! Kerangka
! Kerangka
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
SERLI OKTANTIA
20151320326
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga
Tugas Makalah ini dapat terselesaikan dan saya berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua yang paling melernahkan yang dikenal
di dunia. Penyakit filariasis lymfatik merupakan penyebab kecacatan menetap dan
berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental. 1 Data WFIO,
diperkirakan 120 juta orang di 83 negara di dunia terinfeksi penyakit filariasis dan lebih
dari 1,5 milyar penduduk dunia (sekitar 20% populasi dunia) berisiko terinfeksi penyakit
ini. Dari keseluruhan penderita, terdapat dua puluh lima juta penderita laki - laki yang
mengalami penyakit genital (umumnya menderita hydrcocele) dan hampir lima bclas juta
orang, kebanyakan wanita, menderita lymphoedema atau elephantiasis pada kakinya.
Sekitar 90% infeksi disebabkan oleh Wucheria Bancrofti, dan sebagian besar sisanya
disebabkan Brugia Malayi. Vektor utama Wucheria Bancrofti adalah nyamuk Culex,
Anopheles, dan Aedes. Nyamuk dari spesies Mansonia adalah vektor utama untuk parasit
Brugarian, namun di beberapa area, nyamuk Anopheles juga dapat menjadi vektor
penularan filariasis. Parasit Brugarian banyak terdapat di daerah Asia bagian selatan dan
timur terutama India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan China.2,3 Hampir seluruh
wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur
yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 di laporkan kasus
kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/kota. Hasil
laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota yang ditindak lanjuti dengan
survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 kabupaten/kota
endemis dan 135 kabupaten/ kota non endemis.
Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan Van Eecke pada tahun
1889 di jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotumt. Pada saat itu
pula Jakarta diketahui endemik limfatik yang disebabkan oleh Brugia malayi. Pada tahun
1937 Brug membuat suatu rangkuman tentang laporan filariasis diseluruh Indonesia pada
waktu itu telah diketahui dua spesies cacing filaria sebagai penyebabnya yaitu
Wuchererrre bancrofti dan Brugia malayi.
Selanjutnya pada tahun 1997 WHO membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki
gajah, pada tahun 2000, WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi
penyakit kaki gajah (The Global Goal Of Elimination Of Limphantic Filariasis as a
1
Public Health Problem By The Year 2020), menyusul kesepakatan global tersebut pada
tahun 2002 Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah yang
disingkat ELKAGA pada tahun 2020. Eliminasi Filariasis bertujuan untuk menurunkan
prevalensi (MF- rate) hingga dibawah 1% sehingga Filariasis tidak lagi merupakan
masalah kesehatan masyarakat.
Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti di Sumatera,
Jawa, Kalimanta, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua baik perkotaan maupun pedesaan.
Kasus di Pedesaan banyak di temukan di kawasan Indonesia bagian timur, sedangkan
untuk di perkotaan banyak di temukan di daerah seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan,
dan Lebak (Banten). Berdasarkan hasil survei cepat tahun 2000, Jumlah penderita kronis
yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231Kabupaten, 26
Provinsi.
Pada tahun 2014 kasus filariasis menyerang 1.103 juta orang di 73 negara yang
berisiko filariasis. Kasus filariasis menyerang 632 juta (57%) penduduk yang tinggal di
Asia Tenggara (9 negara endemis) dan 410 juta (37%) penduduk yang tinggal di wilayah
Afrika (35 negara endemis). Sedangkan sisanya (6%) diderita oleh penduduk yang tinggal
di wilayah Amerika (4 negara endemis), Mediterania Timur (3 negara endemis) dan
wilayah barat pasifik (22 negara endemis). Sejak tahun 2000, telah diberikan dana 5,6
miliar ke seluruh dunia untuk mengeliminasi filariasis. Pada tahun 2014, 62 dari 73
negara endemis telah melaksanakan Mass Drug Administration (MDA) dan 18 negara
telah berhasil menghentikan penularan filariasis.
B. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Penyakit Filariasis
2. Untuk Mengetahui Cara Penyebaran Penyakit Filariasis
3. Untuk Mengetahui Cara Mendiagnosis Penyakit Filariasis
4. Untuk Mengetahui Upaya Pencegahan dan Pengobatannya
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
B. Morfologi Cacing Filaria
Menurut Nugroho tahun 1996 bahwa secara umum daur hidup ketiga spesies cacing
tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi didalam tubuh manusia dan tubuh
nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe,
sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.
1. Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih
susu dan hidup sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100
mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran
lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar.
2. Mikrofilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing
yang di sebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8μm dan mempunyai
sarung. Secara mikrokopis morfologi spesies mikrofilaria dapat di bedakan
berdasarkan ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan
inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
3. Larva Dalam Tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria,
maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melespaskan
selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau
jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari microfilaria mengalami perubahan
bentuk menjadi larva stadium 1 (L1) bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 μm x
10-17 μm dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari larva tumbuh menjadi
larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-3000 μm x 15-30
μm dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan
adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau pada hari ke 10-14 pada
spesies Wuchereria larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ±
1400 μm x 20 μm Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping di sertai dengan
gerakan yang aktif stadium 3 ini merupakan cacing infektif.
4
C. Rantai Penularan Filariasis
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu:
1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
a) Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk
infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria
dari pengedap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak
menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang
terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan
gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala
klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya.
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari
daerah non endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi
sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.
b) Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan
resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di
Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang
ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan
kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah,
oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada
manusia.
5
sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan
filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat
dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat
gigitan nyamuk ribuan kali.
a) Limfedema
Pada infeksi W.bancrofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan,
skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia
terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan dibawah siku dimana siku
dan lutut masih normal.
b) Lymph Scrotum
Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang-kadang
pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe
mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles)
besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini
6
mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur,
serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfeda skrotum.
Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar
c) Kiluria
Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal
(pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W.bacrofti sehingga cairan
limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah
sebagai berikut:
7
E. Diagnosis Filariasis
1. Diagnosis Parasitologi
a) Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel
atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsetrasi
Knott, membran filtrasi.Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari
(setelah pukul 20.00 wib) mengingat periodiditas mikrofilaria umumnya
nokturna. Pada pemeriksaan hispatologi kadang-kadang potongan cacing
dewasa dapat ditemukan di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang
dicurigai sebagai tumor.
b) Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk medeteksi parasit melalui
DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (Polymerase
Chain Reaction/PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga
dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection.
2. Radiodiagnosis
a) Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah
bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang
bergerakgerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan infeksi filaria oleh W.bancrofti.
b) Pemeriksaan Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin
yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukan adanya abnormalitas sistem
limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.
3. Diagnosis Imunologi
Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang menggunakan
antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti
dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif
walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi dengan
menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk deteksi antibodi
subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada
penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi
lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif mikrofilaria sering tidak
ditemukan lagi dalam darah kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam
darah tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.
8
F. Upaya Pencegahan dan Pengobatan
Menurut Sembel (2009) upaya pencegahan yang dilakukan adalah menghindari
terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Pada
dasarnya tujuan dilakukan upaya ini adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu yang terdiri dari penyebab (agent), tuan rumah
(host), lingkungan (environmental). Upaya pencegahan penting dan selalu diutamakan
karena dapat dilakukan dengan biaya yang murah serta mudah pelaksanaannya hasil yang
diperoleh lebih optimal.
A. Teori Simpul
Teori Simpul Pada Penyakit Filariasis
Faktor Manusia
Nyamuk Anopheles
Parasit 1.Umur Sehat
Nyamuk Aedes
1.Wucheria bancrofti 2.Jenis kelamin Sakit
2.Brugia malayi Nyamuk Culex 3.Imunitas
3.Brugia timori
Penderita Filariasis
Faktor Nyamuk
1.Siklus gonotrofik
2.Frekuensi
menggigit manusia
10
BAB IV
PEMBAHASAN
Teori simpul 1 disebut juga dengan Sumber Penyakit. Simpul 1 pada penyakit menular
umumnya adalah penderita itu sendiri. Pada penyakit filariasis, sumber penyakit adalah
penderita filariasis dan parasit nematoda jaringan.
Penyebaran penyakit filariasis melalui nyamuk Anopheles sp, Aedes aegypti, dan
Culex yang menggigit penderita penyakit filariasis, kemudian nyamuk tersebut
memindahkan penyakit filariasis ke orang sehat melalui gigitan nyamuk tersebut. Proses
penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu:
1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
a) Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk
infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria
dari pengedap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak
menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang
terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan
gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala
klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya.
11
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari
daerah non endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi
sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.
b) Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(hewan resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di
Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang
ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan
kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah,
oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada
manusia.
Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam
kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan
waktu kurang lebih 9 bulan.
12
Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya
kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria
terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu
sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.
1. Manusia
a) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif
(mengandung larva stadium 3 atau L-3) ribuan kali.
b) Jenis kelamin
13
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria, pada laki-laki lebih tinggi
daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sring
kontak dengan vektor karena pekerjaannya.
c) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam
tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya
tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah
endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi
menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum
menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan-perubahan patologis dalam
tubuh.
2. Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air,
kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa
sekali bertelur sebanyak 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5mm, setelah 1-2hari
menetas menjadi jentik, 8-10hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2hari menjadi
nyamuk dewasa.
a) Siklus Gonotrofik
Yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur, waktu ini juga merupakan
interval mengigit nyamuk.
b) Frekuensi Menggigit Manusia
Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan
dipengaruhi oleh temepratur dan kelembaban yang disebut siklus gonotrofik.
Untuk iklim tropis biasanya ini berlangsung sekitar 48-96 jam.
c) Faktor yang penting
Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar
kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi
tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan
nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap
mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap
terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan
ditularkan. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor
berpengaruh terhadap resiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor
14
sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vector.
3. Agent
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe yaitu :
15
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Asri Maharani, Bagus Febrianto, Sapto P, Widiarti., 2006. Studi Faktor Resiko
Filariasis Di Desa Sambirejo Kecamatan Tirto Kabupaten
Pekalongan Jawa Tengah, Rinbinkes. BPVRP. Salatiga,
Achmadi, U. F. 2001. Analisis Kecendrungan Kesehatan Lingkungan Pada Repelita VII dan Era
Globalisasi, serta Perlunya Pendekatan Spasial Dalam Pengembangan Kesehatan di
Indonesia. Ditjen P2M & PL, Depkes RI. Jakarta
Achmadi, U. F. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Universitas Indonesia (UI
Press). Jakarta
Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit
Menular. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2006. Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan
(Wabah) Penyakit Menular. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2006
17