Anda di halaman 1dari 47

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN PEMASANGAN CVP

I. PENGERTIAN
Tekanan vena central (central venous pressure) adalah tekanan darah di AKa atau
vena kava. Ini memberikan informasi tentang tiga parameter volume darah,
keefektifan jantung sebagai pompa, dan tonus vaskular. Tekanan vena central
dibedakan dari tekanan vena perifer, yang dapat merefleksikan hanya tekanan
lokal.

I. LOKASI PEMANTAUAN
• Vena Jugularis interna kanan atau kiri (lebih umum pada kanan)
• Vena subklavia kanan atau kiri, tetapi duktus toraks rendah pada kanan
• Vena brakialis, yang mungkin tertekuk dan berkembang menjadi phlebitis
• Lumen proksimal kateter arteri pulmonalis, di atrium kanan atau tepat di atas
vena kava superior

II. INDIKASI DAN PENGGUNAAN


• Pengukuran tekanan vena sentral (CVP).
• Pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
• Pengukuran oksigenasi vena sentral.
• Nutrisi parenteral dan pemberian cairan hipertonik atau cairan yang mengiritasi
yang perlu pengenceran segera dalam sistem sirkulasi.
• Pemberian obat vasoaktif per drip (tetesan) dan obat inotropik.
• Sebagai jalan masuk vena bila semua tempat IV lainnya telah lemah.

III. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi dari pemasangan kanulasi CVP antara lain :
• Nyeri dan inflamasi pada lokasi penusukan.
• Bekuan darah karena tertekuknya kateter.
• Perdarahan : ekimosis atau perdarahan besar bila jarum terlepas.
• Tromboplebitis (emboli thrombus,emboli udara, sepsis).
• Microshock.
• Disritmia jantung

III. PENGKAJIAN
Yang perlu dikaji pada pasien yang terpasang CVP adalah tanda-tanda komplikasi
yang ditimbulkan oleh pemasangan alat.
• Keluhan nyeri, napas sesak, rasa tidak nyaman.
• Keluhan verbal adanya kelelahan atau kelemahan.
• Frekuensi napas, suara napas
• Tanda kemerahan / pus pada lokasi pemasangan.
• Adanya gumpalan darah / gelembung udara pada cateter
• Kesesuaian posisi jalur infus set
• Tanda-tanda vital, perfusi
• Tekanan CVP
• Intake dan out put
• ECG Monitor

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan aktivitas berhubungan dengan pemasangan kateter vena central
Kriteria pengkajian focus :
• Kelemahan, kelelahan.
• Perubahan tanda vital, adanya disritmia.
• Dispnea.
• Pucat
• Berkeringat.

V. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN


Pasien akan mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan
oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan dan tanda vital DBN selama aktivitas.

VI. INTERVENSI
• Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas.
Rasionalisasi : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas.
• Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia,
dispnea, berkeringat, pucat.
Rasionalisasi : penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan
volume sekuncup selama aktivitas, dapat menyebabkan peningkatan segera pada
frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen, juga peningkatan kelelahan dan
kelemahan.
• Kaji presipitator/penyebab kelemahan contoh nyeri.
Rasionalisasi : Nyeri dan program penuh stres jugas memerlukan energi dan
menyebabkan kelemahan.
• Anjurkan latihan ROM aktif atau bila pasien tidak dapat memenuhinya lakukan
ROM pasif setiap 6 jam.
Rasionalisasi : ROM dapat meningkatkan kekuatan otot, memperbaiki sirkulasi dan
mengurangi rasa tidak nyaman.
• Jelaskan bahwa gangguan aktivitas adalah kondisi sementara yang diharuskan
hanya selama waktu pemantauan sementara.
Rasionalisasi : Penjelasan dapat mengurangi anxietas karena rasa takut terhadap
pemasangan CVP.
• Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi.
• Rasionalisasi : Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa mempengaruhi
pemasangan CVP.

DAFTER PUSTAKA
Anna Owen, 1997. Pemantauan Perawatan Kritis. EGC. Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall, 2000. Diagnosa Keperawatan .EGC. Jakarta.

Doenges M.E. at all, 1993. Rencana Asuhan Keperwatan. Edisi 3. EGC. Jakarta

Hudak & Gallo, 1997. Keperawatan Kritis Edisi VI Volume I. EGC. Jakarta.

Glee Kapay





• HOME
• KEPERAWATAN
• KOMPUTER
• DOWNLOAD
• UMUM

Hemodinamik dan Central Venouse Pressure (CVP)

Jumat, 18 Juni 2010

Pendahuluan

Pemantauan hemodinamik adalah suatu pengukuran terhadap sistem kardiovaskuler yang dapat
dilakukan baik invasif atau noninvasive. Pemantauan memberikan informasi mengenai keadaan
pembuluh darah, jumlah darah dalam tubuh dan kemampuan jantung untuk memompakan darah.
Pengkajian secara noninvasif dapat dilakukan melalui pemeriksaan, salah satunya adalah
pemeriksaan vena jugularis (jugular venous pressure). Pemantauan hemodinamik secara invasif,
yaitu dengan memasukkan kateter ke dalam ke dalam pembuluh darah atau rongga tubuh
Indikasi Pemantauan Hemodinamik

a. Shock.

b. Infark Miokard Akut (AMI), yg disertai: Gagal jantung kanan/kiri, Nyeri dada yang berulang,
Hipotensi/Hipertensi.

c. Edema Paru.

d. Pasca operasi jantung.

e. Penyakit Katup Jantung.

f. Tamponade Jantung.

g. Gagal napas akut.

h. Hipertensi Pulmonal.

i. Sarana untuk memberikan cairan/resusitasi cairan, mengetahui reaksi pemberian obat.

Parameter Hemodinamik

a. Tekanan vena sentral (CVP)

b. Tekanan arteri pulmonalis

c. Tekanan kapiler arteri pulmonalis

d. Tekanan atrium kiri

e. Tekanan ventrikel kanan

f. Curah jantung
g. Tekanan arteri sistemik

Central Venouse Pressure

Link: Central Venous Catheter

http://www.scribd.com/doc/3438819/CENTRL-VENOUSE-PRESSURE-CVP#

Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan. Secara tidak
langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel kanan pada akhir
diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena sentral adalah 3-8 cmH2O atau
2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai normal CVP adalah 4 – 10 mmHg.

Tempat Penusukan Kateter

Pemasangan kateter CVP dapat dilakukan secara perkutan atau dengan cutdown melalui vena
sentral atau vena perifer, seperti vena basilika, vena sephalika, vena jugularis interna/eksterna
dan vena subklavia.

Gelombang CVP

Gelombang CVP terdiri dari, gelombang:

a= kontraksi atrium kanan

c= dari kontraksi ventrikel kanan

x= enggambarkan relaksasi atrium triskuspid

v= penutupan katup trikuspid

y= pembukaan katup trikuspid


Cara Pengukuran CVP

Pengukuran CVP secara nonivasif dapat dilakukan dengan cara mengukur tekanan vena
jugularis. Secara invasif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) memasang kateter CVP yang
ditempatkan pada vena kava superior atau atrium kanan, teknik pengukuran dptemnggunakan
manometer air atau transduser, 2) Melalui bagian proksimal kateter arteri pulmonalis .
Pengukuran ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan sistem transduser.

Tekanan Vena Jugularis

Pasien dalam posisi berbaring setengah duduk,kemudian perhatikan; 1) denyut vena jugularis
interna, denyut ini tidak bisa diraba tetapi bisa dilihat. Akan tampak gel a (kontraksi atrium), c
(awal kontraksi ventrikel-katup trikuspid menutup), gel v (pengisian atrium-katup trikuspid
masih menutup), 2) normal,pengembungan vena setinggi manubrium sterni, 3) ila lebih tinggi
bearti tekanan hidrostatik atrium kanan meningkat, misal pada gagal jantung kanan . Menurut
Kadir A (2007), dalam keadaan normal vena jugularis tidak pernah membesar, bila tekanan
atrium kanan (CVP) naik sampai 10 mmHg vena jugulais akan mulai membesar. Tinggi CVP=
reference point tinggi atrium kanan ke angulus ludovici ditambah garis tegak lurus, jadi CPV= 5
+ n cmH2O.

Pemantauan CVP dengan Manometer

Persiapan untuk pemasangan

a. Persiapan pasien

Memberikan penjelasan pd klien dan lg ttg:

– tujuan pemasangan,

– daerah pemasangan, &

– prosedur yang akan dikerjakan

b. Persiapan alat
– Kateter CVP

– Set CVP

– Spuit 2,5 cc

– Antiseptik

– Obat anaestesi lokal

– Sarung tangan steril

– Bengkok

– Cairan NaCl 0,9% (25 ml)

– Plester

Persiapan untuk Pengukuran

a. Persiapan Alat

– Skala pegnukur

– Selang penghubung (manometer line)

– Standar infus

– Three way stopcock

– Pipa U

– Set infus

b. Cara Merangkai

– Menghubungkan set infus dg cairan NaCl 0,9%

– Mengeluarkan udara dari selang infuse

– Menghubungkan skala pengukuran dengan threeway stopcock

– Menghubungkan three way stopcock dengan selang infuse


– Menghubungkan manometer line dengan three way stopcock

– Mengeluarkan udara dari manometer line

– Mengisi cairan ke skala pengukur sampai 25 cmH2O

– Menghubungkan manometer line dengan kateter yang sudah terpasang

c. Cara Pengukuran

– Memberikan penjelasan kepada pasien

– Megatur posisi pasien

– Lavelling, adalah mensejajarkan letak jantung (atrium kanan) dengan skala pengukur atau
tansduser

– Letak jantung dapat ditentukan dg cara membuat garis pertemuan antara sela iga ke empat (ICS
IV) dengan garis pertengahan aksila

– Menentukan nilai CVP, dengan memperhatikan undulasi pada manometer dan nilai dibaca
pada akhir ekspirasi

– Membereskan alat-alat

– Memberitahu pasien bahwa tindakan telah selesai

Pemantauan dengan Transduser

Dilakukan pada CVP, arteri pulmonal, kapiler arteri pulmonal, dan tekanan darah arteri sistemik.

a. Persiapan pasien

– Memberikan penjelasan ttg: tujuan pemasangan, daerah pemasangan, dan prosedur yang akan
dikerjakan

– Mengatur posisi pasien sesuai dengan daerah pemasangan


b. Persiapan untuk penusukan

– Kateter sesuai kebutuhan

– Set instrumen steril untuk tindakan invasif

– Sarung tangan steril

– Antiseptik

– Obat anestesi lokal

– Spuit 2,5 cc

– Spuit 5 cc/10 cc

– Bengkok

– Plester

c. Persiapan untuk pemantauan

– Monitor

– Tranduser

– Alat flush

– Kantong tekanan

– Cairan NaCl 0,9% (1 kolf)

– Heparin

– Manometer line

– Spuit 1 cc

– Three way stopcock

– Penyanggah tranduser/standar infus

– Pipa U
– Infus set

d. Cara Merangkai

– Mengambil heparin sebanyak 500 unit kemudian memasukkannya ke dalam cairan infuse

– Menghubungkan cairan tsb dg infuse

– Mengeluarkan udara dari selang infuse

– Memasang cairan infus pada kantong tekanan

– Menghubungkan tranduser dg alat infuse

– Memasang threeway stopcock dg alat flush

– Menghubungkan bagian distal selang infus dengan alat flush

– Menghubungkan manometer dg threeway stopcock

– Mengeluarkan udara dari seluruh sistem alat pemantauan (untuk memudahkan beri sedikit
tekanan pada kantong tekanan)

– Memompa kantong tekanan sampai 300 mmHg

– Menghubungkan kabel transduser dengan monitor

– Menghubungkan manometer dengan kateter yang sudah terpasang

– Melakukan kalibrasi alat sebelumpengukuran

e. Cara Kalibrasi

– Lavelling

– Menutup threeaway ke arah pasien dan membuka threeway ke arah udara

– Mengeluarkan cairan ke udara

– Menekan tombol kalibrasi sampai pada monitor terlihat angka nol

– Membuka threeway kearah klien dan menutup ke arah udara

– Memastikan gelombang dan nilai tekanan terbaca dengan baik


Peranan Perawat

1. Sebelum Pemasangan

– Mempersiapkan alat untuk penusukan dan alat-alat untuk pemantauan

– Mempersiapkan pasien; memberikan penjelasan, tujuan pemantauan, dan mengatur posisi


sesuai dg daerah pemasangan

2. Saat Pemasangan

– Memelihara alat-alat selalu steril

– Memantau tanda dan gejala komplikasi yg dpt terjadi pada saat pemasangan spt gg irama jtg,
perdarahan

– Membuat klien merasa nyaman dan aman selama prosedurdilakukan

3. Setelah Pemasangan

– Mendapatkan nilai yang akurat dengan cara: 1) melakukan Zero Balance: menentukan titik
nol/letak atrium, yaitu pertemuan antara garis ICS IV dengan midaksila, 2) Zero balance:
dilakukan pd setiap pergantian dinas , atau gelombang tidak sesuai dg kondisi klien, 3)
melakukan kalibrasi untuk mengetahui fungsi monitor/transduser, setiap shift, ragu terhadap
gelombang.

– Mengkorelasikan nilai yg terlihat pada monitor dengan keadaan klinis klien.

– Mencatat nilai tekanan dan kecenderungan perubahan hemodinamik.

– Memantau perubahan hemodinamik setelah pemberian obat-obatan.

– Mencegah terjadi komplikasi & mengetahui gejala & tanda komplikasi (spt. Emboli udara,
balon pecah, aritmia, kelebihan cairan,hematom, infeksi,penumotorak, rupture arteri pulmonalis,
& infark pulmonal).

– Memberikan rasa nyaman dan aman pada klien.

– Memastikan letak alat2 yang terpasang pada posisi yang tepat dan cara memantau gelombang
tekanan pada monitor dan melakukan pemeriksaan foto toraks (CVP, Swan gans).

Oleh: Ns. Lukman,SKep,MM

Sumber:

Rokhaeni H. (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, Jakarta: Bidang Diklat RS Jantung
Harapan Kita

Altman: Nursing Skills

Kadir A. (2007). Sirkulasi Cairan Tubuh:FK UKWS

Sutanto M. (2004). Hemodinamik

KEPERAWATAN CABG

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
CORONARY ARTERY BYPASS GRAFT (CABG)

1. Definisi
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu penanganan intervensi dari
Penyakit Jantung Koroner (PJK), dengan cara membuat saluran baru melewati arteri koroner
yang mengalami penyempitan atau penyumbatan (Feriyawati, 2005)

2. Indikasi
a. Angina yang tidak dapat dikontrol dengan terapi medis.
b. Angina yang tidak stabil
c. Sumbatan yang tidak dapat ditangani dengan terapi PTCA (Percutaneous Transluminal
Coronary Angioplasty).
d. Sumbatan/ Stenosis arteri koroner kiri ≥ 70%
e. Klien dengan komplikasi kegagalan PTCA
f. Pasien dengan sumbatan 3 pembuluh darah arteri (three vessel disease) dengan angina stabil
atau tidak stabil dan pada klien dengan 2 sumbatan pembuluh darah dengan angina stabil atau
tidak stabil dan lesi proksimal LAD yang berat.

3. Kontra indikasi
Sumbatan pada arteri < 70% sebab jika sumbatan pada arteri koroner kurang dari 70% maka
aliran darah tersebut masih cukup banyak, sehingga mencegah aliran darah yang adekuat pada
pintasan. Akibatnya, akan terjadi bekuan pada CABG, sehingga hasil operasi menjadi sia-sia
(Muttaqin, 2009).

4. Komplikasi CABG
a. Posperfusion sindrom. Kerusakan sementara pada neurokognitif, namun penelitian terbaru
menunjukkan bahwa penurunan kognitif tidak disebabkan oleh CABG tetapi lebih merupakan
konsekuensi dari penyakit vaskuler
b. Non union pada sternum
c. Infark miokard akibat emboli, hipoperfusi atau kegagalan cangkok
d. Stenosis pada cangkokan terutama yang menggunakan vena saphena akibat aterosklerosis
sehingga menyebabkan angina atau infark miokard
e. Gagal renal akut akibat emboli atau hipoperfusi.
f. Stroke sekunder terhadap emboli atau hipoperfusi

5. Prosedur pelaksanaan CABG


a. Persiapan sebelum pelaksanaan CABG.
1) Persiapan pasien:
a) Informed concern
b) Obat-obatan pra operasi: aspirin, nitrogliserin, nifedipin, diltiazem
c) Pemeriksaan laborat lengkap terutama Hb, Hematokrit, jumlah lekosit, kadar elektrolit, faal
hemotasis, foto torak,ECG terbaru serta tes fungsi paru-paru (vital capacity)
d) Persiapan darah 6-10 bag sesuai golongan darah pasien
e) Puasa malam 10-12 jam
f) Cukur area pembendahan
g) Lepaskan perhiasan, kontak lensa, mata palsu, gigi palsu (identifikasi, dan simpan yang aman
atau berikan keluraganya.
h) Cek benda-benda asing dalam mulut.
2) Persiapan alat dan bahan penunjang operasi
a) Bahan habis pakai (spuit, masker, jarum, benang dll)
b) Alat penunjang kamar operasi
c) Linen set : 3 set
d) Instrument dasar : 1 set dasar bedah jantung dewasa
e) Instrumen tambahan : 1 set tambahan bedah jantung
f) Intrumen AV graft : 1 set
g) Instrument mikrocoroner : 1 set
h) Instrument kateter : 1 set

b. Pelaksanaan CABG
1) Pemasangan CVP pada vena jugularis dekstra atau vena subklavia dekstra, arteri line dan
saturasi oksigen
2) Pasien dipindah dari ruang premedikasi ke kamar operasi
3) Pasang kateter dan kabel monitor suhu, diselipkan dibawah femur kiri pasien dan diplester
4) Pasang plate diatermi di daerah pantat /pangkal femur bawah
5) Posisi pasien terlentang, kedua tangan disamping kiri dan kanan badan dan diikat dengan duek
kecil, dibawah punggung tepat di scapula diganjal guling kecil.
6) Bagian lutut kaki diganjal guling, untuk memudahkan pengambilan graft vena
7) Menyuntikkan agen induksi untuk membuat pasien tidak sadar
8) Petugas anestesi memasang ETT memulai ventilasi mekanik.
9) Melakukan desinfeksi dengan betadin 10 % mulai dari batas dagu dibawah bibir kesamping
leher melewati mid aksila samping kanan kiri, kedua kaki sampai batas malleolus ke pangkal
paha (kedua kaki diangkat) kemudian daerah pubis dan kemaluan didesinfeksi terakhir
selnjutnya didesinfeksi dengan larutan hibitan 1% seperti urutan tersebut diatas dan dikeringkan
dengan kasa steril.
10) Dada dibuka melalui jalur median sternotomi dan operator mulai memeriksa jantung
11) Pembuluh darah yang sering digunakan untuk bypass grafting ini antara lain; arteri thoracic
internal, arteri radial, dan vena saphena. Saat dilakukan pemotongan arteri tersebut, klien diberi
heparin untuk mencegah pembekuan darah.
12) Pada operasi “off pump”, operator menggunakan alat untuk menstabilkan jantung.
13) Pada operasi “on Pump”, maka ahli bedah membuat kanul ke dalam jantung dan
menginstruksikan kepada petugas perfusionist untuk memulai cardiopulmonary bypass (CPB).
Setelah CPB terpasang, operator ditempat klem lintas aorta (aortic cross clamp) diseluruh aorta
dan mengintruksikan perfusionist untuk memasukkan cardioplegia untuk menghentikan jantung.
14) Ujung setiap pembuluh darah grefting dijahit pada arteri koronaria diluar daerah yang diblok
dan ujung alin dihubungkan pada aorta.
15) Jantung dihidupkan kembali; atau pada operasi “off pump” alat stabilisator dipisahkan. Pada
beberapa kasus, aorta didukung sebagian oleh klem C-Shaped, jantung dihidupkan kembali dan
penjahitan jaringan grafting ke aorta dilakukan sembari jantung berdenyut.
16) Protamin diberikan untuk memberikan efek heparin
17) Sternum dijahit bersamaan dan insisi dijahit kembali.
18) Pasien akan dipindahkan ke unit perawatan intensif (ICU) untuk penyembuhan. Setelah
keadaan sadar dan stabil di ICU (sekitar 1 hari), pasien bisa dipindah ke ruang rawat samapi
pasien siap untuk pulang.

6. Arteri dan vena yang dipakai sebagai cangkok (graf)/ saluran (conduit)
Internal Mammary Artery (IMA), vena saphena, arteri radialis, arteri gastroepiploic, arteri
epigastrik inferior (Sethares, 2008).
7. Saluran sintetik
Dacron tube, polytetrafluoroethylene (PTFE) tube, polyglycolic acid tube (Sethares, 2008).

8. Pengkajian pasien
a. Identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, pendidikan, diagnose medis,
tanggal dan jam MRS, tanggal dan jam pengkajian

b. Keluhan utama: nyeri dada, sesak nafas, palpitasi, pingsan

c. Riwayat penyakit sekarang: pasien mengeluh nyeri, sesak nafas,palpitasi, pingsan

d. Riwayat penyakit dahulu: kaji riwayat DM karena DM memicu aterosklerosis, menghambat


penyembuhan luka dan predisposisi infeksi. Hipertensi dan obesitas meningkatkan beban kerja
jantung. Obesitas meningkatkan resiko infeksi karena jaringan adiposa mengandung sedikit
vaskularisasi.

e. Riwayat penyakit keluarga: riwayat penyakit yang pernah diderita keluarga seperti DM,
hipertensi, penyakit jantung koroner.

f. Riwayat psikologis: pasien yang akan dilakukan CABG dapat mengalami kecemasan sampai
ketakutan akan kematian.

g. Pengkajian dan perawatan preoperasi


1) Status psikologi: cemas
2) nitrogliserin SL/ transdermal◊Status klinik: nyeri dada,
3) Riwayat penyakit dahulu: kaji riwayat DM karena DM memicu aterosklerosis, menghambat
penyembuhan luka dan predisposisi infeksi. Hipertensi dan obesitas meningkatkan beban kerja
jantung. Obesitas meningkatkan resiko infeksi karena jaringan adiposa mengandung sedikit
vaskularisasi.
4) Pemberian antibiotic profilaksis: mencegah infeksi
5) Tanda-tanda vital: tekanan darah bilateral, nadi, suhu, RR
6) Observasi adanya shivering : menggigil (Shivering) dapat jaga pasien tetap hangat
dengan◊meningkatkan pelepasan katekolamin memberi selimut
7) Thorak foto: dapat memberikan informasi mengenai ruang jantung, aorta torakal, pembuluh
darah pulmonal. Pada pasien dengan kalsifikasi aorta asendens yang luas maka dihindari
penggunaan klem pembuluh darah aorta atau cardiopulmonary bypass.
8) Ekokardiografi: untuk evaluasi fungsi ventrikel sebelum dan segera setelah operasi, untuk
mengetahui adanya tumor, thrombus atau udara yang masih ada di rongga atrium atau ventrikel
setelah intervensi bedah jantung.
9) Kateterisasi jantung: untuk mengetahui lokasi dan luasnya arteri yang menyempit/tersumbat.
10) Laboratorium: DL, profil koagulan, Faal Homeostasis, Renal Fungsi Tes, Liver Fungsi Tes.
11) Edukasi: melatih batuk efektif dan nafas dalam

h. Keperawatan intraoperasi
1) Posisi : supin,
2) Pengkajian: monitoring EKG, tanda –tanda vital, menyiapkan defibrillator. Jika jantung
fibrilasi dan tidak dapat diresusitasi maka segera dilakukan pijatan langsung pada jantung.
3) Insisi : median sternotomy. Kulit diinsisi dari sternal notch sampai ke linea alba dibawah
prosesus xipoidius.
4) Pemilihan saluran (conduit): arteri mamaria interna, vena saphena, arteri radialis, arteri
gastroepiploik, arteri epigastrik inferior.
5) Pintasan jantung paru : pada pendekatan ini kanula dimasukkan melalui atrium kanan ke vena
kava superior dan inferior untuk mengalirkan darah dari tubuh ke system pintasan. System
pompa menciptakan vakum,menarik darah ke reservoir vena; darah dibersihkan dari gelembung
udara, bekuan darah dan partikulatnya dengan filter. Darah kemudian dialirkan ke oksigenator,
melepaskan karbondioksida dan mendapat oksigen. Darah ditarik ke pompa dan kemudian
didorong ke penukar panas, dimana temperaturnya diatur, dan kemudian dikembalikan ke tubuh
melalui aorta asendens (Smeltzer, 2002).
6) Peran perawat: membantu prosedur operasi, menjaga keamanan dan kenyaman pasien. Ruang
lingkup intervensi diantaranya mengatur posisi, perawatan kulit, dukungan emosional pada
pasien dan keluarga.
7) Komplikasi intraoperatif yang mungkin terjadi: aritmia, perdarahan, infark miokard, cedera
pembuluh darah otak, emboli, syok.

i. Keperawatan post operasi


1) Pengkajian
a). Status neurologi: tingkat responsivitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, reflex,
gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan.
b). Status jantung: frekuensi dan irama jantung, CVP, curah jantung, tekanan arteri paru, PAWP,
saturasi oksigen arteri paru, drainase rongga dada, status serta fungsi pacu jantung.
c). Status respirasi: gerakan dada, suara nafas, setting ventilator (frekuensi, volume tidal,
konsentrasi oksigen, mode)
d). Status pembuluh darah perifer:denyut nadi perifer, warna kulit, dasar kuku, mukosa, bibir dan
cuping telinga, suhu, edema, kondisi balutan dan pipa invasive.
e). Fungsi ginjal: haluaran urine, berat jenis urin dan osmolaritas
f). Status cairan dan elektrolit: intake dan output, nilai laboratorium untuk kalium, natrium,
calcium
g). Nyeri: sifat, jenis, lokasi, durasi, respon terhadap analgesic. Pasien yang menjalani CABG
dengan arteri mamaria interna dapat mengalami parestesis sementara atau menetap nervus
ulnarispada sisi yang sama dengan graf yang diambil. Pasien yang menjalani CABG dengan
arteri gastroepiploik juga dapat mengalami ileus selama beberapa waktu dan akan mengalami
nyeri abdomen pada tempat insisi selain nyeri dada.

2) Pengkajian komplikasi:
a). Penurunan curah jantung: penyebabnya antara lain; gangguan preload, gangguan afterload,
gangguan frekuensi jantung, gangguan kontraktilitas.
b). Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: panatau asupan dan haluaran cairan, kadar
elektrolit
c). Gangguan pertukaran gas: indikasi gangguan pertukaran gas; gelisah, cemas, sianosis pada
selaput lendir dan jaringan perifer, takikardia, berusaha melepas ventilator. Suara nafas ronki.
d). Gangguan peredaran darah otak: hipoksia
9. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko/aktual Penurunan curah jantung berhubungan dengan; kehilangan darah dan gangguan
miokardium, gangguan preload (hipovolemia), gangguan konduksi (aritmia)
b. Ansietas berhubungan dengan rasa takut akan kematian, penurunan status kesehatan, kurang
pengetahuan terhadap tindakan CABG
c. Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan kongesti paru
d. Nyeri berhubungan dengan luka insisi
e. Resiko infeksi berhubungan dengan port de entry kuman.

10. Intervensi keperawatan


a. Resiko/aktual penurunan curah jantung berhubungan dengan; kehilangan darah dan gangguan
miokardium, gangguan preload (hipovolemia), gangguan konduksi (aritmia)
Tujuan: dalam waktu 2 X 24 jam curah jantung meningkat
Kriteria hasil: hemodinamik stabil (tekanan darah dalam batas normal (TDS 100-130, TDD 60-
90), asupan dan haluaran sesuai, nadi normal (60-100x/menit) tidak ada disritmia), produksi
urine 0,5-1 cc/kgBB/jam, CRT < 2 detik, suhu normal (36-370C), RR normal (12-20 X/menit),
drainase dada melalui selang pada 4-6 jam pertama < 300 cc.

Intervensi :
1) Catat dan pantau HR, TD, RR terutama adanya hipotensi, waspadai penurunan sistol/diastole.
Rasional: hipotensi dapat terjadi akibat kekurangan cairan, disritmia, gagal jantung/syok.

2) Pantau irama jantung, disritmia. Observasi respon pasien terhadap disritmia contoh penurunan
tekanan darah.
Rasional: letal disritmia dapat menyebabkan penurunan curah jantung

3) Observasi perubahan status mental/orientasi/gerakan reflex tubuh/ gelisah.


Rasional: dapat mengindikasikan penurunan aliran darah otak akibat penurunan curah jantung.

4) Catat suhu kulit dan kualitas nadi perifer.


Rasional: kulit hangat, merah muda dan nadi kuat adalah indikasi curah jantung adekuat.

5) Ukur dan catat asupan dan haluaran cairan


Rasional: berguna dalam menentukan kebutuhan cairan atau mengidentifikasi kelebihan cairan
yang dapat mempengaruhi curah jantung.

6) Observasi adanya infark miokard melalui pemeriksaan EKG berkala


Rasional: gejala bisa tertutup oleh tingkat kesadaran pasien dan obat anti nyeri.

7) Observasi perdarahan, drainase darah terus-menerus, CVP rendah, takikardia.


Rasional: perdaraha dapat terjadi akibat insisi jantung, trauma jaringan,gangguan pembekuan.

8) Observasi adanya gagal jantung: hipotensi, peningkatan PAWP, CVP dan tekanan atrium kiri,
takikardia, gelisah, sianosis, distensi vena, dipsnea, asites. Persiapkan pemberian diuretik dan
digitalis.
Rasional: gagal jantung yang terjadi akibat penurunan aksi pompa jantung; dapat menurunkan
perfusi ke organ vital.

b. Ansietas berhubungan dengan rasa takut akan kematian, penurunan status kesehatan, kurang
pengetahuan terhadap tindakan CABG
Tujuan: setelah 2 x 24 jam dirawat, ansietas berkurang atau hilang.
Kriteria hasil: gelisah hilang atau berkurang, klien kooperatif, mengungkapkan perasaanya pada
perawat tentang tindakan yang diprogramkan, klien dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor
yang mempengaruhinya, menyatakan cemas berkurang/hilang.

Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda dan ekspresi verbal dari kecemasan.
Rasional: cemas dapat merangsang respon simpatik dengan melepaskan katekolamin, sehingga
menyebabkan peningkatan kebutuhan jantung akan oksigen.
2) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan dan kecemasannya.
Rasional: mengungkapkan perasaan dapat mengurangi ansietas dan dapat membuat klien lebih
tenang.

3) Jelaskan kepada klien tentang prosedur tindakan CABG (pengertian, manfaat, indikasi,
persiapan, prosedur, efek samping dan resiko yang timbul apabila tidak dilakukan CABG)
Rasional: pengetahuan yang adekuat dapat mengurangi kecemasan.

4) Berikan posisi yang nyaman, lingkungan yang tenang bagi klien,


Rasional: situasi yang tenang dapat mengurangi kecemasan klien.

5) Observasi TD, nadi, RR


Rasional: peningkatan nadi dapat menjadi indikasi adanya kecemasan.

6) Beri kesempatan orang terdekat untuk mendampingi klien


Rasional: keluarga dapat membantu klien untuk mengungkapkan perasaan cemas.

c. Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan kongesti paru


Tujuan: dalam waktu 1x 24 jam setelah intervensi diberikan, gangguan pertukaran gas tidak
terjadi.
Kriteria hasil: klien melaporkan tidak adanya/ penurunan dipsnea, klien menunjukkan tidak ada
distress nafas, RR = 12-20 x/menit, nilai GDA dalam rentang normal (pH: 7,35-7,45 ; pO2= 95-
100% ; PaCO2= 35-45 mmHg)

Intervensi:
1) Auskultasi bunyi nafas, catat bunyi nafas (ronki)
Rasional: ronki dapat menjadi indikasi kongesti paru.

2) Kolaborasi pemebrian oksigen


Rasional: meningkatkan oksigen alveoli yang dapat memperbaiki atau menurunkan hipoksemia
jaringan.
3) Pantau hasil analisa gas darah, oksimetri
Rasional: hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.

4) Berikan obat sesuai indikasi: diuretik, brokodilator


Rasional: menurunkan kongesti alveoli dan meningkatkan pertukaran gas, bronkodilator
meningkatkan aliran oksigen dengan mendilatasi jalan nafas.

5) Kolaborasi pemilihan pemberian cairan.


Rasional: cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru.

d. Nyeri berhubungan dengan luka insisi


Tujuan: setelah dilakukan intervensi 3 x 24 jam nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil: skala nyeri 0-3, klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang, klien dapat rileks
dan istirahat dengan tenang. Tanda vital stabil

Intervensi:
1) Catat sifat, jenis, lokasi, dan durasi nyeri.
Rasional: nyeri dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan beban kerja jantung.

2) Bantu pasien membedakan nyeri bedah dan nyeri angina


Rasional: nyeri angina memerlukan penanganan segera.

3) Berikan posisi nyaman dan ajarkan tehnik relaksasi


Rasional: posisi memberikan rasa nyaman.

4) Pantau TTV
Rasional: HR dapat meningkat sebagai respon dari nyeri.

5) Kolaborasi pemberian analgesik


Rasional: menurunkan nyeri, menurukan ketegangan otot dan meningkatkan penyembuhan.

e. Resiko infeksi berhubungan dengan port de entry kuman.


Tujuan: infeksi tidak terjadi
Criteria hasil: luka operasi tidak berbau, tidak ada pus.

Intervensi:
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
Rasional: mencegah infeksi silang

2) Kaji daerah sekitar luka operasi, observasi adanya pus, bau


Rasional: gejala dini infeksi diketahui

3) Pantau suhu tubuh, nadi


Rasional: hipertermi dan takikardia dapat menjadi tanda infeksi

4) Kolaborasi antibiotik
Rasional: membunuh bakteri/kuman.

5) Beri nutrisi yang adekuat


Rasional: membantu meningkatkan imunitas.

12. Daftar Pustaka

Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan keperawatan; Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta. EGC

Feriyawati, L. 2005. CABG dengan Menggunakan Vena Saphenous, Arteri Mammaria Interna
dan Arteri Radialis. FK USU, diperoleh dari library.usu.ac.id/ download/ fk/ 06001193.pdf
tanggal, 12 Pebruari 2010

Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler dan Hematologi. Jakarta. Salemba Medika.

Sethares, K. 2008. Care of Patient Undergoing Cardiac Surgery dalam Moser & Riegel, Cardiac
Nursing; A Companion to Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia. Saunders, an imprint
Elsevier inc.

Smeltzer, SC & Bare, BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Edisi 8. Volume 2. Jakarta. EGC

Anonymous. CABG. www.wikipedia.com diperoleh tanggal 12 pebruari 2009

SEKEDAR PENYEGAR

Syok dan Penanggulangannya


AZ RIFKI
Lab/SMF Anestesiologi FKUA/RSUP Dr. M. Djamil, Padang

Pendahuluan

Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa mengenal gejala syok. Tidak ada tes
laboratorium yang bisa mendiagnosa syok dengan segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman
klinik tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.

Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui kemungkinan penyebab syok.
Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan langsung dengan mekanisme terjadinya trauma.
Semua jenis syok dapat terjadi pada pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena
perdarahan. Syok kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami trauma di atas
diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh trauma pada sistem saraf pusat serta medula
spinalis. Syok septik juga harus dipertimbangkan pada pasien-pasien trauma yang datang terlambat
untuk mendapatkan pertolongan.

Definisi

Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi
dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok adalah tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau tidak adekuatnya
aliran darah ke jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisa cedera.

Penyebab Syok

Tiga faktor yang dapat mempertahankan tekanan darah normal:

a. Pompa jantung. Jantung harus berkontraksi secara efisien.


b. Volume sirkulasi darah. Darah akan dipompa oleh jantung ke dalam arteri dan kapiler-kapiler
jaringan. Setelah oksigen dan zat nutrisi diambil oleh jaringan, sistem vena akan mengumpulkan
darah dari jaringan dan mengalirkan kembali ke jantung. Apabila volume sirkulasi berkurang
maka dapat terjadi syok.
c. Tahanan pembuluh darah perifer. Yang dimaksud adalah pembuluh darah kecil, yaitu arteriole-
arteriole dan kapiler-kapiler. Bila tahanan pembuluh darah perifer meningkat, artinya terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah kecil. Bila tahanan pembuluh darah perifer rendah, berarti terjadi
vasodilatasi. Rendahnya tahanan pembuluh darah perifer dapat mengakibatkan penurunan
tekanan darah. Darah akan berkumpul pada pembuluh darah yang mengalami dilatasi sehingga
aliran darah balik ke jantung menjadi berkurang dan tekanan darah akan turun.

Penyebab syok dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri): (a) Penyakit jantung iskemik, seperti
infark; (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; dan (c) Gangguan irama jantung.
b. Syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): (a) Kehilangan darah, misalnya
perdarahan; (b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar; dan (c) Dehidrasi: cairan yang masuk
kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah,
fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus).
c. Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung): (a) Tamponade jantung; (b)
Pneumotorak; dan (c) Emboli paru.
d. Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer): (a) Syok neurogenik; (b) Cedera
medula spinalis atau batang otak; (c) Syok anafilaksis; (d) Obat-obatan; (e) Syok septik; serta (f)
Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan
pembuluh darah perifer.

Tanda dan Gejala Syok

Sistem Kardiovaskuler
- Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena perifer lebih
bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
- Nadi cepat dan halus.
- Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi
sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah.
- Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
- CVP rendah.

Sistem Respirasi
- Pernapasan cepat dan dangkal.
Sistem saraf pusat
- Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai menyebabkan
hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan
sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena kesakitan.

Sistem Saluran Cerna


- Bisa terjadi mual dan muntah.

Sistem Saluran Kencing


- Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam (1/5--1
ml/kg/jam).

Penanggulangan Syok

Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi
jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung
pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal.

Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way)
harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus
terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume
peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok
neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu
pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk
mengatasi vasodilatasi perifer.

Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa
merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari dan ditanggulangi.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam menghadapi syok:

Posisi Tubuh

1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi penderita
dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan digerakkan sampai
persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang lebih parah atau
untuk memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita tidak sadar,
harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar
dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah.
Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk
menghindari terjadinya asfiksia.
4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala agak
ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya.
5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan dengan posisi
telentang datar.
6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan kaki
ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi
meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan
segera turunkan kakinya kembali.

Pertahankan Respirasi
1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas (Gudel/oropharingeal
airway).
3. Berikan oksigen 6 liter/menit
4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup (Ambu bag)
atau ETT.

Pertahankan Sirkulasi

Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi
vena, produksi urin, dan (CVP).

Cari dan Atasi Penyebab


Syok Hipovolemik

Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh karena
perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan
dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan
dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis,
dan patah tulang besar atau majemuk.

Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka bakar yang
luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat
atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat
terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi
kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis
berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.

Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami
hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada
volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu
berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan
perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui
sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan
masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi
hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.

Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali volume
intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah
maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan
produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan
kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang.

Penanggulangan

Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat larutan kristaloid atau
kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang kolaps terisi. Sementara, bila
diduga syok karena perdarahan, ambil contoh darah dan mintakan darah. Bila telah jelas ada
peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem
paru, terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.

Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus:


Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah turun > 40
mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi cairan.
Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus
dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia. Cairan diberikan
sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik,
produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine.
Dopamin 2--5 µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8--12 cmH2O),
dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas
dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.

Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung
menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui
adanya tanda-tanda syok dan dijumpainya adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas,
gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan
katub atau sekat jantung.

Masalah yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan utama pengobatan
adalah meningkatkan curah jantung.

Penanggulangan

Bila mungkin pasang CVP.

Dopamin 10--20 µg/kg/menit, meningkatkan kekuatan, dan kecepatan kontraksi jantung serta
meningkatkan aliran darah ginjal.

Syok Neurogenik

Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak
berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut,
atau nyeri hebat. Penderita merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah penderita dibaringkan,
umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan.

Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus
dicari penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya
tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau
vasokonstriksi perifer.

Penanggulangan

Pasien-pasien yang diketahui/diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia.
Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus
syok yang meragukan.

Syok Septik

Merupakan syok yang disertai adanya infeksi (sumber infeksi). Pada pasien trauma, syok septik bisa
terjadi bila pasien datang terlambat beberapa jam ke rumah sakit. Syok septik terutama terjadi pada
pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan kontaminasi rongga peritonium dengan isi usus.
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan kolaps
kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya
hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan
kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan
peningkatan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke intertisial
yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan
perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin
kuman. Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia
(takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam, tekanan darah sistolik turun dan
menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir
normal, mempunyai gejala takikaridia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi
yang melebar.

Penanggulangan
- Optimalisasi volume intravaskuler
- Pemberian antibiotik, Dopamin, dan Vasopresor

Syok Anafilaktik

Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen
tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi
dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin, dan zat vasoaktif lain.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi
hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas
kapiler menyebabkan udem. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan
ventilasi.

Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau
media kontras. Sengatan serangga seperti lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang yang rentan.

Penanggulangan

Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan
gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emerjensi dan alat
bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu
dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap.

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:

1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah
tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang
disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan
obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang
penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.

3. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg
untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai
keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2--4
ug/menit.
4. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat
ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
5. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10 mg
intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok
yang membandel.
6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid
tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan
kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya,
pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma
protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah
sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan
penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang
tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap
dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat
terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk
observasi.

Pencegahan Syok Anafilaktik

Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi ternyata
tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain:

1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi
pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai
kemungkinan reaksi sebesar 1--3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%,
bila tes kulit positif.
4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi
kegawatan.

Mempertahankan Suhu Tubuh

Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan
mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat
berbahaya.

Pemberian Cairan

1. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah, atau kejang
karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
2. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang mendapat
trauma pada perut serta kepala (otak).
3. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian
minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
4. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan
resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel.
Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
5. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah cairan yang
hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah
pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan
hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik.
Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume 3--4 kali volume
perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama
dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang
dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
6. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan.
7. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang akan
membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan
nyeri.
8. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada syok septik
biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan
pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, "Swan Ganz" kateter, dan pemeriksaan
analisa gas darah.

Kesimpulan

Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok,
mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-
saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.

Daftar Pustaka

1. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O,
ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders
Co. 1995 ; 441 - 499.
2. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for
Physicians. USA, 1993 ; 75 - 94
3. Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku: Shoemaker W
C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 - 1002.
4. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah:
Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 - September 1,
1996 ; 1 - 4.
5. Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock,
dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.
6. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care.
London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
7. Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.
8. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413

Dibacakan pada Simposium Sehari: Beberapa Aspek Klinis Pemberian Cairan Parenteral Secara
Rasional. PAPDI Cab. Padang, 18 September 1999.

Welcome To My Blog
Assalamualaikum Wr. Wb.
EDEMA PARU

9 Votes

EDEMA PARU

PENDAHULUAN

Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang
selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran
limfatik.

Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini penting
diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh
adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan
oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi
pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.

DEFINSI

Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan
intravaskular.

PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan dari bagian
dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan
sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan
dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk
menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak megandung segala sel-sel darah).

Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di


paru-paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati
oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen
dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan
kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat
tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali
dinding-dindig ini kehilangan integritasnya. Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi
dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru
sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas
(oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika menggambarkan
kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor
yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary
edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary
edema.

ETIOLOGI

I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :

A. Peningkatan tekanan kapiler paru :

1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).

2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.

3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria
pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).

B. Penurunan tekanan onkotik plasma.

1. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday,


penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.

C. Peningkatan tekanan negatif intersisial :

1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).


2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan
dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).

D. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.

1. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.

II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress


Syndrome)

A. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).

B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).

C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).

D. Aspirasi asam lambung.

E. Pneumonitis radiasi akut.

F. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).

G. Disseminated Intravascular Coagulation.

H. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.

I. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.

J. Pankreatitis Perdarahan Akut.

III. Insufisiensi Limfatik :

A. Post Lung Transplant.

B. Lymphangitic Carcinomatosis.

C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

IV. Tak diketahui/tak jelas

A. High Altitude Pulmonary Edema.

B. Neurogenic Pulmonary Edema.

C. Narcotic overdose.
D. Pulmonary embolism.

E. Eclampsia

F. Post Cardioversion.

G. Post Anesthesia.

H. Post Cardiopulmonary Bypass.

MANIFESTASI KLINIK

Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah
penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat
mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala
umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada
normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea),
kepeningan, atau kelemahan.

Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada


pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan
stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau
crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada
muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).

DIAGNOSIS

Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian keseluruhan dari gambar
klinis pasien adalah penting. Sejarah medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali
menyediakan informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab.

Pemeriksaan Fisik

• Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
• Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru,
kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme
sehingga disebut sebagai asma kardiale. Takikardia dengan S3 gallop. Murmur bila ada
kelainan katup.

Elektrokardiografi Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa
ditemukan

Laboratorium

• Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
• Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
• Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung
(CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.

Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray)
dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-
pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru
yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh
struktur-struktur tulang dari dinding dada.

X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan
putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari
pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru
dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili
pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan
informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.

Gambaran Radiologi yang ditemukan :

1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)


2. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)

Gambar 1 : Edema Intesrtitial

1. Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).
Gambar 2 : Kardiomegali dan edema paru

1. Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)


2. Edema “ butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)

Gambar 3 : Bat’s Wing

1. Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai
kelainan sebelumnya, contoh : emfisema).

Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel


(hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya
ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.

Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari dari
pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-
terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul dalam darah yang
disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari BNP nanogram
(sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi
menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada
dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai
penyebabnya.

Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan


untuk membedakan antara cardiac dan noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang
lebih rumit dan kritis. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan
tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan
melalui kamar-kamar sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau
pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-
paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-
pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.

• Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema,
• sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-
cardiogenic cause of pulmonary edema.

Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit
(ICU) setting.

DIAGNOSIS BANDING

Emboli paru, asma bronkiale.

PENATALAKSANAAN

1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk
(pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60
mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak
mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal,
suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan
Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat,
dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85
– 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama
dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
5. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
6. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau
Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.

10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.


11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel / corda tendinae.

KOMPLIKASI

Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-


komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary
edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-
paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran
oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.

PENCEGAHAN

Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari pulmonary edema,
beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka panjang dari penyakit jantung dan
serangan-serangan jantung, kenaikan yang perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau
penghindaran dari overdosis obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain,
beberapa sebab-sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS
yang disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan.

PROGNOSIS

Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi.

Diagnosis dan Pengelolaan Edema Paru Kardiogenik Akut


Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang
intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan
kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.

Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini
penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru
Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema
Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi
dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung
Kiri Khronik.

Edema Paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme yaitu :

I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :


A. Peningkatan tekanan kapiler paru :

1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).

2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel
kiri.

3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan


arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).

B. Penurunan tekanan onkotik plasma.

1. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing


enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.

C. Peningkatan tekanan negatif intersisial :

1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura

(unilateral).

2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expira-tory volume (asma).

D. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.

1. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan mau-pun klinik.

II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory


Distress Syndrome)

A. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).

B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).

C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).

D. Aspirasi asam lambung.

E. Pneumonitis radiasi akut.

F. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).

G. Disseminated Intravascular Coagulation.

H. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.


I. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.

J. Pankreatitis Perdarahan Akut. I

II. Insufisiensi Limfatik :

A. Post Lung Transplant.

B. Lymphangitic Carcinomatosis.

C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

IV. Tak diketahui/tak jelas

A. High Altitude Pulmonary Edema.

B. Neurogenic Pulmonary Edema.

C. Narcotic overdose.

D. Pulmonary embolism. E. Eclampsia.

F. Post Cardioversion.

G. Post Anesthesia.

H. Post Cardiopulmonary Bypass.

Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Untuk
pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasamya

(1). MANIFESTASI KLINIK EDEMA PARU KARDIOGENIK Manifestasi dapat dicari dari
keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi
3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.

Stadium 1.

Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada
saat inspirasi.

Stadium 2.

Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal
(garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan
lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat
takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi
takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.

Stadium 3.

Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and
Braunwald, 1988).

Edema Pam yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria,
terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah de-
ngan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan
menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan
mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-
kapiler; pada ma-nusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang kadang
penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak
parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema
secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan
lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler
paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada
cardiogenic shock lung.

Sumber : Cermin Dunia Kedokteran

Edema Paru Menyerang


Usia Lanjut
Ditulis Oleh Administrator
Friday, 18 January 2008

BERBAGAI istilah kesehatan menghiasi berita utama di sebagian besar media massa
terkait kondisi mantan presiden Soeharto,salah satunya edema paru.
Dua minggu terakhir ini mantan presiden Soeharto dirawat di rumah sakit.Kondisi awal berupa
keluhan tekanan darah tinggi dan hemoglobin turun.
(hendrati hapsari) Setelah diobservasi tim medis kepresidenan dan tim medis Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP),Pak Harto dinyatakan mengalami edema atau penimbunan cairan di seluruh
tubuh,terutama di organ paru.

Istilah edema diartikan sebagai penumpukan cairan dalam jumlah abnormal di dalam rongga
badan.Pembengkakan ini bisa menyerang bagian tubuh mana saja.

”Pembengkakan hasil akumulasi berlebihan di bawah jaringan kulit dan sebelah luar pembuluh
darah,”kata Mark Scott Noah MD,spesialis penyakit dalam dari Cedars- Sinai Medical.
Mekanisme penumpukan cairan yang disebabkan oleh masing-masing gangguan organ tidak
sama.

Di samping itu, masing-masing kumpulan cairan yang terjadi di berbagai rongga juga berbeda
istilah. Penumpukan di rongga dada disebut hidrotoraks, bila terjadi di rongga di antara jantung
dan selaput pembungkusnya disebut hidroperikardium, sedangkan bila terjadi di rongga perut
disebut hidroperitoneum.

Rongga terakhir itu lebih sering disebut asites. Adapun penumpukan cairan yang terdapat di paru-
paru disebut edema paru-paru (lung edema). Lalu bagaimana fungsi pernapasan bila para-paru
mengalami penumpukan cairan. ”Normalnya, paru-paru berisi udara untuk bernapas, tetapi pada
penderita edema di dalamnya berisi air,” tutur Ketua Dewan Asma Indonesia Prof Dr Faisal
Yunus PhD Sp P(K) FCCP ketika ditemui SINDO, baru-baru ini.

Di dalam paru-paru terdapat cabang-cabang yang disebut gelembung alveol berisi udara.Karena
paru-paru berisi cairan,udara tidak bisa lewat. Oksigen yang akan masuk menjadi terhalang.Inilah
yang menyebabkan gejala edema paru-paru adalah sesak napas. Selain gelembung alveol,
bagianparuyangrentanmengalami penimbunan cairan adalah ruang intersisial yang terletak antara
alveol dan pembuluh darah.

Sama seperti gelembung alveol bila dalam keadaan normal, tapi saat edema bagian ini berisi
cairan pula. Penyebab edema paruparu ada dua,yaitu edema paru kardiogenik dan edema paru
nonkardiogenik. Edema paru kardiogenik berarti ada kelainan pada organ jantung. Misalnya,
jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat
lagi memompa.

Jantung memompakan darah ke seluruh tubuh, selain mengirimkannya memasuki paru-


paru.Kemampuan jantung memompa untuk mencukupi kebutuhan tubuh menerima sejumlah
oksigen sekaligus membersihkan sejumlah darah lainnya di paru-paru. Jika jantung tidak optimal
memompa darah sudah berakibat sejumlah darah terhambat alirannya, sebagian tertahan di
jantung,sebagian di paru-paru.

Adapun penyebab kedua edema paru karena nonkardiogenik atau kelainan paruparu di luar
jantung. Gangguan ini disebabkan protein di dalam darah kurang dari kadar normal. Di dalam
tubuh terdapat protein di dalam darah yang disebut albumin. Albumin berfungsi mengentalkan
cairan, sehingga cairan di pembuluh darah tidak akan keluar. Kadar normal albumin di tubuh
berkisar antara 3,5-5 mg/dl.

Apabila kurang dari 3,5 mg/dl mengakibatkan cairan keluar dari pembuluh darah. Berkurangnya
albumin menyebabkan cairan encer sehingga merembes melalui pembuluh darah.Merembesnya
cairan ini bisa dilihat pada membengkaknya beberapa anggota bagian tubuh. Salah satu penyebab
kurangnya kadar protein adalah adanya kelainan ginjal. Seperti diketahui, ginjal berfungsi untuk
menyaring dengan mengeluarkan cairan dan menahan protein.

”Jika ginjalnya berlainan, protein pun turut keluar.Kondisi loss protein menyebabkan intake
protein berkurang. Selain itu, memang pasien kekurangan asupan protein dari makanan,”kata Prof
Faisal. Selain asupan protein kurang, edema paru bisa karena infeksi yang menyebabkan
gangguan permeabilitas.

Penderita pneumonia dan ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome) bisa berefek
mengeluarkan cairan. Situasi ini pun bisa memengaruhi paru. Lalu siapa saja yang berisiko
mengalami edema. Tentu saja orang-orang yang telah berusia lanjut.”Edema rentan menyerang
pada usia geriatri, yaitu sekitar 60-65 tahun karena daya tahan tubuhnya semakin menurun,” kata
profesor yang berpraktik di RS Persahabatan ini.

Segera Keluarkan Cairan

UNTUKmenangani penumpukan cairan,langkah pertama adalah mengeluarkan cairan yang tidak


semestinya berada di dalam organ tubuh. Teknik yang paling umum adalah dengan penyedotan.

Selain itu ada cara lain, seperti dieuretik, pemberian obat agar penderita mengeluarkan kencing
yang banyak.Terapi ini bertujuan agar cairan ikut terbuang. ”Pada dasarnya, penanganan edema
dengan mengetahui penyebabnya dan penanganan segera. Selama penyebabnya belum diketahui
atau tak bisa diatasi,proses penumpukan cairan akan terus berlanjut,” tutur Prof Dr Faisal Yunus
PhD Sp P(K) FCCP.

Selain terapi dieuretik, bisa juga menggunakan alat yang mampu mendorong atau menekan cairan
agar bisa keluar. Namun, Faisal menambahkan, edema bisa terulang akibat kondisi pasien, yaitu
ketahanan tubuh pasien dan kondisi organ tubuh lain.

Peluang kesembuhan edema paru-paru dipengaruhi oleh berapa jumlah dan seberapa luas paru-
paru yang tertimbun cairan. ”Kondisi terburuk pasien adalah henti napas,” katanya.

GAGAL NAFAS dan UDEMA PARU


JF Palilingan
GAGAL NAFAS
Gagal nafas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi yang terjadi di pertukaran gas
intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar paru. Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia
primer, oleh karena kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar dari O2 dan karena daerah yang mengalami hipoventilasi
dapat dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang normal. Hiperkapnia adalah proses gerakan
gas keluar masuk paru yang tidak adekuat (hipoventilasi global atau general) dan biasanya terjadi bersama dengan
hipoksemia.

Hipoksemia:
Beberapa mekanisme yang menyebabkan hipoksemia dapat bekerja secara sendiri atau
bersama-sama.

1. Tekanan partial O2 yang dihirup (PIO2) menurun. Terjadi pada tempat yang tinggi (high altitude) sebagai respons
menurunnya tekanan barometer, inhalasi gas toksik atau dekat api kebakaran yang mengkonsumsi O2.

2. Hipoventilasi. Hipoventilasi akan menyebabkan PAO2 dan PaO2 menurun. Bila pertukaran gas intrapulmonal tidak
terganggu, penurunan PaO2 sesuai dengan menurunnya PAO2.

3. Gangguan Difusi. Akibat pemisahan fisik gas dan darah (pada penyakit paru
interstisial) atau menurunnya waktu transit eritrosit sewaktu melalui kapiler.

4. Ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi/perfusi (V/Q) regional. Keadaan ini selalu menyebabkan keadaan hipoksemia
yang berarti dalam klinik. Unit paru yang ventilasinya jelek ketimbang perfusinya menyebabkan desaturasi, yang
efeknya sebagian tergantung kadar O2 darah vena. Kadar O2 vena yang menurun menyebabkan keadaan hipoksemia
menjadi lebih jelek. Penyebab terbanyak adalah keadaan yang menyebabkan ventilasi paru menurun atau obstruksi
saluran nafas, atelektasis, konsolidasi, udema kardiogenik atau nonkardiogenik). Pemberian O2 dapat memperbaiki
keadaan hipoksemia apabila penyebabnya adalah gangguan ketidakseimbangan V/Q, hipoventilasi atau gangguan
difusi oleh karena PAO2 meningkat, walaupun pada daerah yang ventilasinya jelek. Apabila penderita mendapat O2
100%, hanya daerah yang samasekali tidak mendapat ventilasi (shunt) yang menyebabkan hipoksemia.

5.Shunt. Padashunt terjadi darah vena sistemik langsung masuk kedalam sirkulasi arterial.Shunt dapat terjadi intrakardiak
yaitu pada penyakit jantung kongenital sianotikright-to-left atau di dalam paru darah melalui jalur vaskuler abnormal
(arterivena fistula). Penyebab paling sering adalah penyakit paru yang menghasilkan ketidakseimbangan V/Q,
dengan ventilasi regionalnya hampir atau samasekali tidak ada.

6. Pencampuran (admixture) darah vena desaturasi dengan darah arterial (SVO2). Keadaan ini akan menurunkan PAO2
pada penderita dengan penyakit paru dan menyebabkan gangguan di pertukaran gas intrapulmonal. Campuran
saturasi O2 vena langsung dipengaruhi oleh setiap imbalans antara konsumsi O2 dan penyampaian O2. Keadaan
anemia yang tidak dapat dikonsumsi oleh peningkatan output jantung atau output jantung yang insufisien untuk
kebutuhan metabolisme, dapat menyebabkan penurunan SVO2 dan PaO2.

Hiperkapnia.
Beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan hiperkapnia adalah:
Drive respiratori yang insufisien, defek ventilatori pump, beban kerja yang sedemikian
besar sehingga terjadi kecapaian pada otot pernafasan dan penyakit intrinsik paru dengan ketidakseimbangan V/Q
yang berat. Keadaan hiperkapnia hampir selalu
merupakan indikasi adanya insufisiensi atau gagal nafas.
PaCO2 = k X VCO2 / VA

Meningkatnya VCO2 dapat disebabkan oleh febris, kejang, agitasi atau faktor lainnya. Keadaan ini biasanya
terkompensasi dengan meningkatnya VA secara cepat. Hiperkapnia terjadi hanya apabila VA meningkatnya sedikit.

Hipoventilasi.

Hipoventilasi merupakan penyebab hiperkapnia yang paling sering. Selain meningkatnya PaCO2 juga
terdapat asidosis respirasi yasng sebanding dengan kemampuan bufer jaringan dan ginjal. Menurunnya VA, pertama
dapat disebabkan oleh karena menurunnya faktor minute ventilation (VE) yang sering disebut sebagai hipoventilasi
global atau kedua, karena meningkatnya dead space (VD). Penyebab hipoventilasi global adalah overdosis obat yang
menekan pusat pernafasan.

Dead space (VD).

Terjadi apabila daerah paru mengalami ventilasi dengan baik, tetapi perfusinya kurang, atau pada daerah
yang perfusinya baik tetapi mendapat ventilasi dengan gas yang mengandung banyak CO2 Dead space kurang
mampu untuk eliminasi CO2. Dead space yang meningkat akan menyebabkan hiperkapnia.

Penyebab Gagal Nafas.


Gagal nafas (yang menyebabkan hipoksemia dan atau hiperkapnia), dapat juga
disebabkan karena obstruksi saluran nafas, disfungsi parenkim paru dan ventilatory pump
failure. Supaya pernafasan menjadi efektif, perlu tekanan intrapleura yang negatif, dan

keadaan ini dihasilkan oleh kerja otot nafas dengan iga. Kegagalan ventilatory pump dapat disebabkan oleh
disfungsi pusat nafas, disfungsi otot nafas atau kelainan struktur dinding dada. Anatomi saluran nafas dan parenkim
parunya mungkin normal. Kifosis dan flail chest adalah contoh kelainan perubahan struktur dinding dada yang
menyebabkan kontraksi otot nafas dan pembuatan tekanan pleura menjadi inefisien.

Hipoventilasi juga dapat terjadi apabila otot inspirasi diafragma dan iga dinding toraks berkontraksi secara
asinkron (pada paralisis diafragma, kuadriplegia, stroke akut). Sebagai penyebab utama disfungsi pump pernafasan
adalah kekuatan otot yang menurun. Ketahanan serabut otot ditentukan oleh keseimbangan antara suplai nutrisi
dengan kebutuhannya. Otot pernafasan yang kekurangan nutrisi bekerjanya menjadi inefisien dan lelah.

Hiperinflasi akut yang berat juga mengurangi efisiensipump pernafasan


walaupun kekuatan masing-masing serabut otot tetap normal.
Gejala Klinis Gagal Nafas.

Gejala klinis dari gagal nafas adalah nonspesifik dan mungkin minimal, walaupun terjadi hipoksemia,
hiperkarbia dan asidemia yang berat. Tanda utama dari kecapaian pernafasan adalah penggunaan otot bantu nafas,
takipnea, takikardia, menurunnya tidal volume, pola nafas ireguler atau terengah-engah (gasping) dan gerakan
abdomen yang paradoksal.

Hipoksemia akut dapat menyebabkan berbagai masalah termasuk aritmia jantung dan koma. Terdapat
gangguan kesadaran berupa konfusi. PaO2 rendah yang kronis dapat ditoleransi oleh penderita yang mempunyai
cadangan kerja jantung yang adekuat. Hipoksia alveolar (PAO2< 60 mmHg) dapat menyebabkan vaso konstriksi
arteriolar paru dan meningkatnya resistensi vaskuler paru dalam beberapa minggu sampai berbulan-bulan,
menyebabkan hipertensi pulmonal, hipertrofi jantung kanan (kor pulmonale) dan pada akhirnya gagal jantung kanan.

Hiperkapnia dapat menyebabkan asidemia. Menurunnya pH otak yang akut

meningkatkandrive ventilasi. Dengan berjalannya waktu, kapasitas bufer di otak meningkat,


dan akhirnya
terjadi penumpulan terhadap rangsangan turunnya pH di otak dengan akibatnyadrive tersebut
akan menurun. Efek hiperkapnia akut kurang dapat ditoleransi daripada yang kronis, yaitu
berupa gangguan sensorium dan gangguan personalia yang ringan, nyeri kepala, sampai konfusi
dan narkosis. Hiperkapnia juga menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan peningkatan
tekanan intrakranial. Asidemia yang terjadi bila hebat (pH< 7,3) menyebabkan vasokonstriksi
arteriolar paru, dilatasi vaskuler sistemik, kontraktilitas miokard menurun, hiperkalemia,
hipotensi dan kepekaan jantung meningkat sehingga dapat terjadi aritmia yang mengancam
nyawa.

Diagnosis Gagal Nafas.

Analisa gas darah merupakan sarana utama untuk diagnosis gagal nafas. Pemeriksaan
tersebut perlu seringkali diulang untuk monitoring jalannya penyakit dan pengobatan. Fungsi
neuromuskular dapat dievaluasi dengan mengamati pola pernafasan dan uji fungsi paru.Driv e
pernafasan dapat dilihat dari pengamatan kecepatan pernafasan (> 30/menit), penggunaan otot
bantu nafas, gerakan abdomen paradoksal. Penghitungan fraksi dead space dan produksi CO2
dapat membantu penanganan gagal nafas.

Terapi Gagal Nafas.

Pemberian O2 yang adekuat dengan meningkatkan fraksi O2 akan memperbaiki PaO2,


sampai sekitar 60-80 mmHg cukup untuk oksigenasi jaringan dan pencegahan hipertensi
pulmonal akibat hipoksemia yang terjadi. Pemberiannya dengan FiO2< 40% menggunakan kanul
nasal atau masker. Pemberian O2 yang berlebihan akan memperberat keadaan hiperkapnia.
Menurunkan kebutuhan oksigen dengan memperbaiki dan mengobati febris, agitasi, infeksi,
sepsis dan lain-lain. Usahakan hemoglobin sekitar 10-12 g/dl.

Dapat digunakan tekanan positif seperti CPAP, BiPAP dan PEEP.


Perbaiki elektrolit, balans pH, barotrauma, infeksi dan komplikasi iatrogenik.
Atasi atau cegah terjadinya atelektasis,overload cairan, bronkospasme, sekret
trakeobronkial yang meningkat, dan infeksi.
Kortikosteroid jangan digunakan secara rutin.
Perubahan posisi dari posisi tiduran menjadi posisi tegak meningkatkan volume paru
yang ekuivalen dengan 5-12 cm H2O PEEP. Posisiprone baik untu penderita ARDS.

Drainase sekret trakeobronkial yang kental dilakukan dengan pemberian mukolitik, hidrasi
cukup, humidifikasi udara yang dihirup, perkusi, vibrasi dada dan latihan batuk yang efektif.
Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi.
Bronkodilator diberikan apabila timbul bronkospasme.
Penggunaan intubasi dan ventilator apabila terjadi asidemia, hipoksemia dan disfungsi
sirkulasi yang progresif.
UDEMA PARU / ARDS

Udema paru secara anatomi dapat dibagi menjadi dua, yaitu udema interstisial dan
udema alveolar. Normalnya, jaringan interstisial paru dapat mengakomodasi cairan sebanyak 500
ml sebelumnya timbul keluhan atau disfungsi fisiologi. Apabila cairan ekstravaskuler bertambah,
cadangan interstisial akan melimpah dan terjadilah udema alveolar. Lebih praktis adalah
membedakan antara udema hidrostatik dengan udema karena meningkatnya permeabilitas.
Udema hidrostatik, seperti pada gagal jantung, adalah akibat dari meningkatnya perbedaan
tekanan di dinding kapiler. Udema akibat meningkatnya permeabilitas merupakan akibat jejas
paru, yaitu Acute Respiratory

Distress Syndrome (ARDS). Walaupun demikian, udema yang sering terjadi adalah
akibat meningkatnya tekanan hidrostatik dan permeabilitas vaskuler.
Patogenesis Udema Paru

Patogenesis udema paru dapat dibagi menjadi dua peristiwa, yaitu berpindahnya cairan dari
rongga vaskuler kedalam interstisium dan masuknya cairan kedalam rongga alveolar. Kekuatan
yang melawan transudasi cairan (konduktivitas membran untuk air dan tekanan onkotik
kapiler) mengurang, migrasi cairan keluar dari rongga vaskuler menjadi lebih sensitif terhadap perubahan
tekanan hidrostatik kapiler. Permeabilitas membran endotel juga penting sebagai penentu pembentukan
udema. Perubahan intraseluler yaitu kadar kalsium, radikal oksigen bebas, dan eikosanoid menyebabkan
perubahan di sel endotel, yang membukajunction interseluler dan mengakibatkan cairan keluar dari
rongga vaskuler. Peristiwa perubahan dari udema interstisial menjadi udema alveolar dimulai ketika
kecepatan menumpuknya udema interstisial melebihi kapasitas normal berbagai mekanisme klirens paru,
seperti aliran limfe. Dengan pembengkakan interstisial yang cukup, barrier epitel menjadi rusak dan
terjadilah alveolar flooding.

ARDS merupakan suatu sindroma dengan distres pernafasan, hipoksemia berat, infiltrat difus
kedua paru pada foto toraks dan komplains paru yang menurun tanpa adanya gagal jantung kongestif.
Patofisiologi ARDS adalah jejas paru difus akut yang dipicu secara langsung oleh saluran nafas (aspirasi
isi lambung atau inhalasi bahan toksik) atau tidak langsung melalui sirkulasi seperti pada sepsis.

Etiologi ARDS

Beberapa kondisi yang berhubungan dengan terjadinya ARDS adalah sepsis atau sindroma
sepsis, trauma berat (transfusi masif, fraktur multipel dan kontusio paru), pneumonia berat, aspirasi isi
lambung, pankreatitis hemoragik akut, inhalasi asap atau gas toksik dan lain-lain.

Patogenesis ARDS
Pada fase awal ARDS, ditandai adanya edema paru dan hipoksemia, denudasi sel epitel,
pembengkakan sel endotel, membrane hialin dan inflamasi neutrofilia. Lavas bronkus banyak
mengandung protein serum, neutrofil, sitokin, marker inflamasi neutrofilik akut. Terdapat juga hipertensi
pulmonal dan penurunan komplains. Fase berikutnya, yaitu fase fibroproliferatif, berupa proliferasi epitel
alveoli tipe II dan sel mesenkim, angiogenesis dan resolusi inflamasi neutrofilik. Hipoksemia berlanjut
dengan komplains yang memburuk karena terjadinya hiperselularitas. Bila terjadi kesembuhan,
pertukaran gas akan membaik dan arsitektur paru menjadi normal atau mendekati normal, dengan fibrosis
interstisial dan obliterasi mikrovaskulatur. Ada 4 peristiwa yang terjadi, kerusakan sel paru, jejas oleh
sitokin tumor necrosing factor (TNF)-α,interleukin (IL)- 1β, IL-6, IL-8 (dengan apoptosis), disregulasi
vaskuler pulmonal dan fibroproliferasi.

Klinis ARDS:

Diagnosis ditegakkan dengan kombinasi anamnesis dan kelainan fisis dengan eksklusi kelainan
lainnya yang menyerupai ARDS. ARDS terjadi selama 12-48 jam dan dapat berlangsung sampai
beberapa hari, berupa dispnea, hipoksemia dengan pernafasan yang cepat dan dangkal. Pada umumnya
kebanyakan penderita membutuhkan intubasi dan ventilator.

Pemeriksaan Laboratorium untuk ARDS:

Hasil analisa gas darah abnormal. Rasio PaO2 terhadap fraksi O2 yang dihirup (FiO2) menurun
< 200. Awalnya terdapat alkalosis respirasi yang kemudian dalam perjalanan penyakit menjadi asidosis
respiratorik karena eliminasi CO2 menurun. Leukositosis atau leukopenia, anemia, thrombositopenia.
Jarang terjadidisseminated

intravascular coagulation (DIC), yang dapat terjadi pada keadaan sepsis, trauma berat
atau trauma kepala.
Gangguan faal hati dapat terjadi karena timbulnya multiple organ dysfunction
syndrome(MO DS ).

Pada foto toraks nampak infiltrat difus bilateral yang ringan atau tebal sesuai gambaran udema
paru, interstisial atau alveolar, bercak-bercak atau konfluens. Sulit untuk membedakan foto toraks antara
ARDS dan udema paru karena gagal jantung.

Diagnosis Banding ARDS:


Gagal jantung kongestif, infeksi paru yang luas dan penyebab lainnya yang berhubungan
dengan infiltrat di paru.

Menejemen ARDS:
Menejemen ARDS meliputi penanganan terhadap penyakit dasarnya, suportif
untuk sistim kardiopulmonal dan terapi spesifik untuk jejas paru.
1. Pemasangan Intubasi dan Ventilator
2. Obat-obat tidak ada yang spesifik untuk ARDS, seperti kortikosteroid, NO
inhalasi
3. Perfluorokarbon, penggunaan surfaktan aerosol, PGE1. Almitrin untuk stimulasi
Pernafasan.
4. Ketokonasol adalah obat untuk jamur yang dapat menghambat beberapa jalur
proinflamatori

5. Pengaturan cairan, dengan mereduksi volume intravaskuler menggunakan diuretika. Pengaturannya harus hati-hati
jangan sampai menurunkan output jantung dan sirkulasi ke organ perifer. Pemberian albumin intravena dapat
meningkatkan tekanan onkotik, dan diharapkan extravascular lung water (EVLW) akan menurun

6. Posisi Prone, dengan mengubah posisi telentang menjadi telungkup dapat


memperbaiki oksigenasi
KEPUSTAKAAN:
1. Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders (Fishman AP, Elias JA,
Fishman JA et al). 3rd edition. 2002
2. Manual of Clinical Problems in Pulmonary Medicine. 5th edition (Bordow RA,
Ries AL and Morris TA). 2001
3. Textbook of Respiratory Medicine. 3rd edition (Eds. Murray JF, Nadel JA,
Mason RJ and Boushey, Jr HA). 2000

Anda mungkin juga menyukai