Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fenol adalah salah satu polutan dalam air yang timbul dari
berbagai macam industri kimia seperti minyak bumi, gas,
petrokimia, plastik, pabrik minuman bersoda dan produk industri
fenol (Zhang dkk., 2012; Podkoscielny dkk., 2012). Fenol sangat
beracun pada konsentrasi rendah dan sulit untuk terurai. Oleh
karena itu, sangat penting untuk menghilangkan fenol sebelum
dilepaskan ke lingkungan. Berbagai macam metode seperti
oksidasi kimiawi, elektrokimia, degradasi fotokatalitik dan
adsorpsi merupakan cara-cara untuk menghilangkan limbah
fenol (Liu QS dkk., 2010). Metode adsorpsi dipilih karena
memiliki biaya awal rendah, operasi sederhana, tidak sensitif
terhadap racun zat, dan efektivitas tinggi (Lin Shu Hia dkk.,
2009; Srihari dkk., 2008).
Karbon aktif adalah adsorben yang digunakan untuk
menghilangkan fenol, karena luas permukaan spesifiknya besar,
volume pori tinggi, gugus fungsional permukaan memadai dan
kemampuan adsorpsi tinggi untuk polutan organik (Dabrowski
dkk., 2005; Girods P dkk., 2009). Kekurangan karbon aktif
adalah mahal dan sulit diperbaruhi. Untuk menghindari
kerugian, menggunakan adsorben yang murah dan efektif
(Girods P. dkk., 2009), yaitu bahan berasal dari hasil samping,
seperti pertanian, abu layu bagasse, bentonit dan limbah industri
(Al-Asheh dkk., 2003; Diaz-Nava dkk., 2012; Hua C dkk., 2012;
Rawajfih dkk., 2006; Srivastava dkk., 2006). Selain itu, bahan
alami seperti zeolit digunakan sebagai adsorben, karena biaya
yang lebih rendah dan tersedia dalam jumlah yang banyak.
Zeolit alam dan zeolit sintetik memiliki fungsi untuk
mengendalikan pencemaran, karena memiliki sifat pertukaran
ion dan luas permukaan yang tinggi (Juang RS dkk., 2000;
Okolo B dkk., 2012; Yousef Rushdi I dkk., 2011). Adsorpsi
fenol menggunakan zeolit dan karbon aktif berikut kemampuan
adsorpsi karbon aktif telah diteliti oleh Ahmaruzzaman dkk.,
1
(2008). Penelitian tersebut mempelajari adsorpsi fenol dan tiga
isomer klorofenol dari larutan berair menggunakan karbon aktif,
NaY dan Ni/NaY. Kesetimbangan adsorpsi karbon aktif
didapatkan dalam waktu 2-4 jam, namun waktu adsorpsi
diperpanjang untuk mengetahui kesetimbangan sampel zeolit.
Meskipun efisiensi penyisihan fenol pada zeolit tidak sebagus
karbon aktif, ketersediaannya yang mudah dan biaya rendah
dapat mengkompensasi kelemahan ini sampai batas tertentu
(Ahmaruzzaman dkk., 2008). Pada penelitian lain, didapatkan
bahwa komposit zeolit X/karbon aktif merupakan adsorben
optimal untuk menyerap fenol dalam larutan berair (Foo KY
dkk., 2011; Okolo B dkk., 2000).
Campuran elutrilithe dan bubuk pitch digunakan untuk
mendapatkan komposit zeolit X/karbon aktif dengan
menggunakan metode karbonisasi, aktivasi CO2 dan perlakuan
hidrotermal (Jinghong Ma dkk., 2012). Penelitian yang
dilakukan oleh Jinghong Ma dkk., (2012) bertujuan untuk
menyelidiki komposit sebagai adsorben baru dan menghilangkan
fenol dari larutan berair. Metode Percobaan Batch dilakukan
untuk mengetahui pengaruh kondisi seperti pH, dosis adsorben,
konsentrasi awal dan waktu adsorpsi pada proses adsorpsi.
Adsorpsi dan kinetika dianalisa dengan menentukan parameter
termodinamika dan perubahan Energi bebas Gibbs, entalpi dan
entropi. Selanjutnya, dihitung kinetika adsorpsi untuk
mengetahui mekanisme adsorpsi, dengan mengoptimalkan
reaktor fenol.
1.2 Permasalahan
Permasalahan dalam study kestabilan adsorpsi fenol dan
kinetika pada zeolit X/komposit karbon aktif adalah:
1. Bagaimana pengaruh pH larutan terhadap kesetimbangan
adsorpsi ?
2. Bagaimana cara menentukan jenis adsorpsi ?
3. Bagaimana menentukan kesetimbangan adsorpsi yang
paling baik ?

2
1.3 Tujuan
Tujuan dari study kesetimbangan adsorpsi fenol dan
kinetika pada zeolit X/komposit karbon aktif adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh pH larutan terhadap
kesetimbangan adsorpsi.
2. Untuk menentukan jenis adsorpsi.
3. Untuk menentukan kesetimbangan adsorpsi yang paling
baik.

3
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Zeolit
Zeolit merupakan mineral kristal alumino-silikat berpori
terhidrat yang mempunyai kerangka tiga dimensi. Zeolit
terbentuk dari ion-ion silikat [SiO4]4- dan aluminat [AlO4]5-,
tetrahedral yang saling terhubung oleh atom-atom oksigen,
(Amrulloh, 2014). Struktur tetrahedral [SiO4]4- dan [AlO4]5-
dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Oksigen

Silikon/Aluminium

Gambar 2.1 Struktur [SiO4]4- dan [AlO4]5- (Amrulloh, 2014).


Rumus kimia umum zeolit Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y].wH2O
dimana M adalah kation alkali atau alkali tanah, n adalah valensi
kation, w adalah banyaknya molekul air per unit sel, x dan y
adalah jumlah unit tetrahedral per satuan unit sel. Rasio y/x
merupakan salah satu faktor penentu struktur/jenis zeolit.
Sebagai contoh, zeolit X memiliki rasio y/x antara 1 dan 1,5,
zeolit A memiliki rasio y/x antara 1 sampai 1,5, ZSM-5
memiliki rasio y/x antara 10 sampai 100 dan sebagainya
(Amrulloh, 2014).
2.2 Zeolit Alam dan Sintetik
Berdasarkan asalnya dikenal dua jenis zeolit, yaitu zeolit
alam dan zeolit sintetik.

5
2.2.1 Zeolit Alam
Zeolit alam ditemukan dalam bentuk mineral di daerah
yang bergunung berapi, baik gunung api yang masih aktif
maupun sudah mati. Ada beberapa jenis zeolit alam yang telah
ditemukan yang masing-masingnya memiliki komposisi kimia
yang berbeda. Komposisi kimia yang berbeda terutama adalah
kandungan Si dan Al serta jenis kation yang menjadi komponen
minor, seperti diperlihatkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis zeolit alam dan komposisi kimianya
No. Zeolit Alam Komposisi
1 Analsim Na16(Al16Si32).16H2O2
2 Kabasit (Na2,Ca)6(Al12Si24O72).40H2O
3 Klimoptilotit (Na4K4)(Al8Si40O96).24H2O
4 Erionit (Na,Ca5K)(Al9Si27O72).27H2O
5 Ferrierit (Na2Mg2)(Al6Si30O72).18H2O
6 Heulandit Ca4(Al8Si28O72).24H2O
7 Laumonit Ca(Al8Si16O48).16H2O
8 Mordenit Na8(Al8Si40O96).24H2O
9 Filipsit (Na,K)10(Al10Si22O64).20H2O
10 Natrolit Na4(Al4Si6O20).4H2O
11 Wairakit Ca(Al2Si4O12).12H2O
(Widiawati, 2017)
Zeolit alam terbentuk karena adanya proses fisika dan
kimia yang kompleks terhadap batuan-batuan yang mengalami
berbagai macam perubahan di alam. Zeolit alam diperkirakan
sebagai produk dari gunung berapi yang membeku menjadi
batuan sedimen, batuan vulkanik dan batuan metamorfosa yang
selanjutnya mengalami proses pelapukan karena pengaruh iklim
(Widiawati, 2017). Mengingat asalnya maka zeolit alam sangat
jarang ditemukan dalam keadaan bebas pengotor. Keberadaan
pengotor tersebut dapat mengurangi manfaat zeolit sehingga
diperlukan upaya tambahan untuk memperbaiki sifat-sifat zeolit
alam sebelum digunakan dalam berbagai bidang, misalnya
sebagai adsorben, dan katalis. Oleh karena itu, umumnya zeolit
6
alam diaktivasi sebelum digunakan dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitasnya (Widiawati, 2017).
2.2.2 Zeolit Sintetik
Zeolit sintetik adalah zeolit yang dibuat dari bahan-bahan
aluminosilikat dengan cara meniru proses pembentukan zeolit di
alam. Berbagai bahan baku yang mengandung aluminosilikat
dapat digunakan. Komponen penyusun zeolit ditambahkan
dengan menggunakan bahan baku berupa senyawa murni,
sehingga zeolit sintetik yang dihasilkan mempunyai kemurnian
tinggi dan komposisi yang tetap (Yulianti, 2017). Karena
kondisi dan komposisi bahan baku dalam sintesis zeolit dapat
dikontrol maka jenis zeolit yang dapat dihasilkan lebih banyak
dan beragam daripada zeolit alam. Beberapa contoh sintesis
zeolit sintetik, diperlihatkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Beberapa zeolit sintetik dan rumus kimianya.
Zeolit Rumus Kimia
Zeolit A Na2O.Al2O32Si3O2.4,5H2O
Zeolit N-A (Na,TMA)2O.Al2O34,8SiO2.7H2O TMA–(CH3)4N+
Zeolit H K2O.Al2O3.2Si2O2.4H2O
Zeolit L (K2Na2)O.Al2O3.6Si2.5H2O
Zeolit X Na2O.Al2O3.2,5SiO2.6H2O
Zeolit Y Na2O.Al2O3.4,8SiO2.8,9H2O
Zeolit P Na2O.Al2O3.2-5SiO2.5H2O
Zeolit O (Na,TMA)2O.Al2O37SiO2.3,5H2O TMA-(CH3)4N+
Zeolit Ω (Na,TMA)2O.Al2O37SiO2.5H2O TMA–(CH3)4N+
Zeolit ZK-4 0,85Na2O.0,15(TMA)2O.Al2O3.3,3SiO2.6H2O
Zeolit ZK-5 (R,Na2)O.Al2O3.4-6SiO2.6H2O
(Yulianti, 2017)

7
2.3 Struktur Zeolit
Struktur Kristal zeolit terbentuk dari kerangka dasar yang
ion silikat dan/atau ion aluminat yang dikenal sebagai
“Secondary Building Unit” (SBU), sebagaimana ditunjukkan
dalam Gambar 2.2. Dalam SBU ini Si atau Al berada pada
masing-masing sudut dan digambarkan dalam bentuk lingkaran,
sedangkan oksigen berada pada garis yang menghubungkan Si
dan/atau Al (Widodo, 2017).

Gambar 2.2 Secondary Building Unit (SBU) dalam Kerangka


Zeolit (Widodo, 2017).
Unit sodalit (𝛽 cage) terdiri dari cincin 4 (S4R) dan cincin
6 (S6R) yang bergabung bersama membentuk kuboktahedron
(oktahedron terpancung) dan diilustrasikan dalam Gambar 2.3.
Apabila sodalit cage saling dihubungkan melalui cincin ganda
empat maka akan terbentuk zeolit A, tetapi apabila dihubungkan
melalui cincin ganda enam maka terbentuk zeolit X dan zeolit Y
yang merupakan kelompok zeolit jenis Faujasit. Kombinasi SBU
tersebut sangat banyak sehingga bermacam zeolit dapat pula
dihasilkan dari kombinasi SBU tersebut (Widodo, 2017).

8
Gambar 2.3 Struktur zeolit yang dihasilkan dari SBU S4R dan
S6R: (a) Sodalit; (b) Zeolit A; dan (c) Faujasit
(Widodo, 2017).
Bentuk Faujasit didapatkan dari sodalit (𝛽 cage) yang
dihubungkan dengan cincin ganda enam menjadi zeolit X dan Y.
Zeolit X memiliki rasio Si/Al antara 1 dan 3, sedangkan pada
pada zeolit Y memiliki rasio Si/Al 3 atau lebih tinggi.
2.4 Zeolit X
Zeolit X merupakan salah satu jenis faujasit. Faujasit
adalah satu dari beberapa zeolit yang dapat disintesis dari bahan
alam. Rumus umum faujasit adalah Naj[(AlO2)j(SiO2)192-j].zH2O.
Zeolit faujasit dibagi menjadi 2 yaitu zeolit faujasit kaya silikon
(zeolit Y) dan zeolit faujasit yang kaya aluminium (zeolit X).
Zeolit X memiliki ukuran pori 7,3 dan KTK (Kapasitas Tukar
Kation) tinggi sebesar 5 meq/g sehingga dapat digunakan
sebagai ayakan molekuler dan bahan penukar kation tinggi
(Bahri, 2015).
Rumus molekul dari sintesis zeolit X adalah
Na86[(AlO2)86(SiO2)106].264H2O. Menurut Bahri, (2015) zeolit X
mempunyai diameter 𝛼-cage (supercage) 13 Å dan diameter
𝛽-cage (kerangka sodalit) 6,6 Å dengan diameter pori 7,4 Å
membentuk struktur tiga dimensi dengan rasio Si/Al 1,0-1,5.
Perbedaan antara zeolit X dengan zeolit lain dilihat dari jumlah
cincin pada SBU (Secondary Building Unit) atau unit
pembangun kedua, contoh zeolit A memiliki 8 cincin dan zeolit
faujasit memiliki 12 cincin (Bahri, 2015).
9
Salah satu zeolit sintetik yang banyak digunakan adalah
zeolit X yang dimanfaatkan untuk menyerap CO2 dari aliran gas
buang mesin serta digunakan pula pada pemurnian oksigen dari
udara di industri. Selain itu, kemampuan pertukaran kation
zeolit X dimanfaatkan untuk pengangkatan ion-ion logam
beracun atau radioaktif dari air yang tercemar. Zeolit X juga
digunakan untuk pengeringan hidrokarbon dan gas penghilangan
H2O, CO2 dan SO2 dari gas alam yang bermutu rendah.
Dalam aplikasi sebagai adsorben, zeolit X memiliki luas
permukaan yang rendah 50 m2/g (Nurul, 2012). Luas permukaan
zeolit X ini jauh lebih rendah daripada adsorben yang umum
digunakan yaitu gel silika (silica gel) dan karbon aktif. Silika gel
memiliki luas permukaan 300-1000 m2/g (Amalia, 2015) dan
karbon aktif 300-3500 m2/g (Sembiring dkk., 2003).
Walaupun memiliki luas permukaan yang relatif rendah,
zeolit X memiliki kemampuan pertukaran kation yang tidak
dimiliki oleh baik gel silika maupun karbon aktif. Selain itu,
zeolit X memiliki rongga-rongga di dalam strukturnya yang
memiliki ukuran setara dengan ukuran molekul tertentu. Dengan
kedua sifat tersebut maka zeolit X dapat digunakan sebagai
penukar kation dan penyaring molekul dengan ukuran tertentu,
sesuai dengan rongga yang dimiliki olehnya (Widodo, 2017).
2.5 Karbon Aktif
Karbon aktif adalah karbon amorf yang mempunyai luas
permukaan antara 300-2000 m2/gr. Luas permukaan yang besar
ini berasal dari struktur pori-pori di dalam karbon aktif yang
mampu menyerap uap, gas, ataupun untuk mengadsorpsi uap,
gas, ataupun zat. Kemampuan karbon aktif dalam menyerap gas
tersebut membuatnya banyak dimanfaatkan dalam industri,
maupun aplikasi sehari-hari di rumah seperti penghilang bau dan
warna cairan (Fatmawati dkk., 2017). Secara umum, pembuatan
dan aktivasi karbon aktif ditunjukkan pada Gambar 2.4.

10
Proses
Karbonisasi pengontrolan
Arang Karbon
CO2, Uap 500-800 Aktif
oC

Bahan
Dasar

Proses aktivasi
(H3PO4 H2SO4, KOH, NaOH,
ZnCl2 dan NaCl) Karbon
Arang
Disaring/dicuci Aktif

Gambar 2.4 Skema pembuatan karbon aktif secara umum


(Khuluk, 2016).
Karbon aktif bisa dibuat dari berbagai macam bahan
selama mengandung unsur karbon seperti, kayu, tempurung
kelapa, batubara, tulang binatang, sekam padi, dan lain-lainnya
termasuk pula elutrilithe dan pitch.
Elutrilithe adalah adalah bahan alam yang diekstraksi dari
limbah batubara. Komposisi dasarnya dicampur aluminosilikat
dengan karbon sebagai adsorben untuk menghilangkan senyawa
organik. Bahan aluminosilikat mudah bereaksi dengan alkali
kuat pada suhu tinggi untuk menghasilkan produk terlarut
(Vigneron, 1994). Pitch adalah campuran kompleks senyawa
hidrokarbon berbentuk resin dan terdiri dari berbagai
hidrokarbon aromatik dan senyawa heterosiklik dan berasal dari
minyak bumi, tar batubara atau tanaman (Li Zhonglin, 2014).
Baik elutrilithe maupun pitch adalah bahan dasar yang mudah
didapat dan murah karena keduanya adalah bahan limbah.
Pembuatan karbon aktif diawali dengan karbonisasi
(pengarangan) bahan-bahan baku yang mengandung karbon.
Karbonisasi dilakukan dengan pemanasan pada suhu tertentu
dari bahan-bahan organik dalam atmosfir berkadar oksigen sama
sekali. Dalam proses karbonisasi terjadi penghilangan zat-zat
11
yang mudah menguap (volatile matter) yang terdapat di dalam
bahan baku. Proses pemanasan dalam karbonisasi ini
menyebabkan terjadinya penguraian senyawa organik bahan
baku menjadi air, asam-asam karboksilat, hidrokarbon aromatik
yang tahan suhu tinggi dan tar. Pemanasan dalam waktu yang
cukup lama dengan oksigen yang terbatas akhirnya mengubah
semua produk tersebut (asam-asam karboksilat, hidrokarbon
aromatik dan tar) menjadi karbon. Tahap-tahap reaksi yang
terjadi pada saat karbonisasi meliputi penghilangan air atau
dehidrasi, penguapan lignin, penguapan selulosa, dan pemurnian
karbon. Penghilangan air, penguapan selulosa dan penguapan
lignin terjadi pada suhu sampai dengan 4000C sedangkan untuk
proses pemurnian karbon terjadi pada suhu 500-8000C (Khuluk,
2016).
Karbon yang dihasilkan dari proses karbonisasi masih
memiliki aktivitas yang rendah. Oleh karena itu maka perlu
dilakukan proses aktivasi, yaitu proses pembuatan karbon aktif
yang bertujuan untuk membuka, menambah atau
mengembangkan volume pori dan memperbesar diameter pori
yang telah terbentuk pada proses karbonisasi, karena karbon
aktif hasil karbonisasi biasanya masih mengandung zat masih
menutupi pori-pori permukaan karbon aktif. Melalui proses
aktivasi karbon aktif akan memiliki daya adsorpsi yang semakin
meningkat (Khuluk, 2016).
Ada 2 metode aktivasi yang dapat digunakan, yaitu
aktivasi fisika dan kimia. Aktivasi fisika dilakukan dengan cara
pemanasan pada suhu 500-8000C. Faktor-faktor yang
mempengaruhi karakteristik atau sifat dari karbon aktif yang
dihasilkan melalui proses aktivasi fisika antara lain adalah bahan
dasar, laju aliran gas, laju aliran kalor, suhu pada saat proses
aktivasi, proses karbonasi sebelumnya, agen pengaktivasi yang
digunakan, dan alat yang digunakan lama proses aktivasi
(Khuluk, 2016). Di lain pihak, aktivasi kimia, yang merupakan
proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan
pemakaian bahan-bahan kimia dilakukan dengan bahan kimia
(activator) berfungsi sebagai reagen pengaktif yang dapat
12
menyebabkan daya serapnya menjadi lebih baik. Aktivasi
dilakukan dengan merendam karbon hasil karbonisasi di dalam
larutan asam (H3PO4 dan H2SO4), basa (KOH dan NaOH), atau
garam (ZnCl2 dan NaCl) (Khuluk, 2016).
Aktivasi secara kimia memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan aktivasi secara fisika diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Proses karbonisasi dan proses aktivasi karbon
terakumulasi dalam satu langkah yang umumnya disebut
one-step activation atau metode aktivasi satu langkah.
2. Suhu reaksi aktivasi yang digunakan umumnya jauh lebih
rendah dibandingkan dengan suhu pada aktivasi fisika.
3. Aktivator kimia dapat memperbaiki pengembangan pori
di dalam struktur karbon (Khuluk, 2016).
2.6 Komposit Zeolit Karbon Aktif
Zeolit dan karbon aktif merupakan dua jenis zat yang
terpisah yang sama-sama memiliki sifat sebagai adsorben. Zeolit
memiliki keunggulan dalam menyerap kation dan molekul-
molekul polar sedangkan karbon aktif mampu menyerap
molekul non polar dalam rentang ukuran molekul yang lebar.
Kedua jenis material penyerap (adsorben) tersebut dapat
digabung menjadi komposit zeolit karbon aktif yang mewarisi
semua kelebihan masing-masingnya.
Komposit zeolit-karbon aktif banyak dibuat dengan
menumbuhkan zeolit pada permukaan karbon. Bahan baku yang
dipakai adalah yang mengandung karbon sekaligus mengandung
silika yang mudah diekstrak dengan larutan alkali (NaOH).
Setelah proses pengekstrakan silika kemudian dilakukan
penambahan alumina dan direaksikan secara hidrotermal
sehingga terbentuk kristal zeolit pada permukaan karbon.
Metode Hidrothermal adalah metode lain dalam
pembuatan komposit zeolit karbon aktif dengan nitrogen.
Metode Hidrotermal merupakan metode percepatan transformasi
bahan seperti abu layang (sisa dari hasil pembakaran batu
13
bara) menjadi materi zeolit dan tidak merusak struktur dasar
kristal zeolit. Dalam pembuatan komposit zeolit-karbon aktif
diperlukan gas nitrogen. Gas nitrogen diperlukan untuk menjaga
agar oksigen tidak kontak langsung dengan karbon, (apabila
terjadi kontak langsung, karbon akan teroksidasi jadi CO2),
sehingga karbon tetap terjaga dan tidak menguap. Metode lain
dalam pembuatan komposit zeolit karbon aktif dengan nitrogen
yaitu Metode Hidrothermal (Setiadi dkk., 2016). Contoh hasil
SEM komposit karbon aktif dengan proses kalsinasi dapat
dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Foto SEM komposit karbon aktif dengan proses


kalsinasi (Amelia dkk., 2013).
2.7 Difraksi Sinar-X (XRD)
Difraksi Sinar-X (X-Ray Diffraction/XRD) adalah metode
karakterisasi dan identifikasi bahan kristal untuk menentukan
jarak antar atom, bentuk kristal dan ukuran kristal. Secara
prinsip XRD mengamati hamburan adalah melihat sudut pantul
dari sinar di tembakkan ke sampel. Setiap sinar-X dipancarkan
ke sampel berdasarkan persamaan Bragg:
n. λ= 2dsin𝜃
Hamburan sinar-X disebabkan oleh pemantulan sinar-X yang
diterima oleh atom-atom/ion-ion penyusun kristal yang
membentuk bidang-bidang kisi imaginer. Bidang-bidang
imaginer tersebut memiliki jarak tertentu yang sama ordenya
dengan sinar-X dan harus memiliki tingkat keteraturan dan
keberulangan yang tinggi. Pola difraksi yang dihasilkan dari
14
hamburan bersifat spesifik pada struktur dan komposisi unsur
pembentuk kristal tertentu dan bersifat mirip dengan sidik jari.
Sinar-X biasanya didapatkan dari tabung sinar-X atau radiasi
synchrotron. Sinar-X dihasilkan ketika berkas elektron
dipercepat dengan medan bervoltase tinggi menumbuk target
padatan yang diam, saat elektron berenergi dan berkecepatan
tinggi menumbuk atom-atom di dalam padatan, maka
elektron-elektron mengalami perlambatan dengan melepaskan
radiasi sinar-X dengan spektrum kontinu, disebut radiasi
Bremsstrahlung (Prasetyoko dkk., 2016). Seperti pada
Gambar 2.6

Gambar 2.6 Prinsip XRD (Dwi, 2013).


Asosiasi prinsip XRD dengan persamaan Bragg yaitu
ketika ada sinar datang sebanyak 𝜃B menumbuk bahan kristal
dan dipantulkan oleh sinar difraksi sebanyak 𝜃B menjadi 2𝜃B,
maka dapat ditulis persamaan dari Hukum Bragg: 2dsin𝜃=n.λ
yang dinamakan interferensi konstruktif. Selanjutnya
ditransmisikan ke bidang datar untuk mengetahui difraktogram
dari sampel yang akan disintesis.
Metode difraksi sinar-X sangat cocok digunakan
mengkarakterisasi zeolit-X. Metode difraksi sinar-X dapat
menunjukkan apakah bahan yang dianalisis tersebut adalah
zeolit X atau zeolit jenis yang lainnya. Gambar 2.7 berikut ini
menunjukkan contoh difraktogram sinar-X dari zeolit X dan
zeolit-A. Pola difraksi sinar-X untuk zeolit X berbeda dengan
zeolit A dalam hal posisi munculnya puncak-puncak difraksi
pada sudut (2𝜃) dan intensitas ketinggian puncak, yang difraksi
15
khas zeolit X (empat puncak dengan intensitas tertinggi muncul
pada sudut-sudut: 30,939º; 26,652º dan 23,296º (Pratama dkk.,
2018) sedangkan pada zeolit A muncul pada sudut-sudut: 7,18º;
10,17º dan 12,46º (Sriatun, 2004).

Intensitas/(a.u)

2 Teta/(°)

Gambar 2.7 Difraktogram sinar-X dari zeolit X


(Yelmida dkk., 2012)
Intensitas/(a.u)

2 Teta/(°)

Gambar 2.8 Difraktogram sinar-X dari zeolit A


(Khairnar, 2014).
Zeolit memiliki bahan yang bersifat kristal, sedangkan
karbon aktif merupakan bahan amorf. Analisis difraksi dengan
sinar-X tidak menghasilkan puncak-puncak difraksi
sebagaimana pada zeolit X, zeolit A maupun material-material
kristalin lainnya. Dengan demikian, analisis karbon dengan
difraksi sinar-X juga sering dilakukan oleh peneliti untuk
mendapatkan pola difraksi khas karbon sebagaimana

16
ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Intensitas/(a.u)

2 Teta/(°)

Gambar 2.9 Difraktogram sinar-X karbon aktif


(Khadafi, 2016).
2.8 Spektrometri UV-Vis
Spektrometri UV-Vis merupakan pengukuran panjang
gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak
yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya
tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan
elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Spektrum UV-Vis memiliki panjang gelombang
200-400 nm, sedangkan sinar tampak (visible) berada pada
panjang gelombang 400-750 nm (Rohmadhani, 2011).
Manfaat menggunakan spektrometer UV-Vis adalah
untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel pada
panjang gelombang 510 nm dengan metode 4-aminoantipirene.
Metode 4-aminoantipirene adalah metode metabolit
aminopyrine dengan sifat analgesik dan anti-inflamasi. Metode
ini berfungsi sebagai reagen dalam reaksi biokimia yang
menghasilkan peroksida atau fenol (PubChem, 2005).

17
Gambar 2.10 Spektrometer UV-Vis (Kurniawati, 2017).
2.9 Adsorpsi
Adsorpsi adalah penyerapan suatu zat pada permukaan zat
lain. Fenomena ini melibatkan interaksi fisika, kimia, dan gaya
elektrostatik antara adsorbat dengan adsorben pada permukaan
adsorben. Ada dua macam adsorpsi yaitu adsorpsi kimia dan
adsorpsi fisika. Dalam adsorpsi kimia melibatkan ikatan
koordinasi sebagai hasil penggunaan elektron bersama-sama
adsorben dan adsorbat. Sedangkan adsorpsi fisika, molekul-
molekul teradsorpsi pada permukaan dengan ikatan yang lemah
(bersifat reversibel, dengan cara menurunkan tekanan gas atau
konsentrasi zat terlarut) (Sukardjo, 1990).
2.10 Isoterm Adsorpsi - Desorpsi Nitrogen
Adsorpsi (penyerapan) adalah proses pemisahan dimana
komponen dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat
padat yang menyerap (adsorben) biasanya partikel-partikel kecil
zat penyerap dilepaskan pada adsorpsi kimia yang merupakan
ikatan kuat antara penyerap dan zat yang diserap sehingga tidak
terjadi proses yang bolak-balik. Adsorpsi menyangkut akumulasi
atau pemutusan substansi adsorbat pada adsorben dan pada hal
ini dapat terjadi pada antar muka dua fasa. Fasa yang menyerap
disebut adsorben dan fasa yang terserap disebut adsorbat
(Purnamasari, 2016).
Desorpsi adalah proses penyingkiran atom, molekul, atau
ion yang terjerat pada permukaan. Desorpsi berarti suatu
fenomena dimana suatu zat lepas dari permukaan (Purnamasari,
2016). Kegunaan Adsorpsi-Desorpsi Nitrogen adalah untuk

18
mengetahui material dan ukuran pori, luas permukaan zeolit atau
adsorben lain (Purnamasari, 2016).
Metode t-plot yaitu metode yang menghubungkan volume
gas yang teradsorpsi dengan statistical thicknes (t)

5
T(Å) = 3,54 [ ]1/2 (2,1)
2,303log⁡(𝑃0 /𝑃

(Ariyanto dkk., 2012)

2.11 Isoterm Langmuir


Isoterm Langmuir adalah isoterm lapisan tunggal
(monolayer), pada permukaannya mengandung sejumlah pusat
adsorpsi dengan energi-energi adsorpsi yang sama tanpa
perpindahan adsorbat pada bidang permukaan (Hasrianti, 2012).
Isoterm adsorpsi Langmuir didasarkan atas beberapa
asumsi, yaitu :
1. Adsorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal (monolayer).
2. Panas adsorpsi tidak tergantung pada penutupan
permukaan, dan semua situs dan permukaannya.
Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat diturunkan
secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan
antara molekul-molekul zat yang diadsorpsi, pada permukaan
adsorben dengan molekul-molekul zat yang tidak teradsorpsi
(Hasrianti, 2012).
Isoterm Langmuir mengasumsikan bahwa adsorpsi terjadi
di tempat homogen tertentu pada permukaan adsorben dan
membentuk lapisan adsorpsi monomolekuler, yang dinyatakan
pada persamaan 2.1.

𝑞𝑚 𝑏𝐶𝑒
qe = (2.2)
1⁡+⁡𝑏𝐶𝑒

19
dimana qm adalah kapasitas adsorpsi maksimum adsorben
(mg/g), dan b adalah konstanta kesetimbangan adsorpsi
Langmuir (mg/L). Grafik Isoterm Langmuir dapat dilihat pada
Gambar 2.7.

adsorpsi qe
Kapasitas

(mg/g)

Konsentrasi kesetimbangan
Ce (mg/L)
Gambar 2.11 Isoterm Langmuir (Diah, 2014).
2.12 Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich adalah isoterm dengan energi
permukaan heterogen dengan konsentrasi yang berbeda-beda.
(Hasrianti, 2012).
Isoterm Freundlich merupakan adsorpsi jenis fisika
dimana adsorpsi terjadi pada beberapa lapis (monolayer) dan
ikatannya tidak kuat. Isoterm Freundlich menerangkan bahwa
tempat adsorpsi bersifat heterogen. Cara konvensional
menyatakan isoterm Freundlich diberikan dalam persamaan 2.2.

qe = KFCe1/n (2.3)

dimana KF (mg/g), Ce (mg/L), 1/n dan n adalah kapasitas


adsorpsi konstanta Freundlich dan intensitas adsorpsi.
Dari percobaan diperoleh ln (qe) sebagai sumbu y
sedangkan ln Ce sebagai sumbu x diperolah grafik linear dengan
slope = 1/n dan intersep = ln KF (Sawyer, 1994). Grafik Isoterm
Freundlich dapat dilihat pada Gambar 2.7.

20
Kapasitas adsorpsi qe
(mg/g)
Konsentrasi kesetimbangan
Ce (mg/L)

Gambar 2.12 Isoterm Freundlich (Diah, 2014).


2.13 Isoterm Reudlich Peterson
Isoterm Reudlich Peterson adalah isoterm yang
menggabungkan elemen-elemen dari kedua persamaan
Langmuir dan Freundlich, dan mekanisme adsorpsinya adalah
penggabungan dari kedua isoterm Langmuir dan Freundlich dan
tidak mengikuti adsorpsi monolayer yang ideal. Pembilangnya
berasal dari isoterm Langmuir memiliki bentuk Langmuir
Freundlich hibrida sehingga disusun ulang menjadi bentuk linier
seperti pada persamaan 2.3 (Curkovic dkk., 2011).

𝐾𝑅 𝐶𝑒
qe = 𝛽 (2.4)
1⁡+⁡𝛼𝑅 𝐶𝑒

dimana KR (mg/L) dan αR (mg/L) β adalah konstanta R-P


adsorpsi, dan β adalah eksponen, berkisar antara 0 dan 1. Bila
β=0, persamaan R-P mengurangi persamaan Henry adalah
isoterm linier, dan pada isoterm Langmuir untuk β=1. Untuk
konsentrasi adsorbat tinggi, persamaan R-P dikurangi menjadi
isoterm Freundlich. Grafik Isoterm Reudlich Peterson dapat
dilihat pada Gambar 2.8.

21
Jumlah zat yang teradsorpsi
(cm3/g STP)

Tekanan Relatif (P/P0)

Gambar 2.13 Isoterm Reudlich Peterson


(Reudlich P dkk., 1959).

22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah
erlenmeyer, buret, gelas beaker, gelas ukur, labu ukur, pipet
tetes, pipet volumetrik, spatula, botol semprot, spektroskopi UV-
Vis (UV-9600), shimadzu XRD-6000, instrumen Quantachrome
Autosorb-3B dan shaker.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah SiO2,
Al2O3, H2O, CO2, Na2O, N2, Aluminosilikat, 25 mL larutan fenol
6 g/L, adsorben X/AC, HCl dan NaOH.
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Persiapan Bahan Komposit
Campuran elutrilithe, bubuk pitch dan silika diendapkan,
digunakan sebagai bahan awal dan diekstrusi ke dalam silinder
(3,0mm×6,0mm). Rasio komposisi SiO2/Al2O3 = 4,5, H2O/Na2O
= 30, Na2O/SiO2 = 1,0 dan persentase bubuk pitch adalah 35%.
Bahan yang telah diekstrusi melalui dikarbonisasi oleh N2,
kemudian diaktifkan menggunakan CO2 pada suhu 1123 K
selama 24 jam. Sampel yang diaktivasi dan ditandai sebagai AC.
Campuran aluminosilikat diubah menjadi zeolit 13X dengan
kristalisasi hidrotermal dengan medium alkali. Komposit karbon
aktif/zeolit 13X diperoleh dan dilambangkan dengan X/AC,
dimana kandungan karbon, Al2O3 dan SiO2 masing-masing
adalah 18%, 20% dan 29%.
3.2.2 Karakterisasi Bahan
Pola difraksi sinar-X (XRD) dikumpulkan dalam
instrumen Shimadzu XRD-6000 dengan menggunakan radiasi
Cu Kα. Isoterm adsorpsi-desorpsi nitrogen dicatat pada

23
suhu 77 K pada instrument Quantachrome Autosorb-3B
setelah mengaktifkan sampel pada suhu 573 K dan divakum
selama 4 jam. Hitung Luas permukaan spesifik (SBET) dengan
metode BET. Sehingga didapatkan volume total pori (Vtotal)
yang diperoleh dari isoterm adsorpsi N2 pada P/P0 = 0,98.
Selanjutnya hitung volume mikropori (V mic) dan luas permukaan
(Smic) dengan menggunakan metode t-plot.
3.2.3 Percobaan Batch
Isoterm adsorpsi diperoleh dengan percobaan Batch pada
variasi suhu yang berbeda (298 K, 308 K, 318 K dan 328 K).
Untuk setiap percobaan, 25 ml larutan fenol dengan konsentrasi
awal (Co) dan 6 g/L dari adsorben X/AC dicampur dalam labu
ukur. Lalu sesuaikan pH larutan sampai 6,5 dengan penambahan
HCl (0,1 mol/L) atau NaOH (0,1 mol/L). Selanjutnya campuran
dicampur pada 150 rpm selama 20 jam dalam shaken, atur suhu
untuk memastikan kesetimbangan. Pada akhirnya adsorben
disaring dan dianalisa konsentrasi residu fenol menggunaklan
spektroskopi UV-Vis (UV-9600) pada 510 nm dengan metode
4-aminoantipirene. Kinetika adsorpsi dilakukan dengan
prosedur yang sama pada 298 K, sesuaikan pH larutan sampai
6,5, konsentrasi fenol awal adalah 103 mg/L, 240 mg/L, 382
mg/L dan 552 mg/L. Setelah interval waktu yang berbeda,
adsorben disaring dan dianalisa konsentrasi residu fenol. Hitung
jumlah adsorpsi kesetimbangan fenol, qe (mg/g), yang diberikan
dalam persamaan 3.1.

(𝐶𝑜−𝐶𝑒).𝑉
qe = (3.1)
𝑚

dimana Co dan Ce adalah konsentrasi fenol awal dan ekuilibrium


(mg/L), masing-masing, V adalah volume larutan (L), dan m
adalah jumlah adsorben (g).

24
3.3 Kinetika Adsorpsi
3.3.1 Model Orde Satu Semu
Model orde satu semu dinyatakan pada persamaan
persamaan 3.2.

𝑑𝑞𝑡
= k1(qe - qt) (3.2)
𝑑𝑡

Bila terintegrasi di bawah kondisi batas t=0, q=0 dan t=t,


q=qt, persamaannya 3.3 menjadi

ln (qe - qt) = ln qe - k1t (3.3)

dimana k1 adalah konstanta laju orde satu semu, qe dan qt adalah


kapasitas adsorpsi adsorben pada ekuilibrium dan pada waktu t
masing-masing.
3.3.2 Model Orde Dua Semu
Model orde dua semu diberikan dalam persamaan 3.4.

𝑑𝑞𝑡
= k2(qe - qt)2 (3.4)
𝑑𝑡

Bentuk persamaan linier terpadu dinyatakan pada


persamaan 3.5.
𝑡 1 𝑡
⁡=⁡ ⁡+⁡ (3.5)
𝑞𝑡 𝑘2 𝑞𝑒 ⁡2 𝑞𝑒

dimana k2 adalah tingkat orde dua semu konstan.


3.3.3 Model Difusi Intrapartikel
Model difusi intrapartikel dapat diterapkan untuk
mengeksplorasi kemajuan adsorpsi, yang ditunjukkan oleh
persamaan 3.6.

qt = kidt1/2 + C (3.6)

25
dimana kid adalah konstanta laju difusi intrapartikel, dan C
adalah konstanta yang berhubungan dengan ketebalan lapisan
yang melintang.
3.4 Termodinamika Adsorpsi
Dalam proses adsorpsi fenol, termodinamika adsorpsi
harus diperoleh untuk mengetahui perilaku adsorpsi.
ΔG0 adsorpsi dapat diberikan dari persamaan Van't Hoff klasik
seperti pada persamaan 3.7

∆G0 = -RTlnKD (3.7)

Dimana KD adalah konstanta kesetimbangan adsorpsi,


yang dapat dihitung dengan persamaan 3.8.

KD = qe/Ce (3.8)

Hubungan antara perubahan entropi (ΔS0), entalpi


perubahan (ΔH0) dan ΔG0 diberikan oleh persamaan 3.9.

∆G0 = ∆H0- ∆TS0 (3.9)

Berdasarkan dua persamaan di atas, Persamaan (3.7)


dapat dibuat menjadi persamaan 3.10.

∆𝑆 0 ∆𝐻 0
ln KD = - (3.10)
𝑅 𝑅𝑇

Dimana T adalah suhu adsorpsi (K), R adalah konstanta gas


universal (8.314 J/mol). Sebuah plot lnKD versus 1/T
memberikan gambar linier, dan nilai-nilai ΔH0 dan ΔS0
ditentukan dari kemiringan dan intersep masing-masing.

26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi Adsorpsi


Sampel dari pola XRD ditunjukkan pada Gambar 4.1.
Komposit X/AC difraktogram sinar-X dari zeolit X yang telah
dikristalkan, hal ini menunjukkan bahwa komposit karbon zeolit
X/karbon aktif diperoleh dengan cara yang benar. Dapat diamati
bahwa intensitas XRD yang relatif jauh dari komposit X/AC
menjadi lebih lemah pada 13X, karena adanya karbon aktif pada
komposit.
Intensitas/(a.u)

2 Teta/(°)
Gambar 4.1 Pola difraksi sinar-X dari sampel.
Isoterm adsorpsi desorpsi N2 dan parameter struktur pori
sampel ditunjukkan pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.1. Dari
Gambar 4.2, dapat dilihat bahwa isoterm desorpsi adsorpsi N2
dari isoterm zeolit 13X, sesuai dengan mikropori zeolit X
tunggal, isoterm AC dan X/AC menunjukkan isoterm І dan ІV,
untuk porositas hirarkis berkisar dari mikropori, mesopori
hingga makropori.

27
Volume adsorpsi /(cm3/g)

Tekanan Relatif (P/P0)


IsotermType⁡equation⁡here.
Gambar 4.2 ((P(P(P/P 0)
adsorpsi-desorpsi nitrogen,
sampel pada 77 K.
Luas permukaan masing-masing adalah 252 m2/g untuk
AC, 872 m2/g untuk X/AC dan 896 m2/g untuk 13X.
Dibandingkan dengan sampel aktif AC, kapasitas adsorpsi N2
dan parameter struktur pori X/AC meningkat, aluminosilikat
dalam sampel aktif diekstraksi dari campuran ke zeolit 13X yang
dihasilkan dengan kristalisasi hidrotermal diperlihatkan dalam
Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Parameter struktur pori sampel.
SBET Smic Sext Vmic Vtotal
Sampel
(m2/g) (m2/g) (m2/g) (cm3/g) (cm3/g)
13X 896 840 56 0,32 0,38
AC 252 131 121 0,06 0,37
X/AC 872 703 169 0,27 0,59

Sampel dari Gambar SEM diberikan oleh Gambar 4.3.


Gambar 4.3.a menunjukkan struktur oktahedral khusus pada
kristal bipiramidal zeolit X, dan Gambar 4.3.b menunjukkan AC
memiliki struktur berpori. X/AC yang disintesis dapat dilihat
pada Gambar 4.3.c, Gambar SEM mengkonfirmasi adanya

28
kristal X zeolit dalam X/AC, dan agregat kristal telah ditutupi
oleh karbon aktif. Permukaan karbon aktif di X/AC lebih
longgar dan lebih berpori dibandingkan dengan AC.

Gambar 4.3 SEM dari sampel: a) 13X, b) AC, c) X/AC.


4.2 Pengaruh pH Larutan
Dalam larutan berair, pH memegang peranan penting pada
adsorpsi fenol, karena pH larutan tidak hanya menentukan
muatan permukaan adsorben, tetapi juga tingkat ionisasi fenol.
Kapasitas adsorpsi fenol dalam kisaran pH 3,3-10,5
diilustrasikan pada Gambar 4.4. Dapat diamati bahwa kapasitas
adsorpsi fenol hampir tidak berubah pada pH 3,3 sampai 8,6,
dan turun tajam dengan pH>8,6. Disarankan pada pH di atas
fenol pKa (9,89), fenol dipisahkan dan sebagai ion fenolat
(C6H5O). Di sisi lain, permukaan X/AC bermuatan negatif, gaya
repulsi elektrostatik ada di antara permukaan bermuatan negatif

29
dan ion fenolat. Peningkatan pH menghasilkan kekuatan repulsi
elektrostatik yang disempurnakan, menyebabkan penurunan
kapasitas adsorpsi. Oleh karena itu dalam penelitian ini, dipilih
pH 6,5 sebagai nilai pH yang optimum pada adsorpsi fenol.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.4.

Kapasitas adsorpsi qe (mg/g)

Gambar 4.4 Pengaruh pH awal terhadap adsorpsi fenol.


Kondisi eksperimental: fenol, konsentrasi:
100 mg/L, waktu adsorpsi: 20 jam, dosis X/AC:
6 g/L, T: 298 K.
4.3 Pengaruh Adsorben
Efektivitas dan efisiensi adsorben sangat penting untuk
aplikasi industri, terkait erat dengan struktur pori dan
karakteristik permukaan adsorben. Kurva kinetika adsorpsi fenol
(a) dan isoterm adsorpsi (b) adsorben ditunjukkan pada Gambar
4.5. Bahwa kapasitas adsorpsi fenol pada 13X jauh lebih rendah
daripada AC dan X/AC, yang menunjukkan bahwa efisiensi
penyisihan fenol pada 13X lebih rendah daripada karbon aktif,
sehingga mengaktifkan karbon menjadi bagian utama dari
komposit X/AC untuk adsorpsi fenol, kemudian situs aktif fenol
adsorpsi ada pada permukaan karbon aktif di X/AC. Namun,
X/AC menampilkan karakteristik adsorpsi yang lebih baik,
kapasitas adsorpsi fenol yang lebih besar dan tingkat adsorpsi
lebih tinggi pada tahap awal dibandingkan dengan AC. Hasilnya
harus berkontribusi terhadap kenaikan luas permukaan dan
30
volume pori X/AC setelah kristalisasi hidrotermal bukan
pembentukan zeolit 13X saja. Dengan demikian, karbon aktif
Bahwa kapasitas adsorpsi fenol pada 13X jauh lebih rendah
daripada AC dan X/AC, yang menunjukkan bahwa efisiensi
penyisihan fenol pada 13X lebih rendah daripada karbon aktif,
sehingga mengaktifkan karbon menjadi bagian utama dari
komposit X/AC untuk adsorpsi fenol, kemudian situs aktif fenol
adsorpsi ada pada permukaan karbon aktif di X/AC. Namun,
X/AC menampilkan karakteristik adsorpsi yang lebih baik,
Kapasitas adsorpsi fenol yang lebih besar dan tingkat adsorpsi
lebih tinggi pada tahap awal dibandingkan dengan AC. Hasilnya
harus berkontribusi terhadap kenaikan luas permukaan dan
volume pori X/AC setelah kristalisasi hidrotermal bukan
pembentukan zeolit 13X saja. Dengan demikian, karbon aktif
terletak pada permukaan X/AC dan aksesibilitas kapasitas
adsorpsi.
Kapasitas adsorpsi
Kapasitas adsorpsi

qe(mg/g)
qe(mg/g)

Waktu (t/menit) Konsentrasi kesetimbangan


Ce/(mg/L)

Gambar 4.5 Kinetika adsorpsi (a) dan isoterm adsorpsi (b)


sampel fenol. Kondisi percobaan: pH awal: 6,5,
dosis X/AC: 6 g/L, T: 298 K. (a) fenol
konsentrasi: 100 mg/L, (b) waktu adsorpsi: 20h.
Sampel: 13X, AC, X/AC.

31
4.4 Kinetika Adsorpsi
Untuk menjelaskan adsorpsi fenol pada komposit X/AC,
data kinetika dipasang oleh model orde satu semu, orde dua
semu, dan difusi intrapartikel pada Gambar 4.6, dan parameter
kinetika tercantum pada Tabel 4.2. Dapat dilihat bahwa
kapasitas adsorpsi yang dihitung dari fenol qe (kal.) dan
koefisien korelasi (R2) dapat digunakan untuk menentukan
penerapan model kinetika adsorpsi.
Proses adsorpsi terjadi pada beberapa tahap, termasuk
difusi eksternal, difusi intrapartikel, dan adsorpsi aktual pada
permukaan. Model difusi intrapartikel digunakan sesuai dengan
data eksperimen untuk mengungkapkan langkah pengendali laju
dalam proses adsorpsi fenol. Pada Gambar 4.6.d, dicatat bahwa
proses adsorpsi dibagi menjadi dua tahap, menunjukkan bahwa
proses adsorpsi yang rumit dikendalikan oleh lebih dari satu
mekanisme. Karena komposit X/AC memiliki mikropori,
mesopori serta makropori, kedua langkah tersebut sesuai dengan
difusi makroporous/mesoporous dan difusi mikroporous,
masing-masing, yang menunjukkan bahwa difusi fenol di
kontrol oleh struktur pori X/AC.
Kapasitas adsorpsi-kapasitas
Kapasitas adsorpsi

waktu ln (qe-qt)
qe(mg/g)

Waktu (t/menit) Waktu (t/menit)

32
Waktu/kapasitas waktu

Kapasitas waktu (qt)


(t/qt)

Waktu (t/menit) Waktu paruh (t1/2)

Gambar 4.6 Kinetika adsorpsi fenol pada X/AC:


a) kurva kinetika adsorpsi X/AC pada konsentrasi
103 mg/L, b) kurva kinetika adsorpsi X/AC pada
240 mg/L, c) kurva kinetika adsorpsi X/AC pada
konsentrasi 382 mg/L, d) kurva kinetika adsorpsi
X/AC pada konsentrasi 552 mg/L.
Nilai intersep C bukan titik nol, menunjukkan langkah
pengendalian laju adsorpsi tidak hanya difusi pori, tetapi juga
difusi lapisan luar. Nilai parameter laju kid1, C dan R2 diberikan
pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa permukaan karbon
intrapartikel yang dilapisi dan permukaan kutub zeolit X, X/AC
memiliki afinitas yang kuat untuk molekul air. Dengan
demikian, efek pelarut harus dipertimbangkan dalam proses
adsorpsi fenol. Dengan meningkatnya suhu adsorpsi, kapasitas
adsorpsi air berkurang, dan tingkat hidrasi molekul fenolik
berkurang, kapasitas adsorpsi fenol meningkat.

33
Tabel 4.2 Parameter kinetika untuk adsorpsi fenol pada X/AC
Orde satu semu Orde dua semu Difusi Intrapartikel
Co qe(exp)
(mg/L (mg/g)
qe(kal) qe(kal) Kid,1
K1(min-1) R2 K1(min-1) R2 C(mg/g) R2
(mg/g) (mg/g) (mg/g.min1/2)

103,23 13,91 1,38 -4,5 x 10-3 0,9036 13,87 2,0 x 10-2 0,9995 0,14 11,97 0,9174

240,23 27,06 3,68 -1,1 x 10-2 0,9692 27,23 1,2 x 10-2 0,9999 0,37 22,44 0,9884

382,33 29,03 3,64 -4,5 x 10-3 0,8811 28,9 8,3 x 10-3 0,9994 0,41 23,54 0,9986

552,12 30,52 4,6 -5,1 x 10-3 0,9471 3046 6,5 x 10-3 0,9994 0,45 24,06 0,9968

Nilai R2 untuk model orde satu semu masing-masing adalah


0,9036, 0,9692, 0,8811 dan 0,9471. Namun, nilai R2 untuk
model urutan orde dua semu lebih tinggi dari 0,9999 untuk
empat konsentrasi awal yang berbeda, menunjukkan bahwa
model urutan orde dua semu lebih sesuai menggambarkan data
eksperimen daripada model orde satu semu. Nilai qe (kal.) untuk
model orde dua semu lebih rendah daripada kapasitas adsorpsi
eksperimental fenol qe (exp.), namun nilai qe (kal.) untuk model
orde dua baik kesepakatan dengan nilai qe (exp.). Secara umum,
model orde dua sesuai dengan kinetika adsorpsi.
4.5 Isoterm Adsorpsi
Pengaruh suhu pada adsorpsi fenol ditunjukkan pada
Gambar 4.7.a. Dapat dilihat bahwa kapasitas adsorpsi fenol pada
X/AC meningkat dengan kenaikan suhu adsorpsi, yang
menunjukkan bahwa proses adsorpsi fenol bersifat endotermik.
Mekanisme adsorpsi fenol pada karbon aktif meliputi kompleks
akseptor donor elektron, interaksi dispersi π-actions dan efek
pelarut.

34
Kapasitas adsorpsi qe
(mg/g)

Konsentrasi Kesetimbangan
(mg/L)
Gambar 4.7.a Isoterm adsorpsi fenol pada X/AC.
Konstanta difusi (ln KD)

1/suhu (10-3K-1)
Gambar 4.7.b Plot ln KD lawan 1/T untuk adsorpsi fenol pada
X/AC untuk parameter termodinamika. Kondisi
percobaan: pH awal: 6,5, dosis AC/13X: 6 g/L,
waktu adsorpsi: 20 h, Suhu: 298 K, 303 K,
308 K, 313K.
Karena kelompok fungsional permukaan dasar pada
komposit X/AC dapat bertindak sebagai donor elektron, dan
cincin aromatik fenol bertindak sebagai akseptor elektron,
kompleks donor akseptor memperhitungkan mekanisme ikatan
35
primer. Di sisi lain, karena gugus yang mengandung oksigen
pada permukaan karbon aktivasi dan permukaan polar zeolit X,
X/AC memiliki afinitas kuat untuk molekul air. Dengan
demikian, efek pelarut harus dipertimbangkan dalam proses
adsorpsi fenol. Dengan meningkatnya suhu adsorpsi, kapasitas
adsorpsi air berkurang, dan tingkat hidrasi molekul fenolik
berkurang, dan kapasitas adsorpsi fenol meningkat.
Tiga model isoterm: Langmuir, Freundlich dan Redlich
Peterson (R-P) diterapkan agar sesuai dengan data eksperimen.
Parameter isoterm dan nilai koefisien korelasi (R2) dirangkum
dalam Tabel 4.3. Menurut hasil, nilai R2 lebih tinggi untuk
persamaan R-P dan persamaan Freundlich dibandingkan dengan
persamaan Langmuir, menunjukkan bahwa persamaan R-P dan
persamaan Freundlich memberikan pemasangan yang lebih baik
dalam adsorpsi fenol pada X/AC. Nilai R2 persamaan isoterm
Langmuir pada kisaran 0,9293-0,9444 relatif rendah, sehingga
tidak dapat menggambarkan data eksperimen dengan baik.
Konstanta Freundlich n kurang. Dari 1 terungkap bahwa
permukaan X/AC itu heterogen. Persamaan β dalam R-P yang
diperoleh dari proses adsorpsi adalah 0,70-0,72. Berdasarkan
hasil di atas, permukaan X/AC mengandung kelompok
fungsional yang berbeda.
Tabel 4.3 Parameter isoterm untuk adsorpsi fenol pada X/AC
pada temperatur yang berbeda.
Model Fenol
Konstanta Isotermal
Isotermal 25°C 30°C 35°C 40°C
Langmuir qm (mg/g) 37,92 39,30 40,79 40,31
b (L/mg) 0,022 0,025 0,024 0,032
R2 0,9434 0,9444 0,9408 0,9293
Freundlich KF ((mg/g)(L/mg)1/n) 5,74 5,99 6,21 7,40
N 0,31 0,32 0,32 0,29
R2 0,9922 0,9980 0,9986 0,9998
R-P KR (L/g) 25,68 29,69 32,30 40,55
αR (L/mg)β 4.10 4,57 4,80 5,00
β 0,70 0,70 0,70 0,72
R2 0,9926 0,9985 0,9983 0,9991
36
4.6 Termodinamika Adsorpsi
Parameter termodinamika Nilai ΔG0, ΔS0 dan ΔH0 dapat
dihitung dari Gambar KD, KD versus 1/T (ditunjukkan pada
Gambar 4.7.b dan Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Parameter termodinamika adsorpsi fenol pada X/AC.
Temperatur Fenol
(°C) ΔG (kJ/mol)
0
ΔH0 (kJ/mol) ΔS0 (kJ/mol)
25 -30,52
30 -31,01 22,53 102,43
35 -31,53
40 -32,04
Nilai KD diperoleh dari isotermal adsorpsi R-P, menurut
literatur. Nilai ΔG0 berkisar dari -30,52 kJ/mol sampai 32,04
kJ/mol, menunjukkan bahwa adsorpsi fenol pada X/AC adalah
menguntungkan dan spontan. Nilai ΔH0 adalah 22 kJ/mol (lebih
tinggi dari 20 kJ/mol), menunjukkan bahwa adsorpsi fenol pada
X/AC mencakup beberapa kemisorpsi. Selain itu, nilai positif
ΔH0 menunjukkan bahwa adsorpsi fenol bersifat endotermik.
Nilai positif ΔS0 menunjukkan tingkat kebebasan pada
antarmuka padatan/larutan meningkat selama proses adsorpsi,
sedangkan molekul air yang teradsorpsi dapat dipindahkan oleh
molekul fenol.

37
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

38
BAB V
KESIMPULAN

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan


bahwa komposit X/AC adalah adsorben yang lebih efektif untuk
pengangkatan fenol dari 13X dan AC. Kesetimbangan adsorpsi,
kinetika dan termodinamika adsorpsi telah diteliti. Data kinetika
menunjukkan bahwa adsorpsi menggunakan persamaan orde dua
semu dan model difusi intrapartikel. Tingkat adsorpsi dikontrol
oleh difusi pori serta difusi lapisan eksternal. Selanjutnya,
dibandingkan dengan isoterm adsorpsi Langmuir, data
kesetimbangan adsorpsi dijelaskan oleh persamaan Reudlich-
Peterson dan Freundlich, yang menunjukkan bahwa permukaan
X/AC mengandung kelompok fungsional berbeda-beda.
Parameter termodinamika memastikan bahwa adsorpsi fenol ke
X/AC adalah spontan, menguntungkan dan endotermik. Dengan
meningkatnya suhu adsorpsi, kapasitas adsorpsi fenol pada
X/AC meningkat, mengindikasikan bahwa adsorpsi fenol
ditentukan oleh kompleks donor akseptor elektron dan efek
pelarut. Sehingga proses adsorpsi mencakup beberapa
kemisorpsi.

39
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

40
DAFTAR PUSTAKA

Ahmaruzzaman., Md. (2008). Adsorption of Phenolic


Compounds On Low-Cost Adsorbents: A review. Journal
Of Advances in Colloid and Interface Science, Vol. 143,
hal. 48-67.
Al-Asheh, S., Banat, F., Abu-Aitah, L. (2003). Adsorption of
Phenol Using Different Types of Activated Betonites.
Journal Of Separation and Purification Technology,
Vol. 33, hal. 1-10.
Aditama., S., N (2015). Sintesis dan Karakterisasi Zeolit X dari
Abu Vulkanik Gunung Kelud dengan Variasi Suhu
Hidrothermal menggunakan Metode Sol-Gel. Skripsi.
Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim,
Malang.
Amalia, R. (2015). Silika Gel.
https://www.scribd.com/document/352076119/Silika-Gel.
Diakses 9 Februari 2018.
Amelia, R., Pandapotan, H., Purwanto. (2013). Pembuatan
karakterisasi Katalis Karbon Aktif Tersulfonasi Sebagai
Katalis ramah Lingkungan Pada Proses Hidrolisis
Biomassa Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol.2,
hal. 146-156. Departemen Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Diponegoro.
Amrulloh, H. (2014). Sintesis Zeolit Berbasis Silika Sekam Padi
dengan Metode Elektrokimia Sebagai Adsorben
Rhodamin B. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.
Ariyanto, T., Prasetyo I., Rochmadi. (2012). Pengaruh Struktur
Pori Terhadap Kapasitansi Elektroda Superkapasitor yang
Dibuat dari Karbon Nanopori. Journal Of Reaktor.
Vol.14, hal. 25-32.

41
Bahri, S. (2015). Sintesis dan Karakterisasi Zeolit X dari Abu
Vulkanik Gunung Kelud dengan Variasi Rasio Molar
Si/Al menggunakan Metode Sol-Gel. Skripsi. Jurusan
Kimia Fakultas Sains dan Teknologi (UIN) Maulana
Malik Ibrahim, Malang.
Cañizares, P., Carmona, M., Baraza, O., Delgado, A., Rodrigo,
M.A. (2006). Adsorption Equilibrium of Phenol onto
Chemically Modified Activated Carbon F400. Journal Of
Hazardous Materials, Vol. 131, hal. 243-248.
Caetano, M., Valderrama, C., Farran, A., Cortina, J.L. (2009).
Phenol Removal from Aqueous Solution by Adsorption
and Ion Exchange Mechanisms onto Polymeric Resins.
Journal Of Colloid and Interface Science, Vol. 338, hal.
402-409.
Dabrowski, A., Podkoscielny, P., Hubicki. Z, Barczark. M
(2005). Adsorption of Phenolic Compounds by Activated
Carbon a Critical review. Journal Of Chemosphere, Vol.
58, hal. 1049-1070.
Diah, N., W. (2014). Isoterm Adsorpsi. Departemen Farmasi
UNAIR, Vol. 40, hal. 81-85.
Díaz-Nava, M.C., Olguin, M.T., Solache-Ríos, M. (2012).
Adsorption of Phenol onto Surfactants Modified
Bentonite. Journal Of Phenomenon Macrocycle
Chemistry, Vol. 74, hal. 67–75.
Dwi, K. (2013). Karakterisasi Bubuk TiO2 dengan XRD.
(https://bisakimia.com/2013/11/18/karakterisasi-bubuk-
tio2-dengan-xrd). Diakses 14 Januari 2018.
Fatmawati. Y., Andri. K. (2017). Pemanfaatan Batubara Lignit
Kalimantan Timur Menjadi Karbon Aktif
Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda. Seminar
Nasional Inovasi dan Aplikasi Teknologi di Industri. ISSN
2085-4218 ITN Malang, hal. 2.

42
Foo, K.Y., Hameed, B.H. (2011). The Environmental
Ahallications of Activated Carbon/Zolite Composite
Materials. Journal Of Advance in Colloid and Interface
Science, Vol. 162, hal. 22–28.
Freundlich., H. (2003). Über die absorption in lösungen. Journal
Of Physical Chemistry, hal. 385-470.
Girods, P., Dufour A., Fierro, V., Rogaume, Y., Rogaume, C.,
Zoulalian, A., Celzard, A. (2009). Activated Carbons
Prepared from Wood Particleboard Wastes:
Characterisation and Phenol Adsorption Capacities.
Journal Of Hazardous Materials, Vol. 166, hal. 491-501.
Gundogdu, A., Duran, C., Senturk, H.B, Soylaks, M., Ozdes, D.,
Serencam, H., Imamoglu, M. (2012). Adsorption of
Phenol from Aqueous Solution on a Low-Cost Activated
Carbon Produced from Tea Industry Waste: Equilibrium,
Kinetic, and Thermodynamic Study. Journal Of Chemical
and Engineering, Vol. 57, hal. 2733-2743.
Hasrianti. (2012). Adsorpsi Ion Cd2+ dan Cr6+ pada Limbah Cair
Menggunakan Kulit Singkong. Universitas Hassanudin,
Makassar.
Ho Y.S., McKay. G (Fellow). (1998). Kinetic Models for the
Sorption of Dye from Aqueous Solution by Wood.
Journal Of Process Safety and Environmental Protection,
Vol. 76 hal. 183-191.
Hua, C., Zhang, R., Li. Li, Zhing, X. (2012) Adsorption of
Phenol From Aqueous Solutions Using Activated Carbon
Prepared from Crofton Weed, Vol. 1-3, hal. 230-237.
Juang, R.S., Wu, F.C, Tseng, R.L. (2000). Mechanism of
Adsorption of Dyes and Phenols from Water Using
Activated Carbons Prepared from Plum Kernels. Journal
of Colloid and Interface Science, Vol. 227, hal. 437-444.

43
Khadafi, M., Awitdrus., Farma, R. (2016). Pengaruh Waktu
Karbonisasi terhadap Sifat Fisis Karbon Aktif Kayu
Eucalyptus Pellita. Jurusan Fisika FMIPA Universitas
Riau Kampus Bina Widya Pekanbaru.
Khairnar, R.S, Wakde, M.D., Mahabole, M.P., Krishnal. R
(2014). Development of Ethanol Sensor using Sodium A
Nano Zeolite Marathwada, Swami Ramanand Teerth
Certified International. Journal of Engineering and
Innovative Technology (IJEIT). Departemen Of
Mechanical Engineering, University of Aveiro, Aveiro,
Portugal. Vol. 3, Issue 11, ISSN: 2277-3754.
Khuluk.R.H. (2016). Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif
dari Tempurung Kelapa (Cocous Nucifera l.) Sebagai
Adsorben Zat Warna Metilen Biru. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung Bandar Lampung.
Kim T.Y., Cho Sung Young, Kim Seung Jai. (2011). Adsorption
Equilibrium and Kinetics of Cohaler Ions and Phenol onto
Modified Adsorbents. Journal Of Adsorption. Vol. 17,
hal. 135-143.
Kurniawati, A. D. (2017). Spektrofotometri UV-Vis. PPT, hal. 5
Liu, Q.S., Zheng, T., Wang, P., Jiang, J.P, Li, N. (2010).
Adsorption Isotherm, Kinetic and Mechanism Studies of
Some Substituted Phenols on Activated Carbon Fibers.
Journal Of Chemical Engineering, Vol. 57, hal. 348-356.
Liu, S.H., Juang, R.S.. (2009). Adsorption of Phenol and its
Derivatives from Water Using Synthetic Resins and Low
Cost Natural Adsorbents. Journal Of Review
Management, Vol. 1339, hal. 49.
Li Zhonglin , Cui Xingyu , Ma Jinghong , Chen Wenping , Gao
Wei, Li Ruifeng (2014). Preparation of granular X-type
zeolite/activated carbon composite from elutrilithe by
adding pitch and solid SiO2. Journal Of Materials
Chemistry and Physics Vol. 147, Issue 3, hal. 1003-1008.
44
Ma Jinghong., Si Cheming, Li Yixiao, Li Ruifeng. (2012). CO2
Asorption on Zeolite X/Activated Carbon Composites.
Journal Of Adsorption, Vol. 18, hal. 503-510.
Moreno-Castilla., Carlos. (2004). Adsorption of Organic
Molecules from Aqueous Solutions on Carbon Materials.
Journal Of Carbon, Vol. 42, hal. 83-94.
Nurul M.Z., Widiastuti N. (2012). Sintesis Zeolit x-karbon
dari Abu Dasar Batubara dan Karakterisasinya Sebagai.
Material Penyimpan Hidrogen. Skripsi. Jurusan kimia.
FMIPA ITS.
Okolo, B., Park, C., Keane, Mark. A. (2000). Interaction of
Phenol and Chlorophenols with Activated Carbon and
Synthetic Zeolites in Aqueous Media. Journal of Colloid
and Interface Science, hal. 308-317.
Pratama, I., Destiarti, L., Nurlina (2018). Progam Studi JKK,.
Penurunan Kadar Timbal(II) menggunakan Zeolit-X
Sintetis dari Batu Padas Kimia FMIPA Universitas
Tanjungpura Pontianak,. Vol 7. Edisi 1. ISSN 2303-1077
hal. 53-58.
Prasetyoko, D., Fansuri, H., Ni'mah, Y.L., Fadlan, A. (2016).
Karakterisasi Padatan. Penerbit Deepublish, Yogyakarta..
Edisi 1.
Podkościelny, P., Nieszporek, K. (2011). Adsorption of Phenols
from Aqueous Solutions: Equilibria, Calorimetry and
Kinetics of Adsorption. Journal Of Colloid and Interface.
Vol. 354, hal. 282-291.
PubChem. (2005). 4-Aminoantipyrine. Laboratory Chemical
Safety Summary (LCSS). Open Chemistry database.
Purnamasari I. W. (2016) Adsorpsi-Desorpsi Monologam dan
Multilogam Ion Ni2+ Cd2+, dan Cu2+ oleh Material
Biomassa Alga Nitzschia sp yang Dimodifikasi dengan
Pelapisan Silika-Magnetit (Fe3O4). Skripsi. Fakultas

45
Matematika dan IImu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung Bandar Lampung.
Rawajfih, Z., Nsour, N. (2006). Characteristics of Phenol and
Chlorinated Phenols Sorption onto Surfactant-Modified
Bentonite. Journal Of Colloid Interface Science
Technology, Vol. 298, hal. 39-49.
Redlich, O., Peterson, D.L (1959). A Useful Adsorption
Isotherm. The Journal Of Physical Chemistry, Vol. 63,
hal. 1024.
Rohmadhani, H. (2016). Validasi Metode Penetapan Kadar
Tablet Floating Metformin Hidroklorida Dengan
Spektrofotometri. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
Sawyer. (1994). Isoterm adsorpsi Freundlich, Vol. 23.
hal. 490-496.
Sembiring, M, T, Sinaga T, S. (2003). Pengenalan dan Proses
Pembuatannya Arang Aktif. Jurusan Teknik Industri
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Setiadi, A., Jumaeri, Nuni, W. (2016). Sintesis Zeolit dengan
Kandungan Si/Al Rendah Dari Kaolin menggunakan
Metode Peleburan dan Hidrotermal Jurusan Kimia,
FMIPA Universitas Negeri Semarang. Journal of
Chemical Science, Vol. 5, Edisi 3.
Singh, S.K., Townsend, T.G, Mazyck, D., Boyer, T.H.
Equilibrium and Intra-Particle Diffusion of Stabilized
Landfill Leachate onto Micro and Mesoporous Activated
Carbon. Isoterm adsorpsi (2012). Journal Of Water
Research, Vol. 46, hal. 491-499.
Sukardjo, (1990). Kimia Anorganik. Jakarta: Rineka Cipta.
Sriatun. (2004). Sintesis Zeolit A dan Kemungkinan
Penggunaannya sebagai Penukar Kation. Laboratorium
Kimia Anorganik Jurusan Kimia FMIPA. UNDIP
Semarang, Vol. 8.
46
Srihari. V., Das Ashutosh. (2008). Comparative Studies on
Adsorptive Removal of Phenol by Three Agro-Based
Carbons: Equilibrium and Isotherm Studies. Journal Of
Ecotoxicology and Environmental Safety, Vol. 71,
hal. 274-283.
Srivastava, V. C., Swamy, M.M, Mall, I.D., Prasad, B., Mishra,
I.M. (2006). Adsorptive Removal of Phenol by Bagasse
Fly Ssh and Activated Carbon s. Journal Of Colloids and
Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects,
Vol. 272, hal. 89-104.
Su, F., Lv. Lu, Hui M.T , Zhao X.S. (2005). Phenol adsorption
on Zeolite Templated Carbons with Different Structural
and Surface Properties. Journal Of Carbon, Vol. 1156
hal. 64.
Su, H.S., Juang, R.S. (2009). Adsorption of Phenol and its
Derivatives from Water Using Synthetic Resins and Low-
Cost Natural Adsorbents: A Review. Journal Of
Environmental Management, Vol. 90, hal. 1336-1349.
Vigneron S., Hermia J., Chaouki J. (1994). Characterization and
Control of Odours and VOC in the Process Industries.
Elsevier, Vol. 61, Edisi 1.
Wang. Y., Gao BY, Yue WW, Yue QY. (2007). Adsorption
Kinetics of Nitrate from Aqueous Solutions onto
Modified Wheat Residue. Journal Of Colloids Surface
Advances: Physicochemistry Eng Asp, Vol. 308, hal. 1–5.
Widiawati, A. (2017). Sintesis ZSM-5 (Zeolite Secony Mobile-5)
dari Silika Abu Ampas Tebu (bagasse ash) Menggunakan
Metode Hidrotermal. Skripsi. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung Bandar
Lampung.
Widodo, W.E. (2017). Karakteristik Support Membran. Skripsi
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
hal. 1-18.

47
Yelmida, Zahrina Ida, Akbar Fajril, Suchi Adelia. (2012).
Sintesis Zeolit 4A dari Fly Ash Sawit Dengan Variasi
Waktu Pengadukan dan Waktu Pemanasan Gel. Jurusan
Teknik Kimia Laboratorium Teknik Reaksi Kimia
Universitas Riau Kampus Binawidya Pekanbaru.
Prosiding SNTK Topi. ISSN. 1907 – 0500.
Yousef, R., El-Eswed, B., Al-Muhtazeb, A.H. (2011).
Adsorption Characteristics of Natural Zeolites as Solid
Adsorbents for Phenol Removal From Aqueous Solutions:
Kinetics, Mechanism, and Thermodynamics Studies.
Journal Of Chemical Engineering, Vol. 171, hal. 1143-
1149.
Yulianti, I.T. (2017). Sintesis ZSM-5 (Zeolite Secony Mobile-5)
dari Silika Ampas Tebu (bagasse) Menggunakan Metode
Steam Assisted Conversion (SAC). Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Lampung, Bandar Lampung.
Zhang, W., Huang, G., Wei, J., Li, H., Zheng, R., Zou, Y.
(2012). Removal of Phenol From Synthetic Waste Water
Using Gemini Micellar-Enhanced Ultrafiltration
(GMEUF). Journal Of Hazardous Materials, Vol. 235-
236, hal. 128-137.

48

Anda mungkin juga menyukai