Anda di halaman 1dari 5

Media dibawah Kapitalisme

Berita informasi pada abad ini telah mengawinkan beberapa elemen media,
dalam tujuanya yang sama – sama bertujuan menyampaikan informasi kepada
masyarakat umum. Satu elemen media yang sering digunakan adalah media berbasis
online, dengan kecepatan hitungan detik sebuah informasi dapat disebar secara
perorangan ataupun oleh lembaga media yang mempunyai kepetingan tertentu.

Masyarakat metropolitan sekarang tentunya membutuhkan media, karna


media sebagai kekuatan vital yang menjadikan masyarakat berpengetahuan cukup
untuk dapat mejalani kehidupan sehari – hari secara teratur dan harmonis. Tak dapat
dipungkiri apabila media juga mempunyai dampak negatif, di dalam era ini tentu
akan lahir masyarakat yang menjadikan media sebagai kekuatan vital dalam
membangun sebuah argumen dan kerangka pemikiranya, karna segala pembahasan
ataupun diskusi bersumber dari informasi – informasi yang di dapat dari media
massa. Wajar apabila pemilik kepentingan akan melakukan segala cara demi
terlahirnya sebuah paradigma dan sebuah pandangan dari masyarakat setelah melihat
dan berpedoman pada isi sebuah informasi di dalam berita.

Mengikuti jejak pemikiran Baudrillard, dimana media merupakan perangkat


untuk mengacaukan hakikat dan kenyataan beragam persoalan, maka sebagai
penikmat pembaca, penonton akan secara otomatis menjadikan informasi yang ia
temui sebagai landasan dalam ia berargumen. Berbagai kemasan – kemasan yang
bersifat personal kadang sengaja di beritakan dan dibungkus oleh sisi gelap. Inilah
kepentingan budaya populer. Inilah kepentingan industri, dimana beberapa elemen ini
(budaya populer dan industri) merupakan suatu tangga untuk menuju jenjang
kepentingan tertentu.

Pembahasan dalam tulisan ini akan kami sajikan sebuah topic permasalahan
yang ada disekitar kita dan mudah untuk kita analisis dalam bermedia. Kalangan
Mark pernah berargumen kritis tentang peran media massa dalam kapitalisme secara
umum, untuk kemudian dilanjutkan secara khusus pada pembahasan terkait media
komersial. Setelah itu, akan dijelaskan bagaimana kapitalisme global berkembang dan
di mana arti penting perkembangan televisi sebagai media komersial di dalam
perkembangan itu.

Pembahasan ini kami harap sedikit dapat membantu pembaca memahami


pandangan bahwa tumbuhnya media pertelevisian swasta di selurug dunia-termasuk
televise di negeri ini bukanlah sekedar perkembangan alamiah, perkembangan
evolusioner yang tidak terelakan atau sekadar mengikuti “Perkembangan zaman” dan
memenuhi kebutuhan selera masyarakat. Sebagaimana sudah diantarkan dalam bab
pertama, akan ditunjukan bahwa setidaknya berdasarkan perspektif kritis,
swastanisasi di media adalah perkembangan yang sengaja diarahkan sejalan dengan
sistem kapitalisme global.

Perspektif Kritis Tentang Media Massa

Chander 1995, menyatakan bahwa dalam kepustakaan ilmu komunikasi,


pembahasan tentang hubungan antara media massa dan kapitalisme global lazim
ditemukan dalam kumpulan apa yang dikenal sebagai teori-teori media kritis.
Gagasan yang berbasis pemikiran Marx ini memandang peran media dalam
masyarakat dengan cara berbeda dari yang dikembangkan kaum “fungsionalis” dan
“pluralis”.

Menurut kaum fungsionalis, media massa pada dasarnya memiliki fungsi


khusus dalam masyarakat, yakni mejadi sarana penyebar informasi, membantu
masyarakat menafsirkan berbagai peristiwa yang berlangsung di lingkungannya,
membangun opini public, merekatkan masyarakat, mendidik, mensosialisasikan nilai-
nilai, dan juga sebagai media intertaiment. Diluar hal itu tentu saja media juga dapat
menyajikan muatan yang berdampak negative, namun itu dilakukan karena
ketidakpahaman pekerja di media atau karena adanya kebutuhan unuk meningkatkan
nilai komersial produk media tanpa mengindahkan efeknya pada perilaku social
masyarakat. Dengan kata lain, dampak negative itu hanya sekedar ekses.

Disisi lain kaum pluralis adalah kalangan yang percaya bahwa media massa
adlah juga organisasi yang independent dan otonom yang berdiri seimbang dengan
Negara, partai politik, dan kelompok penekan lainya. Istilah ”Pluralis” sendiri
merujuk pada keberagaman kekuasaan yang menyebar secara merata di masyarakat.
Dalam hal ini, media massa beperan sebagai kekuatan yang melakukan pengawasan
terhadap Negara (Government,Law,Parlement) dan merupakan “Pilar keempat
demokrasi” (Selain eksekutif, legislative dan yudikatif). Media massa diisi oleh
kalangan professional yang terpanggil untuk membela kepentingan public dan
bersikap kritis terhadap siapapun, tidka berat sebelah terhadap pemegang kekuasaan.
Media massa tidak dimiliki oleh pemeerintah dan posisinya berseberangan dengan
penguasa.

Dalam teori Marx-kritis, media massa menempati posisi berbeda. Marx


sendiri tidak banyak membahas soal media massa dalam kritiknya terhadap
kapitalisme. Ini bisa dipahami, mengingat di masa Karl Marx hidup (Abad19) media
massa belum tumbuh subur seperti zaman now dan belum dijadikan sebagai bisnis
besar. Baru kemudian di Abad 20, para pemikir yang melanjutkan gagasan-gagasan
Marx memusatkan perhatian pada media komersial sebagai sarana pelanggengan
kapitalisme yang eksploitatif.

Kalangan Neo-Marxis ini melihat media massa komersial sebagai sarana


peneting untuk mempengaruhi cara pandang dan sikap masyarakat yang pada gilirany
akan mengukuhkan dominasi kelas borjuis atas kaum proletar. Dengan demikian,
media tidak dipandang sebagai kekuatan independen dan otonom, melainkan lebih
sebagai alat ideologis yang dimanfaatkan para pemegang modal. Isi media yang
disajikan bukan diarahkan untuk kepentingan public atau sesuatu ynag ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan public, melainkan lebih untuk melayani kepentingan
ekonomi politik para pemilik media yang adlalah kaum pengusaha besar yang
memiliki jalinan khusus dengan kepentingan ekonomi korporat lainnya. Dalam
konteks pemanfaatan media untuk kepentingan kaum pemodal.

Media Massa Sebagai Industri Kebudayaan

Salah satu pemikir terpenting dalam abad 20 an yang mengkritik industry


media massa adalah Theodor Adorno. Adorno (2003) melihat bahwa sebagai
industry, media tidak mungkin lagi berperan sebagai alat pencerahan masyarakat
yang menyebarkan dan mendasarkan diri pada kreativitas, orisinalitas, dan semangat
kritis terhadap kemapanan. Sebaliknya, kata Adorno, media massa akan mengajarkan
nilai-nilai yang terus terlenakan, patuh dan menyesuaikan diri dengan mereka yang
menguasai modal dalam masyarakat kapitali.

Adorno mengutarakan gagasan-gagsan kritisnya sejak sebelum pertengahan


abad ke 20 ketika sebenarnya media massa belum tumbuh sebagai bisnis raksasa
sebagaimana berlangsung di masa-masa berikutnya. Tulisan-tulisannya dibuat bahkan
sebelum bisnis pertelevisian lahir. Namun di saat itu ia sudah melihat bahwa bila
kecenderungan komersialisasi media dilanjutkan, secara tidak terelakkan industry
kebudayaan-demikia ia mengistilahkan media massa-akan menjadi sarana ampuh
untuk mengarahkan cara pandang serta cara berpikir masyarakat mendukung
kapitalisme yang sebenarnya mengancam kesejahteraan masyarakat.

Mengikuti alur berpikir tersebut, kemudian lahir banyak para peneliti kritis
yang memandang media massa sebagai intrumen kelas kapitalis dan bahwa produk
yang mereka hasilkan merupakan semacam sistem transmisi kepentingan dan ideologi
kapitalis. Herman dan Chomsky (1998), dua pemikir kritis yang lebih kontemporer,
misalnya memandang media massa sebagai instrument elite dominan dalam upaya
pemanufakturan kesepakatan dan ketertundukan(Consent) masyarakat. Menurut
mereka, tujuan kemasyarakatan (Societal purpose) media adalah meneguhkan dan
mempertahankan agenda ekonomi, social, dan politik kelompok elite yang
mendominasi masyarakat dan Negara. Media melayani tujuan ini dalam beragam
cara-melalui penyeleksian topic, penyebaran kepedulian, pembangunan kerangka isu,
seleksi informasi, penekanan dan nada(tone) , serta pemeliharaan perdebatan dalam
batas-batas yang diterima.

Dengan demikian, berbeda dengan mereka yang memandang media sebagai


sarana intertaimen atau biasa disebut hiburan yang tidak berbahaya atau sebagai
sumber informasi objektif, dalam pendekatan ini media massa lebih pantas dipandang
sebagai bagian dari industri budaya yang melayani kepentingan mereka yang
memiliki dan mengendalikannya.

Namun penting untuk diperhatikan bahwa gagasan-gagasan kritis tersebut


pada dasarnya ditujukan pada media massa komersial. Gagasan bahwa media massa
hanya akan melayani kepentingan ekonomi para pemegang modal ini terutama
berlaku bila media massa dioperasikan sebagai bisnis yang berorientasi pada
pancarian keuntungan sebesar-besarnya. Ini perlu ditekankan karena sistem media
komersial sebenarnya bukanlah satu-satunya pilihan di dunia.

Dalam sejarah perkembangan media, dunia mengenal pula dominasi media


yang berorientasi komersial dalam mesyarakat yang menganut sistem ekonomi
kapitalistik. Dengan demikian,sisitem media komersial bukanlah sesuatu yang
niscaya harus diadopsi oleh sebuah Negara, buksn sesuatu yang “given” , melainkan
sesuatu yang harus diputuskan dari sederet pilihan oleh para pengambil kebijakan.
Namun, begitu sistem ini diadopsi, akan berlangsung serangkaian praktik social yang
mengandung implikasi sistemik yang tidak terhindarkan.
Pustaka :

40 Tahun TVRI Dari Pembebasan Menuju Pencerahan. Jakarta : FSP – TVRI,


2002.
Adorno, Theodor W. The Culture Industry:Selected Essay on Mass Culture.
London: Routledge, 1991.
Armando, Ade. Televisi dibawah Kapitalisme Global. Jakarta : PT Kompas Media
Nusantara, 2016
Chandler, Daniel. Marxist Media Theory. www. cym. ie/documents/chandler. pdf.
1995
Herman, Edward S. ”The Externalities Effects Of Commercial and Public
Broadcasting” dalam kaarle Nordenstreng dan Herbert I Schiller, eds.
Beyond National Sovereignity: International Communication in the
1990.Nordwood, NJ : Ablex, 1993.
Herman, Edward S dan Noam Chomsky. Manufacturing Consents. New York:
Pantheoin Books. 1998
WWW.Google.com

Anda mungkin juga menyukai