Anda di halaman 1dari 5

PERAN SEKOLAH DALAM MENANGKAL ALIRAN SESAT

Oleh : Dra. Ukah, M.Pd

LATAR BELAKANG
Fenomena aliran sesat yang mengatasnamakan agama khususnya Islam, belakangan ini
semakin berkembang dan semakin subur saja di tanah air ini. Seolah aliran sesat ini tidak pernah
mati di Bumi Nusantara, hilang satu tumbuh lainnya. Aliran sesat muncul di berbagai daerah
dengan fenomena masing-masing. Mereka mengindentifikasikan sebagai kelompok agama,
namun ajaran-ajaran yang mereka lakukan bertentangan dengan syariat agama. Sebuah aliran
disebut sesat bila apa yang diajarkan itu telah menyimpang dari aturan baku ajaran agama.
Mengantisipasi maraknya berbagai aliran sesat ini, Forum Ulama Umat Indonesia
(FUUI) mengingatkan agar umat beragama perlu menyikapinya dengan benteng iman yang kuat.
Karena sempalan beraliran sesat ini, sengaja atau tidak sengaja memberikan pemahaman yang
salah dan keliru terhadap agama. Tujuannya untuk menyesatkan umat, sekaligus hendak
meruntuhkan dan menghancurkan akidah umat.
Lemahnya keimanan seseorang menyebabkan, mudahnya dipengaruhi oleh berbagai
aliran yang menyimpang. Dan sebagian besar yang mudah untuk dipengaruhi adalah pemuda.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sifat dasar pemuda adalah ingin menujukkan kelebihannya
di segala bidang. Bisa jadi mereka bersedia menjadi pengikut lantaran ada iming-iming yang
begitu menggiurkan. Tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan, jika pemuda sebagai penerus
kehidupan bangsa ini terjerumus ke dalam aliran sesat. Oleh karena itu, sekolah sebagai institusi
yang bertugas membentuk generasi penerus bangsa yang berkwalitas menjadi memegang
peranan yang sangat sentral dalam memberikan pendidikan guna membentengi generasi muda
dari aliran-aliran sesat tersebut.

PERAN SEKOLAH : PENDIDIKAN AGAMA DAN AKHLAK MULIA


Pemahaman keagamaan yang dangkal akan membentuk kelompok keagamaan yang
eksklusif dan mengklaim kelompoknya paling benar. Perbedaan pemahaman keagamaan yang
kemudian diwujudkan dalam perbedaan ritual keagamaan menjadi salah satu potensi konflik
ketika timbul justifikasi bahwa hal tersebut berada pada jalur yang ’sesat’. Konflik atau
kekerasan sosial yang menggunakan simbol agama antara lain dipicu oleh dangkalnya
pemahaman keagamaan masyarakat. Konflik sewaktu-waktu dapat muncul ketika tidak terdapat
media yang menyatukan seluruh komponen masyarakat untuk saling memahami. Idealnya,
pendidikan dalam rangka meningkatkan pemahaman keagamaan hendaknya mengutamakan
nilai-nilai perdamaian, pandangan luas serta pemahaman terhadap perbedaan realitas yang telah
menjadi karakter masyarakat Indonesia.
Rendahnya penghayatan terhadap nilai-nilai agama antara lain akan mengakibatkan
meluasnya sikap permisif masyarakat terhadap arus budaya negatif dari barat yang pada
gilirannya akan menimbulkan rendahnya kontrol masyarakat dalam mengantisapasi timbulnya
dampak negatif yang ditimbulkan. Hal ini juga dapat berakibat terhadap rendahnya tingkat
kesadaran masyarakat dalam implementasi nilai-nilai agama, termasuk kesadaran menempatkan
akhlak mulia di atas segalanya.
Sementara itu setiap pemeluk agama sesungguhnya tidak ada yang instant, konstan
menjadi manusia yang sepenuhnya taat menjalani agamanya baik dalam tataran teoritis maupun
aplikatif, karena beragama sendiri adalah sebuah upaya untuk menjadi dalam arti berproses
secara aktif untuk terus memahami ajaran agama yang diyakininya yang pada akhirnya akan
memuarakan pemeluknya untuk menjadi orang yang beragama. .Hasil dari proses menjadi inilah
kelak yang akan mengantar setiap pemeluk agama untuk dapat bersikap laku dalam
kehidupannya. Demikian halnya dengan pengajaran agama yang juga merupakan sebuah proses,
yaitu upaya untuk menjadikan siswa didik untuk terus menerus menerima ajaran agamanya yang
pada muaranya diharapkan nilai-nilai ajaran agama tersebut dapat terinternalisasi dalam segala
aspek laku kehidupannya.
Pengibaratan senada dapat pula diberikan kepada petani yang tidak dapat dengan instant
memetik hasil panennya tapi dibutuhkan beragam upaya ketekunan; kesabaran dan ketelitian
dalam merawat tanamannya. Dalam proses pendidikan pengibaratan di atas juga berlaku bagi
pengajar agama yang tidak hanya cukup mentransfer dan menyuapi anak didik dengan
seperangkat pengetahuan sesuai wawasan agama yang dimilikinya, tapi lebih dari itu bagaimana
ia dapat memformulasikan wawasan keagamaannya dengan wawasan keagamaan siswa didiknya
bersesuaian dengan tingkat usia mereka. Sehingga seorang pengajar diharapkan dapat
memberikan sebuah pendekatan pengajaran yang lebih kreatif dan aktif bagi siswa didiknya.
Dengan demikian pendekatan pengajaran agama tidak lagi bersifat eksklusif -doktrinasi, dimana
disajikan dengan kaku dan rigid tanpa membuka ruang nalar kritis bagi siswa sebagaimana
praktek yang berlangsung di lembaga pendidikan selama ini.
Saatnya kita mulai mencoba menekankan pengajaran agama pada aspek nilai (values),
nilai-nilai kehidupan itu sendiri dan bukan pada sisi formalistik keagamaan saja. Proses belajar
mengajar adalah bagaimana kita mencoba memberikan ruang lebih kepada siswa untuk berani
mengkritisi ajaran agamanya dalam wilayah yang bersifat normatif maupun praksis. Dengan
demikian diharapkan siswa terlatih untuk mensikapi perbedaan dalam kemajemukan, baik
perbedaan ideologis, sosial budaya dan agama. Meski pada tataran ini memang dibutuhkan
kebesaran jiwa dan keluasan wawasan guru sehingga tidak dengan mudah memberikan pelabelan
dosa dan anacaman neraka pada nalar kritis yang mereka tawarkan. Dalam kondisi dan ruang
kebebasan seperti inilah diharapkan siswa akan bertumbuh menjadi manusia yang terbuka,
toleran dan humanis yang tanggap terhadap masalah kebenaran dan kepalsuan yang ada di
masyarakatnya, yang muaranya akan mengantarnya pada pengalaman kebertuhanan dalam
perjalanan panjang sekolah kehidupan.
Dalam dunia pendidikan tentunya kita akan berbenturan antara konsep (idealisme)
dengan fakta di lapangan. Adanya ketidaksesuaian antara materi kurikulum Agama dengan
tingkat pemahaman dan pembiasaan anak didik terutama di tingkat sekolah dasar adalah
merupakan fenomena kemunduran sekolah saat ini. perilaku-perilaku yang nonagamis dan
nonakhlakulkarimah di berbagai sekolah dasar merupakan bentuk kurang berhasilnya konsep dan
strategi pembelajaran pendidikan agama di tingkat sekolah dasar. Kuantitas Pelajaran agama
yang sangat minim, muatan materi yang banyak dan metode yang tidak variatif akan
mengakibatkan kejenuhan dan degradasi ilmu dalam diri anak didik. Dampak dari
ketidaksesuaian nilai-nilai normatif kependidikan dengan strategi pembelajaran menimbulkan
misorientasi guru yang lebih mengutamakan ketuntasan materi dan penyelesaian silabus dan
RPP, sementara anak didik cenderung kepada pemuasan skor nilai di Rapot.
Sesungguhnya upaya merekonstruksi dan mereformasi pendidikan (agama) yang dapat
membebaskan siswa dari belenggu doktrin agama yang eksklusif dan intoleran tidak akan
terwujudkan selama pengajaran agama yang disajikan lebih menekankan sisi formalistik dan
eksklusivistik. Kondisi ini semakin diperparah denagn tidak diikutsertakannya guru-guru agama
atau tenaga praksis di lapanagn dalam mengkaji ulang pradigma dan konsep pemikiran agama
yang ditawarkan kurikulum dan silabi oleh instansi dan lembaga pemerintah yang terkait.
Sehingga dengan sendirinya pembenahan muatan materi agama yang lebih bersentuhan dengan
fenomena sosial kemasyarakatan kurang terjamah karena selalu terkalahkan dengan
permasalahan ritualisme individual.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar pendidikan agama dapat berhasil :
a. Konsep Kurikulum Akidah perlu diperbanyak, mengingat dasar akidah adalah sesuatu yang
sangat penting untuk anak.
b. Strategi pembelajaran agama tidak lagi mementingkan tentang konsep hafalan-hafalan yang
sangat banyak, makna yang terkandung dalam materi tidak dijelaskan kepada anak. Contoh
ketika anak belajar shalat, maka setiap anak harus memahami hakekat shalat itu untuk apa.
c. Pembiaasaan yang sangat penting menjadi penilaian bagi anak didik dengan memberikan
pengontrolan ibadah harian di rumah yang diawasi oleh orang tua. Karena pendidikan agama
di sekolah yang sangat pendek membutuhkan pengulangan dan pembiasaan di rumah.
Pembiasaan ini menjadi salah satu nilai yang dapat dijadikan nilai psikomotor bagi anak
dihitung dengan nilai konsep ( Penguasaan materi)
d. Pendidikan agama yang holistik dan komprehensif merupakan bahan ajar yang sangat
dibutuhkan untuk sekarang ini. Pendidikan agama tidak bisa dipisahkan keterkaitan dengan
ilmu lain. Guru harus mampu membuat keterkaitan makna yang ada dalam bahan ajar dengan
penerapan teknologi yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Guru yang menjadi panutan merupakan subjek pembelajaran yang tidak bisa dinilai
secara tulisan, tapi dia merupakan sumber belajar demonstratif bagi anak didik. Guru yang
menjadi Hardmatter yang divisualisasikan merupakan pendidikan pembiasaan yang sangat
efektif bagi anak didik. Usia Sekolah Dasar yang termasuk pencarian panutan pertama untuk
mereka, maka guru adalah sosok yang sangat ditiru dalam tingkah laku di kelas, di sekolah
maupun di masyarakat.
Tentunya ada konsep yang sudah lama dikembangkan menjadi guru efektif, guru
visioner dan guru kompeten, tentunya dalam pendidikan agama, semua guru agama harus
menjadi seorang yang memiliki naluri kharismatik. Nilai-nilai kharismatik dari guru terhadap
anak didik akan membawa kepada keberhasilan pendidikan agama di sekolah.
PENUTUP
Rendahnya pemahaman agama dan tekanan kehidupan social dalam masyarakat,
menyebabkan masyarakatt mudah terjerumus ke dalam hal-hal yang menyesatkan. Hal ini
dibuktikan dengan tumbuh suburnya aliran-aliran sesat yang mengatasnakan agama. Untuk
mengatasi masalah ini, umat Bergama harus membentengi diri dengan keimannan yang kuat
serta pemahaman terhadap agama yg sebenarnya.
Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan agama sejak usia dini. Sekolah
sebagai institusi pendidikan memegang posisi sentral dalam memberikan pendidikan agama
kepada peserta didiknya. Pendidikan agama yg selama ini diselenggarakan terlalu bersifat
doktrinasi, diman siswa didik hanya diberikan materi dengan hapalan-hapalan yang sangat
banyak tanpa memberikan pemahaman akan bagaimana sebenarnya agama itu. Oleh karena itu,
kita perlu untuk merubah system pendidikan doktrinasi tersebut dengan system yang
memberikan peluang kepada peserta didik untuk lebih memahami agama tersebut. Dan juga
pembenahan muatan materi agama yang lebih bersentuhan dengan fenomena sosial
kemasyarakatan. Sehingga peserta didik akan mampu memaknai agama dengan benar dan
mampu menangkal diri dari ajaran-ajaran yang menyimpang dari tuntunan agama

(Disarikan dari berbagai sumber)

Anda mungkin juga menyukai