Anda di halaman 1dari 11

MEKANISME ADAPTASI SEL

Pada dasarnya tubuh terdiri dari satuan dasar yang hidup yakni sel sel dan tiap organ
merupakan kelompok sel yang berbeda-beda yang saling menghubungkan satu sama lainnya
oleh struktur penunjang interselular. Tiap macam sel dapat beradaptasi secara khusus untuk
membentuk suatu fungsi yang khas. Sel itu juga berkemampuan untuk berkembangbiak dan
bila salah satu macam sel itu rusak oleh salah satu penyebab, maka sel-sel yang tertinggal
seringkali membagi diri lagi terus menerus sampai jumlahnya mencukupi kembali.
Mekanisme adaptasi sel :
C. ADAPTASI SEL
Betuk reaksi sel jaringan organ / system tubuh terhadap jejas :
1. retrogresif, jika terjadi proses kemunduran (degenerasi/ kembali kearah yang kurang
kompleks).
2. Progresif, berkelanjutan berjaklan terus kearah yang lebih buruk untuk penyakit)
3. Adaptasi (penyesuaian) : atropi, hipertropi, hiperplasi, metaplasi Sel-sel menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan mikronya, yaitu:
1. Atropi
o Suatu pengecilan ukuran sel bagian tubuh yang pernah berkembang sempurna dengan
ukuran normal.
2. Hipertropi
Yaitu peningkatan ukuran sel dan perubahan ini meningkatkan ukuran alat tubuh 
3. Hiperplasia
Dapat disebabkan oleh adanya stimulus atau keadaan kekurangan secret atau produksi sel
terkai.
5. Metaplasia
Ialah bentuk adaptasi terjadinya perubahan sel matur jenis tertentu menjadi sel matur jenis
lain :
Misalnya sel epitel torak endoservik daerah perbatasan dgn epitel skuamosa, sel epitel
bronchus perokok.
6. Displasia
• Sel dalam proses metaplasia berkepanjangan tanpa mereda dapat melngalami ganguan
polarisasi pertumbuhan sel reserve, sehingga timbul keadaan yg disebut displasia.
• Ada 3 tahapan : ringan, sedang dan berat
7. Degenarasi
o Yaitu keadaan terjadinya perubahan biokimia intraseluler yang disertai perubahan
morfologik, akibat jejas nin fatal pada sel.
o Dalam sel jaringan terjadi :
8. Infiltrasi
Bentuk retrogresidgn penimbunan metabolit sistemik pada sel normal (tdk jika melampaui
batasmengalami jejas langsung seperti pd degenerasi) maka sel akan pecah. Dan debris el
akan ditanggulangi oleh system makrofag.

Pengaruh stimulus yang menyebabkan cedera pada sel :


1. Kerusakan biokimia, terjadi perubahan kimia dari salah satu reaksi metabolisme atau
lebih di dalam sel
2. Kelainan fungsi, (misal kegagalan kontraksi, sekresi sel atau lainnya)
kelainan kerusakan biokimia pada sel (Cedera fungsi). Tetapi tidak semua, jika sel banyak
cedera, memiliki cadangan yg cukup sel tidak akan mengalami gangguan fungsi yg
berarti.
3. Perubahan morfologis sel yg menyertai kelainan biokimia dan kelainan fungsi.
Tetapi saat ini masih ditemukan sel secara fungsional terganggu namun secara morfologis
tidak memberikan petunjuk adanya kerusakan.
4. Pengurangan massa atau penyusutan
Pengurangan ukuran sel jaringan atau organ disebut atropi (lebih kecil dari normal).
5. Retrogresif, jika terjadi proses kemunduran (degenerasi/ kembali kearah yang kurang
kompleks).
6. Progresif, berkelanjutan berjalan terus kearah yang lebih buruk untuk penyakit.
7. Adaptasi (penyesuaian) : atropi, hipertropi, hiperplasi, metaplasi

Jenis Cedera Sel


Apabila sebuah stimulus menyebabkan cedera sel maka perubahan yang pertama kali terjadi
adalah terjadinya kerusakan biokimiawi yang mengganggu proses metabolisme. Sel bisa
tetap normal atau menunjukkan kelainan fungsi yang diikuti dengan perubahan morfologis.
Gangguan fungsi tersebut bisa bersifat reversibel ataupun ireversibel sel tergantung dari
mekanisme adaptasi sel. Cedera reversibel disebut juga cedera subletal dan cedera
ireversibel disebut juga cedera letal.
1. Cedera Subletal
Cedera subletal terjadi bila sebuah stimulus menyebabkan sel cedera dan menunjukkan
perubahan morfologis tetapi sel tidak mati. Perubahan subletal ini bersifat reversibel
dimana bila stimulusnya dihentikan maka sel akan kembali pulih seperti sebelumnya.
Cedera subletal ini disebut juga proses degeneratif.
Bentuk perubahan degeneratif sel :
1. pembengkakan sel
Bentuk perubahan degeneratif yang paling sering terjadi adalah akumulasi cairan di
dalam sel akibat gangguan mekanisme pengaturan cairan. Biasanya disebabkan karena
berkurangnya energi yang digunakan pompa natrium untuk mengeluarkan natrium dari
intrasel. Sitoplasma akan terlihat keruh dan kasar (degenerasi bengkak keruh). Gangguan
metabolisme pembentukan energi dan Kerusakan membrane sel influk air ke peningkatan
konsentrasi Na kemampuan memompa ion Na menurun pembengkakan sel. dalam sel
Bengkak keruh, menggambarkan perubahan sel yang menunjukan keadaan setengah matang
dan secara mikroskopik terlihat sitoplasmanya granular. Organel sel juga menyerap air yg
tertimbun dalam pembengkakan mitokondria, pembesaran RE dll. sitoplasma Pada
pemeriksaan mikroskopik akan tampak sitoplasma bervakuola. Ini disebut perubahan
hidropik atau perubahan vacuolar.

2. Penimbunan lipid intra sel


Dapat juga terjadi degenerasi lebih berat yaitu degenerasi lemak atau infiltrasi lemak
dimana terjadi penumpukan lemak intrasel sehingga inti terdesak ke pinggir. Jaringan
akan bengkak dan bertambah berat dan terlihat kekuning-kuningan. Misalnya
perlemakan hati (fatty liver) pada keadaan malnutrisi dan alkoholik.
Secara mikroskopis, sitoplasma dari sel-sel yg terkena tampak bervakuola, vakoula berisi
lipid. Misal : pada hati banyak lipid yg tertimbun di dalam sel inti sel terdesak ke satu sisi
dan sitoplasma diduduki oleh satu vakuola besar yg berisi lipid. Hati yang terserang hebat
akan berwarna kuning cerah, jika disentuh terasa berlemak. Jenis perubahan ini disebut
perubahan berlemak atau degenerasi lemak.

2. Cedera Letal
Bila stimulus yang menyebabkan sel cedera cukup berat dan berlangsung lama serta
melebihi kemampuan sel untuk beradaptasi maka akan menyebabkan kerusakan sel yang
bersifat ireversibel (cedera sel) yang berlanjut kepada kematian sel.
KALSIFIKASI PATOLOGIK
Kalsifikasi : proses diletakannya (pengendapan) kalsium dalam jaringan pembentukan tulang
(Kalsifikasi fisiologi)
Kalsifikasi patologi merupakan proses yg sering, juga menyatakan pengendapan abnormal
garam-garam kalsium, disertai sedikit besi, magnesium dan garam-garam mineral lainnya
dalam jaringan, tdd :

Terjadi pada :
1. Kalsifikasi metastatik
2. Kalsifikasi distropik
3. Kalsinosis
4. Pembentukan tulang heterotropik
5. Kalsifikasi pada pembuluh darah arteri

Jejas Dan Kematian Sel


Semua bentuk jejas dimulai dengan perubahan molkeul atau struktur sel. Dalam keadaan
normal, sel berada dalam “keadaan “homeostasis”mantap”. Sel berekasi terhadap pengaruh
yang merugikan dengan cara (1) beradaptasi, (2) mempertahankan jejas tidak menetap, atau
(3) mengalami jejas menetap dan mati.

Adaptasi sel terjadi bila stress fisiologik berlebihan atau suatu rangsangan yang patologik
menyebabkan terjadinya keadaan baru yang berubah yang mempertahankan kelangsungan
hidup sel. Contohnya ialah hipertropi (pertambahan massa sel) atau atrofi (penyesutan masssa
sel). Jejas sel yang reversible menyatakan perubahan patologik yang dapat kembali, bila
rangsangannya dihilangkan atau bila penyebab jejas lemah. Jejas yang ireversibel merupakan
perubahan patologik yang menetap dan menyebabkan kematian sel.

Terdapat dua pola morfologik kematian sel yaitu nekrosis dan apoptosis. Nekrosis adalah
bentuk yang lebih umum setelah rangsang eksogen dan berwujud sebagai pembengkakan,
denaturasi dan koagulasi protein, pecahnya organel sel, dan robeknya sel. Apoptosis ditandai
oleh pemadatan kromatin dan fragmentasi, terjadinya sendiri atau dalam kelompok kecil sel,
dan berakibat dihilangkan sel yang tidak dikehendaki selama embryogenesis dan dalam
berbagai keadaan fisiologik dan patologik.

A. Jejas

Jejas = injury = rangsangan terhadap sel hingga terjadi perubahan fungsi dan bentuk sel.
Cedera menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel.
Penyebab Jejas Sel

1. Hipoksia (pengurangan oksigen oksigen) terjadi sebagai akibat

a. iskemia (kehilangan pasokan darah),

b. oksigenisasi tidak mencukupi (misalnya, kegagaln jantung paru), atau

c. hilangnya kapasitas pembaw-oksigen darah (misalnya, anemia, keracunan karbon


monoksida).

2. Faktor fisik, termasuk trauma, pcanas, dingin, radiasi, dan renjatan listrik.

3. Bahan kimia dan obat-obatan, termasuk:

a. Obat terapeutik (misalnya, asetaminofen (Tylenol).

b. Bahan bukan obat (misalnya, timbale, alcohol).

4. Bahan penginfeksi, termasuk virus, ricketsia, bakteri, jamur, dan parsit.

5. Reaksi imunologik

6. Kekacauan genetik

7. Ketidakseimbangan nutrisi

Mekanisme Umum

System intrasel tertentu terutama rentan terhadap jejas sel:

v Pemeliharaan integritas membrane sel

v Respirasi aerobic dan produk ATP

v Sintesis enzim dan protein berstruktur

v Preservasi integritas aparat genetic

System-sistem ini terkait erat satu dengan lain sehingga jejas pada satu lokus membawa efek
sekunder yang luas. Konsekuensi jejas sel bergantung kepada jenis, lcama, dan kerasnya gen
penyebab dan juga kepada jenis, status, dan kemampuan adapatasi sel yang terkena.
Perubahan morfologi jejas sel menjadi nyata setelah beberapa system biokimia yang penting
terganggu.

Empat aspek biokimia yang penting sebagai perantara jejas dan kematian sel:

1. Radikal bebas berasal dari oksigen yang terbentuk pada banyak keadaan patologik dan
menyebabkan efek yang merusak pada struktur danfungsi sel.
2. Hilangnya homeostasis kalsium, dan meningkatnya kalsium intrasel. Iskemi dan toksin
tertentu menyebabkan masuknya ion kalsium ke dalam sel dan lepasnnya ion kalsium sistolik
mengaktifkan fosfolipase yang memecah fosfolipid membrane, protease yang menguraikan
protein membrane dan sitoskletal, ATPase yang memeprcepat pengurangan ATP, dan
endonuklease yang terkait dengan fragmnetasi kromatin.

3. Deplesi ATP, karena dibutuhkan untuk proses yang penting seperti transportasi pada
membrane, sintesis protein, dan pertukaran fosfolipid.

4. Defek permebilitas membrane. Membrane dapat dirusak langsung oleh toksin, agen fisik
dan kimia, komponen komplemen litik, dan perforin, atau secara tidak langsung seperti yang
diuraikan pada kejadian sebelumnya.

a. Jejas istemik dan Hipoksik

1. Jejas Reversibel

Mula-mula hipoksia menyebabkan hilangnya fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP oleh
mitikondria. Penurunan ATP (dan peningkatan AMP secara bersamaan) merangsang
fruktokinase dan fosforilasi, menyebabkan glikosis aerobic. Glikogen cepat menyusut, dan
asam laktat dan fosfat anorganik terbentuk, sehingga menurunkan pH intrasel. Pada saat ini,
terjadi penggumpalan kromatin inti.

2. Jejas Ireversibel

Jejas ini ditandai oleh vakuolisasi keras mitokondria, kerusakan membrane plasma yang luas,
pembengkakan lisosom, dan terlihatnya densitas mitokondria yang besar dan amorf. Jejas
membrane lisosm disusul oleh bocornya enzim ke dalam sitoplasma, dank arena aktivitasnya
terjadi pencernaan enzimatik komponen sel dan inti.

1. Jejas Sel Akibat Radikal Bebas

Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif dan tidak stabil yang berinteraksi dengan
protein, lemak, dan karbihidrat dan terlibat dalam jejas sel yang disebabkan oleh bermacam-
macam kimiawi dan biologic.

Terjadinya radika bebas dimulai dari:

· Absorpsi energi sinar (cahaya UV, sinar X)

· Reaksi oksidatif metabolic

· Konversi enzimatik zat kimia eksogen atau obat (CCl4 menjadi CCl3).

· Radikal yang berasal dari oksigen adalah jenis toksik yang paling penting.

· Siperoksid terbentuk clangsung selama auto-oksidasi dalam mitokondria, atau secara


ensimatik oleh oksidase.

2. Jejas Kimiawi
Zat kimiawi menyebabkan jejas sel melalui 2 mekanisme:

· Secara langsung, misalnya, Hg dari merkuri klorida terikat pada grup SH protein membrane
sel, menyebabkan peningkatan permeabilitas dan inhibasi transport yang bergantung, kepada
ATPase.

· Memlaui konversi ke metabolic toksis reaktif. Sebaliknya metabolic toksik menyebabkan


jejas sel baik memlaui ikatan kovalen langsung kepada protein membrane dan lemak, atau
lebih umum melalui pembentukan radikal bebas reaktif, seperti yang diuraikan sebelumnya.

B. Kematian Sel

Jika pengaruh berbahaya pada sebuah sel cukup hebat atau berlangsung cukup lama, maka sel
akan mncapai suatu titik di mana sel tidak lagi dapat mengkompensasi dan tidak dapat
melangsungkan metabolism, proses ini menjadi irevesibel, dan sel sebetulnya mati. Bila
sebuah sel atau sekelompok sel atau jaringan dalam hospes yang hidup diketahui mati,
mereka disebut nekrotik. Nekrosis merupakan kematian sel local.

Morfologi Jejas Sel Reversibel dan Nekrosis

Pembangkitan sel merupakan manifestasi hampir universal daripada jejas reversible pada
mikroskopi cahaya. Pada sel yang terlibat dalam metabolisme lemak, perlemakan juga
menunjukkan tanda jejas reversible.

Nekrosis merupakan perubahan morfologik yang menyusul kematian sel pada jaringan atau
organ hidup. Dua proses menyebabkan perubahan morfologik dasar pada nekrosis:

a. Denaturasi protein

b. Pencernaan enzimatik organel dan sitosol.

Jenis Nekrosis

· Nekrosis koagulativa. Pola nekrosis iskemik yang lazim ini yang diuraikan sebelumnya,
terjadi pada miokard, ginjal, hati, dan organ lain.

· Nekrosis mencair. Terjadi bila autolisis dan heterolysis melebihi denaturasi protein. Daerah
nekrotik melunak dan terisi dengan cairan. Paling sering terlihat dalamotak infeksi bakteri
local (abses).

· Nekrosis perkijuan. Khas pada lesi tuberculosis, makrokopik terlihat sebagai bahan lunak,
rapuh dan menyerupai kiju dan secara mikroskopik sebagai bahan amorf eosinofilik dengan
debris sel.

· Nekrosis lemak. Yang dimaksudkan ialah nekrosis pada jaringan lemak, disebabkan oleh
kerja lipase (yang berasal dari sel pancreas rusak atau makrofag) yang mengkatalisis
dekomposisi trigliserid menjadi asam lemak, yang kemudian bereaksi dengan kalsium
membentuk sabun kalsium. Secara histologik lemak nekrotik menunjukkan baying-bayang
sel dan bintik-bintik basofilik karena deposisi kalsium.
Mekanisme:

• Enzym digestion sel – liquefaktif nekrosis.

• Denaturasi protein – koagulatif nekrosis

Enzym asal sel mati – autolysis atau asal sel radang (lisosom)- heterolysis.

Perubahan morfologis nekrosis perlu waktu – myocard infark akut pertama- tama tidak
nampak perubahan morfologis. Pada koagulatif nekrosis masih nampak struktur jaringan
nekrotik. Ini sering ditemukan pada kematian sel karena hypoxi. Pada nekrosis liquefaktif
tidak.Sisa sel hilang sama sekali. Ditemukan pada fokal infeksi bakteri, kadang fungus
infeksi. Gangraenous nekrosis : kaogulatif nekrosis sebab ischemia disertai infectie bakterial
menimbulkan nekrosis liquefaktif ( wet gangrene).

Caseous nekrosis : nekrosis pengejuan..

Tuberculosis.

Makroskopik: seperti keju.

Mikroskopik: nekrosis amorf tanpa struktur dikelilingi radang granulomatous. Jaringan asal
tak nampak.

Fat nekrosis.

Destruksi jaringan lemak oleh enzym2. Sering pada jejas jaringan pancreas - menyerap
calcium – dystrofik cakcification.

Apoptosis

Bentuk kematian sel ini berbeda dengan nekrosis dalam beberapa segi dan terjadi dalam
keadaan ini:

Destruksi sel terprogram selama embryogenesis.

· Involusi jaringan bergantung kepada hormone, (misalnya, emdometrium, prostate) pada usia
dewasa.

· Delesi sel apda populasi sel berproliferasi (misalnya, epite; kripta intestine), tumor, dan
organ limfoid.

· Atrofi patologik organ parenkimal akibat abstruksi duktus.

· Kematian sel oleh sel T sitotoksik.

· Jejas sel pada penyakit virus tertentu.

· Kematian sel karena beberapa stimulus yang merusak yang terjadi pada takaran rendah
(misalnya, jejas termal ringan).

Ciri morfologi apoptosis meliputi:

· Penyusutan sel

· Kondensasi dan fragmentasi kromatin

· Pembentukan gelembung sitoplasma dan jisim apoptotic

· Fagositosis jisim apoptotic oleh sel sehat didekatnya atau makrofag.

· Tidak adanya peradangan.

C. Penuaan Seluler

Dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan fisiologik dan structural pada hampir semua
organ. Penuaan terjadi karena factor genetic, diet, keadaan social, dan adanya penyakit yang
berhubungan dengan ketakutan seperti arterioklerosis, diabetes, dan arthiritis. Selain itu,
perubahan sel dirangsang oleh usia yang menggambrkan akumulasi progresif dari jejas
subletal atau kematian sel selama bertahun-tahun, diperkirakan merupakan komponen penting
dalam penuaan.

Perubahan fungsional dan morfologik yang terjadi pada sel yang menua adalah:

· Penurunan fosforilasi oksidatif pada mitokondria

· Berkurangnya sintesis DNA dan RNA untuk protein dan reseptor sel structural dan
enzimatik

· Menurunnya kemampuan ambilan makanan dan perbaikan kerusakan kromosom

· Nucleus berlobus tidak tertaur dan abnormal.

· Mitokondria pleomorfik, reticulum endoplasma menurun dan jisim Golgi berubah bentuk

· Akumulasi pigmen lipofusin secara menetap.

Terjadinya penuaan sel belum jelas, tetapi mungkin bersifat multifactor. Ini melibatkan
program molekuler endogen dari pada penuaan sel dan pengaruh eksogen berkesinambungan
yang menuju pada penurunan kemampuan untuk hidup (disebut wear and tear).

Adanya penuaan sel dapat diduga dari penelitian in vitro yang menunjukan bahwa fibroblast
diploid manusia normal dalam biakan mempunyai masa hidup tertentu dan populasi berlipat
ganda yang terbatas, yang bergantung kepada usia. Penyebab penuaan replikatif semacam ini
mungkin disebabkan oleh aktivitas gen spesifik-penuaan, gen pengatur pertumbuhan berubah
atau hilang, induksi inhibitor pertumbuhan padas el menua, dan mekanisme lain. Salah sati
hipotesis defek gen ini adalah adanya “telemetric shortening” kromosom yang terjadi dengan
bertanbahnya usia, menyebakan holangnya DNA dari ujung telomerik kromosom, sehingga
terjadi delesi gen esensial dan mengakibatkan berkurangnya masa hidup
Proses Penyembuhan Luka

Sjamsuhidajat (1997) mendefinisikan luka sebagai hilang atau rusaknya sebagian jaringan
tubuh. Sedangkan Mansjoer (2002) mendefinisikan luka sebagai keadaan hilang/terputusnya
kontinuitas jaringan. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa luka adalah
rusak/terputusnya kontinuitas jaringan. Yang akan dibicarakan dalam penelitian ini adalah luka
laserasi jalan lahir terutama perinium baik luka yang spontan karena persalinan maupun karena
tindakan episiotomi.

Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses penggantian jaringan yang mati/rusak dengan jaringan
baru dan sehat oleh tubuh dengan jalan regenerasi. Luka dikatakan sembuh apabila permukaannya
dapat bersatu kembali dan didapatkan kekuatan jaringan yang mencapai normal.

Penyembuhan luka meliputi 2 kategori yaitu, pemulihan jaringan ialah regenerasi jaringan pulih
seperti semula baik struktur maupun fungsinya dan repair ialah pemulihan atau penggantian oleh
jaringan ikat (Mawardi-Hasan,2002).

Penyembuhan luka dapat terjadi secara:

1. Per Primam yaitu penyembuhan yang terjadi setelah segera diusahakan bertautnya tepi luka
biasanya dengan jahitan.
2. Per Sekundem yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan per primam. Proses
penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
Biasanya dijumpai pada luka-luka dengan kehilangan jaringan, terkontaminasi/terinfeksi.
Penyembuhan dimulai dari lapisan dalam dengan pembentukan jaringan granulasi.
3. Per Tertiam atau Per Primam tertunda yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari
setelah tindakan debridemen setelah diyakini bersih, tetapi luka dipertautkan (4-7 hari).

Proses penyembuhan luka yang terjadi adalah sebagai berikut:

1. Fase Inflamasi; Berlangsung sampai hari ke-5. Akibat luka terjadi pendarahan, tubuh akan
berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang
terputus (retraksi) dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena keluarnya trombosit,
trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino
tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah
dan kemotaksis terhadap leukosit. Sel radang keluar dari pembuluh darah secara diapedesis
dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel Mast mengeluarkan serotinin dan histamin
yang meningkatkan permiabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan oedema. Dengan demikian
akan timbul tanda-tanda radang. Leukosit, limfosit dan monosit menghancurkan dan
memakan kotoran dan kuman. Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan
pertautan luka sehingga disebut fase tertinggal (lag phase). Berat ringannya reaksi radang ini
dipengaruhi juga oleh adanya benda-benda asing dari luar tubuh, misalnya: benang jahit,
infeksi kuman dll. Tidak adanya serum maupun pus/nanah menunjukkan reaksi radang yang
terjadi bukan karena infeksi kuman tetapi karena proses penyembuhan luka.
2. Fase Proliferasi atau Fibroplasi: Berlangsung dari akhir masa inflamasi sampai kira-kira
minggu ke-3. Pada fase ini terjadi proliferasi dari fibroblast yang menghasilkan
mukopolisakarida, asamaminoglisin dan prolin yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase
ini terbentuk jaringan granulasi. Pembentukan jaringan granulasi berhenti setelah seluruh
permukaan luka tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka,
pengaturan kembali dan penyerapan yang berlebih.
3. Fase Remodelling/Fase Resorbsi/Fase penyudahan: Pada fase ini terjadi proses pematangan
yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya
gravitasi dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini berakhir bila
tanda radang sudah hilang.

Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa luka dapat sembuh secara alami tanpa pertolongan dari
luar, tetapi cari alami ini memakan waktu cukup lama dan meninggalkan luka parut yang kurang baik,
terutama kalau lukanya menganga lebar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

1. Koagulasi; Adanya kelainan pembekuan darah (koagulasi) akan menghambat penyembuhan


luka sebab hemostasis merupakan tolak dan dasar fase inflamasi.
2. Gangguan sistem Imun (infeksi,virus); Gangguan sistem imun akan menghambat dan
mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi. Bila sistem daya
tahan tubuh, baik seluler maupun humoral terganggu, maka pembersihan kontaminasi dan
jaringan mati serta penahanan infeksi tidak berjalan baik.
3. Gizi (kelaparan, malabsorbsi), Gizi kurang juga: mempengaruhi sistem imun.
4. Penyakit Kronis; Penyakit kronis seperti TBC, Diabetes, juga mempengaruhi sistem imun.
5. Keganasan; Keganasan tahap lanjut dapat menyebabkan gangguan sistem imun yang akan
mengganggu penyembuhan luka.
6. Obat-obatan; Pemberian sitostatika, obat penekan reaksi imun, kortikosteroid dan sitotoksik
mempengaruhi penyembuhan luka dengan menekan pembelahan fibroblast dan sintesis
kolagen.
7. Teknik Penjahitan; Tehnik penjahitan luka yang tidak dilakukan lapisan demi lapisan akan
mengganggu penyembuhan luka.
8. Kebersihan diri/Personal Hygiene; Kebersihan diri seseorang akan mempengaruhi proses
penyembuhan luka, karena kuman setiap saat dapat masuk melalui luka bila kebersihan diri
kurang.
9. Vaskularisasi baik proses penyembuhan berlangsung; cepat, sementara daerah yang
memiliki vaskularisasi kurang baik proses penyembuhan membutuhkan waktu lama.
10. Pergerakan, daerah yang relatif sering bergerak; penyembuhan terjadi lebih lama.
11. Ketegangan tepi luka, pada daerah yang tight (tegang) penyembuhan lebih lama
dibandingkan dengan daerah yang loose.

Anda mungkin juga menyukai