Dasar pemikiran dalam ilmu farmkologi adalah mengenaiintensitas serta durasi respon
obat yang ditentukanoleh konsentrasi obat itu sendiri yang terkait dengancara kerjanya, seperti
padareseptor. Sejak konsentrasi obat yang ada di dalam plasma masih bisa diukur, maka sangat
penting bagi kita untuk mengetahui tentang perubahan-perubahan yang terjadi, apakah
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam plasma tersebut dapat merefleksikan perubahan-
perubahan konsentrasi di dalam reseptor atau tidak. Untuk obat yang berfungsi secara reversibel,
pembentukan kompleks obat-reseptor tergantung pada hukum aksi massa sebagai berikut:
Tingkat pembentukan dan pemisahan kompleks obat reseptor harus seimbang. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan sebuah keseimbangan. Ada beberapa efek yang ditimbulkan
oleh farmakologi yang tidak ada hubungannya dengan tingkat plasma obat. Hal ini dapat terjadi
karena beberapa hal berikut. Pertama, substansi terapi dapat berfungsi paling tidak sebagiannya
melalui metabolit, seperti aktivias siklofosfamid dan sitotostik, yang bersemayam di salah satu
atau lebih metabolit dan dibentuk dari substansi induk oleh sistem enzim mikrosoma hati.
Alfametildopa yaitu agen antihipertensi yang berfungsi melalui α-methylnoradrenaline dimana
terdapat dua tahapan yang dihilangkan dari obat induk.Procainamide yang merupakan agen
antiaritmia adalah sebuah metabolit aktif N-acetylprocainamide. Kedua, obat juga dapat
berfungsi ireversibel, sepeti kualitas obat aktif yang adapada reseptor yang tidak dihubungkan
dengan konsentrasi plasma yang stabil. Terdapat hubungan antara obat dengan reseptornya dan
hal ini kemudian diikat secara kovalen. Jumlah obat yang sedikit akan tetap melekat, selama obat
tersebut dihilangkan dari tubuh. Selain itu, obat-obat tertentu ada yang tidak diikat secara
kovalen, tetapi mereka diikatkan dengan reseptornya masing-masing dan tetap melakukan
perbaikan pada situs mereka, setelah konsentrasi obat yang tidak terikat telah menurun pada
tingkatan yang tidak dapat diukur.Hal ini dapat dilakukan melalui teknik analisis terakhir.Obat-
obatan non-reversible merupakan obat yang berbahaya karena efeknya cenderung semakin
bertambah,meskipun terkadang tidak demikian.Ketiga, metode uji konsentrasi obat plasma
mungkin terlalu intensif dalam rangka untuk menggambarkan fungsi penting dari obat itu
sendiri, seperti guanethidine yang disimpan di dalam neuron adrenergic. Contoh-contoh tersebut
sangat bermanfaat untuk mendapatkan analisis kinetk berdasarkan konsentrasi obat plasma
sertauntuk memeriksa ekskresi urin. Mengapa dapat demikian? Karena hal itu menggambarkan
pergerakan kinetika obat di dalam plasma.
Oleh sebab itu, ada beberapa syarat untuk dapat menggunakan konsentrasi obat di dalam
plasma yang bertujuan untuk mengamati efek klinis.
3. Konsentrasi obat yang tidak terikat di dalam plasma harus merefleksikan konsentrasi obat
yang tidak terikat pada situs reseptor. Untuk obat-obatan yang memiliki jumlah penyebaran yang
kecil, maka sangat wajar apabilahal tersebut menggambarkan konsentrasi plasma yang dapat
menunjukkan banyaknya obat di dalam tubuh.Sedangkan untuk obat-obatan dengan jumlah
penyebaran yang besar, maka hubungan antara tingkat plasma dan obat secara menyeluruh
menjadi renggang (tidak terikat) dan sulit untuk diketahui.
4. Perkembangan daya tahan pada situs reseptor sebaiknya tidak dijadikan masalah terhadap
barbiturat dan etil alkohol.
5. Efek farmakologi obat harus dicatat secermat mungkin. Ketika pengukuran kadar obat
menimbulkan masalah teknis tertentu, masalah-masalah tersebut akan selalu dapat diselesaikan.
Selain itu, akan ada banyak pertanyaan mengenai pengukuran efek obat yang jauh lebih
menantang. Untuk obat jenis psikotropika, ‘menilai’ skala dapat menghasilkans ebuah penilaian
tertentu, baik secara obyektif atau pun subyektif. Skala analog visual untuk obat tertentu,seperti
analgesik atau obat antiinflamasi mungkin juga dapat dilakukan (lihat gambar 7). Bahkan
pengukuran titik akhir fisiologis, seperti tekanan darah,dapat menimbulkan sebuah masalah juga.
Apakah tekanan darah saat berbaring atau berdiri, sistolik atau diastolik dan yang terakhir dari
fase 4 atau 5 dari bunyi Korotkoff dapat digunakan?
Pada dasarnya, obat bebas atau obat yang tidak terikat ada di dalam sebuah keseimbangan
dengan situs reseptor. Ada beberapa variasi di dalam protein plasma yang mengikat obat,
meskipun variasi-variasi tersebut biasanya kecil bandingannya dengan perbedaan yang terjadi
pada tingkat metabolisme obat. Contoh-contoh pengukuran konsentrasi total obat mungkin sudah
cukup namun ada beberapa keterbatasan sebagai berikut.
Pertama, ketika obat diberikan lebih dari satu. Pemberian satu obat yang dilakukan oleh orang
lain dapat menyebabkan kenaikan (meskipun sementara) konsentrasi obat yang tidak terikat
ketika diamati dan hubungan yang didapatkan konsentrasi yang bebas lebih baik daripada
konsentrasi total serta efeknya.
Kedua, ketika pasien memiliki penyakit yang dapat mengganggu ikatan protein plasma. Fraksi
yang terikat diphenylhydantoin dapat ditingkatkan di dalam uremia.Epilepsi dengan uraemia
akan merespon terapi dan efek samping yang terjadi di dalam konsentrasi total plasma akan
menjadi lebih rendah daripada epilepsi yang tidak dengan penyakit ginjal dalam satu waktu.
Ketiga, saat obat tertentu cenderung berada dalam sel darah merah. Propranolol dan
chlorthalidone mempunyai konsentrasi sel darah merah lebih tinggi daripada yang ada di dalam
plasma, sedangkan klorokuin dipusatkan secara ekstensif di dalam sel darah putih, maka akan
terdapat pertanyaan apakah efek obat seperti yang digunakan lebih dihubungkan dengan tingkat
total darah daripada pada tingkat plasma yang masih harus dieksploarasi dalam kebanyakan
kasus atau tidak.
Pertama adalah pemantauan terapi obat. Untuk beberapa obat, menjadi sebuah hal yang
sulit untuk menilai efek klinis obat daripada untuk mengamati konsentrasi plasma.Namun hal ini
tidak berlaku untuk obat-obatan seperti antihipertensi, antikoagulan dan hypoglycaemic dimana
penelitian klinis (tekanan darah) atau tes laboratorium yang sederhana (waktu protrombin atau
gula darah) menjadi landasan penentuan dosis yang sesuai. Untuk obat-obatan yang mempunyai
rasio terapi yang sempit (seperti lithium) atau menunjukkan dosis kinetika yang bergantung
(contohnya diphenylhdantoin), konsentrasi plasma merupakan pedoman yang lebih baikuntuk
mendapatkan kemanjuran sertapotensi toksisitasdaripada observasi atau penelitian klinis yang
asli, meskipun hal ini harus berperan penting terlebih dahuluagar mendapatkan dosis yang sesuai.
Kedua adalah kepatuhan pasien. Salah satu masalah yang paling sulit di dalam pengobatan
adalah memutuskan apakah seorang pasien yang sedang melakukan pengobatannya sudah sesuai
seperti apa yang sudah ditentukan atau belum. Ketika dosis tertentu ditentunkan (misalnya tiga
atau empat kali setiap harinya) dan terdapat juga karakter atau sifat pasien tertentu (misalnya tua,
yaitu orang yang memiliki hubungan dengan dokter atau pasien yang tidak erat), maka kepatuhan
pasien tersebutakan berkurang. Jika seorang pasien kurang responnya terhadap obat, maka
akanlebih baik jika diamati konsentrasinya di dalam cairan biologis, misalnya plasma atau urin.
Seorang pasien sudah dipastikan belum menggunakan obat, jika sebuah obat memiliki fungsi
yang relative panjang serta jumlah penyebarannya yang rendah dan juga tidak ada obat yang bisa
dideteksi di dalam plasma setelah beberapa jam kemudian.
Pengukuran obat (atau metabolit) yang ada di dalam urine membantu untuk membedakan
antara pasien yang memetabolisme obat dengan cepat dan pasien yang memetabolisme obat
dengan lambat. Konsentrasi metabolit urin di dalam waktu tertentu (misalnya 24 jam) harus
memperhitungkan jumlah yang dapat ditetapkan dan diprediksi dari obat yang digunakan.Di
dalam beberapa situasi, terdapat pengukuran konsentrasi obat di dalam saliva yang dijadikan
sebagai sebuah prosedur yang ‘non-invasif’. Umumnya, konsentrasi saliva obat mencerminkan
konsentrasi terikatnyayang ada di dalam plasma. Selain itu, tingkat salivasudah digunakan secara
sukses di dalam pemantauan terapi dengan diphenylhydantoin, fenobarbital, teofilin, dan
isoniazid. Salah satu kekurangan yang ada di dalam metode ini adalah jika obat mempunyai efek
atau dampak padaaliran saliva, maka hal ini akan menyulitkan untuk dapat memperkirakan
konsentrasi saliva. Tentu saja konsentrasi salivadapat digunakan di dalam pemantauan terapi.
Kemudian, cara ini merupakan cara yang paling banyak digunakan.
Ketiga adalah pasien yang menderita disfungsi ginjal atau hati. Para pasien dengan
peningkatan disfungsi ginjal namun mereka membutuhkan terapi obat dan sebagian besar obat-
obatan yang dikeluarkan oleh ginjal dapat menyebabkan masalah-masalah toksikologi.
Contohnya adalah antibiotik aminoglikosida (menyebabkan penyakit telinga bagian dalam dan
lebih jauh dapat menyebabkan disfungsi ginjal) serta digoksin (menyebabkan mual, muntah, dan
aritmia).
Penanganan terhadap obat yang ada di dalam pasien dengan radang hati atau sirosis dapat
diubah oleh penyakit, khususnya jika obat-obat tersebut mengalami metabolisme fase pertama.
Oleh karena itu, pembersihan dariteofilindan fenitoin (yaitu obat-obatan dengan indeks
terapeutik rendah) dikurangi di dalam sirosis dan juga hal yang harus dilakukan adalah dengan
melakukan pemantauan.
Keempat, kelebihan obat / over dosis. Jika sebuah prosedur definitive seperti haemodialys atau
dialisis peritoneal ditujukan bagi pasien yang keracunan dengan obat-obatan seperti fenobarbital
atau salisilat. Oleh sebab itu, memeriksa kemanjuran dari manoeuvre, seperti mengamati
konsentrasi plasma menjadi sebuah hal yang penting untuk dilakukan. Dalam kasus keracunan
dengan parasetamol, konsentrasi plasma diatas 200 µg/ml pada 4 jam atau 50 µg/ml pada 12 jam
setelah parasetamol dicerna maka indikasi atau tanda untuk administrasi antagonis tertentu,
seperti n-asetil sistein dapat terlihat.(Gambar. 8).
Antikonvulsan
Fentoin merupakan obat yang sulit untuk digunakan karena kapasitasnya yang terbatas
untuk metabolisme, misalnya jika seseorang menggandakan dosisnya, maka konsentrasi plasma
dapat meningkat enam kali lipat. Sekarang waktunya untuk mengetahui bahwa pemantauan
konsentrasi plasma fentoin adalah bermanfaat secara klinis dan dapat menyesuaikan dosis untuk
menjadikan konsentrasi plasma ke dalam kisaran 10-20 µg/ml dan hal ini akan menurunkan
frekuensi yang paspada kebanyakan pasien serta akan mengurangi toksisitas obat. Beberapa
pasien yang menderita epilepsiakan memiliki konsentrasi plasma di luar kisaran ini (misalnya
pasien gagal ginjal, lihat di atas). Masalah utama dengan phenytoin adalah obat tersebut beradadi
bawah dosis. Para pekerja di Swedia menunjukkan melalui pasien yang menderita
epilepsidengan menggunakan fenitoin dan menunjukkan bahwalebih dari 50 persen pasien
tersebut mempunyai konsentrasi plasma di bawah terapi, baik karena kurangnya kepatuhan
pasien itu sendiriatau metablisme yang cepat.
Gambar 8. Hubungan antara konsentrasi plasma parasetamol dan waktu setelah
pencernaan pada hati yang rusak diikuti dengan kelebihan parasetamol. Pengobatan dapat
dilakukan dengan memberikan jenis obatsulfhidril seperti n-acetylcy steine.(After
Prescott. L. F. (1981). Drug overdosage and poisoning.In Drug therapy, 2nd edn (ed. G.
S.Avery).hal. 263. Adis Press. Sydney.)
Tabel. 10 Obat – obat yang konsentrasi plasma terapeutik dan efek toksik yang sudah
ditentukan.
Obat Kardiovaskular
Untuk memeriksa kepatuhanserta mengatur dosis pada pasien yang menderita gagal
ginjal, maka dengan mengamati konsentrasi plasma digoksin sudah menunjukkan nilai tertentu.
Kontroversiterjadi dikarenakan adanya pengukuran sejauh mana konsentrasi plasma digoksin
sebaiknya diukur dengan praktik klinis yang dilakukan secara rutin. Digitoksin, berbeda dengan
digoksin, yang merupakan metabolisme yang lebih sering dikeluarkan oleh hati daripada
dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini digunakan sebagai sebuah alternative bagi digoksin di pasien
yang menderita gagal ginjal. Peran dari glikosida digitalis di dalam pengelolaan jangka panjang
dari gagal jantung kongestif menjadi sumber perdebatan, meskipun dapat terlihat bahwa terapi
dioksin jangka panjang pada pasien irama sinus dapat meningkatkan cardiac output/curah
jantung serta kapasitas berolahraga. Untuk pasien dengan fibrilasi atrium, tidak ada pertanyaan
untuk hal tersebut yang disebabkan nilanya, namun bagi pasien dalam ritme sinus, terapi diuretic
merupakan terapi yang lebih tepat di dalam monoterapi jangka panjang.
Saat ini, procainamide jarang digunakan sebagai sebuah obat antiaritmia. Meskipun
terapeutik konsentrasi plasma sudah dianjurkan, adanya metabolisme aktif N-acetyl
procainamide di dalam plasma mengundang banyak pertanyaan tentang nilai yang menjadikan
ukuran obat yang tidak berubah. Hal yang sama juga terjadi pada lignocaine. Metabolit aktif
masih harus dijelaskan lebih lanjut terutama mengenai pemantauan terapi yang dilakukan secara
rutin.
Bronkodilator
Antibiotik