Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makluk yang paling sempurna diantara mahluk lainnya
karena manusia diciptakan sudah memiliki Tri Pramana yaitu Sabda, Bayu, dan
Idep. Sedangkan hewan memiliki Dwi Premana (Sabda dan Bayu) dan tumbuhan
hanya memiliki Eka Premana (Bayu). Istilah manusia/manusya secara etimologis
berasal dari bahasa sansekerta yakni kata Manu (berarti pikiran) dan sya (bentuk
negative yang menyatakan arti: milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang
dilekatinya) dengan demikian secara hafiah kata manusia/manusya berarti ia yang
memiliki pikiran atau ia yang senantiasa berfikir dan menggunakan akal
pikirannya.
Manusia dapat berpikir karena memiliki pikiran sehingga dapat
membentuk budaya yaitu hasil cipta, rasa, dan karsa manusi. Dalam masyarakat
Bali Utara kata ngekoh dan meboya sudah tidak asing lagi didengarkan. Ngekoh
dan meboya adalah sesuatu yang dapat menurunkan keyakinan dan semangat bagi
orang yang mengalaminya.
Dalam dunia pendidikan sifat malas sangat perlu untuk dihindari, seperti
ngekoh untuk buat tugas, ngekoh untuk datang ke kampus, ngekoh untuk ikut
organisasi, dan lain sebagainya. Serta, jika di dalam ajaran Agama hindu kata
ngekoh juga perlu di hapuskan, seperti halnya ngekoh untuk sembahyang baik itu
ke pura. Namun dalam dunia kesehatan, ngekoh juga sangat diperlukan, karena
rasa malas pada seseorang jika digunakan pada waktunya akan memberikan atau
menjaga kesehatan tubuh seseorang, seperti misalnya istirahat pada saat kelelahan.
Maka dari itu, seseorang harus mengendalikan sifat dari pada ngekoh dan meboya
untuk menjadikan manusia yang ideal. Sifat ngekoh dan meboya dipengaruhi oleh
sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri manusia (Sad Ripu). Untuk mewujudkan
manusia yang ideal sifat ngekoh dan meboya sangat perlu untuk dikendalikan.
Karena, untuk menjadi manusia yang ideal maka seseorang harus menghilangkan
sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri manusia atau disebut dengan Sad Ripu.
Upaya yang harus dilakukan untuk menurunkan sifat ngekoh dan meboya
tersebut diantaranya adalah upaya melepaskan Sad Ripu atau sifat-sifat buruk.

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 1


Untuk melepaskan sifat-sifat buruk tersebut tentunya membutuhkan usaha dan
perjuangan yang keras dan konsisten, yang tentu saja menimbulkan rasa sakit dan
tidak nyaman. Upaya itulah yang sering disebut dengan istilah yadnya atau
pengorbanan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas adapun rumusan masalah yang dapat
kami ajukan sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan ngekoh dan meboya?
2. Apakah yang dimaksud dengan manusia ideal (Manava-Madhava)?
3. Bagaimana keterkaitan antara sifat ngekoh dan meboya dengan manusia
ideal (Manava-Madhava)?
4. Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengendalikan sifat ngekoh
dan meboya untuk mewujudkan manusia yang ideal?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat kami ajukan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ngekoh dan meboya.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan manusia ideal (Manava-
Madhava)?
3. Untuk mendeskripsikan bagaimana keterkaitan antara sifat ngekoh dan
meboya dengan manusia ideal (Manava-Madhava)?
4. Untuk mendeskripsikan bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk
mengendalikan sifat ngekoh dan meboya untuk mewujudkan manusia yang
ideal?

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
Pembuatan makalah ini telah memberikan berbagai pengalaman
bagi penulis seperti pengalaman dalam memuja Ida Sang Hyang widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Disamping itu, penulis juga mendapat

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 2


ilmu untuk memahami dan menganalisis materi yang ditulis dalam
makalah ini.
2. Bagi Pembaca
Sebagai pedoman bagi mahasiswa khususnya calon tenaga
pendidikan untuk memahami tentang implikasi ngekoh dan meboya
terhadap kepercayaan, kerukunan, dan kesejahtraan dalam masyarakat
Bali. Sebagai masukan bagi tenaga pendidik mengenai implikasi ngekoh
dan meboya terhadap kepercayaan, kerukunan, dan kesejahtraan dalam
masyarakat Bali agar tidak terjadi kesalahan dalam pendidikan.

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 3


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ngekoh dan Meboya.
Dalam masyarakat Bali Utara kata ngekoh dan meboya sudah tidak asing
lagi didengarkan. Ngekoh dan meboya adalah seperti sebuah penyakit, dimana
kata ngekoh memiliki pengertian yang hampir sama dengan sifat yang ada di
dalam sifat Tri Guna yaitu sifat Tamas (malas), sedangkan kata meboya adalah
sifat yang dimiliki oleh seseorang dimana orang tersebut tidak yakin akan hal-hal
tertentu, terutama keyakinan akan hal-hal yang berbaur mistis. Menurut Donder,
2007 pada bukunya yang berjudul Teologi dalam geguritan sucita dapat dipetik
makna bahwa ngekoh dan meboya adalah sesuatu yang dapat menurunkan
keyakinan dan semangat bagi orang yang mengalaminya.
Namun, dalam umat hindu keyakinan akan segala sesuatu yang diciptakan
oleh Tuhan sangatlah penting, terutama keyakinan akan adanya Tuhan Yang
Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Dimana keyakinan itu diistilahkan
dengan kata Śrāddha. Kata Śrāddha mengandung makna yang sangat luas yakni
keyakinan atau keimanan. Ada beberapa pengertian tentang kata Śrāddha seperti
diungkapkan dalam bukunya Nighantu (dalam Winawan, 2002), kata “Śrāddha”
dari akar kata Srat yang berarti kebenaran, sedangkan Sayāna memberikan
interpretasi dalam pengertian berikut:
a. Adartisaya atau bahumana artinya penghargaan yang tinggi menurut
kitab Ṛgveda (dalam Wirawan, 2007).
b. Visvasa artinya kayakinan atau kepercayan menurut kitab Ṛgveda
(dalam Wirawan, 2007).
c. Puruṣagatobhilasa artinya satu bentuk yang istimewa dari keinginan
manusia menurut kitab Ṛgveda (dalam Wirawan, 2007).
d. Śrāddhādhanah sebagai karma karmānuṣtānatparah adalah keyakinan
di dalam dan semangat untuk mempersembahkan upacara pemujaan
menurut kitab Atharvaveda (dalam Wirawan, 2007).
Didalam Mārkandeya purāna dilukaiskan sebagai ibu dari kamā, dan
didalam Bhavisya Purāna digambarkan sebagai Putri Kardama dan istri dari

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 4


Angirasa sedangkan dalam bukunya The Practical sankrit-English Dictionary
karya V.S. Apte (dalam Wirawan, 2007) diberikan arti sebagai berikut:

Śrāddha.
Kepercayaan, ketaatan, ajaran, keyakinan.
Kepercayaan kepada Sabda Tuhan Yang Maha Esa, keimanan agama.
Ketenangan jiwa, kesabaran dalam pikiran.
Hormat menaruh penghargan.
Kandungan ibu yang berumur lama.
Śrāddhalu.
Kepercayaan penuh keimanan.
Kerinduan, keinginan terhadap sesuatu.
Menurut kitab Bhagavad-gītā Bab XVII (2002) terdapat tiga jenis Śrāddha,
yaitu Śrāddha yang bersifat Sattva (kebaikan), Rajas (Kenafsuan), dan Tamas
(kegelapan atau kebodohan) sesuai dengan sifat manusia. Keyakinan tiap-tiap
individu tergantung pada sifat (watak)-nya. Selanjutnya menurut Atmaja (dalam
Winawan, 2002) telah merumuskan dalam Pañca Śrāddha yang merupakan lima
jenis keyakinan atau keimanan Hindu.
1. Widhi Tattva atau Widhi Śrāddha, Keimanan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dengan berbagai manifestasinya.
2. Ātma Tatva atau Ātma Śrāddha artinya keimanan terhadap Ātma yang
mehidupkan semua mahluk.
3. Karmaphala Tattva atau Kharmaphala Śrāddha artinya keimanan
terhadap Kebenaran hukum sebab akibat atau buah dari pada
perbuatan.
4. Samsāra atau Punarjadma Tattva/Śrāddha artinya keimanan terhadap
kelahiran kembali.
5. Moksa Tattva atau Moksha Śrāddha artinya keimanan terhadap
kebebasan yang tertinggi bersatunya Ātmā dengan Brahman yaitu
Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga untuk mewujudkan manusia yang ideal, sifat dari pada meboya
tersebut perlu dihindari, karena sebagai umat hindu kita harus percaya dan yakin

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 5


akan adanya hal-hal mistis terutama yakin akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Disamping itu penyakit ngekoh juga sering muncul dalam hidup ini, karena
ngekoh bersifat Tamas (malas). Dalam buku Bhagavad-gita Bab VII hal 397,
dijelaskan bahwa keadaan manusia dan alam ini dipengaruhi oleh Tri Guna. Tiga
sifat alam ini sesungguhnya berasal dari Tuhan tetapi Tuhan sendiri tidak
dipengaruhi oleh Tri Guna. Ketiga sifat alam ini mempengaruhi kehidupan
manusia dan menyebabkan manusia kehilangan kecerdasannya untuk mengenal
Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi orang-orang yang terjaga kecerdasan
rohaninya tetap dapat mengenal keagungan Tuhan dan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan.
“Tribhir guna-mayair bhavair
Ebhih sarvam idam jagat
Mohitam nabhijanati
Mam ebhyah paramavyayam”
Bhagavad-gita seloka 13 Bab VII, hal. 410
Artinya:
“Seluruh jagat ini diliputi oleh tiga jenis sifat alam ini. Dihayalkan oleh
tiga sifat alam, seluruh dunia tidak mengenal Diri-Ku yang bersifat kekal abadi
dan mengatasi pengaruh tiga sifat alam tersebut.
Sehingga di dalam diri manusia selalu diliputi oleh sifat Tri Guna, dimana
sifat ngekoh tersebut terdapat dalam sifat Tri Guna tersebut yaitu Tamas (malas).
2.2 Manusia Ideal (Manava-Madhava).
Hindu Mānawa dharmaśāstra istilah manusia/manusya secara etimologis
berasal dari bahasa sansekerta yakni kata Manu (berarti pikiran) dan sya (bentuk
negative yang menyatakan arti: milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang
dilekatinya) dengan demikian secara hafiah kata manusia/manusya berarti ia yang
memiliki pikiran atau ia yang senantiasa berfikir dan menggunakan akal
pikirannya (Hasri, 2012). Menurut Ludwig Wittgenstein dalam bukunya
Gallagher (dalam Wirawan, 2007) menyatakana, bahwa kata/bahasa adalah
logika, sehingga secara konsepsional dapat kita pahami bahwa dalam kata manu
dan manusia tersebut pada dasarnya telah terumuskan tentang makna hakiki dari
jenis mahluk hidup yang bernama manusia sebagai subjek pengada yang

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 6


berkesadaran, karena itu kepastian pertama dari eksistensi manusia menurut Rene
Descartes adalah “Cogito, ergo sum”: (Saya berfikir, maka saya ada) dan
selanjutnya dinyatakan dengan “Cogito Ergo sum cogitan” yang maksudnya, Saya
berpikir, maka saya adalah pengada yang bepikir, yaitu eksistansi dari budi,
sebuah subtansi sadar.
Dalam kitab Veda disebutkan (dan selanjutnya dijelaskan dalam kitab
upanisad), bahwa manusia pertama dalam konsepsi Hindu adalam Manu atau
Swayambu-Manu (Mahluk berpikir yang menjadikan dirinya sendiri). Dari
konsepsi (lingual dan filosofis) ini maka dalam sistem kondifikasi Veda kita
mengenal Manu sebagai maharsi pertama yang menuliskan (sabda suci/wahyu
yang diterima) tentang hukum Hindu (dharma) berdasarkan ingatan pikirannya
sebagai kitab hukum tersebut dikenal dengan nama Manusmerti atau
Manawadharmasastra (kitab umum Hindu dari Manu) (Andhara, 2013).
Dalam Bhagavad-gita dijelaskan bahwa Manusia yang ideal menurut
agama Hindu adalah manusia disebut sebagai sthita prajna, manusia yang tidak
terombang ambing oleh suka dan duka, dan mempersembahkan kegiatannya
kepada Tuhan. Untuk menjadikan seluruh kegiatan kita sebagai persembahan
kepada Tuhan, maka kita harus melakukan yadnya atau pengorbanan atas sifat-
sifat buruk kita. Selama kita masih memegang sifat-sifat buruk itu maka kita tidak
dapat menjadi sthita prajna. Sifat-sifat buruk itu kita kenal sebagai Sad Ripu, yaitu
nafsu yang tidak terkendali, tamak, marah, mabuk, bingung, dan dengki
(Tirthayatra, 2011).
Misi untuk memperbaiki diri menuju manusia ideal (Manava-Madhava)
adalah salah satu tugas suci bagi umat hindu yaitu untuk menata dirinya sendiri
serta masyarakat, serta umat manusia untuk mengenali jati dirinya untuk berusaha
menjadi manusia yang berprikemanusiaan yang secara ideal disebut manusia
“dharmika” (Manava-Madhava). Untuk menjadi manusia ideal, seseorang harus
dapat beretika yang baik dan benar. Menurut Agama Hindu etika sama dengan
susila. Kata susila berasal dari Sansekerta “Sila” yang berarti tingkah laku.
Mendapat awalan “Su” yang berarti baik. Kata susila berarti sikap/tingkah laku
yang baik dan benar. “Tata Susila berarti peraturan tingkah laku yang berarti baik
dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia menurut Mantra (dalam

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 7


Wirawan, 2007)”. Ajaran etika atau tata susila yakni tingkah laku yang baik yang
benar untuk kebahagiaan hidup serta keharmonisan hubungan anatara manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa, antara sesama manusia dengan alam semesta dan
penciptaan-Nya menurut Ttib (dalam Wirawan, 2007). Dalam Kitab Suci Sara
Samuccaya: Sloka 2-3-4 disebutkan sebagai berikut: “Diantaranya semua
melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk leluhurlah ke dalam perbuatan baik,
segala perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya
(pahalanya) manjadi manusia”.
“Oleh karena itu janganlah sekali-kali bersedih hati, sekalipun hidupmu
tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu hendaknya menjadikan kamu
berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat menjadi manusia, meskipun kelahiran
hina sekalipun” (Sara Samuccaaya 3).
“Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama sebabnya
demikian, karena itu dapat menolong dirinya dan keadaan sengsara (lahir dan mati
berulang-ulang) dengan jalan berbuaat baik demikianlah keuntungannya dapat
manjelma sebagai manusia”. (Sara Samuccaya 4).
Memperhatiakan ajaran ini, kita diarahkan serta dituntut untuk berbuat
kebenaran, kebaikan agar dapat melebur kegelapan, atau karma yang jahat
(buruk), untuk menuju manusia Manava-Madhava (Dharmika). Ajaran etika
(moralitas), Tata Susila, serta pengendalian diri untuk menjadikan diri serta
manusia menjadi manusia yang berperi kemanusiaan, berbudhi dan berpribadi
mulia manusi manava-madhava (Dharmika), Purana Bhagawad Gita, Sara
Samuccaya, slokantara, dan yang lain-lainnya.
Sara Samuccaya Sloka 57, menyatakan sebagai berikut:
“Ini adalah brata Sang Brahmana, dua belas banyaknya perinciannya: 1).
Dharma, 2). Satya, 3). Tapa, 4). Dama, 5). Wimasaritwa, 6). Hrih, 7). Titiksa, 8).
Anasuya, 9). Yajna, 10). Dana, 11). Dhrti, 12). Ksama, itulah perinciannya
sebanyak dua belas.
1. Dharma : dari Satyalah sumbernya.
2. Satya
3. Tapa : Ḉarira sang ḉosana, yaitu dapat mengendalikan jasmani
dan mengurangi nafsu.

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 8


4. Dama : artinya tenang dan sabar tahu menasehati dirinya sendiri.
5. Wimasaritwa : artinya tidak dengki, iri hati.
6. Hrih : berarti malu, mempunyai rasa malu.
7. Titiksa : artinya jangan sangat gusar.
8. Anasuya : artinya tidak berbuat dosa.
9. Yajna : adalah mempunyai kemauan mengasakan pujaan.
10. Dana : adalah memberikan sedekah.
11. Dhrti : artinya penenangan dan pensucian pikiran.
12. Ksama : berarti tahan sabar dan suka mengampuni, itulah brata
Sang Brahmana.
Keterangan beberapa kata:
Wimasaritwa : berarti pula tidak serakah, tidak mementingkan diri sendiri
(egois).
Hrih : berarti pula kerendahan hati, kesopanan.
Titiksha : berarti sabar, tahan sabar (tidak resah).
Anasuya : berarti pula antara lain, tidak berarti marah, tidak bertabiat
jahat (tan dosagrahi).
Ksama : berarti pula antara lain, kehendak hati suka mengampuni,
memaafkan.
Sara Samuccaya S. 63, memuat mengenai Catur Prawrtti terdiri dari:
Arjawa (jujur dan terus terang Anḉangsya (tidak mementingkan diri sendiri).
Dama (dapat menasehati dirinya sendiri): dan Indryanigraha (mengekang hawa
nafsu).
Sara Samuccaya Sloka 259, Brata disebutkan sebagai Yama, yaitu:
1. Anḉangsya, yaitu Harimbawa: tidak mementingkan diri sendiri saja.
2. Ksama, tahan akan pansa dan dingin.
3. Satya, yaitu tidak berkata bohong (berdusta).
4. Ahingsa, berbuat selamat atau bagiannya sekalian mahluk.
5. Dama, sabar serta dapat menasehati dirinya sendiri.
6. Arjawa, tulus hati dan berterus terang.
7. Pritti, yaitu sangat welas asih.
8. Prasada, kejernihan hati.

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 9


9. Madhurya, manisnya pandangan (muka manis) dan manisnya perkataan
(perkataan yang lemah lembut).
10. Mardhawa, kelembutan hati.
Sara Samuccaya Sloka 260, brata sepuluh banyaknya, yang disebut niyama, yaitu:
1. Dana : pemberian, pemberian makanan minuman dll.
2. Ijya : pujaan kkepada dewa, kepada leluhur dan lain sejenis itu.
3. Tapa : pengekang nafsu jasmaniah, badan yang seluruhnya
kurus-kering, layu, berbaring di atas tanah, di atas air, dan
di atas alas-alas sejenis itu.
4. Dhyana : tepekur, merenungkan Ḉiwa.
5. Swadhyaya : mempelajari Weda.
6. Upasthanigraha: pengekangan upastha, singkatnya pengendalian nafsu sex.
7. Upawasa : puasa.
8. Brata : pengekangan nafsu terhadap makanan/minuman.
9. Mona : wacangyama, berarti menahan, tidak mengucapkan kata-
kata/yaitu tidak berkata-kata, sama sekali tidak bersuara.
10. Snana : trisandhyasewana, mengikuti trisandhya, mandi
membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari dan
petang hari.
Menurut Sura (dalam Wirawan, 2007) menyatakan “Peraturan tingkah
laku yang baik disebut orang orang tata susila. Nama lainnya adalah etika, bila
etika beretika masih dalam angan-angan disebut orang budi-budi baik dan bila
diwujudkan dalam tindakan disebut orang budi pekerti yang baik. Dalam
hubungan ini tingkah laku dapat dinilai dengan tiga tingkatan : Pertama, semasih
dalam bentuk angan-angan, kedua sesudah berbentuk pekerti yaitu perbuatan
nyata dan ketiga adalah akibat yang ditimbulkan oleh pekerti ini. Hasil itu boleh
jadi baik, boleh jadi juga buruk menurut Warta (dalam Wirawan, 2007).
2.3 Keterkaitan Antara Sifat Ngekoh dan Meboya dengan Manusia Ideal
(Manava-Madhava).
Untuk mewujudkan manusia yang ideal sifat ngekoh dan meboya sangat
perlu untuk dikendalikan, karena untuk menjadi manusia yang ideal maka
seseorang harus menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri manusia

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 10


atau disebut dengan Sad Ripu, dimana sifat ngekoh dan meboya tersebut
dipengaruhi oleh Sad Ripu tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa sifat ngekoh
dan meboya dengan manusia ideal saling keterkaitan antara satu dengan yang
lainnya, dimana jika sifat ngekoh dan meboya dapat dikendalikan maka seseorang
tersebut kemungkinan dapat menjadi manusia yang ideal. Dalam kitab Bhagavad-
gita juga dijelaskan bahwa:
“Daivi hy esa guna-mayi
Mama maya duratyaya
Mam eva ye prapadyante
Mayam etam tarati te”
Bhagavad-gita seloka 13 Bab VII, hal. 410
Artinya:
“Sesungguhnya kekuatan spiritual-Ku yang dipenuhi oleh (tiga) sifat alam
tersebut adalah kekuatan khayal yang sangat sulit dibatasi. Hanya mereka yang
menyerahkan diri sepenuhnya pada-Ku yang dengan pasti mampu menyebrangi
kekuatan khayal ini”.
2.4 Upaya yang Dilakukan Untuk Menurunkan Sifat Ngekoh dan Meboya
Untuk Mewujudkan Manusia Ideal (Manava-Madhava).
Dalam dunia pendidikan sifat malas sangat perlu untuk dihindari, seperti
ngekoh untuk buat tugas, ngekoh untuk datang ke kampus, ngekoh untuk ikut
organisasi, ngekoh untuk membaca buku, ngekoh untuk bertanya pada saat sisi
diskusi, dan lain sebagainya. Serta, jika di dalam ajaran Agama hindu kata ngekoh
juga perlu di hapuskan, seperti halnya ngekoh untuk sembahyang baik itu ke pura,
ngekoh untuk membuat Canang Sari/Banten pada saat Hari Raya Suci Agama
Hindu, ngekoh untuk ngayah ke pura, dan lain sebagainya. Namun dalam dunia
kesehatan, ngekoh juga sangat diperlukan, karena rasa malas pada seseorang jika
digunakan pada waktunya akan memberikan atau menjaga kesehatan tubuh
seseorang, seperti misalnya istirahat pada saat kelelahan. Istirahat sangat baik
untuk menjaga kesehatan namun pada waktu yang tepat. Disamping itu istirahat
yang berlebihan juga dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang, karena waktu
adalah uang. Jika dibandingkan antara seseorang yang istirahat 11 jam dalam
sehari dengan orang yang istirahatnya 3 jam dalam sehari seperti seseorang yang

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 11


ahli fisika yang bernama Albert Einstain, maka seseorang yang tidurnya lebih
sedikit akan mengalami kesuksesan yang lebih dulu jika dibandingkan dengan
seseorang yang tidurnya lebih lama. Maka dari itu, seseorang harus
mengendalikan sifat dari pada ngekoh dan meboya untuk menjadikan manusia
yang ideal.
Adapun beberapa upaya yang harus dilakukan untuk menurunkan sifat
ngekoh dan meboya tersebut diantaranya adalah upaya melepaskan Sad Ripu atau
sifat-sifat buruk. Untuk melepaskan sifat-sifat buruk tersebut tentunya
membutuhkan usaha dan perjuangan yang keras dan konsisten, yang tentu saja
menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman. Upaya itulah yang sering disebut
dengan istilah yadnya atau pengorbanan.
1. Bagi orang yang berperilaku tenang, satwik dan damai, mungkin mudah
untuk mengorbankan rasa marah. Namun bagi seorang pemarah, adalah
sangat berat untuk mengorbankan rasa marah. Rasa marah memberikan
kenikmatan tersendiri, sehingga meskipun kita semua tahu marah tidak baik,
namun seorang pemarah sulit sekali melepaskan keterikatannya pada rasa
marah. Dibutuhkan kerelaan, kemauan dan tindakan nyata untuk
mengorbankan rasa marah. Mengorbankan rasa marah tidak sama dengan
memendam marah. Mengorbankan rasa marah adalah menghilangkan rasa
marah, baik dengan melepas beban yang menimbulkan rasa marah atau
dengan merubah energi marah menjadi energi yang sifatnya kreatif. Apabila
seseorang bersedia dan dapat mengorbankan rasa marahnya, maka ia telah
melakukan langkah yang sangat besar untuk menjadi pribadi ideal yang
digambahkan dalam Bhagawad Gita (Tirthayatra, 2011).
2. Bagi seorang yang rajin, mungkin mudah untuk melawan rasa malas. Tapi
bagi seorang pemalas, sangat sulit untuk mengorbankan sedikit waktu
tidurnya. Dibutuhkan tekad dan kemauan yang besar untuk memulai
kebiasaan bangun pagi dan berolah raga. Kita harus melawan rasa kantuk,
meninggalkan nikmatnya sentuhan lembut kasur dan guling, dan menuju
kamar mandi untuk merasakan dinginnya air di pagi hari. Perjuangan
melawan rasa malas itu merupakan yadnya atau pengorbanan (Tirthayatra,
2011).

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 12


3. Bagi seorang yang hatinya terbuka, mungkin mudah untuk melepas rasa
dengki. Namun bagi seseorang yang sudah biasa berperilaku dengki, akan
sangat sulit melepas kebiasaan itu. Terlebih lagi apabila lingkungannya
dipenuhi oleh orang-orang yang juga berpikir dengki. Tapi apabila kita ingin
menjadi sthita prajna, ingin menjadi pribadi yang lebih baik, ingin
mempersembahkan kegiatan kita untuk Tuhan, maka kita harus rela melepas
rasa dengki ini. Itulah pengorbanan yang harus kita lakukan. Kita tidak bisa
memiliki rasa dengki dan rasa syukur pada saat yang bersamaan. Apabila kita
ingin menjadi pribadi yang bersyukur, maka kita harus ikhlas melepas rasa
dengki kita (Tirthayatra, 2011).
4. Bagi seseorang yang sejak awal memiliki komitmen untuk menyelesaikan
masalah, mungkin mudah untuk tidak bingung. Namun tidak sedikit dari kita
yang seringkali justru menikmati rasa bingung dan berputar-putar tanpa
berusaha mencari solusi. Seringkali kita tidak mencari akar permasalahan
namun justru melepaskan tanggung jawab menyelesaikan masalah dengan
mencari kambing hitam atau terus mengeluh. Untuk menjadi pribadi yang
lebih baik, untuk menjadi sthita prajna, kita harus rela melepas semua
kebingungan kita dan mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah kita (Tirthayatra, 2011).
5. Bagi seseorang yang tidak suka mabuk, mudah untuk tidak mabuk. Tetapi
bagi seseorang yang suka mabuk, sangat sulit untuk melepaskan kebiasaan
mabuk. Jika kita ingin menjadi pribadi yang lebih baik, jika kita ingin
kehidupan yang lebih baik, mau tidak mau kita harus mengorbankan
kenikmatan dari rasa mabuk dan berusaha keras untuk menghilangkan
kebiasaan mabuk (Tirthayatra, 2011).
Upaya-upaya di atas tidak mudah untuk dilakukan, karena sifat-sifat buruk
yang ada dalam tubuh manusia tidak bisa terlepas karena manusia selalu
dipengaaruhi oleh ikatan duniawai. Namun bagi seseorang yang ingin menjadi
manusi yang ideal dalam konteks agama hindu, yeitu mereka harus mampu untuk
melepaskan sifat-sifat buruk tersebut dimana sifat ngekoh dan meboya terdapat
didalamnya.

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 13


DOA PENUTUP

Om Mantrahinam kryahinam,
bhakti-hinam parameswara tad pujitam mahadewa,
paripurna tad astu me,
Om dirghayur nirwighnam sukkha wrdhi nugrahakam

Arti:
Oh Hyang Widhi doa kami kurang,
perbuatan kami tiada sempurna bhakti hamba juga tiada sempurna,
maka itu kami memuja Mu Iswara yang agung,
semoga dapat menganugrahkan kesempurnaan/kemampuan melakukan kewajiban.

Om Hyang Widhi semoga kami senantiasa sukses tanpa halangan dan


memperoleh kebahagiaan.

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 14


BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari uraian data di atas dapat disimpulkan bahwasannya:
1. Ngekoh dan meboya adalah seperti sebuah penyakit, dimana kata ngekoh
memiliki pengertian yang hampir sama dengan sifat yang ada di dalam
sifat Tri Guna yaitu sifat Tamas (malas), sedangkan kata meboya adalah
sifat yang dimiliki oleh seseorang dimana orang tersebut tidak yakin akan
hal-hal tertentu, terutama keyakinan akan hal-hal yang berbaur mistis.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ngekoh dan meboya adalah sesuatu
yang dapat menurunkan keyakinan dan semangat bagi orang yang
mengalaminya.
2. Manusia yang ideal menurut agama Hindu adalah manusia disebut sebagai
sthita prajna, manusia yang tidak terombang ambing oleh suka dan duka,
dan mempersembahkan kegiatannya kepada Tuhan. Untuk menjadikan
seluruh kegiatan kita sebagai persembahan kepada Tuhan, maka kita harus
melakukan yadnya atau pengorbanan atas sifat-sifat buruk kita. Selama
kita masih memegang sifat-sifat buruk itu maka kita tidak dapat menjadi
sthita prajna.
3. Untuk mewujudkan manusia yang ideal sifat ngekoh dan meboya sangat
berpengaruh. Karena, untuk menjadi manusia yang ideal maka seseorang
harus menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri manusia atau
disebut dengan Sad Ripu. Dimana sifat ngekoh dan meboya tersebut
terdapat dalam jenis-jenis Sad Ripu. Sehingga dapat dikatakan bahwa
keduanya saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, dimana jika
sifat ngekoh dan meboya dapat dikendalikan maka seseorang tersebut
kemungkinan dapat menjadi manusia yang ideal
4. Adapun beberapa upaya yang harus dilakukan untuk menurunkan sifat
ngekoh dan meboya tersebut diantaranya adalah upaya melepaskan Sad
Ripu atau sifat-sifat buruk. Seperti: mengorbankan rasa marah, melawan
rasa malas, melepas rasa dengki, memiliki komitmen untuk menyelesaikan
masalah, serta berusaha keras untuk menghilangkan kebiasaan mabuk.

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 15


3.2 Saran
Melalui makalah ini, diharapkan para mahasiswa atau pembaca memahami
dan meyakini materi tentang manusia. Namun “Tak ada gading yang tak retak”,
makalah kami masih jauh dari sempurna. Untuk itu, mohon kritik dan saran dari
para pembaca untuk perbaikan makalah kami. Dan penulis menyarankan kepada
pembaca agar lebih mendalami dan mempelajari terkait dengan materi
menurunkan sifat ngekoh dan meboya untuk mewujudkan manusia yang ideal,
karena dengan demikian sebagai calon guru nantinya akan mampu memenuhi
kebutuhan peserta didik demi kemajuan dari peserta didik.

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 16


DAFTAR PUSTAKA
Andhara, Kadek. 2013. “Pembangunan Kualitas Manusia Menurut Konsep
Agama Hindu”. Terdapat dalam
http://andharakadek.blogspot.com/2013/12/pembangunan-kualitas-
manusia-menurut.html. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2014.
Darmayasa. 2012. Bhagavad-gītā (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma
Sthapanam.
Donder, I Ketut. 2007. Teologi dalam Geguritan Sucita. Surabaya: Paramita.
Hasri, Ita. 2010. “Manusia Hindu”. Terdapat dalam
http://itahasri.blogspot.com/2010/12/manusia-hindu.html. Diunduh
pada tanggal 22 Juni 2014.
Tirthayatra, I Made B. 2011. “Yadnya dan Keberhasilan”. Terdapat dalam
http://stahdnj.ac.id/?tag=yadnya. Diunduh pada tanggal 22 Juni 2014.
Winawan, W. 2002. Materi substansi kajian mata kuliah pengembangan
kepribadian pendidikan dan Agama Hindu. Jakarta: Ditjen Dikti.
Wirawan, I Gusti Bagus. 2007. Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi.
Surabaya: Pāramita.

PENDIDIKAN AGAMA HINDU Page 17

Anda mungkin juga menyukai