-Bass Publishers. Jakarta Philip Kotler and Nancy R. Lee’s: Social

Marketing: Influencing Behaviors for Good, 3rd Ed., Sage, 2008.

xxii
ibid. (1997). Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and

Practice. Second Edition. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Gordon, Ross dkk. 2006. The Effectiveness of Social Marketing Interventions for

Health Improvement: What’s The Evidence?.UK: The Royal Institute of Public

Health

Hardiyanto. 2008. Modul Dasar-Dasar Pemasaran. Jakarta: Fakultas Ilmu

Komunikasi Universitas Mercu Buana

Kasali, Renald. 2007. Membidik Pasar Indonesia. Jakarta: Gramedia

Keller, Anand Punam. 2008. Designing Effective Health Communications: A

Meta-Analysis. USA: Tuck School of Business at Dartmouth American

Marketing Association

Kementrian Kesehatan. 2011. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV

(Voluntary Counseling dan Testing = VCT) Untuk Konselor HIV Panduan

Peserta. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

ibid. 2013. Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV-AIDS Sektor Kesehatan

2014-2019. Jakarta

ibid. 2013. Final Laporan HIV-AIDS Triwulan III 2013. Jakarta: P2PL Kemenkes.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan

Dasar Puskesmas

http://bksikmikpikkfki.net/file/download/KMKNo.128Th2004ttg Kebijakan

DasarPuskesmas.pdf. diakses tanggal 15 Juli 2014 pukul 20.00 WIB.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1507/MENKES/SK/X/2005 Tentang Pedoman Pelayanan konseling dan

testing HIV/AIDS secara Sukarela (Voluntary Counselling and Testing)

xxiii
www.perpustakaan.depkes.go.id diakses tanggal 23 juni 2014 pukul 12.00

WIB

Komisi Penanggulangan AIDS. 2007. Voluntary Conseling Test (VCT). Jakarta.

http://kpa-provsu.org/vct.php

Kotler, Philip. (2002). Marketing Management, Millenium Edition. USA: Pearson

Custom Publishing.

Laporan Bulanan Program Pengendalian Penyakit HIV-AIDS Kota Tangerang

Selatan tahun 2014,

Lee, Nancy & Kotler. 2012. Social Marketing Influencing Behaviors for Good

Fourth Edition. USA: SAGE Publication.

Maulana, Heri. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Milles, M.B. and Huberman, M.A. 1984. Qualitative Data Analysis. London:

Sage Publication

ibid. 1984. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication dalam Sahid,

Rahmat. 2011. Analisis Data Penelitian Kualitatif Model Miles Dan

Huberman. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:

Remaja Rosdakarya

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta:

Rineka Cipta

Notoatmodjo. 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka

Cipta.

xxiv
Novelli, D. William. (1990). Applying Social Marketing to Health Promotion and

Disease Prevention dalam Glanz, Karen, Lewis, F.M., Rimer, B.K. Health

Behavior and Health Education Theory, Research, and Practice. First

Edition. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Nursalam, Kurniawati Ninuk D., 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien

Terinfeksi HIV/AIDS. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2013. Profil Kesehatan

Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

ibid. 2013. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta: Kementrian

Kesehatan RI.

Pusat Promosi Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI. (2013). Pedoman

Pembinaan dan Penyuluhan Kampanye Pencegahan HIV-AIDS “Aku Bangga

Aku Tahu” Bagi Fasilitator Kabupaten/Kota. Jakarta: Kementrian Kesehatan

RI.

Puskesmas Ciputat. 2014. Formulir VCT. Ciputat: UPT Puskesmas Ciputat.

ibid. 2014. Laporan Bulanan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS/VCT) Juni

2014. Ciputat: Puskesmas

Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2010–2014

http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/regulasi/kepmenkes/RENST

RA_2010-2014.pdf diakses tanggal 30 Juni 2014 pukul 21.00 WIB.

Rimawati, Eti, dkk. 2011. Ketrampilan Konselor Klinik VCT (Studi Kasus di

BKPM Paru Semarang). Semarang: Semantik.

Ristrini. 2009. Implementasi Manajemen Pemasaran dalam Rangka Membangun

Citra (Image) Masyarakat terhadap Puskesmas. Jakarta: Pusat Penelitian dan

xxv
Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Badan Litbangkes

Kementrian Kesehatan RI.

Sampeluna, Noviana, dkk. 2013. Faktor Yang Berhubungan Dengan

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan DI RSUD Lakipadada Kabupaten Tana

Toraja, Makassar: Universitas Hasanudin

UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

http://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU 32 -2004 - pemenrintahdaerah.

diakses tanggal 15 Juli 2014 pukul 20.00 WIB.

UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat

dan daerah yang telah disempurnakan dengan UU No. 33 tahun 2004

ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/peraturan/uu/uu_33_2004.pdf diakses tanggal

15 Juli 2014 pukul 20.00 WIB..

WHO HIV Treatment. 2013. Core Epidemiological Slides HIV/AIDS Estimates

2013. United Stated: WHO.

Wulansari, Ayu. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Niat Ibu Hamil untuk

Memanfaatkan Layanan VCT di Puskesmas Ciputat Tahun 2014. Jakarta:

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

xxvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyebabkan AIDS

(Acquired Immunodeficiency Syndrome). Sedangkan AIDS adalah suatu gejala

berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh penurunan kekebalan

tubuh disebabkan oleh virus HIV. Infeksi tersebut menyebabkan penderita sangat

mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain. (Kementrian Kesehatan: 2011)

Dewasa ini, epidemi HIV-AIDS masih menjadi masalah serius kesehatan

masyarakat dunia, di negara maju maupun negara berkembang. Hal ini terbukti dengan

komitmen global pada target ketujuh MDGs (Millenium Development Goals) 2015

yaitu menghentikan dan mulai menurunkan kecenderungan penyebaran penyakit

HIV/AIDS. Data penemuan kasus WHO 2013 menunjukkan, tahun 2012 jumlah Orang

Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai 35,3

juta (32,2-38,8 juta) dengan infeksi HIV baru mencapai 2,3 juta (1,9-2,7 juta) dan

diperkirakan 1,6 juta (1,4-1,9 juta) orang meninggal karena AIDS. Setiap hari, sekitar

6.300 orang terinfeksi HIV, 700 orang pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun,

sekitar 5.500 infeksi pada orang remaja/dewasa muda berusia 15 tahun keatas, yaitu

47% wanita, 39% remaja usia 15-24 tahun (WHO: 2013).

Berdasarkan data WHO 2013, sekitar 95% orang terinfeki HIV adalah dari

negara berkembang. Data infeksi HIV dan kematian akibat AIDS tertinggi adalah di

negara sub sahara Afrika yaitu 25 juta, disusul dengan negara-negara Asia dan Asia

tenggara sebanyak 3,9 juta dengan kasus infeksi HIV baru mencapai 270.000 (160.000

1
– 440.000) orang. Prevalensi infeksi HIV pada remaja dan dewasa usia 15-49 tahun

sekitar 0,3% dan estimasi jumlah orang terinfeksi HIV dari remaja dan anak-anak

berkembang menjadi AIDS sekitar 220 000 orang.

Menurut Kementrian Kesehatan (2011), cara penularan paling utama di Asia

adalah melalui hubungan seks, dimana prevalensi HIV lebih dari 40%. Ledakan

epidemi HIV dari penasun terjadi di 100 kawasan di seluruh dunia. Penggunaan alat

suntik bersama lebih menonjol djumpai di banyak negara Asia, Eropa Timur dan

Selatan. Dari sini dapat dilihat bahwa Benua Asia khususnya Asia Tenggara termasuk

tertinggi kedua di dunia untuk kasus HIV-AIDS.

Kecenderungan epidemik baik tingkat global maupun regional secara umum

membentuk tiga pola epidemi, yaitu epidemi meluas (HIV sudah menyebar di

masyarakat umum), epidemi terkonsentrasi (HIV menyebar di kalangan sub populasi

tertentu seperti kelompok pekerja seks), dan epidemi rendah (HIV telah ada, namun

belum meluas ke sub populasi tertentu). Secara umum di Asia, negara yang tergolong

epidemi generalisata yaitu Kamboja, sebagian India, Myanmar, dan Thailand. Epidemi

terkonsentrasi yaitu sebagian China, Indonesia, Malaysia, Nepal dan Vietnam.

Sedangkan epidemi rendah yaitu Bangladesh, Bhutan, Laos, Filipina, Republik Korea,

dan Srilanka (Kementrian Kesehatan: 2011). Dari sini dapat dilihat bahwa Indonesia

tergolong negara dengan epidemi terkonsentrasi.

Secara kumulatif, Indonesia mengalami peningkatan kasus infeksi HIV-AIDS

sejak tahun 2005 sampai 2013. Profil kesehatan tahun 2013 menyebutkan, jumlah

kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sebanyak 118.787 orang. Sedangkan jumlah

kumulatif AIDS sebanyak 45.650 orang. Persentase kumulatif AIDS tertinggi yaitu

2
pada kelompok umur 20–29 tahun (34,5%), kemudian diikuti kelompok umur 30–39

tahun (28,7%), kelompok umur 40-49 tahun (10,6%), kelompok umur 15-19 tahun

(3,2%) dan 50-59 tahun (3,2%). Jumlah AIDS tertinggi adalah pada kelompok

wiraswasta (5630), ibu rumah tangga (5353), karyawan (4847), buruh kasar (1897),

penjaja seks (1771), petani, peternak, nelayan (1757), pelajar/ mahasiswa (1123).

Sedangkan faktor risiko penularan terbanyak adalah melalui heteroseksual (60,9%),

penasun (17,4%), diikuti penularan melalui perinatal (2,7%), dan homoseksual (2,8%).

(Kementrian Kesehatan: 2013). Data menunjukkan bahwa infeksi HIV mulai menyebar

ke masyarakat luas (epidemi generalisata), terutama kalangan ibu rumah tangga dan

wiraswasta, selain dari penjaja seks.

Laporan triwulan III Kementrian Kesehatan 2013 menunjukkan, Provinsi

dengan infeksi HIV terbanyak adalah DKI Jakarta (27.224), Jawa Timur (15.273),

Papua (12.840), Jawa Barat (9.340), Jawa Tengah (5882), Bali (7791), Sumatera Utara

(7588), Jawa Tengah (5882), Kalimantan Barat (3973), Kepulauan Riau (3640),

Sulawesi Selatan (3563), Banten (2983). Sedangkan, sepuluh provinsi dengan kasus

AIDS terbanyak adalah Papua (7.795 kasus), Jawa Timur (7.714 kasus), DKI Jakarta

(6299 kasus), Jawa Barat (4131 kasus), Bali (3798 kasus), Jawa Tengah (3348 kasus),

Kalimantan Barat (1699 kasus), Sulawesi Selatan (1660 kasus), Banten (957 kasus),

dan Riau (951 kasus) (Kementrian Kesehatan: 2013).

Dari laporan diatas dapat dilihat bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan

provinsi tertinggi. Namun, dalam laporan triwulan III Kemenkes 2013 menunjukkan,

akses Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP) HIV untuk DKI Jakarta juga tinggi

yaitu sebanyak 33.894 (101%) yang sudah mendapatkan perawatan HIV dari 33.523

3
total kasus HIV-AIDS. Sedangkan akses perawatan HIV di Banten hanya 1.906 (48%)

dari 3.940 total kasus HIV-AIDS. Akses PDP ini juga mencakup akses VCT. Banten

juga merupakan provinsi urutan kesembilan dengan kasus AIDS terbanyak di

Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya masalah terkait dengan akses kesehatan HIV-

AIDS di Provinsi Banten. Sedangkan, Profil Kesehatan 2012 menyebutkan, estimasi

populasi berisiko HIV-AIDS tahun 2012 di Provinsi Banten cukup besar yaitu 20.000

orang yang terdiri dari WPS (Wanita Pekerja Seks), MSM (Man Sex Man), IDU

(Injection Drug Use), dan Waria.

Dalam laporan triwulan III Kemenkes 2013 disebutkan, Kota Tangerang Selatan

merupakan kota dengan angka temuan kasus terendah di Banten yaitu 17 kasus infeksi

HIV dari total 28 kasus AIDS kumulatif. Selain itu, tiga Kab/Kota dengan angka

temuan kasus terendah lain yaitu Kab. Pandeglang, Kab. Lebak, Kota Serang.

Kabupaten/Kota dengan angka tertinggi dalam temuan kasus yaitu Kab. Tangerang 125

kasus dari 303 kasus, Kota Tangerang 85 dari total 302 kasus, Kota Cilegon 44 dari 82

total kasus, Kab. Serang 35 dari 91 kasus.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Banten 2012, Kota Tangerang

Selatan memiliki estimasi populasi beresiko tertinggi kedua di Banten yaitu 18.488

orang. Jumlah tersebut terdiri dari 11.741 Laki-laki Seks dengan Laki-laki (LSL), 236

Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung (WPSTL), 2.334 pelanggan WPSTL, 70 Wanita

Pekerja Seks Langsung (WPSL), 1.196 pelanggan WPSL, 357 waria, 2.451 pelanggan

waria, 103 orang pengguna jarum suntik (Dinas Kesehatan Banten: 2012).

Melihat peningkatan epidemi HIV-AIDS pada populasi beresiko dan adanya

gejala perluasan ke populasi tertentu, maka Kementrian Kesehatan mengeluarkan

4
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-

AIDS. Peraturan ini mengatur upaya-upaya promotif, preventif, konseling testing HIV

serta pengobatan sebagai landasan untuk meningkatkan upaya-upaya didalam

penanggulangan HIV-AIDS. Program Konseling dan Tes HIV atau Voluntary

Counseling and Testing (VCT) dianggap sebagai pintu masuk bagi masyarakat untuk

memperoleh akses ke semua layanan HIV-AIDS, penemuan kasus secara dini,

pengobatan segera, serta peningkatan pengetahuan dan perubahan perilaku dalam

pencegahan HIV (Kementrian Kesehatan: 2011).

Di Indonesia, Program penanggulangan HIV/AIDS melalui pengamanan darah,

komunikasi-informasi dan edukasi (KIE) telah berjalan cukup baik, namun program

pelayanan dan dukungan masih terbatas, khususnya program konseling dan tes sukarela

(Voluntary Counselling and Testing). Di negara maju, VCT merupakan komponen

utama dalam program penanggulangan HIV/AIDS, tetapi sampai kini VCT belum

merupakan strategi besar di negara berkembang, termasuk Indonesia (Rahmawati:

2011).

Voluntary counseling and testing (VCT) merupakan salah satu strategi

kesehatan masyarakat. VCT yang berkualitas baik tidak saja membuat orang

mempunyai akses terhadap berbagai pelayanan, tetapi juga efektif bagi pencegahan

terhadap HIV. Pelayanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko dan

memberikan informasi tentang pencegahan HIV. Klien dimungkinkan mendapat

pengetahuan tentang cara penularan, pencegahan, dan pengobatan terhadap HIV, seperti

penggunaan kondom, tidak berbagi alat suntik, dan penggunaan alat suntik steril. VCT

5
dapat dibangun di berbagai layanan yang terintegrasi di pelayanan kesehatan baik

formal atau klinik yang terletak di komunitas (Kementrian Kesehatan: 2011).

Berdasarkan data laporan triwulan Kemenkes 2013, layanan HIV-AIDS di

Indonesia yang aktif melaporkan sebanyak 899 layanan Konseling dan Tes HIV.

Jumlah kunjungan masyarakat untuk VCT ada 203.654 orang. Namun, yang berhasil

melakukan tes VCT sejumlah 187.061 orang, dengan kasus HIV positif sebanyak

10.210 orang atau 5,5 %. Profil Kesehatan 2012, sebanyak 4,152 orang beresiko yang

berkunjung ke klinik VCT di Provinsi Banten. Hal ini masih sedikit jika di bandingkan

dengan estimasi populasi berisiko HIV/AIDS tahun 2012 di Provinsi Banten yaitu

sebanyak 20.000 orang (Profil Kesehatan: 2012).

Sedangkan di Kota Tangerang Selatan, menurut laporan triwulan III Kementrian

Kesehatan tahun 2013, jumlah yang melakukan tes VCT di Puskesmas sebanyak 99

orang, yaitu 98 orang di Puskesmas Ciputat dan 1 orang di Puskesmas Jombang.

Namun, dari 99 orang yang melakukan tes VCT di Puskesmas se-Tangerang Selatan,

hanya terdapat sebanyak 17 orang yang terdeteksi HIV positif yaitu di Puskesmas

Ciputat. Semua klien VCT ini hanya berasal dari populasi kunci atau kelompok

populasi beresiko tinggi seperti transgender, pekerja seks, pengguna NAPZA, bukan

masyarakat umum.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa Puskesmas Ciputat termasuk satu-satunya

Puskesmas di Tangerang Selatan yang aktif menjaring infeksi HIV melalui pelayanan

VCT. Puskesmas Ciputat juga termasuk puskesmas pertama di Tangerang Selatan yang

memiliki layanan VCT. Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan

penanggungjawab VCT di Puskesmas Ciputat, selama ini pemeriksaan VCT masih

6
didominasi oleh kelompok kunci yang sebelumnya telah melakukan terapi metadon.

Artinya, pelayanan tes VCT hanya dilakukan oleh sejumlah kecil kelompok, belum

secara umum dimanfaatkan oleh masyarakat luas sekitar Ciputat. Padahal, Kementrian

Kesehatan (2011) mengatakan, sasaran VCT adalah masyarakat umum terutama

penduduk usia 15 tahun keatas sesuai dengan Sasaran Strategis Pengendalian HIV-

AIDS dan IMS tahun 2010-2014.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Tangerang Selatan 2014, dari tujuh

kecamatan di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Kecamatan Ciputat merupakan

dominan wilayah yang terdiagnosa oleh penyakit HIV AIDS. Ciputat merupakan zona

merah kasus HIV-AIDS di Kota Tangerang Selatan dengan total kasus 83 orang.

Wilayah tertinggi kedua yaitu Pamulang dengan total kasus 55 orang. Wilayah tertinggi

ketiga yaitu Pondok Aren 47 orang.

Hasil wawancara dengan Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan menyebutkan, potensi HIV-AIDS yang tidak terdeteksi masih cukup

banyak mengingat adanya lokasi yang beresiko di Ciputat seperti di Alang-Alang,

Tegal Rotan, Kampung Sawah, Pondok Kacang Timur, Setu, Victor dan beberapa

layanan panti pijat. Puskesmas Ciputat merupakan salah satu Puskesmas yang

memberikan layanan VCT di Tangerang Selatan, selain puskesmas Jombang dan

puskesmas yang baru membuka layanan VCT seperti Puskesmas Pondok Aren, Setu

dan Kampung Sawah. Layanan VCT ini bertujuan untuk menjaring pasien yang

terinfeksi HIV terutama pasien yang berasal dari daerah ciputat dan sekitarnya.

Pada unit layanan VCT ini, pasien akan mendapatkan konseling atau

penyuluhan individu langsung yang merupakan salah satu kegiatan dari program

7
penanggulangan HIV-AIDS di Puskesmas Ciputat. Layanan VCT di Puskesmas Ciputat

ini masih tergolong baru dua tahun beroperasi, namun termasuk puskesmas yang aktif

menjaring pasien HIV dibanding dengan puskesmas yang lain.

Hasil wawancara mendalam dengan Penanggungjawab Program VCT di

Puskesmas Ciputat menunjukkan, layanan VCT sudah beroperasi dari tahun 2010

setelah melalui pelatihan konselor VCT dari Kementrian Kesehatan RI. Namun,

terdapat beberapa kendala yang dialami puskesmas dalam peningkatan layanan VCT.

Kendala-kendala tersebut berupa kurangnya jumlah sumber daya kesehatan (SDM)

VCT, baik SDM konselor yang melakukan layanan VCT, maupun koordinator

pelayanan non medis yang melakukan upaya promosi kesehatan. Puskesmas mengaku,

kendala yang dirasa paling prioritas adalah kurangnya upaya perencanaan pemasaran

sosial program VCT pada masyarakat umum. Lemahnya perencanaan pemasaran sosial

ini berdampak pada sedikitnya hasil penjaringan klien VCT.

Penanggungjawab program VCT di Puskesmas mengatakan, target VCT setiap

bulan minimal ada 50 orang yang memeriksakan diri, namun kenyataannya terdapat

kurang dari 20 orang saja dalam satu bulan. Berdasarkan hasil telaah dokumen laporan

bulanan VCT Puskesmas Ciputat juni 2014, jumlah klien yang berkunjung bulan juni

hanya sebanyak lima orang. Hal ini terlihat ada indikasi kurangnya minat masyarakat

untuk mendatangi layanan VCT di Puskesmas Ciputat.

Kurangnya minat ini disebabkan oleh beberapa faktor, menurut Sampeluna

(2013) faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah keluarga

dan kelompok acuan. Pemasaran sosial merupakan rekomendasi upaya yang efektif

untuk mendukung masyarakat memanfaatkan layanan kesehatan. Sedangkan menurut

8
Bashir (2006) minat masyarakat dalam pemanfaatan layanan kesehatan dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu adanya dukungan kelompok acuan (keluarga, teman,

tetangga) serta adanya kegiatan promosi kesehatan menggunakan strategi pemasaran

sosial program.

Menurut Ermarini (2013), faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan

layanan VCT di Banten yaitu umur, jenis kelamin, jenis populasi kunci dimana WPS

sebagai reference, pengetahuan VCT, keyakinan manfaat VCT, dukungan LSM dan

dukungan petugas kesehatan. Sedangkan yang tidak berhubungan adalah status

perkawinan, pendidikan, pengetahuan HIV, dukungan teman, dukungan keluarga dan

dukungan pasangan. Menurut Hardiyanto (2008) pada tahap pengetahuan tentang

produk kesehatan, diperlukan program komunikasi yang menyampaikan isi secara rinci

dan jelas dengan frekuensi penampilan pesan yang cukup tinggi agar ekspos cukup

kuat untuk memberikan pengetahuan. Oleh karena itu diperlukan perencanaan

pemasaran sosial program untuk menumbuhkan minat dalam pemanfaatan produk

kesehatan.

Menurut pengakuan Penanggungjawab program VCT Puskesmas Ciputat, salah

satu upaya pemasaran sosial yang telah dilakukan puskesmas yaitu sosialisasi program

melalui lokakarya bulanan (lokbul), lokakarya mingguan (lokmin), rapat koordinasi

kelurahan (rakorkel) dan setiap ada kesempatan di pelayanan kesehatan. Rata-rata klien

yang datang periksa adalah orang yang sudah memanfaatkan layanan Program Terapi

Rumatan Metadon (PTRM) dan dari rujukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Berdasarkan studi pendahuluan diatas didapatkan fakta bahwa minat masyarakat

dalam pemanfaatan layanan VCT masih kurang. Hal ini dikarenakan perencanaan

9
pemasaran sosial program VCT masih belum optimal, sehingga berimbas pada

sedikitnya jumlah klien yang memanfaatkan layanan VCT di Puskesmas Ciputat.

Berdasarkan fakta tersebut, peneliti mengangkat masalah penelitian yaitu kurangnya

minat masyarakat untuk melakukan pemeriksaan VCT yang disebabkan kurangnya

perencanaan pemasaran sosial program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas

Ciputat.

Oleh karena itu, peneliti bermaksud melakukan kajian lebih mendalam tentang

gambaran pemasaran sosial program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas

Ciputat Tahun 2014 yang meliputi perencanaan pemasaran sosial berupa identifikasi

latar belakang, tujuan dan fokus program, analisis situasi, menentukan target sasaran,

tujuan dan target pemasaran, faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku, bauran

pemasaran, rencana pemantauan dan evaluasi, rencana anggaran dan perencanaan

implementasi kampanye dan manajemen.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Pelayanan VCT merupakan layanan kesehatan cuma-cuma yang disediakan

pemerintah untuk seluruh masyarakat. Puskesmas Ciputat tergolong puskesmas pertama

di Tangerang Selatan yang sudah memiliki layanan VCT. Namun, dalam

pelaksanaannya ditemukan adanya masalah dalam pelaksanaan VCT yaitu kurangnya

minat masyarakat untuk melakukan pemeriksaan VCT di Puskesmas Ciputat. Hal ini

dapat dilihat dari sedikitnya jumlah yang melakukan tes VCT setiap bulan yaitu rata-

rata hanya kurang dari 20 orang setiap bulan, padahal target Puskesmas Ciputat 50

orang setiap bulan. Kurangnya minat ini didukung dengan data kunjungan VCT

kumulatif di Puskesmas Ciputat, ternyata dari 99 orang yang berkunjung ke klinik

10
VCT, semuanya berasal dari kelompok kunci, bukan kelompok masyarakat umum.

Sedangkan, klien yang terdeteksi HIV positif hanya berjumlah 17 dari 99 orang. Pasien

infeksi HIV tersebut rata-rata adalah pasien tetap yang sudah menggunakan layanan

metadon dan rujukan dari LSM, padahal diluar itu masih banyak kelompok beresiko di

wilayah Ciputat, Tangerang Selatan.

Berdasarkan hasil wawancara, pihak puskesmas mengakui bahwa kurangnya

minat masyarakat ini disebabkan karena kurangnya perencanaan pemasaran sosial

program VCT, meskipun sudah ada upaya sosialisasi layanan VCT pada masyarakat.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kendala utama Puskesmas dalam pelaksanaan

layanan VCT adalah rendahnya minat masyarakat terhadap program, serta kurangnya

perencanaan pemasaran sosial program.

Atas dasar itu, peneliti ingin melihat gambaran pemasaran sosial program VCT

(Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat Tahun 2013. Dalam menentukan

fokus, peneliti menggunakan teori social marketing for public health Hong Cheng,

Philip Kotler, dan Nancy R. Lee (2009) yaitu 1) identifikasi latar belakang, tujuan dan

fokus program (describe background, purpose and focus), 2) analisis situasi (SWOT),

3) menentukan target sasaran (Target Audience Profiles), 4) tujuan dan target

pemasaran sosial (Marketing Objectives and Goals), 5) faktor yang mempengaruhi

perubahan perilaku (Factors influencing adoption of behavior), 6) pernyataan

positioning, 7) bauran pemasaran atau Marketing Mix Strategies (4P’s), 8) rencana

evaluasi, 9) rencana anggaran, 10) Perencanaan implementasi kampanye dan

manajemen.

1.3 PERTANYAAN PENELITIAN

11
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka berikut beberapa pertanyaan dalam

penelitian ini:

1) Bagaimana gambaran perencanaan pemasaran sosial program VCT (Voluntary

Conseling Test) di Puskesmas Ciputat?

2) Bagaimana gambaran perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus program VCT

(Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat?

3) Bagaimana gambaran perencanaan analisis situasi pemasaran sosial program VCT

(Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat?

4) Bagaimana gambaran perencanaan segmentasi pasar pemasaran sosial program

VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat?

5) Bagaimana gambaran perencanaan tujuan dan target pemasaran sosial program

VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat?

6) Bagaimana gambaran perencanaan identifikasi faktor yang mempengaruhi

perubahan perilaku pemanfaatan program VCT (Voluntary Conseling Test) di

Puskesmas Ciputat?

7) Bagaimana gambaran perencanaan pernyataan positioning pemasaran sosial

program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat?

8) Bagaimana gambaran perencanaan bauran pemasaran sosial program VCT

(Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat?

9) Bagaimana gambaran perencanaan pemantauan dan evaluasi (monev) pemasaran

sosial program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat?

10) Bagaimana gambaran perencanaan anggaran biaya pemasaran sosial program

VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat?

12
11) Bagaimana gambaran perencanaan kampanye implementasi dan manajemen

pemasaran sosial program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas

Ciputat?

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, maka berikut tujuan dari penelitian ini:

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran perencanaan pemasaran sosial program VCT

(Voluntary Conseling Test) HIV-AIDS di Puskesmas Ciputat

1.4.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui gambaran perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus

program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat

2) Mengetahui gambaran perencanaan analisis situasi pemasaran sosial

program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat

3) Mengetahui gambaran perencanaan segmentasi pasar pemasaran sosial

program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat

4) Mengetahui gambaran perencanaan tujuan dan target pemasaran sosial

program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat

5) Mengetahui gambaran perencanaan identifikasi faktor yang mempengaruhi

perubahan perilaku pemanfaatan program VCT (Voluntary Conseling Test)

di Puskesmas Ciputat

6) Mengetahui gambaran perencanaan pernyataan positioning pemasaran

sosial program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat

13
7) Mengetahui gambaran perencanaan bauran pemasaran sosial program VCT

(Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat

8) Mengetahui gambaran perencanaan pemantauan dan evaluasi (monev)

pemasaran sosial program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas

Ciputat

9) Mengetahui gambaran serta kendala dalam perencanaan anggaran biaya

pemasaran sosial program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas

Ciputat

10) Mengetahui gambaran perencanaan kampanye implementasi dan

manajemen pemasaran sosial program VCT (Voluntary Conseling Test) di

Puskesmas Ciputat

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Manfaat Bagi Puskesmas Ciputat

1. Mendapatkan masukan terkait perencanaan pemasaran sosial program

VCT HIV-AIDS

1.5.2. Manfaat Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa dan

dosen mengenai perencanaan pemasaran sosial program VCT HIV-AIDS.

1.5.3. Manfaat Bagi Peneliti Lain

Sebagai referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan dan rujukan

oleh peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian yang berhubungan

perencanaan pemasaran sosial program VCT HIV-AIDS.

1.6 RUANG LINGKUP

14
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa semester akhir Peminatan

Promosi Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perencanaan pemasaran sosial

program VCT (Voluntary Conseling Test) HIV-AIDS di Puskesmas Ciputat,

tahun 2014. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014

dengan sasaran objek yang diteliti yaitu Penanggungjawab program VCT

(Voluntary Conseling Test) di Puskesmas, tenaga promosi kesehatan, Kepala

Puskesmas Ciputat, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerjasama dengan Puskesmas dan Pasien

yang telah dan belum melakukan VCT di Puskesmas Ciputat. Penelitian ini

dapat dijadikan sebagai masukan dalam perencanaan pemasaran sosial

program VCT di Puskesmas Tangerang Selatan, khususnya Puskesmas

Ciputat. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif untuk

lebih menggali informasi. Metode yang digunakan yaitu wawancara

mendalam, observasi dan telaah dokumen.

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV dan AIDS

2.1.1 Pengertian HIV

HIV adalah nama virus yang merupakan singkatan dari Human

Immunodeficency Virus, yaitu virus atau jasad renik yang sangat kecil yang menyerang

sistem kekebalan tubuh manusia. Di dalam tubuh manusia terdapat sel-sel darah putih

yang berfungsi untuk melawan dan membunuh bibit atau kuman penyakit yang masuk

ke dalam tubuh manusia, sehingga manusia tidak jatuh sakit. Inilah yang disebut sistem

kekebalan yang merupakan daya tahan tubuh seseorang (Kemenkes: 2013).

Dalam sel darah putih, atau sistem kekebalan tubuh manusia terdapat sel CD4

(atau disebut juga sel T). Jika ada bibit penyakit, kuman atau virus yang masuk atau

menyusup ke dalam tubuh, sel CD4 akan mengenali si penyusup ini, kemudian

mengirimkan informasi tentang data-data si penyusup, sehingga tubuh memproduksi sel

darah putih yang sesuai untuk menangkal atau membunuh kuman, virus atau bibit

penyakit tersebut. Virus HIV yang masuk ke dalam tubuh manusia secara khusus

menjadikan sel-sel CD4 sebagai target sasarannya, dengan cara menghancurkan dinding

selnya, masuk dan berkembang atau memperbanyak diri di dalamnya, lalu keluar

mencari sel CD4 yang lain dan melakukan serangan yang sama, sehingga lama

kelamaan tubuh semakin banyak kehilangan sel-sel CD4 (Kemenkes: 2013)..

Pada tahap awal serangan, tubuh masih melakukan perlawanan, sel-sel CD4

yang belum terserang mengirim informasi tentang HIV ini, tubuh membentuk sel-sel

penangkal untuk menaklukkannya, namun lama kelamaan dengan semakin sedikitnya

16
jumlah sel-sel CD4, mengakibatkan semakin sedikit sel-sel pertahanan yang terbentuk

karena rusaknya sistem informasi sel darah putih. Akibatnya jumlah virus semakin

banyak dalam tubuh dan semakin menguasai.

2.1.2 Pengertian AIDS

Pada saat tubuh telah begitu parah kehilangan sel-sel CD4 hal ini berarti orang

tersebut telah masuk dalam kondisi AIDS. AIDS adalah sebutan untuk kondisi tubuh

seseorang yang sistem kekebalan tubuhnya telah sangat rusak, akibat serangan HIV.

AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang artinya

kumpulan gejala yang diakibatkan hilang atau berkurangnya kekebalan tubuh

(Kemenkes: 2013).

Pada kondisi ini tubuh telah sangat parah kehilangan sistem kekebalannya,

sehingga segala jenis kuman, virus dan bibit penyakit dapat menyerang tubuh tanpa

dapat dilawan. Bahkan untuk serangan penyakit atau virus yang paling umum seperti

influenza yang bagi orang sehat dapat hilang dengan sendirinya tanpa diobati, cukup

dengan makan dan istirahat/tidur, tidak demikian halnya dengan orang dalam kondisi

AIDS, baginya serangan influenza akan menetap lebih lama dan terasa lebih

menyakitkan.

Seseorang yang sudah masuk kondisi AIDS, yakni kekebalan tubuhnya sudah

rusak parah, akan dengan mudah diserang atau terinfeksi penyakit, bahkan kadang-

kadang beberapa penyakit sekaligus. Keadaan ini disebut infeksi oportunistik, yaitu

masuknya penyakit dalam tubuh karena sangat lemahnya daya tahan tubuh. HIV

memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar

17
menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem

kekebalan yang disebut limfoma.

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik

seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,

kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu

yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi

tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien (Kemenkes: 2013).

2.1.3 Cara Penularan HIV

Untuk berada di dalam tubuh manusia, HIV harus masuk langsung ke dalam

aliran darah orang yang bersangkutan. Sedangkan di luar tubuh manusia HIV sangat

cepat mati. HIV bertahan lebih lama di luar tubuh manusia hanya bila darah yang

mengandung HIV tersebut masih dalam keadaan belum mengering. Dalam media

darah kering HIV akan cepat mati. Di dalam tubuh manusia, HIV terutama terdapat

dalam cairan: darah, cairan kelamin (cairan sperma dan cairan vagina), dan ASI (air

susu ibu). Telah terbukti ketiga cairan inilah yang dapat menularkan HIV. (Kemenkes:

2013).

Penularan HIV terjadi jika ada kontak atau percampuran dengan cairan tubuh

yang mengandung HIV, yaitu:

- Melalui hubungan seksual

- Melalui darah, yaitu saat penggunaan jarum suntik yang tidak steril diantara

pengguna narkoba, dan melalui transfusi darah yang ternyata darah yang

ditransfusikan mengandung HIV, darah ibu ke bayi yanga dikandungnya dalm

18
rahimnya, dan alat suntik atau benda tajam yang tercemar drah yang

mengandung HIV (alat cukur, jarum akupuntur, alat tindik, dll).

- Melalui ASI, dari ibu yang mengidap HIV kepada bayi yang dikandungnya

Dua penyebab utama penularan (transmisi) HIV di Indonesia yaitu melalui

hubungan seksual, dan penggunaan jarum suntik yang tidak steril diantara pengguna

narkoba. (Kemenkes: 2013).

2.1.4 Mengetahui Status HIV

Untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi HIV, harus dilakukan tes darah

untuk melihat apakah ada zat anti-bodi HIV dalam darah, yang merupakan bukti

terdapatnya HIV dalam darah. Tes ini disebut Tes anti-bodi HIV atau Tes HIV.

Tes HIV ini termasuk bagian dari VCT (Voluntary Conselling and Testing) atau

KTS (Konseling dan Tes HIV Sukarela) yang terdapat di hampir semua rumah sakit

daerah. Orang yang terinfeksi HIV akan terlihat normal seperti orang sehat lainnya,

dan mungkin dia sendiri juga tidak tahu bahwa dirinya mengidap HIV (Kemenkes:

2013)

2.1.5 Hal-Hal yang Tidak Menularkan HIV

HIV mudah mati di luar tubuh manusia, maka HIV tidak dapat ditularkan

melalui kontak sosial sehari-hari seperti:

- Bersenggolan atau menyentuh

- Berjabat tangan

- Melalui bersin atau batuk

- Berenang bersama

19
- Menggunakan WC/toilet yang sama

- Tinggal serumah

- Menggunakan piring/alat makan yang sama

- Gigitan nyamuk atau serangga yang sama

2.1.6 Proses Infeksi

Secara singkat seseorang yang terinfeksi HIV akan mengalami tahapan yang

dibagi dalam empat stadium (Kemenkes: 2013).:

1) Stadium Satu

Stadium ini dinamakan window period (periode jendela). Stadium ini

dimulai sejak saat pertama terinfeksi HIV. Tidak ada tanda-tanda khusus,

dalam beberapa hari atau beberapa minggu orang tersebut mungkin akan

menjadi sakit dengan gejala-gejala mirip flu, yaitu adanya demam, rasa

lemas dan lesu, sendi-sendi terasa nyeri, batuk, dan nyeri tenggorokan.

Gejala-gejala ini akan berlangsung beberapa hari atau minggu saja,

kemudian hilang dengan sendirinya.

Jika dilakukan tes darah untuk HIV, hasilnya mungkin negatif, karena

belum terdeteksinya antibodi HIV dalam darah. Periode ini disebut Periode

Jendela (window period) yaitu sejak masuknya HIV ke dalam tubuh, diikuti

dengan perubahan serologis pada darah sampai tes anti-bodi terhadap HIV

dinyatakan positif.

Lamanya window period adalah satu sampai tiga bulan, bahkan dapat

sampai 6 bulan. Berbeda pada penyakit umumnya karena virus, jika

ditemukan anti-bodi dalam tubuh berarti ada cukup zat anti yang dapat
20
melawan virus tersebut. Pada HIV kebalikannya, jika ditemukan adanya

anti-bodi HIV dalam tubuh itu adalah konfirmasi adanya HIV dalam tubuh.

Meski masih dalam Periode Jendela, hasil tes darah untuk HIV masih

negatif, namun orang tersebut sudah dapat menularkan HIV kepada orang

sehat lainnya. (Kemenkes: 2013).

2) Stadium Dua

Stadium ini dinamakan HIV Positif Tanpa Gejala/Asimtomatik. HIV

telah berkembang biak, dan hasil tes darah untuk HIV dinyatakan positif.

Namun orang tersebut masih terlihat sehat, dan merasa sehat. Pada stadium

ini tidak ada gejala yang terlihat, orang tersebut masih terlihat sama seperti

orang sehat lainnya. Hal ini berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun.

3) Stadium Tiga

Stadium ini dinamakan munculnya gejala AIDS. Pada stadium ini,

sistem kekebalan tubuh menurun. Mulai muncul gejala meliputi diare kronis

yang tidak jelas penyebabnya, pembesaran kelenjar limfe atau kelenjar getah

bening secara tetap dan merata, tidak hanya muncul di satu tempat dan

berlangsung lebih dari satu bulan. Flu terus menerus (Kemenkes: 2013).

4) Stadium Empat

Stadium ini dinamakan tahap masuk ke kondisi AIDS. Sistem kekebalan

tubuh rusak parah, tubuh menjadi lemah terhadap serangan penyakit apapun.

Ditandai dengan adanya bermacam-macam penyakit, meliputi

toksoplasmosis pada otak, Kandidiasis pada saluran tenggorokan

(oesophagus), saluran pernafasan (trachea), batang saluran paru-paru

21
(bronchi) atau paru-paru dan sarkoma kaposi, dan berbagai kanker.

(Kemenkes: 2013).

2.1.7 Penyakit Penyerta AIDS

Jenis penyakit yang sering ditemukan pada pengidap yang telah masuk ke

kondisi AIDS yaitu:

1) Penyakit paru-paru utama

- Pneumonia pneumocystis (PCP)

Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang

memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang

terinfeksi HIV.

- Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi

lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat

(imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). TBC muncul sebagai

penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai

penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis

ekstrapulmoner). (Kemenkes: 2013).

Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan

tidak terbatasi pada satu tempat. TBC yang menyertai infeksi HIV sering

menyerang sumsum tulang, tulang,saluran kemih dan saluran pencernaan, hati,

kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan

demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat

munculnya penyakit ekstrapulmoner. (Kemenkes: 2013).


22
2) Penyakit saluran pencernaan utama

- Esofagitis

Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur

makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit

ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1

atau virus sitomegalo).

Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi

karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum

(seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli),

serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis,

mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV)

yang merupakan penyebab kolitis).

Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan

yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama

(primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek

samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare

(misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare

diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran

pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting

dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV

3) Penyakit syaraf dan kejiwaan utama

Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena

gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh

23
infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai

akibat langsung dari penyakit itu sendiri.

- Toksoplasmosis

Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-

satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak

dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga

dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru

- Meningitis kriptokokal

Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang

menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh

jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit

kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan

kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.

- Leukoensefalopati

Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi,

yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi

serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia

disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia

dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan

sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini

berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya

menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis(Kemenkes:

2013).
24
- Kompleks demensia AIDS

Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan

mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak

(ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula

oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang

mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin

- Kerusakan syaraf

Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan

kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi

HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T

CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah.

4) Kanker tumor ganas (malignan)

- Sarkoma Kaposi

Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien

yang terinfeksi HIV. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari

subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia yang juga disebut

virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit

dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain,

terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.

- Kanker getah bening

Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang

menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening,

25
misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya

(Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL).

- Limfoma

Limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang

terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis)

yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS.

Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus

herpes Sarkoma Kaposi.

- Kanker leher rahim

Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama

AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.

- Kanker lainnya, limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan

kanker anus.

5) Infeksi oportunistik lainnya

- Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak

spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi

oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus

sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus

besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina

mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan.

(Kemenkes: 2013).

- Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau

disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum

26
(setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah

endemik Asia Tenggara.

2.1.8 Terapi untuk Pengidap HIV

Ada beberapa macam obat ARV, penggunaan ARV secara kombinasi (triple

drugs) yang dijalankan dengan dosis dan cara yang benar mampu membuat jumlah

HIV menjadi sangat sedikit, bahkan sampai tidak terdeteksi. Menurut data Pokdisus

AIDS FKUI/RSCM, lebih dari 250 ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) yang

minum HIV secara rutin setiap hari, setelah 6 bulan jumlah viral load-nya

(banyaknya jumlah virus dalam darah) tidak terdeteksi (Kemenkes: 2013).

Meski sudah tidak terdeteksi, pemakaian ARV tidak boleh dihentikan, karena

jika dihentikan dalam waktu dua bulan akan kembali kekondisi sebelum diberi

ARV. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus

adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari

penerapan ARV.

Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk

penerapan pengobatan tersebut, diantaranya karena:

- Adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir (diare, tidak enak

badan, mual, dan lelah),

- Terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan

- Infeksi HIV tertentu yang resisten obat,

- Tingkat kepatuhan pasien, serta

- Kesiapan mental pasien, untuk memulai perawatan awal.

27
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV

menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah

mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun demikian, laju perkembangan

penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20

tahun. (Kemenkes: 2013).

Banyak faktor yang memengaruhi kecepatan perkembangan HIV dalam tubuh

seseorang, diantaranya ialah:

- Kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh)

dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih

lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami

perkembangan penyakit yang pesat.

- Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya

seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.

- HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang

akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.

- Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata

waktu berkembangan AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita

bertahan hidup.

2.1.9 Pencegahan Penularan HIV

Melihat kondisi yang harus dihadapi di atas, pilihan yang paling tepat yang bisa

dilakukan adalah mencegah agar tidak tertular, dengan berperilaku yang bertanggung

jawab baik bagi diri sendiri dan orang lain, menjauhi perilaku yang berisiko, menjauhi

28
situasi dan kondisi yang dapat membuat kita tertular, berperilaku sesuai dengan iman

dan norma agama serta adat budaya luhur bangsa kita(Kemenkes: 2013)..

Ada tiga cara pencegahan penularan HIV (termasuk ABCDE)

1) Pencegahan penularan melalui hubungan seksual (ABC)

- A = abstinence = puasa, tidak melakukan hubungan seksual sebelum

menikah. Hubungan seksual hanya dilakukan melalui pernikahan yang sah.

- B = be faithful = setia pada pasangan, yaitu jika telah menikah, melakukan

hubungan seksual hanya dengan pasangannya saja (suami atau istri sendiri).

Tidak melakukan hubungan seksual diluar nikah.

- C = using condom = menggunakan kondom, yaitu bagi salah satu pasangan

yang telah terinfeksi HIV agar tidak menularkan kepada pasangannya.

2) Pencegahan penularan melalui darah (termasuk DE)

- D = drugs = tidak menggunakan narkoba, karena saat sakaw tidak ada

pengguna narkoba yang sadar akan kesterilan jarum suntik, apalagi ada rasa

kekompakan untuk memakai jarum suntik yang sama secara bergantian, dan

menularkan HIV dari pecandu yang telah terinfeksi kepada pecandu lainnya.

- E = equipment = Mewaspadai semua alat-alat tajam yang ditusukkan ke

tubuh atau yang dapat melukai kulit, seperti jarum akupuntur, alat tindik,

pisau cukur, agar semuanya steril dari HIV lebih dulu sebelum digunakan,

atau pakai jarum atau alat baru yang belum pernah digunakan

- Mewaspadai darah yang diperlukan untuk transfusi, pastikan telah dites

bebas HIV

29
3) Pencegahan penularan dari ibu kepada anak

Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero)

selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat

persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama

kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25-45%. Risiko ini semakin besar jika

ibu telah masuk ke kondisi AIDS. Risiko dapat diturunkan jika dilakukan:

- Intervensi berupa pemberian obat antiretroviral (ARV) kepada ibu

selama masa kehamilan (biasanya mulai usia kehamilan 36 minggu);

- Kemudian ibu melakukan persalinan secara bedah (Caesar); dan

- Ibu memberikan susu formula sebagai pengganti ASI, karena ASI ibu

yang mengidap HIV mengandung virus (HIV).

2.2 Voluntary Counseling and Testing (VCT)

2.2.1 Definisi VCT

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No

1507/Menkes/SK/X/2005 tentang pedoman pelayanan konseling dan testing

HIV/AIDS secara sukarela, konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang

menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS,

mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang

bertanggungjawab, pengobatan, ARV dan memastikan pemecahaman

berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.

Komisi Penanggulangan AIDS (2007) mendefinisikan Voluntary

Counseling Test (VCT) sebagai proses konseling pra testing, konseling post

testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara
30
lebih dini membantu orang mengetahui status HIV. Konseling pra testing

memberikan pengetahuan tentang HIV dan manfaat testing, pengambilan

keputusan untuk testing, dan perencanaan atas isu HIV yang akan dihadapi.

Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti dan menerima status

(HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan.

Konseling HIV/AIDS adalah dialog antara seseorang (klien) dengan

pelayan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan

orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasikan diri dengan

stress dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS

(Nursalam: 2007). Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang

menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS,

mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang

bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai

masalah terkait dengan HIV/AIDS (Depkes: 2006)

2.2.2 Tujuan VCT

Menurut Nursalam (2007), VCT mempunyai tujuan sebagai berikut :

a. Upaya pencegahan HIV/AIDS.

b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan

klien tentang faktor-faktor risiko penyebab seseorang terinfeksi HIV.

c. Upaya pengembangan perubahan perilaku klien, sehingga secara dini

mengarahkan klien menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk

akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam

masyarakat.

31
2.2.3 Tahap VCT

a. Sebelum Deteksi HIV (Pra Konseling)

Pra konseling disebut juga konseling pencegahan AIDS. Dua hal yang

penting dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang menyebabkan

klien dapat berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS dan apakah klien mengetahui

HIV/AIDS dengan benar. Tujuan konseling pra tes HIV ini adalah agar klien

memahami benar kegunaan tes HIV/AIDS, klien dapat menilai risiko dan

mengerti persoalan dirinya, klien dapat menurunkan rasa kecemasannya, klien

dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupannya, klien memilih

dan memahami apakah ia akan melakukan tes darah HIV/AIDS atau tidak

(Nursalam: 2007)

b. Informed Consent – Testing HIV

Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) adalah persetujuan

yang diberikan oleh orang dewasa yang secara kognisi dapat mengambil

keputusan dengan sadar untuk melaksanakan prosedur (tes HIV dan

tindakan medik lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari

dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya

untuk suatu keperluan penelitian. Semua klien sebelum menjalani testing HIV

harus memberikan persetujuan tertulisnya. Untuk klien yang tidak mampu

mengambil keputusan bagi dirinya karena keterbatasan dalam memahami

informasi maka tugas konselor untuk berlaku jujur dan obyektif dalam

menyampaikan informasi sehingga klien memahami dengan benar dan dapat

menyatakan persetujuannya (Depkes: 2006)

32
Tes HIV adalah tes darah yang dilakukan untuk memastikan apakah

seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Hal ini perlu dilakukan agar

seseorang bisa mengetahui secara pasti status kesehatannya, terutama status

kesehatan yang menyangkut risiko perilaku seksualnya selama ini (Nursalam:

2007).

Prinsip Testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaanya.

Testing dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Testing yang digunakan adalah

testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma.

Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau

serumnya. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan

diagnosis, pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilans, dan untuk

penelitian (Depkes: 2006).

c. Konseling Pasca Testing

Konseling pasca testing merupakan kegiatan konseling yang harus

diberikan setelah hasil tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif,

konseling pasca tes sangat penting untuk membantu klien yang hasilnya positif

agar dapat mengetahui cara menghindarkan penularan HIV kepada orang lain.

Cara mengatasinya dan menjalani hidup secara positif. Bagi mereka yang hasil

tesnya HIV negatif, maka konseling pasca tes bermanfaat untuk membantu

tentang berbagai cara mencegah infeksi HIV di masa mendatang (Nursalam:

2007).

2.2.4. Prinsip Pelayanan VCT

Dalam buku Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS

33
Secara Sukarela (Voluntary Counseling and Testing) Departemen Kesehatan

(2006), prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT),

terdiri dari:

a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien,

tanpa paksaan, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak

ditangan klien. Kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan

transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat

sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan

yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen pegawai/tenaga kerja

Indonesia, dan asuransi kesehatan.

b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas.

Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat

semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga

kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan

didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus

disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak

berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi

kasus dari diri klien dapat diketahui.

c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif.

Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan

mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku

berisiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam

34
menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.

d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT.

WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang

dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing

senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau

konselor lainnya yang disetujui oleh klien.

2.3 Pemasaran Sosial

2.3.1 Batasan dan Pengertian

Komunikasi kesehatan adalah usaha yang secara sistematis untuk

mempengaruhi secara positif perilaku kesehatan masyarakat dengan

menggunakan berbagai prinsip dan metode komunikasi baik komunikasi

interpersonal maupun komunikasi massa. Tujuan utama komunikasi kesehatan

adalah perubahan perilaku kesehatan masyarakat. dan selanjutnya perilaku

masyarakat yang sehat tersebut akan berpengaruh kepada meningkatnya derajat

kesehatan masyarakat (Notoatmodjo: 2007).

Pemasaran sosial merupakan salah satu bentuk operasional komunikasi

kesehatan yang dewasa ini mulai digunakan dalam program kesehatan. Sebagai

contoh, upaya penanggulangan diare melalui rehidrasi oral, imunisasi,

penanggulangan kekurangan vitamin A dan keluarga berencana (Maulana:

2009). Philip Kotler dalam bukunya “Marketing for Nonprofit Organization”

yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa pemasaran sosial

adalah suatu proses membuat rancangan, implementasi dan pengawasan

35
program yang ditujukan untuk meningkatkan penerimaan gagasan sosial atau

perilaku pada suatu kelompok sasaran.

Berdasarkan teori Andreasen (1994) dalam artikel Storey di buku Glanz

dkk (2008), “Social marketing is the application of commercial marketing

technologies to the analysis, planning, execution and evaluation of programs

designed to influence the voluntary behavior of target audiences in order to

improve their personal welfare and that of their society”. Sedangkan

Shaluhiyah Z (2005) mendefinisikan pemasaran sosial sebagai penggunaan

konsep segmen pasar, riset konsumen, komunikasi, fasilitas, insentif dan

pengembangan konsep yang tujuannya adalah untuk memperbanyak respon dari

sasaran.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep pemasaran sosial,

dimana ilmu pemasaran sosial muncul terutama untuk mengatasi berbagai

masalah sosial yang ada di masyarakat, antara lain kesehatan, kebersihan

lingkungan, kemiskinan, pengangguran, lingkungan hidup dan lain-lain. Konsep

pemasaran sosial berkaitan dengan cara atau langkah untuk mengubah perilaku

masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.

Pemasaran sosial menurut Philip Kotler, Nancy Lee, dan Michael

Rothschild (2006) dalam Weger B (2011) “Social marketing is a process that

applies marketing principles and techniques to create, communicate, and

deliver value in order to influence target audience behaviors that benefit society

(public health, safety, the environment, and communities) as well as the target

audience.” Selanjutnya pemasaran dalam kontek promosi kesehatan adalah

36
keterampilan manajemen hal mengidentifikasi kesempatan-kesempatan untuk

memenuhi permintaan konsumen atau klien sehingga memberikan perlindungan

maksimal dan/ atau perbaikan dalam kesehatan mereka. (Elwest 1994 dalam

Maulana 2009).

2.3.2 Prinsip Pemasaran sosial

Pemasaran sosial pada dasarnya adalah penerapan konsep dan teknik

pemasaran untuk mendapatkan manfaat sosial. Dengan demikian, prinsip dan

kegiatan pemasaran sosial tidak berbeda dengan pemasaran komersial dalam

penggunaan teknik analisis yang meliputi analisis riset pasar, pengembangan

produk, penentuan harga (keterjangkauan) dan periklanan atau promosi

(Maulana: 2009).

Menurut Glanz dkk (2008), terdapat lima prinsip dalam pemasaran sosial

yaitu: (1) focusing on behavioral outcomes, (2) prioritizing consumers’ rather

than marketers’ benefits, (3) maintaining an ecological perspective, (4)

developing a strategic “marketing mix” of communication elements according

to the Four Ps, and (5) using audience segmentation to identify meaningful

differences among consumers that affect their responses to the product or

service being offered. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan antara

pemasaran komersial dengan pemasaran sosial.

1. Penggunaan produk sosial sering kali lebih rumit

2. Produk sosial sering kali lebih kontroversial

3. Keuntungan produk sosial tidak segera tampak atau tidak dapat segera

dirasakan

37
4. Saluran distribusi produk sosial sulit digunakan dan dikontrol

5. Pasar produk sosial sulit dianalisis

6. Sasaran produk sosial memiliki sumber yang sangat terbatas

7. Ukuran keberhasilan penjualan atau adopsi produk sosial lebih berat

dibandingkan produk komersial.

Pusat kegiatan pada pemasaran sosial adalah konsumen atau masyarakat

atau pemasaran sosial berorientasi pada konsumen, bukan pada perusahaan

seperti pada pemasaran komersial. Hal ini berarti bahwa tingkat keberhasilan

kegiatan pemasaran sosial ditentukan berdasarkan ukuran konsumen atau

masyarakat.

Konsumen sebagai tolok ukur proses mempunyai empat unsur yaitu

produk, harga, tempat dan promosi. Keempat unsur tersebut harus

dikembangkan dan dikelola secara terpadu sebagai kesatuan dalam rangka

memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Keterpaduan unsur-unsur

tersebut dikenal sebagai bauran pemasaran atau marketing mix .

2.3.3 Langkah Kegiatan Pemasaran Sosial

Menurut Novelli D. William (1990) terdapat enam langkah pemasaran sosial,

yaitu 1) analisis, 2) perencanaan, 3) pengembangan, ujicoba dan perbaikan, 4)

implementasi, 5) penilaian efektivitas 6) mengulangi proses pertama dan

seterusnya. Enam langkah ini dibuat dengan memperhitungkan keinginan

sasaran, kebutuhan, harapan, kepuasan atau ketidakpuasan, dalam menyusun

tujuan program, dengan menggunakan pendekatan intergrasi pemasaran dan mix

serta perkembangan kebutuhan konsumen dan respon pasar terhadap program.

38
Keenam langkah pemasaran sosial tersebut digambarkan sebagai roda

pemasaran sosial sebagai berikut.

Bagan 2.1 Roda Pemasaran Sosial. Sumber: Novelli D William (1990)

2.3.4 Langkah Perencanaan Pemasaran Sosial

Dalam penelitian ini, peneliti hanya bertujuan untuk menggambarkan perencanaan

pemasaran sosial program Voluntary Conseling Test (VCT). Menurut Hong Cheng,

Philip Kotler, dan Nancy R. Lee (2009) perencanaan pemasaran sosial program

kesehatan masyarakat meliputi 10 langkah yaitu 1) meggambarkan latar belakang,

tujuan dan fokus program, 2) Analisis Situasi (SWOT), 3) segmentasi pasar, 4) tujuan

dan target pemasaran, 5) identifikasi faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku, 6)

Pernyataan Positioning, 7) bauran pemasaran 8) perencanaan pemantauan dan evaluasi

9) perencanaan anggaran 10) perencanaan implementasi kampanye dan manajemen

yang diakhiri dengan proposal pemasaran sosial yang dilegalisasi dan dilaksanakan oleh

seluruh staf Puskesmas. Secara rinci, sepuluh langkah dalam perencanaan pemasaran

sosial meliputi

1) Latar Belakang, tujuan dan Fokus Program

39
Langkah pertama yaitu Describe the Plan Background, Purpose and Focus atau

deskripsi latar belakang, tujuan dan fokus program. Dimulai dengan memfokuskan

pada isu sosial yang akan di angkat, dilanjutkan dengan latar belakang mengapa

memilih untuk melakukan pemasaran sosial pada program tersebut dan tujuan dari

kegiatan yang akan dilakukan. Kotler (2006) menyebutkan, penelitian-penelitian

kesehatan masyarakat harus dengan jelas menerangkan tentang masalah yang

terjadi, baik menggunakan aspek epidemiologi kejadian luar biasa seperti SARS,

ataupun pengembangan isu seperti isu rokok, maupun isu yang membutuhkan

pembenaran seperti pendidikan kesehatan untuk pencegahan penyakit.

Dalam masalah kesehatan masyarakat Kotler (2009) mendefinisikan describe

the plan background, purpose and focus sebagai identifikasi siapa sponsor

kegiatan, alasan penyelenggaraan program, masalah sosial apa yang terjadi di

masyarakat menggunakan aspek epidemiologi maupun isu khusus, bagaimana

tujuan dan fokus program. “who are sponsors? Why are they doing this? What

social issue and population will the plan focus on, and why?. Semua ini harus

berdasarkan data epidemiologi atau hasil penelitian, untuk

mempertanggungjawabkan secara kuantitatif.

Pernyataan tujuan atau Purpose statement juga diperlukan untuk melihat secara

spesifik dampak atau manfaat apa yang diinginkan dalam kampanye pemasaran

sosial yang dilakukan. Ketika ukuran keberhasilan terpenuhi, maka program

pemasaran sosial dapat diperluas. Sedangkan focus, sangat diperlukan untuk

mempersempit ruang lingkup kampanye pemasaran sosial. Hal ini dapat berfungsi

40
sebagai strategi untuk membuat penggunaan sumber daya secara efektif,

memaksimalkan dampak serta menjamin kampanye dapat dilakukan.

2) Analisis Situasi (Conduct a Situation Analysis)

Pada tahap ini dilakukan analisa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan

tantangan yang akan di hadapi dalam melakukan pemasaran sosial ini. menurut

Kotler dan Nancy (2008), Situation Analysis (SWOT) is a quick audit of factors and

forces in the internal and external environment, particularly those anticipated to

have some impact on or relevance for subsequent planning decisions.

Sedangkan Kotler (2009) dalam social marketing for public health mengatakan,

analisi situasi yaitu analisa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan tantangan yang

akan di hadapi (strengths, weaknesses, opportunities, threats) serta telaah literatur

dan telaah lingkungan program yang berfokus pada upaya-upaya serupa “SWOT

(strengths, weaknesses, opportunities, threats) and literatur review and

environmental scan of programs focusing on similar efforts: activities, and lessons

learned”.

3) Segmentasi sasaran (Target Audience Profile)

Menurut Kotler (2007), target audience profile atau memilih sasaran

pemasaran, antara lain berdasarkan demografis, geografis, psikografis, perilaku,

jejaring sosial, asset masyarakat serta tahapan dalam perubahan (stage of changes).

Selain itu, ukuran selanjutnya yaitu jumlah sasaran target.

Segmentasi sasaran yaitu upaya organisasi untuk mengelompokkan pasar

berdasarkan variabel-variabel tertentu dengan karakteristik yang sama, dilakukan

berdasarkan variabel geografis, demografis, psikografis, prilaku ataupun individual.

41
Tujuan dari segmentasi ini adalah untuk menentukan cara, metode, media yang

sesuai dengan tiap kelompok tersebut (Notoatmodjo: 2007). Pada umumnya

segmentasi pasar ditentukan berdasarkan berbagai kriteria, antara lain:

a. Karakteristik demografis (usia, jenis kelamin, pendidikan, sosial ekonomi,

tempat tinggal, agama dan sebagainya)

b. Karakteristik geografis (wilayah, luas daerah, kepadatan dan sebagainya)

c. Psikografis atau karakteristik perilaku (gaya hidup, nilai-nilai dan sebagainya)

Sedangkan menurut Utami (2013) segmentasi sasaran dapat dibagi menurut

tiga kelompok sasaran yaitu primer (yang bisa mengadopsi perilaku), sekunder

(yang diharapkan dapat mendukung perilaku sasaran primer), tersier (kelompok

yang berpengaruh dan berperan dalam pengambilan keputusan).

4) Tujuan dan Target Pemasaran Sosial (Marketing Objectives and Goals)

Dalam perencanaan pemasaran sosial, Kopler (2008) mengatakan, tujuan

pemasaran sosial program kesehatan masyarakat akan berkaitan dengan perilaku

(behaviors), dan attitudes (pengetahuan dan kepercayaan). Dalam menentukan

tujuan, yang harus diperhatikan adalah harus memenuhi kriteria SMART (Specific,

measurable, achievable, relevant, time-bound changes in behaviors and attitudes).

5) Identifikasi Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku

Identifikasi factors influencing adoption of behavior (Faktor yang

mempengaruhi perubahan perilaku) penting dilakukan sebelum menentukan

positioning produk dan marketing mix, pemegang programs perlu melakukan.

Menurut Kopler (2009) terdapat empat hal yang harus diidentifikasi sebagai faktor

yang mempengaruhi perilaku sasaran, yaitu hambatan yang dirasakan dengan

42
perilaku yang ditargetkan, manfaat potensial untuk perilaku yang ditargetkan,

perilaku bersaing / gaya, pengaruh orang penting lain “perceived barriers to

targeted behavior, potential benefits for targeted behavior, competing

behavior/forces, influence of important others.

Barriers mengacu pada alasan mengapa sasaran tidak mau melakukan

adopsi perilaku atau menyebarkan informasi. Benefits diartikan sebagai hasil atau

manfaat yang akan didapat setelah kelompok sasaran mengadopsi perilaku.

Competitors diartikan sebagai perilaku yang ditawarkan kompetitor atau organisasi

lain. influencers diartikan sebagai kelompok masyarakat atau individu yang dapat

mempengaruhi sasaran dalam perubahan perilaku. Pada langkah ke lima ini sudah

diketahui siapa target audience dan apa yang akan dilakukan oleh changing agent

dalam rangka merubah perilaku target audience yang ada, dengan melihat pesaing,

hambatan dan motivator dari target audience.

6) Pernyataan Positioning

Kotler (2009) mengartikan pernyataan positioning sebagai posisi apa atau

seperti apa yang diinginkan pemasar melihat atau menilai produk didalam benak

target audience. Philip Kotler (1997) dalam Kasali (2007) mendefinisikan

positioning sebagai tindakan yang dilakukan marketer untuk membuat citra produk

dan hal-hal yang ingin ditawarkan kepada pasarnya berhasil memperoleh posisi

yang jelas dan mengandung arti dalam benak sasaran konsumennya. Sedangkan

Adnan (2013) mendefinisikan positioning sebagai upaya organisasi untuk

memposisikan dirinya dibenak konsumen, melalui disain produk yang akan

43
disajikan kepada konsumen, sehingga strategis bernilai dipikiran konsumen.

Positioning merupakan inti strategi pemasaran.

7) Mengembangkan Bauran Pemasaran

Langkah yang ke tujuh yaitu develop a strategic marketing mix (4ps) atau

mengembangkan bauran pemasaran. Kotler dkk (2009) mendefinisikan marketing

mix sebagai campuran pemasaran yang tepat (atau kombinasi dari unsur-unsur

strategis), sering digambarkan dalam hal "empat Ps:" Produk, Price, Place, dan

Promotion. Kotler mendefinisikan product yaitu strategi produk yang diterapkan

meliputi core product (produk utama atau manfaat) nya, actual product (tindakan

atau perilaku), seperti tes HIV, dan augmented product (barang dan layanan).

Strategi Price yaitu harga, waktu, atau pengorbanan baik psikologis maupun

fisik yang harus diberikan klien dalam pemanfaatan program kesehatan. Strategi

Place yaitu strategi pemasaran dalam menciptakan kemudahan akses layanan bagi

klien. Strategi Promotion merupakan metode yang dipakai untuk menyampaikan

keunggulan dan manfaat produk sosial meliputi metode, pesan, promotor, saluran

media promosi yang digunakan.

8) Rencana pemantauan dan evaluasi

Kotler dkk (2009) mendefinisikan outline a plan for monitoring and

evaluating atau rencana pemantauan dan evaluasi sebagai pembuatan perencanaan

yang berisikan pengukuran yang bisa dipakai untuk memonitor dan mengevaluasi

langkah yang akan di lakukan. Perencanaan monitoring dan evaluasi meliputi

tujuan dan sasaran monitoring dan evaluasi, rencana metode dan waktu monitoring

44
dan evaluasi, dan indikator monitoring evaluasi yang dipakai

(input/output/outcome/impact).

9) Rencana Anggaran dan sumber dana

Kotler dkk (2009) mendefinisikan rencana anggaran dan sumber dana

(Establish Budget and Find Funding Source) sebagai membuat perhitungan

anggaran biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan perencanaan pemasaran

dan sumber dana serta donatur yang akan membiayai.

10) Menyususn rencana implementasi kampanye dan manajemen

Menyususn rencana implementasi kampanye dan manajemen (Complete an

Implementation and manajement Plan) merupakan langkah terakhir dalam

perencanaan pemasaran sosial. Dalam perencanaan ini diakhiri dengan sebuah

proposal yang berisi secara spesifik nama dan job desk masing-masing yang

terlibat dalam kegiatan pemasaran. Selain itu diikuti juga dengan waktu

pelaksanaannya (time frames).

2.3.5 Faktor Penentu Keberhasilan Pemasaran Sosial

Menurut Maulana (2009) dalam bukunya Promosi Kesehatan, faktor-faktor

penentu keberhasilan pemasaran sosial meliputi manajemen, konsumen, kelompok

sasaran, identitas, manfaat, biaya, ketersediaan, saluran komunikasi, pemantauan

dan perbaikan, dan evaluasi. Delapan dari sepuluh penentu keberhasilan pemasaran

sosial ini adalah komponen dalam perencanaan pemasaran sosial.

2.3.5.1 Manajemen

Pemasaran sosial yang baik harus didukung manajemen yang baik.

Manajer bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan kegiatan secara

45
keseluruhan meskipun dibentuk kelompok kerja. Dengan demikian, manajer

harus memiliki beberapa keterampilan khusus. Berikut beberapa keterampilan

yang harus dimiliki manajer dalam pemasaran sosial :

1. Memahami pola kegaitan yang akan dilaksanakan meskipun secara teknis ia

tidak harus ahli tentang produk atau pelayanan yang dipromosikan.

2. Mengerti sikap sekelompok sasaran terhadap program yang akan

dilaksanakan

3. Memiliki kemampuan dan keterampilan mengkoordinasikan kegiatan.

4. Mampu menuliskan arahan yang jelas dan mendalam untuk riset,

perencanaan media serta menganalisis dan menafsirkan laporan penelitian.

5. Melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan, termasuk penggunaan biaya.

2.3.5.2 Konsumen

Konsumen merupakan titik tolak semua unsur kegiatan pemasaran

sehingga penyusunan pesan, bagaimana pesan disampaikan dan saluran

komunikasi yang digunakan harus berdasarkan penelitian tentang konsumen.

2.3.5.3 Kelompok sasaran

Program komunikasi akan berhasil jika pesan-pesan ditujkan langsung

kepada kelompok sasaran yang sesuai. Misalnya pesan imunisasi harus khusus

ditujukan pada ibu dari anak usia balita. Berdasarkan hasil penelitian, pesan

yang berbeda diperlukan bagi para ibu yang mempunyai anak dengan usia

berbeda. kelompok sasaran dapat berbeda berdasarkan pola makan anak pada

umur yang berbeda sehingga pesan dapat ditujukan kepada ibu dari setiap

tingkat usia balita tersebut.

46
2.3.5.4 Identitas

Produk atau pelayanan yang dipromosikan harus memili identitas yang

jelasa dan tegas (misalnya “sayuran mengandung vitamin yang menyehatkan”

memberikan identitas yang jelas pada sayuran tersebut dibandingkan “sayuran

baik untuk anak-anak”)

2.3.5.5 Manfaat

Produk atau pelayanan yang dipromosikan harus memberikan manfaat

atau keuntungan yang jelas dan nyata. Penelitian yang cermat akan membantu

menunjukkan keuntungan atau manfaat nyata dan dapat dipercaya (misalnya,

poster yang berbunyi “Datangllah ke posyandu, timbanglah anak Anda”, tidak

akan memberi pengaruh yang diharapkan karena tidak menunjukkan manfaat

apa yang dapat diperoleh dengan membawa anak ke posyandu).

2.3.5.6 Biaya

Biaya berhubungan dengan keterjangkauan konsumen untuk membeli

produk atau pelayanan yang akan dibandingakan dengan manfaat yang

diperoleh. Keterjangkauan biaya harus mecakup biaya nyata dan biaya

tersembunyi. Misalnya, meskipun pelayanan posyandu gratis, terdapat biaya

tersembunyi yang harus dikeluarkan seperti, waktu, biaya untuk jajan anak,

transportasi dan lain-lain. keputusan tidak ke posyandu adalah hasil dari

membandingkan semua biaya (yang nyata dan tersembunyi) dengan manfaat

datang ke posyandu

2.3.5.7 Ketersediaan

47
Promosi apapun tidak bisa berhasil jika produk atau pelayanan yang

dipromosikan tidak dapat atau sulit diperoleh. Oleh karena itu, harus

diperhatikan bahwa produk memang dapat diperoleh, sebelu promosi

dicanangkan.

2.3.5.8 Saluran komunikasi

Pesan dapat diterima lkelompok sasaran melalui komunikasi yang dapat

dipercaya sehingga penting menentukan saluran komunikasi yang dapat dipakai

seperti media massa, kader dan kelompok masyarakat. tentukan juga berapa

persen kelompok yang dapat dicapai setiap saluran informasi dan berapa

frekuensinya. Berdasarkan penentua saluran komunikasi, rencana pemanfaatan

media disusun untuk mencapai kelompok sasaran sebanyak dan sesering

mungkin dengan biaya yang tersedia. Panduan media yang digunakan sangat

bergantung pada saluran kominikasi, baik secara langsung (pelaksana di jajaran

kesehatan danmasyarakat) ata tidak langsung (melalui media)

2.3.5.9 Pemantauan dan perbaikan

Sistem pemantauan merupakan bagian dari pendekatan pemasaran

sosial. Pemantauan dilakukan untuk mengetahui apakah semua unsur

komunikasi sesuai rencana dan perbaikan yang sekiranya diperlukan.

2.3.5.10 Evaluasi

Ketercapaian dan dampak kegiatan dapat diketahui melalui evaluasi.

Evaluasi dilakukan pada akhir program sesuai jangka waktu yang ditentukan

setiap tahun apabila program berjangka panjang. Penelitian evaluasi

dilaksanakan untuk memperoleh hasil kuantitatif. Analisis kuantitatif meliputi

48
jumlah persentase dan menyangkut sebagian besar responden. Hal ini berbeda

untuk penelitian pemantauan yang menggunakan analisi kualitatif.

2.4 Kerangka Teori

Dalam menjelaskan perencanaan pemasaran sosial program kesehatan,

peneliti menggunakan mengacu pada buku social marketing for public health

Hong Cheng, Philip Kotler, dan Nancy R. Lee (2009). Perencanaan pemasaran

sosial program kesehatan meliputi 1) identifikasi latar belakang, tujuan dan

fokus program (describe background, purpose and focus), 2) Analisis Situasi

(SWOT), 3) menentukan target sasaran (Target Audience Profiles), 4) tujuan

dan target pemasaran sosial (Marketing Objectives and Goals), 5) faktor yang

mempengaruhi perubahan perilaku (Factors influencing adoption of behavior),

6) Pernyataan Positioning, 7) Bauran pemasaran atau Marketing Mix Strategies

(4P’s), 8) perencanaan pemantauan dan evaluasi, 9) perencanaan anggaran, 10)

Perencanaan implementasi kampanye dan manajemen.

Deskripsi latar belakang, tujuan dan fokus program meliputi identifikasi

sponsor kegiatan, alasan penyelenggaraan program, masalah sosial masyarakat

menggunakan aspek epidemiologi maupun isu khusus, tujuan dan fokus

program. Analisis situasi meliputi kekuatan, kelemahan, kesempatan, tantangan,

telaah literatur dan lingkungan program serupa. Segmentasi sasaran meliputi

aspek demografis, geografis, psikografis, perilaku, jejaring sosial, asset

masyarakat serta tahapan dalam perubahan serta jumlah sasaran target.

Tujuan dan target pemasaran sosial meliputi ukuran yang dipakai

(perilaku, pengetahuan dan kepercayaan) dengan pertimbangan kriteria SMART

49
(Specific, measurable, achievable, relevant, time-bound). Identifikasi faktor

yang mempengaruhi perubahan perilaku meliputi hambatan dan manfaat,

kompetitor program, pengaruh orang penting lain

Pernyataan positioning yaitu pernyataan target audience yang

diinginkan pemasar program. Mengembangkan Bauran Pemasaran meliputi

empat P (Produk, Price, Place, dan Promotion). Perencanaan pemantauan dan

evaluasi berisikan ukuran yang dipakai untuk evaluasi pemasaran sosial.

Perencanaan Anggaran dan sumber dana memuat anggaran biaya dan

identifikais donatur. Menyusun rencana implementasi kampanye dan

manajemen dalam proposal yang berisi mitra dan job desk masing-masing yang

terlibat dalam kegiatan pemasaran.

50
BAB III

KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH

3.1. Kerangka Pikir

Untuk mempermudah pemahaman dalam menggambarkan perencanaan

pemasaran sosial program Voluntary Conseling Test (VCT) di Puskesmas Ciputat

Tangerang Selatan tahun 2013, maka disusunlah sebuah kerangka pikir.

Berdasarkan kerangka teori pada bab sebelumnya, peneliti menggunakan

pendekatan teori Hong Cheng, Philip Kotler, dan Nancy R. Lee (2009) yang

dikenal dengan Social Marketing Planning (sosial marketing in public health).

Proses perencanaan pemasaran sosial ini merupakan sebuah langkah yang sengaja

dilakukan untuk meningkatkan minat masyarakat dalam pemanfaatan layanan

VCT. Ada sepuluh variabel yang harus terpenuhi dalam perencanaan pemasaran

sosial menurut Hong Cheng, Philip Kotler, dan Nancy R. Lee (2009) yaitu 1)

identifikasi latar belakang, tujuan dan fokus program (describe background,

purpose and focus), 2) Analisis Situasi (SWOT), 3) menentukan target sasaran

(Target Audience Profiles), 4) tujuan dan target pemasaran sosial (Marketing

Objectives and Goals), 5) faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku

(Factors influencing adoption of behavior), 6) Pernyataan Positioning, 7) Bauran

pemasaran atau Marketing Mix Strategies (4P’s), 8) Perencanaan pemantauan dan

evaluasi, 9) Perencanaan anggaran, 10) Perencanaan implementasi kampanye dan

manajemen.

51
3.2. Definisi Istilah

Tabel 3.1
Matriks Definisi Istilah
No Lingkup Definisi Metode Instrumen
Penelitian
1 Perencanaan Perencanaan Wawancara Pedoman
pemasaran sosial pemasaran sosial mendalam wawancara
program VCT HIV- Telaah dan
AIDS yang meliputi dokumen Pedoman
10 langkah yaitu telaah
1)menggambarkan dokumen
latar belakang, tujuan
dan fokus program,
Analisis Situasi
(SWOT), 3)
segmentasi pasar, 4)
perencanaan tujuan
dan target pemasaran
5) faktor yang
mempengaruhi
perubahan perilaku 6)
pernyataan positioning
7) bauran pemasaran
8) perencanaan
pemantauan dan
evaluasi, 9) anggaran
dana 10) perencanaan
implementasi
kampanye dan
manajemen
2 Perencanaan Latar Identifikasi sponsor Wawancara Pedoman
Belakang, Tujuan kegiatan VCT, alasan mendalam wawancara
dan Fokus Program penyelenggaraan dan telaah mendalam
VCT program, masalah dokumen dan
sosial yang pedoman
melatarbelakangi telaah
berdasarkan aspek dokumen
epidemiologi maupun
isu khusus, serta
tujuan dan fokus
program VCT.

3 Analisis Situasi Analisa kekuatan, Wawancara Pedoman

52
(SWOT) kelemahan, mendalam wawancara
kesempatan dan dan telaah mendalam
tantangan yang akan dokumen dan
di hadapi dalam pedoman
pemasaran sosial telaah
program VCT dokumen
(strengths,
weaknesses,
opportunities, threats),
serta telaah literatur
pemasaran sosial dan
lingkungan program
serupa dengan VCT
4 Segmentasi sasaran Memilih sasaran Wawancara Pedoman
(Target Audience pemasaran sosial mendalam wawancara
Profile) program VCT dan telaah mendalam
berdasarkan aspek dokumen dan
demografis, geografis, pedoman
psikografis, perilaku, telaah
jejaring sosial, asset dokumen
masyarakat, tahapan
dalam perubahan
(stage of changes)
serta jumlah sasaran
target pemasaran.
5 Tujuan dan target Tujuan pemasaran Wawancara Pedoman
pemasaran sosial sosial program VCT mendalam wawancara
(Marketing yang dipakai baik dan telaah mendalam
Objectives and berkaitan dengan dokumen dan
Goals), perilaku (behaviors) pedoman
atau attitudes telaah
(pengetahuan dan dokumen
kepercayaan)
berdasarkan kriteria
SMART (Specific,
measurable,
achievable, relevant,
time-bound).
6 Faktor yang Identifikasi faktor Wawancara Pedoman
mempengaruhi yang mempengaruhi mendalam, wawancara
perubahan perilaku perilaku pemanfaatan dan telaah mendalam,
(Factors layanan VCT, dokumen panduan
influencing meliputi hambatan observasi
adoption of pemanfaatan, benefit dan

53
behavior), pemanfaatan VCT, pedoman
perilaku yang telaah
ditargetkan kompetitor dokumen
program, pengaruh
orang penting lain.
7 Pernyataan Pernyataan seperti apa Wawancara Pedoman
Positioning yang diinginkan mendalam, wawancara
puskesmas dalam telaah mendalam,
penilaian produk dokumen telaah
dibenak target sasaran dokumen
pemasaran sosial
program VCT
8 Bauran pemasaran Kombinasi empat Wawancara Pedoman
(Develop a unsur strategi mendalam wawancara
Strategic Marketing pemasaran sosial dan telaah mendalam
Mix (4P’s)) program VCT dokumen dan
meliputi 1) Product pedoman
(core product atau telaah
produk manfaat), dokumen
actual product atau
produk perilaku dan
augmented product
atau barang dan
layanan). 2) Price
(harga, waktu, atau
pengorbanan baik
psikologis maupun
fisik yang harus
diberikan klien dalam
pemanfaatan program
VCT), 3) Place
(kemudahan akses
layanan bagi klien), 4)
Promotion (metode,
pesan, promotor,
saluran media promosi
yang digunakan)
9 Perencanaan Membuat perencanaan Wawancara Pedoman
pemantauan dan yang berisikan mendalam wawancara
evaluasi, (Outline a pengukuran yang bisa dan telaah mendalam
plan for Monitoring dipakai untuk dokumen dan
and Evaluating) memonitor dan pedoman
mengevaluasi telaah
pemasaran sosial dokumen

54
program VCT
meliputi tujuan dan
sasaran, rencana
metode dan waktu
monitoring dan
evaluasi, dan indikator
yang dipakai
(input/output/outcome/
impact).
10 Perencanaan Membuat perhitungan Wawancara Pedoman
anggaran (Establish anggaran biaya yang mendalam wawancara
Budget and Find dibutuhkan untuk dan telaah mendalam
Funding Source) menjalankan dokumen dan
perencanaan pedoman
pemasaran program telaah
VCT dan perencanaan dokumen
sumber dana serta
donatur yang akan
membiayai.
11 Perencanaan Perencanaan ini Wawancara Pedoman
implementasi diakhiri dengan mendalam wawancara
kampanye dan sebuah proposal dan telaah mendalam
manajemen (Plan pemasaran sosial dokumen dan
for campaign program VCT yang pedoman
Implementation and berisi secara spesifik telaah
management) nama dan job desk dokumen
masing-masing yang
terlibat dalam kegiatan
pemasaran. Selain itu
diikuti juga dengan
waktu pelaksanaannya
(time frames).

55
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif mengenai

perencanaan pemasaran sosial program Voluntary Conseling Test (VCT) pencegahan

HIV dan AIDS di Puskesmas Ciputat Tahun 2014. Menurut Moleong (2007), penelitian

kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Menurut Cooper dan Scindler (2006), riset kualitatif merupakan suatu rangkaian

teknik interpretasi yang akan menjelaskan, mentransformasikan, menterjemahkan dan

menjelaskan makna, bukan frekuensi dari suatu kejadian dalam dunia sosial yang

kurang lebih terjadi secara alami. Riset kualitatif ditujukan untuk mendapatkan

pemahaman yang mendalam akan suatu situasi, idealnya untuk mendapatkan

perasaan, emosi, motivasi, persepsi bahasa konsumen atau perilaku yang menjelaskan

pribadi. Artinya, riset kualitatif didesain untuk memberitahu periset bagaimana (proses)

dan bagaimana (makna) sesuatu terjadi sebagai mana adanya.

Sedangkan menurut Creswell (2003) qualitative research is an inquiry process

of understanding based on distinct methodological tradition of inquiry that explore a

social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analize

words, report detailed views of information, and conducts the study in natural setting.

Penggunaan metode kualitatif pada penelitian ini untuk memperoleh informasi yang

mendalam sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai

56
gambaran serta kendala perencanaan pemasaran sosial program Voluntary Conseling

Test (VCT) pencegahan HIV dan AIDS di Puskesmas Ciputat

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Ciputat pada bulan Mei-Juni tahun

2014. Puskesmas Ciputat dipilih karena termasuk puskesmas dengan kasus infeksi

HIV terbanyak di kota Tangerang Selatan. Selain itu, Puskesmas Ciputat termasuk

satu-satunya Puskesmas yang aktif menjaring infeksi HIV melalui pelayanan VCT.

Puskesmas Ciputat juga termasuk puskesmas pertama di Tangerang Selatan yang

memiliki layanan VCT. Puskesmas lain di Tangsel yang baru memiliki layanan VCT

yaitu Setu, Jombang, Pondok Aren,dan Kampung Sawah.

4.3 Informan Penelitian

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi

tentang kondisi latar penelitian, sehingga informan harus mempunyai banyak

pengalaman tentang latar penelitian (Moleong, 2007). Pemilihan informan dalam

penelitian ini tidak dilakukan secara acak, tetapi dengan menggunakan metode

purposive sampling (informan bertujuan), yaitu penentuan informan yang dilakukan

secara langsung melalui pertimbangan-pertimbangan yang ditentukan oleh peneliti

sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian untuk memperoleh informasi yang lengkap

dan mencukupi dengan prinsip kesesuaian (appropriatness) dan kecukupan

(adequency).

Informan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu informan

utama, pendukung dan informan kunci. Informan utama adalah objek utama dalam

57
penelitian, yaitu penanggungjawab program VCT di Puskesmas Ciputat dan tenaga

promosi kesehatan di Puskesmas Ciputat. Informan pendukung, Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) yang bekerjasama dalam program VCT dengan Puskesmas, Pasien

yang telah melakukan VCT dan pasien yang belum melakukan VCT di Puskesmas

Ciputat. Informan Kunci adalah Kepala Puskesmas Ciputat dan Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan.

Dalam lingkup penelitian latar belakang, tujuan dan fokus (describe background,

purpose and focus) dilakukan wawancara mendalam kepada para informan dan telaah

dokumen perencanaan program VCT. Dalam lingkup analisis situasi dan segmentasi

pasar dilakukan wawancara mendalam terhadap para informan dan telaah dokumen

analisis SWOT dan target sasaran berdasarkan demografis, geografis, psikografis,

perilaku, jejaring sosial, asset masyarakat, tahapan dalam perubahan (stage of changes)

serta jumlah. Dalam lingkup tujuan dan target (marketing objectives and goals)

dilakukan wawancara mendalam, dan telaah dokumen. Dalam lingkup factors

influencing adoption of behavior (identifikasi faktor yang mempengaruhi perubahan

perilaku) dilakukan wawancara mendalam terhadap informan, observasi pelaksanaan

VCT dan telaah dokumen persepsi hambatan dan manfaat, motivator serta kompetitor

program.

Dalam lingkup pernyataan positioning dan bauran pemasaran dilakukan

wawancara mendalam terhadap informan dan telaah dokumen strategi program VCT.

Dalam lingkup gambaran perencanaan pemantauan dan evaluasi (monev), perencanaan

anggaran biaya, perencanaan implementasi kampanye, dan manajemen dilakukan

wawancara mendalam terhadap para informan, dan telaah dokumen proposal yang

58
berisi rencana monev, anggaran biaya, rencana implementasi, dan manajemen

pembagian tupoksi job desk masing-masing yang terlibat dalam kegiatan pemasaran

sosial.

Kriteria informan penelitian berikut teknik yang digunakan dalam penelitian

tertera pada tabel 4.1.

Tabel 4.1
Informan Penelitian
No. Lingkup Kriteria Informan Teknik Unsur yang
penelitian Diteliti
1 Perencanaan - Penanggungjawab - Wawancara - Adanya
pemasaran program VCT mendalam perencanaan dan
sosial - Telaah Apa yang
dokumen dilakukan (10
langkah)
- Siapa yang
melakukan dan
pihak yang terlibat
- Dimana
- Kapan
2 Latar belakang, - Penanggungjawab - Wawancara - Sponsor program
tujuan dan fokus program VCT di mendalam - Alasan
program VCT Puskesmas Ciputat - Telaah penyelenggaraan
dokumen - Masalah sosial
- Kepala Puskesmas
(epidemiologi/isu
Ciputat. khusus)
- Tenaga promosi - Tujuan dan fokus
kesehatan program VCT
- Dinas Kesehatan - Kendala dalam
perencanaan
Tangerang Selatan

59
3 Analisis situasi - Penanggungjawab - Wawancara - Strenght (kekuatan
program VCT di mendalam lembaga)
Puskesmas Ciputat - Telaah - Weakness
dokumen (kelemahan)
- Kepala Puskesmas - Opportunity
Ciputat. (peluang
- Tenaga promosi lingkungan)
kesehatan di Puskesmas - Threats (tantangan)
Ciputat. - Telaah lingkungan
- LSM dan program serupa
- Kendala dalam
perencanaan

4 Segmentasi - Penanggungjawab - Wawancara - Segmentasi


pasar program VCT di Mandala berdasarkan
Puskesmas Ciputat - Telaah demografis,
dokumen psikografis,
- Kepala Puskesmas
geografis, perilaku,
Ciputat. - jejaring sosial, asset
- Tenaga promosi masyarakat,
kesehatan di Puskesmas tahapan dalam
Ciputat. perubahan (stage of
changes) serta
- Pasien yang telah
jumlah sasaran
melakukan VCT di target.
Puskesmas Ciputat. - Kendala dalam
- LSM perencanaan
5 Tujuan dan - Penanggungjawab - Wawancara - Tujuan pemasaran
target program VCT di Mandala sosial (tujuan
pemasaran Puskesmas Ciputat - Telaah perilaku/
sosial dokumen pengetahuan/
- Tenaga promosi
keyakinan)
kesehatan di Puskesmas - Target pemasaran
Ciputat. sosial
- Kendala dalam
perencanaan

60
6 Faktor yang - Penanggungjawab program - Wawancara - Persepsi
mempengaruhi VCT di Puskesmas Ciputat mendalam hambatan
perubahan - Kepala Puskesmas Ciputat. - Telaah Pemanfaatan
perilaku dokumen - Persepsi
- Tenaga promosi kesehatan
benefit
- Pasien yang telah pemanfaatan
melakukan VCT di VCT,
Puskesmas Ciputat. - perilaku yang
- Pasien yang belum ditargetkan
melakukan VCT di kompetitor
- Pengaruh
Puskesmas Ciputat. orang penting
- LSM lain.
- Kendala
dalam
perencanaan

7 Pernyataan - Penanggungjawab program - Wawancara - Positioning


Positioning VCT di Puskesmas Ciputat mendalam statement
- Kepala Puskesmas Ciputat. - Telaah - Kendala
Dokumen dalam
- Tenaga promosi kesehatan perencanaan
Puskesmas
- Pasien yang telah
melakukan VCT di
Puskesmas Ciputat.
- LSM

61
8 Bauran - Penanggungjawab program - Wawancara - Strategi
Pemasaran VCT di Puskesmas Ciputat mendalam Product (core
(marketing - Kepala Puskesmas Ciputat. - Telaah product/
mix) Dokumen manfaat),
- Tenaga promosi kesehatan actual
- Observasi
Puskesmas tempat product/perila
- Pasien yang telah ku dan
melakukan VCT di augmented
Puskesmas Ciputat. product/
- Pasien yang belum barang dan
layanan).
melakukan VCT di - Strategi Price
Puskesmas Ciputat. (harga,
- LSM waktu,
pengorbanan
psikologis/
fisik)
- Strategi Place
(kemudahan
akses layanan
bagi klien),
- Strategi
Promotion
(metode,
pesan,
promotor,
saluran media
promosi yang
digunakan)
- Kendala
dalam
perencanaan

62
9 Perencanaan - Penanggungjawab program - Wawancara - Tujuan dan
pemantauan VCT di Puskesmas Ciputat mendalam sasaran,
dan evaluasi - Kepala Puskesmas Ciputat. - Telaah metode dan
Dokumen waktu
- Tenaga promosi kesehatan monitoring
di Puskesmas Ciputat. dan evaluasi
- Indikator
yang dipakai
(input/output/
outcome/
impact)
- Kendala
perencanaan
10 Perencanaan - Penanggungjawab program - Wawancara - Anggaran
anggaran VCT di Puskesmas Ciputat mendalam biaya,
biaya - Kepala Puskesmas Ciputat. - Telaah - Sumber dana
Dokumen dan dana
- Tenaga promosi kesehatan
donatur
di Puskesmas Ciputat. - Kendala
- LSM dalam
perencanaan

11 Perencanaan - Penanggungjawab program - Wawancara - Proposal yang


implementasi VCT di Puskesmas Ciputat mendalam berisi secara
kampanye, - Kepala Puskesmas Ciputat. - Telaah spesifik nama
dan Dokumen tupoksi atau
- Tenaga promosi kesehatan
manajemen dan job desk
di Puskesmas Ciputat. masing-
- LSM masing
- Kendala
dalam
perencanaan

4.4 Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara

mendalam, observasi dan telaah dokumen. Wawancara mendalam dilakukan tatap

63
muka terhadap informan dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam

yang telah disiapkan peneliti terlebih dahulu. Hasil wawancara mendalam

direkam dengan alat perekam dan ditulis oleh peneliti. Observasi dilakukan

dengan mengamati pelaksanaan VCT di Puskesmas Ciputat. Telaah dokumen

dilakukan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian

melalui laporan dan dokumen lain yang berkaitan dengan perencanaan pemasaran

sosial program VCT. Beberapa contoh dokumen yang dapat dianalisis

adalah laporan tahunan puskesmas, profil puskesmas, proposal kegiatan VCT,

perencanaan sosialisasi VCT, buku pedoman VCT Puskesmas, data demografi

dan geografis pasien VCT, data analisis SWOT lembaga.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Pedoman wawancara mendalam

b. Pedoman observasi

c. Pedoman telaah dokumen

d. Perekam suara

e. Kamera

f. Buku tulis dan alat pencatat

4.6 Sumber Data

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung

oleh peneliti dari informan. Sumber data primer penelitian ini

adalah hasil wawancara mendalam langsung dengan informan

tentang perencanaan pemasaran sosial program VCT di Puskesmas

64
Ciputat dan data hasil observasi pelaksanaan VCT di Puskesmas

Ciputat.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang tidak langsung diperoleh

peneliti dari informan. Sumber data sekunder adalah dokumen-

dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian seperti laporan

tahunan puskesmas, profil puskesmas, proposal kegiatan VCT,

perencanaan sosialisasi VCT, buku pedoman VCT Puskesmas, data

demografi dan geografis pasien VCT, data analisis SWOT

lembaga.

4.7 Validasi Data

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data yang valid maka

dilakukan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong,

2007). Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

triangulasi sumber dan metode.

a. Triangulasi sumber dilakukan dengan mengecek data dari

sumber yang berbeda, yaitu penanggungjawab program VCT

di Puskesmas Ciputat, Kepala Puskesmas Ciputat, tenaga

promosi kesehatan di Puskesmas Ciputat, petugas atau

konselor VCT Puskesmas Ciputat, pasien yang telah

melakukan VCT di Puskesmas Ciputat.

b. Triangulasi metode dilakukan dengan cara mengecek data

kepada sumber yang sama melalui metode pengumpulan data

65
yang berbeda. Data diperoleh dengan wawancara mendalam,

lalu dicek dengan observasi dan telaah dokumen, seperti

melalui laporan tahunan puskesmas, profil puskesmas,

proposal kegiatan VCT, perencanaan sosialisasi VCT, buku

pedoman VCT Puskesmas, data demografi dan geografis

pasien VCT, data analisis SWOT lembaga.

4.8 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data yang dilakukan dalam penelitian

ini adalah model Miles dan Hubberman (1984). Menurut Miles dan

Huberman, analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, sehingga

disebut juga model interaktif. Aktivitas dalam analisis data kualitatif,

yaitu data reduction (Reduksi Data), data display (penyajian data), dan

conclusion drawing/verification (kesimpulan/ verifikasi). Analisis data

model interaktif tergambar pada bagan 4.1.

Bagan 4.1
Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data mengenai latar belakang, tujuan, fokus program VCT,

analisis situasi dan segmentasi pasar, tujuan dan target pemasaran

66
sosial, faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku, positioning

statement dan marketing mix, rencana monitoring dan evaluasi

(monev), anggaran biaya, rencana implementasi, dan manajemen

terkumpul dari hasil wawancara mendalam, observasi dan telaah

dokumen, kemudian data direduksi.

Data direduksi dengan cara merangkum, memilih hal-hal yang

pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dan dicari pola

sesuai unsur penelitian. Data yang sudah direduksi kemudian disajikan

dalam bentuk tulisan berdasarkan unsur-unsur yang diteliti sesuai

kerangka pikir penelitian. Namun demikian, setelah merangkum hasil

penelitian dapat juga sudah diketahui kesimpulannya. Hasil penelitian

yang telah terkumpul dan terangkum kemudian diulang kembali

dengan mencocokkan pada reduksi data dan penyajian data agar

kesimpulan yang telah dikaji dapat ditulis sebagai laporan yang

memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi

4.9 Penyajian Data

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi berdasarkan unsur-unsur

yang diteliti sesuai kerangka pikir penelitian. Kemudian dibandingkan dengan

standar perencanaan pemasaran program kesehatan dalam teori social

marketing planning menurut Hong Cheng, Philip Kotler, dan Nancy R. Lee

(2009) dalam buku social marketing for public health serta teori Heri

Maulana (2009) dalam buku Promosi Kesehatan,

67
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1 Situasi HIV-AIDS di Ciputat Tangerang Selatan

Dari tujuh kecamatan di Kota Tangerang Selatan (Tangsel),

Kecamatan Ciputat, dominan wilayah yang terdiagnosa oleh

penyakit HIV AIDS. Ciputat merupakan zona merah kasus HIV-

AIDS di Kota Tangerang Selatan dengan total kasus 83 orang.

Wilayah tertinggi kedua yaitu Pamulang dengan total kasus 55

orang. Wilayah tertinggi ketiga yaitu Pondok Aren. Berikut peta

penyebaran kasus di Kota Tangerang Selatan.

Gambar 5.1
Peta Penyebaran Kasus HIV-AIDS Tangerang Selatan 2014

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan 2014

68
Persentase cara penularan penyakit HIV-AIDS, yakni dengan

cara penasun 46%, Heteresexsual 42%, Perinatal 5%, Tidak

diketahui 4%, Man Sex Man 2% dan Waria 1%. Penularan HIV-

AIDS berdominan terjadi pada kaum laki-laki karena sering

menggunakan Jarum Suntik untuk mentranfusi sabu-sabu atau obat-

obatan selain melakukan seks bebas. Presentase dan prediksi Dinkes

Kota Tangsel, Tahun 2009-2014 penyakit HIV-AIDS diantaranya

terdapat pada Laki-laki 82%, Perempuan 17% dan Transgender 1%

(Dinkes: 2014).

Penyakit HIV-AIDS di Tangerang Selatan (Tangsel) terdapat

dari berbagai kalangan tidak hanya pada pekerja tertentu saja yang

terkena atau berdampak penyakit HIV-AIDS . Profesi yang

terjangkit penyakit ini, sejak tahun 2009-2014 yaitu Wiraswasta

28%, Ibu Rumah Tangga 19%, Lainnya 16%, Tidak Bekerja 15%,

Karyawan 8%, Pekerja Seks 7%, Mahasiswa 7%, PNS 0,84%, Buruh

0,84%, Wirausaha 0,42%, Pembantu Rumah Tangga 0,42% dan

Sopir 0,84% (Dinkes: 2014).

Kasus infeksi HIV yang ditemukan di Puskesmas Ciputat

sebanyak 21 kasus yang terdiri dari usia 20-29 sebanyak 9 orang, 40-

49 tahun sebanyak 5 orang, 30-39 tahun sebanyak 4 orang, dan 50-

59 tahun sebanyak 3 orang. Sedangkan kasus AIDS sebanyak 19

orang, terdiri dari usia 20-29 tahun sebanyak 8 orang, 40-49

sebanyak 5 orang, 30-39 tahun sebanyak 4 orang, 50-59 tahun

sebanyak 2 orang. Namun tidak satupun kasus yang berhasil

69
ditangani. Jumlah kematian akibat AIDS berjumlah 6 orang, usia 20-

29 tahun sebanyak 3 orang, 30-39 tahun sebanyak 2 orang, 40-49

tahun sebanyak 1 orang (Profil Puskesmas : 2013).

5.1.2 Layanan HIV-AIDS di Kota Tangerang Selatan

Kota Tangerang Selatan memiliki enam klinik Voluntary

Counselling and Testing (VCT) yang terdiri dari lima Puskesmas dan

satu Rumah Sakit, berikut data klinik VCT:

1) Layanan VCT, dan CST RSU Kota Tangsel

2) Layanan VCT, Metadon, Puskesmas Ciputat

3) Layanan VCT, Puskemas Pondok Aren

4) Layanan VCT, Puskesmas Setu

5) Layanan PICT, Puskesmas Jombang

6) Layanan PICT Puskesmas Kampung Sawah

5.1.3 Klinik VCT di Puskesmas Ciputat

Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) Puskesmas

Ciputat terletak di lantai dua gedung Puskesmas Ciputat ± 6 km

sebelah Utara Kota Tangerang Selatan. Puskesmas Ciputat

merupakan salah satu dari lima puskesmas di Tangerang Selatan

yang memiliki klinik VCT. Klinik VCT Puskesmas Ciputat

merupakan Klinik VCT pertama di Kota Tangerang Selatan yang

telah launching sejak Juli 2012. Klinik ini melayani klien dari

berbagai wilayah di Kota Tangerang Selatan baik dari Kecamatan

Ciputat, Pamulang maupun Ciputat Timur, tidak menutup

70
kemungkinan bagi klien dari wilayah lain. Letak klinik berbatasan

dengan Klinik VCT Puskesmas Kampung Sawah.

Klinik VCT merupakan salah satu klinik komprehensif dalam

program pokok Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS

di Puskesmas Ciputat. Klinik komprehensif penanggulangan HIV-

AIDS di Ciputat yaitu klinik PTRM (Pusat Terapi Rumatan

Metadon), klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT), Klinik

Infeksi Menular Seksual (IMS), Mobile VCT, Pelayanan Provider

Initiated Counselling and Testing (PITCT). Sarana klinik VCT yaitu

ruang pelayanan, ruang tunggu dan laboratorium.

5.1.4 Sumber Daya Manusia VCT

Berdasarkan hasil wawancara dengan Penanggungjawab

program VCT, didapatkan hasil bahwa tenaga kesehatan untuk

pelayanan dan pemasaran sosial program Voluntary Counselling and

Testing (VCT) yaitu

Tabel 5.1
Tenaga Kesehatan Voluntary Counselling and Testing (VCT)

No Tenaga Jumlah
1 Pemegang program + Konselor 1
2 Asisten Konselor 2
3 Analis 1
4 Perawat 1
5 Kepala promosi kesehatan 1
Total 6 orang

5.1.5 Anggaran Kesehatan Klinik VCT

Anggaran kesehatan klinik VCT Puskesmas berasal dari dana

APBN dalam bentuk APBD Kota Tangerang Selatan melalui dana

71
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Selain itu, klinik VCT

mendapat bantuan dana hibah GFAIDS (Global Fund AIDS) HIV

Cooperation Program for Indonesia (HCPI) untuk seluruh wilayah

Tangerang Selatan. Lingkup penggunaan dana bantuan sesuai

dengan Planning of Action (POA) tahun 2012-2014 Dinas Kesehatan

dalam proyek Single Stream Funding (SSF) yaitu untuk monitoring

dan evaluasi program, pelayanan VCT, pelayanan PITCT, Pelayanan

PTRM, Pelayanan IMS, dan Mobile VCT.

5.1.6 Visi dan Misi Puskesmas

i. Visi Puskesmas :

Unggul dalam pelayanan kesehatan pada tahun 2014

ii. Misi Puskesmas :

- Meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM)

- Mewujudkan pelayanan prima

- Menggalang kemitraan dengan lintas program, lintas sektoral dan

swasta

- Mendorong kemandirian masyarakat

5.2 Gambaran Informan Penelitian

Informan pada penelitian ini terdiri dari informan utama yang menjadi

objek utama dalam penelitian, yaitu penanggungjawab program VCT yang

juga menjadi konselor VCT di Puskesmas Ciputat dan tenaga promosi

kesehatan di Puskesmas Ciputat. Untuk menguatkan serta mendapatkan

permasalahan pada perencanaan pemasaran sosial program VCT HIV-AIDS

di Puskesmas Ciputat maka peneliti mewawancarai informan pendukung,

72
yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerjasama dalam

program VCT dengan Puskesmas, Klien yang telah melakukan VCT dan

klien yang belum melakukan VCT di Puskesmas Ciputat, serta informan

kunci yaitu Kepala Puskesmas Ciputat dan Seksi Pengendalian Penyakit

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Berikut data informan pada

penelitian ini yang disajikan dalam bentuk tabel:

Tabel 5.2. Informan Penelitian


Kode Tipe Pendidikan Lama Jabatan Informasi yang
Usia
Informan Informan Terakhir Bekerja diberikan
D-RS-1 Informan 45 tahun S-1 6 tahun Penanggungj Latar belakang,
utama Kedokteran awab tujuan dan fokus
program program VCT,
VCT di Analisis situasi,
Puskesmas Segmentasi Pasar,
Ciputat Tujuan dan target
F-RS-2 Informan 28 tahun S-1 4 tahun Kepala pemasaran sosial,
utama 5 bulan Promosi Faktor yang
Kesehatan mempengaruhi
Puskesmas perubahan
Ciputat perilaku,
A-RS-3 Informan 51 tahun S-1 5 tahun Kepala Positioning
kunci Kedokteran Puskesmas statement
Ciputat Marketing mix,
C-RS-4 Informan 37 tahun D3 3 tahun LSM Kotek Rencana
pendukung monitoring dan
P-RS-5 Informan 26 tahun S-1 2 tahun Seksi evaluasi (monev),
kunci Keperawatan pengendalian Rencana anggaran
penyakit biaya
Dinas Rencana
Kesehatan kampanye
Kota implementasi, dan
Tangerang manajemen
Selatan
S-RS-6 Informan 24 tahun SMA Klien VCT Segmentasi Pasar,
pendukung Faktor yang
H-RS-7 Informan 22 tahun S1 Klien Non- mempengaruhi
pendukung VCT perubahan
perilaku,
Positioning
statement
Marketing mix,

73
5.3 Gambaran Perencanaan Pemasaran Sosial Program VCT

Secara umum, Puskesmas Ciputat memang mengakui telah

melaksanakan pemasaran sosial program VCT. Penanggungjawab program

VCT Puskesmas mengakui telah melakukan perencanaan latar belakang,

tujuan dan fokus program, analisis situasi, segmentasi pasar, faktor yang

mempengaruhi perubahan perilaku, perencanaan bauran pemasaran,

perencanaan pemantauan dan evaluasi, perencanaan anggaran biaya serta

perencanaan implementasi kampanye dan manajemen. Perencanaan yang

tidak dilakukan yaitu perencanaan positioning. Berikut kutipannya,

“Kita sudah melakukan pemasaran sosial VCT, ya perencanaan latar

belakang, tujuan dan fokus program tapi detailnya di dinas kesehatan,

analisis situasi, segmentasi pasar, faktor yang mempengaruhi perubahan

perilaku, perencanaan bauran pemasaran, perencanaan pemantauan dan

evaluasi, perencanaan anggaran biaya serta perencanaan implementasi

kampanye dan manajemen. Kalau perencanaan positioning kita belum

punya. Kalau proposal pemasaran sosialnya kita tidak buat, kita adanya

POA tahunan atau bulanan, gabung aja sama program yang lain, jadi ya

nggak ada perencanaan secara tertulis kalau untuk pemasaran sosialnya,

kita langsung melaksanakan POA” (D-RS-1)

Informan Kepala Puskesmas dan Bagian promosi kesehatan

mengatakan tidak begitu mengetahui detail perencanaan karena tidak

terlibat dalam perencanaan perencanaan pemasaran sosial, mereka hanya

terlibat saat pelaksanaan pemasaran sosial. Berikut kutipannya,

74
“Saya tidak begitu terlibat saat perencanaan, saya hanya terlibat saat

proses pelaksanaannya di lapangan” (F-RS-2)

“Mungkin ada. Perencanaan pemasaran sosialnya mungkin

penanggungjawab program yang lebih tahu ya, saya tidak begitu terlibat

saat perencanaan. Kalau proposal, kita nggak punya proposal pemasaran

sosialnya, adanya POA tahunan dan bulanan” (A-RS-3)

Setelah melakukan telaah dokumen rencana kegiatan (POA)

Operasional BOK UPT Puskesmas Ciputat bulan Mei dan Juni 2014,

ternyata perencanaan yang dilakukan Puskesmas Ciputat hanya berupa

identifikasi uraian kegiatan, sasaran, lokasi, waktu, pelaksana, serta unit

cost. Dokumen POA ini merupakan resume semua kegiatan yang akan

dilakukan Puskesmas selama satu bulan. Perencanaan ini hanya mendukung

data untuk segmentasi pasar, bauran pemasaran, perencanaan anggaran

biaya, perencanaan pemantauan dan evaluasi, perencanaan implementasi

kampanye dan manajemen. Sedangkan data tentang identifikasi identifikasi

faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku terdapat dalam rekam medik.

Data latar belakang, tujuan dan fokus program VCT, analisis situasi,

penentuan tujuan dan target pemasaran sosial, pernyataan positioning tidak

tergambar dalam dokumen POA. Sehingga memang dapat disimpulkan

proses perencanaan pemasaran sosial yang dilakukan Puskesmas belum

optimal.

Puskesmas melaksanaan pemasaran sosial tanpa melakukan

perencanaan pemasaran sosial secara detail tentang latar belakang, tujuan

dan fokus program VCT, analisis situasi, penentuan tujuan dan target

75
pemasaran sosial, serta pernyataan positioning. Pelaksanaan pemasaran

sosial tersebut dimulai sejak launching klinik VCT awal tahun 2012 di Aula

lantai dua Puskesmas bersama Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan,

LSM, KPA dan lainnya. Selain itu pelaksanaan melalui sosialisasi-

sosialisasi setiap bulannya baik melalui Rapat Koordinasi Kelurahan,

Pertemuan Puskesmas, Pertemuan tingkat Dinas Kesehatan, Pertemuan

dengan Puskesmas lain maupun langsung turun ke sasaran. Berikut kutipan

hasil wawancara,

“Pelaksanaan pemasaran sosialnya, langsung sosialisasi VCT baik

pada saat launching klinik awal tahun 2012 maupun sosialisasi pada saat

rapat koordinasi kelurahan (rakorkel), pertemuan puskesmas, pertemuan

tingkat dinas kesehatan, pertemuan dengan puskesmas lain, maupun

langsung turun ke sasaran” (D-RS-1).

Pelaksanaan pemasaran sosial program VCT di Puskesmas Ciputat

melibatkan beberapa orang dan lembaga, yaitu tim VCT Puskesmas yang

terdiri dari konselor, analis, perawat, bidan, bagian promosi kesehatan,

klinik metadon (PTRM), Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan,

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Komisi Penanggulangan AIDS

(KPA). Bidang promosi kesehatan Puskesmas dan LSM juga mengakui

bahwa mereka hanya terlibat saat pelaksanaan sosialisasi, tidak terlibat

dalam perencanaan pemasaran sosial, berikut kutipan wawancaranya.

“Kalau pelaksanaan pemasaran sosialnya, melibatkan kader, staff lain,

promkes, bidan desa, semua staf, LSM juga” (D-RS-1)

76
“Dilibatkan perencanaannya sih nggak, tapi pelaksanaan dilibatkan”.

(F-RS-2)

“Yang terlibat perencanaan program pemegang program... ya, dr Derly,

klinik metadon. Saat pelaksanaan sosialisasi kita libatkan dinas, kita juga

kerjasama dg komunitas LSM, sama penjangkau dari KPA (Komisi

Penanggulangan AIDS)”( A-RS-3)

“Iya, kalau pelaksanaan LSM Kotek sudah dilibatkan dari awal

pembukaan klinik ya,” (C-RS-4)

“Kita melibatkan lima Puskesmas, Ciputat, Setu, Jombang, Pondok Aren,

Kampung Sawah, LSM Kotek dan BMG, LSM BMG untuk penjangkauan

Kotek untuk pendampingan, KPA saat sosialisasi program” (P-RS-5)

Dapat disimpulkan bahwa Puskesmas Ciputat belum melakukan

perencanaan pemasaran sosial program Voluntary Counseling and Testing

(VCT) HIV-AIDS secara optimal karena belum ada bukti otentik proposal

pemasaran sosial VCT yang dilegalisasi Kepala Puskesmas. Hal ini

membuktikan bahwa rendahnya minat masyarakat disebabkan karena

belum optimalnya perencanaan pemasaran sosial. Puskesmas tidak

membuat proposal pemasaran sosial karena tidak mengetahui ketentuan

seharusnya. Sedangkan data yang menjadi acuan sosialisasi yaitu data

kasus HIV-AIDS Tangerang Selatan. Berikut kutipannya,

“Nggak tahu ketentuannya, kalau data yang kita pakai ya data kasus HIV

tangsel” (D-RS-1).

77
5.4 Gambaran Perencanaan Latar Belakang, Tujuan dan Fokus Program

VCT

Langkah pertama perencanaan pemasaran sosial program VCT

yaitu perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus program VCT. Secara

umum, Puskesmas Ciputat mengakui perencanaan ini tidak dilakukan oleh

Puskesmas, namun dilakukan secara detail oleh Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan. Puskesmas Ciputat hanya sebagai eksekutor atau

pelaksana program VCT. Sedangkan menurut LSM, perencanaan latar

belakang program VCT dilakukan oleh Dinas Kesehatan saat forum rapat

bersama program Klinik VCT dengan seluruh Puskesmas dan LSM.

Berikut ini kutipan wawancaranya,

“Kalau perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus kebijakan itu semua

urusan atasan, saya hanya pelaksana program. Biasanya kebijakan awal

langsung dari dinas kesehatan, pembahasan latar belakang dan

sebagainya itu atasan yang tau detailnya” (D-RS-1)

“Perencanaan fokus utamanya berada di dinas, kita lebih utama secara

eksekusinya ke pelaksana”(A-RS-3)

“Kita kumpul bareng, sama seluruh PKM difasilitasi sama Dinas

Kesehatan, iya ada pembahasan latar belakang” (C-RS-4).

Setelah melakukan wawancara dengan Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan, Dinkes mengakui ada perencanaan latar belakang,

tujuan dan fokus program VCT yang dilaksanakan ketika forum bersama

seluruh Puskesmas dan LSM. Namun hasil telaah dokumen di Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan, peneliti hanya menemukan dokumen

78
latar belakang program dalam slide presentasi HIV dan VCT. Peneliti

tidak menemukan dokumen proposal pemasaran sosial program VCT.

Berikut kutipannya,

“Latar belakang, fokus dan tujuan dibahas saat forum bersama di Dinkes

yang diundang seluruh Puskesmas, ada LSM juga. Kalau dokumennya

kita nggak punya. Hanya ada slide presentasi HIV dan VCT” (P-RS-5)

Dalam penelitian ini, perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus

program didefinisikan sebagai identifikasi sponsor program, alasan

penyelenggaraan, masalah sosial (epidemiologi/isu khusus), tujuan dan

fokus program VCT. Pertama yaitu latar belakang, yang meliputi sponsor

program, alasan penyelenggaraan, masalah sosial (epidemiologi/isu

khusus). Kedua yaitu perencanaan tujuan program dan ketiga yaitu fokus

program.

Untuk menggambarkan latar belakang program, peneliti hanya

menemukan data kasus HIV di Kota Tangerang Selatan di dalam slide

presentasi untuk sosialisasi HIV-AIDS dan program terapi Rumatan

Metadon (PTRM), serta ketentuan konseling dan tes HIV atau VCT.

Pertama yaitu sponsor program. Sebenarnya, Dinas Kesehatan sudah

menyebutkan lembaga donor yang menjadi sponsor program VCT dalam

Laporan Bulanan Program Pengendalian Penyakit HIV-AIDS Kota

Tangerang Selatan Proyek GF ATM Komponen AIDS Bulan Januari

sampai dengan Maret 2014. Sponsor yang disebutkan hanya yang

memberikan dukungan dana. Sponsor utama program yaitu Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan melalui dana Bantuan Opersional

79
Kesehatan (BOK) APBD Kota Tangerang Selatan dan Lembaga donor

GFATM komponen AIDS (GFAIDS) HIV Cooperation Program for

Indonesia (HCPI) melalui 3 paket (ronde 1 pada periode 2003-2007, ronde

4 untuk periode 2005-2011, ronde 8 serta ronde Single Stream of Funding

(SSF) yang sedang berjalan).

Aspek kedua yang disusun dalam latar belakang yaitu alasan

penyelenggaraan program. Secara umum, Program Voluntary Counselling

and Testing (VCT) diselenggarakan di Puskesmas Ciputat pada tahun

2012 sebagai kelanjutan dari klinik metadon PTRM tahun 2010. Program

ini merupakan tindak lanjut Dinas Kesehatan Provinsi Banten dan Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI

Nomor: 1507/MENKES/ SK/X/2005, 18 Oktober 2005 tentang Pedoman

Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary

Counselling and Testing). Sedangkan menurut Kepala Puskesmas sebagai

informan kunci, program VCT ini berawal dari screening VCT pada

pasien program metadon, kemudian Puskesmas mengembangkan klinik

VCT untuk kelompok beresiko, ibu hamil dan masyarakat umum setelah

mendapatkan pelatihan dari Kementrian Kesehatan. Berikut kutipannya,

“Kalau program VCT itukan pertama kalinya berkaitan dengan program

metadon ya, dimana pengalihan atau substitusi dari para pengguna

narkoba suntik ke obat steril metadon, yang mana dalam perjalanan kita

curigai ada risiko HIV sampai tingkatan menjadi AIDS, maka kita bikin

program VCT untuk pasien metadon, kemudian berkembang, kita kirim

tenaga VCT untuk ikut pelatihan VCT dari Kemenkes, kemudian kita

80
melakukan program dari dan BOK, kita membuka klinik VCT, dari BOK

kita bikin program screening HIV pada kelompok masyarakat, bisa ibu

hamil, komunitas supir angkot untuk mengetahui seberapa besar kasus

HIV di wilayah kerja Puskesmas Ciputat ini sesuai dengan sasaran VCt

yaitu masyarakat umum. (A-RS-3)

Selain itu, klinik VCT Puskesmas Ciputat merupakan klinik VCT

pertama di Kota Tangerang Selatan. Klinik ini dibentuk untuk percepatan

pencapaian indikator menurunnya angka kesakitan akibat penyakit

menular langsung yang tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian

Kesehatan tahun 2010–2014, yaitu terkendalinya prevalensi HIV pada

populasi dewasa dari 0,2 menjadi dibawah 0,5% serta jumlah orang yang

berumur 15 tahun atau lebih yang menerima konseling dan testing HIV

sebanyak 700.000 orang.

Sedangkan untuk alasan penyelenggaraan pemasaran sosial yaitu

untuk meningkatkan minat masyarakat dalam pemanfaatan layanan VCT.

Selain itu, untuk mengurangi stigma masyarakat terhadap Orang Dengan

HIV-AIDS maupun terhadap orang yang melakuakan tes VCT. Berikut

kutipannya,

“Pemasaran sosial VCT dilakukan untuk meningkatkan minat masyarakat

memanfaatkan layanan VCT dari tadinya hanya untuk pasien metadon,

kita arahkan ke kelompok beresiko, ibu hamil dan masyarakat umum.

Untuk mengurangi stigma juga. Kita kerjasama dengan LSM ” (D-RS-1)

Aspek ketiga dalam perencanaan latar belakang yaitu identifikasi

masalah sosial yang melatarbelakangi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan

81
Kota Tangerang Selatan 2013, program ini dilatarbelakangi oleh masalah

belum tercapainya indikator capaian program. Capaian program VCT di

Tangerang Selatan pada juni 2013 hanya 28% atau 69 orang yang terdiri

dari klien VCT Puskesmas Ciputat dan Pondok Aren. Angka ini sangat

rendah jika dibandingkan dengan indikator target pada bulan juni 2013

yaitu sebanyak 243 orang atau 100%. Hasil evaluasi capaian pada

september 2013 naik menjadi 34% atau 99 orang dari target kumulatif

100% atau 289 orang. Dari sini dapat dilihat bahwa indikator pencapaian

100% yang ditargetkan belum tercapai. Hal ini dikarenakan kurangnya

kesadaran kelompok risiko tinggi (risti) akan bahaya penyakit IMS dan

HIV-AIDS serta rendahnya minat untuk VCT karena kurangnya

dukungan promosi layanan.

Latar belakang masalah sosial adanya klinik VCT menurut LSM

Kotek yaitu karena setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus HIV-AIDS.

Penularan masalah HIV di Ciputat yaitu dari pemakai narkoba, seks, dari

suami ke istri, dan anak, sekitar 300 lebih kelompok beresiko di Tangsel

yang sudah dampingi LSM, mulai dari suami, istri, anak, LSL, Waria,

Ciputat termasuk zona merah selain Pamulang, penderita HIV terbanyak

dari ibu rumah tangga, berikut kutipannya.

“Kalau permasalahan yang terjadi, risiko HIV sekitar ciputat banyak

dari pemakai narkoba, seks, dari suami ke istri, terus ke anak, untuk anak

tidak terlalu banyak tapi sudah ada dan tambah banyak, kalau sudah

infeksi lumayan banyak, lebih banyak dari suami ke istri sekitar 300 lebih

kelompok beresiko yang sudah kita dampingi, itu campur dari suami,

82
istri, anak, LSL, Waria, untuk ciputat sendiri juga banyak, yang termasuk

zona merah di ciputat dan pamulang, ciputat lebih banyak ibu rumah

tangga. Setiap tahun peninggkatannya ada, awal tahun 2010 sekitar 10-

20 sekarang sudah cukup banyak (C-RS-4).

Selain itu, program ini berawal dari tingginya kelompok berisiko

di Tangerang Selatan. Estimasi tahun 2012 terdapat sekitar 11.741 Laki-

laki Seks dengan Laki-Laki (LSL), jumlah ODHA LSL 1.597, estimasi

Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung (WPSTL) 236 orang, ODHA

WPSTL 17 orang, estimasi pelanggan WPSTL 2.334, ODHA Pelanggan

WPSTL 21 orang, estimasi Wanita Penjaja Seks Langsung (WPSL) 70

orang, ODHA WPSL 7 orang, estimasi pelanggan WPSL 1.196, ODHA

pelanggan WPSL 21 orang, estimasi waria 357 orang, ODHA Waria 43

orang, estimasi pelanggan waria 2.451 orang, ODHA pelanggan waria 49

orang, estimasi IDU 103 orang, ODHA Injecting Drug Use (IDU) 30

orang, ODHA Laki-laki Risiko Rendah 443 orang, ODHA Perempuan

Risiko Rendah 259 orang (Dinkes Tangsel: 2012).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun

2009-2014 yaitu, Ciputat merupakan zona merah kasus HIV-AIDS dengan

total kasus HIV-AIDS berjumlah 83 orang. Zona kuning atau tertinggi

kedua yaitu Kecamatan Pamulang berjumlah 55 orang, disusul dengan

zona hijau atau tertinggi ketiga yaitu Pondok Aren berjumlah 47 orang.

Peta penyebaran kasus HIV-AIDS di Kota Tangerang Selatan dari tahun

2009 sampai Mei 2014 dapat dilihat di gambar 5.1.

83
Masalah-masalah HIV-AIDS di Kota Tangerang Selatan yang

dapat digunakan dalam justifikasi latar belakang program klinik VCT di

Puskesmas Tangerang Selatan di dapat dilihat dari data Grafik Kumulatif

Kasus HIV-AIDS Tahun Diagnosa 2009 s.d Mei 2014, Grafik Penemuan

Kasus dan Kematian HIV-AIDS Tahun 2009 s.d Mei 2014, Persentase

Kumulatif Kasus HIV-AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2009 s.d

Mei 2014, Persentase Kumulatif Kasus HIV-AIDS Berdasarkan Cara

Penularan Tahun 2009 s.d Mei 2014, Persentase Kumulatif Kasus HIV-

AIDS Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2009 s.d Mei 2014, Persentase

Kumulatif Kasus HIV-AIDS Berdasarkan Range Umur Tahun 2009 s.d

Mei 2014. Data ini dapat dilihat dalam lampiran 6.

Masalah HIV-AIDS telah dinyatakan sebagai masalah kesehatan

masyarakat. Tingginya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada

kelompok penyalahgunaan narkoba suntik dan wanita pekerja seks

memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi HIV ke masyarakat umum.

Keadaan ini tentunya tidak boleh dibiarkan, mengingat kebanyakan dari

mereka yang beresiko tertular HIV tidak tahu akan status HIV-nya,

apakah sudah terinfeksi atau belum. Karena itu, penanganannya harus

berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat, salah satunya adalah

upaya deteksi dini untuk mengetahui akan status HIV seseorang melalui

Konseling dan Tes HIV Sukarela atau Voluntary Counselling and Testing

(Dinas Kesehatan Banten: 2006).

Sedangkan tujuan program menurut Dinas Kesehatan sesuai

dengan tujuan program VCT Kementrian Kesehatan yaitu menyediakan

84
layanan tes VCT bagi masyarakat yang membutuhkan di Kota Tangerang

Selatan agar dapat diperoleh dukungan psikologis, pemberian informasi,

dan pengetahuan HIV-AIDS sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah

yang lebih sehat, aman dan bertanggungjawab. Sedangkan fokus program

yaitu screening HIV-AIDS menggunakan dua pendekatan yaitu

Konseling dan Tes HIV secara sukarela atau Voluntary Counselling and

Testing (VCT) dan Konseling Tes HIV atas inisiasi petugas Kesehatan

atau Provider Initiated Test and Counselling (PITC). Penerapan bisa

dilakukan di layanan IMS, PTRM, TB, antenatal care dimana tingkat

prevalensi HIV tinggi. Populasi yang menjadi fokus program adalah ibu

hamil, komunitas supir angkot, salon-salon waria, kelompok metadon,

kelompok beresiko, dan masyarakat umum di Kota Tangerang Selatan

khususnya daerah Ciputat dan sekitarnya, seperti Pamulang.

` Berikut kutipan wawancara dengan narasumber:

“Tujuannya sama dengan tujuan VCT Kementrian kesehatan ya,

menyediakan layanan tes HIV bagi masyarakat yang membutuhkan di

Kota Tangerang Selatan agar dapat diperoleh dukungan psikologis,

pemberian informasi, dan pengetahuan HIV-AIDS sehingga terjadi

perubahan perilaku ke arah yang lebih sehat, aman dan

bertanggungjawab. Untuk fokus program, kita screening HIV-AIDS

dengan dua pendekatan yaitu Konseling dan Tes HIV secara sukarela

atau Voluntary Counselling and Testing (VCT) oleh klien dan Konseling

Tes HIV atas inisiasi petugas Kesehatan atau Provider Initiated Test and

85
Counselling (PITC). Penerapan bisa dilakukan di layanan IMS, PTRM,

TB, antenatal care dimana tingkat prevalensi HIV tinggi. (P-RS-5)

“Tujuannya agar banyak masyarakat yang melakukan tes VCT untuk lihat

status HIVnya. Fokusnya untuk masyarakat umum (D-RS-1).

Sedangkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas dan LSM

menunjukkan bahwa tujuan program VCT adalah untuk penanggulangan

HIV-AIDS, berikut kutipannya,

“Tujuan utama untuk penganggulangan HIV dan AIDS, dimana kalau

kasusnya bisa ditemukan, maka harus ada pengobatan, kalau sembuh kan

susah, kalau pengobatan atau rujukan bisa, kita rujuk ke RS Fatmawati.

Kita ke semua kelompok masyarakat, Yang di fokuskan biasanya ibu

hamil, komunitas supir angkot, salon-salon waria, kelompok metadon,

kelompok-kelompok lokalisasi, tempat khusus sih nggak ada, tapi itu ada

tempat warung remang-remang, untuk informasi biasanya dari para

penjangkau itu tadi”. (A-RS-3)

“Untuk program, tujuannya ya untuk penanggulangan HIV-AIDSnya ya,

terutama ya di ibu hamil gitu kan” untuk fokusnya di Tangsel, pemakai

narkoba kan banyak, hubungan seks dari suami ke istri juga banyak gitu

kan, lebih diutamakan di Puskesmas Ciputat, karena VCT berawal dari

Ciputat, PTRM awalnya waktu itu, buka setiap hari untuk pasien narkoba

ya., (C-RS-4)

Sedangkan responden dari Kepala Promosi Kesehatan Puskesmas

Ciputat mengatakan tidak terlibat dalam penentuan tujuan.

86
“Saya mah nggak tahu tujuan, latar belakang gitu-gitu, kalau itu tanya

langsung sama penanggungjawab programnya, saya cuma bantu

sosialisasi” (F-RS-2)

Sedangkan kendala dalam perencanaan latar belakang, fokus dan

tujuan program VCT menurut para informan yaitu penanggungjawab

program VCT Puskesmas Ciputat tidak mengetahui detail latar belakang,

tujuan dan fokus program karena tidak dilibatkan dalam proses

perencanaan, hanya dilibatkan sebagai eksekutor program. Sedangkan

kendala menurut Kepala Puskesmas yaitu mengkoordinir pemeriksaan

VCT ketika di lapangan yang terkadang membutuhkan biaya lebih untuk

meyakinkan tokoh kuncinya yaitu mucikari, kendala menurut LSM yaitu

diskriminasi saat pelaksanaan dan meyakinkan klien beresiko untuk VCT.

Berikut kutipan wawancara dengan informan,

“Saya mah, nggak ngerti kendalanya pas perencanaan latar belakang,

yang penting melaksanakan program saja”. (D-RS-1)

“Kendalanya nggak ada ya, karena saya tidak dilibatkan” (F-RS-2)

“Kendalanya paling susah jika kita punya tempat tujuan, lokasi,

susahnya mengumpulkan sasaran tersebut, nah misal di tegal rotan, kan

banyak penularan dari perilaku seks ya, kita susah mengkoordinir untuk

pemeriksaan, itupun lewat ‘germo-germo’ lah atau apa istilahnya ‘cetek’,

yang terkadang juga membutuhkan biaya, pada intinya susah

mengumpulkan” (A-RS-3)

87
“Diskriminasi, banyak orang awam yang nggak mau, padahal risiko

udah ada, biasanya dari mereka tahu VCT sampai yakin mau VCT sekitar

2 minggu” (C-RS-4)

5.5 Gambaran Analisis Situasi Program VCT di Puskesmas Ciputat

Analisis Situasi yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi

analisa terhadap kekuatan internal Puskesmas Ciputat, kelemahan lembaga,

peluang lingkungan, dan tantangan, diperkuat dengan analisis program

serupa serta kendala dalam perencanaan. Dalam hal ini, puskesmas

mengakui tidak mempunyai hasil analisis situasi program VCT di internal

Puskesmas. Seharusnya analisis situasi dilakukan dengan melibatkan

pemegang program dan beberapa tim VCT Puskesmas Ciputat, bagian

Promosi Kesehatan, Kepala Puskesmas, LSM mitra, KPA Tangerang

Selatan serta Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Namun kenyataannya,

perencanaan tidak melibatkan bagian promosi kesehatan puskesmas

Ciputat, maupun Kepala Puskesmas dalam satu forum perencanaan

pemasaran sosial. Namun, analisis situasi tidak dilakukan dalam forum

resmi untuk membahas hal tersebut. Peneliti melakukan wawancara

mendalam tentang analisis situasi yang dilakukan oleh masing-masing

informan.

Berikut ini adalah kutipan hasil wawancara yang dapat dijadikan

acuan analisis situasi pemasaran sosial program VCT HIV-AIDS,

“Data analisis situasi kita tidak punya, tapi kalau Kekuatannya, klinik VCT

ini uda ada di 5 puskesmas, layanannya setiap hari bisa dilayani, gampang

juga tes VCTnya, konselornya sudah ada empat orang termasuk saya.

88
“Kalau kelemahan program VCT, sasaran hotspotnya silent tersembunyi,

PSK siapa yang mau ngaku PSK? Beda sama program imunisasi, semua

kelihatan.

“Kita ada kader yang aktif, penyebaran info banyak mouth to mouth, kita

punya forum lokbul, lokmin, pertemuan kelurahan, ada LSM, kita juga

mengikutsertakan Dinas Kesehatan/ SKPD yang lain, Dinas Pendidikan,

Pariwisata, lintas sektoral.

“Tantangannya dari sasaran, mereka malu ngaku, malu VCT. Kendalanya,

lintas sektoral belum begitu berambisi, gebyarnya tak segebyar pekan

imunisasi yang dinas PKK juga ikut. (D-RS-1)

“Nggak ada” (F-RS-2)

Kepala Puskesmas menambahkan analisa pribadi terhadap kekuatan,

kelemahan, peluang dan tantangan lembaga sebagai berikut,

“Kita tidak melakukan analisis situasi, Kalau analisa saya, kekuatan

sumberdaya sudah ada, SDM uda, sarana prasarana tempat sudah ada,

dana sudah ada, Kelemahannya hanya kesadaran masyarakat aja, dan

image masyarakat yang kemungkinan terkena IMS yang risikonya juga

terkena HIV, itu hambatannya disitu. Kendalanya karena kita tidak punya

sebaran, khususnya di tingkat bawah RW RT, karena data yang kita

peroleh dari luar ciputat, jadi data dibawah kita belum ada. Peluangnya

ya dari lingkungan sekitar, untuk saat ini peluangnya da, komunitas yang

kita curigai ada, tinggal kapan VCT gitu aja, tapi susah untuk

melakukannya karena nggak semua mau. Program serupa klinik IMS,

sama TB, kalau HIV positif bisa kena karena daya tahan turun. Tantangan

89
untuk VCT tidak ada, tapi kalau untuk klinik metadon ini yang ada, karena

kliennya kan yang pengguna narkoba, dan jam-nya disamakan dengan

yang lain, kalau pas dia lagi sakau kan dikhawatirkan mengganggu pasien

yang lain”(A-RS-3)

LSM Kotek mengakui tidak terlalu ikut terlibat dalam analisis situasi

lembaga, pihaknya hanya mengakui program ini mendapat dukungan dari

lembaga donor Global Fund AIDS (GFAIDS) melalui Pengurus Besar

Nahdlatul Ulama (PBNU)

“Kalau kekuatan lembaga sih, kita ada program ini dengan bantuan

Global Fund AIDS dari NU, tapi nggak tahu kedepannya gimana, kita sih

ngga terlalu masuk kesana. Kalau PMTCT ketika sudah VCT, kalaupun

hasilnya negatif, tapi suami positif tetep harus PMTCT, minum obatnya.

(C-RS-4)

Kepala Promosi Kesehatan Puskesmas Ciputat mengakui tidak

begitu dilibatkan dalam analisis situasi, pihaknya hanya dilibatkan dalam

kegiatan di forum rapat bulanan (lokbul), lokmin dan promosi layanan

VCT

“Kalau itu yang lebih tahu penyelenggara program ya, promkes hanya

dilibatkan dalam lokbul, lokmin, promosi layanan VCT di Puskesmas” (F-

RS-2)

5.6 Gambaran Perencanaan Segmentasi Pasar

Puskesmas Ciputat mengakui ada upaya pemilihan segmentasi pasar

dalam pemasaran sosial program VCT HIV-AIDS, namun tidak ada upaya

perencanaan secara detail dan tidak ada penelitian khusus atau identifikasi

90
khusus yang dilakukan puskesmas untuk segmentasi pasar. Pemilihan

segmentasi pasar oleh Puskesmas hanya dilakukan dengan penilaian

terhadap faktor risiko di Balai Pengobatan dan penjaringan oleh Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) serta tergambar dalam dokumen POA.

Sedangkan menurut LSM, segmentasi yang dilakukan hanya melalui rapat

koordinasi kelurahan dan posyandu dengan cara pemilihan sasaran

berdasarkan faktor risiko untuk masyarakat berisiko HIV atau yang wajib,

sedangkan untuk masyarakat umum, diberikan edukasi untuk VCT hanya

sekedar pencegahan.

Perencanaan segmentasi pasar dalam dokumen POA belum

menggambarkan psikografis atau gaya hidup, perilaku, jejaring sosial, asset

masyarakat, tahapan dalam perubahan (stage of changes) serta jumlah

sasaran target pemasaran sebelum melakukan pemasaran sosial. Segmentasi

hanya terlihat berdasarkan demografis dan geografis. Meskipun demikian,

peneliti tetap melakukan wawancara mendalam sebagai bahan

pertimbangan serta masukan Puskesmas dalam melakukan perencanaan

segmentasi pasar secara lebih detail untuk pemasaran sosial program.

Berikut kutipan wawancara dengan pihak Puskesmas dan LSM Kotek.

“Untuk pemilihan segmen, hanya diijaring di BP (balai pengobatan), tanya

faktor risikonya, diantar LSM/datang sendiri” (D-RS-1)

“Lewat media rakor rapat kelurahan, posyandu. Cara milihnya waktu

pelaksanaan ya dipilih yang punya risiko, misalnya metadon, mantan

penasun (pengguna narkoba suntik), ibu hamil PITC (Provider Initiated

Test and Counseling) maka wajib untuk VCT. Kalau untuk masyarakat

91
umum lewat rakor penjelasannya, kan VCT itu untuk mengetahui kita kena

HIV atau nggak, walau nggak punya risiko, jadi beda bahasa verbal saja,

intinya sama” (F-RS-2).

“Puskesmas cukup melibatkan saat pelaksanaan, kita sebut mobile VCT,

kita biasanya sama LSM BMG, Kotek, Puskesmas” (C-RS-4)

Segmen pemasaran sosial program VCT secara umum yaitu ibu

hamil, kelompok berisiko HIV-AIDS seperti Wanita Pekerja Seks (WPS),

Waria, Laki-laki Seks Lelaki (LSL), Injecting Drug User (IDU), Pasangan

Risiko Tinggi, Pelanggan dan lainnya serta masyarakat umum. Jumlah yang

ditargetkan adalah 50 orang di Puskesmas Ciputat, sedangkan di Tangerang

Selatan yaitu sebanyak 336 orang yang melakukan tes VCT pada tahun

2014.

“Masyarakat umum dan kelompok yang berisiko, dan ibu hamil. Jumlahnya

50 sebulan” (D-RS-1).

“Belum ada target ya” (A-RS-3)

“Ada, kita lebih ke kualitas pendampingan, kita dapat banyak pun tapi

mereka nggak akses kesehatan juga percuma, bukan hanya kuantitasna,

kalau untuk pendamping sebaya, paling tidak 6-10 pasien baru per orang.

Kalau kita berlima, paling nggak, 5 per orang sudah 30 an per bulan” (C-

RS-4)

Segmentasi berdasarkan demografis dalam POA untuk pemasaran

sosial program VCT di Puskesmas dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin,

usia, asal daerah. Untuk usia, pihak promosi kesehatan Puskesmas

mengakui lebih menyasar segmen usia produktif, namun bayi juga ada.

92
Untuk jenis kelamin, puskesmas tidak secara khusus membedakan. Untuk

daerah asal Puskesmas lebih banyak menyasar wilayah Ciputat dan

Pamulang lebih luasnya untuk masyarakat Tangerang Selatan tidak terlalu

sempit di Ciputat. Berikut kutipan wawancara dengan informan,

“Sebenarnya tidak begitu, karna mereka tinggal doang disini, tapi

operasional di daerah lain, mobilisasi tinggi, ngga ada pemetaan khusus”

(D-RS-1).

“Kalau usia, yang usia produktif ya, dewasa muda lah.. asal dan jenis

kelamin sama saja, daerah tangerang selatan, untuk ciputat biasanya dari

Ciputat dan Pamulang” (F-RS-2).

“Nggak, semua yang datang, kita tidak melihat jenis kelamin, atau asalnya,

kalau wilayah bukan ciputat juga nggak apa-apa. Misalnya di tegal rotan,

kita juga sering diminta untuk memeriksa di daerah lain” (A-RS-3)

“Iya, ada, biasanya ada pendatang juga, kita pendataan berdasarkan usia

produktif ada, bahkan bayi juga ada, jenis kelamin, ada, kalau untuk lebih

banyak yang mana, untuk sekarang kita bisa diratain sih” (C-RS-4)

Sedangkan klien VCT mengatakan tidak begitu mengetahui

pemilahan segmen berdasarkan usia, jenis kelamin dan asal daerah. Klien

yang belum pernah tes VCT berpendapat ada pembedaan segmen sasaran

VCT, berikut kutipannya.

“Nggak kali mbak, sama aja. Saya dulu karena hamil saja disuruh tes VCT,

katanya wajib” (S-RS-6).

“Oh iya dibedakan, itukan supaya tes itu kan ya siapa yang mau, siapa

yang masih ragu-ragu, ya harus dibedakan, ngga mungkin bayi juga di tes,

93
kecuali orang tuanya ragu-ragu kan ya umur baligh lah, uda 19 keatas (H-

RS-7)

Sedangkan, hasil telaah dokumen menyebutkan ada data klien

berdasarkan usia, jenis kelamin dan asal daerah. Data sasaran ini terlihat

dari laporan bulanan Puskesmas Ciputat. Berdasarkan laporan Bulanan

Kasus HIV-AIDS dimana tertera disitu data usia dengan rentang <4, 5-14,

15-19, 20-24, 25-49, dan ≥50, jenis kelamin laki-laki dan perempuan, serta

asal. Pasien Puskesmas Ciputat lebih banyak datang dari wilayah Kelurahan

Ciputat, Ciater, Cipayung, Pondok Cabe Ilir Pamulang (Laporan Bulanan

VCT: 2014).

Sedangkan untuk segmentasi berdasarkan psikografis,

penanggungjawab program VCT dan Kepala Puskesmas mengaku tidak

melakukan pemilahan segmen. Sedangkan informan LSM dan bagian

promosi kesehatan puskesmas mengaku hanya membedakan sasaran

berdasarkan karakter individu, gaya hidup dan ketertarikan tertentu.

Karakter yang digambarkan seperti gaya hidup bebas, gonta-ganti pasangan,

pecandu narkoba, silent client seperti ibu rumah tangga, man mobile with

money (3M) yang punya mobilitas tinggi, pekerja seks pendekatan lewat

mucikari. Perbedaaan faktor risiko ini mempengaruhi cara pendekatan tim

penjangkau. LSM mencontohkan dari segi penampilan, ketika pihaknya atau

orang Dinas dan Puskesmas mau datang ke tempat prostitusi maka harus

menanggalkan pakaian dinas, mobil dinas untuk menghargai privasi PSK

dan membuat mereka nyaman dengan kedatangan. Informan dari klien yang

sudah pernah VCT mengatakan perilaku sering keluar malam, sering di luar

94
rumah. Sedangkan klien non VCT mengatakan klien yang rentan menjadi

sasaran adalah masyarakat yang hidup di kota-kota besar seperti Jakarta dan

Tangerang Selatan, berikut kutipannya.

“Ngga ada” (D-RS-1)

“Gaya hidup dibedain, ada yang berperilaku bebas, gonta-ganti pasangan,

pekerja seks yang terbiasa melayani pelanggan, pecandu narkoba, ada juga

yang silent seperti ibu rumah tangga” (F-RS-2)

“Kita belum mengarah kesitu” (A-RS-3)

“Iya ada, kan dari setiap faktor risiko kan punya karakter berbeda, kita ada

itu, biasanya kalau ada man mobile with money, laki-laki dengan mobilitas

tinggi, ibu rumah tangga yang cenderung tersembunyi ya, kita pendekatan

lewat suaminya, biasanya kalau suaminya kena. Kalau ke PSK, kita adakan

pendekatan personal, bilang kita cuma mau akses kesehatan mereka, bukan

menjaring kita juga ada beberapa pegang mami mereka, germonya,

takutnya mreka kan takut dijaring , kalau mereka yang sadar kesehatan

mereka, mereka mau VCT, mau ikut program kita, bahkan membagikan

kondom juga mereka mau, kalau ke maminya ya kita bilang, kita Cuma

sebatas, ayo mi, kita Cuma mau ngadain VCT kok mi, supaya jaga

kesehatan mereka kok mi, kan sekarang ada obatnya mi, gitu tapi ya susah,

kita , namanya germo ya tetap melindungi mereka, pokoknya pinter-pinter

kita sih bujuknya, walaupun masuknya aja susah, mereka kalau tahu kita

mau dateng, uda, kabur, apalagi kalau ada orang dinkes makanya kalau

kita kesana, kita anjurkan jangan pakai seragam dinas, jangan pakai mobil

95
dinas, begitu kita datang , uda, mereka hilang, seringnya gagal kita. Ya

pelan-pelan masuk, temui maminya dulu, pasti adalah kendala” (C-RS-4)

“Apa ya, mungkin yang sering keluar malam, di luar rumah” (S-RS-5)

“Perilaku kehidupan bebas di kota-kota besar, kayak tangsel, jakarta” (H-

RS-6)

Segmentasi berdasarkan geografis dilakukan oleh pihak LSM dengan

pendataan wilayah-wilayah sesuai dengan asal tempat berkumpul dan

karakteristik wilayah klien. Misalnya untuk kelompok waria, Pekerja Seks

Komersial (PSK) tempat kumpul misalnya di Tegal Rotan, Pondok Aren,

Setu, pendekatan yang dilakukan adalah mobile VCT. Sedangkan untuk

pengguna narkoba suntik (Penasun) di klinik Program Terapi Rumatan

Metadon (PTRM), Pasangan Risiko Tinggi di rumah masing-masing.

Kepala Puskesmas dan Penanggungjawab program VCT mengaku belum

melakukan segmentasi berdasarkan geografis, hanya data global Tangerang

Selatan oleh Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Klien yang belum tes

VCT menambahkan pemasaran sosial bisa dilakukan di daerah-daerah yang

memiliki tempat hiburan malam. Sedangkan klien yang sudah VCT

mengatakan di tempat yang kotor.

“Ngga ada”, (D-RS-1)

“Secara langsung nggak, paling lewat posyandu ke ibu hamil, kalau

penasun ngga, didatengin” (F-RS-2)

“Kalau data seperti itu biasanya dinas, untuk data seTangsel (A-RS-3)

“Iya ada, kan untuk WPS sendiri, ada di wilayah mana, penasun HRL kan

mereka masing-masung, kalau penasun mereka kumpulnya di klinik itu itu,

96
kalau waria, PSK biasanya ada di tegal rotan, pondok aren, setu, kita

biasanya mobile VCT kesana, iya mereka uda kenal kita” (C-RS-4).

“Ya mungkin tempat tinggal yang kotor sekali, siapa aja” (S-RS-6)

“Sporadis sebenernya, harusnya semua, atau tempat-empat yang dimana

disitu ada hiburan malam, saya taunya kan HIV bisa nular karna narkoba

dan seks bebas” (H-RS-7)

Sedangkan hasil wawancara dengan pihak Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan menunjukkan bahwa tidak ada upaya segmentasi untuk

pemasaran sosial, yang dilakukan selama ini hanya pendataan lokasi yang

berisiko di Tangerang Selatan serta pembuatan peta penyebaran HIV-AIDS

di Tangerang Selatan seperti yang tertera dalam gambar 5.1 diatas. Lokasi

yang berisiko di Tangerang Selatan seperti Alang-Alang, Tegal Rotan,

Kampung Sawah, Pondok Kacang Timur, Setu, Victor, dan beberapa panti

pijat.

“Lokasi yang berisiko di Tangerang Selatan seperti Alang-Alang, Tegal

Rotan, Kampung Sawah, Pondok Kacang Timur, Setu, Victor, dan beberapa

panti pijat”(P-RS-5)

Segmentasi berdasarkan perilaku dapat dilihat dari hasil pendataan faktor

risiko dan penyebaran informasi VCT berdasarkan faktor risiko. Kajian

tingkat resiko yang dilakukan dalam rekam medik formulir VCT seperti

hubungan seks vaginal beresiko, anal seks beresiko, bergantian peralatan

suntik, transfusi darah, transmisi dari ibu ke anak dan lainnya (Formulir

VCT: 2014).

97
“Penyebaran informasi berdasarkan faktor risiko sama identifikasi perilaku

biasanya dari rekam medik, disitu ada kajian tingkat risiko, apa dari seks,

apa jarum suntik narkoba, bisa dilihat nanti” (D-RS-1).

Bagian promosi kesehatan Puskesmas mengaku, untuk perilaku

masyarakat yang tidak berisiko terdapat kecenderungan untuk mau tes

VCT, sedangkan masyarakat yang memiliki perilaku berisiko cenderung

tidak mau tes VCT, berikut kutipannya.

“Dari segi perilaku, ada yang cenderung mau itu yang tidak berisiko pasti.

Nah, ada yang cenderung nggak mau misalnya orang yang sudah berisiko,

mungkin dia merasa berisiko, jadi males” (F-RS-2).

Kepala Puskesmas menambahkan, pemilahan segmen berdasarkan

perilaku misalnya di warung remang-remang. Pendekatan yang dilakukan

yaitu meminta dukungan LSM, Dinas Kesehatan, Satpol PP, Komisi

Penanggulangan AIDS. Berikut kutipannya,

“Kalau perilaku sudah jelas, warung-warung remang, tempatnya ya banyak

sih, ciputat pun ada, kita curigai, biasanya kita minta bantu dinas, LSM,

Satpol PP, KPA, biasanya puskesmas diminta tenaga yang meriksa aja”

(A-RS-3)

LSM membedakan segmentasi berdasarkan perilaku. Misalnya perilaku

Wanita Penjaja Seksual (WPS) yang selalu ketakutan jika ada orang asing

non pelanggan masuk, LSM meminta bantuan mucikari untuk melakukan

pendekatan. Sedangkan penasun, mereka berbeda karakter masing-masing,

ada yang sangat terbuka ada yang tidak, LSM melakukan pendekatan

memberikan imbalan berupa rokok dan sejenisnya untuk bisa masuk ke

98
komunitas mereka. Sedangkan ibu rumah tangga dan anak-anak, melalui

suami/ayah yang bersangkutan. Klien yang langsung datang ke klinik

biasanya sudah terkena HIV-AIDS, berikut kutipannya.

“Ada, beda-beda kita kan caranya, masuknya kita juga beda, kalau WPS

kan mereka berkesannya takut, ngumpet gitu ya, ya kita pelan-pelan temui

maminya dulu, kalau uda ketemu diisitu ya mereka mau, kalau penasun kan

mereka pemakai, kalau yang open-open banget, kalau kita masuk ya harus

ada imbalan yang mereka terima entah itu rokok atau apa gitu, ibu rumah

tangga kita kan dari suami dulu, suami ketahuan, kita tanya, gimana pak,

apa bapak sendiri yang bilang ke istrinya, atau kita bantu bicaranya,

biasanya mereka lebih kena sama kita ketimbang penjelasan dari suami,

kalau yang langsung ke layanan mereka uda kena biasanya, kita udah tahu,

wah ini suspek nih, ya kita ajak ngobrol dulu lah, buat mereka nyama dulu

baru kita tanya punya istri pak? Punya anak?” (C-RS-4)

Sedangkan untuk identifikasi tahapan dalam perubahan perilaku

pemanfaatan layanan VCT masyarakat (stage of changes), Informan dari

LSM mengatakan, pembedaannya dapat dilihat dari perilaku, dari yang tidak

mau tes VCT menjadi mau, dari klien yang memiliki hasil VCT negatif,

ketika mengetahui perilaku beresiko penyebab HIV-AIDS mereka akan

menunjukkan perubahan perilaku menjadi tidak berperilaku berisiko setelah

didampingi lewat pertemuan-pertemuan rutin tiga kali dalam satu bulan

bersama teman-teman ODHA.

“Biasanya dari mereka yang nggak mau sampai mau gitu ya, terus mereka

yang uda tahu risikonya, kalau mreka hasilnya negatif, mereka langsung

99
berubah, ganti perilaku dari yang berisiko, jadi ngga, caranya gimana sih,

perilaku sehatnya langsung ada dan kita rutin ada pertemuan, biasanya

sebulan kita tiga kali ya, untuk pertemuan FGD yang hadir teman-teman

ODHA kita, ada teman dari kemenkes juga TB Paru, ada ODHA meeting

juga, kita untuk ODHA meeting kita di puskesmas bisa, bisa juga di luar

wilayah” (C-RS-4),

Sedangkan klien VCT mengaku pada awalnya takut untuk tes VCT,

tapi setelah mengetahui manfaatnya dari penjelasan bidan klien akhirnya

mau tes VCT. klien yang belum tes VCt juga mengatakan hal yang sama,

secara umum masyarakat akan takut untuk tes tapi jika mendapat penjelasan

melalui penyuluhan maka masyarakat akan dengan sukarela tes VCT,

“Awalnya takut, tapi setelah diberi penjelasan puskesmas, jadi mau(S-RS-

5)

“Motivasi berperilaku, jadi HIVnya aja orang uda takut ya, apa lagi untuk

tes, ya harus kuat, menurut saya harus ada penyuluhan, kalau mereka tahu,

mereka juga akan mau tes HIV” (H-RS-5)

Secara umum, informan mengakui upaya puskesmas dalam

memanfaatkan jejaring sosial dan asset masyarakat yaitu menggunakan

website Dinas Kesehatan, kader kesehatan, forum kelompok dukungan

sebaya, forum pertemuan ODHA, mouth to mouth oleh Bidan Puskesmas.

“Ada, VCT di Ciputat bisa dilihat di website dinas kesehatan, banyak yang

datang kesini karna tahu dari google (D-RS-1).

“LSM itu, kalo jejaring media sosial nggak” (F-RS-2)

“LSM, website, kader” (A-RS-3)

100
“Kita ada forum Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Pelangi, Forum

perkumpulan ODHA sebulan tiga kali ” (C-RS-4)

“ada pertemuan ODHA, di website juga lengkap” (P-RS-5)

“Sosialisasi ke ibu hamil ketika periksa aja” (S-RS-6).

“Setahu saya saja juga belum pernah tes itu, belum tahu pastinya, kayaknya

nggak ada” (H-RS-7).

Kendala yang biasanya muncul dalam perencanaan segmentasi pasar

yaitu jarang tercapainya target. Berikut kutipannya, “Jarang tercapainya

target, kalau dibantu LSM tercapai, kadang 30 dalam sebulan” (D-RS-1)

5.7 Gambaran Tujuan dan Target Pemasaran Sosial

Puskesmas memang belum memiliki tujuan dan target pemasaran

sosial program VCT secara tertulis. Namun, berdasarkan telaah dokumen,

sebenarnya Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan sudah memiliki

indikator untuk pencapaian program VCT di tingkat Kota Tangerang

Selatan. Hasil telaah dokumen Laporan Bulanan Program Pengendalian

Penyakit HIV-AIDS Kota Tangerang Selatan tahun 2014, ternyata Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan melalui Dinkes Banten memiliki satu

agreement yang disebut Single Stream of Funding (SSF) Grant

“Indonesia HIV Response: Goverment and Civil Society partnership in 33

Provinces”. Persetujuan ini adalah hasil kesepakatan dengan GFAIDS

melalui perpanjangan proposal Ronde 8 dan ronde 9 sejak 1 Juli 2012

sampai dengan Mei 2013. Tujuan umum (goal) program yaitu menurunkan

angka kesakitan dan kematian karena HIV-AIDS di 33 provinsi di Indonesia

dan memperkuat peran masyarakat serta pelayanan kesehatan untuk

101
memperbaiki kinerja pengendalian HIV-AIDS. Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan memiliki beberapa indikator turunan atau target yaitu

a. Dalam tiga bulan (Januari-Maret 2014), sebanyak 100% atau 336 orang

kelompok resiko tinggi (resti) di Kota Tangerang Selatan mendapat Tes

HIV dan mengambil hasil

b. Dalam tiga bulan (Januari-Maret 2014), sebanyak 100% atau 53 orang

penasun di Kota Tangerang Selatan mendapatkan Pengobatan Rumatan

Methadone

c. Dalam tiga bulan (Januari-Maret 2014), sebanyak 100% atau 198 orang

penderita IMS di Kota Tangerang Selatan mendapat layanan di klinik IMS

d. Dalam tiga bulan (Januari-Maret 2014), sebanyak 100% atau 1571

kondom didistribusikan melalui fasilitas layanan kesehatan di Kota

Tangerang Selatan

Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan penanggungjawab

program VCT Puskesmas Ciputat. Berdasarkan hasil wawancara dengan

Penanggungjawab program, secara keseluruhan, pelaksanaan pemasaran sosial

program VCT bertujuan agar masyarakat mengetahui perilaku berisiko HIV-

AIDS dan mau mengikuti Voluntary Counselling and Testing (VCT) dengan

sukarela serta mau mencegah perilaku yang menyebabkan HIV-AIDS. Berikut

kutipannya,

“Tujuannya pengetahuan dan perilaku, masyarakat tahu perilaku berisiko

HIV-AIDS, agar masyarakat banyak yang mau tes VCT dan mau mencegah”

(D-RS-1).

102
Hal senada disampaikan oleh Kepala bagian Promosi Kesehatan

Puskesmas Ciputat, yaitu untuk mensosialisasikan bahaya HIV-AIDS, edukasi

risiko serta agar masyarakat mendatangi layanan VCT. Sedangkan Kepala

Puskesmas mengatakan arah tujuan pemasaran sosial lebih ke perilaku

pencegahan. LSM mengatakan tujuan pemasaran sosial program VCT dalah

peningkatan pengetahuan masyarakat tentang HIV-AIDS, perilaku

pencegahan, serta akses layanan VCT. Berikut kutipannya,

“Secara garis besar, membantu mensosialisasikan bahaya HIV-AIDS, edukasi

ke masyarakat pentingnya risiko HIV-AIDS dan agar masyarakat mendatangi

layanan VCT” (F-RS-2)

“Ke arah perilaku tanpa dia sadari, misal gay yang tidak menggunakan

pelindung, jarum suntik ya, ke perilaku pencegahan setelah dia VCT,, misal

menggunakan kondom, jarum sekali pakai” (A-RS-3) .

“Perilaku dan pengetahuan. Perilaku yang kita harapkan mereka paling tidak

menghentikan risiko yang uda pernah ada, dan mereka bisa akses ke VCT”

(C-RS-4)

Goal standar atau target pemasaran sosial VCT di Puskesmas Ciputat

masih berupa standar kasar internal Puskesmas yaitu sebanyak 50 orang

mengikuti layanan VCT HIV-AIDS setiap bulan. Berikut kutipannya,

“Kita target sebanyak-banyaknya, untuk jumlahnya perkiraan kasar kita

sarankan target 50 orang setiap bulan” (D-RS-1)

Untuk hambatan atau kendala dalam penentuan tujuan dan goal standar

program Kepala Puskesmas mengatakan, tidak adanya target membuat

Puskesmas kesulitan untuk mengukur pencapaian cakupan. Sedangkan pihak

103
LSM mengakui hambatan dalam hal ini adalah pelaksanaan untuk mencapai

tujuan, terkadang masyarakat yang mengetahui kegunaan VCT, belum tentu

mau tes VCT. Sedangkan informan yang lain mengaku tidak ada hambatan.

Berikut kutipannya,

“Hambatan karna kita nggak pakai target ya, kalau kita pakai target mungkin

iya cakupannya yang tidak tercapai. Kalau program lain sudah ada target.

Lah, mungkin dari pemegang program. Kalau program secara nasional ngga

ada” (A-RS-3).

“Terkadang mereka nggak semua mau juga, mereka tahu, tapi untuk

melangkah ke VCT mereka belum mau” (C-RS-4).

5.8 Gambaran Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku

Puskesmas memiliki cara tersendiri dalam mengidentifikasi faktor

yang mempengaruhi perubahan atau adopsi perilaku. Berdasarkan hasil

wawancara dengan Penanggungjawab Program VCT Puskesmas Ciputat,

Identifikasi faktor perubahan perilaku klien dilakukan melalui rekam medik

dan penandatanganan persetujuan tes HIV. Hasil analisis telaah dokumen

form persetujuan menunjukkan, terdapat beberapa informasi dasar yang

diberikan seperti informasi tentang HIV-AIDS, kegunaan dari tes HIV-

AIDS, keuntungan dan tantangan yang diperoleh setelah tes HIV,

pencegahan HIV dan peningkatan kualitas hidup dengan HIV (Puskesmas :

2014). Kutipan,

“Kita pakai rekam medik sama persetujuan VCT” (D-RS-1)

Berdasarkan wawancara dengan beberapa informan, mayoritas

mengatakan bahwa masyarakat akan memanfaatkan layanan VCT jika

104
mengetahui manfaatnya dan merasa bahwa dirinya beresiko baik karena

salah satu keluarga atau teman positif HIV-AIDS.

“Ketika masyarakat tahu manfaatnya, merasa bahwa dirinya berisiko, maka

mereka akan memanfaatkan layanan VCT” (F-RS-2)

“Mau jika dari temen, keluarga atau yang dia kenal ada yang positif, tapi

hingga saat ini kan untuk mengetahui status HIV itu kan suatu kerahasiaan,

tapi kan HIV bisa dilihat dari tanda-tandanya” (A-RS-3)

Ada beberapa faktor perubahan perilaku diantaranya persepsi terhadap

hambatan, manfaat, perilaku yang ditargetkan kompetitor program, serta

pengaruh orang penting lain. faktor pertama adalah persepsi terhadap

hambatan, beberapa informan mengatakan hambatan utama enggan untuk

memanfaatkan layanan VCT adalah malu karena stigma masyarakat yang

tabu, ketidaksiapan untuk VCT, takut kerahasiaan terganggu, tidak ada

dukungan keluarga.

“Malu, terkadang pasien yang berisiko belum siap untuk VCT” (D-RS-1)

“Bagi masyarakat umum, hambatannya, hal seperti VCT itu masih awam

kali ya, kalau bagi yang berisiko, mereka takut kalau hasilnya positif” (F-

RS-2).

“Saya kurang begitu tahu, mungkin ke pemegang program” (A-RS-3)

“Ya mungkin mereka ada rasa takut, kerahasiaan mereka takut orang lain

tahu, ada juga hambatan dari keluarga, ada beberapa yang kita dampingi,

keluarga nggak mau terlibat, ada juga yang peduli banget, kita banyak yang

asli tangsel, yang pendatang malah sedikit mbak”, (C-RS-4)

105
Sedangkan pendapat masyarakat mewakili klien VCT, alasan melakukan

VCT karena untuk alasan pencegahan, sedangkan persepsi hambatan VCT

bagi informan tidak ada karena VCT merupakan layanan gratis. Berikut

kutipannya, “Pengen tau aja, , buat mencegah, saya disuruh, semua yang

hamil disuruh, wajib, takut anaknya ketularan juga jadi diobatin lebih dini.

Hambatan nggak ada sih, gratis juga, tapi ada yang bayar, yang bukan

warga Tangsel” (S-RS-6).

Sedangkan informan masyarakat mewakili klien yang belum

melakukan VCT mengatakan bahwa akan tes VCT jika sudah memahami

HIV-AIDS, manfaat VCT dan merasa beresiko HIV-AIDS, hambatannya

sekarang banyak masyarakat yang belum begitu mengetahui manfaat VCT.

Berikut kutipannya,

“Yah, mungkin kalau saya sudah begitu paham tentang HIV dan kalau

dalam hidup saya berisiko Hiv ya saya akan lakukan tes, banyak

masyarakat yang nggak tes VCT karena belum tahu aja” (H-RS-7).

Sedangkan identifikasi yang dilakukan terhadap persepsi manfaat

klien dalam melakukan pemeriksaan VCT dilakukan saat memberikan

inform consent atau pernyataan persetujuan pada klien. LSM mengatakan

VCT juga bermanfaat untuk penguatan kelompok. Berikut kutipannya,

“Inform consent, ada manfaatnya” (D-RS-1).

“Pasti ada, untuk lihat status HIV, kita kan tujuannya supaya bermanfaat

bagi masyarakat” (F-RS-2)

106
“Mereka tahu itu bermanfaat banget, sekarang juga banyak yang sadar

akan manfaat VCT, terkadang mereka ada pelatihan untuk penguatan

kelompok, jadi mereka lebih seneng dan lebih tahu” (C-RS-4).

Sedangkan persepsi klien VCT yang sudah pernah mendapatkan layanan

terhadap manfaat VCT yaitu masyarakat jadi lebih mengetahui positif dan

negatif layanan VCT. Masyarakat yang belum memanfaatkan layanan VCT

berpandangan manfaat layanan VCT yaitu menambah keyakinan diri.

“Bagus sih, jadinya tau positif atau negatifnya” (S-RS-6)

“Kalau VCT itu kan untuk menambah keyakinan supaya yakin bahwa dia

nggak kena virus apa-apa” (H-RS-7)

Faktor ketiga yang mempengaruhi perubahan perilaku yaitu dampak

perilaku program kompetitor. Berdasarkan hasil wawancara dengan

beberapa informan, beberapa pengaruh perilaku yang diharapkan kompetitor

program VCT yaitu 1) Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang lebih

mentargetkan menjaring ibu hamil untuk memanfaatkan layanan KIA,

bukan VCT. Namun, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan mengatakan

ada beberapa program sangat mendukung program VCT yaitu Provider

Initiated Test and Counselling (PITC) yang mentargetkan petugas layanan

kesehatan menginisiasi tes HIV kepada pasien, Program Terapi Rumatan

Metadone (PTRM) yang mendukung VCT untuk pengguna narkoba suntik,

Layanan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang mendukung untuk tes VCT

dan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) yang mendukung

tes VCT untuk pencegahan HIV pada ibu hamil dan anak. Klien yang belum

pernah VCT mengatakan ada program Kampanye Aku bangga Aku Tahu

107
(ABAT) dari Kementrian Kesehatan yang juga fokus ke pencegahan HIV-

AIDS, namun bagi remaja. Berikut kutipannya,

“KIA menjaring ibu hamil, lebih banyak KIA dari pada ke VCT” (D-RS-1).

“Program mendukung VCT itu seperti PTRM, IMS, PMTCT, PITC. Semua

mendukung VCT karena satu frame untuk program penanggulangan HIV-

AIDS,, bahkan awalnya VCT di Puskesmas Ciputat itu dari pasien PTRM

metadon” (P-RS-5)

“Mungkin ada, USG gitu kali” (S-RS-6)

“Kalau saya lihat ada di plang-plang itu, kayak program kemenkes itu ada

program Aku Bangga Aku tahu, mereka juga ngasih tau tentang VCT itu

juga sudah bagus” (H-RS-7).

Faktor pendukung perubahan perilaku yang terakhir yaitu pengaruh

orang lain yang dianggap penting. Menurut Penanggungjawab program

VCT, Puskesmas belum secara gamblang kerjasama dengan tokoh agama

ataupun KUA, hanya kerjasama denagn puskesmas lain mengingat tidak

semua puskesmas memiliki layanan VCT. Kepala Bagian Promosi

Kesehatan berpendapat, ada pengaruh orang penting seperti Kepala

Puskesmas, dokter, tokoh masyarakat, keluarga. LSM mengaku melibatkan

Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, tokoh masyarakat seperti dari Kelurahan,

Kecamatan, dan ulama’ bahkan pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

telah meluncurkan buku panduan penanggulangan AIDS perspektif

Nahdlatul Ulama’ dan Kutbah Jum’at Jihad Melawan AIDS. Berikut

kutipannya, “Ngga mengkhususkan orang, kita belum ada kerjasama sama

108
tokoh agama, KUA belum ada kerjasama lintas sektor hanya sama

puskesmas lain” (D-RS-1)

“Ada, kapuskes, dokter, tokoh masyarakat, keluarga” (F-RS-2)

“Ada, sampai saat ni belum kita denger tuh di masyaakat ada persatuan

apa. Belum ada” (A-RS-3).

“Terkadang ada, melibatkan dinas sosial, dinas kesehatan, kita biasaynya

tokoh masyarakatnya orang kelurahan, kecamatan , kalau untuk tokoh

masyarakat, kita juga uda coba sosialisasi ke ulama’ kita juga sampaikan

kalau tangsel ini termasuk zona merah, PBNU juga baru meluncurkan buku

panduan penanggulangan AIDS perspektif Nahdlatul Ulama’ (C-RS-4)

Klien yang sudah pernah tes VCT mengatakan, ada pengaruh orang

penting dalam VCT, seperti Puskesmas, Keluarga, berikut kutipannya.

“Ada, puskesmas, keluarga” (S-RS-6)

“Kalau gitu sebenernya nggak ada sih kalau orang satu, kalau istrinya

ibunya faham, anaknya mah nggak usah disuruh, ya keluarga dekatnya lah,

kalau guru itu mau penyuluhan berapa kali juga, nggak mempan, kalau

dokter sih mungkin kalau dokternya bisa jadi panutan” (H-RS-7).

Secara keseluruhan, Puskesmas mengaku tidak ada kendala dalam

hal ini. Namun, LSM mengaku kendala utama terkadang klien yang sudah

tes VCT banyak yang tetap melakukan perilaku berisiko HIV. Misalnya

tidak memakai kondom karena pelanggan berkurang ketika memakai

kondom. Berikut kutipannya, “Kendalanya kalau perubahan perilaku

kadang kita bingung tuh, uda tahu berisiko, tapi mereka tetap ngelakuin

juga, dari yang di VCT dan yang didampingi, mereka memakai kondom,

109
kalau WPS kadang mengeluh, kalau kita pakai kondom kita nggak dapat

pelanggan, alhamdulillah dari 10 yang berisiko, hanya satu yang positif

biasanya” (C-RS-4)

5.9 Gambaran Pernyataan Positioning

Dalam perencanaan positioning statement atau pernyataan positioning

Puskesmas mengaku belum melakukan perencanaan sehingga cenderung

tidak ada kendala. Yang mereka lakukan hanya menjadikan program VCT

termasuk program pokok yang unggulan. Puskesmas hanya menyampaikan

harapan tentang pandangan masyarakat terhadap layanan VCT.

“Kita belum ada positioning statement. Tapi program VCT ini termasuk

program unggulan” (D-RS-1)

“Masyarakat bisa tahu HIV dari VCT” (F-RS-2)

“Kita inginnya masyarakat bisa mengenal, dan nggak tabu lagi lah, VCT itu

sudah lumrah dilakukan oleh masyarakat umum” (A-RS-1),

“Mereka sih berpandangan positif bahkan banyak mengakui kalau

manfaatnya itu ada. Gitu” (C-RS-4)

5.10 Gambaran Bauran Pemasaran (Marketing Mix)

Dalam bauran pemasaran sosial, seharusnya ada empat strategi yang

direncanakan, yaitu strategi produk, harga, tempat dan promosi. Peneliti

melakukan telaah dokumen dan wawancara mendalam terhadap para

informan untuk melihat bauran pemasaran produk. Puskesmas telah

melakukan perencanaan bauran pemasaran berupa strategi produk, harga,

tempat dan promosi namun tidak begitu detail.

110
Pertama, strategi produk yaitu core product (produk utama atau

manfaat) Actual product (tindakan atau perilaku) dan augmented product

(barang dan layanan). Hasil telaah dokumen menyebutkan, VCT bermanfaat

untuk 1) Perencanaan dan promosi perubahan perilaku, 2) Pelayanan

pencegahan infeksi HIV dari ibu ke anak, 3) Memfasilitasi akses pelayanan

medis (infeksi oportunistik, IMS, ARV dan TB), 4) Memfasilitasi

kegiatan sebaya dan dukungan, 5) Normalisasi HIV-AIDS dan mengurangi

stigma, 6) Perencanaan dan perawatan untuk masa depan, 7) Menerima

keadaan terinfeksi HIV dan penyelesaiannya (Dinkes Banten: 2006).

Menurut Penanggungjawab program, manfaat produk adalah untuk

mengetahui status HIV secara lebih dini, sedangkan perilaku yang

diharapkan adalah Tes dan Konseling HIV-AIDS. Barang nyata produknya

yaitu Klinik VCT di Puskesmas, Klinik VCT keliling atau Mobile VCT,

Alat untuk tes HIV yang mendapat support dari dinkes Tangerang Selatan.

“Manfaatnya, untuk mengetahui status HIV secara lebih dini, perilaku yang

diharapkan yaitu Tes dan Konseling HIV-AIDS. Kalau barangnya, Klinik

VCT di Puskesmas, Klinik VCT keliling atau Mobile VCT, Alat untuk tes

HIV yang mendapat support dari dinkes Tangerang Selatan” (D-RS-1).

Strategi Price meliputi harga, waktu, atau pengorbanan baik psikologis

maupun fisik yang harus diberikan klien dalam pemanfaatan program VCT.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, Puskesmas Ciputat

menetapkan free charge atau mengratiskan harga tes VCT untuk warga

yang memiliki KTP Tangerang Selatan, sedangkan untuk non-tangsel

dikenakan biaya sesuai Perda. Strategi untuk pengorbanan waktu, selain

111
layanan buka setiap hari kecuali hari Minggu, Puskesmas juga menyediakan

waktu khusus untuk konsultasi di tempat sepi jika klien menginginkan.

Untuk mengatasi pengorbanan klien baik psikologis maupun fisik,

Puskesmas bekerjasama dengan LSM untuk pendampingan. Berikut kutipan

hasil wawancara,

“Kita gratis untuk program VCT, kalau yang tangsel. Kalau non-tangsel

kena perda, kalau dirujuk LSM gratis. Kalau stategi untuk atasi

pengorbanan psikologis, LSM yang dampingi, minta waktu konsul di tempat

sepi jangan saat ramai, kita layani” (D-RS-1)

“Kalau harganya gratis, kita juga open pada klien” (F-RS-2)

“Untuk tangsel kan gratis semua ya, yang non tangsel masih kena biaya

perda 3000, kalau pemeriksaan lab sesuai dengan perdanya. Kalau

pengorbanan psikologis ya pas terkena” (A-RS-3)

“Gratis ya, kalau memang warga tangsel, kalaupun bukan warga tangsel

VCT itu nggak mahal kok, Cuma 5000, untuk penanganan mental kita ada

konseling, baik sebelum VCT, sesudah sampai mereka buka hasil, konseling

dari puskesmas ada, dari LSM ada” (C-RS-4)

Klien mengaku mendapatkan layanan VCT secara gratis. Untuk

pengorbanan waktu selama tes kurang lebih satu jam. Sedangkan bagi klien

yang belum pernah tes VCT mengaku lebih menekankan ke pengorbanan

mental, terlalu banyak pertimbangan baik dan buruknya setelah tes VCT,

selain karena stigma masyarakat, ada rasa takut jika hasil tes positif. Berikut

kutipannya,

112
“Aku gratis, tapi ada yang bayar juga yang KTPnya bukan

Tangerang, kayak orang ngontrak, kalau pengorbanan waktu, mungkin ada,

soalnya lumayan lama sih nunggunya, belum di bidan, terus disuruh keatas,

cuma dibilangin kalau ibu hamil sekarang ada tes VCT, terus diperiksa,

diambil darahnya, setelah itu tunggu, pas uda dapet hasilnya cuma

dibilangin, Hbnya bagus, hasilnya negatif, cara pencegahannya nggak

dikasih tahu, sejaman tesnya dari nunggu ngambil darah sampe hasil, antri,

bidannya bilang, sehari harus ada lima yang diperiksa”. (S-RS-6)

“Ya, kalau bisa gratis, kayaknya gratis di puskesmas, pengorbanan, saya

sih lebih ke mental ya, banyak yang dipikirkan baik buruknya, kalau dia

kena ya apa yang mungkin akan terjadi, ya stigma, pengorbanan waktu iya,

paling kuat mental, kalau waktu dan fisik kan bisa di.., ya mental lah” (H-

RS-7)

Untuk strategi Place, hampir semua informan mengaku terdapat

kemudahan akses layanan VCT bagi klien. Salah satu bentuknya adalah

adanya mobile VCT, klinik VCT di Puskesmas yang memiliki lokasi

strategis, ada ruangan khusus klinik VCT di lantai dua Puskesmas, berikut

kutipannya.

“Kalau tempat, kita ada ruangan khusus diatas, tidak campur sama yang

lain, di samping lab, tapi gabung sama klinik TB paru, letak puskesmas juga

strategis ya. Di samping pasar” (D-RS-1).

“Mobile VCT itu juga strategi Place untuk mendekatkan dengan klien ya,,

selain dari klinik VCT di Puskesmas” (P-RS-5)

113
Selain itu, berdasarkan hasil observasi, Klinik VCT di Puskesmas

Ciputat memang memiliki beberapa fasilitas yang nyaman seperti ruang

tunggu yang dilengkapi media poster, leaflet, brosur tentang HIV-

AIDS,kotak saran, tempat sampah, meja kusi, kalender. Ruang konseling

dilengkapi dengan tempat duduk bagi klien dan konselor, rekam medis,

informed consent, catatan medis klien, formulir pra dan pasca testing,

lembar rujukan, alat tulis, kondom dan alat peraga penis, tisu, air minum,

lemari arsip.

Untuk ruang pengambilan darah dilengkapi dengan jarum dan speril steril, tabung

penyimpan darah, stiker kode, kapas alkohol, cairan disinfektan, sarung tangan

karet, apron plastik, sabun dan tempat cuci tangan dengan air mengalir, tempat

sampah disinfektan, barang tidak terinfeksi dan barang tajam, petunjuk pajanan

okupasional. Ruang petugas kesehatan dan non kesehatan dilengkapi dengan meja

dan kursi, tempat pemeriksaan fisik, stetoskop dan tensi meter, kondom dan alat

peraga penggunaannya, KIE HIV-AIDS serta infeksi oportunistik, blangko resep,

alat timbangan berat badan. Ruang laboratorium dilengkapi dengan reagen untuk

testing dan peralatannya, lemari pendingin, alat sentrifusi, ruang penyimpanan

testing kit, buku-buku register, cap tanda positif atau negatif, pedoman testing

HIV, pedoman pajanan okupasi, lemari arsip yang terkunci. Berikut foto ruangan

konseling

114
Gambar 5.2 Ruang Konseling dan Tes HIV

Untuk strategi Promotion, Puskesmas menggunakan media leaflet,

Buku Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) Diary ODHA, Poster,

brosur-brosur VCT, lembar balik layanan metadon puskesmas, spanduk di

depan Puskesmas serta kartu nama pendamping ODHA LSM, penyediaan

kondom. Untuk konten, dimulai dengan pengenalan penyakit, perilaku

beresiko HIV-AIDS, resiko jangka panjang dan saran untuk tes VCT.

115
Metode yang digunakan yaitu sosialisasi melalui Lokbul, posyandu,

paguyuban penasun, mouth to mouth staf puskesmas, peresmian atau

launching PTRM dan klinik VCT, pendekatan personal LSM, penyuluhan,

Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Pelangi, mobile visit ke sopir-sopir

angkutan umum dan kelompok risiko tinggi. Promotor yang terlibat adalah

Tim VCT, bagian Promosi Kesehatan Puskesmas, LSM Kotek, BMG, Dinas

Kesehatan Tangerang Selatan, Dinas Sosial, Komisi Penanggulangan AIDS

(KPA), dan kader kesehatan. Saluran media yang dipakai yaitu jejaring

sosial grup Facebook Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Pelangi, email,

Contact Person pendamping ODHA. Berikut kutipannya,

“Strategi promosi, kita pakai leaflet, peresmian PTRM metadon sama klinik

VCT, trus sosialisasi lewat lokbul, spanduk depan puskesmas” (D-RS-1).

“Promosi lewat leaflet, lembar balik layanan metadon puskesmas,

posyandu, paguyuban penasun. kita lebih sering promosi lisan ya, , staf

puskesmas juga diwajibkan sosialisasi, tapi bukan diwajibkan tertulis ya,

secara tidak langsung iya” (F-RS-2).

“Pengenalan penyakit dulu, risiko HIV, risiko jangka panjangnya apa,

maka disarankan untuk VCT, metode yang dipakai mobile visit ke tukang

angkot, VCT disana, terus ke kelompok risti bersama LSM dan Dinas” (A-

RS-3),

“Pendekatan personal, pengarahan dulu, mereka memahami, dengan

sendirinya mereka mau, bahkan biasanya mereka sendiri yang minta

temenin kita, kita juga pakai kartu nama, brosur-brosur VCT itu seperti

apa, itu juga ada, penyuluhan juga, kita ada jejaring sosial, email , grup FB

116
ada, kalau kita pakai FB KDS pelangi,kita juga pakai KIE Diary ODHA,

mereka kalau nggak tersedia kondom mereka minta, jadi kita sediakan

kondom kerjasama dengan pemerintah” (C-RS-4)

Namun, pada kenyataannya salah satu responden yang sudah pernah

melakukan tes VCT mengatakan belum pernah mendapat sosialisasi dari

kader kesehatan tentang VCT, hanya mengetahui ketika diberitahu bidan

saat periksa kehamilan di layanan KIA. Berikut kutipannya,

“Kader nggak ngasih tahu tuh, bidan posyandu juga nggak ngasih tahu, apa

akunya kali ya yang nggak tahu. Ya, promosinya paling dari bidan yang

jaga di puskesmas” (S-RS-6)

Kendala saat perencanaan bauran pemasaran, Kepala Puskesmas

mengaku kendalanya hanya kemauan masyarakat untuk tes VCT, Kepala

bidang Promkes mengalami kendala saat menentukan lokasi yang tepat

untuk pemasangan media, misal spanduk, sedangkan LSM mengaku tidak

ada, bahkan bagian dari klien yang positif terkadang membuka pertemanan

dengan teman mereka yang lain, atau berkomunikasi interpersonal dengan

LSM untuk sekedar sharing. Dinas Kesehatan mengaku kendala utama

kontrak waktu saat mobile visit serta ada wilayah yang tertutup terhadap

kedatangan tim. Berikut kutipannya,

“Menentukan lokasi yang tepat untuk pemasangan media, misal spanduk,

kan ngga mungkin juga di mall, pastikan di tempat yang sesuai. Kita selama

ini belum pernah pasang spanduk VCT di jalan-jalan, paling di depan

puskesmas.” (F-RS-2)

117
“Ya kendalanya ya, kemauannya aja, kadang tidak mau, menolak,

tergantung mud masing-masing kalau supir angkot kita datang kita

menawarkan, kita jemput bola, kalau mau ya sudah, kalau nggak ya nggak

apa-apa” (A-RS-3).

“Ngga sih, bahkan kadang mereka dengan sendirinya membuka

pertemanan gitu , mereka membuka diri, kadang kita maen ke mereka,

dimana sih tempat lo, kita mau maen, atau lo mau datang ke sekretariat

sini” (C-RS-4)

“Kendala saat mobile visit yaitu kontrak waktu, kemudian ada wilayah yang

terbuka terhadap kita, ada juga yang tertutup tergantung wilayah” (P-RS-

5)

Namun, dari semua strategi, pendapat klien atas layanan VCT

Puskesmas yaitu cukup puas, menurut mereka layanan VCT cukup bagus,

layanannya cepat, mereka memberi nilai delapan untuk kualitas layanan

VCT. Berikut kutipannya,

“Cukup puas dengan pelayanan yang diberikan puskesmas, bagus sih,

pelayanannya cepet, lamanya sih, karena antrinya saja. Untuk kualitas,

kalau saya kasih nilai dari 1-10 saya pilih 8 deh untuk kualitasnya” (S-RS-

6)

5.11 Gambaran Perencanaan Pemantauan dan Evaluasi

Puskesmas Ciputat mengaku menggunakan standar laporan sesuai

standar dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan untuk pemantauan dan

evaluasi. Monitoring Evaluasi dilakukan oleh tim Monitoring and Evaluation

Officer SSR Kota Tangerang Selatan. Aspek yang dinilai yaitu jumlah tenaga

118
yang aktif, jumlah tenaga yang dilatih, persediaan reagen dan kondom ARV,

Bahan KIE, Buku Pedoman, Pelayanan, Buku register pelayanan, Cakupan

pelayanan, kesimpulan dan pokok masalah/hambatan, lebih jelasnya

sebagaimana terlampir dalam lampiran supervisi. Waktu evaluasi yaitu satu

bulan sekali di internal Puskesmas dan di Kelurahan saat lokbul dan lokmin,

serta ada monitoring dan evaluasi bersama Dinas Kesehatan dan seluruh

Puskesmas setiap tiga bulan sekali. Berikut kutipan wawancara,

“Laporan ada standar laporan, pakai software by internet. Rencana monev

biasanya bareng lokbul, lokmin. Sebulan sekali, akhir bulan biasanya,

kemarin 30 mei, tergantung program yang presentasi” (D-RS-1).

“Akhir bulan biasanya, evaluasi program, evaluasi rekam medik” (F-RS-2)

“Kita bikin Plan of Action (POA) bulanan ya, evaluasi target, kalau

perencanaan kita nggak bikin satu buku khusus, karena terkendala dana jadi

kita gabung program yang lain” (A-RS-3),

“Kita ada monev setiap tiga bulan sekali, kita undang Puskesmas se-

Tangerang Selatan” (P-RS-5)

Tujuan monitoring dan evaluasi yaitu untuk melihat capaian program

penanggulangan HIV-AIDS secara keseluruhan, untuk melihat perkembangan

atau kemajuan layanan VCT dan memantau jumlah klien positif HIV. Sasaran

monitoring dan evaluasi adalah layanan klinik komprehensif. Penanggulangan

HIV-AIDS yang meliputi IMS, VCT, PICT, PTRM. Berikut kutipannya,

“Ada, untuk melihat kemajuan atau berjalan ngga VCTnya, ada ngga yang

positif” (D-RS-1).

119
“Untuk moitoring dan evaluasi, kita adakan pertemuan tiga bulanan HIV-

AIDS untuk evaluasi peningkatan capaian layanan penanggulangan HIV-

AIDS, mulai dari IMS, VCT, PICT, PTRM, sampai distribusi kondom”(P-RS-

5).

Indikator yang dipakai adalah indikator output sesuai dengan standar tiga

bulanan Global Fund untuk Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Hasil telaah

dokumen GF-AIDS SSR Dinkes Tangerang Selatan menunjukkan indikator

output untuk layanan VCT di Kota Tangerang Selatan periode Januari sampai

dengan Maret 2014 yaitu sebanyak 336 orang kelompok resiko tinggi (resti)

mendapatkan tes VCT HIV dan mengambil hasil. Sedangkan untuk indikator

tiap puskesmas, Dinas Kesehatan tidak mentargetkan jumlah tertentu.

Puskesmas Ciputat mengakui, tidak ada indikator khusus tiap puskesmas,

namun pihaknya hanya memiliki target kasar sebanyak 50 orang mendapat

layanan VCT tiap bulan. Selain indikator output, puskesmas memiliki

indikator input yaitu laporan selesai tepat waktu, keterlibatan tim dan evaluasi

kendala. Berikut kutipannya,

“Indikator input, misal, laporan selesai ngga, target tercapai ngga, tepat

waktu nggak, kendala/masalah apa yang ada, tim yang terlibat. Indikator

output, berapa orang yang VCT, kita tidak punya standar khusus dari dinas,

hanya target kasar 50 orang yang VCT sebulannya” (D-RS-1).

“Indikator output ya, lihat jumlah yang memakai layanan dan jumlah yang

positif” (F-RS-2)

Sedangkan menurut Kepala Puskesmas, indikator yang dipakai yaitu

indikator input meliputi jumlah SDM yang terlibat, kuantitas dan kualitas

120
sarana prasarana, peningkatankapasitas konselor, belum sampai pada indikator

output kepuasan klien terhadap layanan dan konselor. Berikut kutipannya,

“SDM, sarpras, peningkatan kapasitas konselor, tapi nggak sampai ke aspek

kepuasan klien terhadap layanan dan konselor, kita sampai input saja” (D-

RS-1)

LSM mengatakan, untuk indikator monitoring dan evaluasi, pihaknya

memakai indikator outcome, berapa banyak kelompok beresiko yang

didampingi, akses terhadap obat, kepatuhan meminum obat, serta efektivitas

obat yang diminum. Berikut kutipannya,

“Kalau monev, kita emang untuk pendampingan yang sudah positif, jadi kita

pantau lewat akses pengobatannya, ke outcomenya, mereka patuh ngga,

mereka uda akses obat apa aja sih , efektif nggak” (C-RS-4),

Jika mengacu pada laporan bulanan Puskesmas Ciputat tahun 2014,

disitu tertera indikator output seperti jumlah orang yang ditawarkan tes HIV,

jumlah orang yang tes HIV, jumlah yang menerima hasil, jumlah orang yang

HIV positif, jumlah orang yang dirujuk konseling lanjutan, jumlah ibu hamil

yang ditawarkan tes HIV, julmlah ibu hamil yang di tes HIV, yang positif

yang dirujuk ke PDP dan PPIA, jumlah kondom yang diberikan ke klien,

jumlah orang HIV yang dirujuk ke petugas pendukung (LSM, manajer kasus,

kader), jumlah orang HIV yang dirujuk oleh petugas pendukung, jumlah

pasangan ibu hamil positif yang mendapat konseling dan tes HIV, jumlah

orang HIV positif diskrining gejala TB dan lainnya.

Kendala dalam monitoring evaluasi yaitu ada klien yang tidak patuh

minum obat atau putus di tengah jalan.

121
“Kendalanya kadang mereka ngga patuh minum obat, kadang juga putus

ngga patuh gitu” (C-RS-4)

5.12 Gambaran Perencanaan Anggaran Biaya

Puskesmas memiliki perencanaan khusus untuk biaya pemasaran

sosial program VCT. Biaya VCT didapatkan dari dana Bantuan Operasional

Kesehatan (BOK) dan Global Fund AIDS. sedangkan LSM mengaku

mendapat dana dari PBNU atas support Global Fund.

“Honor masih dari GF yang kerjasama dengan NGO, alat tes dari dinas

APBD, dari BOK puskesmas” (D-RS-1).

“Anggaran kita dari BOK, BPJS Kemenkes” (F-RS-2)

“Dari BOK” (A-RS-3)

“NU, Global fund yang mendanai kita” (C-RS-4)

“GF AIDS sama APBD dari BOK untuk barang habis pakai” (P-RS-5)

Kendala yang biasanya muncul dalam perencanaan, menurut

Penanggungjawab program VCT yaitu tidak ada, hanya kemungkinan ada

pengurangan dana ketika program berakhir.

“Ngga ada, paling kalau program berakhir, dana untuk VCT berkurang”

(D-RS-1).

“Ngga ada sih, soalnya uda ditentuin alokasinya berapa persen gitu dari

pusat” (F-RS-2).

“Keterbatasan dana, karena dana BOK kan untuk semua program KIA dan

penyakit menular 60%” (A-RS-3)

122
5.13 Gambaran Perencanaan Implementasi Kampanye, dan Manajemen

Dalam perencanaan kampanye implementasi dan manajemen

program, Penanggungjawab program VCT mengatakan tidak memiliki

proposal perencanaan pemasaran sosial, nmun puskesmas mengaku

memiliki tim VCT serta memiliki perencanaan tahunan program. Puskesmas

mengakui ada proposal tahunan VCT yang tergabung dengan seluruh

program Puskesmas, namun Puskesmas tidak berkenan untuk memberikan

proposal tersebut. Menurut Puskesmas, laporan bulanan Puskesmas untuk

Dinas Kesehatan sudah cukup mewakili isi proposal, karena proposal berisi

rencana untuk seluruh program bukan hanya untuk VCT.

“Kalau proposal pemasaran sosial program VCT kita belum punya,

adanya, proposal tahunan, tapi bukan hanya proposal VCT, melainkan

untuk seluruh program puskesmas, minta ke dinas aja, cukup laporan kita

yang di Dinas sudah mewakili program kita kok, saya nggak ada copiannya,

nggak tau disimpan dimana, nggak usah aja proposalnya, yang di dinas

aja” (D-RS-1)

Sedangkan untuk kampanye implementasi dan manajemen,

Puskesmas melakukan beberapa kegiatan seperti penyuluhan di paguyuban,

pertemuan metadon, pemasangan spanduk VCT, launching klinik VCT oleh

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Sedangkan LSM mengaku

berkampanye melalui hari-hari besar kesehatan, seperti Hari AIDS Sedunia.

Berikut kutipannya,

“Karena VCT itu uda ada timnya ya, kita kan puna rencana tahunan,

rencana bulanan juga sama, nggak begitu ekstrim” (D-RS-1).

123
“Kampanye implementasi kita lewat kegiatan mereka, kalau ada

paguyuban, pertemuan metadon, manfaatin pas lagi kumpul” (F-RS-2).

“Ya pasang spanduk kan ya, bisa di halaman depan puskesmas, launching

HIV bareng dinas, kalau puskesmas nggak” (A-RS-3),

“Kita kampanye menggunakan brosur2 gitu, seringnya di hari AIDS,

bekerja sama dengan semua pihak” (C-RS-4)

Hasil wawancara dengan Dinas Kesehatan menyebutkan, tahun

2011 ada layanan PTRM di Puskesmas Ciputat, tahun 2012 klinik VCT

pertama dibuka di Tangerang Selatan yaitu di Puskesmas Ciputat, tahun

2013 terdapat 5 puskesmas, dan satu RSUD yang memiliki klinik VCT di

Kota Tangerang Selatan yaitu Puskesmas Ciputat, Pondok Aren, Setu,

Jombang, Serpong dan RSUD Kota Tangerang Selatan. Tahun 2015,

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan merencanakan semua puskesmas

memiliki klinik VCT. Berikut kutipannya,

“2011, klinik metadon di Puskesmas Ciputat, 2012 baru ada klinik VCT di

Puskesmas Ciputat, 2013 ada 5 puskesmas yang memiliki klinik VCT yaitu

Puskesmas Ciputat, Pondok Aren, Setu, Jombang, Serpong dan RSUD

Kota Tangerang Selatan” (P-RS-5)

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Januari-Maret 2014, perencanaan langkah yang dilakukan untuk

pencapaian target yaitu :

1. Intensifikasi dan optimalisasi kegiatan Mobile Konseling

2. Intensifikasi promosi VCT didukung oleh produksi dan distribusi media

KIE

124
3. Koordinasi yang baik antara Dinas Kesehatan, LSM BMG, Kotek, KPA,

Puskesmas dan instansi terkait

4. Mengadakan Pertemuan dengan Instansi atau lembaga terkait

5. Optimalisasi penjangkauan metadon dan pengadaan obat dan reagen yang

diperlukan

Berdasarkan hasil wawancara, pihak-pihak yang terlibat dalam

pemasaran sosial yaitu LSM Kotek, LSM BMG, Dinas kesehatan, Bidang

Promosi kesehatan Puskesmas, Bidan-bidan, analis kesehatan, perawat,

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Tangerang Selatan, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Peran masing-masing dalam pemasaran sosial program

VCT dijelaskan dalam kutipan wawancara berikut,

“Yang terlibat, dari LSM mendampingi pasien, Dinas kesehatan, Promkes,

Bidan-bidan yang kadang jadi konselor, Ada juga analis kesehatan yang

ambil darah, ada perawat yang juga bisa ambil darah” (D-RS-1).

“Dokter, analis lab, LSM” (F-RS-2).

“KPA, UIN, seminar-seminar, LSM biasanya bergerak langsung dengan

dinas, ke sini minta bantuan tenaga kita, dia kirim rujukan kasus, menjangkau

klien, Dinas atasan kita,dari keseluruhan puskesmas” (A-RS-3)

“Penjangkau dan pendampingan LSM dengan pihak terkait, dengan tokoh

masyarakat untuk semua masyarakat umum, khusus untuk HIV, Dinas sosial

biasanya mereka pelatihan-pelatihan fasilitasi kebutuhan mereka apa, sejauh

ini yang uda berjalan kalau penasun pelatihan bengkel-bengkel kecil gitu,

kalau waria salon, jadi lebih ke softskill. Kalau dinas kesehatan bantu ke

akses kesehtan, biasanya CD4 gratis, jaminan kesehatan, pelatihan-pelatihan

125
penyuluhan kesehatan, KPA penyuluhan juga dan pelaporan, Puskesmas

penyuluhan dan VCTnya, IMS akses kesehatannya. KDS Pelangi support

dukungan kelompok, KPA memang ada, berdekatan denga dinas kesehatan,

tapi sejauh ini fungsinya nggak terlalu berjalan baik, biasanya mereka kalau

ada pelaporan, terus mau seperti apa, kalau turun ke lapangan lebih bayak

LSM” (C-RS-4)

“LSM BMG untuk penjangkauan, Kotek untuk penjangkauan, KPA kadang

bantu kita suplai kondom” (P-RS-5),

Kendala dalam perencanaan kampanye implementasi, Puskesmas

mengaku tidak begitu banyak kendala, hanya manajemen waktu saja.

Sedangkan LSM mengatakan adanya miskomunikasi dengan beberapa pihak

misal KPA Tangerang Selatan, adanya diskriminasi apalagi saat pembagian

kondom meskipun ke jejaring ODHA saja. Dinas Kesehatan mengatakan

belum terjadinya kontrak waktu yang jelas dengan komunitas dan seringnya

terjadi pemutusan sepihak serta ada beberapa wilayah yang tertutup terhadap

kedatangan tenaga kesehatan. Berikut kutipannya,

“Kendalanya manajemen waktu aja” (F-RS-2).

“Kendalanya apa ya, miss komunikasi aja, antara KPA gitu kan, karena KPA

sendiri di kita belum berjalan maksimal sih, ketika pelaksananan ya

kendalanya diskriminasi, apalagi soal pembagian kondom, masih jadi pro dan

kontra tuh, kita melibatkan dinas untuk penyuluhan, kita pembagian kondom

nggak ke umum, masih dalam jejaring aja” (C-RS-4),

126
“Kendalanya kontrak waktu, belum terjadinya kontrak waktu yang jelas

dengan komunitas dan seringnya terjadi pemutusan sepihak sama ada

beberapa wilayah yang tertutup terhadap kedatangan kami” (P-RS-5)

127
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kualitatif menggunakan data primer

hasil wawancara dan observasi serta data sekunder hasil telaah dokumen.

Dalam melakukan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan penelitian

sebagai berikut.

1) Peneliti menemukan kesulitan didalam mendapatkan data karena

Puskesmas tidak memiliki proposal pemasaran sosial program VCT

yang dilegalisasi oleh Kepala Puskesmas. Puskesmas hanya memiliki

Plan of Action (POA) atau rencana kerja tahunan dan bulanan. Namun

Puskesmas tidak berkenan memberikan POA Tahunan dikarenakan

kendala penyimpanan administrasi. Informasi seputar kegiatan hanya

didapatkan melalui Laporan Bulanan Puskesmas di Dinas Kesehatan,

Laporan Bulanan Dinas Kesehatan, bahan sosialisasi VCT Dinkes serta

POA Bulanan yang tertera di majalah dinding Puskesmas.

2) Informasi yang diperoleh dalam penelitian ini tidak dapat

digeneralisasikan karen jumlah informan yang terbatas yaitu hanya

tujuh orang informan. Sehingga informasi yang diperoleh mungkin

belum lengkap. Namun, jumlah sampel tersebut menurut peneliti telah

memenuhi prinsip adequacy untuk penelitian kualitatif.

3) Adanya subjektivitas dari informan. Penelitian ini sangat tergantung

pada kejujuran dan keterbukaan informan dalam mengungkapkan fakta

dan data.

128
4) Adanya subyektivitas pada diri peneliti. Unsur subyektivitas tersebut

kemungkinan akan mempengaruhi interpretasi hasil yang disajikan.

6.2 Gambaran Perencanaan Pemasaran Sosial Program VCT

Perencanaan pemasaran sosial dalam penelitian ini didefinisikan sebagai

perencanaan pemasaran sosial program VCT HIV-AIDS yang meliputi 10

langkah yaitu 1) menggambarkan latar belakang, tujuan dan fokus program,

Analisis Situasi (SWOT), 3) segmentasi pasar, 4) perencanaan tujuan dan

target pemasaran 5) faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku 6)

pernyataan positioning 7) bauran pemasaran 8) perencanaan pemantauan dan

evaluasi, 9) anggaran dana 10) perencanaan implementasi kampanye dan

manajemen.

Menurut Hong Cheng, Philip Kotler, dan Nancy R. Lee (2009) dalam buku

social marketing for public health, perencanaan pemasaran sosial program

kesehatan masyarakat meliputi 10 langkah yaitu 1) menggambarkan latar

belakang, tujuan dan fokus program, 2) Analisis Situasi (SWOT), 3)

segmentasi pasar, 4) tujuan dan target pemasaran, 5) identifikasi faktor yang

mempengaruhi perubahan perilaku, 6) Positioning Statement, 7) bauran

pemasaran 8) perencanaan pemantauan dan evaluasi 9) perencanaan anggaran

10) perencanaan implementasi kampanye dan manajemen yang diakhiri

dengan proposal pemasaran sosial yang dilegalisasi dan dilaksanakan oleh

seluruh staf Puskesmas

Puskesmas Ciputat belum melakukan perencanaan pemasaran sosial

program Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV-AIDS secara optimal

karena belum ada bukti otentik proposal pemasaran sosial VCT yang

129
dilegalisasi Kepala Puskesmas. Perencanaan ini hanya mendukung data untuk

segmentasi pasar, identifikasi faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku,

bauran pemasaran, perencanaan pemantauan dan evaluasi, perencanaan

anggaran biaya, perencanaan kampanye implementasi dan manajemen.

Sedangkan data tentang latar belakang, tujuan dan fokus program VCT,

analisis situasi, penentuan tujuan dan target pemasaran sosial, pernyataan

positioning tidak tergambar dalam dokumen POA. Hal ini membuktikan

bahwa rendahnya minat masyarakat disebabkan karena belum optimalnya

perencanaan pemasaran sosial.

Hasil penelitian ini sangat mendukung justifikasi masalah dalam penelitian

ini, yaitu kurangnya minat masyarakat melakukan tes VCT yang diduga

terjadi karena kurangnya perencanaan pemasaran sosial program VCT.

Berdasarkan hasil penelitian disebutkan bahwa Puskesmas memang tidak

melakukan proses perencanaan pemasaran sosial dimana sesuai teori Kotler,

bahwa perencanaan pemasaran sosial yang baik harus mengikuti sepuluh

langkah dan diakhiri dengan bukti otentik sebuah proposal pemasaran sosial

yang dilegalisasi oleh pimpinan puskesmas.

Menurut Hardiyanto (2008), sebagaimana produk komunikasi, perubahan

sosial juga dilakukan secara bertahap. Urutan tahap perubahan perilaku yaitu

tahap pengetahuan, minat, keterampilan, optimisme, fasilitasi, stimulasi dan

penguatan. Pada tahap pengetahuan tentang produk kesehatan, diperlukan

program komunikasi yang menyampaikan isi secara rinci dan jelas dengan

frekuensi penampilan pesan yang cukup tinggi agar ekspos cukup kuat untuk

memberikan pengetahuan. Oleh karena itu diperlukan perencanaan pemasaran

130
sosial program untuk menumbuhkan minat dalam pemanfaatan produk

kesehatan. Pada tahap minat, minat target adopter dibangkitkan agar mampu

mengadopsi gagasan atas produk sosial yang dikomunikasikan. Sehingga hal

ini sangat ditentukan oleh pesan persuasif yang dapat menarik minat target

adopter agar terbujuk memahami dan mencoba produk sosial yang ditawarkan.

Selama ini Puskesmas hanya melakukan strategi yang diketahui saja,

seperti launching, kampanye pada kelompok sasaran, pada hari-hari besar

kesehatan melibatkan beberapa mitra. Namun, perencanaan ini belum

dianggap sebagai perencanaan pemasaran sosial jika tidak ada bukti otentik

proposal. Puskesmas juga perlu membahas rencana pemasaran sosial,

menyusun draft serta proposal perencanaan secara sistematis dan tertulis yang

dilegalisasi oleh Puskesmas. Proposal ini diharapkan menjadi pedoman

pelaksanaan kampanye yang ditaati oleh seluruh staf puskesmas.

Menurut Maulana (2009) faktor-faktor penentu keberhasilan pemasaran

sosial meliputi manajemen, konsumen, kelompok sasaran, identitas, manfaat,

biaya, ketersediaan, saluran komunikasi, pemantauan dan perbaikan, dan

evaluasi. Dalam hal ini, pemasaran sosial yang dilakukan oleh Puskesmas

Ciputat belum memenuhi kriteria keberhasilan pemasaran sosial karena

pemasaran sosial program VCT Puskesmas tidak memiliki perencanaan

matang yang tertuang dalam proposal pemasaran sosial.

Dalam SK Menkes No. 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar

Puskesmas menyatakan bahwa puskesmas sesuai dengan fungsinya,

merupakan pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, sebagai

pusat pemberdayaan masyarakat dan pusat pelayanan kesehatan strata

131
pertama. Oleh karena itu, Puskesmas perlu melakukan perencanaan pemasaran

sosial program sebagai strategi promosi kesehatan. Terdapat beberapa alasan

sehingga diperlukan pemasaran puskesmas, yaitu: 1). Meningkatnya biaya

khususnya untuk biaya bahan, peralatan dan biaya pegawai, 2) Meningkatnya

kesadaran pasien, sehingga pasien selalu menuntut hak dan informasi yang

jelas tentang segala tindakan yang akan diambil, 3) Berorientasi pada pasien,

artinya segala konsekuensi dari tindakan selalu berorientasi kepada

penyelamatan jiwa pasien, 4). Pemanfaatan yang rendah merupakan suatu

pemborosan, karena akan banyak alat dan obat yang tidak termanfaatkan dan

rusak.

Fungsi yang ke-5 yaitu untuk peningkatan profesionalisme dari staf

puskesmas, sehingga para profesional tersebut perlu dikoordinasi dan

diarahkan untuk kepentingan pasien dan masyarakat. yang keenam, untuk

perubahan hubungan antara dokter/provider dengan pasien, artinya pasien

lebih aktif dan lebih membutuhkan informasi serta menginginkan kebebasan

memilih. Yang ketujuh sebagai perhatian pada pencegahan, kegiatan

pencegahan yang hasilnya tidak segera dapat dilihat, sehingga memerlukan

upaya agar masyarakat mau menerimanya. Kedelapan yaitu karena

meningkatnya harapan akan kenyamanan, karena pasien tidak hanya butuh

pelayanan yang baik, tetapi juga pelayanan yang nyaman. Kesembilan yaitu

karena pelayanan kesehatan merupakan komoditi bisnis, artinya bahwa

tambahan kenyamanan dalam pelayanan harus dibayar lebih mahal adalah

logis (Ristrini:2009).

132
Selain itu, dalam hal ini terlihat bahwa Puskesmas tidak melakukan

perencanaan pemasaran sosial karena tidak mengetahui ketentuan seharusnya.

Padahal, dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang

telah direvisi melalui UU No. 32 tahun 2004, dan UU No. 25 tahun 1999

tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang telah

disempurnakan dengan UU No. 33 tahun 2004, menandai pergeseran pola

manajemen pemerintahan dari sentralistik eksploitatif ke desentralistik-

partisipatif, menuntut kepada pemerintah daerah untuk meninjau ulang segala

bentuk peraturan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat termasuk

kesehatan.

Pemerintah daerah sekarang ini dituntut harus mampu melayani

masyarakat. Mereka dituntut untuk mentransformasi diri dari

bureuaucraticmonopolistic government menjadi entrepreneurial government

(Buchari Alma, 2005) yaitu pemerintah memanfaatkan peluang yang muncul

dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya. Pemerintah

Daerah melalui puskesmasnya dituntut untuk menjadi ’customer-driven

government” yang sangat memperhatikan needs dan wants masyarakatnya,

yang menekankan segi layanan yang memuaskan, jika mungkin melalui

layanan prima. Puskesmas harus fokus pada marketing concept daripada

selling concept. Pelayanan prima sebenarnya sudah menjadi salah satu misi

Puskesmas Ciputat.

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan milik pemerintah, sudah

saatnya memikirkan strategi untuk melakukan pemasaran produk jasanya

yang berupa jasa pelayanan kesehatan. Sementara pihak menganggap bahwa

133
puskesmas milik pemerintah tidak perlu melakukan upaya pemasaran, karena

sebagian menganggap bahwa masyarakatlah yang membutuhkan puskesmas,

bukan puskesmas membutuhkan masyarakat. Walaupun trias fungsi

puskesmas yang meliputi pusat pengembangan, pemberdayaan masyarakat

dan pelayanan bidang kesehatan, bukan berarti puskesmas sebagai birokrat,

tetapi lebih fokus pada memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan

yang memuaskan (Ristrini:2009)..

Pemenuhan kebutuhan kesehatan yang memuaskan bagi konsumennya

(masyarakat) identik dengan konsep pemasaran yang berkembang dewasa ini.

Untuk itu, sudah saatnya upaya pengembangan puskesmas pada era otonomi

daerah sekarang ini, harus lebih mengacu pada konsep-konsep pemasaran jasa

sehingga citra (image) puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan yang

’kurang bermutu’ dan sebagai unit pelayanan kesehatan bagi orang miskin,

secara perlahan-lahan akan hilang di masyarakat (Ristrini:2009).

6.3 Gambaran Perencanaan Latar Belakang, Tujuan dan Fokus Program

VCT

Dalam penelitian ini, perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus

program VCT adalah identifikasi sponsor kegiatan VCT, alasan

penyelenggaraan program, masalah sosial yang melatarbelakangi berdasarkan

aspek epidemiologi maupun isu khusus, serta tujuan dan fokus program VCT.

Berdasarkan hasil penelitian, perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus

program Voluntary Counselling and Testing (VCT) di Puskesmas Ciputat

secara detail berada pada tingkat Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.

Puskesmas hanya sebagai pelaksana program di lapangan bekerjasama dengan

134
Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pengjangkauan dan pendampingan

kelompok sasaran. Namun setelah melakukan telaah dokumen Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan, peneliti tidak menemukan dokumen

proposal pemasaran sosial program VCT yang berisi perencanaan latar

belakang, tujuan dan fokus program. Data yang ada hanyalah dokumen

laporan bulanan program VC`T, laporan ini tidak dapat dijustifikasi sebagai

perencanaan pemasaran sosial latar belakang, tujuan dan fokus program.

Kendali program VCT berada pada Seksi Pengendalian Penyakit Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan.

Berdasarkan teori Philip Kotler dan Nancy R. Lee (2009) setiap

perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus pemasaran sosial yang baik

untuk kesehatan masyarakat membutuhkan identifikasi masalah kesehatan

publik yang jelas, yang mungkin menjadi epidemi yang parah, sebuah isu

yang berkembang atau kebutuhan. Identifikasi sponsor kampanye dan

meringkas faktor-faktor yang menyebabkan dasar pemikiran dan keputusan

untuk mengembangkan kampanye tersebut. Dasar pemikiran dan keputusan

didasarkan pada data penelitian yang memadai atau untuk mendukung dan

mengukur masalah yang didefinisikan. Setelah masalah kesehatan masyarakat

didefinisikan, pernyataan tujuan diperlukan untuk membuat jelas apa dampak

dan manfaat yang kampanye pemasaran sosial, ketika berhasil, akan

menghasilkan. Setelah penyusunan tujuan, perlu disusun fokus untuk

mempersempit ruang lingkup pemasaran sosial. Fokus kampanye dipilih dari

sejumlah pilihan yang memiliki beberapa potensi untuk membantu mencapai

tujuan kampanye.

135
Menurut Notoatmodjo (2007) pemasaran sosial harus diawali dengan

identifikasi masalah-masalah kesehatan dalam kelompok sasaran, serta

penetapan prioritas masalah. Sedangkan menurut Lee (2012), perencanaan

latar belakang, tujuan dan fokus pemasaran sosial berisi tentang rencana

mengidentifikasi sponsor dan merangkum faktor yang menyebabkan

perkembangannya. Rencana yang baik setidaknya dapat menjawab

pertanyaan berikut, Why are you doing this? It also includes a clear statement

of purpose and focus for the plan. What social issue (problem) is the plan

intended to impact? What population and broad solution will the plan focus

on, and why? mengapa kau melakukan ini (sponsor dan faktor penyebab)? Ini

juga mencakup pernyataan yang jelas tentang tujuan dan fokus untuk rencana

tersebut. Apa masalah sosial (problem) yang direncanakan perubahannya?

Populasi dan solusi luas apa yang akan menjadi fokus rencana, dan mengapa?

Sebenarnya Dinas Kesehatan sudah memiliki dokumen yang dapat

mendukung dalam perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus program

VCT di Puskesmas Ciputat namun belum tersusun dalam proposal pemasaran

sosial program VCT. Perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus program

pemasaran sosial yang perlu dibuat Puskesmas dalam perencanaan pemasaran

sosial program ini harus memenuhi kriteria berikut.

a. Why: Mengapa melakukan ini (sponsor dan faktor penyebab)? Ini juga

mencakup pernyataan yang jelas tentang tujuan dan fokus untuk rencana

tersebut.

Puskesmas dan Dinas Kesehatan telah menyebutkan sponsor

program dan meringkas faktor-faktor yang menyebabkan dasar pemikiran

136
dan keputusan untuk mengembangkan kampanye tersebut dalam Laporan

Bulanan untuk lembaga donor. Sponsor program yaitu GFATM komponen

AIDS (GFAIDS). Dasar pemikiran program ini adalah Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor : 1507/MENKES/ SK/X/2005 18 Oktober 2005

tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara

Sukarela (Voluntary Counselling and Testing).

Pemasaran sosial VCT dilakukan untuk meningkatkan minat serta

mengurangi stigma masyarakat, Dinas Kesehatan khususnya Puskesmas

Ciputat melakukan perencanaan dengan mengintensifkan pemasaran

sosial VCT.

Sedangkan tujuan program menurut Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan sesuai dengan tujuan program VCT Kementrian

Kesehatan yaitu menyediakan layanan tes VCT bagi masyarakat yang

membutuhkan di Kota Tangerang Selatan agar dapat diperoleh dukungan

psikologis, pemberian informasi, dan pengetahuan HIV-AIDS sehingga

terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih sehat, aman dan

bertanggungjawab.

Sedangkan fokus program yaitu screening HIV-AIDS

menggunakan dua pendekatan yaitu Konseling dan Tes HIV secara

sukarela atau Voluntary Counselling and Testing (VCT) dan Konseling

Tes HIV atas inisiasi petugas Kesehatan atau Provider Initiated Test and

Counselling (PITC). Penerapan bisa dilakukan di layanan IMS, PTRM,

TB, antenatal care dimana tingkat prevalensi HIV tinggi.

b. What (problem) : Apa masalah sosial yang direncanakan perubahannya?

137
Identifikasi masalah kesehatan masyarakat ditunjukkan dengan data

adanya peningkatan kasus HIV-AIDS di Kota Tangerang Selatan,

terutama di daerah Ciputat sebagai zona merah HIV-AIDS. Penularan

masalah HIV di Kota Tangerang Selatan yaitu dari kalangan Wiraswasta,

ibu rumah tangga dari suami ke istri, dan anak, pengangguran, karyawan,

pekerja seks, mahasiswa, PNS, buruh, wirausaha, pembantu rumah tangga

dan sopir. Sedangkan cara penularan terbanyak adalah dari penasun,

heteroseksual, perinatal, man sex man (MSM), dan waria. Tingginya

kasus infeksi HIV memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi HIV ke

masyarakat umum.

Selain itu, sejak dibukanya klinik VCT di Kota Tangerang Selatan,

yaitu di Puskesmas Ciputat dan Pondok Aren, capaian indikator tiga

bulanan belum mencapai 100%, daat dilihat pada bulan april sampai

dengan juni 2013 hanya 28% atau 69 orang klien dari indikator target

sebanyak 243 orang atau 100%. Bulan juli sampai dengan september

2013 naik menjadi 62% atau 178 orang dari target kumulatif 100% atau

289 orang. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran kelompok risiko

tinggi (risti) akan bahaya penyakit IMS dan HIV-AIDS serta rendahnya

minat untuk VCT karena kurangnya dukungan promosi layanan.

Pemasaran sosial VCT dilakukan untuk membuat masyarakat lebih

banyak memanfaatkan layananVCT

c. Populasi dan solusi luas apa yang akan menjadi fokus rencana, dan

mengapa?

138
Populasi yang menjadi fokus program adalah ibu hamil, komunitas supir

angkot, salon-salon waria, kelompok metadon, kelompok beresiko, dan

masyarakat umum di Kota Tangerang Selatan khususnya daerah Ciputat

dan sekitarnya, seperti Pamulang. Hal ini karena berdasarkan data,

penularan infeksi HIV-AIDS di Kota Tangerang Selatan terbanyak dari

kalangan Wiraswasta, ibu rumah tangga dari suami ke istri dan anak,

pengangguran, karyawan, pekerja seks, mahasiswa, PNS, buruh,

wirausaha, pembantu rumah tangga dan sopir.

Sedangkan kendala dalam perencanaan latar belakang, fokus dan

tujuan program VCT menurut para informan dari Puskesmas Ciputat

tidak mengetahui detail perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus

program karena tidak dilibatkan dalam proses perencanaan latar belakang

di Tingkat Dinas Kesehatan, hanya dilibatkan sebagai eksekutor program.

Sedangkan kendala menurut Kepala Puskesmas yaitu mengkoordinir

pemeriksaan VCT ketika di lapangan yang terkadang membutuhkan biaya

lebih untuk meyakinkan tokoh kuncinya yaitu mucikari, kendala menurut

LSM yaitu diskriminasi saat pelaksanaan dan meyakinkan klien beresiko

untuk VCT.

6.4 Gambaran Analisis Situasi Program VCT di Puskesmas Ciputat

Analisis Situasi yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi

analisa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan tantangan yang akan di

hadapi dalam pemasaran sosial program VCT (strengths, weaknesses,

opportunities, threats), serta telaah literatur pemasaran sosial dan

139
lingkungan program serupa dengan VCT. Dalam hal ini, puskesmas belum

melakukan analisis situasi program VCT di internal Puskesmas.

Menurut Lee (2012), pada langkah 2, Anda melakukan analisis

SWOT (kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman lingkungan

organisasi). Kekuatan organisasi untuk memaksimalkan dan kelemahan

untuk meminimalkan meliputi faktor-faktor seperti tingkat pendanaan,

dukungan manajemen, mitra saat ini, kemampuan sistem pengiriman, dan

reputasi sponsor. Peluang lingkungan untuk mengambil keuntungan dan

ancaman untuk mempersiapkan meliputi tren utama dan pengaruh luar yang

terkait dengan kekuatan budaya, teknologi, demografi, ekonomi, politik,

dan hukum. Anda juga akan melakukan kajian literatur dan memindai

lingkungan program saat ini dan masa lalu, dengan fokus pada orang-orang

dengan upaya-upaya serupa, dan meringkas kegiatan utama dan pelajaran.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan beberapa hasil wawancara

yang dapat digunakan sebagai bahan perencanaan analisis situasi oleh

Puskesmas. Seharusnya Puskesmas melakukan analisis situasi sesuai

dengan teori analisis situasi yang ideal, diantaranya:

a. Kekuatan lembaga diantaranya, Puskesmas Ciputat merupakan

Puskesmas terbaik di Tangerang Selatan, Kemudahan proses tes VCT,

waktu yang dibuka setiap hari, Adanya tim VCT, Sarana prasarana

memadai, da support dana Bantuan Operasinal Kesehatan (BOK)

Puskesmas dari APBD, adanya program pendukung VCT di internal

Puskesmas seperti layanan IMS, Klinik Metadone (PTRM), Prevention

140
on Mother To Child Transmission (PMTCT), TB, antenatal care yang

lebih dulu dibanding VCT.

b. Kelemahan, seperti Sasaran program VCT termasuk silent hotspot atau

tersembunyi tidak seperti program lain, kesamaan waktu berkunjung

bagi klien VCT yang berasal dari pengguna narkoba yang

dikhawatirkan akan mengganggu pasien lain, tidak ada data sebaran

HIV-AIDS di internal wilayah kerja Puskesmas Ciputat karena data

hanya diperoleh dari luar Ciputat.

c. Peluang, yaitu ada kader kesehatan aktif puskesmas, penyebaran

informasi lebih banyak mouth to mouth, Adanya forum lokbul, lokmin,

pertemuan kelurahan, Adanya LSM BMG dan Kotek untuk

penjangkauan dan pendampingan klien VCT, adanya Dinas

Kesehatan/SKPD yang lain, Dinas Pendidikan, Pariwisata, lintas

sektoral, adanya komunitas yang dicurigai terkena HIV-AIDS, adanya

kelompok dukungan Sebaya ODHA, adanya support dana sponsor dari

lembaga donor internasional Global Fund AIDS sampai tahun 2014 ini,

kemajuan pesat teknologi dapat menjadi acuan saluran media

pemasaran sosial

d. Tantangan, sasaran malu untuk tes VCT, rendahnya kesadaran

masyarakat untuk tes VCT, adanya stigma masyarakat, lintas sektoral

belum begitu berambisi tidak seperti program lain, Tangerang Selatan

termasuk daerah perbatasan Jakarta yang memiliki banyak penduduk

dengan mobilitas tinggi, pesatnya teknologi dan tuntutan gaya hidup

141
tinggi banyak memberikan pengaruh negatif berupa tingginya angka

kriminalitas dan hiperseksualitas.

Berikut ini rekomendasi perencanaan analisis situasi untuk

puskesmas sesuai dengan data hasil wawancara informan,

142
Tabel 6.1
Analisis SWOT Pemasaran Sosial Program VCT di Puskesmas Ciputat

Kekuatan Kelemahan
- Klinik VCT sudah ada di 5 puskesmas di - Sasaran program VCT termasuk silent
Kota Tangerang Selatan hotspot atau tersembunyi tidak seperti
- Puskesmas Ciputat merupakan Puskesmas program lain
terbaik di Tangerang Selatan - Kesamaan waktu berkunjung bagi
- Layanan dibuka setiap hari, klien VCT yang berasal dari pengguna
- Kemudahan proses tes VCT, narkoba yang dikhawatirkan akan
- Adanya tim VCT, yang terdiri dari konselor mengganggu pasien lain
dan penggungjawab program, asisten - Tidak ada data sebaran HIV-AIDS di
konselor dari perawat dan bidan, analis internal wilayah kerja Puskesmas
untuk uji lab di puskesmas. Ciputat karena data hanya diperoleh
- Sarana prasarana memadai dari luar Ciputat.
- Ada support dana Bantuan Operasinal - Letak ruangan tidak strategis karena
Kesehatan (BOK) Puskesmas dari APBD berada di lantai 2
- Adanya program pendukung VCT di - Pendanaan HCPI yang akan berakhir.
internal Puskesmas seperti layanan IMS, - Layanan promosi kesehatan belum
Klinik Metadone (PTRM), Prevention on menjangkau semua masyarakat .
Mother To Child Transmission (PMTCT), - Terbatasnya jumlah tenaga kesehatan
TB, antenatal care yang lebih dulu terlatih dan terampil.
dibanding VCT. - Terbatasnya SDM pengelola program
dan petugas klinik

Peluang Tantangan
- Ada kader kesehatan aktif puskesmas, - Kemitraan, kerjasama belum
- Penyebaran informasi lebih banyak mouth optimum.
to mouth, - Sasaran malu untuk tes VCT
- Adanya forum lokbul, lokmin, pertemuan - Rendahnya kesadaran masyarakat
kelurahan, untuk tes VCT
- Adanya LSM BMG dan Kotek untuk - Adanya stigma masyarakat
penjangkauan dan pendampingan klien - Lintas sektoral belum begitu
VCT berambisi tidak seperti program lain.
- Adanya Dinas Kesehatan/SKPD yang lain, - Tangerang Selatan termasuk daerah
Dinas Pendidikan, Pariwisata, lintas perbatasan Jakarta yang memiliki
sektoral. banyak penduduk dengan mobilitas
- Adanya komunitas yang dicurigai terkena tinggi
HIV-AIDS, - Pesatnya teknologi dan tuntutan gaya
- Adanya kelompok dukungan Sebaya hidup tinggi banyak memberikan
ODHA pengaruh negatif berupa tingginya
- Adanya support dana sponsor dari angka kriminalitas dan
lembaga donor internasional Global Fund hiperseksualitas.
AIDS sampai tahun 2014 ini - Pembiyaan Program sebagian
- Kemajuan pesat teknologi di Tangerang masih didanai oleh Negara
Selatan yang dapat menjadi acuan saluran Pendonor/Asing.
media pemasaran sosial

143
Menurut Prof. Punam Anand Keller Tuck School of Business at

Dartmouth (2008), Analisis situasi bermakna memahami pasar yang

berfungsi sebagai platform untuk mendukung pilihan tujuan dan strategi.

Analisis situasi harus memuat setidaknya lima kunci, 1) Daya tarik pasar

(besar pasar, kekuatan kompetitif, tren relevan), 2) Analisis Klien (faktor-

faktor yang menarik dan mempertahankan klien, analisis efek di setiap

segmen, siapa mereka, apa yang memotivasi mereka untuk menggunakan

produk/jasa), 3) Analisis Pesaing (kekuatan dan kelemahan pesaing), 4)

Self Assessment (analisis kekuatan kompetitif institusi), 5) Analisis Kinerja

(biaya, pengurangan dan peningkatan produktivitas, produk, layanan,

segmen, pendapat pemimpin, saluran distribusi dan wilayah, dll)

Selain itu, Puskesmas belum melakukan analisis terhadap daya tarik

pasar atau masyarakat, analisis klien, dan analisis pesaing. Hasil penelitian

tersebut hanya mendukung analisis self assessment dan analisis kinerja

internal. Sehingga, analisis situasi yang dilakukan masih belum tajam.

Analisis situasi juga harus melibatkan bagian promosi kesehatan dan LSM

yang dalam hasil penelitian ini terlihat tidak begitu dilibatkan saat analisis

situasi pemasaran sosial. Sehingga, koordinasi pemanfaatan peluang dan

strategi pemasaran sosial belum menjadi pemahaman bersama pelaksana

program VCT.

6.5 Gambaran Perencanaan Segmentasi Pasar

Perencanaan segmentasi pasar dalam penelitian ini didefinisikan

sebagai memilih sasaran pemasaran sosial program VCT berdasarkan aspek

demografis, geografis, psikografis, perilaku, jejaring sosial, asset masyarakat,

144
tahapan dalam perubahan (stage of changes) serta jumlah sasaran target

pemasaran. Puskesmas telah melakukan segmentasi demografis dan geografis

yang tergambar dalam dokumen POA, namun segmentasi belum

menggambarkan psikografis atau gaya hidup, perilaku, jejaring sosial, asset

masyarakat, tahapan dalam perubahan (stage of changes) serta jumlah sasaran

target pemasaran sebelum melakukan pemasaran sosial.

Menurut Kasali, R (2007), langkah-langkah dalam memilih sasaran

yaitu menganalisis peluang pasar, analisis lingkungan usaha serta menyeleksi

pasar sasaran yang potensial, dapat diukur, dapat dijangkau dan spesifik.

Mulanya disegmentasikan dalam variabel demografi seperti gender, lokasi,

pendapatan, pekerjaan, usia, pendidikan, cohort (generasi), dan sebagainya.

Selanjutnya dipertajam oleh segmentasi psikografis (perilaku) seperti

orientasinya terhadap karir, keluarga dan komunitas, motivasi dalam

memanfaatkan, kecenderungan terhadap mode dan sebagainya.

Sebenarnya, segmen program secara umum sudah tergambar dari hasil

wawancara dan telaah dokumen program. Puskesmas perlu merinci

segmentasi pemasaran sosial program ini seperti berikut, yaitu ibu hamil,

kelompok berisiko HIV-AIDS seperti WPS, PPS, Waria, LSL, IDU, WPB,

Pasangan Risiko Tinggi, Pelanggan dan lainnya dan masyarakat umum.

Demografi segmen meliputi semua jenis kelamin, usia produktif yang

dikelompokkan <4, 5-14, 15-19, 20-24, 25-49, dan ≥50, asal daerah Ciputat

dan Pamulang lebih luasnya untuk masyarakat Tangerang Selatan. Psikografi

segmen ditunjukkan dengan karakter yang digambarkan seperti gaya hidup

bebas, gonta-ganti pasangan, pecandu narkoba, silent client seperti ibu rumah

145
tangga, man mobile with money (3M) yang punya mobilitas tinggi, pekerja

seks karena tuntutan ekonomi.

Segmentasi geografis lebih detail yang dapat dilakukan Puskesmas

yaitu seperti segmentasi yang dilakukan LSM. Segmentasi tersebut pada

wilayah-wilayah sesuai dengan tempat berkumpul dan karakteristik wilayah

klien. Misalnya untuk kelompok waria, Pekerja Seks Komersial (PSK) tempat

kumpul misalnya di Tegal Rotan, Pondok Aren, Setu, pendekatan yang

dilakukan adalah mobile VCT. Sedangkan untuk pengguna narkoba suntik

(Penasun) di klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), Pasangan

Risiko Tinggi di rumah masing-masing. Puskesmas tidak memiliki data

segmentasi berdasarkan geografis kelompok beresiko di Ciputat, hanya data

global sebaran kasus dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Menurut klien

VCT, segmentasi yang tepat adalah di daerah-daerah yang memiliki tempat

hiburan malam. Dinas kesehatan memiliki data segmen dalam bentuk peta

penyebaran HIV-AIDS di Tangerang Selatan seperti yang tertera dalam

gambar 5.1. Lokasi yang berisiko menurut Dinkes Tangerang Selatan yaitu

Alang-Alang, Tegal Rotan, Kampung Sawah, Pondok Kacang Timur, Setu,

Victor, dan beberapa panti pijat.

Segmentasi berdasarkan perilaku hanya dilakukan oleh Puskesmas

Ciputat sesuai data rekam medik seperti hubungan seks vaginal beresiko, anal

seks beresiko, bergantian peralatan suntik, transfusi darah, transmisi dari ibu

ke anak dan lainnya (Formulir VCT: 2014). Sedangkan LSM mendata

berdasarkan kebiasaan tiap segmen, misalnya perilaku Wanita Penjaja Seksual

(WPS) yang selalu ketakutan jika ada orang asing non pelanggan masuk, LSM

146
meminta bantuan mucikari untuk melakukan pendekatan. Sedangkan penasun,

mereka berbeda karakter masing-masing, ada yang sangat terbuka ada yang

tidak, LSM melakukan pendekatan memberikan imbalan berupa rokok dan

sejenisnya untuk bisa masuk ke komunitas mereka. Sedangkan ibu rumah

tangga dan anak-anak, melalui suami/ayah yang bersangkutan. Ada Klien

yang langsung datang ke klinik karena sudah terkena HIV-AIDS

Menurut Gordon dkk (2006), perencanaan pemasaran sosial yang

efektif harus memenuhi enam kriteria, kriteria yang ketiga yaitu

mempertimbangkan variabel segmentasi yang berbeda dengan intervensi tepat

sasaran. Intervensi menunjukkan segmentasi dan targeting jika, misalnya,

kegiatan yang dirancang untuk menjadi intervensi sesuai dengan usia atau

sangat sesuai dengan setting dan saluran penyampaian, atau sesuai dengan

fasilitas untuk kelompok-kelompok tertentu, seperti masyarakat pendapatan

rendah atau minoritas etnis. Hal ini sesuai dengan pembedaan cara

penjangkauan segmen yang dilakukan oleh LSM

Identifikasi perubahan perilaku yang perlu dilakukan Puskesmas yaitu

pengenalan tahap perilaku dari yang tidak mau tes VCT menjadi mau, dari

klien yang memiliki hasil VCT negatif, ketika mengetahui perilaku beresiko

penyebab HIV-AIDS mereka akan menunjukkan perubahan perilaku menjadi

tidak berperilaku berisiko setelah didampingi lewat pertemuan-pertemuan

rutin tiga kali dalam satu bulan bersama teman-teman ODHA.

Segmentasi berdasarkan jejaring sosial dan asset masyarakat yang perlu

direncanakan Puskesmas sesuai hasil penelitian yaitu melalui website Dinas

Kesehatan, kader kesehatan, forum kelompok dukungan sebaya dan facebook

147
KDS Pelangi, forum pertemuan ODHA, mouth to mouth oleh Bidan

Puskesmas.

Menurut Lee (2012), dalam segmentasi atau memilih target pasar

prioritas, Anda memilih sasaran dengan segmentasi pasar menjadi segmen-

segmen yang homogen, mengevaluasi masing-masing, dan kemudian

memilih satu atau lebih sebagai titik fokus untuk rencana tersebut. Anda ingin

memberikan perkiraan ukuran dan deskripsi kaya yang target pemirsa dalam

bagian ini dari rencana pemasaran. Anda harus menyorot demografi kunci,

geografis, perilaku yang relevan (termasuk risiko), psikografis, jaringan

sosial, aset masyarakat, dan tahap perubahan (kesiapan untuk membeli).

Sebuah deskripsi yang ideal adalah salah satu yang membuat Anda percaya

bahwa Anda akan tahu audiens target Anda jika mereka masuk ke ruangan.

Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007), dalam memilih segmentasi,

perlu ditetapkan siapa yang akan menjadi khalayak atau sasaran pemasaran,

melakukan suatu penelitian terhadap khalayak sasaran tersebut untuk

mengetahui bagaimana sikapnya terhadap gagasan yang akan dipasarkan dan

untuk mengetahui apakah ada segi-segi tertentu yang tidak dapat diterima

(resistance points). Jika dianalisis menggunakan teori ini, maka Puskesmas

memang melakukan segmentas, namun tidak melakukan penelitian terhadap

segmen program.

Sedangkan menurut Maulana (2009), secara umum segmentasi sasaran

ditentukan berdasarkan karakteristik 1) demografik (usia, jenis kelamin,

pendidikan, sosial ekonomi, tempat tinggal dan agama), 2) geografik

(wilayah, luas daerah, dan kepadatan), 3) perilaku (gaya hidup, nilai-nilai,

148
norma, dan keyakinan). Dari karakteristik tersebut dapat ditentukan

pembagian sasaran meliputi sasaran primer yang diharapkan perubahan

perilakunya, sekunder yang mempunyai pengaruh terhadap sasaran primer,

tersier sebagai penunjang keberhasilan program. Analisis menggunakan teori

ini menunjukkan, belum ada pemilahan sasaran berdasarkan kelompok

primer, sekunder dan tersier di Puskesmas Ciputat.

6.6 Gambaran Tujuan dan Target Pemasaran Sosial

Tujuan dan Target Pemasaran Sosial dalam penelitian ini meliputi

tujuan pemasaran sosial program VCT yang dipakai baik berkaitan dengan

perilaku (behaviors) atau attitudes (pengetahuan dan kepercayaan)

berdasarkan kriteria SMART (Specific, measurable, achievable, relevant,

time-bound). Dalam perencanaan pemasaran sosial, Kopler (2008)

mengatakan, tujuan pemasaran sosial program kesehatan masyarakat akan

berkaitan dengan perilaku (behaviors), dan attitudes (pengetahuan dan

kepercayaan). Dalam menentukan tujuan, yang harus diperhatikan adalah

harus memenuhi kriteria SMART (Specific, measurable, achievable, relevant,

time-bound changes in behaviors and attitudes).

Dalam penelitian tergambar, Puskesmas tidak memiliki tujuan dan

target pemasaran sosial secara tertulis. Tujuan dan target hanya dimiliki oleh

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Dimana tujuan dan target global

pemasaran sosial VCT HIV-AIDS untuk Kota Tangerang Selatan memiliki

range setiap tiga bulan. Tujuan yang tercantum dalam laporan bulanan untuk

GF ATM AIDS yaitu dalam tiga bulan (Januari-Maret 2014), sebanyak 100%

149
atau 336 orang kelompok resiko tinggi (resti) di Kota Tangerang Selatan

mendapat atau memanfaatkan layanan Tes HIV dan mengambil hasil.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Penanggungjawab program,

pemasaran sosial program VCT bertujuan agar masyarakat mengetahui

perilaku berisiko HIV-AIDS dan mau mengikuti Voluntary Counselling and

Testing (VCT) dengan sukarela serta mau mencegah perilaku yang

menyebabkan HIV-AIDS. Sedangkan goal standar atau target pemasaran

sosial VCT di Puskesmas Ciputat masih berupa standar kasar internal

Puskesmas yaitu sebanyak 50 orang mengikuti layanan VCT HIV-AIDS

setiap bulan pada tahun 2014.

Berdasarkan tujuan dan target Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

diatas, memang terlihat menunjukkan kriteria tujuan yaitu SMART

a. Specific (Spesifik) : perilaku yang ditargetkan adalah mendapat

atau memanfaatkan layanan Tes HIV dan mengambil hasil.

b. Measurable (dapat diukur) : mengukur jumlah klien yang tes

VCT

c. Achievable (Dapat dicapai) : sebanyak 100% atau 336 orang

kelompok resiko tinggi di Tangerang Selatan

d. Relevant (Relevan) : dalam tiga bulan

e. Timebound (Waktu) : (Januari-Maret 2014)

Namun, Puskesmas juga perlu merencanakan tujuan teknis

perencanaan pemasaran sosial di tingkat puskesmas. Tujuan kasar hasil

wawancara penanggungjawab VCT puskesmas Ciputat belum memenuhi

kriteria SMART, karena Puskesmas hanya menentukan standar kasar

150
setiap bulan. Tujuan ini belum menjadi kesepakatan bersama secara

tertulis. Namun, perlu diakui dan dihargai inisiatif dari Puskesmas Ciputat

yang memiliki target pemasaran sosial sendiri meskipun belum disepakati.

Jika dibedah dalam kriteria SMART, maka seharusnya tujuan pemasaran

sosial program VCT Puskesmas adalah sebagai berikut:

a. Specific (Spesifik) : perilaku klien mengikuti layanan VCT

HIV-AIDS

b. Measurable (dapat diukur) : mengukur jumlah klien yang tes

VCT

c. Achievable (Dapat dicapai) : sebanyak 50 orang di Ciputat dan

Sekitarnya

d. Relevant (Relevan) : dalam satu bulan

e. Timebound (Waktu) : setiap bulan tahun 2014

Menurut Gordon, dkk (2006), semua intervensi disertakan harus

menunjukkan bukti telah memenuhi semua enam kriteria pemasaran sosial

yang efektif. Kriteria pertama yaitu memiliki tujuan perubahan perilaku

tertentu. Tujuan perubahan perilaku dimisalkan untuk mengurangi atau

menunda timbulnya penggunaan narkoba, untuk meningkatkan berhenti

merokok, untuk mendorong pengecer untuk mematuhi undang-undang

tentang akses di bawah umur zat, untuk membujuk dewan lokal untuk

lulus atau memperkuat undang-undang tentang penjualan zat. Dalam

pemasaran sosial ini, tujuan sudah mencerminkan tujuan perilaku yaitu

mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tes VCT

151
Kendala dalam penentuan tujuan dan goal standar program yaitu

Kepala Puskesmas mengatakan, tidak adanya target dari Dinas Kesehatan

untuk tiap Puskesmas kesulitan untuk mengukur pencapaian cakupan.

Sedangkan pihak LSM mengakui hambatan dalam hal ini adalah

pelaksanaan untuk mencapai tujuan, terkadang masyarakat yang

mengetahui kegunaan VCT, belum tentu mau tes VCT.

6.7 Gambaran Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku

Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku didefinisikan sebagai

identifikasi faktor yang mempengaruhi perilaku pemanfaatan layanan VCT,

meliputi hambatan pemanfaatan, benefit pemanfaatan VCT, perilaku yang

ditargetkan kompetitor program, pengaruh orang penting lain. Puskesmas

hanya mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi perubahan atau adopsi

perilaku melalui rekam medik dan penandatanganan persetujuan tes HIV.

Identifikasi selanjutnya dilakukan oleh pihak LSM melalui pemantauan

perilaku dari pendampingan klien. Hasil analisis telaah dokumen form

persetujuan berisi tentang kesepakatan tes VCT setelah klien diberikan

informasi tentang HIV-AIDS, kegunaan dari tes HIV-AIDS, keuntungan

dan tantangan yang diperoleh setelah tes HIV, pencegahan HIV dan

peningkatan kualitas hidup dengan HIV. Faktor yang dilihat adalah persepsi

klien terhadap manfaat, hambatan, pengaruh program lain, pengaruh budaya

serta pengaruh orang lain.

Menurut Lee (2012), faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku

harus menjelaskan faktor-faktor utama yang akan mempengaruhi

pengambilan keputusan audiens Anda, termasuk daftar hambatan, manfaat,

152
kompetisi, dan pengaruh orang lain yang penting bagi target audiens. Alasan

hambatan bagi audiens yang tidak ingin berperilaku positif, manfaat apa

yang mereka lihat untuk mengadopsi perilaku, atau motivasi apa yang

menarik mereka berperilaku. Perilaku kompetitor program yang

menghalangi target audiens. Siapa "orang lain penting" yang dapat

mempengaruhi target audiens seperti anggota keluarga, jaringan sosial,

industri hiburan, dan pemimpin agama.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa informan klien,

mayoritas mengatakan bahwa VCT bermanfaat untuk pencegahan dan rasa

aman dari HIV, masyarakat akan memanfaatkan layanan VCT jika

mengetahui manfaatnya dan merasa bahwa dirinya beresiko baik karena

salah satu keluarga atau teman positif HIV-AIDS. Hambatannya adalah,

banyak masyarakat yang belum begitu mengetahui manfaat VCT.

Sedangkan informan dari Puskesmas mengatakan hambatan utama klien

enggan untuk memanfaatkan layanan VCT adalah malu karena stigma

masyarakat yang tabu, ketidaksiapan untuk VCT, takut kerahasiaan

terganggu, tidak ada dukungan keluarga.

Untuk program kompetitor, menurut informan puskesmas, banyak

program seperti PITC, PTRM metadon, KIA, Tuberkulosis, klinik IMS yang

sangat mendukung program VCT. Untuk pengaruh orang penting,

Puskesmas belum secara gamblang kerjasama dengan tokoh agama ataupun

KUA, hanya kerjasama denagn puskesmas lain mengingat tidak semua

puskesmas memiliki layanan VCT. Kepala Bagian Promosi Kesehatan

berpendapat, ada pengaruh orang penting seperti Kepala Puskesmas, dokter,

153
tokoh masyarakat, keluarga. LSM mengaku melibatkan Dinas Sosial, Dinas

Kesehatan, tokoh masyarakat seperti dari Kelurahan, Kecamatan, dan

ulama’ bahkan pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah

meluncurkan buku panduan penanggulangan AIDS perspektif Nahdlatul

Ulama’ dan Kutbah Jum’at Jihad Melawan AIDS.

Berdasarkan hasil penelitian Wulansari (2014) faktor-faktor yang

mempengaruhi niat ibu hamil untuk melakukan tes VCT di Puskesmas

Ciputat yaitu pengetahuan, sikap, dorongan norma subyektif, dan persepsi

kontrol diri. Sedangkan yang tidak mempengaruhi adalah faktor umur,

pendidikan, status pekerjaan.

Untuk variabel pengetahuan tentang VCT, mayoritas ibu hamil di

wilayah kerja Puskesmas Ciputat memiliki pengetahuan rendah tentang

VCT, padahalVCT merupaka program wajib untuk ibu hamil. Dari 76

sampel yang diteliti terdapat 92,1% ibu hamil yang berpengetahuan kurang

tentang VCT dan 7,9% ibu hamil yang berpengetahuan baik tentang VCT.

Sebagian besar responden berpengetahuan rendah tentang VCT dalam hal

manfaat VCT, layanan apa saja yang diberikan dari layanan VCT, tahapan –

tahapan yang seharusnya dilakukan pasien dalam mengikuti layanan VCT,

dan materi apa yang diberikan dilayanan konseling VCT.

Hal ini menunjukkan, meskipun ada program VCT yang

diwajibkan untuk segmen ibu hamil, pada kenyataannya ibu hamil tidak

mendapatkan informasi yang cukup tentang VCT. Sedangkan menurut

Kotler (2009), persepsi terhadap manfaat akan mempengaruhi perubahan

perilaku seseorang dalam memanfaatkan layanan kesehatan, termasuk

154
layanan VCT. sedangkan mayoritas segmen ibu hamil di wilayah kerja

Puskesmas Ciputat belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang

manfaat VCT. Dari sini terlihat banyak ibu hamil yang belum mendapat

informasi VCT secara benar, sehingga banyak ibu hamil yang tidak

memanfaatkan layanan VCT karena ketidaktahuan.

Namun untuk keseluruhan, LSM mengaku kendala utama terkadang klien

yang sudah tes VCT banyak yang tetap melakukan perilaku berisiko HIV.

Misalnya tidak memakai kondom karena pelanggan berkurang ketika

memakai kondom. Sedangkan Puskesmas mengaku tidak ada masalah

dalam hal ini.

6.8 Gambaran Pernyataan Positioning

Berdasarkan definisi istilah, penelitian ini menegaskan bahwa

positioning statement adalah pernyataan yang diinginkan puskesmas dalam

penilaian produk dibenak target sasaran pemasaran sosial program VCT.

Dalam perencanaan positioning statement atau pernyataan positioning

Puskesmas mengaku belum melakukan perencanaan. Yang mereka lakukan

hanya menjadikan program VCT termasuk program pokok yang unggulan.

Puskesmas hanya menyampaikan harapan tentang pandangan masyarakat

terhadap layanan VCT agar masyarakat tidak tabu lagi.

Kasali (2007) mendefinisikan positioning sebagai tindakan yang

dilakukan marketer untuk membuat citra produk dan hal-hal yang ingin

ditawarkan kepada pasarnya berhasil memperoleh posisi yang jelas dan

mengandung arti dalam benak sasaran konsumennya. Sedangkan Kotler

(2009) mengartikan positioning statement sebagai posisi apa atau seperti apa

155
yang diinginkan pemasar melihat atau menilai produk didalam benak target

audience. Dalam hal ini, Puskesmas belum menyusun positioning statement

secara jelas. Saran untuk pernyataan positioning dapat berupa “Pencegahan

lebih baik daripada mengobati, VCT bukan hanya untuk masyarakat

beresiko, kita yang tidak beresiko juga harus melakukan tes VCT HIV-AIDS

untuk tindakan pencegahan lebih dini! ”

6.9 Gambaran Bauran Pemasaran (Marketing Mix)

Dalam bauran pemasaran sosial, ada empat strategi yang direncanakan,

yaitu strategi produk, harga, tempat dan promosi. Dalam penelitian ini,

bauran pemasaran atau marketing mix didefinisikan sebagai kombinasi empat

unsur strategi pemasaran sosial program VCT meliputi 1) Product (core

product atau produk manfaat), actual product atau produk perilaku dan

augmented product atau barang dan layanan). 2) Price (harga, waktu, atau

pengorbanan baik psikologis maupun fisik yang harus diberikan klien dalam

pemanfaatan program VCT), 3) Place (kemudahan akses layanan bagi klien),

4) Promotion (metode, pesan, promotor, saluran media promosi yang

digunakan). Dalam hal ini, Puskesmas telah melakukan perencanaan bauran

pemasaran berupa strategi produk, harga, tempat dan promosi, namun tidak

begitu detail.

Menurut Gordon (2006) pemasaran sosial yang efektif harus memenuhi

enam kriteria. Kriteria yang keempat yaitu harus menunjukkan penggunaan

lebih dari satu elemen dari Marketing Mix. Berdasarkan hasil penelitian,

Puskesmas Ciputat sebenarnya memiliki empat kriteria dari bauran

156
pemasaran sosial yaitu strategi produk, harga, tempat, dan promosi. Strategi

produk tersebut harus dituliskan dalam proposal pemasaran sosial program.

Strategi produk yang seharusnya direncanakan Puskesmas yaitu core

product (produk utama atau manfaat) Actual product (tindakan atau perilaku)

dan augmented product (barang dan layanan). Core Product (Manfaat)

program yaitu mengetahui status HIV lebih dini (D-RS-1), perencanaan dan

promosi perubahan perilaku, pelayanan pencegahan infeksi HIV dari ibu ke

anak, memfasilitasi akses pelayanan medis (infeksi oportunistik, IMS, ARV

dan TB), memfasilitasi kegiatan sebaya dan dukungan, normalisasi HIV-AIDS

dan mengurangi stigma, perencanaan dan perawatan untuk masa depan,

menerima keadaan terinfeksi HIV dan penyelesaiannya (Dinkes Banten:

2006). Actual Product (Perilaku) meliputi Tes dan Konseling HIV-AIDS.

Augmented Product (Barang) meliputi Klinik VCT di Puskesmas, Klinik VCT

keliling atau Mobile VCT, alat untuk tes HIV yang mendapat support dari

dinkes Tangerang Selatan. Rekomendasi strategi produk pemasaran sosial

sesuai dengan hasil penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut

Tabel 6.2
Strategi Produk Pemasaran Sosial VCT

Core Product (Manfaat) Actual Product Augmented


(Perilaku) Product (Barang)
a. Mengetahui status HIV lebih Tes dan Konseling a. Klinik VCT di
dini (D-RS-1) HIV-AIDS Puskesmas
b. Perencanaan dan promosi (D-RS-1) b. Klinik VCT
perubahan perilaku, keliling atau
c. Pelayanan pencegahan infeksi Mobile VCT
HIV dari ibu ke anak, c. Alat untuk tes
d. Memfasilitasi akses pelayanan HIV yang
medis (infeksi oportunistik, mendapat
IMS, ARV dan TB), support dari
e. Memfasilitasi kegiatan sebaya dinkes
dan dukungan, Tangerang

157
f. Normalisasi HIV-AIDS dan Selatan.
mengurangi stigma, (D-RS-1)
g. Perencanaan dan perawatan
untuk masa depan,
h. Menerima keadaan terinfeksi
HIV dan penyelesaiannya
(Dinkes Banten: 2006).

Strategi Price meliputi harga, waktu, atau pengorbanan baik psikologis

maupun fisik yang harus diberikan klien dalam pemanfaatan program VCT.

Puskesmas Ciputat sebenarnya menetapkan free charge atau mengratiskan harga

tes VCT untuk warga yang memiliki KTP Tangerang Selatan, sedangkan untuk

non-tangsel dikenakan biaya sesuai Perda. Hal ini karena ada support kebijakan

dari Pemerintah Daerah. Strategi untuk pengorbanan waktu, selain layanan buka

setiap hari kecuali hari Minggu, Puskesmas juga menyediakan waktu khusus

untuk konsultasi di tempat sepi jika klien menginginkan. Untuk mengatasi

pengorbanan klien baik psikologis maupun fisik, Puskesmas bekerjasama dengan

LSM untuk pendampingan.

Kebijakan ni diklarifikasi oleh klien mengaku mendapatkan layanan

VCT secara gratis. Untuk pengorbanan waktu selama tes kurang lebih satu jam.

Sedangkan bagi klien yang belum pernah tes VCT mengaku lebih menekankan ke

pengorbanan mental, terlalu banyak pertimbangan baik dan buruknya setelah tes

VCT, selain karena stigma masyarakat, ada rasa takut jika hasil tes positif.

Untuk strategi Place, hampir semua informan mengaku terdapat

kemudahan akses layanan VCT bagi klien. Salah satu bentuknya adalah adanya

mobile VCT, klinik VCT di Puskesmas yang memiliki lokasi strategis, ada

ruangan khusus klinik VCT di lantai dua Puskesmas, berikut kutipannya.

158
Berdasarkan hasil observasi, Klinik VCT di Puskesmas Ciputat memang

memiliki beberapa fasilitas yang nyaman seperti ruang tunggu yang dilengkapi

media poster, leaflet, brosur tentang HIV-AIDS,kotak saran, tempat sampah, meja

kusi, kalender. Ruang konseling dilengkapi dengan tempat duduk bagi klien dan

konselor, rekam medis, informed consent, catatan medis klien, formulir pra dan

pasca testing, lembar rujukan, alat tulis, kondom dan alat peraga penis, tisu, air

minum, lemari arsip. Untuk ruang pengambilan darah dilengkapi dengan jarum

dan speril steril, tabung penyimpan darah, stiker kode, kapas alkohol, cairan

disinfektan, sarung tangan karet, apron plastik, sabun dan tempat cuci tangan

dengan air mengalir, tempat sampah disinfektan, barang tidak terinfeksi dan

barang tajam, petunjuk pajanan okupasional. Ruang petugas kesehatan dan non

kesehatan dilengkapi dengan meja dan kursi, tempat pemeriksaan fisik, stetoskop

dan tensi meter, kondom dan alat peraga penggunaannya, KIE HIV-AIDS serta

infeksi oportunistik, blangko resep, alat timbangan berat badan. Ruang

laboratorium dilengkapi dengan reagen untuk testing dan peralatannya, lemari

pendingin, alat sentrifusi, ruang penyimpanan testing kit, buku-buku register, cap

tanda positif atau negatif, pedoman testing HIV, pedoman pajanan okupasi, lemari

arsip yang terkunci. Puskesmas juga memiliki alula pertemuan, serta wadah rapat

koordinasi di kelurahan, lokakarya bulanan, lokakarya mingguan. Fasilitas dan

wadah ini dapat dijadikan sebagai strategi tempat untuk pemasaran sosial program

VCT.

Berdasarkan Pedoman pelayanan Konseling dan testing HIV-AIDS

Secara Sukarela (VCT) Departemen Kesehatan (2006), Sarana prasarana VCT

terdiri dari 1). Papan nama / petunjuk, 2). Ruang tunggu yang tersedia materi KIE

159
: Poster, leaflet, brosur yang berisi bahan pengetahuan tentang HIV/AIDS, Infeksi

Menular Seksual (IMS), Keluarga Berencana (KB), Ante Natal Care (ANC),

Tuberkulosis (TB), hepatitis, penyalahgunaan Napza, perilaku sehat, nutrisi,

pencegahan penularan, dan seks yang aman, Informasi prosedur konseling dan

testing, Kotak saran, Tempat sampah, tissu,dan persediaan air minum, Bila

mungkin sediakan televisi, video, dan mainan anak, Buku catatan resepsionis

untuk perjanjian klien, kalau mungkin komputer untuk mencatat data, Meja dan

kursi yang tersedia dan nyaman, Kalendar. Sesudah jam layanan selesai, ruang ini

dapat dipakai untuk dinamika kelompok, diskusi, proses edukasi, pertemuan para

konselor, dan pertemuan pengelola layanan konseling dan jejaringnya.

Standar ruang konseling juga harus nyaman, terjaga kerahasiaanya, dan

terpisah dari ruang tunggu dan ruang pengambilan darah. Ruang konseling

dilengkapi dengan tempat duduk bagi klien maupun konselor, buku catatan

perjanjian klien dan catatan harian, formulir informed consent, catatan medis

klien, formulir pra dan pasca testing, buku rujukan, formulir rujukan, kalender,

dan alat tulis, kondom dan alat peraga penis, jika mungkin alat peraga alat

reproduksi perempuan. Alat peragaan lainnya misalnya gambar berbagai penyakit

oportunistik, dan alat peraga menyuntik yang aman, Buku resep gizi seimbang,

Tisu, Air minum, Kartu rujukan, Lemari arsip atau lemari dokumen yang dapat

dikunci, ruang konseling hendaknya cukup luas untuk 2 atau 3 orang, dengan

penerangan yang cukup untuk membaca dan menulis, ventilasi lancar, dan suhu

yang nyaman untuk kebanyakan orang

Ruang pengambilan darah harus dekat dengan ruang konseling, jadi

dapat terpisah dari ruang laboratorium. Peralatan yang harus ada dalam ruang

160
pengambilan darah adalah Jarum dan semprit steril, tabung dan botol tempat

penyimpan darah, stiker kode, kapas alkohol, cairan desinfektan, sarung tangan

karet, apron plastik, sabun dan tempat cuci tangan dengan air mengalir, tempat

sampah barang terinfeksi, barang tidak terinfeksi, dan barang tajam (sesuai

petunjuk Kewaspadaan Universal Departemen Kesehatan), Petunjuk pajanan

okupasional dan alur permintaan pertolongan pasca pajanan okupasional.

Ruang petugas kesehatan dan petugas non kesehatan, yang berisi meja

dan kursi, tempat pemeriksaan fisik, stetoskop dan tensimeter, kondom dan alat

peraga penggunaannya, Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) HIV/AIDS dan

infeksi oportunistik, Blanko resep, Alat timbangan badan, ruang laboratorium. Di

dalam sarana kesehatan atau sarana kesehatan lainnya, laboratorium letaknya ada

di bagian Patologi Klinik atau di pelayanan VCT sendiri. Materi yang harus

tersedia dalam laboratorium adalah reagen untuk testing dan peralatannya, sarung

tangan karet, jas laboratorium, lemari pendingin, alat sentrifusi, ruang

penyimpanan testing-kit , barang habis pakai, buku-buku register (stok barang

habis pakai, penerimaan sampel, hasil testing, penyimpanan sampel, kecelakaan

okupasional) atau komputer pencatat, cap tanda Positif atau Negatif, cairan

desinfektan, pedoman testing HIV, pedoman pajanan okupasional, lemari untuk

menyimpan arsip yang dapat dikunci.

Setelah membandingkan hasil observasi dengan standar, ternyata,

Puskesmas memang memiliki sarana yang lengkap untuk Tes VCT, namun ada

beberapa yang dirasa masih kurang, pertama KIE yang hanya sedikit dan masih

stok lama, tidak ada buku resep seimbang di ruang konseling, tidak ada jas lab di

161
ruangan laboratorium. Dengan demikian, secara sarana, Puskesmas Ciputat

memenuhi kualifikasi tempat VCT yang nyaman.

Untuk strategi Promotion, Puskesmas menggunakan media leaflet, Buku

Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) Diary ODHA, Poster, brosur-brosur

VCT, lembar balik layanan metadon puskesmas, spanduk di depan Puskesmas

serta kartu nama pendamping ODHA LSM, penyediaan kondom. Untuk konten,

dimulai dengan pengenalan penyakit, perilaku beresiko HIV-AIDS, resiko jangka

panjang dan saran untuk tes VCT. Metode yang digunakan yaitu sosialisasi

melalui Lokbul, posyandu, paguyuban penasun, mouth to mouth staf puskesmas,

peresmian atau launching PTRM dan klinik VCT, pendekatan personal LSM,

penyuluhan, Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Pelangi, mobile visit ke sopir-

sopir angkutan umum dan kelompok risiko tinggi. Promotor yang terlibat adalah

Tim VCT, bagian Promosi Kesehatan Puskesmas, LSM Kotek, BMG, Dinas

Kesehatan Tangerang Selatan, Dinas Sosial, Komisi Penanggulangan AIDS

(KPA), dan kader kesehatan. Saluran media yang dipakai yaitu jejaring sosial

grup Facebook Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Pelangi, email, Contact

Person pendamping ODHA. Namun, pada kenyataannya salah satu responden

yang sudah pernah melakukan tes VCT mengatakan belum pernah mendapat

sosialisasi dari kader kesehatan tentang VCT, hanya mengetahui ketika diberitahu

bidan saat periksa kehamilan di layanan KIA.

Kendala saat perencanaan bauran pemasaran, Kepala Puskesmas

mengaku kendalanya hanya kemauan masyarakat untuk tes VCT, Kepala bidang

Promkes mengalami kendala saat menentukan lokasi yang tepat untuk

pemasangan media, misal spanduk, sedangkan LSM mengaku tidak ada, bahkan

162
bagian dari klien yang positif terkadang membuka pertemanan dengan teman

mereka yang lain, atau berkomunikasi interpersonal dengan LSM untuk sekedar

sharing. Dinas Kesehatan mengaku kendala utama kontrak waktu saat mobile

visit serta ada wilayah yang tertutup terhadap kedatangan tim.

Namun, dari semua strategi, pendapat klien atas layanan VCT Puskesmas

yaitu cukup puas, menurut mereka layanan VCT cukup bagus, layanannya cepat,

mereka memberi nilai delapan untuk kualitas layanan VCT. Berikut kutipannya,

6.10 Gambaran Perencanaan Pemantauan dan Evaluasi

Perencanaan pemantauan dan evaluasi dalam penelitian ini didefinisikan

sebagai membuat perencanaan yang berisikan pengukuran yang bisa dipakai

untuk memonitor dan mengevaluasi pemasaran sosial program VCT meliputi

tujuan dan sasaran, rencana metode dan waktu monitoring dan evaluasi, dan

indikator yang dipakai (input/output/outcome/ impact). Perencanaan pemantauan

dan evaluasi yang dilakukan Puskesmas Ciputat dapat dikelompokkan dalam

tujuan, rencana metode dan waktu serta indikator yang dipakai untuk pemantauan

dan evaluasi.

Menurut Kementrian Kesehatan (2011) monitoring dan evaluasi adalah bagian

integral dari pengembangan program, pemberian layanan, penggunaan optimal

sediaan layanan dan jaminan kualitas. Monitoring dilakukan untuk tujuan

supervisi yaitu untuk mengetahui apakah program pelayanan konseling dan tes

HIV berjalan sebagaimana direncanakan, apa hambatan yang terjadi dan

bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Evaluasi bertujuan untuk mengatahui

apakah program VCT mencapai sasaran yang diharapkan. Evaluasi menekankan

pada aspek (output). Konsekuensinya, evaluasi baru dapat dilakukan jika program

163
VCT sudah berjalan dalam satu periode, sesuai dengan tahapan sasaran yang

dirancang, misalnya dalam satu tahun jika memang programnya dirancang dalam

satu tahun. Selain itu, untuk kepentingan VCT maka evaluasi dapat dilakukan

evaluasi internal ataupun eksternal. Kementrian kesehatan mengembangkan

instrumen pelayanan VCT. Aspek yang dimonitor dan dievaluasi oleh tim

Monitoring and Evaluation Officer SSR Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

jika disesuaikan dengan standar Kementrian Kesehatan (2006) adalah sebagai

berikut:

a. Kebijakan, tujuan, dan sasaran

Dinas Kesehatan juga menilai kebijakan, tujuan dan sasaran program

VCT.

b. Sumber daya manusia

Aspek yang dinilai yaitu jumlah tenaga yang aktif, jumlah tenaga yang

dilatih.

c. Sarana, prasana, dan peralatan

Aspek yang dinilai Dinas Kesehatan yaitu persediaan reagen dan

kondom ARV

d. Standar minimal pelayanan VCT

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menggunakan buku SOP

Klinik IMS dan VCT dari Dinas Kesehatan, UNAIDS dan LSM

Family Health Indonesia (FHI) tahun 2007. Dalam hal ini, Dinas

Kesehatan menilai cakupan pelayanan

e. Prosedur Pelayanan VCT

Penilaian dilihat sesuai buku register VCT.

164
f. Hambatan pelayanan VCT

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan juga menilai hambatan

puskesmas Ciputat dalam penyelenggaraan

g. Uraian Rincian Layanan dengan menilai ketersediaan petugas

diberbagai tingkat layanan, kepatuhan terhadap protokol, ketersediaan

materi pengajaran mengenai kesehatan dan kondom, ketersediaan dan

penggunaan catatan terformat, ketersediaan alat testing dan layanan

medik, kepatuhan petugas pada peran dan tanggung jawab dan aspek

umum dari operasionalisasi layanan.

Dinas Kesehatan juga menilai aspek ini.misalnya ketersediaan bahan

KIE, Buku Pedoman, laporan kegiatan sesuai format Dinas Kesehatan.

h. Pengelolaan yang profesional dan efektif

Dinas Kesehatan juga menilai aspek kualitas pelayanan, tenaga yang

mengelola.

i. Akuntabilitas dan sustainibilitas.

Penilaian disampaikan dalam laporan tiga bulanan Dinas Kesehatan

Kota Tangerang Selatan. Akuntabilitas ditunjukkan dalam rekapitulasi

anggaran.

j. Kepuasan dan evaluasi klien secara langsung atau melalui kotak saran.

Baik Dinas Kesehatan ataupun Puskesmas Ciputat belum melakukan

penilaian kepuasan dan evaluasi klien secara langsung

Waktu evaluasi internal yaitu satu bulan sekali di internal Puskesmas

dan di Kelurahan saat lokbul dan lokmin, serta evaluasi eksternal yaitu

pemantauan dan evaluasi bersama Dinas Kesehatan dan seluruh Puskesmas

165
setiap tiga bulan sekali. Menurut Depkes (2006) monitoring evaluasi

dilakukan secara sistematis dan berkala pada program pelayanan VCT di

sarana kesehatan. Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara internal

maupun eksternal.

Tujuan pemantauan dan evaluasi yaitu untuk melihat capaian program

penanggulangan HIV-AIDS secara keseluruhan, untuk melihat perkembangan

atau kemajuan dan hambatan layanan VCT dan memantau jumlah klien

positif HIV. Sasaran monitoring dan evaluasi adalah layanan klinik

komprehensif Penanggulangan HIV-AIDS yang meliputi IMS, VCT, PICT,

PTRM. Menurut Departemen kesehatan (2006), tujuan pemantauan dan

evaluasi adalah untuk menyusun perencanaan dan tindak lanjut, untuk

memperbaiki pelaksanaan pelayanan VCT, untuk mengetahui kemajuan dan

hambatan pelayanan VCT. Tujuan ini perlu dikhususkan dalam tujuan

pemantauan dan evaluasi pemasaran sosial seperti untuk memantau efektivitas

pemasaran sosial melalui saluran media yang digunakan.

Indikator yang dipakai adalah indikator output sesuai dengan standar tiga

bulanan Global Fund untuk Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Hal ini

sesuai dengan Ketentuan Kementrian Kesehatan (2011) yang menganjurkan

penilaian berdasarkan indikator output. Hasil telaah dokumen GF-AIDS SSR

Dinkes Tangerang Selatan menunjukkan indikator output untuk layanan VCT

di Kota Tangerang Selatan periode Januari sampai dengan Maret 2014 yaitu

sebanyak 336 orang kelompok resiko tinggi (resti) mendapatkan tes VCT HIV

dan mengambil hasil. Sedangkan untuk indikator tiap puskesmas, Dinas

Kesehatan tidak mentargetkan jumlah tertentu. Puskesmas Ciputat mengakui,

166
tidak ada indikator khusus tiap puskesmas, namun pihaknya hanya memiliki

target kasar sebanyak 50 orang mendapat layanan VCT tiap bulan. Selain

indikator output, puskesmas memiliki indikator input yaitu laporan selesai

tepat waktu, keterlibatan tim dan evaluasi kendala.

Sedangkan indikator yang dipakai LSM adalah indikator outcome, berapa

banyak kelompok beresiko yang didampingi, akses terhadap obat, kepatuhan

meminum obat, serta efektivitas obat yang diminum. Kendala dalam

monitoring evaluasi yaitu ada klien yang tidak patuh minum obat atau putus di

tengah jalan.

Menurut Pusat Promosi Kesehatan (2011) agar pemantauan dan evaluasi

dapat dilakukan secara paripurna, maka indikator keerhasilan program

promosi kesehatan ini harus mencapai indikator masukan (input), indikator

proses, indikator keluaran (output), dan indikator dampak (outcome). Indikator

masukan dapat mencakup komitmen, sumber daya manusia, sarana/peralatan.

Indikator proses yang dipantau meliputi pelaksanaan pemasaran sosial atau

promosi kesehatan baik di gedung ataupun di masyarakat serta kelayakan

media yang digunakan. Indikator keluaran dapat berupa cakupan dari kegiatan

misalnya tenaga puskesmas yang melakukan pemasaran sosial, berapa

kelompok masyarakat yang sudah digarap puskesmas dengan

pengorganisasian masyarakat. Indikator dampak mengacu pada tujuan

dilaksanakannya pemasaran sosial atau promosi kesehatann puskesmas.

Jika mengacu pada laporan bulanan Puskesmas Ciputat, disitu tertera tabel

yang dapat disesuaikan sebagai bahan untuk indikator output seperti jumlah

orang yang ditawarkan tes HIV, jumlah orang yang tes HIV, jumlah yang

167
menerima hasil, jumlah orang yang HIV positif, jumlah orang yang dirujuk

konseling lanjutan, jumlah ibu hamil yang ditawarkan tes HIV, jumlah ibu

hamil yang di tes HIV, yang positif yang dirujuk ke PDP dan PPIA, jumlah

kondom yang diberikan ke klien, jumlah orang HIV yang dirujuk ke petugas

pendukung (LSM, manajer kasus, kader), jumlah orang HIV yang dirujuk oleh

petugas pendukung, jumlah pasangan ibu hamil positif yang mendapat

konseling dan tes HIV, jumlah orang HIV positif diskrining gejala TB. Maka

dalam hal ini, puskesmas telah memiliki indikator input, output dan outcome.

Namun, aspek yang dinilai masih kurang adalah indikator proses pemasaran

sosial serta aspek penilaian klien.

6.11 Gambaran Perencanaan Anggaran Biaya

Perencanaan anggaran (Establish Budget and Find Funding Source) yang

didefinisikan dalam penelitian ini yaitu membuat perhitungan anggaran

biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan perencanaan pemasaran program

VCT dan perencanaan sumber dana serta donatur yang akan membiayai.

Puskesmas memiliki perencanaan khusus untuk biaya pemasaran sosial

program VCT. Biaya VCT didapatkan dari dana Bantuan Operasional

Kesehatan (BOK) dan Global Fund AIDS. sedangkan LSM mengaku

mendapat dana dari PBNU atas support Global Fund.

Untuk pembiayaan di puskesmas pemerintah mengacu pada SK Menkes

No 582/Menkes/SK/VI/1997, dimana tarif rumah sakit diperhitungkan atas

dasar unit cost dengan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat,

layanan kesehatan setempat lainnya serta kebijakan subsidi silang. Kotler dkk

(2009) mendefinisikan Establish Budget and Find Funding Source atau

168
rencana anggaran dan sumber dana sebagai membuat perhitungan anggaran

biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan perencanaan pemasaran dan

sumber dana serta donatur yang akan membiayai.

Puskesmas sesuai dengan Perda pemerintah Kota Tangerang Selatan,

menggratiskan biaya pelayanan VCT. Puskesmas juga mengakui telah

menggunakan rencana anggaran serta donatur. Kendala yang biasanya muncul

dalam perencanaan, menurut Penanggungjawab program VCT yaitu tidak ada,

hanya kemungkinan ada pengurangan dana ketika program berakhir.

6.12 Gambaran Perencanaan Implementasi Kampanye dan Manajemen

Perencanaan ini diakhiri dengan sebuah proposal pemasaran sosial

program VCT yang berisi secara spesifik nama dan job desk masing-masing

yang terlibat dalam kegiatan pemasaran. Selain itu diikuti juga dengan waktu

pelaksanaannya (time frames). Berdasarkan hasil telaah dokumen, Puskesmas

mengakui ada rencana kerja tahunan dan bulanan VCT yang tergabung dengan

seluruh program Puskesmas, yaitu Plan of Action (POA) tahunan dan bulanan

namun Puskesmas tidak berkenan untuk memberikan POA tahunan tersebut.

Menurut Puskesmas, laporan bulanan Puskesmas untuk Dinas Kesehatan

sudah cukup mewakili isi proposal, karena proposal berisi rencana untuk

seluruh program bukan hanya untuk VCT. Puskesmas mengakui tidak ada

proposal khusus pemasaran sosial program VCT. Sehingga perencanaan

pemasaran sosial yang dilakukan oleh Puskesmas belum bisa disahkan sebagai

produk perencanaan pemasaran sosial meskipun pada kenyataannya

puskesmas mengaku telah melakukan perencanaan pemasaran sosial.

169
Menurut Lee (2012), Langkah ke-10 dalam perencanaan pemasaran sosial

adala rencana pelaksanaan dan manajemen kampanye. Bagi beberapa orang,

rencana pelaksanaan ini adalah rencana pemasaran, karena menguraikan siapa

yang akan melakukan apa, kapan, dan berapa banyak, termasuk mitra dan

peran mereka. Ini berfungsi sebagai dokumen kerja ringkas untuk berbagi dan

melacak upaya yang direncanakan. Ini menyediakan mekanisme untuk

memastikan bahwa semua yang terlibat melakukan apa yang dimaksudkan,

tepat waktu, dan dalam anggaran. Paling umum, rencana ini merupakan

minimal kegiatan satu tahun dan, idealnya, dua atau tiga tahun

Berdasarkan hasil penelitian, maka Puskesmas telah memiliki rencana

kegiatan dalam jangka waktu satu tahun. kegiatan itu seperti penyuluhan di

paguyuban, pertemuan metadon, pemasangan spanduk VCT, launching klinik

VCT oleh Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, kampanye melalui hari-

hari besar kesehatan, seperti Hari AIDS Sedunia, intensifikasi dan optimalisasi

kegiatan Mobile Konseling, intensifikasi promosi VCT didukung oleh

produksi dan distribusi media KIE, koordinasi yang baik antara Dinas

Kesehatan, LSM BMG, Kotek, KPA, mengadakan Pertemuan dengan Instansi

atau lembaga terkait, optimalisasi penjangkauan metadon dan pengadaan obat

dan reagen yang diperlukan.

Selain itu Puskesmas juga sebenarnya memiliki rencana pembagian peran

yang jelas, yaitu Dinas Kesehatan sebagai pihak yang melakukan monitoring

dan evaluasi, perencanaan dan pembinaan program penanggulangan HIV-

AIDS di Tangerang Selatan, termasuk VCT, fasilitasi akses kesehatan dan

fasilitasi penyuluhan untuk Puskesmas dan ODHA. Puskesmas sebagai

170
Pelaksana Program dan Tenaga VCT dan Fasilitasi Penyuluhan. Puskesmas

memiliki Konselor dan penanggungjawab program sebagai pihak yang

melakukan Konseling and Tes HIV, Analis kesehatan dan Perawat sebagai

pihak yang melakukan pengambilan darah, Bidang Promosi Kesehatan

sebagai pihak yang membantu melakukan sosialisasi program. LSM BMG

sebagai Tim Penjangkauan, LSM Kotek sebagai Tim Pendampingan Klien,

KPA Tangerang Selatan sebagai pihak penyelenggara penyuluhan, pelaporan,

dan penyuplai kondom. Dinas Sosial sebagai pihak yang memfasilitasi

Pelatihan Soft Skill Kelompok Beresiko sesuai kebutuhan. Kelompok

Dukungan Sebaya (KDS) Pelangi sebagai supporting dukungan kelompok.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pihak yang membantu sosialisasi

program melalui Penyelenggara Seminar-Seminar HIV-AIDS.

Data peran pihak-pihak yang terlibat tersebut perlu direncanakan dalam

tabel khusus untuk perencanaan pemasaran sosial program. Data tersebut

dapat dikelompokkan sebagai berikut,

171
Tabel 6.3
Peran Pihak Yang Terlibat dalam Pemasaran Sosial VCT Puskesmas
Ciputat

No Pihak yang Terlibat Peran


1 Dinas Kesehatan Monitoring dan Evaluasi, Perencanaan
dan Pembinaan Program Penanggulangan
HIV-AIDS di Tangerang Selatan,
termasuk VCT, Fasilitasi Akses
Kesehatan dan fasilitasi penyuluhan untuk
Puskesmas dan ODHA
2 Puskesmas Pelaksana Program dan Tenaga VCT dan
Fasilitasi Penyuluhan
a. Konselor dan Konseling and Tes HIV
penanggungjawab
program
b. Analis kesehatan dan Pengambilan Darah
Perawat
c. Bidang Promosi Sosialisasi Program
Kesehatan
3 LSM BMG Penjangkauan
4 LSM Kotek Pendampingan
5 KPA Tangerang Selatan Penyuluhan, Pelaporan, Suplai Kondom
6 Dinas Sosial Fasilitasi Pelatihan Soft Skill Kelompok
Beresiko sesuai kebutuhan
7 Kelompok Dukungan Support Dukungan Kelompok
Sebaya (KDS) Pelangi
8 UIN Syarif Hidayatullah Penyelenggara Seminar-Seminar HIV-
Jakarta AIDS

Kendala dalam perencanaan kampanye implementasi, Puskesmas

mengaku tidak beguti banyak kendala, hanya manajemen waktu saja. Sedangkan

LSM mengatakan adanya miskomunikasi dengan beberapa pihak misal KPA

Tangerang Selatan, adanya diskriminasi apalagi saat pembagian kondom

meskipun ke jejaring ODHA saja. Dinas Kesehatan mengatakan belum terjadinya

kontrak waktu yang jelas dengan komunitas dan seringnya terjadi pemutusan

sepihak serta ada beberapa wilayah yang tertutup terhadap kedatangan tenaga

kesehatan

172
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan data penelitian yang telah dilakukan

pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan :

1) Puskesmas Ciputat belum melakukan perencanaan pemasaran sosial program

Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV-AIDS secara optimal karena

belum ada bukti otentik proposal pemasaran sosial VCT yang dilegalisasi

Kepala Puskesmas. Perencanaan ini hanya mendukung data untuk segmentasi

pasar, identifikasi faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku, bauran

pemasaran, perencanaan pemantauan dan evaluasi, perencanaan anggaran

biaya, perencanaan kampanye implementasi dan manajemen. Sedangkan data

tentang latar belakang, tujuan dan fokus program VCT, analisis situasi,

penentuan tujuan dan target pemasaran sosial, pernyataan positioning tidak

tergambar dalam dokumen POA. Hal ini membuktikan bahwa rendahnya

minat masyarakat disebabkan karena belum optimalnya perencanaan

pemasaran sosial. Puskesmas tidak membuat proposal pemasaran sosial

karena tidak mengetahui ketentuan seharusnya.

2) Perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus program VCT (Voluntary

Conseling Test) di Puskesmas Ciputat secara detail berada pada tingkat Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Puskesmas hanya sebagai pelaksana

program di lapangan bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat

dalam pengjangkauan dan pendampingan kelompok sasaran. Perencanaan

memang dilakukan oleh Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota

173
Tangerang Selatan. Namun, peneliti tidak menemukan dokumen proposal

pemasaran sosial program VCT yang berisi perencanaan latar belakang,

tujuan dan fokus program. Seharusnya puskesmas melakukan identifikasi

sponsor kegiatan VCT, alasan penyelenggaraan program, masalah sosial yang

melatarbelakangi berdasarkan data epidemiologi yang sudah ada serta

perencanaan tujuan dan fokus program.

3) Perencanaan analisis situasi pemasaran sosial program VCT (Voluntary

Conseling Test) tidak dilakukan di Puskesmas Ciputat. Analisis hanya bersifat

analisis pribadi informan saat diwawancara, tidak ada bukti otentik analisis

situasi. Analisis situasi yang seharusnya dilakukan yaitu analisa kekuatan

kompetitif (self assesement), analisis kinerja internal meliputi identifikasi

kekuatan, kelemanan, peluang serta tantangan, analisis terhadap daya tarik

pasar atau masyarakat, analisis klien, dan analisis pesaing. Perencanaan

analisis situasi harus melibatkan bagian promosi kesehatan dan LSM.

Sehingga, koordinasi pemanfaatan peluang dan strategi pemasaran sosial

belum menjadi pemahaman bersama pelaksana program VCT.

4) Perencanaan segmentasi pasar pemasaran sosial program VCT (Voluntary

Conseling Test) Puskesmas Ciputat yang terlihat hanya segmentasi

berdasarkan demografis dan geografis. Perlu ada pengutan berdasarkan

aspek psikografis, perilaku, jejaring sosial, asset masyarakat, tahapan dalam

perubahan (stage of changes) serta jumlah sasaran target pemasaran sebelum

melakukan pemasaran sosial.

5) Puskesmas Ciputat belum memiliki tujuan dan target pemasaran sosial

program VCT (Voluntary Conseling Test) secara tertulis. Informan hanya

174
mengatakan tujuan pemasaran sosial VCT yaitu agar masyarakat mengetahui

perilaku berisiko HIV-AIDS dan mau mengikuti Voluntary Counselling and

Testing (VCT) dengan sukarela serta mau mencegah perilaku yang

menyebabkan HIV-AIDS. Sedangkan goal standar atau target pemasaran

sosial VCT di Puskesmas Ciputat masih berupa standar kasar internal

Puskesmas yaitu sebanyak 50 orang mengikuti layanan VCT HIV-AIDS

setiap bulan pada tahun 2014.

6) Identifikasi faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku pemanfaatan

program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat dilakukan

melalui rekam medik dan penandatanganan persetujuan tes HIV. Identifikasi

selanjutnya dilakukan oleh pihak LSM melalui pemantauan perilaku dari

pendampingan klien.

7) Perencanaan positioning statement pemasaran sosial program VCT

(Voluntary Conseling Test) belum dilakukan oleh Puskesmas Ciputat

8) Perencanaan bauran pemasaran sosial program VCT (Voluntary Conseling

Test) Puskesmas Ciputat sudah mencakup empat yaitu strategi produk, harga,

tempat, dan promosi.

9) Perencanaan pemantauan dan evaluasi pemasaran sosial program VCT

(Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat menggunakan standar

laporan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Indikator yang dipakai

yaitu input, output, outcome. Namun, aspek yang dinilai masih kurang yaitu

indikator proses pemasaran sosial serta aspek penilaian klien.

10) Perencanaan anggaran biaya pemasaran sosial program VCT (Voluntary

Conseling Test) melalui dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan

175
Global Fund AIDS. Sedangkan LSM mengaku mendapat dana dari PBNU

atas support Global Fund.

11) Perencanaan implementasi kampanye dan manajemen pemasaran sosial

program VCT (Voluntary Conseling Test) di Puskesmas Ciputat dilakukan

dengan merinci mitra dan jobdes masing-masing, serta perencanaan

implementasi berupa waktu, sasaran, tempat dan lainnya. Namun, tidak ada

proposal pemasaran sosial khusus program VCT yang memuat jobdes pihak

yang terlibat. Sehingga perencanaan pemasaran sosial yang dilakukan oleh

Puskesmas belum bisa disahkan sebagai produk perencanaan pemasaran

sosial meskipun pada kenyataannya puskesmas telah melakukan perencanaan

pemasaran sosial.

7.2 SARAN

1. Bagi Peneliti Selanjutnya

- Diharapkan peneliti selanjutnya dapat membuat desain pemasaran

sosial yang efektif untuk program VCT serta dapat membantu

Puskesmas dalam melakukan riset pasar untuk perencanaan pemasaran

sosial.

2. Bagi Puskesmas Ciputat

- Diharapkan puskesmas dapat melakukan upaya perencanaan

pemasaran sosial program VCT HIV-AIDS secara detail yaitu

melakukan perencanaan latar belakang, tujuan dan fokus program

VCT, analisis situasi, penentuan tujuan dan target pemasaran sosial,

pernyataan positioning dan mendokumentasikan dalam bentuk

176
proposal pemasaran sosial yang dilegalisasi oleh Kepala Puskesmas

sebagai pedoman pelaksanaan pemasaran sosial.

- Diharapkan Puskesmas menyusun indikator proses pemasaran sosial

serta aspek penilaian klien baik melalui kotak saran maupun melalui

media yang lain sebagai bahan evaluasi efektivitas pemasaran sosial

serta evaluasi kepuasan masyarakat

- Perencanaan pemasaran sosial sebaiknya melibatkan bagian promosi

kesehatan sebagai pemegang tugas pokok dan fungsi utama pemasaran

sosial dan promosi kesehatan program VCT di Puskesmas Ciputat.

- Perencanaan pemasaran sosial sebaiknya juga melibatkan pihak LSM

mitra, Dinas Kesehatan dan KPA Tangerang Selatan untuk

memperjelas peran atau tugas pokok dan fungsi masing-masing dalam

pemasaran sosial program VCT

- Diharapkan Puskesmas lebih memiliki orientasi marketing concept

daripada selling concept untuk mewujudkan misi pelayanan prima

Puskesmas.

3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

- Diharapkan akan lebih banyak penelitian yang mengangkat tema

pemasaran sosial program kesehatan di tingkat pelayanan dasar untuk

meningkatkan minat masyarakat terhadap program-program

puskesmas.

- Diharapkan memperbanyak referensi tentang pemasaran sosial

program kesehatan

177

Anda mungkin juga menyukai