Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SANITASI PEMUKIMAN

PENYAKIT YANG DIAKIBATKAN VEKTOR


FILARIASIS

DOSEN PENGAMPU :

SALBIAH, S.E, M.P.H


MOH. ADIB, S.K.M, M.Kes

DISUSUN OLEH :

SERLI OKTANTIA

20151320326

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PRODI D-IV
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga
Tugas Makalah ini dapat terselesaikan dan saya berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, 31 Januari 2018

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................... II


BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................................................................... 1
B. TUJUAN ............................................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 3
A. Pengertian Penyakit Filariasis ..................................................................................................... 3
B. Morfologi Cacing Filaria ............................................................................................................ 4
C. Rantai Penularan Filariasis.......................................................................................................... 5
D. Gejala Klinis Filariasis ................................................................................................................ 6
E. Diagnosis Filariasis ..................................................................................................................... 8
F. Upaya Pencegahan dan Pengobatan ............................................................................................ 9
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................................................... 10
A. Teori Simpul ........................................................................................................................................ 10

BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 11


A. SIMPUL 1 : Sumber Penyakit ......................................................................................................... 11
B. SIMPUL 2 : Media Transmisi Penyakit .......................................................................................... 11
C. SIMPUL 3 : Perilaku Pemajanan (Behavioural Exposure) ............................................................. 13
D. SIMPUL 4 : Kejadian Penyakit ....................................................................................................... 15

BAB V PENUTUP .................................................................................................................................... 16


A. KESIMPULAN .......................................................................................................................... 16
B. SARAN ...................................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 17

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua yang paling melernahkan yang dikenal
di dunia. Penyakit filariasis lymfatik merupakan penyebab kecacatan menetap dan
berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental. 1 Data WFIO,
diperkirakan 120 juta orang di 83 negara di dunia terinfeksi penyakit filariasis dan lebih
dari 1,5 milyar penduduk dunia (sekitar 20% populasi dunia) berisiko terinfeksi penyakit
ini. Dari keseluruhan penderita, terdapat dua puluh lima juta penderita laki - laki yang
mengalami penyakit genital (umumnya menderita hydrcocele) dan hampir lima bclas juta
orang, kebanyakan wanita, menderita lymphoedema atau elephantiasis pada kakinya.
Sekitar 90% infeksi disebabkan oleh Wucheria Bancrofti, dan sebagian besar sisanya
disebabkan Brugia Malayi. Vektor utama Wucheria Bancrofti adalah nyamuk Culex,
Anopheles, dan Aedes. Nyamuk dari spesies Mansonia adalah vektor utama untuk parasit
Brugarian, namun di beberapa area, nyamuk Anopheles juga dapat menjadi vektor
penularan filariasis. Parasit Brugarian banyak terdapat di daerah Asia bagian selatan dan
timur terutama India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan China.2,3 Hampir seluruh
wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur
yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 di laporkan kasus
kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/kota. Hasil
laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota yang ditindak lanjuti dengan
survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 kabupaten/kota
endemis dan 135 kabupaten/ kota non endemis.
Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan Van Eecke pada tahun
1889 di jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotumt. Pada saat itu
pula Jakarta diketahui endemik limfatik yang disebabkan oleh Brugia malayi. Pada tahun
1937 Brug membuat suatu rangkuman tentang laporan filariasis diseluruh Indonesia pada
waktu itu telah diketahui dua spesies cacing filaria sebagai penyebabnya yaitu
Wuchererrre bancrofti dan Brugia malayi.
Selanjutnya pada tahun 1997 WHO membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki
gajah, pada tahun 2000, WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi
penyakit kaki gajah (The Global Goal Of Elimination Of Limphantic Filariasis as a

1
Public Health Problem By The Year 2020), menyusul kesepakatan global tersebut pada
tahun 2002 Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah yang
disingkat ELKAGA pada tahun 2020. Eliminasi Filariasis bertujuan untuk menurunkan
prevalensi (MF- rate) hingga dibawah 1% sehingga Filariasis tidak lagi merupakan
masalah kesehatan masyarakat.
Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti di Sumatera,
Jawa, Kalimanta, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua baik perkotaan maupun pedesaan.
Kasus di Pedesaan banyak di temukan di kawasan Indonesia bagian timur, sedangkan
untuk di perkotaan banyak di temukan di daerah seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan,
dan Lebak (Banten). Berdasarkan hasil survei cepat tahun 2000, Jumlah penderita kronis
yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231Kabupaten, 26
Provinsi.
Pada tahun 2014 kasus filariasis menyerang 1.103 juta orang di 73 negara yang
berisiko filariasis. Kasus filariasis menyerang 632 juta (57%) penduduk yang tinggal di
Asia Tenggara (9 negara endemis) dan 410 juta (37%) penduduk yang tinggal di wilayah
Afrika (35 negara endemis). Sedangkan sisanya (6%) diderita oleh penduduk yang tinggal
di wilayah Amerika (4 negara endemis), Mediterania Timur (3 negara endemis) dan
wilayah barat pasifik (22 negara endemis). Sejak tahun 2000, telah diberikan dana 5,6
miliar ke seluruh dunia untuk mengeliminasi filariasis. Pada tahun 2014, 62 dari 73
negara endemis telah melaksanakan Mass Drug Administration (MDA) dan 18 negara
telah berhasil menghentikan penularan filariasis.

B. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Penyakit Filariasis
2. Untuk Mengetahui Cara Penyebaran Penyakit Filariasis
3. Untuk Mengetahui Cara Mendiagnosis Penyakit Filariasis
4. Untuk Mengetahui Upaya Pencegahan dan Pengobatannya

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyakit Filariasis


Filum nematoda termasuk salah satu filum yang besar, memiliki lebih dari 10.000
spesies, berukuran kecil, berbentuk selinder, seperti benang dengan tubuh yang
meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat
(roundworms) dan merupakan jenis yang sukses membuat kolonisasi dalam berbagai
habitat.
Nematoda terdapat dimana-mana dalam jumlah yang sangat besar terutama di
lautan, mengkolonisasi danau-danau, sungai, rawa, dan berbagai jenis tanah mulai dari
antartika hingga daerah tropis. Nematoda merupakan parasit pada berbagai jenis
organisme seperti gangang, jamur, hewan, dan tumbuhan.
Nematoda merupakan organisme penting karena banyak anggota-anggota yang
bersifat parasit, antara lain Nippostrongylus sembeli (Heligmonellidae) pada tikus:
Meloidogyne, Tylenchulus, dan Heterodera pada tanaman sayur-sayuran serta Ascaris,
Trichina, dan filaria pada manusia (Walker, 1969, Hasegawa dan Tarore, 1995). Salah
satu anggota nematoda yang merupakan parasit penting pada manusia adalah cacing
filaria yang menyebabkan penyakit filariasis. (Sembel,2009)
Filariasis atau yang disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit menular
menahun yang disebabkan oleh infeksi jenis parasit nematode atau oleh cacing Filaria
limfatik yang ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex,dan merusak jaringan
pada manusia yang mengenai kelenjar/saluran getah bening, dengan gejala akut berupa
demam berulang, disertai tanda-tanda peradangan kelenjar/saluran getah bening serta
pada stadium lanjut berupa cacat anggota tubuh. Cacing tersebut hidup dikelenjar dan
saluran getah bening (limfe) sehingga menimbulkan peradangan pada kelenjar dan saluran
getah bening (andenolymphangitis) terutama pada daerah pangkal paha dan ketiak,
peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi
abses yang dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut. Apabila tidak mendapatkan
pengobatan yang sempurna dapat menimbulkan cacat menetap yang sukar disembuhkan
berupa pembesaran pada kaki, lengan, payudara, scrotum, dan kelamin wanita.

3
B. Morfologi Cacing Filaria
Menurut Nugroho tahun 1996 bahwa secara umum daur hidup ketiga spesies cacing
tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi didalam tubuh manusia dan tubuh
nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe,
sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.
1. Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih
susu dan hidup sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100
mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran
lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar.
2. Mikrofilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing
yang di sebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8μm dan mempunyai
sarung. Secara mikrokopis morfologi spesies mikrofilaria dapat di bedakan
berdasarkan ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan
inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
3. Larva Dalam Tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria,
maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melespaskan
selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau
jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari microfilaria mengalami perubahan
bentuk menjadi larva stadium 1 (L1) bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 μm x
10-17 μm dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari larva tumbuh menjadi
larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-3000 μm x 15-30
μm dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan
adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau pada hari ke 10-14 pada
spesies Wuchereria larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ±
1400 μm x 20 μm Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping di sertai dengan
gerakan yang aktif stadium 3 ini merupakan cacing infektif.

4
C. Rantai Penularan Filariasis
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu:

1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
a) Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk
infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria
dari pengedap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak
menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang
terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan
gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala
klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya.
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari
daerah non endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi
sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.

b) Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan
resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di
Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang
ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan
kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah,
oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada
manusia.

2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis


3. Manusia yang retan terhadap filariasis
Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk
infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3). Pada
saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis dan
tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya
larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke

5
sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan
filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat
dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat
gigitan nyamuk ribuan kali.

D. Gejala Klinis Filariasis


Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada kronisnya gejala
klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi W.Barofti, B.malayi dan B.Timori adalah
sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh
B.malayi, B.timori. Infeksi W.bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih
dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B.malayi, B,timori tidak menimbulkan kelainan pada
saluran kemih dan alat kelamin.

1. Gejala Klinis Akut


Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai
demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan
kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut, terutama di
daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi,
B.timori dibandingkan karena infeksi W.bancrofti, demikian juga dengan
timbulnya limfangitis dan limfadenitis tetapi sebaliknya pada infeksi W.bancrofti
sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus
(epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis).

2. Gejala klinis Kronis


Gejala klinis kronis terdiri dari limfedama, lymp scrotum, kiluria, hidrokel

a) Limfedema
Pada infeksi W.bancrofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan,
skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia
terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan dibawah siku dimana siku
dan lutut masih normal.
b) Lymph Scrotum
Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang-kadang
pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe
mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles)
besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini

6
mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur,
serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfeda skrotum.
Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar

c) Kiluria
Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal
(pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W.bacrofti sehingga cairan
limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah
sebagai berikut:

1) Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung


lemak, dan kadang-kadang di sertai (haematuria)
2) Sukar kencing
3) Kelelahan tubuh
4) Kehilangan berat badan
d) Hydrocele
Adalah pelebaran kantung buah zakar karena tertumpuknya cairan limfe di
dalam tunica vaginalis testis. Hydrocele dapat terjadi pada satu atau dua
kantung buah zakar dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai
berikut:

1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat


besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi.
2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus
3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe di sertai dengan komplikasi
yaitu komplikasi dengan Chyle (Chylocele), darah (Haematocele) atau
nanah (Pyocele). Uji transiluminasi dapat di gunakan untuk
membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa
komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat di kerjakan oleh dokter
puskesmas yang telah di latih.
4) Hydrocele banyak ditemukan di daerah endemis W.bancrofti dan di
gunakan sebagai indikator adanya infeksi W,bancrofti.

7
E. Diagnosis Filariasis
1. Diagnosis Parasitologi
a) Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel
atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsetrasi
Knott, membran filtrasi.Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari
(setelah pukul 20.00 wib) mengingat periodiditas mikrofilaria umumnya
nokturna. Pada pemeriksaan hispatologi kadang-kadang potongan cacing
dewasa dapat ditemukan di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang
dicurigai sebagai tumor.
b) Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk medeteksi parasit melalui
DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (Polymerase
Chain Reaction/PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga
dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection.

2. Radiodiagnosis
a) Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah
bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang
bergerakgerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan infeksi filaria oleh W.bancrofti.
b) Pemeriksaan Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin
yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukan adanya abnormalitas sistem
limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.

3. Diagnosis Imunologi
Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang menggunakan
antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti
dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif
walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi dengan
menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk deteksi antibodi
subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada
penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi
lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif mikrofilaria sering tidak
ditemukan lagi dalam darah kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam
darah tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.

8
F. Upaya Pencegahan dan Pengobatan
Menurut Sembel (2009) upaya pencegahan yang dilakukan adalah menghindari
terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Pada
dasarnya tujuan dilakukan upaya ini adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu yang terdiri dari penyebab (agent), tuan rumah
(host), lingkungan (environmental). Upaya pencegahan penting dan selalu diutamakan
karena dapat dilakukan dengan biaya yang murah serta mudah pelaksanaannya hasil yang
diperoleh lebih optimal.

Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan cara yaitu:


1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara
penularan dan cara pengendalianvektor (nyamuk).
2. Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam
nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan
ternpat menggigit nyamuk serta tempat perkembang biakannya.
3. Pengendalian vektor jangka panjang yang mungkin memerlukan perubahan
konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian
lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk.
4. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine citrate.

Penatalaksanaan Pengobatan Filariasis


Obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin sitrat (DEC). DEC bersifat
membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang.
Hingga saat ini, DEC merupakan satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif
murah. Untuk filariasis bancrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg berat badan
per hari selam 12 hari. Sedangkan untuk filarial brugia, dosis yang dianjurkan adalah
5 mg/kgberat badan per hari selam 10 hari. Efek samping dari DEC ini adalah demam,
mengigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah. Pada pengobatan filariasis
brugia, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga untuk pengobatannya
dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu pengobatan dilakukan dalam waktu yang
lebih lama.
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotic
semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap
nematode dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang
ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC.
9
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Teori Simpul
Teori Simpul Pada Penyakit Filariasis

SIMPUL 1 SIMPUL 2 SIMPUL 3 SIMPUL 4

Faktor Manusia
 Nyamuk Anopheles
 Parasit 1.Umur  Sehat
 Nyamuk Aedes
1.Wucheria bancrofti 2.Jenis kelamin  Sakit
2.Brugia malayi  Nyamuk Culex 3.Imunitas
3.Brugia timori
 Penderita Filariasis
Faktor Nyamuk
1.Siklus gonotrofik
2.Frekuensi
menggigit manusia

Variabel lain yang berpengaruh

Suhu udara, kelembaban, tempat


perkembangbiakan nyamuk, kebiasaan
keluar rumah, pemakaian kelambu,
pekerjaan.

10
BAB IV
PEMBAHASAN

A. SIMPUL 1 : Sumber Penyakit


Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit. Agent
penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit
melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen
lingkungan). Penyakit filariasis adalah penyakit menular oleh karena itu sumber penyakit
filariasis ini adalah penderita penyakit menular itu sendiri dan parasit nematoda jaringan.

Teori simpul 1 disebut juga dengan Sumber Penyakit. Simpul 1 pada penyakit menular
umumnya adalah penderita itu sendiri. Pada penyakit filariasis, sumber penyakit adalah
penderita filariasis dan parasit nematoda jaringan.

B. SIMPUL 2 : Media Transmisi Penyakit


Mengacu pada gambar skematik tersebut, komponen lingkungan yang dapat
memindahkan agent penyaki pada hakikatnya hanya ada 5 komponen lingkungan yang
lazim kita kenal sebagai media transmisi penyakit, yakni : udara, air, tanah/pangan,
binatang/serangga, dan manusia/langsung. Media transmisi tidak akan memiliki potensi
penyakit kalau di dalamnya tidak mengandung bibit penyakit atau agent penyakit.

Penyebaran penyakit filariasis melalui nyamuk Anopheles sp, Aedes aegypti, dan
Culex yang menggigit penderita penyakit filariasis, kemudian nyamuk tersebut
memindahkan penyakit filariasis ke orang sehat melalui gigitan nyamuk tersebut. Proses
penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu:

1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
a) Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk
infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria
dari pengedap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak
menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang
terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan
gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala
klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya.

11
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari
daerah non endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi
sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.

b) Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(hewan resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di
Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang
ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan
kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah,
oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada
manusia.

2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis


3. Manusia yang rentan terhadap filariasis
Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk
infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3). Pada
saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis dan
tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya
larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke
sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan
filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat
dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat
gigitan nyamuk ribuan kali.

Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam
kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan
waktu kurang lebih 9 bulan.

12
Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya
kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria
terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu
sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan


filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk. sehingga
mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh
menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi untuk
ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi dan
Brugia timori antara 8-10 hari.

Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap


resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya
terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari
darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah
dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik penularan dapat terjadi
siang dan malam hari.

C. SIMPUL 3 : Perilaku Pemajanan (Behavioural Exposure)


Agent penyakit dengan atau tanpa menunjang komponen lingkungan lain, masuk ke
dalam tubuh melalui satu proses yang kita kenal sebagai proses hubungan interaktif.
Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya,
dapat diukur dengan konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioural
exposure (Achmadi, 1985). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia
dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent
penyakit). Perilaku pemajanan pada penyakit filariasis terdiri dari faktor manusia, faktor
nyamuk dan faktor agent.

1. Manusia
a) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif
(mengandung larva stadium 3 atau L-3) ribuan kali.
b) Jenis kelamin

13
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria, pada laki-laki lebih tinggi
daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sring
kontak dengan vektor karena pekerjaannya.
c) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam
tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya
tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah
endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi
menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum
menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan-perubahan patologis dalam
tubuh.
2. Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air,
kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa
sekali bertelur sebanyak 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5mm, setelah 1-2hari
menetas menjadi jentik, 8-10hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2hari menjadi
nyamuk dewasa.
a) Siklus Gonotrofik
Yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur, waktu ini juga merupakan
interval mengigit nyamuk.
b) Frekuensi Menggigit Manusia
Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan
dipengaruhi oleh temepratur dan kelembaban yang disebut siklus gonotrofik.
Untuk iklim tropis biasanya ini berlangsung sekitar 48-96 jam.
c) Faktor yang penting
Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar
kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi
tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan
nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap
mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap
terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan
ditularkan. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor
berpengaruh terhadap resiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor
14
sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vector.

3. Agent
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe yaitu :

a) Wucheria bancrofti tipe perkotaan (urban)


Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan
sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk
Cx.quiquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.
b) Wuchereria bancrofti tipe Pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa terutama tersebar luas di Papua dan Nusa
Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui
berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex .
c) Brugia malayi tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularannya
adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.
d) Brugia malayi tipe subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di drah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih
banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia
spp yang ditemukan di daerah rawa.
e) Brugia malayi tipe non periodik
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis
nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang di
temukan di hutan rimba.
f) Brugia timori tipe periodik nokturna
Di temukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah
An.barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur,
Maluku Tenggara.

D. SIMPUL 4 : Kejadian Penyakit


Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan
lingkungan yang miliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Penyakit filariasis ini akan
menghasilkan 2 kejadian yaitu sehat maupun sakit.

15
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan :


1. Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah
tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah edema, infeksi oleh sekelompok
cacing nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea.
2. Penyakit kaki gajah (filariasis) ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis darah.
3. Pencegahan Filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk
(mengurangi kontak dengan vektor)
4. Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis
dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat
membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang.

B. SARAN

Perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang habitat dan kebiasaan


nyamuk, serta cara-cara pengendalian vektor yang dapat dilakukan masyarakat,
seperti kebersihan rumah dan lingkungan sekitar serta upaya pengelolaan lingkungan
alam rangka pencegahan penularan penyakit filaria. Diharapkan pemerintah dan
masyarakat lebih serius mencegah kasus filariasis karena penyakit ini dapat membuat
penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi beban keluarga,
masyarakat dan Negara

16
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi,U.F., 2001. Perubahan Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor, Direktorat


Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan, Departemen Kesehatan RI.

Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan


Menanggulangi Penyakit Menular. Jakarta: Alex Media Komputindo.

Ansyari. 2004. Faktor Resiko Kejadian Filariasis di Desa Tanjung Bayur


Pontianak.

Asri Maharani, Bagus Febrianto, Sapto P, Widiarti., 2006. Studi Faktor Resiko
Filariasis Di Desa Sambirejo Kecamatan Tirto Kabupaten
Pekalongan Jawa Tengah, Rinbinkes. BPVRP. Salatiga,

Chahaya, I. 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia,


Digitized by USU Gigital Library. Medan

Darmadi, I. 2007. Strategi Penanggulangan Penyakit Malaria Dengan


Pendekatan Faktor Resiko di Daerah Endemis Kabupaten Aceh
Utara. Tesis S2. Universitas Sumatera Utara. Medan

Achmadi, U. F. 2001. Analisis Kecendrungan Kesehatan Lingkungan Pada Repelita VII dan Era
Globalisasi, serta Perlunya Pendekatan Spasial Dalam Pengembangan Kesehatan di
Indonesia. Ditjen P2M & PL, Depkes RI. Jakarta

Achmadi, U. F. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Universitas Indonesia (UI
Press). Jakarta

Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit
Menular. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2006. Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan
(Wabah) Penyakit Menular. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2006

Hasyim, Hamzah. 2008. Manajemen Penyakit Lingkungan Berbasis Wilayah (Application


Management Environmental Disease Based of Spesific Area). Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan. Vol. 11. No. 2

17

Anda mungkin juga menyukai