Pada dasarnya tubuh terdiri dari satuan dasar yang hidup yakni sel sel dan tiap organ
merupakan kelompok sel yang berbeda-beda yang saling menghubungkan satu sama lainnya
oleh struktur penunjang interselular. Tiap macam sel dapat beradaptasi secara khusus untuk
membentuk suatu fungsi yang khas. Sel itu juga berkemampuan untuk berkembangbiak dan
bila salah satu macam sel itu rusak oleh salah satu penyebab, maka sel-sel yang tertinggal
seringkali membagi diri lagi terus menerus sampai jumlahnya mencukupi kembali.
Mekanisme adaptasi sel :
C. ADAPTASI SEL
Betuk reaksi sel jaringan organ / system tubuh terhadap jejas :
1. retrogresif, jika terjadi proses kemunduran (degenerasi/ kembali kearah yang kurang
kompleks).
2. Progresif, berkelanjutan berjaklan terus kearah yang lebih buruk untuk penyakit)
3. Adaptasi (penyesuaian) : atropi, hipertropi, hiperplasi, metaplasi Sel-sel menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan mikronya, yaitu:
1. Atropi
o Suatu pengecilan ukuran sel bagian tubuh yang pernah berkembang sempurna dengan
ukuran normal.
2. Hipertropi
Yaitu peningkatan ukuran sel dan perubahan ini meningkatkan ukuran alat tubuh
3. Hiperplasia
Dapat disebabkan oleh adanya stimulus atau keadaan kekurangan secret atau produksi sel
terkai.
5. Metaplasia
Ialah bentuk adaptasi terjadinya perubahan sel matur jenis tertentu menjadi sel matur jenis
lain :
Misalnya sel epitel torak endoservik daerah perbatasan dgn epitel skuamosa, sel epitel
bronchus perokok.
6. Displasia
• Sel dalam proses metaplasia berkepanjangan tanpa mereda dapat melngalami ganguan
polarisasi pertumbuhan sel reserve, sehingga timbul keadaan yg disebut displasia.
• Ada 3 tahapan : ringan, sedang dan berat
7. Degenarasi
o Yaitu keadaan terjadinya perubahan biokimia intraseluler yang disertai perubahan
morfologik, akibat jejas nin fatal pada sel.
o Dalam sel jaringan terjadi :
8. Infiltrasi
Bentuk retrogresidgn penimbunan metabolit sistemik pada sel normal (tdk jika melampaui
batasmengalami jejas langsung seperti pd degenerasi) maka sel akan pecah. Dan debris el
akan ditanggulangi oleh system makrofag.
2. Cedera Letal
Bila stimulus yang menyebabkan sel cedera cukup berat dan berlangsung lama serta
melebihi kemampuan sel untuk beradaptasi maka akan menyebabkan kerusakan sel yang
bersifat ireversibel (cedera sel) yang berlanjut kepada kematian sel.
KALSIFIKASI PATOLOGIK
Kalsifikasi : proses diletakannya (pengendapan) kalsium dalam jaringan pembentukan tulang
(Kalsifikasi fisiologi)
Kalsifikasi patologi merupakan proses yg sering, juga menyatakan pengendapan abnormal
garam-garam kalsium, disertai sedikit besi, magnesium dan garam-garam mineral lainnya
dalam jaringan, tdd :
Terjadi pada :
1. Kalsifikasi metastatik
2. Kalsifikasi distropik
3. Kalsinosis
4. Pembentukan tulang heterotropik
5. Kalsifikasi pada pembuluh darah arteri
Adaptasi sel terjadi bila stress fisiologik berlebihan atau suatu rangsangan yang patologik
menyebabkan terjadinya keadaan baru yang berubah yang mempertahankan kelangsungan
hidup sel. Contohnya ialah hipertropi (pertambahan massa sel) atau atrofi (penyesutan masssa
sel). Jejas sel yang reversible menyatakan perubahan patologik yang dapat kembali, bila
rangsangannya dihilangkan atau bila penyebab jejas lemah. Jejas yang ireversibel merupakan
perubahan patologik yang menetap dan menyebabkan kematian sel.
Terdapat dua pola morfologik kematian sel yaitu nekrosis dan apoptosis. Nekrosis adalah
bentuk yang lebih umum setelah rangsang eksogen dan berwujud sebagai pembengkakan,
denaturasi dan koagulasi protein, pecahnya organel sel, dan robeknya sel. Apoptosis ditandai
oleh pemadatan kromatin dan fragmentasi, terjadinya sendiri atau dalam kelompok kecil sel,
dan berakibat dihilangkan sel yang tidak dikehendaki selama embryogenesis dan dalam
berbagai keadaan fisiologik dan patologik.
A. Jejas
Jejas = injury = rangsangan terhadap sel hingga terjadi perubahan fungsi dan bentuk sel.
Cedera menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel.
Penyebab Jejas Sel
2. Faktor fisik, termasuk trauma, pcanas, dingin, radiasi, dan renjatan listrik.
5. Reaksi imunologik
6. Kekacauan genetik
7. Ketidakseimbangan nutrisi
Mekanisme Umum
System-sistem ini terkait erat satu dengan lain sehingga jejas pada satu lokus membawa efek
sekunder yang luas. Konsekuensi jejas sel bergantung kepada jenis, lcama, dan kerasnya gen
penyebab dan juga kepada jenis, status, dan kemampuan adapatasi sel yang terkena.
Perubahan morfologi jejas sel menjadi nyata setelah beberapa system biokimia yang penting
terganggu.
Empat aspek biokimia yang penting sebagai perantara jejas dan kematian sel:
1. Radikal bebas berasal dari oksigen yang terbentuk pada banyak keadaan patologik dan
menyebabkan efek yang merusak pada struktur danfungsi sel.
2. Hilangnya homeostasis kalsium, dan meningkatnya kalsium intrasel. Iskemi dan toksin
tertentu menyebabkan masuknya ion kalsium ke dalam sel dan lepasnnya ion kalsium sistolik
mengaktifkan fosfolipase yang memecah fosfolipid membrane, protease yang menguraikan
protein membrane dan sitoskletal, ATPase yang memeprcepat pengurangan ATP, dan
endonuklease yang terkait dengan fragmnetasi kromatin.
3. Deplesi ATP, karena dibutuhkan untuk proses yang penting seperti transportasi pada
membrane, sintesis protein, dan pertukaran fosfolipid.
4. Defek permebilitas membrane. Membrane dapat dirusak langsung oleh toksin, agen fisik
dan kimia, komponen komplemen litik, dan perforin, atau secara tidak langsung seperti yang
diuraikan pada kejadian sebelumnya.
1. Jejas Reversibel
Mula-mula hipoksia menyebabkan hilangnya fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP oleh
mitikondria. Penurunan ATP (dan peningkatan AMP secara bersamaan) merangsang
fruktokinase dan fosforilasi, menyebabkan glikosis aerobic. Glikogen cepat menyusut, dan
asam laktat dan fosfat anorganik terbentuk, sehingga menurunkan pH intrasel. Pada saat ini,
terjadi penggumpalan kromatin inti.
2. Jejas Ireversibel
Jejas ini ditandai oleh vakuolisasi keras mitokondria, kerusakan membrane plasma yang luas,
pembengkakan lisosom, dan terlihatnya densitas mitokondria yang besar dan amorf. Jejas
membrane lisosm disusul oleh bocornya enzim ke dalam sitoplasma, dank arena aktivitasnya
terjadi pencernaan enzimatik komponen sel dan inti.
Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif dan tidak stabil yang berinteraksi dengan
protein, lemak, dan karbihidrat dan terlibat dalam jejas sel yang disebabkan oleh bermacam-
macam kimiawi dan biologic.
· Konversi enzimatik zat kimia eksogen atau obat (CCl4 menjadi CCl3).
· Radikal yang berasal dari oksigen adalah jenis toksik yang paling penting.
2. Jejas Kimiawi
Zat kimiawi menyebabkan jejas sel melalui 2 mekanisme:
· Secara langsung, misalnya, Hg dari merkuri klorida terikat pada grup SH protein membrane
sel, menyebabkan peningkatan permeabilitas dan inhibasi transport yang bergantung, kepada
ATPase.
B. Kematian Sel
Jika pengaruh berbahaya pada sebuah sel cukup hebat atau berlangsung cukup lama, maka sel
akan mncapai suatu titik di mana sel tidak lagi dapat mengkompensasi dan tidak dapat
melangsungkan metabolism, proses ini menjadi irevesibel, dan sel sebetulnya mati. Bila
sebuah sel atau sekelompok sel atau jaringan dalam hospes yang hidup diketahui mati,
mereka disebut nekrotik. Nekrosis merupakan kematian sel local.
Pembangkitan sel merupakan manifestasi hampir universal daripada jejas reversible pada
mikroskopi cahaya. Pada sel yang terlibat dalam metabolisme lemak, perlemakan juga
menunjukkan tanda jejas reversible.
Nekrosis merupakan perubahan morfologik yang menyusul kematian sel pada jaringan atau
organ hidup. Dua proses menyebabkan perubahan morfologik dasar pada nekrosis:
a. Denaturasi protein
Jenis Nekrosis
· Nekrosis koagulativa. Pola nekrosis iskemik yang lazim ini yang diuraikan sebelumnya,
terjadi pada miokard, ginjal, hati, dan organ lain.
· Nekrosis mencair. Terjadi bila autolisis dan heterolysis melebihi denaturasi protein. Daerah
nekrotik melunak dan terisi dengan cairan. Paling sering terlihat dalamotak infeksi bakteri
local (abses).
· Nekrosis perkijuan. Khas pada lesi tuberculosis, makrokopik terlihat sebagai bahan lunak,
rapuh dan menyerupai kiju dan secara mikroskopik sebagai bahan amorf eosinofilik dengan
debris sel.
· Nekrosis lemak. Yang dimaksudkan ialah nekrosis pada jaringan lemak, disebabkan oleh
kerja lipase (yang berasal dari sel pancreas rusak atau makrofag) yang mengkatalisis
dekomposisi trigliserid menjadi asam lemak, yang kemudian bereaksi dengan kalsium
membentuk sabun kalsium. Secara histologik lemak nekrotik menunjukkan baying-bayang
sel dan bintik-bintik basofilik karena deposisi kalsium.
Mekanisme:
Enzym asal sel mati – autolysis atau asal sel radang (lisosom)- heterolysis.
Perubahan morfologis nekrosis perlu waktu – myocard infark akut pertama- tama tidak
nampak perubahan morfologis. Pada koagulatif nekrosis masih nampak struktur jaringan
nekrotik. Ini sering ditemukan pada kematian sel karena hypoxi. Pada nekrosis liquefaktif
tidak.Sisa sel hilang sama sekali. Ditemukan pada fokal infeksi bakteri, kadang fungus
infeksi. Gangraenous nekrosis : kaogulatif nekrosis sebab ischemia disertai infectie bakterial
menimbulkan nekrosis liquefaktif ( wet gangrene).
Tuberculosis.
Mikroskopik: nekrosis amorf tanpa struktur dikelilingi radang granulomatous. Jaringan asal
tak nampak.
Fat nekrosis.
Destruksi jaringan lemak oleh enzym2. Sering pada jejas jaringan pancreas - menyerap
calcium – dystrofik cakcification.
Apoptosis
Bentuk kematian sel ini berbeda dengan nekrosis dalam beberapa segi dan terjadi dalam
keadaan ini:
· Involusi jaringan bergantung kepada hormone, (misalnya, emdometrium, prostate) pada usia
dewasa.
· Delesi sel apda populasi sel berproliferasi (misalnya, epite; kripta intestine), tumor, dan
organ limfoid.
· Kematian sel karena beberapa stimulus yang merusak yang terjadi pada takaran rendah
(misalnya, jejas termal ringan).
· Penyusutan sel
C. Penuaan Seluler
Dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan fisiologik dan structural pada hampir semua
organ. Penuaan terjadi karena factor genetic, diet, keadaan social, dan adanya penyakit yang
berhubungan dengan ketakutan seperti arterioklerosis, diabetes, dan arthiritis. Selain itu,
perubahan sel dirangsang oleh usia yang menggambrkan akumulasi progresif dari jejas
subletal atau kematian sel selama bertahun-tahun, diperkirakan merupakan komponen penting
dalam penuaan.
Perubahan fungsional dan morfologik yang terjadi pada sel yang menua adalah:
· Berkurangnya sintesis DNA dan RNA untuk protein dan reseptor sel structural dan
enzimatik
· Mitokondria pleomorfik, reticulum endoplasma menurun dan jisim Golgi berubah bentuk
Terjadinya penuaan sel belum jelas, tetapi mungkin bersifat multifactor. Ini melibatkan
program molekuler endogen dari pada penuaan sel dan pengaruh eksogen berkesinambungan
yang menuju pada penurunan kemampuan untuk hidup (disebut wear and tear).
Adanya penuaan sel dapat diduga dari penelitian in vitro yang menunjukan bahwa fibroblast
diploid manusia normal dalam biakan mempunyai masa hidup tertentu dan populasi berlipat
ganda yang terbatas, yang bergantung kepada usia. Penyebab penuaan replikatif semacam ini
mungkin disebabkan oleh aktivitas gen spesifik-penuaan, gen pengatur pertumbuhan berubah
atau hilang, induksi inhibitor pertumbuhan padas el menua, dan mekanisme lain. Salah sati
hipotesis defek gen ini adalah adanya “telemetric shortening” kromosom yang terjadi dengan
bertanbahnya usia, menyebakan holangnya DNA dari ujung telomerik kromosom, sehingga
terjadi delesi gen esensial dan mengakibatkan berkurangnya masa hidup
Proses Penyembuhan Luka
Sjamsuhidajat (1997) mendefinisikan luka sebagai hilang atau rusaknya sebagian jaringan
tubuh. Sedangkan Mansjoer (2002) mendefinisikan luka sebagai keadaan hilang/terputusnya
kontinuitas jaringan. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa luka adalah
rusak/terputusnya kontinuitas jaringan. Yang akan dibicarakan dalam penelitian ini adalah luka
laserasi jalan lahir terutama perinium baik luka yang spontan karena persalinan maupun karena
tindakan episiotomi.
Penyembuhan luka merupakan suatu proses penggantian jaringan yang mati/rusak dengan jaringan
baru dan sehat oleh tubuh dengan jalan regenerasi. Luka dikatakan sembuh apabila permukaannya
dapat bersatu kembali dan didapatkan kekuatan jaringan yang mencapai normal.
Penyembuhan luka meliputi 2 kategori yaitu, pemulihan jaringan ialah regenerasi jaringan pulih
seperti semula baik struktur maupun fungsinya dan repair ialah pemulihan atau penggantian oleh
jaringan ikat (Mawardi-Hasan,2002).
1. Per Primam yaitu penyembuhan yang terjadi setelah segera diusahakan bertautnya tepi luka
biasanya dengan jahitan.
2. Per Sekundem yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan per primam. Proses
penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
Biasanya dijumpai pada luka-luka dengan kehilangan jaringan, terkontaminasi/terinfeksi.
Penyembuhan dimulai dari lapisan dalam dengan pembentukan jaringan granulasi.
3. Per Tertiam atau Per Primam tertunda yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari
setelah tindakan debridemen setelah diyakini bersih, tetapi luka dipertautkan (4-7 hari).
1. Fase Inflamasi; Berlangsung sampai hari ke-5. Akibat luka terjadi pendarahan, tubuh akan
berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang
terputus (retraksi) dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena keluarnya trombosit,
trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino
tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah
dan kemotaksis terhadap leukosit. Sel radang keluar dari pembuluh darah secara diapedesis
dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel Mast mengeluarkan serotinin dan histamin
yang meningkatkan permiabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan oedema. Dengan demikian
akan timbul tanda-tanda radang. Leukosit, limfosit dan monosit menghancurkan dan
memakan kotoran dan kuman. Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan
pertautan luka sehingga disebut fase tertinggal (lag phase). Berat ringannya reaksi radang ini
dipengaruhi juga oleh adanya benda-benda asing dari luar tubuh, misalnya: benang jahit,
infeksi kuman dll. Tidak adanya serum maupun pus/nanah menunjukkan reaksi radang yang
terjadi bukan karena infeksi kuman tetapi karena proses penyembuhan luka.
2. Fase Proliferasi atau Fibroplasi: Berlangsung dari akhir masa inflamasi sampai kira-kira
minggu ke-3. Pada fase ini terjadi proliferasi dari fibroblast yang menghasilkan
mukopolisakarida, asamaminoglisin dan prolin yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase
ini terbentuk jaringan granulasi. Pembentukan jaringan granulasi berhenti setelah seluruh
permukaan luka tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka,
pengaturan kembali dan penyerapan yang berlebih.
3. Fase Remodelling/Fase Resorbsi/Fase penyudahan: Pada fase ini terjadi proses pematangan
yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya
gravitasi dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini berakhir bila
tanda radang sudah hilang.
Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa luka dapat sembuh secara alami tanpa pertolongan dari
luar, tetapi cari alami ini memakan waktu cukup lama dan meninggalkan luka parut yang kurang baik,
terutama kalau lukanya menganga lebar.