Anda di halaman 1dari 4

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL DAN

STABILITAS SISTEM KEUANGAN

Kebijakan Makroprudensial di Indonesia

Sejak pendirian Biro Stabilitas Sistem Keuangan di Bank Indonesia (BI) pada 2003, BI
telah terlibat dalam mendukung terjadinya kestabilan sistem keuangan. Hal ini kemudian
dipertegas melalui UU No.21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menyatakan
pengaturan dan pengawasan makroprudensial merupakan kewenangan Bank Indonesia. Hal
inilah yang menjadi dasar bagi BI untuk melaksanakan kebijakan makroprudensial.
Selanjutnya, kebijakan makroprudensial menjadi bagian dari strategi bauran kebijakan BI
untuk mendukung stabilitas perekonomian.
Makroprudensial lebih mengarah kepada analisis sistem keuangan secara keseluruhan
sebagai kumpulan dari individu lembaga keuangan. Dimana kegagalan regulasi maupun
kegagalan pasar yang menyebabkan krisis mendorong perlunya kebijakan makroprudensial
Berdasarkan PBI No. 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial
tanggal 1 Juli 2014, Kebijakan makroprudensial ditujukan untuk mengatur dan mengawasi
sistem keuangan, termasuk perbankan dalam rangka:
1. Mencegah dan mengurangi risiko sistemik
2. Mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas
3. Meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan
Penerapan kebijakan di bidang makroprudensial di Bank Indonesia dilakukan melalui fungsi
pengaturan, pengawasan (surveillance), serta pengembangan dan perluasan akses keuangan.
Berbeda dengan kebijakan mikroprudensial yang lebih berorientasi kepada kesehatan individu
lembaga keuangan dan perlindungan nasabah, kebijakan makroprudensial lebih berorientasi
pada sistem keuangan secara agregat. Walaupun bersifat makro, kebijakan makroprudensial
dapat diarahkan untuk mengendalikan risiko sektor tertentu (targeted), seperti kebijakan Loan
to Value Ratio untuk kredit perumahan dan batasan uang muka minimum sektor otomotif.
Selain itu, sifat kebijakan makroprudensial yang countercyclical bermanfaat dalam meredam
volatilitas makro ekonomi.
Sampai saat ini, Bank Iindonesia telah menerbitkan tiga kebijakan makroprudensial,
yaitu pembatasan pemberian kredit (Loan to Value-LTV) untuk mencegah penyaluran kredit
perumahan rakyat dan kredit kendaraan bermotor yang berlebihan, kebijakan dalam menjaga
keseimbangan antara kecukupan likuiditas dan pelaksanaan fungsi intermediasi secara optimal
melalui pengaturan likuiditas (Giro Wajib Minimum Sekunder dan Giro Wajib Minimum-Loan
to Deposit), dan pengaturan transparansi informasi suku bunga dasar kredit (SBDK) untuk
meningkatkan transparansi pricing suku bunga kredit, sekaligus mencerminkan efektivitas
transmisi suku bunga kebijakan dari bank sentral.
Secara keseluruhan, kebijakan-kebijakan ini telah mendukung terjaganya stabilitas
sistem keuangan Indonesia sampai saat ini. Tantangan ke Depan Memperhatikan international
best practise dan kondisi Indonesia saat ini dan masa mendatang, instrumen kebijakan
makroprudensial yang perlu dikembangkan di Indonesia menurut Darsono yang merupakan
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial antara lain:
1. Instrumen pengaturan untuk mencegah dan mengurangi pertumbuhan kredit yang
berlebihan antara lain penetapan acuan risiko pertumbuhan kredit dalam rencana bisnis
lembaga keuangan, pengaturan rasio kredit terhadap nilai pasar agunan (load to value ratio)
dan rasio hutang terhadap pendapatan (debt to income ratio).
2. Instrumen pengaturan untuk mencegah dan mengurangi leverage yang berlebihan antara
lain pengaturan tambahan permodalan untuk antisipasi kondisi siklikal, dan
macroprudential leverage ratio.
3. Instrumen pengaturan untuk mencegah dan mengurangi maturity mismatch yang
berlebihan dan tidak likuidnya pasar antara lain pengaturan macroprudencial adjustment to
liquidity ratio (liqudity coverage ratio), macroprudencial restrictions on funding sources
(net stable funding ratio).
4. Instrumen pengaturan untuk membatasi konsentrasi eksposur antara lain pengaturan
batasan pemberian kredit kepada sektor tertentu dan persyaratan central counterparties
(CCP).
5. Instrumen pengaturan untuk membatasi dampak sistemik dari systemically important
financial institutions antara lain pengaturan tambahan permodalan (capital surcharges).
6. Instrumen pengaturan untuk memperkuat ketahanan infrastruktur sistem keuangan antara
lain pengaturan disclosure (transparansi) dan persyaratan margin dan haircut terhadap
central counterparties . Bank Indonesia berkomitmen untuk memperkuat kerja sama dan
koordinasi dengan Kementerian Keuangan, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan yang diperlukan dalam menunjang pembangunan
nasional.
Stabilitas Sistem Keuangan

Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam
penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung
pertumbuhan ekonomi.
Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Sebagai
bagian dari sistem perekonomian, sistem keuangan berfungsi mengalokasikan dana dari pihak
yang mengalami surplus kepada yang mengalami defisit. Apabila sistem keuangan tidak stabil
dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik
sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan, sistem
keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan
biaya yang sangat tinggi untuk upaya penyelamatannya.
Tahun 2003 Bank Indonesia mulai berperan aktif dalam mendorong terciptanya
stabilitas sistem keuangan di Indonesia, antara lain melalui:
1. Pembentukan Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK);serta
2. Mengkomunikasikan hasil surveillance secara semesteran yang dituangkan dalam laporan
perdana yang dikenal dengan nama Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No.1

Pelajaran berharga pernah dialami Indonesia ketika terjadi krisis keuangan tahun 1998, dimana
pada waktu itu biaya krisis sangat signifikan. Selain itu, diperlukan waktu yang lama untuk
membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Krisis tahun 1998 ini
membuktikan bahwa stabilitas sistem keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam
membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan. Sistem keuangan yang tidak stabil
cenderung rentan terhadap berbagai gejolak sehingga mengganggu perputaran roda
perekonomian. (www.bi.go.id)

Secara umum dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sistem keuangan dapat mengakibatkan
timbulnya beberapa kondisi yang tidak menguntungkan seperti:
 Transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi secara normal sehingga kebijakan moneter
menjadi tidak efektif.
 Fungsi intermediasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat alokasi dana yang
tidak tepat sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
 Ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan yang umumnya akan diikuti dengan
perilaku panik para investor untuk menarik dananya sehingga mendorong terjadinya
kesulitan likuiditas.
 Sangat tingginya biaya penyelamatan terhadap sistem keuangan apabila terjadi krisis yang
bersifat sistemik.

Atas dasar kondisi di atas, upaya untuk menghindari atau mengurangi risiko kemungkinan
terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan sangatlah diperlukan, terutama untuk menghindari
kerugian yang begitu besar lagi.

Sumber :
www.bi.go.id (http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Documents/Sesi%201%20-
%20Stabilitas%20Sistem%20Keuangan%20-%20s.pdf)

Bank Indonesia. 2016. Kajian Stabilitas Keuangan. (e-book)

Gerai Info Bank Indonesia. 2014. BI Pasca OJK Mencegah Guncangan (e-book)

Anda mungkin juga menyukai