Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

Anxietas merupakan suatu emosi normal yang muncul ketika terjadi ancaman dan
merupakan suatu respons normal dalam mempertahankan kesintasan. Kadangkala anxietas
merupakan suatu bagian dari respon “fight or flight” bagi seseorang untuk mempertahankan
nyawanya. Anxietas dapat bersifat normal sebagai proses adaptasi, maupun abnormal dan
bersifat patologis dan merupakan kelainan psikiatri. Gangguan anxietas dideskripsikan
sebagai gejala utama dengan munculnya ketakutan dan kecemasan yang berlebihan.
Gangguan anxietas memiliki beberapa gejala yang bertumpang tindih dengan gejala depresi,
namun gejala depresi memiliki gejala mood yang depresi serta hilangnya minat yang lebih
dominan.

Gangguan anxietas memiliki gejala yang bertumpang tindih dengan depresi terutama
mengenai gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi, kelelahan serta gangguan psikomotor.
Selain itu gangguan cemas juga dapat berupa komorbid dari gangguan lain seperti depresi,
penyalahgunaan obat, gangguan aktifitas dan perhatian.
Gambar 1. Gejala inti pada gangguan depresi dan gangguan anxietas. Walaupun kedua
gangguan memiliki gejala inti yang berbeda, terdapat beberapa gejala lainnya yang saling
bertumpang tindih yang memberikan klinis yang sama pada kedua gangguan seperti
kelelahan, gangguan tidur dan kesulitann berkonsentrasi.

Gangguan anxietas jika disimpulkan merupakan kumpulan gejala yang ditandai


dengan kecemasan atau ketakutan yang berlebihan yang memiliki banyak morfologi yang
berkembang menjadi suatu sindroma yang dinamakan gangguan anxietas. Gangguan anxietas
memiliki perjalanan penyakit yang berkembang dari awal hingga mencapai manifestasi yang
signifikan, lalu mengalami regresi subsindroma dan kembali muncul sebagai gangguan
anxietas yang orisinil maupun berkembang menjadi gangguan anxietas lainnya atau bahkan
berubah menjadi gangguan depresi. Jika pada dasarnya gangguan anxietas memiliki gejala
inti yang sama, dan memiliki pengobatan dengan jenis pengobatan yang sama, maka apakah
perbedaan antara gangguan depresi dan gangguan anxietas? Apakah kedua gangguan tersebut
memiliki kelainan yang sama?
Gejala dari gangguan depresi dan gangguan anxietas

Walaupun gejala inti dari gangguan depresi berbeda dengan gejala inti yang dimiliki oleh
gangguan anxietas, keduanya memiliki gejala yang saling bertumpang tindih. Gejala yang
sering kali bertumpang tindih adalah gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi dan kelelahan
serta gangguan psikomotor. Oleh sebab itu, akan sangat mudah untuk melihat gejala yang
hilang atau bertambah guna melihat apakah gangguan ini akan berkembang menjadi
gangguan depresi, gangguan anxietas atau gangguan anxietas bentuk lain.

Gambar 2. Gejala yang terlihat pada gangguan anxietas menyeluruh. Pada gejala inti
terdapat anxietas menyeluruh dan kecemasan. Selain itu terdapat kelelahan, kesulitan
berkonsentrasi, gangguan tidur dan ketegangan otot. Pada gangguan panik terdapat gejala
inti anxietas antisipatori dan kecemasan terhadap serangan panik. Gejala yang terkait
dengan gejala inti adalah serangan panik yang tidak diprediksi, menghindari phobia dan
perubahan perilaku karena kecemasan akan serangan panik.

Dalam perspektif terapi, diagnosis yang spesifik mungkin akan mempengaruhi sedikit
dari terapi yang akan diberikan. Pemberian terapi lini pertama pada kasus pasien dengan
gejala depresi disertai dengan kecemasan dibandingkan dengan pasien depresif yang
memiliki komorbid gangguan anxietas mungkin tidak akan berbeda. Pentingnya menegakkan
diagnosis yang spesifik pada pasien adalah guna melihat perkembangan gejala pasien dan
memberikan terapi sesuai dengan gejala dari pasien yang muncul. Terlebih lagi gejala yang
muncul merupakan manifestasi dari gangguan sirkuit otak yang tidak tersusun seperti
penggolongan Diagnostic Standard Manual (DSM) melainakn mengikuti topografi otak.
Oleh sebab itu dengan mengetahui keluhan dan diagnosis secara spesifik, maka klinisi dapat
memperkitakan bagian otak dan neurotransmisi yang terganggu dan m

emberikan obat sesuai dengan mekanisme dari gangguan tersebut.

Gambar 3. Gejala dari social anxiety disorder. Gejala dari social anxiety disorder termasuk
gejala inti anxietas atau ketakutan berlebihan terhadap performa sosial ditambah dengan
kecemasan terhadap paparan di lingkungan sosial. Gejala yang terkait adalah serangan
panik yang dapat diprediksi dan muncul pada situasi sosial dan cenderung menghindari
situasi-situasi tersebut. Karakteristik dari gangguan stress pasca trauma memiliki gejala inti
anxietas ketika kejadian traumatis dirasakan kembali dan kecemasan memiliki gejala lain
dari gangguan stress pasca trauma seperti kesulitan tidur dan mimpi buruk serta perilaku
menghindar.

Walaupun terdapat perbedaan kriteria diagnosis dari masing-masing gangguan


anxietas, namun semua gangguan anxietas memiliki kesaaman gejala yaitu ketakutan yang
berpasangan dengan kecemasan. Ketakutan pada dasarnya memiliki gejala berupa panik dan
fobia. Kecemasan memiliki gejala berupa kecemasan yang berlebihan, ekspektasi dari
sesuatu yang menakutkan akan terjadi (apprehensif) dan obsesi. Organ yang bertanggung
jawab dari keluhan ini adalah sirkuit yang terdapat pada amygdala. Kaitan antara amygdala
dan sirkuit ketakutan yang bermanifestasi menjadi gangguan anxietas akan dibahas
selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kecemasan merupakan gejala inti kedua dari spektrum gangguan anxietas. Gejala ini
dikaitkan dengan fungsi dari sirkuit cortico-thalamo-cortical (CSTC). Selain itu dengan
memahami fungsi dan peranan serta kelainan dari CSTC maka dapat diperkirakan bahwa
varian dari gangguan anxietas lainnya mungkin bukan berasal dari lokasi sirkuit yang lain,
namun merupakan kelainan dari transmisi neurotransmitter yang terjadi. Sebagai contoh,
pada gangguan anxietas gangguan sirkuit CSTC dan amydala terjadi secara terus menerus
namun tidak menunjukkan derajat keparahan yang buruk. Sebaliknya terdapat gangguan
pada amygdala dan sirkuit CSTC dengan intensitas sangat tinggi namun tidak terjadi secara
terus menerus dan tidak dapat diprediksi pada gangguan cemas, atau dapat diprediksi pada
ganggual fobia sosial. Malfungsi sirkuit dapat juga bersifat traumatis pada kondisi seperti
gangguan stress pasca trauma.

Gambar 4. Anxietas dapat dipecah menjadi 2 gejala inti dari kecemasan dan ketakutan.
Gejala ini muncul pada semua gangguan anxietas walaupun faktor-faktor pencetusnya
berbeda.
Amygdala dan neurobiologi dari ketakutan

Amydala merupakan organ pada otak yang berbentuk seperti kacang almond dan terletak
dekat dengan hipokampus. Organ ini memiliki koneksi anatomis yang penting untuk
mengintegrasikan impuls sensorik dan informasi kognitif yang mempengaruhi respons
ketakutan seseorang. Secara spesifik, afek dan perasaan takut dapat diregulasi melalui
koneksi antara amygdala dengan area penting pada korteks prefrontal yang meregulasi emosi.
Daerah ini dinamakan korteks orbitofrontal dan korteks cingulate anterior. Namun walau
begitu, ketakutan bukan hanya sebuah perasan. Ketakutan juga dapat memunculkan respons
motorik bergantung pada situasi dan tempramen seseorang. Respons motorik dapat berupa
fight or flight atau bahkan mematung. Respons motor dari ketakutan diregulasi pada bagian
otak yang menghubungkan antara amygdala dengan area substansia nigra periaqueductal
pada batang otak.

Gambar 5. Kaitan gejala anxietas ke sirkuit. Gejala anxietas dan ketakutan diregulasi pada
sirkuit yang berpusat pada amygdala. Kecemasan diregulasi sirkuit cortico-striato-thalamo-
cortical (CSTC). Sirkuit ini terlibat pada semua gangguan anxietas.
Reaksi endokrin juga dapat terjadi seiring dengan munculnya ketakutan akibat
koneksi antara hipotalamus dengan amygdala yang menyebabkan perubahan pada HPA
(Hipothalamus – pituitari – adrenal) axis dan menyebabkan peningkatan kadar kortisol.
Peningkatan kadar kortisol secara cepat dapat meningkatkan kesintasan seseorang ketika
menghadapi ancaman yang nyata dengan durasi cepat. Namun walau begitu, aktivasi
berlebihan dari jalur ini meningkatkan komorbiditas lain seperti meningkatnya resiko
penyakit jantung koroner, diabetes mellitus tipe 2 dan stroke. Pernafasan juga dapat
terganggu sebagai respons dari ketakutan yang diregulasi oleh koneksi antara amygdala dan
nukleus parabrachial pada batang otak. Respons adaptif dari ketakutan meningkatkan laju
pernafasan ketika sedang dalam reaksi fight or flight untuk meningkatkan kesintasan, namun
reaksi berlebihan dapat menyebabkan sesak nafas, eksaserbasi asma dan gejala kecemasan
terutama ketika sedang mengalami serangan panik.

Gambar 6. Afek dari ketakutan. Perasaan takut diregulasi oleh koneksi antara amygdala dan
korteks cingulate anterior dan antara amygdala dan korteks orbitofrontal. Overaktivasi dari
jalur ini dapat memproduksi rasa takut. Rasa takut dapat diekspresikan melalui perilaku
seperti menghindar yang diregulasi oleh koneksi antara amygdala dan substansia nigra
periaqueduktal. Terdapat respons motor yang dapat timbul sebagai reaksi mematung.
Respons motor lainnya adalah dengan melawan atau lari menjauh untuk menghindari
ancaman dari lingkungan.

Gambar 7. Produk endokrin dari rasa takut. Respons terhadap rasa takut dapat dilihat
dengan munculnya peningkatan aktivitas endokrin seperti peningkatan kortisol yang terjadi
karena aktivasi amygdala oleh hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Aktivasi
berlebihan dan pelepasan kortisol dalam jangka panjang meningkatkan resiko terjadinya
penyakit jantung koroner, DM tipe 2 dan stroke. Terdapat pula perubahan pola nafas
sebagai respons terhadap rasa takut yang terjadi akibat aktivasi nukleus parabrakial melalui
amygdala. Aktivasi berlebih dapat menyebabkan peningkatan laju pernafasan dan
mencetuskan sesak nafas dan eksaserbasi asma.

Sistem saraf autonom juga terpengaruh ketika seseorang sedang dalam ketakutan dan
dapat mengaktifkan respons sistem kardiovaskuler dengan meningkatkan nadi dan tekanan
darah guna menghadapi suatu ancaman. Reaksi ini terjadi akibat terdapatnya suatu koneksi
antara amygdala dan locus coeruleus yang merupakan pusat dari badan sel noradrenergik.
Ketika respons ini terjadi secara berulang dan tidak tepat, maka akan terjadi gangguan
kecemasan secara kronis dan meningkatkan resiko atherosclerosis, iskemia jantung,
hipertensi, infark myokard dan dapat berujung pada kematian mendadak.
Gambar 8. Hasil dari sistem otonom terhadap ketakutan. Respon otonom pada umumnya
berkaitan dengan rasa takut termasuk peningkatan nadi dan tekanan darah yang diatur oleh
koneksi antara amygdala dan locus coeruleus.

Istilah “scared to death” bukan hanya merupakan kiasan kata-kata namun dapat
terjadi secara nyata. Terakhir, anxietas dapat dicetuskan oleh suatu memori traumatis yang
tersimpan di hipokampus yang memiliki koneksi dengan amygdala, terutama pada kondisi
gangguan stress pasca-trauma.
Gambar 9. Hipokampus dan proses re-experiencing. Anxietas dapat dipicu oleh
pengalaman seseorang selain dari stimulus eksternal. Memori yang traumatis tersimpan pda
hipokampus dan dapat mengaktivasi amygdala yang menyebabkan aktivasi pada bagian
otak lain dan mencetuskan respons terhadap rasa takut.

Sirkuit Cortico-striato-thalamo-cortical (CSTC) dan neurobiologi dari kecemasan

Gejala inti kedua dari gangguan anxietas adalah kecemasan yang mempunyai sirkuit yang
cukup unik. Kecemasan yang dapat dijabarkan kecemasan berlebihan terhadap sesuatu yang
belum tentu terjadi, kecemasan dan obsesi terhadap ancaman bencana, pembawaan yang
terus menerus cemas dikaitkan dengan hubgunan antara sirkuit CSTC dan bagian korteks
prefrontal.

Beberapa ahli menyimpulkan bahwa sirkuit CSTC berkaitan dengan obsesi dan delusi yang
memiliki kencenderungan untuk timbul terus menerus. Beberapa neurotransmitter dan
regulator lainnya memodulasi sikruit ini. Beberapa diantaranya adalah serotonin, GABA,
dopamine, norepinephrine, glutamate dan voltage-gated ion channels. Senyawa tersebut
memiliki perananan yang tumpang tindih dengan regulasi dari amygdala. Selain itu enzim
COMT (catechol-O-methyl-transferase) meregulasi ketersediaan salah satu dari
neurotransmitter penting terutama dopamin pada korteks prefrontal. Sehingga ketersediaan
dopamine dianggap mempengaruhi resiko terjadinya kecemasan dan gangguan anxietas.

Gambar 10. Gejala anxietas dan neurotransmitter yang berkaitan. Gejala dari anxietas dan
ketakutan dikaitkan dengan malfungsi dari sirkuit yang berpusan pada amygdala.
Neurotrasnmitter yang berperan termasuk serotonin, GABA, glutamat dan norepinephrine.
Gejala kecemasan berpusat pada sirkuit CSTC yang diregulasi oleh serotonin, GABA,
dopamine dan NE.

Selain itu terdapat suatu sirkuit yang bermula pada CSTC dan berakhir pada korteks
dorsolateral prefrontal yang jika terjadi aktivasi berlebihan akan menyebabkan gejala
kecemasan atau obsesi yang berlebihan.
Gambar 11. Tampak sirkuit CSTC dengan DLPFC yang berperan terhadap munculnya
gejala cemas.

GABA dan Benzodiazepine

GABA (γ-aminobutyric acid) merupakan salah satu neurotransmitter kunci yang terlibat
dalam anxietas dan memiliki kinerja anxiolitik yang dapat digunakan sebagai pengobatan
pada pasien dengan gangguan anxietas. GABA secara umum adalah neurotransmitter inhibisi
pada otak yang umumnya memainkan peran dengan mengurangi aktivitas dari neuron
termasuk pada amygdala dan sirkuit CSTC.

Benzodiazepine merupakan obat yang dikenal baik dan sering digunakan dengan efek
anxiolitik. Obat ini bekerja dengan meningkatkan peranan GABA pada level amygdala dan
korteks prefrontal pada sirkuit CSTC untuk mengurangi anxietas. Untuk mengerti bagaimana
GABA meregulasi sirkuit kecemasan pada otak dan bagaimana benzodiazepine memiliki
efek anxiolitik. Penting untuk mengerti bagaimana cara kerja neurotransmiter GABA,
bagaimana GABA diproduksi, bagaimana GABA berakhir pada sinaps saraf dan mengetahui
ciri khas dari reseptor GABA.
GABA diproduksi dari asam amino glutamat dengan menggunakan enzim glutamic acid
decarboxylase atau GAD. GABA dibentuk pada neuron presinaps dan ditransportasikan oleh
vesicular inhibitory amino acid transporters (VIAATs) menuju vesikel sinaps dimana
GABA akan disimpan dan dilepaskan menuju sinaps saat terjadi transmisi inhibisi.

Gambar 12. Skema produksi GABA. Glutamat yang merupakan suatu asam amino
merupakan materi dasar dari GABA yang akan dikonversi dengan enzim GAD menjadi
GABA dan dilepaskan ke sinaps dengan bantuan vesicular inhibitory amino acids
trasnporters.

Efek GABA dapat dihentikan dengan berbagai mekanisme. Salah satu mekanisme inakivasi
dari GABA adalah dengan menggunakan transporter presinap GABA yang dikenal juga
sebagai pompa reuptake GABA. Selain itu efek GABA juga dapat dihentikan oleh enzim
GABA transaminase (GABA-T) yang mengubah GABA menjadi bentuk inaktif.
Gambar 13. Mekanisme inaktivasi dari GABA.

Terdapat 3 tipe besar dari reseptor GABA dengan subtipe yang bervariasi. Tipe utama adalah
GABAa, GABAb, dan GABAc. Baik reseptor tipe GABAa dan GABAb mmerupakan
ligand-gated ion channel yang merupakan suatu chloride channel. Obat-obat yang bekerja
pada reseptor ini adalah golongan benzodiazepine, sedatif hipnosis, barbiturat dan alkohol.
GABAb merupakan jenis reseptor yang berbeda dengan reseptor GABA lainnya karena
merupakan calcium/potassium channel yang berkaitan dengan nyeri, memori dan mood.
Gambar 14. Tipe reseptor GABA. Tampak disini adalah reseptor-reseptor GABA yang
berguna untuk meregulasi neurotransmisi. Pada gambar tampak GABA transporter (GAT)
beserta 3 tipe utama dari reseptor GABA postsinaps. GABAa, GABAb dan GABAc
merupakan reseptor ligand ion channel yang terdiri dari kompleks mikromolekular yang
membentuk inhibitorry chloride channel. Reseptor GABAb merupakan G-Protein-linked
receptors yang dapat dipasangkan dengan calcium dan potassium channels.

Subtipe reseptor GABAa

Reseptor GABAa memiliki peran yang sangat penting dalam memediasi transmisi impuls
inhibisi dan menjadi target dari obat-obatan anxiolitik terutama golongan benzodiazepine.
Gambaran struktur molekular dari GABAa terdiri atas 4 regio transmembran yang
membentuk 1 subunit dengan kumpulan 5 subunit membentuk suatu chloride channel.
Terdapat beberapa jenis subtipe dari GABAa yang memiliki fungsi yang berbeda, namun
terdapat beberapa jenis dari reseptor yang tidak sensitif terhadap obat-obatan
benzodiazepine.

Gambar 15. Reseptor GABA. (A) Tampak 4 regio transmembran yang membentuk 1
subunit reseptor GABAa. (B) Tampak 5 salinan dari subunit ini yang membentuk reseptor
GABAa. (C) tampak subunit yang masing-masing berbeda untuk membangun suatu
reseptor GABAa.

Reseptor-reseptor tersebut berikatan dengan neurosteroid dan juga alkohol serta beberapa
obat-obatan anastesis umum. reseptor yang tidak sensitif terhadap benzodiazepine ini terletak
ekstrasinaps dan turut berperan dalam proses inhibisi dari GABA. Oleh sebab itu,
neurosteroid yang disintesis oleh sel glial diperkirakan turut berperan dalam memediasi
proses inhibisi neuronal.

Gambar 16. Cara kerja GABAa dalam memediasi inhibisi pada fase tonik dan phasic.
Reseptor GABAa yang sensitif terhadap benzodiazepine terletak pada postsinaps dan
membantu memediasi inhiibisi phasic yang erjadi ketika terdapat lonjakan seketika dari
pelepasan GABA. Reseptor yang tidak sensitif terhadap benzodiazepine terletak
ekstrasinaps dan menangkap GABA yang terlepas dari sinaps juga neurosteroid lainnya
yang dilepaskan oleh sel glia. Reseptor ini membantu memediasi inhibisi tonik.

Reseptor GABAa yang sensitif terhadap golongan benzodiazepine memiliki beberapa


struktur dan fungsi yang membedakan reseptor ini dengan reseptor yang tidak sensitif
terhadap benzodiazepine. Reseptor jenis ini merupakan target utama dari obat golongan
anxiolitik dan obat golongan benzodiazepine berikatan dengan 1 kompleks molekul dari
reseptor ini. Lokasi dari reseptor ini diperkirakan terletak di postsinaptik dan berperan dalam
melakukan inhibisi postsinaps yang bersifat phasic dan bersifat serentak yang disebabkan
oleh lonjakan konsentrasi GABA yang mencapai puncaknya. Jika hal ini terjadi pada neuron
output di amygdala atau sirkuit CSTC, maka diperkirakan akan menyebabkan efek anxiolitik
dengan berkurangnya kecemasan dan ketakutan.

Tidak semua reseptor GABAa yang sensitif terhadap benzodiazepine memiliki karakteristik
yang sama. Namun, reseptor GABA dengan subunit α1 memiliki peranan penting dalam
meregulasi tidur dan merupakan target penting dari beberapa obat sedatif-hipnotik. Selain
itu, golongan reseptor yang sensitif terhadap benzodiazepine lainnya yang memiliki subunit
α2 dan α3 mungkin berperan penting dalam meregulasi anxietas dan merupakan target dari
pemberian benzodiazepine sebagai anxiolitik. Namun walaupun begitu, obat saat ini yang
beredar dipasaran merupakan benzodiazepine yang bersifat nonselektif sehingga penelitian
lebih lanjut untuk menemukan obat yang spesifik menargetkan subunit α2 dan α3 mungkin
akan menimbulkan efek anxiolitik tanpa menyebabkan efek sedasi sehingga pasien akan
memiliki efek euforia yang lebih rendah serta kemungkinan ketergantungan obat yang lebih
rendah. Jika terdapat proses abnormal pada kedua reseptor tersebut, maka sangat mungkin
terjadi eksitabilitas neuron abnormal yang menyebabkan kecemasan berlebihan hingga
menimbulkan gangguan kecemasan.

Reseptor GABAa yang sensitif terhadap benzodiazepine tidak hanya berikatan terhadap
GABA namun juga terhadap benzodiazepine pada lokasi ikatan allosterik yang sangat
spesifik. Namun walau begitu, diketahui bahwa ternyata obat-obatan sintetik yang tidak
memiliki struktur benzodiazepine ternyata dapat pula berikatan dengan binding site pada
reseptor benzodiazepine. Oleh sebab itu, beberapa ahli menamakan lokasi ikatan ini sebagi
allosteric modulatory site dan senyawa apapun yang berikatan pada lokasi ini akan disebut
sebagai allosteric modulators. GABA jika berkerja sendiri dapat meningkatkan frekuensi
dari pembukaan chloride channel namun hanya sampai batas tertentu.
Gambar 18. Positive allosteric modulation (PAM) dari reseptor GABAa. (A) reseptor
GABAa yang sensitif terhadap benzodiazepine terdiri dari 5 subunit dengan chloride
channel yang terletak ditengah, memiliki binding site tidak hanya untuk GABA tapi juga
untuk PAM. (B) ketika GABA berikatan dengan reseptor GABAa, maka akan
meningkatkan frekuensi dari bukaan channel. (C) Ketika PAM berikatan dengan reseptor
GABAa tanpa ikatan molekuk GABA, maka tidak timbul efek. (D) Ketika molekul PAM
berikatan dengan reseptor GABAa disertai dengan ikatan GABA pada reseptor, maka
channel akan terbuka lebih sering.

Kombinasi antara GABA dan benzodiazepine diperkirakan meingkatkan frekuensi dari


pembukaan chloride channel namun tidak meningkatkan konduksi dari ion khlorida
transmembran maupun durasi dari bukaan. Benzodiazepine diperkirakan bekerja sebagai
agonis pada allosteric modulatory site pada lokasi ikatan GABA dan tidak dapat bekerja
sendiri. Diperlukan kombinasi antara ikatan molekul GABA dan benzodiazepine sehingga
dapat meningkatkan frekuensi dari bukaan chloride channel yang tidak dapat dicapai dengan
ikatan tunggal oleh GABA. Ikatan dari benzodiazepine dapat dikembalikan oleh pemberian
antagonis flumazenil yang bersifat short-acting jika diberikan intravena terutama pada pasien
dengan overdosis benzodiazepine. Namun hal ini dapat menyebabkan kejang atau gejala
withdrawal pada pasien dengan ketergantungan benzodiazepine.

Gambar 19. Flumazenil merupakan antagonis reseptor benzodiazepine yang bekerja dengan
merubah efek agonis dari benzodiazepine pada resepor GABAa. Efek ini dapat membantu
mengembalikan efek sedasi dari benzodiazepine ketika digunakan untuk membius pasien
atau pada pasien dengan overdosis benzodiazepine.

Benzodiazepine dapat berperan sebagai anxiolitik dengan memodulasi output yang


berlebihan oleh amygdala ketika terjadi respon terhadap rasa takut terutama pada pasien
dengan gangguan cemas. Aktivitas amygdala yang berlebihan secara teori dapat dikurangi
dengan meningkatkan fase inhibisi phasic dengan pemberian benzodiazepine yang bekerja
pada reseptor GABAa postsinaptik. Benzodiazepine juga diperkirakan memodulasi output
berlebihan dari sirkuit kecemasan dengan meningkatkan efek inhibisi pada sirkuit CSTC.

Ligand Alpha-2-delta sebagai anxiolitik

Gabapentin dan pregabalin yang dikenal sebagai α2δ ligands berikatan pada subunit α2δ
yang menghambat pelepasan dari neurotransmitter eksitatori seperti glutamat terutama ketika
terjadi secara berlebihan, seperti yang dipostulasikan terjadi pada amygdala yang
menyebabkan ketakutan berlebihan dan pada sirkuit CSTC yang menyebabkan kecemasan.

Gambar 20. Peranan dan target obat anxiolitik pada anxietas dan ketakutan. (A) Ketakutan
dan anxietas patologis mungkin disebabkan oleh overaktivasi dari sirkuit amygdala. (B)
Benzodiazepine dapat meredakan gejala anietas atau rasa takut dengan meningkatkan
inhibisi phasic pada reseptor GABAa pada amygdala. (C) Obat-obatan yang berikatan pada
subunit α2δ dari presinaps dapat menghentikan pelepasan berlebihan dari glutamat pada
amygdala dan mengurangi gejala dari anxietas. (D) Amygdala menerima input dari neuron
serotonergik yang memiliki input inhibisi. Oleh sebab itu obat-obatan serotonergik dapat
meredakan gejala anxietas dan ketakutan dengan meningkatkan input terhadap amygdala.

Penggunaan pregabalin dan gabapentin telah menunjukkan efek anxiolitik pada gangguan
fobia sosial dan gangguan panik, dan terbukti efektif dalam menangani kasus epilepsi dan
beberapa kondisi nyeri termasuk nyeri neuoropati dan fibromyalgia. Peranan α2δ ligands
pada voltage-sensitive calcium channels (VSCCs) memiliki mekanisme kerja yang berbeda
ketimbang dengan serotonin reuptake inhibitor maupun golongan benzodiazepine dan oleh
sebab itu dapat digunakan pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap pemberian
kedua obat tersebut. Pemberian obat golongan α2δ ligand dapat berguna sebagai kombinasi
dengan SSRI dan benzodiazepine pada pasien dengan respons parsial dan tidak mengalami
remisi.

Serotonin dan anxietas

Gejala, sirkuit dan neurotransmitter pada gangguan anxietas diperkirakan memiliki kesamaan
dengan gangguan depresif. Oleh sebab itu, obat yang awalnya digunakan sebagai
antideppresant ternyata dianggap efektif sebagai terapi anti cemas. Bahkan, penggunaan obat
antidepresan sebagai terapi anticemas semakin diminati. Serotonin merupakan
neurotransmitter utama yang menginnervasi amygdala dan komponen penting lainnya seperti
sirkuit CSTC, korteks prefrontal, striatum, dan thalamus yang diketahui berperan penting
dalam meregulasi ketakutan dan kecemasan.
Gambar 21. Mekanisme terapetik obat anxiolitik pada kecemasan. (A) Kecemasan yang
patologis disebabkan oleh overaktivasi CSTC. (B) Obat golongan benzodiazepine dapat
meredakan kecemasan dengan menintkatkan kinerja dari interneuron GABA pada korteks
prefrontal. (C) Obat-obatan yang berkerja pada α2δ subunit dari neuron presinaps
menghambat kinerja glutamat pada sirkuit CSTC dan mengurangi gejala cemas. (D)
Korteks prefrontal, striatum dan thalamus menerima input dari neuron serotonergik yang
memiliki efek inhibisi. Obat-obatan serotonergik dapat meredakan gejala kecemasan
dengan meningkatkan input serotonin pada sirkuit CSTC
Obat-obat antidepresan yang dapat meningkatkan output dari serotonin dengan menghambat
kerja serotonin transporter (SERT) dianggap efektif dalam mengurangi gejala anxietas dan
ketakutan pada pasien dengan gangguan kecemasan seperti pada pasien dengan Generalized
anxiety diorder, gangguan panik, social anxiety disorder dan gangguan stress pasca trauma.
Agonis parsial serotonin 1A (5HT1A) buspirone dikenal sebagai obat-obatan anxiolitik
umum, namun tidak digunakan untuk jenis gangguan anxietas subtipe tertentu. Efek
anxiolitik dari buspirone diperkirakan akibat efek agonis parsial pada reseptor 5HT1A
presinaps maupun postsinaps dengan efek akhir meningkatnya aktivitas serotonergik yang
memiliki proyeksi hingga ke amygdala, korteks prefrontal, striatum dan thalamus. Efek
buspirone seringkali dianggap lambat dan kemungkinan disebabkan oleh efek agonis 5HT1A
yang bersifat adaptif ketimbang hanya menduduki reseptor itu saja. Oleh sebab itu obat ini
dianggap lebih mirip dengan golongan antidepresan ketimbang anxiolitik karena
menyebabkan perubahan dari proses adaptif neuron, berbanding terbalik dengan obat
golongan benzodiazepine yang bekerja secara cepat dengan menduduki reseptor
benzodiazepine.
Gambar 22. Agonis parsial 5HT1a seperti buspirone dapat mengurangi anxietas dengan
bekerja pada presinaps maupun postsinaps. Efek buspirone seperti antidepresan lainnya,
cenderung lambat.

Hiperaktivitas noradergenik pada anxietas

Norepinephrine merupakan neurotransmitter penting lainnya yang mengatur masuknya


impuls menuju amygdala, korteks prefrontal dan thalamus pada sirkuit CSTC. Hasil
berlebihan dari noradrenergik dari locus coeruleus tidak hanya menyebabkan peningkatan
gejala otonom, namun juga dapat mencetuskan banyak ganguan sistem saraf pusat yang
menyebabkan ketakutan seperti mimpi buruk, kondisi hiperarousal, penigkatan kemunculan
memori lampau dan serangan panik. Aktivitas noradrenergik yang berlebihan juga dapat
mengurangi efisiensi dari alur proses informasi apda korteks prefrontal dan pada sirkuit
CSTC dapat menyebabkan kecemasan. Diperkirakan hal ini terjadi akibat input berlebihan
oleh noradrenergik terhadap reseptor α1- dan β1 adrenergik postsinaps pada amygdala atau
korteks prefrontal.
Gambar 23. Hiperaktivitas noradrenergik pada ketakutan/kecemasan. (A) Norepinenephrine
tidak hanya memberikan input kepada amygdala, melainkan ke bagian lain dari proyeksi
amygdala dan memainkan peran penting dalam respons ketakutan. Hiperaktivasi dari jalur
ini dapat menyebabkan anxietas, serangan panik, tremor, berkeringat, takikardia dan mimpi
buruk. (B) Pemberian α1-adrenergic blockers dapat meredakan gejala dari anxietas dan
gangguan yang diakibatkan oleh stress lainnya. (C) Aktivitas dari Noradrenergik dapat
dihambat dengan pemberian norepinephrine inhibitor (NET).

Gejala hiperarousal seperti mimpi buruk dapat dikurangi dengan pemberian prazocin yang
merupakan inhibitor α1 adrenergik. Gejala lainnya seperti ketakutan dan cemas dapat
dikurangi dengan pemberian norepinephrine reuptake inhibitors (NET). Pemberian obat ini
dianggap membingungkan karena setelah pemberian, maka dapat terjadi perburukan dari
gejala cemas, namun jika pemberian obat tetap dipertahankan maka pada akhirnya dapat
mengurangi gejala takut dan cemas pada jangka panjang.

Fear conditioning dan Fear extinction


Fear conditioning meripakan konsep seperti yang pernah dijabarkan oleh Pavlov. Jika sebuah
stimulus kuat yang bersifat mengancam digabungkan dengan stimulus normal seperti bunyi
lonceng bel pada seekor anjing. Maka anjing tersebut dapat mengasosiasikan kedua stimulus
dan menimbulkan rasa takut ketika mendengar suara bel. Pada manusia, ketakutan didapat
saat seseorang mengalami suatu pengalaman yang membuat stress yang dikaitkan dengan
trauma emosional dan juga dipengaruhi oleh genetik dari individu tersebut. Faktor
predisposisi seseorang untuk menimbulkan rasa takut antara lain adalah paparan terhadap
lingkungan dapat menimbulkan stress yang mengakibatkan sensitasi dari sirkuit pada otak
(contoh: kasus kekerasan anak). Seringkali situasi menakutkan dapat teratasi dengan baik
dan terlupakan. Namun beberapa rasa takut sangat penting untuk kelangsungan hidup
seseorang seperti peristiwa menakutkan yang mengancam jiwa yang menyebabkan seseorang
mempelajari mekanisme rasa takut. Hal ini disebut sebagai fear conditioning. Beberapa jenis
rasa takut yang dipelajari dan tidak dilupakan diperkirakan berlanjut menjadi gangguan
cemas atau gangguan depresi. Ini bukan merupakan masalah besar karena pada umumnya
sekitar 30% populasi akan memiliki gangguan anxietas akibat lingkungan yang mencetuskan
stress termasuk ketakutan yang muncul pada lingkungan kegiatan normal. Namun hal ini
dapat terjadi dan menimbulkan trauma khususnya pada kondisi perang dan bencana alam.
Mendengar suara ledakan, mencium bau karet terbakar, melihat warga sipil yang terluka,
melihat dan mendengar suara banjir dapat menimbulkan stimulus sensorik yang dapat
menyebabkan tercetusnya pengalaman traumatis, ketakuan dan keadaan hiperarousal.
Serangan panik yang muncul pada kondisi ramai, di jembatan atau pusat perbelanjaan dapat
mencetuskan serangan panik susulan pada kondisi yang sama. Semua kondisi ini disebut
dengan fear conditioning.

Amygdala terlibat dalam proses yang menyebabkan seseorang mengingat kembali stimulus
yang muncul pada situasi yang menakutkan. Proses ini terjadi dengan terjadinya peningkatan
efisiensi dari transmisi glutamat pada sinaps amygdala bagian lateral sebagai input sensorik
yang dicetuskan oleh thalamus dan korteks sensorik. Input ini kemudian dihantarkan kepada
amygdala bagian sentral dimana proses fear conditioning terjadi. Di tempat ini pula terjadi
proses pengkondisian ulang dari sinaps glutamat yang mengalami restrukturisasi permanen
pada reseptor NMDA yang menyebabkan long ter potentiation dan plastisitas sinaps
sehingga impuls yang dihantarkan dari korteks sensorik dan thalamus dapat ditransmisikan
secara efisien untuk menghasilkan rasa takut pada setiap keadaan yang dapat menimbulkan
rasa takut.

Masuknya impuls kepada amygdala lateral dimodulasi oleh korteks prefrontal terutama
bagian ventromedial prefrontal cortex (VMPFC) dan oleh hipokampus. Jika VMPFC tidak
dapat menekan rasa takut pada tingkat amygdala, maka proses fear conditioning terjadi.
hipokampus mengingat setiap pencetus ras atakut dan memastikan ketika rasa takut dipucym
maka akan timbul rasa takut sesuai dengan pengalaman pasien tersebut. Kebanyakan obat
antianxietas bekerja guna menekan axietas dan rasa takut dengan menghambat output rasa
takut dari amygdala dan tidak bersifat menyembuhkan karena proses fear conditioning telah
terjadi. Jika proses ini telah terjadi, maka akan sangat sulit untuk diubah. Namun walau begitu
terdapat 2 cara guna mengeliminasi rasa takut tersebut dengan memfasilitasi proses
extinction atau dengan melakukan blokade dari proses tersebut dengan metode rekonsolidasi.

Fear extinction

Fear extinction adalah suatu proses yang bersifar progresif dalam mengurangi respon
terhadap suatu stimulus yang menakutkan dan biasanya terjadi ketika stimulus terjadi tanpa
suatu konsekuensi yang buruk. Walaupun begitu, proses ini tidak secara permanen
menghapus rasa takut yang disebabkan oleh proses fear conditioning melainkan hanya
mengurangi secara signifikan rasa takut yang timbul. Hal ini diperkirakan karena
kemampuan adaptif terutama pada bagian amygdala ketika proses fear extinction terjadi yang
menyebabkan supresi dari gejala kecemasan dan ketakutan. Aktivasi dari amygdala terjadi
oleh VMPFC ketika hipokampus mengingat konteks yang menyebabkan tercetusnya rasa
takut namun tidak terjadi konsekuensi buruk, oleh sebab itu rasa takut tidak akan tercetus.
Diperkirakan bahwa fear extinction terjadi ketika input dari VMPFC dan hipokampus
mengaktivasi neuron glutamat pada amygdala bagian lateral yang bersinaps pada interneuron
GABAnergik yang bersifat inhibisi pada sel-sel amygdala. Hal ini menyebabkan suatu
gerbang pada amygdala bagian sentral dimana jika sirkuit fear conditioning mendominasi
maka akan menimbulkan rasa takut dan sebaliknya jika fear extinction yang mendominasi
maka akan mensuppresi rasa takut untuk muncul.

Fear extinction secara teori mendominasi feac conditioning ketika sinaps dari neuron
GABAnergik menguat dan terciptanya potensiasi jangka panjang yang menyebabkan
terbentuknya sirkuit baru yang mendominasi rasa takut. Ketika fear extinction dan fear
conditioning terjadi secara bersamaan, maka impuls yang lebih kuat akan menentukan hasil
yang akan terjadi. Namun seringkali stimulus fear conditioning lebih kuat dibanding fear
extinction. Fear extinction terlihat lebih labil dan dapat mengalami regresi seiring
berjalannya waktu sedangkan fear extinction dapat terjadi terus menerus terutama ketika
proses extinction terus mengalami regresi.

Terapi terbaru menargetkan bagaimana cara untuk memfasilitasi fear extinction ketimbang
hanya mengurangi stimulus fear conditioning seperti penggunaan obat-obatan anxiolitik.
Cognitive behavioral therapy adalah suatu teknik yang memaparkan pasien dengan stimulus
yang memicu rasa takut pada lingkungan yang relatif aman dengan tujuan memfasilitasi fear
extinction. Terapi ini dianggap efektif dengan mencetuskan proses menekan rasa takut pada
amygdala. Namun walau begitu, hipokampus dengan kuat mengingat proses terapi ini dalam
konteks yang spesifik pada lingkungan yang aman sehingga jika pasien berada diluar kondisi
yang aman maka rasa khawatir dan ketakutan dapat kembali muncul.

Salah satu cara yang sedang diteliti adalah dengan meningkatkan aktivas reseptor NMDA
ketika pasien sedang menerima paparan yang sistematis terhadap stimulus yang mencetuskan
rasa takut pada terapi kognitif dan perilaku. Hal ini dapat dikerjakan dengan memberikan
direct-acting agonist seperti D-Cycloserine atau dengan injeksi langsung dengan glycine-
enhancing agents seperti selective glucine reuptake inhibitors (SGRI). Pendekatan ini
dilakukan dengan meningkatkan aktivitas sinaps NMDA.

Rekonsolidasi

Menghambat rekonsolidasi dari memori ketakutan adalah mekanisme kedua dimana secara
teori dapat digunakan sebagai terapi pada pasien dengan gangguan anxietas. Walaupun
diperkirakan memori yang mengandung emosi dan berkaitan dengan rasa takut akan
tersimpann selamanya, pada eksperimen binatang baru-baru ini menunjukkan bahwa memori
tersebut dapat melemah atau bahkan hilang. Ketika rasa ketakutan pertama kali dikondisikan,
maka memori dikatakan mengalami konsolidasi yang melibatkan proses molekular yang
awalnya diperkirakan bersifat permanen. Mekanisme ini ditemukan pada sebuah studi
observasi pemberian β blocker dan opioid yang dapat mengurangi proses pengkondisian dari
memori yang traumatis. Bahkan pada manusia, beberapa studi dari obat-obatan ini dapat
mengurangi potensi terjadinya gangguan stress pasca trauma. Rekonsolidasi merupakan
suatu keadaan memori dimana reaktivasi dari ketakutan yang sudah mengalami konsolidasi
menjadi labil dan membutuhkan sintesis protein untuk menjaga keutuhan memori. Obat-
obatan beta blocker menggangu proses rekonsolidasi memori ketakutan dan juga formasi dan
pengkondisian ketakutan.

Tatalaksana untuk gangguan kecemasan

Tatalaksanaa untuk pasien dengan generalized anxiety disorder bertumpang tindih dengan
gangguan kecemasan lainnya serta gangguan depresi. Lini pertama pengobatan yang
biasanya digunakan termasuk SSRI dan SNRI, benzodiazepine, buspirone, pregabalin dan
gabapentin. Beberapa klinisi ragu untuk memberikan benzodiazepine pada pasien dengan
gangguan kecemasan karena dapat bersifat jangka panjang dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya ketergantungan dan penyalahgunaan zat.
Selain itu, tidak dianjurkan untuk memberikan obat benzodiazepine pada pasien dengan
GAD terutama jika memiliki riwayat penyalahgunaan obat-obatan lainnya. Namun
pemberian benzodiazepine dapat berguna ketika ingin memulai terapi dengan obat golongan
SSRI atau SNRI karena kedua obat tersebut memiliki onset yang lambat. α2δ ligands adalah
alternatif yang baik selain benzodiazepine pada beberapa pasien karena bersifat membantu
reaksi dari obat utama dengan mempercepat dan meningkatkan kinerja obat SSRI atau SNRI.
Benzodiazepine juga berguna untuk digunakan secara berkala ketika gejala muncul
mendadak dan dibutuhkan penanganan untuk menghilangkan gejala dengan cepat.

Perlu diperhatikan bahwa remisi gejala GAD dengan penggunaan SSRI atau SNRI dapat
terjadi lebih lambat. Oleh sebab itu jika pemberian setelah beberapa minggu atau bulan tidak
menunjukkan hasil, maka dapat dipertimbangkan memberikan obat jenis lain atau dengan
menambahkan buspirone, α2δ ligands atau benzodiazepine sebagai obat tambahan.
Kegagalan respon terhadap pengobatan lini pertama dapat dipikirkan untuk mencoba obat
golongan lain seperti antidepresan yang memiliki efek sedasi seperti mirtazapine, trazodone
atau antidepresan trisiklik. Pemberian barbiturate dan meprobamate untuk kecemasan sudah
mulai ditinggalkan

Gangguan Panik

Serangan panik dapat terjadi pada banyak kondiis dan tidak hanya pada gangguan panik,
namun juga dapat terjadi sebagai komorbid pada gangguan kecemasan lainnya atau pada
pasien dengan depresi. Oleh sebab itu tidak mengagetkan jika terapi terbaru untuk gangguan
panik, kecemasan dan depresi cenderung sama. Lini pertma yang dianjurkan adalah SSRI
dan SNRI, benzodiazepine dan α2δ ligands. Perlu diperhatikan bahwa benzodiazepine
digunakan sebagai terapi lini kedua pada saat pemberian awal dengan obat SSRI/SNRI,
ketika terjadi serangan panik akut atau ketika respons pengobatan terhadap SSRI/SNRI
dianggap tidak memuaskan. Selain itu terapi lini kedua lainnya adalah antidepresan trisiklik.
Mirtazapine dan trazodone adalah antidepresan yang memiliki efek sedatif yang dapat
berguna pada beberapa kasus dan seringkali digunakan sebagai terapi tambahan pada
pemberian SSRI/SNRI yang memiki respons kurang baik. Terapi perilaku dan kognitif
dapaat digunakan sebagai alternatif atau terapi tambahan selain dari terapi
psikopharmakologi yang dapat membantu memodifikasi distorsi kognitif melalui paparan
dan mengurangi perilaku fobia menghindar.

Gangguan anxietas sosial

Pilihan terapi pada gangguan ini sangat mirip dengan gangguan panik dengan hanya sedikit
perbedaan. Terapi lini pertama tetap dengan menggunakan SSRI/SNRI, namun pemberian
benzodiazepine sebagai monoterapi tidak dapat diterima. Selain itu terdapat bukti yang
minim kegunaan dari obat antidepresan yang lebih tua seperti antidepresan trisiklik. Terapi
perilaku dan kognitif masih merupakan intervensi yang kuat dan kadang lebih baik dibanding
memberika obat kepada pasien.

Gangguan stress pasca trauma

Terapi psikofarmaologi untuk gangguan stress pasca trauma mungkin secara umum tidak
seefektif untuk gangguan kecemasan jenis lainnya. Selain itu gangguan stress pasca trauma
memiliki komorbiditas yang tinggi seperti depresi, insomnia, penyalahgunaan obat-obatan
dan nyeri. SSRI dan SNRI terbukti efektif dan dianggap sebagai terapi lini pertama, namun
seringkali meninggalkan gejala residual termasuk gangguan tidur. Oleh sebab itu,
kebanyakan pasien dengan gangguan ini jarang menerima terapi tunggal. Pemberian
benzodiazepine harus diberikan secara hati-hati karena terdapat data yang terbatas mengenai
efektifitas dari benzodiazepine pada gangguan stress pasca trauma, terutama mengingat
banyak pasien dengan gangguan ini memiliki riwayat penyalahgunaan obat-obatan. Terapi
yang dapat diberikan untuk gangguan ini adalah α1 antagonists pada malam hari untuk
mencegah mimpi buruk.
Terapi yang dianjurkan pada gangguan stress pasca trauma adalah kombinasi antara
pemberian obat-obatan untuk menangani komorbiditas dan psikoterapi untuk mengatasi
gejala utama. Terapi paparan mungkin merupakan terapi yang paling efektif diantara
psikoterapi lainnya, namun terapi perilaku kognitif lainnya mungkin diperlukan secara
spesifik terhadap masing-masing individu.

Ringkasan

Gangguan anxietas memiliki gejala inti yaitu ketakutan dan kecemasan yang memiliki
spektrum luas. Amydgala memiliki peranan penting dalam respons ketakutan dan CSTC
diperkirakan memiliki peranan penting dalam memediasi gejala kecemasan. Beberapa
neurotransmitter terlibat dalam meregulasi sirkuit gangguan anxietas. GABA (γ-
aminobutyric acid) adalah neurotransmitter kunci dalam anxietas dan benzodiazepine
memiliki efek anxiolitik dengan bekerja pada sistem neurotransmiter GABA. Serotonin,
norepinephrine, α2δ ligands berperan terhadap voltage-gated calcium channels. Selain itu
regulator lainnya dalam sirkuit anxietas juga berperan dalam tatalaksana gangguan
kecemasan. Konsep penanganan gangguan ini dengan melawan proses fear conditioning
dengan fear extinction pada sirkuit amygdala memberikan suatu lini terapi baru yaitu
kombinasi antara terapi farmakoterapi dan psikoterapi. Beberapa pilihan tatalaksana yang
tersedia untuk gangguan anxietas sangat bervariasi dan dapat digunakan sebagai terapi
terhadap gangguan anxietas lainnya dan gangguan depresi.

Anda mungkin juga menyukai