Isti’adzah
Isti’adzah adalah bersandar kepada Allah l dan mendekat ke sisi-Nya, untuk berlindung dari kejelekan
setiap makhluk yang memiliki kejelekan. ‘Iyadzah itu untuk mencegah kejelekan.
Setelah beristiftah, sebelum membaca Al-Qur’an dalam shalat, Rasulullah n membaca ta’awudz
(memohon perlindungan) kepada Allah l terlebih dahulu dengan mengucapkan:
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terusir/dijauhkan (dari rahmat1) dari was-wasnya2, dari
kesombongannya, dan dari sihirnya.”3 (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/92/1, Ath-Thabarani
dalam Al-Kabir 1/78/2, dari Jubair ibnu Muth’im z, dishahihkan dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 342)
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang
terusir/dijauhkan dari rahmat, dari was-wasnya, dari kesombongannya, dan dari sihirnya.” (HR. Abu
Dawud no. 775, dan lainnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri z dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam
Irwa’ul Ghalil pembahasan hadits no. 342)
Al-Imam Ahmad t dalam Masa’il Ibni Hani’ (1/51) menyatakan, sepantasnya tambahan ini diucapkan
sesekali.
Jumhur ulama berpendapat hukum ta’awudz ini sunnah, dalilnya adalah hadits Al-Musi’u Shalatuhu,
yang di dalamnya tidak disebutkan ta’awudz. (Al-Majmu’ 3/283, Taudhihul Ahkam 2/170)
Ini merupakan pendapat Al-Hasan, Ibnu Sirin, Atha’, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ishaq, dan ashabur
ra’yi. (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl La Yajharul Imam bil Iftitah)
Pendapat inilah yang penulis pandang lebih kuat. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Al-Imam Asy-Syaukani t menyebutkan, “Tidak ada dalam hadits-hadits ta’awudz selain menerangkan
bahwa ta’awudz dilakukan pada rakaat yang pertama. Adapun Al-Hasan, Atha’, dan Ibrahim
berpendapat ta’awudz ini mustahab diucapkan dalam setiap rakaat. Mereka berdalil dengan keumuman
firman Allah l:
“Bila engkau membaca Al-Qur’an maka mintalah perlindungan kepada Allah.” (An-Nahl: 98)
Tidaklah diragukan bahwa ayat di atas menunjukkan disyariatkannya isti’adzah sebelum membaca Al-
Qur’an. Ayat ini berlaku umum, apakah si pembaca Al-Qur’an tersebut berada di luar shalat atau sedang
mengerjakan shalat. Namun, hadits-hadits yang melarang berbicara di dalam shalat menunjukkan
larangan tersebut tidak dibedakan, baik berbicara dengan mengucapkan ta’awudz, maupun ucapan-
ucapan lain yang tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan tidak pula ada izin untuk mengucapkan
yang sejenisnya. Karena itu, yang lebih berhati-hati adalah cukup dengan yang dituntunkan dalam As-
Sunnah, yaitu melakukan isti’adzah sebelum membaca Al-Qur’an pada rakaat pertama saja.” (Nailul
Authar, 2/39)
ُْبُ ْال َعالَمِ يْنَُُ َولَ ُْمُيَ ْسكُت ُ ِ ُحُ ْالق َِرا َءةُُِ ِب ُْال َح ْم ُِد
ُِ ِلُِ َر َُ َ الر ْكعَ ُِةُالثَّانِيَ ُِةُا ْفتَت َُ للاُُِ ِإذَاُنَ َه
َّ ُضُفِي ُ ُلُُ سو
ُ كَانَُُ َر
“Adalah Rasulullah n bila bangkit ke rakaat kedua, beliau membuka bacaan (qiraah) dengan
‘Alhamdulillahi rabbil alamin’ dan beliau tidak diam.” (HR. Muslim no. 1355)
Hadits ini menunjukkan tidak disyariatkannya diam sebelum membaca (Al-Fatihah dan surat) pada
rakaat yang kedua. Tidak pula disyariatkan berta’awudz dalam raakat kedua ini. Dan hukum rakaat-
rakaat berikutnya (setelah rakaat kedua) sama dengan hukum rakaat yang kedua. Jadi, diam sebelum
membaca (Al-Fatihah dan surat) itu hanya khusus pada rakaat yang pertama. Demikian pula
berta’awudz dalam rakaat pertama. (Nailul Authar, 2/136)
Ibnul Qayyim t dalam Zadul Ma’ad (1/86) berkata, “Mencukupkan satu ta’awudz (hanya dalam rakaat
pertama, pen.) adalah pendapat yang lebih nampak, berdasarkan hadits yang shahih dari Abu Hurairah
z:
“Nabi n bila bangkit menuju rakaat yang kedua, beliau membuka dengan bacaan dan tidak diam.”
Bahwa Rasulullah n mencukupkan satu istiftah, karena beliau tidak menyelingi dua qiraah (bacaan)
dengan diam, tapi dengan dzikir. Dengan demikian, qiraah dalam shalat dianggap satu qiraah jika yang
menyelinginya adalah pujian kepada Allah l, tasbih, tahlil, atau shalawat kepada Nabi n, dan yang
semisalnya.
Ada pula yang berpendapat bahwa ta’awudz hukumnya wajib dan dibaca setiap rakaat dalam shalat,
seperti pendapat Ibnu Hazm t dalam Al-Muhalla (2/278) dan ahlul ilmi4 yang lainnya, dengan dalil
firman Allah l:
“Bila engkau membaca Al-Qur’an maka mintalah perlindungan kepada Allah.” (An-Nahl: 98)
Rahasia isti’adzah
Isti’adzah memiliki berbagai kebaikan. Diantaranya, sebagai penyuci lisan dari berbagai ucapan sia-sia
dan kotor, ketika mengucapkan/membaca kalamullah. Juga sebagai isti’anah (memohon pertolongan)
kepada Allah l, dan pengakuan bahwa Allah l-lah yang memiliki kekuasaan, sedangkan hamba itu lemah
dan tidak mampu mengatasi musuhnya (setan) yang nyata namun tidak nampak. Sesungguhnyalah, tak
ada yang mampu menolak dan mencegah musuh ini kecuali Allah l yang menciptakannya. Terlebih,
setan ini tidak dapat menerima keramahtamahan dan tidak peduli dengan kebaikan, berbeda dengan
musuh dari kalangan manusia. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh banyak ayat dalam Al-Qur’an.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, engkau tidak memiliki kekuasaan atas mereka sama sekali. Cukuplah
Rabbmu sebagai pelindung.” (Al-Isra’: 65)
Para malaikat turun untuk memerangi musuh berupa manusia. Siapa saja yang terbunuh oleh musuh
yang nampak, dia menjadi seorang syahid. Sementara, orang yang binasa oleh musuh yang tidak
nampak, dia akan terusir. Siapa saja yang terkalahkan oleh musuh yang nampak, dia akan mendapatkan
balasan pahala, sementara orang yang terkalahkan oleh musuh yang tidak nampak, dia akan tertimpa
fitnah dan memikul dosa.
Tatkala setan melihat manusia dari tempat yang tidak terlihat oleh manusia, maka semestinya manusia
memohon perlindungan darinya kepada Dzat yang melihatnya sedangkan setan tidak dapat melihat-
Nya. (Al-Mishbahul Munir, hal.18)
Penulis mengatakan, masalah ini di luar shalat ketika membaca Al-Qur’an, maka tentunya di dalam
shalat seseorang harus lebih memerhatikan lagi diri dan shalatnya, karena ketika itu ia sedang berdiri
beribadah kepada Rabbnya, yang semestinya ditegakkan dengan khusyu’ dan menjaga shalatnya dari
was-was setan serta tipu dayanya. Wallahul musta’an.
-----------------------------
1 Ada yang mengatakan: dirajam dengan panah-panah api, demikian dalam Al-Majmu’ (3/280).
2 Sebagian rawi menafsirkannya dengan: gila, yaitu hamz adalah satu macam kegilaan dan kesurupan
yang dapat menimpa seseorang. Bila ia sadar, akalnya kembali lagi seperti semula sebagaimana orang
tidur dan orang mabuk, demikian kata Ath-Thibi.
4 Dalam masalah ini memang fuqaha berbeda pendapat setelah mereka sepakat tentang tidak
disyariatkannya membaca doa istiftah selain dalam rakaat pertama. Perbedaan pendapat ini disebabkan
perbedaan pandangan apakah seluruh qiraah dalam shalat merupakan satu qiraah sehingga dicukupkan
sekali ta’awudz, ataukah qiraah setiap rakaat merupakan qiraah yang berdiri sendiri sehingga
disyariatkan berta’awudz pada masing-masingnya?
Al-Imam Al-Albani t dalam kitabnya Shifat Shalatin Nabi n (menguatkan pendapat yang mengatakan
pada setiap rakaat), “Tidak cukup satu isti’adzah tetapi dalam setiap rakaat harus beristi’adzah.”
Kemudian beliau membawakan ucapan Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad Hamid Al-Faqi As-Salafi,
“Yang zahir, qiraah dalam rakaat pertama dan qiraah dalam rakaat yang kedua merupakan dua qiraah,
karena panjangnya jeda/pemisah antara keduanya dengan melakukan ruku’ dan sujud. Ini merupakan
gerakan-gerakan yang banyak. Maka setiap rakaat ada ta’awudz. Sementara hadits Abu Hurairah z
tidaklah menafikan hal ini. Karena yang ditiadakan dalam hadits Abu Hurairah z adalah diam yang
diketahui, yaitu diam tertentu karena membaca doa istiftah. Adapun diam karena membaca ta’awudz
dan basmalah merupakan diam yang sangat ringan/sebentar yang tidak dirasakan/disadari oleh
makmum karena tersibukkannya makmum dengan gerakan bangkit ke rakaat berikutnya. Juga, setiap
rakaat itu teranggap sebagai sebuah shalat karena itulah mereka diwajibkan membaca Al-Fatihah dalam
setiap rakaat, maka yang lebih utama ta’awudz juga dianggap demikian. Inilah pendapat yang dikuatkan
oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla. Inilah pendapat yang benar.”
Ini merupakan argumen yang benar, tidak ada kekaburan di dalamnya. Al-Hafizh berkata di dalam At-
Talkhish, “Keumuman ayat ini menetapkan isti’adzah diucapkan pada awal setiap rakaat. Pendapat inilah
yang dimunculkan oleh Ar-Rafi’i dalam Asy-Syarhul Kabir. Beliau berkata, ‘Pendapat inilah yang
diucapkan oleh Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari, demikian pula Imamul Haramain, Ar-Ruyani, dan
selain mereka’.”
Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ berkata, “Ini merupakan pendapat madzhab (Syafi’iyyah).”
Di tempat lain beliau berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih dalam madzhab kami.”
Abul Hasanat Al-Laknawi dalam catatan kakinya terhadap kitab Syarhul Wiqayah (1/138) berkata,
“Dalam kitab Halbah Al-Majalli karya Ibnu Amir Hajj disebutkan: Berdasarkan ucapan Abu Yusuf dan
Muhammad, sepantasnya ta’awudz itu dilakukan dalam rakaat kedua juga, karena dalam rakaat kedua
orang memulai qiraah. Dan qiraah dalam setiap rakaat merupakan qiraah yang baru.” (Ashlu Shifah
Shalatin Nabi n, 3/826-827)
Sumber: http://asysyariah.com/shifat-shalat-nabi-bagian-6/