Tentunya, Anda sudah mengerti asal-usul kata LOGIKA baik secara etimologis maupun
terminologis. Secara konseptual kita berangkat dari definisi terminologis bahwa logika
adalah “sistem penalaran tentang penyimpulan yang sah” (Bakry, 2012: 1.3). Yang perlu
diperhatikan dari definisi itu, yaitu sistem penalaran dan penyimpulan yang sah. Sebelum
memahami lebih dalam tentang penalaran dan penyimpulan, kita perlu mengenal LOGIKA
DEDUKTIF dan LOGIKA INDUKTIF. Deduktif dan Induktif dapat dibedakan dengan
melihat sifat kesimpulan yang dihasilkannya. Jika logika deduktif, maka kesimpulannya
bersifat PASTI. Sedangkan logika induktif, maka kesimpulannya bersifat MUNGKIN.
Selain itu, deduktif dan induktif dapat dibedakan dengan melihat BENTUK atau ISI
pernyataan yang digunakan. Logika deduktif dikenal dengan logika FORMAL, sebab
kepastiannya ditentukan oleh bentuk pernyataan atau struktur dari penyataan yang digunakan.
Contoh di atas secara formal dapat dijelaskan, sebagai berikut:
Semua A adalah B
Semua B adalah C
Maka, semua A adalah C.
Konsepsi logika tersebut, tidak lepas dari sejarah yang membentuknya. Secara historis ada
dua zaman yang membentuk logika, yakni: zaman Yunani dan zaman Modern. Pada zaman
Yunani, Aristoteles menjelaskan bahwa “logika adalah ilmu yang mengkaji hukum-hukum
berpikir untuk memelihara proses penalaran dari kesalahan” (Bakry: 2012: 1.30). Logika
zaman Yunani ini dikenal dengan logika TRADISIONAL atau logika ARISTOTELES yang
berpusat pada karyanya Organon. Buku Organon berisi tentang Categoriae, De
Interpretatione, Analytica Priora, Analytica Posteriora, Topica dan Sophistici Elenchi. Pada
zamannya, konsepsi logika menurut Aristoteles diikuti oleh Theoprastus, kaum Stoik,
Megaria Porphyrius, dan berkembang pada empat wilayah, yaitu: Athena, Iskandariah,
Antiokia, dan Roma. Logika zaman Yunani berakhir pada masa Boethius di Roma. Akhir
logika tradisional dikenal dengan zaman gelap (dark ages).
Pada abad XII atau zaman Modern, di wilayah Eropa Peter Abelard menghidupkan kembali
logika pada pendidikan tinggi di Kota Paris. Hidup kembali logika dengan ditemukannya
naskah-naskah kuno oleh Abelard tentang Topica karya Cicero, tentang Perihermenias
komentar Apuleus, tentang De Syllogimo Hypothetico dan De Syllogismo Categorico
komentar Boethius dan komentar tentang De Interpretatione. Masa ini disebut dengan Ars
Vetus atau Logika Tua. Kemudian, berkembang pada Ars Nova atau Logika Baru, Logika
kaum Scholastik, logika golongan Port Royal hingga logika simbolik. Logika SIMBOLIK
pada abad IX dipelopori oleh Leibniz dengan idenya tentang ars combinatoria. Logika
simbolik ditujukan untuk menjelaskan logika sebagai ilmu pasti. Setiap pengertian,
pernyataan, dan hubungan digantikan dengan simbol-simbol. Logika simbolik dikembangkan
pertama oleh George Boole dan Augustus de Morgan dalam bukunya The Mathematical
Analysis of Logic (1847) tentang logika formal. Kemudian, John Venn menulis tentang
Symbolic Logic (1881). Dalam perkembangannya logika terus berkembang pada pembahasan
logika simbolik.
Sumber bacaan:
Noor Muhsin Bakri dan Sonjoruri Budiani Trisakti. Logika. Ed. V. Jakarta: Universitas
Terbuka, 2012, hal. 1.1-1.11 dan 1.30-1.46.
Terima kasih.
Selamat membaca dan berdiskusi!
Salam studi,
Ahmad Ali Nurdin
INISIASI 2
DASAR-DASAR PENALARAN LOGIS
IDE
Contoh
Lihat paper yang berjudul Konflik Agama, Islam dan Multikulturalisme
(https://multikulturalui.files.wordpress.com/2013/05/prosiding-simg-ui-2012-
jilid-2-04.pdf)
Ide bawaan : Keadilan
Ide tiruan : Kebebasan manusia
Ide adventif : Integrasi sosial di negara Indonesia
Contoh Konsep
“Kebebasan dapat ditemukan dengan mewujudkan keadilan.”
(Lihat paper di https://multikulturalui.files.wordpress.com/2013/05/prosiding-
simg-ui-2012-jilid-2-04.pdf)
Untuk mengungkapkan konsep itu secara lahiriah disebut "TERM". Term terdiri
dari "kata". Jika terdiri dari satu kata disebut term sederhana, dan jika terdiri dari
lebih dari satu kata disebut term kompleks. Contohnya, baju (term sederhana) dan
kampus terpadu (term kompleks).
Contoh
Term sederhana : Kebebasan
Term kompleks : Integrasi sosial
MACAM-MACAM TERM
Term dapat dipahami dari pengertian sebuah kata, yang terdiri dari: KONOTASI
dan DENOTASI. Konotasi menjelaskan tentang "isi pengertian" dari kata. Misalnya,
kutu buku adalah orang yang tekun membaca buku. Sedang, denotasi menjelaskan
"luas pengertian" dari kata. Misalnya, kutu buku adalah binatang kutu yang berasal
dan hidup berkembang di dalam buku. Denotasi berkaitan dengan himpunan, sebab
menunjukkan adanya satu kesatuan. Kutu buku adalah satu kesatuan kata yang
memiliki pengertian. Hubungan konotasi dan denotasi berbentuk berbalikan, jika
yang satu bertambah, maka yang lain akan berkurang. Sebab itu, ada empat
kemungkinan hubungan antara keduanya. Selain itu, berkaitan dengan cara berada
dan cara menerangkannya, term dibedakan menjadi empat macam kemungkinan.
Yaitu, (1) term berdasarkan konotasi, (2) term berdasarkan denotasi, (3) term
berdasarkan predikamen dan (4) term berdasarkan predikabel.
Contoh
(1) term konotasi : Musuh dalam selimut
(2) term denotasi : Orang dekat yang berkhianat diam-diam
(3) term predikamen : Adanya Tuhan; adanya manusia
(4) term predikabel : Konflik agama
PRINSIP PENALARAN
Pada inisiasi 1 telah disebut istilah PENALARAN. Setelah memahami ide, konsep
dan term sebagai dasar-dasar penalaran logis, logika dapat dipahami secara definitif
adalah "sistem penalaran tentang penyimpulan yang sah". Sebagai sistem penalaran,
logika tentunya memiliki kaidah-kaidah (hukum) yang harus dipatuhi dan diakui
sebagai legitimasi dan komitmen berpikir. Kaidah yang diakui atau paling dasar
disebut "prinsip penalaran". Kepatuhan dan pengakuan prinsip penalaran
didasarkan pada "prinsip dasar", yakni suatu pernyataan yang mengandung
kebenaran universal. Menurut Aristoteles, ada tiga prinsip dasar penalaran dan
ditambah satu prinsip dasar oleh Leibniz, sehingga ada empat prinsip dasar
penalaran. Yakni, (1) prinsip identitas, (2) prinsip nonkontradiksi, (3) prinsip
eksklusi tertuii dan (4) prinsip cukup alasan.
Contoh
(1) prinsip identitas : Allah adalah Pencipta
(2) prinsip nonkontradiksi : Konflik disebabkan oleh tiada dialog di dalam
perbedaan
(3) prinsip eksklusi tertuii : Konflik agama, karena konflik antarumat beragama
(4) prinsip cukup alasan : Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta
dan seisinya.
SESATPIKIR
Berikut ini adalah beberapa jenis fallacy dari jenis “Kesesatan Relevansi” (Kesesatan
Material) yang sering dilakukan oleh kaum sofis sejak masa Yunani kuno:
Contoh: “Semua yang menentang hukuman mati para terpidana narkoba berarti
adalah pelaku atau pendukung kejahatan narkoba. Saya melihat sendiri dengan
mata kepala saya bahwa tetangga saya kemarin begitu ngotot menentang hukuman
mati bagi pengedar narkoba, eh, ternyata seminggu kemudian ia tertangkap polisi
karena mengedarkan narkoba.”
Pembuktian Sesat Pikir: Satu-dua kasus yang terjadi terkait pengalaman pribadi kita
dalam satu lingkungan tertentu tidak bisa dengan serta merta dapat ditarik menjadi
satu kesimpulan umum yang berlaku di semua tempat.
2. Argumentum ad Hominem Tipe I (Abuse): Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi
ketika argumentasi yang diajukan tidak tertuju pada persoalan yang sesungguhnya,
tetapi justru menyerang pribadi yang menjadi lawan bicara.
Contoh: Saya tidak ingin berdiskusi dengan Anda, karena Anda seorang anak kecil
yang bodoh dan tidak tahu apa-apa.
Contoh 3: “Saya tidak setuju dengan apa yang dikatakan olehnya terkait dengan
agama Islam, karena ia bukan orang Islam.”
4. Argumentum Auctoritatis: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika nilai
penalaran ditentukan semata oleh keahlian atau kewibawaan orang yang
mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya
karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena
keahliannya.
Contoh: “Saya meyakini bahwa pendapat dosen itu benar karena ia seorang guru
besar.”
Pembuktian Sesat Pikir: Kebenaran suatu pendapat bukan tergantung pada siapa
yang mengucapkannya, meski ia seorang guru besar sekalipun, tetapi karena
ketepatan silogisme yang digunakan berdasarkan aturan logika tertentu dan atau
berdasarkan verifikasi terhadap fakta atau teor ilmiah yang ada.
5. Kesesatan Non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc): Ini adalah jenis
sesat pikir yang terjadi ketika terjadi kekeliruan penarikan kesimpulan berdasarkan
sebab-akibat. Orang yang mengalami sesat pikir jenis ini biasanya keliru
menganggap satu sebab sebagai penyebab sesungguhnya suatu kejadian
berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung
berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa
kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama–padahal urutan
waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Contoh: Anda membuat surat untuk seseorang yang anda cintai dengan
menggunakan pulpen A, dan ternyata cinta Anda diterima. Kemudian pulpen A itu
anda gunakan untuk ujian, dan Anda lulus. “Ini bukan sembarang pulpen!” kata
anda. “Pulpen ini mengandung keberuntungan.”
Pembuktian Sesat Pikir: Cinta Anda diterima oleh sebab orang yang Anda cintai
juga menerima cinta Anda, bukan karena pena yang Anda gunakanuntuk menulis
surat cinta. Anda lulus ujian, bukan karena pena yang Anda gunakan mengandung
keberuntungan, tetapi karena Anda menguasai dengan baik materi yang diujikan
dan dapat menjawab dengan benar sebagian besar materi ujian dengan tepat waktu.
6. Argumentum ad Baculum: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen
yang diajukan berupa ancaman dan desakan terhadap lawan bicara agar menerima
suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak akan berdampak negatif
terhadap dirinya
Contoh: “Jika Anda tidak mengakui kebenaran apa yang saya katakan, maka Anda
akan terkena azab Tuhan. Karena yang saya ungkapkan ini bersumber dari ayat-
ayat suci dari agama yang kita yakini.”
Pembuktian Sesat Pikir: Tuhan tidak mengazab seseorang hanya karena orang itu
tidak menyetujui pendapat Anda atau tafsir Anda terhadap ayat-ayat kitab suci.
7. Argumentum ad Misericordiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika
argumen sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara
dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan atau keinginan tertentu.
Contoh: “Hukuman mati terhadap pengedar narkoba itu harus dilakukan, karena
alangkah sedihnya perasaan mereka yang keluarganya menjadi korban narkoba.
Betapa beratnya hidup yang harus ditanggung oleh keluarga korban narkoba untuk
menyembuhkan dan merawat korban narkoba, belum lagi bila keluarga mereka
yang kecanduan narkoba itu meninggal. Betapa hancur hati mereka. Karena itu
hukuman mati bagi pengedar narkoba itu adalah hukuman yang sudah
semestinya.”
Pembuktian Sesat Pikir: Hukuman mati bagi penjahat narkoba itu tidak dijatuhkan
berdasarkan penderitaan keluarga korban, tetapi karena pelaku tersebut terbukti
melanggar perundangan-undangan yang berlaku di dalam satu proses pengadilan
yang sah, bersih, dan adil.
8. Argumentum ad Ignorantiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika
seseorang memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada oleh sebab kita tidak
mengetahui apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya.
Contoh: “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tak ada gunanya, karena sampai
sekarang korupsi masih terus terjadi.”
Pembuktian Sesat Pikir: KPK dibutuhkan bukan ketika korupsi sudah berhasil
diberantas, tetapi justru saat korupsi masih merajalela di tingkat aparat penegak
hukum lainnya (mafia peradilan), aparat birokrasi, dan pejabat politik.
Sumber bacaan:
1. http://plato.stanford.edu/entries/descartes-ideas/#thoughts
2. Hayon, Y.P., Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus dan Teratur. Cet. II.
Jakarta: ISTN, 2001, h. 29-32.
3. Noor Muhsin Bakri dan Sonjoruri Budiani Trisakti. Logika. Ed. V. Jakarta:
Universitas Terbuka, 2012, hal. 2.3-2.26 dan 2.32-2.40.
4. https://multikulturalui.files.wordpress.com/2013/05/prosiding-simg-ui-2012-
jilid-2-04.pdf
5. http://www.teraslampung.com/falacy-atau-sesat-pikir-dalam-logika/
Terima kasih.
Selamat membaca dan berdiskusi!
INISIASI 3
ANALISIS DAN DEFINISI
Sebagai lanjutan dari pembahasan dasar-dasar penalaran logis, di dalam Inisiasi 3 ini, materi
yang dibahas adalah Analisis dan Definisi. Materi ini mengkaji tentang:
1. Analisis atau Pembagian
2. Klasifikasi atau Penggolongan
3. Definisi atau Penjelasan
Analisis logis didasarkan pada prinsip tertentu, yang terbagi menjadi 2: Analisis universal
dan Analisis dikotomi. Analisis universal dilakukan atas dasar prinsip pembagian dari genus
ke spesies atau prinsip deduktif (dari umum ke khusus) untuk konsep yang sederhana.
Analisis dikotomi dilakukan atas dasar prinsip eksklusi tertii (hanya ada term positif dan term
negatif) pada konsep yang sederhana atau kompleks. Analisis dikotomi yang dilakukan pada
prinsip pembagian genus ke spesies menghasilkan analisis yang sederhana, lengkap, tegas
dan pasti, yang disebut "sistem Analisis".
Contoh
Analisis universal : Indonesia terdiri dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa
Tenggara, dan Papua.
Analisis dikotomi : Perilaku manusia terdiri dari baik dan buruk.
Analisis realis didasarkan pada sifat perwujudannya, yang terbagi menjadi 2: Analisis
esensial dan Analisis aksidental. Analisis esensial dilakukan dengan bagian dasar yang
mewujudkannya. Analisis aksidental dilakukan atas dasar sifat-sifat yang menyertai
wujudnya.
Contoh
Analisis esensial : Air terdiri dari unsur hydrogen dan oksigen
Analisis aksidental : Mobil dibagi berdasakan merk, yaitu Toyota, Honda, dan Audi.
Dari praksis Analisis, tampak bahwa Analisis dilakukan atas aturan-aturan tertentu yang
disebut "hukum Analisis", yaitu:
1. Analisis harus dilakukan menurut asas tunggal atau prinsip yang sama.
2. Analisis harus lengkap dan tuntas.
3. Analisis harus jelas terpisah antar-bagiannya.
Analisis bersifat rasional dan deduktif.
Di dalam spesies, ada 3 tingkatan: spesies tertinggi, spesies perantara dan spesies terbawah.
(1) Diferensia dibagi 2: diferensia generik dan diferensia spesifik.
Contoh
Diferensia generik : Substansi material, tubuh berjiwa, organisme berperasa.
Diferensia spesifik : Hewan berakal budai dan hewan menyalak.
(2) Proprium dibagi 2: proprium generik dan proprium spesifik.
Contoh
Proprium generik : Sifat dapat mati pada organisme (benda hidup)
Proprium spesifik : Sifat berpolitik pada manusia karena berakal budi.
(3) Aksiden dibagi 2 macam: aksiden predikamental dan aksiden predikabel.
Contoh
Aksiden prekamental : Sifat (cara berada) terpelajar pada manusia.
Aksiden predikabel : Sifat (tidak mutlak) berambut pirang pada manusia.
Dengan bahasan Analisis dan Klasifikasi tersebut, jelas bahwa keduanya merupakan
pembagian atau penggolongan logis, bukan fisik, karena apabila keseluruhan dibagi-bagi
maka bagian-bagiannya tetap mempunyai hubungan dengan keseluruhan.
Misalnya, jika komputer dilepas-lepas ke bagian-bagiannya: hard disk, DVD room,
motherboard, monitor, mouse, dan keyboard, maka tidak bisa dikatakan bahwa hard disk
adalah komputer atau keyboard adalah komputer.
Ada 3 macam Definisi: Definisi nominal, Definisi realis, dan Definisi praktis.
"Definisi nominal" dirumuskan atas dasar kata-kata, yang terbagi 6 macam: Definisi sinonim
(persamaan kata), Definisi simbolik (persamaan kata berbentuk simbol), Definisi etimologi
(asal usul kata), Definisi semantik (arti yang terkenal), Definisi stipulatif (kesepakatan
bersama), dan Definisi denotatif (menunjukkan).
Definisi denotatif dibagi 2 lagi: Definisi denotatif ostensif (menunjuk langsung) dan Definisi
denotatif enumeratif (menunjuk secara terperinci dan lengkap).
Contoh
Definisi sinonim : Pohon adalah batang hidup.
Definisi simbolik : Jika p maka q, didefinisikan non (p dan non q)
Etimologis : Logika, berasal dari logos, berarti ilmu tentang uraian pikiran.
Semantik : (=) adalah sama dengan
Stipulatif : Nama bunga, kamboja, melati dan mawar.
Denotatif ostensif : Mengambil batu kerikil, lalu mendefiniskan “inilah batu kerikil”.
Denotatif enumeratif : Propinsi di Indonesia adalah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan
seterusnya sampai Papua.
"Definisi realis" dirumuskan atas dasar realitas (sesungguhnya), yang terbagi 2 macam:
Definisi esensial (hakikat atau esensi dari realitas), yang dibedakan menjadi 2: Definisi
analitik (esensial fisik) dan Definisi konotatif (esensial metafisik);
dan Definisi deskriptif (sifat yang melekat pada realitas), yang dibedakan menjadi 2: Definisi
aksidental (sifat khusus dari realitas) dan Definisi kausal (sebab realitas terjadi) atau Definisi
genetik.
Contoh
Definisi esensial analitik : Manusia adalah jiwa dan raga.
Definisi esensial konotatif : Manusia adalah orang yang memiliki bahasa dan berpikir.
Definisi deskriptif aksidental : Manusia adalah hewan berakal
Definisi deskriptif kausal : Manusia adalah orang yang dilahirkan dari rahim perempuan.
"Definisi Praktis" dirumuskan atas dasar kegunaan atau tujuan, yang terbagi 3: Definisi
operasional (menegaskan langkah-langkah tujuan dicapai), yang dibedakan menjadi 2:
operasional kualitatif (isi dan kekuatan), dan operasional kuantitatif (banyak atau jumlah);
Definisi fungsional (menunjukkan kegunaan atau tujuannya);
dan Definisi persuasif (untuk memengaruhi orang lain).
Contoh
Definisi operasional kualitatif : Magnet adalah logam yang dapat menarik gugusan besi.
Definisi operasional kuantitatif : Panjang adalah jumlah x ukuran standar menenuhi jarak.
Definisi fungsional : Logika adalah teori tentang penyimpulan yang sah.
Definisi persuasif : Sosialisme adalah demokrasi sosial ekonomi.
Definisi yang dilakukan harus didasarkan pada syarat-syarat atau hukum Definisi, yaitu:
1. Definisi harus menyatakan ciri-ciri hakikat.
2. Definisi harus setara antara definiendum dan definiens.
3. Definis harus menghindari definiendum masuk ke dalam definiens.
4. Definisi harus dirumuskan secara afirmatif (positif), tidak boleh negatif.
5. Definisi harus dinyatakan secara singkat dan jelas, bukan rumusan kabur.
Dengan demikian, definisi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang ilmiah. Definisi
harus mampu memerlihatkan perbedaan antara konsep yang dijelaskan dengan konsep yang
lainnya, sehingga jelas batas ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Inilah penjelasan dari
Analisis, Klasifikasi dan Definisi untuk mengungkapkan Konsep secara logis.
Sumber bacaan:
Noor Muhsin Bakri dan Sonjoruri Budiani Trisakti. Logika. Ed. II. Jakarta: Universitas
Terbuka, 2012, hal. 3.1-3.47.
INISIASI 4
PROPOSISI KATEGORIS
Tepat, Inisiasi 4 merupakan penjabaran dari Term. Ingat, Term mengungkapkan konsep atau
pengertian sebuah kata. Ada term Konotatif dan term Denotatif. Pada inisiasi kali ini Term
Denotatif dijabarkan atas dasar pada "luas pengertian" dari kata. Sebab itu, term berkaitan
dengan "himpunan". Term di dalam Logika berkaitan dengan "Proposisi" dan
"Penyimpulan". Proposisi adalah suatu kalimat yang memiliki sifat khas, yakni dapat dinilai
benar atau salah. Penyimpulan adalah proses penarikan sebuah proposisi (kesimpulan) dari
satu atau dua proposisi (premis) lainnya. Proposisi dibagi menjadi 3, yaitu: Proposisi tunggal,
Proposisi kategoris, dan Proposisi Majemuk (Bakry: 2012: 1.23). Proposisi tunggal terdiri
dari sebuah pengertian. Proposisi kategoris terdiri dari dua buah pengertian, yakni: Subyek
dan predikat. Proposisi majemuk terdiri dari dua buah proposisi, yakni: Proposisi khusus dan
proposisi umum. Fokus pada inisiasi kali ini adalah Proposisi kategoris yang dijelaskan
dengan tiga pemahaman, yaitu:
1. Unsur dasar proposisi
2. Empat macam proposisi
3. Negasi proposisi kategoris
Secara teoritik, ada 6 macam proposisi kategoris, tapi menjadi 4 macam proposisi kategoris.
Sebab, arti sifat proposisi singular lebih memiliki persamaan dengan proposisi universal
daripada proposisi partikular. Misalnya, "Seorang Agung adalah mahasiswa Tuton logika";
atau Seorang Agung bukan mahasiswa Tuton logika". Seorang (bukan sebagian) term subyek
yang bersangkutan. Karena itu, disepakati oleh para ahli logika, ada 4 macam proposisi
kategoris dengan lambang A, E, I dan O, yaitu:
1. Proposisi kategoris "universal afirmatif" (A) adalah pernyataan umum yang mengakui
adanya hubungan term subyek dan term predikat. Proposisi A terbagi menjadi 2: Proposisi
"universal afirmatif ekuivalen", yang mengakui persamaan antara term subyek dan term
predikat; dan
Proposisi "universal afirmatif implikatif", yang mengakui semua term subyek adalah
bagian dari term predikat.
2. Proposisi kategoris "universal negatif" (E) adalah pernyataan umum yang mengingkari
adanya hubungan term subyek dan term predikat. Proposisi E hanya terbagi 1:
Proposisi "universal negatif eksklusif", yang mengingkari tidak ada hubungan antara term
subyek dan term predikat.
3. Proposisi kategoris "partikular afirmatif" (I) adalah pernyataan khusus yang mengakui
adanya hubungan term subyek dan term predikat. Proposisi I terbagi menjadi 2:
Proposisi "partikular afirmatif inklusif", yang mengakui sebagian term subyek adalah
bagian dari term predikat; dan
Proposisi "partikular afirmatif implikasi", yang mengakui sebagian term subyek adalah
term predikat.
4. Proposisi kategoris "partikular negatif" (O) adalah pernyataan khusus yang mengingkari
adanya hubungan term subyek dan term predikat. Proposisi O terbagi menjadi 2:
Proposisi "partikular negatif inklusif", yang mengingkari sebagian term subyek bukan
adalah bagian dari term predikat; dan
Proposisi "partikular negatif implikasi", yang mengingkari sebagian term subyek bukan
adalah term predikat. 4 macam proposisi dapat dijelaskan lewat diagram himpunan.
Demikian proposisi kategoris yang merupakan penjabaran dari Term denotatif, sehingga
Konsep menjadi sebuah penalaran yang logis.
INISIASI 5
PENYIMPULAN LANGSUNG
Tentunya, masih ingat bahwa LOGIKA didefinisikan sebagai “sistem penalaran tentang
penyimpulan yang sah” (Bakry, 2012: 1.3). Mengenai sistem penalaran sudah dijelaskan dan
dipahami pada Inisiasi-inisiasi sebelumnya. Sistem penalaran dikonstruksi oleh Prinsip dasar
penalaran, Hukum analisa, Hukum klasifikasi, Hukum definisi dan Proposisi kategoris.
Nah, Penyimpulan yang sah harus didasarkan pada sistem penalaran tersebut. Pada Inisiasi 5
dan 6 membahas mengenai penyimpulan yang sah. Apa, mengapa dan bagaimana
penyimpulan yang sah? Ada 2 bentuk penyimpulan: Penyimpulan langsung dan Penyimpulan
Tidak Langsung (Silogisme).
PENYIMPULAN LANGSUNG
Atas dasar definisi penyimpulan adalah “proses penarikan satu proposisi (kesimpulan) dari
satu atau dua proposisi lain (premis)” [Bakry, 2012: 5.2], maka “Penyimpulan langsung”
dapat didefinisikan sebagai “suatu proses penarikan langsung kesimpulan dari satu proposisi
(premis) saja atas dasar pembandingan term subyek dan term predikat-nya”.
Misalnya,
Premis: “Semua mahasiswa UT mengakui bhineka tunggal ika”.
Kesimpulan: “Tidak ada mahasiswa UT yang tidak mengakui bhineka tunggal ika”.
Mengapa penyimpulan langsung itu sah? Karena, Penyimpulan langsung didasarkan pada
pembandingan term subyek dan term predikat dalam 3 bentuk: Penalaran oposisi,
Penyimpulan sederhana dan Penalaran Eduksi.
PENALARAN OPOSISI
Oposisia dalah “pertentangan antara dua proposisi yang memiliki term subyek dan term
predikat yang sama, tapi berbeda kuantitas dan/atau kualitasnya”. Oposisi terjadi dalam
bentuk hubungan logis, bukan fisik. Sebagai bentuk Penyimpulan langsung, dalam penalaran
oposisi bisa ditentukan nilai benar dari sebuah proposisi (kesimpulan) jika proposisi lain
(premis) telah terbukti benar atau salah.
Bukti benar atau salah tentang proposisi itu berhubungan dengan isi dan harus sesuai dengan
teori korespondensi (proposisi dan kenyataan) atau teori koherensi (proposisi dan hasil
persetujuan bersama) [Bakry, 2012: 4.4].
Dari evaluasi inisiasi 4, perlu disadari bahwa penalaran oposisi berbeda dengan negasi
(pengingkaran).
PENALARAN SEDERHANA
Penyimpulan langsung dapat dilakukan dalam bentuk Penalaran sederhana dengan 3 macam:
1. Negasi kontradiksi
Bentuk penyimpulan dari negasi terhadap oposisi kontradiktoris. Negasi oposisi antara
proposisi A-O dan E-I, menurut beda kuantitas dan kualitasnya. Hukum nilai
kebenarannya:
a) Premis: proposisi yang satu terbukti benar. Kesimpulan: proposisi yang lain pasti
tidak salah.
b) Premis: proposisi yang satu terbukti salah. Kesimpulan: proposisi yang lain pasti tidak
benar.
Jika oposisi kontradiktoris saling bertentangan, maka negasi kontradiksi saling
menyimpulkan.
Negasi kontradiksi pada proposisi E-I yang beda kualitasnya disebut juga ekuivalen
proposisi dalam bentuk penalaran obversi.
2. Penyimpulan implikasi
Bentuk penyimpulan “jika universalitas mengingkari, maka partikularitas juga
mengingkari”. Hukum nilai kebenarannya:
a) Premis: proposisi yang satu terbukti benar. Kesimpulan: proposisi yang lain pasti
benar.
c) Premis: proposisi yang satu terbukti benar. Kesimpulan: proposisi yang lain pasti
benar.
Penyimpulan implikasi ini dalam bentuk penyimpulan subimplikasi, bukan oposisi dan
superimplikasi.
3. Penyimpulan paralel
Bentuk penyimpulan dari antara proposisi partikular, menurut beda kualitasnya. Hukum
nilai kebenaranya:
a) Premis: proposisi yang satu terbukti benar. Kesimpulan: proposisi yang lain pasti
benar.
b) Premis: proposisi yang satu terbukti salah. Kesimpulan: proposisi yang lain pasti
salah.
PENALARAN EDUKSI
Eduksi adalah bentuk penyimpulan, dengan 3 macam penalaran:
1. Konversi (menukar tempat term subyek dengan term predikat, tanpa mengubah kualitas
atau makna tetap sama). Ada 2 macam atas dasar kuantitas:
a) Konversi sama kuantitas
b) Konversi beda kuantitas
Dari konversi, ada hukum atau kaidah komutatif: “sebagian term subyek adalah term
predikat, sama dengan sebagian term predikat adalah term subyek”.
2. Inversi (menegasi term subyek dan term term predikat). Ada 2 macam atas dasar yang
diingkari:
a) Inversi penuh (term subyek dan term predikat yang diingkari)
b) Inversi sebagian (term subyek saja yang diingkari)
Dari inversi, ada hukum atau kaidah dobel negasi (negasi ganda): “non non term
predikat adalah term predikat”.
3. Kontraposisi (menukar tempat term subyek dan term predikat serta menegasikannya).
Kesimpulannya disebut kontrapositif. Ada 2 macam atas dasar yang diingkari:
a) Kontraposisi penuh (menegasikan term subyek dan term predikat atau mengingkari
keduanya)
b) Kontraposisi sebagian (menegasikan term predikat premis saja atau mengingkari term
subyek kesimpulan)
Dari penalaran eduksi, ada ekuivalen proposisi yang disebut penalaran konversi (sama
makna premis dan kesimpulan), serta inversi dan kontraposisi (sama bentuk premis dan
kesimpulan)
Dengan demikian, penyimpulan langsung merupakan salah satu penyimpulan yang sah dalam
Logika sesuai dengan sistem penalaran.
INISIASI 6
SILOGISME KATEGORIS
A B
Premis mayor (term pangkal banding) adalah “proposisi yang mengandung term predikat
pada kesimpulannya”.
Premis minor (term yang dibandingkan) adalah “proposisi yang mengandung term subyek
pada kesimpulannya”.
Ada 2 macam silogisme kategoris: Silogisme beraturan dan Silogisme tidak berarturan.
Silogisme kategoris harus mematuhi Hukum dasar penyimpulan sebagai Penyimpulan yang
sah (tepat), bukan benar atau salah.
PRINSIP-PRINSIP PENYIMPULAN
Prinsip-prinsip penyimpulan merupakan hukum dasar penyimpulan, yang terbagi 2 macam,
yang memiliki 7 hukum dasar penyimpulan, yaitu:
1. Prinsip konotasi term dalam silogisme. Atas dasar prinsip konotasi term atau prinsip
persamaan dan prinsip perbedaan, ada 3 hukum dasar penyimpulan:
a) Dua hal yang sama, jika yang satu diketahui sama dengan hal ketiga, maka yang lain
pun pasti sama.
b) Dua hal yang sama, jika sebagian yang satu termasuk dalam hal ketiga, maka sebagian
yang lain pun termasuk di dalamnya.
c) Antara dua hal, jika yang satu sama dan yang lain berbeda dengan hal ketiga, maka dua
hal itu berbeda.
2. Prinsip denotasi term dalam silogisme. Atas dasar prinsip denotasi term atau prinsip
distribusi dan prinsip distribusi negatif, ada 4 hukum dasar penyimpulan:
a) Jika sesuatu hal diakui sebagai sifat yang sama dengan keseluruhan, maka diakui pula
sebagai sifat oleh bagian-bagian dalam keseluruhan.
b) Jika sesuatu hal diakui sebagai sifat yang sama dengan bagian dari suatu keseluruhan,
maka diakui pula sebagi bagian dari keseluruhannya itu.
c) Jika sesuatu hal diakui sebagai sifat yang meliputi keseluruhan, maka meliputi pula
bagian-bagian dalam keseluruhan itu.
d) Jika sesuatu hal tidak diakui oleh keseluruhan, maka tidak diakui pula oleh bagian-
bagian dalam keseluruhan itu.
Selain, tepat, Penyimpulan juga harus pasti, dengan metode praktis penyimpulan “jika
dilukiskan dalam diagram himpunan dari hanya satu bentuk”. Sebaliknya, “jika dilukiskan
dalam diagram himpunan dari lebih satu bentuk, maka tidak pasti.
SILOGISME BERATURAN
Silogisme beraturan adalah bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi: proposisi
kesimpulan, proposisi premis mayor, dan proposisi premis minor, (serta term tengah). Ada 4
bentuk silogisme beraturan:
1. Silogisme Sub-Pre, yaitu: Bentuk silogisme, di mana term tengah sebagai term subyek
dalam premis mayor, dan sebagai term predikat dalam premis minor.
Dalam 7 hukum dasar penyimpulan, ada 13 macam silogisme Sub-Pre yang
berkesimpulan pasti.
Misalnya,
*Premis mayor : Korupsi adalah kejahatan extraordinari bagi rakyat Indonesia.
*Premis minor : Salah satu anggota DPR melakukan tindak korupsi.
*Kesimpulan : Salah satu sanggota DPR adalah penjahat extraordinari bagi rakyat
Indonesia.
2. Silogisme Bis-Pre, yaitu: Bentuk silogisme, di mana term tengah sebagai term predikat
dalam premis mayor dan minor.
Dalam 7 hukum dasar penyimpulan, ada 13 macam silogisme Bis-Pre yang berkesimpulan
pasti.
3. Silogisme Bis-Sub, yaitu: Bentuk silogisme, di mana term tengah sebagi term subyek
dalam premis mayor dan minor.
Dalam 7 hukum dasar penyimpulan, ada 13 macam silogisme Bis-Sub yang
berkesimpulan pasti.
4. Silogisme Pre-Sub, yaitu: Bentuk silogisme, di mana term tengah sebagai term predikat
dalam premis mayor, dan sebagai term subyek dalam premis minor.
Dalam 7 hukum dasar penyimpulan, ada 13 macam silogisme Pre-Sub yang
berkesimpulan pasti.
Atas dasar kuantitas itu, Sorites dibagi 2 macam: Sorites progresif (dari partikular ke
universal, kesimpulannya hubungan antara term subyek dari premis mayor dengan term
predikat dari premis minor); dan Sorites regresif (dari universal ke partikular,
kesimpulannya hubungan antara term subyek dari premis minor dengan term predikat dari
premis mayor).
Faedah praktis Sorites tampak pada penggabungkan bentuk-bentuk silogisme. Faedahnya
adalah Sorites banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, untuk mempengaruhi
orang lain, dan untuk memberikan Maklumat (perintah atau larangan).
4. Poli-silogisme, yaitu: Bentuk silogisme, di mana hubungan pada kesimpulan sebelumnya
menjadi premis pada silogisme berikutnya. Ada 2 poli-silogisme: Pro-silogisme (silogisme
yang bukan bagian akhir); dan Epi-silogisme (silogisme yang bagian akhir).
Tiap silogisme hingga silogisme akhir bisa memiliki penyimpulan yang tepat dan pasti,
jika mengikuti hukum dasar penyimpulan dan berbentuk hanya satu diagram
himpunannya.
Dengan demikian, Silogisme merupakan salah satu bentuk penyimpulan yang sah (tepat),
jika mengikuti Prinsip-prinsip penyimpulan sebagai hukum dasar penyimpulan. Selain itu,
penyimpulannya menjadi pasti, jika diagram himpunan berbentuk hanya satu saja.
INISIASI 7
PROPOSISI MAJEMUK
Ingat, pada inisiasi 4 tentang PROPOSISI KATEGORIS, telah sebutkan bahwa "proposisi
majemuk" terdiri dari dua proposisi: proposisi khusus (premis) dan proposisi umum
(kesimpulan). Proposisi majemuk dapat dipahami dengan membedakannya dari "proposisi
tunggal" dan "proposisi kategoris".
Proposisi Majemuk
Proposisi majemuk menjelaskan "kemajemukan proposisi (anteseden dan konsekuen) yang
dipadukan". Anteseden sering disebut dengan premis, dan konsekuen disebut dengan
kesimpulan. Misal, Anteseden: “UT adalah pendidikan tinggi terpopuler dan UT adalah
pendidikan yang terbuka”. Menjadi, Konsekuen: “UT adalah pendidikan tinggi terpopuler
dan terbuka”. Proposisi majemuk dibedakan menjadi 3 proposisi: Proposisi hipotesis,
Proposisi disjungtif dan Proposisi konjungtif.
Proposisi Hipotesis
Jika dalam Proposisi kategoris term Predikat diakui atau diingkari tentang term Subyek tanpa
syarat, maka dalam Proposisi hipotesis term Predikat diakui atau diingkari tentang term
Subyek dengan syarat, tidak mutlak. Sebab, Proposisi hipotesis merupakan “perpaduan
antara dua proposisi kategoris (anteseden dan konsekuen) dengan syarat tertentu”. Syaratnya
adalah “persamaan”, “persyaratan” dan “kemungkinan”, yang ada di dalam 3 macam
Proposisi hipotesis, yaitu:
1. Proposisi ekuivalen, yaitu: Perpaduan anteseden dan konsekuen, karena (syarat) keduanya
sama. Sehingga, Proposisi ekuivalen disebut juga “biimplikasi” atau “bikondisional”,
sehingga dapat dibedakan menjadi 3 macam:
a. Ekuivalen kausalitas (persamaan dalam bentuk sebab-akibat).
b. Ekuivalen definisional (persamaan dalam bentuk pembatasan arti)
c. Ekuivalne analitik (persamaan dalam bentuk penguraian arti)
2. Proposisi implikatif, yaitu: Perpaduan anteseden dan konsekuen, karena (syarat) keduanya
bersyarat. Ada 3 macam proposisi implikatif: Implikasi logis (persyaratan atas dasar
rasionalitas) dan Implikasi material (persyaratan atas dasar kandungan isi). Proposisi
Implikasi logis disebut juga implikasi imperatif, yang banyak digunakan untuk
merumuskan aturan-aturan hidup bersama.
3. Proposisi problematik. Perpaduan anteseden dan konsekuen, karena (syarat) keduanya
bersifat mungkin. Sehingga, proposisi problematik tidak dapat dijadikan aturan hidup
bersama atau pedoman.
Proposisi Disjungtif
Proposisi disjungtif merupakan "perpaduan antara anteseden dan konsekuen, karena (syarat)
adanya peng-atau-an sebagai pilihan". Ada 4 macam Proposisi disjungtif:
1. Disjungsi eksklusif, yaitu: Kedua pilihannya tidak dapat dipadukan, tapi ada kemungkinan
ketiga. Faedah praktis Disjungsi eksklusif, digunakan dalam bidang hukum (sebagai
konsekuen dari proposisi implikasi logis) dan percakapan sehari-hari.
2. Disjungsi inklusif, yaitu: Kedua pilihannya dapat dipadukan, tapi tidak ada kemungkinan
ketiga. Faedah praktis Disjungsi inklusif, digunakan dalam bidang hukum (yang dirangkai
dengan proposisi implikasi logis untuk sanksi yang tegas) dan percakapan sehari-
hari.Penggunaan praktis disjungsi, dalam bidang hukum rangkaian disjungsi inklusif
hanya dalam rangka sebagai anteseden, yang lebih dari dua pilihan dengan kata “atau”
atau “koma” (,), jarang sekali sebagai konsekuen. Hubungan disjungsi berganda,
dinyatakan dengan bentuk subhimpunan atau berbentuk proposisi universal afirmatif
implikasi. Perumusan anteseden disjungsi, dengan 3 cara atas dasar berbentuk implikasi
logis: (1) kedua komponennya didahulukan, (2) kedua komponennya ditempatkan sesudah
konsekuen, dan (3) satu komponennya berada di depan dan yang satu berada setelah
konsekuen.
3. Disjungsi alternatif, yaitu Kedua pilihannya tidak dapat dipadukan dan tidak ada
kemungkinan ketiga. Sehingga, disjungsi alternatif disebut disjungsi kontradiktif. Banyak
digunakan dalam percakapan sehari-hari, sebagai penekanan, tidak digunakan dalam
bidang hukum.
4. Disjungsi kolektif. Kedua pilihannya dapat dipadukan dan ada kemungkinan ketiga. Tidak
digunakan dalam logika (penyimpulan sah) dan jarang digunakan dalam percakapan
sehari-hari.
Proposisi Konjungtif
Proposisi konjungtif merupakan "perpaduan anteseden dan konsekuen, karena (syarat)
penyertaan". Dalam bentuk penalarannya, Proposisi konjungtif sama dengan Proposisi
partikular afirmatif inklusif. Ada 2 macam proposisi konjungtif:
1. Konjungsi disjungtif, yaitu: Penyertaan anteseden dan konsekuen dapat dikembalikan pada
bentuk peng-atau-an. Atas dasar disjungtif, ada 3 macam konjungsi: Konjungsi eksklusif
(penyertaan yang tidak bisa dipadukan, tapi ada kemungkinan ketiga), Konjungsi inklusif
(penyertaan yang dapat dipadukan, tapi tidak ada kemungkinan ketiga) dan Konjungsi
alternatif (penyertaan yang tidak bisa dipadukan dan tidak ada kemungkinan ketiga). Yang
sering digunakan dalam bidang hukum, konjungsi inklusif sebagai anteseden dari bentuk
implikasi logis.
2. Konjungsi predikatif, yaitu: Penyertaan anteseden dan konsekuen dalam bentuk penyatuan.
Konjungsi prediktif dengan kata “dan” untuk penyertaan, serta dengan kata “yang”,
“juga”, “tetapi”, dan “meskipun” untuk penyatuan.
Sistem konjungsi. Konjungsi atau sistem konjungsi bisa dilakukan dengan 3 macam dasar
penyimpulan:
(1) Berpangkal pada anteseden dan konsekuen. Sehingga, ada nilai kebenaran: “jika
anteseden dan konsekuen benar, maka proposisi konjungsi benar”, “ingkaran partikular,
berarti ingkaran universal”. Ini merupakan “hukum dasar penyimpulan konjungsi”;
(2) Berpangkal pada konjungsi. Sehingga, dalam proposisi konjungsi bisa ditarik kesimpulan
dari premis, tapi negasi konjungsi tidak bisa ditarik kesimpulan dari tiap ingkaran premis. Ini
merupakan “hukum dasar penyimpulan simplifikasi”; dan
(3) Saling menyimpulkan berpangkal pada konjungsi. Atau, dapat diganti dengan ingkaran
dari disjungsi, ingkaran premis. Ini merupakan “hukum dasar penggantian konjungsi”.
Dari proposisi majemuk (hipotesis, disjungtif dan konjungtif), dapat ditarik penyimpulannya
dalam SILOGISME MAJEMUK (silogisme hipotesis dan silogisme disjungtif). Silogisme
hipotesis, yaitu silogisme ekuivalen, silogisme kondisional dan silogisme hipotesis khusus.
Silogisme disjungtif, yaitu silogisme eksklusif, silogisme inklusif dan silogisme alternatif.
Dari silogisme majemuk itu, bisa ditentukan Sistem nilai kebenaran-nya. Sangat
disayangkan, karena keterbatasan waktu, Silogisme majemuk dan Sistem nilai kebenaran-nya
tidak bisa dijelaskan pada materi inisiasi Tuton pada kesempatan ini. Tapi, pada inisiasi 8
akan dibahas yang lebih signifikan dan praktis dari Silogisme majemuk, yaitu Pengujian
silogisme (Antisilogisme) dan Penyimpulan bercabang (Dilema).
Dengan demikian, proposisi majemuk sebagai pengembangan dari term merupakan proposisi
yang mampu menjelaskan proposisi kategoris dari sisi yang lain. Proposisi majemuk telah
memperlihatkan LOGIKA dari sisi lain, apakah sering atau tidak digunakan dalam bidang
hukum atau kehidupan sehari-hari, sehingga dalam silogisme majemuk pun terdapat
penjelasan sistem nilai kebenarannya.
INISIASI 8
ANTILOGISME DAN DILEMA
Melanjutkan dari inisiasi 7, yang lebih signifikan dan praktis atas silogisme majemuk, yaitu:
Antilogisme dan Dilema. Antilogisme dan Dilema dalam logika sebagai gelaja
penyimpangan berpikir logis.
ANTILOGISME
Antilogisme atau pengujian silogisme adalah “suatu ingkaran kesimpulan pada silogisme
majemuk yang menimbulkan ketidakselarasan antara premis dan kesimpulan”. Antilogisme
digunakan untuk menguji silogisme majemuk. Hasil antilogisme bahwa yang tepat adalah
kesimpulan semula, sebab kesimpulan yang kedua diingkari. Hukum dasar antisilogisme:
“ingkaran kesimpulan dari silogisme majemuk yang mewujudkan ketidakselarasan dengan
premisnya, maka yang tepat adalah kesimpulan semula”. Pembuktian dari antilogisme, yaitu
ke-tepat-an kesimpulannya dengan diagram himpunan.
DILEMA
Dilema atau penyimpulan bercabang adalah “penyimpulan dalam silogisme majemuk yang
lebih kompleks dengan dua proposisi implikatif sebagai premis mayor dan proposisi
disjungtif sebagai premis minor, yang mewujudkan kesimpulan yang bercabang”. Dilema
digunakan di dalam perbincangan, yang menuntut teman bicara harus mengambil kesimpulan
yang sulit atau tidak menyenangkan, untuk menuntut keadilan. Atas dasar sistem
penalarannya, ada 2 macam Dilema: Konstruktif dan Destruktif.
Misalnya,
*Premis mayor : Di Arab Saudi jika TKI yang dituduh membunuh maka dihukum mati,
dan jika TKI tidak membunuh maka dibebaskan.
*Premis minor : Siti Zaenab adalah TKI di Arab Saudi yang membunuh atau
tidak membunuh
*Kesimpulan : Siti Zaenab membunuh atau tidak membunuh dihukum mati
(karena tidak dimaafkan)
DILEMA KONSTRUKTIF
Dilema konstruktif adalah “bentuk penyimpulan bercabang dengan modus ponendo ponen
(dalam silogisme ekuivalen)”. Yaitu, menetapkan anteseden masing-masing proposisi
implikatif pada premis mayor, maka kesimpulannya menetapkan konsekuen masing-masing
proposisi itu. Ada 3 hukum dasar dilema konstruktif:
1. Jika (jika anteseden-1 maka konsekuen, dan jika anteseden-2 maka konsekuen) dan
(anteseden-1 atau anteseden-2), maka kesimpulannya (konsekuen).
2. Jika (jika anteseden-1 maka konsekuen-1, dan jika anteseden-2 maka konsekuen-2) dan
(anteseden-1 atau anteseden-2), maka kesimpulannya (konsekuen-1 atau konsekuen-2).
3. Jika (jika anteseden maka konsekuen-1, dan jika non-anteseden maka konsekuen-2) dan
(anteseden atau non-anteseden), maka kesimpulannya (konsekuen-1 atau konsekuen-2).
Bukti ke-tepat-an dilema konstruktif, dengan tabel kebenaran; dan bukti ke-benar-annya
adalah TAUTOLOGI.
DILEMA DESTRUKTIF
Dilema destruktif adalah “bentuk penyimpulan bercabang dengan modus tolendo tolen
(dalam silogisme ekuivalen)”. Yaitu, ingkari konsekuen masing-masing proposisi implikatif
pada premis mayor, maka kesimpulannya ingkari masing-maisng anteseden proposisi itu.
Ada 2 hukum dasar dilema destruktif;
1. Jika (jika anteseden maka konsekuen-1, dan jika anteseden maka konsekuen-2) dan (non-
konsekuen-1 atau non-konsekuen-2), maka kesimpulannya (non anteseden).
2. Jika (jika anteseden-1 maka konsekuen-1, dan jika anteseden-2 maka konsekuen-2) dan
(non konsekuen-1 atau non konsekuen-2), maka kesimpulannya (non anteseden-1 atau non
anteseden-2).
Bukti ke-tepat-an dilema destruktif, dengan tabel kebenaran; dan bukti ke-benar-annya
adalah TAUTOLOGI.
Untuk ingkari dilema dengan RETORSI (penyimpulan dilema yang kesimpulannya untuk
ingkari kesimpulan dilema semula).
Misalnya,
*Kesimpulan : Siti Zaenab membunuh atau tidak membunuh tidak dihukum mati
(karena tidak dimaafkan)
*Premis mayor : Di Arab Saudi jika TKI yang dituduh membunuh maka
tidak dihukum mati,
dan jika TKI membunuh maka tidak dibebaskan.
*Premis minor : Siti Zaenab adalah TKI di Arab Saudi yang membunuh atau
tidak membunuh
Dengan demikian, dari bahasan Antilogisme dan Dilema, dapat dipahami secara jelas bahwa
LOGIKA adalah sistem penalaran tentang penyimpulan yang sah (tepat) sebagai berpikir
logis dalam bidang hukum, ilmu pengetahuan ilmiah dan kehidupan sehari-hari. Sebab itu,
jika berpikir (menalar) tidak mengikuti hukum dasar penyimpulan yang sah, maka dapat
dikatakan tidak logis.