Anda di halaman 1dari 23

PERSPEKTIF PENDIDIKAN HAMBATAN PENDENGARAN

“EKSISTENSI AWAL TERKAIT PENDIDIKAN TUNARUNGU”


Disusun dalam rangka memenuhi UAS perspektif pendidikan hambatan pendengaran
Dosen Pengampu MURNI WINARSIH,A.Pd.

Disusun Oleh :

Emirah Khansa Salsabila 1102617091

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


Jl. Rawamangun Muka, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14, Rawamangun,
Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13220
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. Karena berkat


rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun
maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas
dalam Mata Kuliah Perspektif Gangguan Pengelihatan yang diampu oleh

Penulisan makalah ini tidak mungkin selesai tanpa adanya bantuan


dari berbagai pihak. Untuk itu selayaknya penulis mengucapkan terimakasih.

penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh


karena itu, penulis memohon kritik dan saran dari berbagai pihak. Semoga
makalah ini dapat memberi manfaat kepada para pembaca

Jakarta, 28 Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................ii
Bab I..............................................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
D. Rumusan masalah...............................................................................................2
E. Tujuan penulisan . ...............................................................................................2

Bab II.............................................................................................................................3
Pembahasan dan Kajian Pustaka...................................................................................3
A. Awal Pendidikan Tunarungu.............................................................................3
B. Kepedulian Masyarakat Pada Abad Pertengahan..............................................5
B. Landasan Pendidikan Tunarungu......................................................................6
C. Metode Dasar Pembelajaran Anak Tunarungu.................................................8
D. Layanan Pendidikan bagi Tunarungu.....................................................15

Bab III..........................................................................................................................19
Penutup........................................................................................................................19
A. Kesimpulan......................................................................................................19
B. Saran................................................................................................................19
Daftar Pustaka.............................................................................................................19

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan yang dijadikan sebagai sumber utama kepentingan dalam


hidup manusia adalah suatu hak yang wajib dimiliki. Pendidikan yang
ditempuh oleh manusia dapat memberikan pandangan bagi kehidupan
serta membantu kita membentuk sudut pandang kehidupan itu sendiri.
Seiring berkembangnya peradaban manusia, pemahaman dan
pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang
memiliki hak yamg sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang
berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat yang
juga mencakup tuna rungu.
Hidup anak- anak penyandang sangat penting untuk diselamatkan karena
merupakan symbol peradaban yang maju bagi bangsa, Memelihara dan
menjaga anak yang memiliki berkebutuhan khusus juga dipandang
sebagai investasi baik di dunia ataupun di alam yang kekal.
Begitu pula dengan anak yang menderita hambatan pendengaran atau
yang disebut tunarungu. Anak tunarungu merupakan salah satu klasifikasi
dari anak yang dikategorikan luar biasa yang mempunyai kelainan dalam
pendengarannya sehingga memberikan dampak negatif bagi
perkembangannya, terutama dalam kemampuan berbicara dan
berbahasa.
Eksistensi pendidikan tunarungu sudah mulai mengalami kemajuan dari
setiap masanya. Berbagai tiap detil esistensi yang dipaparkan pada setiap
masa akan sagat berbeda dengan masa kini dan masa yang akan datang
Untuk menjamin bahwa anak tunarungu yang memiliki hak mendapatkan
pendidikan yang setara dengan yang lainnya dan mendapat layanan
pendidikan yang sesuai dengan karakteristiknya maka para guru

1
2

seyogianya mempunyai wawasan tentang karakteristik dan kebutuhan


pendidikan anak tunarungu.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas maka dapat dikemukakan rumusan masalah
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Awal munculnya pendidikan bagi tunarungu?
2. Apa landasan penyelenggaraan pendidikan anak tunarungu?
3. Bagaimana Kepedulian Masyarakat Pada Abad Pertengahan terhadap
pendidikan bagi tunarungu?
4. Apakah Metode-Metode dasar pembelajaran tunarungu terhadap
linimasa?
5. Bagaimana layanan pendidikan anak tunarungu?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui bagaimana sejarah asal pendidikan Tuna rungu
2. Untuk mengetahui landasan penyelenggara bagi pendidikan tunarungu
3. Untuk memberi informasi tentang keperdulian masyarakat pada abad
pertengahan terhadap tuna rungu
4. Untuk mengetahui metode apa saja yang dipakai sebagai
pembelajaran tunarungu
5. Untuk mengetahui layanan pendidikan bagi anak tunarungu
3

BAB II
PEMBAHASAN

1.3.1 Awal Pendidikan Bagi Anak Tunarungu

Salah satu literatur tertua mengenai tunarungu dan tunawicara tercatat


pada abad kelima SM, dalam Plato Cratylus, di mana Socrates berkata:
"Jika kami tidak memiliki suara atau lidah, dan ingin mengungkapkan hal-
hal yang satu sama lain, tidak akan kami mencoba untuk membuat tanda-
tanda dengan menggerakkan tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita,
seperti orang bodoh lakukan saat ini ?” Disini tampak bahwa orang yang
disebut Socrates sebagai orang bodoh adalah sekelompok orang yang
tidak bersuara dan tidak berlidah. Terdapat juga literatur pada abad ke-2
Yudea, rekaman dalam traktat Mishnah Gittin menyatakan bahwa untuk
tujuan transaksi komersial "Seorang tuli-bisu dapat mengadakan
percakapan melalui suatu gerakan tertentu.”

Di masa yang lebih modern, yaitu pada tahun 1620, Juan Pablo Bonet
menerbitkan “Reducción de las letras y arte para enseñar a hablar mudos
los” (Pengurangan huruf dan seni untuk mengajar orang bisu untuk
berbicara') di Madrid. Sejumlah esai modern pertama Fonetik dan
Logopedia, kemudian menetapkan metode pendidikan oral bagi
penyandang tunarungu dengan cara penggunaan tanda-tanda manual,
dalam bentuk alfabet manual untuk memperbaiki komunikasi dari
penyandang tunarungu dan tunawicara. Terinpirasi dari bahasa tanda-
tanda Bonet ini, Charles-Michel de l'Épée kemudian menerbitkan alfabet
manualnya di abad ke-18, yang sampai kini terus bertahan di Perancis
dan Amerika Utara. Ini merupakanmasa-masa awal berkembangnya
pendidikan khusus penyandang tunarungu dan tunawicara.
4

Pada 1755, Abbé de l'Épée mendirikan sekolah pertama untuk anak-anak


penyandang tunarungu dan tunawicara di Paris. Salah satu lulusannya
yang juga berperan dalam pengembangan pendidikan ini Laurent Clerc.
Clerc melakukan migrasi ke Amerika Serikat bersama Thomas Hopkins
Gallaudet untuk mendirikan Sekolah Amerika untuk Tuli di Hartford,
Connecticut, pada tahun 1817. Perjuangan ini diteruskan oleh Edward
Miner Gallaudet (putra T.H Gallaudet) yang mendirikan sekolah untuk
penyandang tunarungu pada tahun 1857 di Washington, DC. Pada tahun
1864 sekolah ini menjadi National Deaf-Mute College. Universitas ini
kemudian disebut Gallaudet University, dan masih merupakan universitas
seni liberal hanya untuk orang-orang tunarungu dan tunawicara di
dunia.

Di Indonesia sendiri, pendirian lembaga pendidikan yang menangani Anak


Tunarungu (ATR) baru dirintis oleh C.M.Roelfsma Wesselink, di Bandung
pada tahun 1933. 5 tahun kemudian, di Wonosobo didirikan lembaga
pendidikan oleh Misi Katolik yang hanya menerima siswi–siswi tuna rungu
yang terkenal pula dengan metode oralnya. Lalu pada tahun 1953
didirikan sekolah lain di kota yang sama oleh Misi Bruder Charitas yang
khusus mendidik siswa putra. Dimulai tahun 1970-an mulai berkembang
berbagai versi perangkat isyarat dalam menerapkan komunikasi pada
penyandang tunarungu di Indonesia. Baru tahun 1933 , Balitbang Dikbud,
Dekdikbut mulai menyusun kamus baku bahasa isyarat. Dan pada tahun
yang sama Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar Dan Menengah, Depdikbud mengambil keputusan membakukan
suatu Sistem Isyarat Nasional, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah
Sistem Isyarat Bahasa Indonesia.
5

1.2.2 Kepedulian Masyarakat Pada Abad Pertengahan

Kedatangan agama ke dalam dunia seperti Yahudi,Kristen, dan Islam


sangat mempengaruhi sikap mereka terutama bagi yang belum
memperdulikan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Di dalam semua
agama yang dianut oleh masyarakat pasti mengajarkan kasih sayang
terhadap sesame makhluk hidup termasuk anak yang membutuhkan
penanganan khusus.
Perlakuan orang terhadap anak berkebutuhan khusus pada zaman
pertengahan atau peralihan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Banyak diantara mereka memanfaatkan penyandang cacat
dijadikan
sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi, diantaranya
dijadikan sebagai peminta-minta.
b. Dipelihara oleh ilmuan sebagai peramal, karena mereka dianggap
sebagai titisan dewa.
c. Namun ada juga yang menganggap bahwa anak berkebutuhan
khusus tidak berjiwa manusia.
d. Pada tahun 1500 Yuan Luis Nives menulis jenis pekerjaan
bagi penyandang tunanetra.
e. Pada tahun 1620 Juan Bonet menulis buku tentang pendidikan
bagi
anak tunarungu.

Pada intinya masyarakat zamah dahulu sudah memulai menerima


kehadiran anak yang memiliki kebutuhan khusus dengan cara
memanfaatkannya, entah itu memanfaatkan jasa atau keberadaannya di
dalam masyarakat
6

1.2.3 Landasan Pendidikan Anak Tunarungu


1. Landasan hukum
a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Bab IV pasal 5 ayat 2, 3 dan 4 serta
bab VI pasal 32 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan bahwa, “Warga
negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh layanan pendidikan khusus.”
b. Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.
25 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah dan Pembagian
Kewenangan Pusat dan Propinsi, mengatakan bahwa
“Pengelolaan Pendidikan Luar Biasa ada pada Dinas Pendidikan
Propinsi.”
c. Kepmendiknas No. 031/O/2002 tanggal 18 Maret 2002 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Depdiknas pasal 125 bahwa, “Direktorat
Pendidikan Luar Biasa mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan, pemberian bimbingan dan evaluasi di bidang
pendidikan luar biasa.”
2. Landasan agama
Dalam ajaran agama pada hakikatnya manusia tidak boleh
membeda-bedakan sesame manusia karena perbedaan itu
adalah sama di mata Tuhan Yang Maha Esa dan yang bebeda
hanyalah derajat antar manusia tersebut
3. Landasan kemanusiaan
Pada dasarnya setiap orangtidak bisa hidup tanpa bantuan
orang lain. Dalam hubungannya dengan orang lain, setiap orang
mempunyai kebutuhan yang sama, diantaranya kebutuhan akan kasih
saying, adanya rasa aman, pengakuan akan harga diri, serta
kebutuhan akan pendidikan,baik itu pendidikn dalam keluarga,
pendidikan di sekolah, maupun pendidikan di luar sekolah, seperti
kursus-kursus dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan seperti di atas,
7
1

terdapat pula pada anak tunarungu. Tetapi karena ketidakfungsiaan


pendengarannya, anak tunarungu mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai ungkapan rasa kemanusiaan,
orang yang mempunyai kelebihan dibanding mereka, sudah
seharusnya membantu anak tunarungu dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, sehingga mereka dpat hidup secara layak.
4. Landasan idiologi
Idiologi Negara Indonesia adalah Pancasila yang merupakan
dasar Negara dan falsafah hidup bangsa. Sebagai falsafah hidup
bangsa, Pancasila merupakan kristalisasi dari konsep dasar mengeni
kehidupan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Pancasila juga
merupakan penuntun bagi bangsa Indonesia dalam tata kehidupan
dalam hubungannya dengan sesama manusia sebagai individu,
sebagai unsur masyarakat, maupun sebagai makhluk Tuhan.
Berdasarkan perpaduan sila kesatu, sila kedua, sila kelima
serta kedua sila lainnya, jelaslah bahwa pemberian pendidikan
terhadap anak tunarungu adalah sangat penting, yang merupakan
realisasi dari pada pengamalan Pancasila serta merupakan suatu
langkah menuju terciptanya masyarakat yang maju, adil dan makmur
berdasarkan Pancasila
5. Landasan ilmu pendidikan
Setiap anak membutuhkan pendidikan, tidak terkecuai anak
tunarungu. Pada hakikatnya pendidikan adalah bantuan dari orang
dewasa kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang
dimilikinya, guna mencapai kedewasaan.
Pada dasarnay setiap anak mempunyai potensi yang dapat
dikembangkan. Sekalipun anak mengalami ketunarunguan yang
sangat berat, pada mereka masih terdapat potensi dan kemampuan
yang dapat dikembangkan. Tetapi karena adanya kelainan tersebut,
8
1

anak tunarungu membutuhkan layanan pendidikan yang disesuaikan


dengan kemampuan.
Ketunarunguan mengakibatkan terhambatnya perkembangan
bicara dan bahasanya. Anak tunarungu mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan pikiran dan keinginannya melalui ucapan atau bicara.
Demikian juga anak tunarungu sulit memahami bicara dengan orang
lain. Pemahaman bahasanya sangat terbatas, sehingga mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Melalui
layanan khusus, anak tunarungu dapat mengembangkan kemampuan
dalam berbahasa, yang merupakan dasar untuk mengikuti pendidikan
dan pengajaran lebih lanjut.

1.2.4 Metode Dasar Pembelajaran Anak Tunarungu


Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca”


ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50%
bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara
50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh
di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi
ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak
dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat
menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa
prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila
ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa
sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi
yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal
biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada
tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-
9

tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada


orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini
(Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan
sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat
gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok
konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang
menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan
gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat
bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech
dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University
pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon
terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas
dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah
menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah
untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan
memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis
dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah
diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari
sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam),
dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata
(termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak
tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini
mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman
sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell,
1997).

Belajar Bahasa Melalui Pendengaran


Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu
10

dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari


alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif
bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat
sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat
pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen
eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh
pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui
pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ
pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan
internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear
implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran
dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf
pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi
ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan
klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh
gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa
itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan
yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang
diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar
dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat
mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor
tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh
manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya.
Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak
berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang
tidak cocok.

Belajar Bahasa secara Manual


11

Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara


komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas,
berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang
dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan
bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku
memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu,
sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian
penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya
cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu


Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus
dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan
yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa
kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal
dan auditori-oral.

Pendekatan Auditori verbal


Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh
dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi
warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat
inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang
mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan
berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk
mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam
lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal
didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi
memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa
12

verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi


intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam
pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-
prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi
tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
• Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada
anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
• Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi
bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
• Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang
didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar
setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
• Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi
sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran
normal.
• Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk
belajar ujaran dan komunikasi lisan.
• Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori
dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari
suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang
diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
• Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal
mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan
pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk
membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
• Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam
semua bidang.
• Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan
baru.
13

• Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan


pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak
yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan
kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di
Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam
Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden
terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup
“reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di
dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah
menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat
dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan
membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak
berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg,
1997).

Pendekatan Auditori Oral


Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa
memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif
maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak
tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya
dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara
eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan
sekolah (Stone, 1997).Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang
sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
• Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran
yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan
bagi anaknya.
• Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi
orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
14

• Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan


anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
• Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan
utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant
merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya
untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang
mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum
anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari
keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu
deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena
tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk
mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran
(speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan
dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan
dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik
(mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara
terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan
memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa
dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang
berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa
prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara
individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam
setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di
sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan
sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak
mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam
individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai
kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan
15

Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100
siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki
kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran
yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada
tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata
kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.

1.2.5 Layanan Pendidikan bagi Tunarungu

Sistem pendidikan bagi anak tunarungu diperlukan beberapa


macam (alternatif) disesuaikan dengan tingkat ketunaan yang
disandangnya, yaitu sistem terpadu di sekolah umum dan sistem segresi
di sekolah khusus.
1. Di sekolah umum dengan sistem terpadu, yang pelaksanaannya
bervariasi sesuai dengan taraf ketunarunguannya
a. Di kelas biasa tanpa kekhususan baik dalam pelajaran maupun
guru (regular classroom only)
Anak tunarungu yang dimasukkan dalam kelas ini adalah
yang paling ringan ketunarunguannya, sehingga tidak memerlukan
bahan khusus ataupun guru khusus, bahannya juga biasa-biasa
saja. Hanya saja mungkin anak tunarungu ini memerlukan waktu
belajar untuk bahan tertentu sedikit lebih banyak dari rekan-rekan
yang normal. Mereka memerlukan perhatian yang khusus dari guru
kelasnya, misalnya penempatan tempat duduknya,
pengelompokkan dengan teman-temannya, mendapat giliran
menjadi pemimpin kelompok, dan lain-lain.
b. Di kelas biasa dengan guru konsultan (regular classroom with
teacher consultant)
Anak tunarungu ditempatkan di kelas biasa, belajar
bersama-sama teman di kelasnya di bawah pimpinan guru
16

kelasnya. Sekali-kali guru konsultan (guru ahli pendidikan luar


biasa) datang untuk membantu guru kelas dalam memahami
masalah anak tunarungu dan cara menanganinya, serta
memberikan petunjuk kepada guru kelas mengenai bahan atau
metode yang sesuai dengan kebutuhan anak tunarungu.
c. Di kelas biasa dengan guru kunjung (regular classroom with
itinerant teacher)
Anak tunarungu belajar bersama-sama temannya di kelas
biasa oleh guru kelasnya. Guru kunjung adalah guru PLB yang
memberikan pelajaran kepada anak tunarungu atau memberikan
petunjuk kepada guru kelas tempat anak tunarungu belajar. Guru
kunjung ini memiliki jadwal waktu kunjungan, berpindah-pindah dari
sekolah satu ke sekolah lain, mengunjungi kelas-kelas yang ada
peserta didik secara langsung atau memberikan saran kepada guru
kelas dan berkonsultasi mengenai masalah-masalah yang dihadapi
anak tunarungu.
d. Di kelas biasa dengan ruang sumber (regular classroom with
resource room)
Anak tunarungu dididik di kelas biasa dengan bantuan guru
PLB pada ruang sumber. Ruang sumber ialah ruangan khusus
yang menyediakan berbagai fasilitas untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan belajar yang dihadapi anak tunarungu di kelas biasa.
Biasanya anak datang ke ruang sumber berdasarkan jadwal yang
ditentukan. Dalam ruangan ini anak tunarungu mendapat
bimbingan dari guru pembimbing khusus (GPK)untuk pelajaran-
pelajaran tertentu.
e. Di kelas khusus sebagian waktu (part-time special class)
Kelas ini berada di sekolah biasa yang merupakan ruangan
khusus yang digunakan untuk anak tunarungu, biasanya anak
tunarungu tingkat ringan bagian bawah dan tingkat sedang bagian
17

atas. Dalam beberapa hal (mata-mata pelajaran tertentu) anak


tunarungu mengikuti kegiatan di kelas biasa bersama-sama
dengan teman-temannya yang normal. Dalam kegiatan yang
sangat menyulitkan, untuk mata-mata pelajaran tertentu anak
tunarungu mendapat pendidikan di ruangan khusus dari guru
pendidikan luar biasa.
f. Kelas khusus penuh (self contained special class)

2. Di sekolah khusus dengan sistem segresi


a. Sekolah khusus harian (special day school)
Pengertian sekolah ini adalah sekolah yang dikunjungi
setiap harinya selama jam sekolah . Sekolah khusus harian
ini terdiri atas:
1) Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) untuk anak tunarungu,
lamanya 1-3 tahun. TKLB tunarungu tingkat rendah ditekankan
pada pengembangan kemampuan sensomotorik, berbahasa
dan kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara dan
berbahasa.
2) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) untuk anak tunarungu,
sekurang-kurangnya 6 tahun. SDLB tunarungu kelas tinggi
ditekankan pada keterampilan senso-motorik, keterampilan
berkomunikasi kemudian pengembangan kemampuan dasar di
bidang akademik dan keterampilan sosial.
3) Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) untuk anak
tunarungu, sekurang-kurangnya 3 tahun. SLTPLB tunarungu
ditekankan pada peningkatan keterampilan berkomunikasi dan
keterampilan sensomotorik, keterampilan berkomunikasi dan
keterampilan mengaplikasikan kemampuan dasar di bidang
akademik dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari,
18

peningkatan keterampilan sosial dan dasar-dasar keterampilan


vokasional.
4) Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) untuk anak
tunarungu, sekurang-kurangnya 3 tahun. SMALB tunarungu
ditekankan pada pematangan keterampilan berkomunikasi,
keterampilan menerapkan kemampuan dasar di bidang
akademik yang mengerucut pada pengembangan kemampuan
vokasional yang berguna sebagai pemenuhan kebutuhan hidup,
dengan tidak menutup kemungkinan mempersiapkan siswa
tunarungu melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih
tinggi.
a. Sekolah khusus bersama (residential school)
Anak berdiam di lembaga ini selama 24 jam terpisah dari
lingkungan keluarga, sekolah khusus berasrama ini terutama
diperuntukkan bagi anak-anak tunarungu yang berat dan sangat
berat (severe and profound). Anak-anak yang tinggal di sini
dapat mengunjungi keluarganya pada waktu libur, sebaliknya
orangtua mereka dapat berkunjung ke sekolah khusus
berasrama ini pada waktu libur atau waktu-waktu yang telah
ditentukan. Jenjang dan lama pendidikan sama seperti sekolah
khusus harian.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pendidikan tunarungu yang diawali oleh beberapa tokoh dunia seperti
Socrates dan Juan Pablo Bonet sudah mengisyaratkan akan adanya
pendidikan tunarungu ke masa yang akan datang, sampai kepada
Abbe de le’pee mendirikan sekolah khusus yang diperuntukkan oleh
anak yang memiliki hambatan pendengaran. Dengan berbagai
landasan seperti landasan hukum,agama,kemanusiaan,ideology dan
ilmu pendidikan pendidikan yang diperuntukkan oleh anak tuna rungu
masih tetap eksis hingga saat ini.
Metode dasar hingga landasan yang dipergunakan sejak lama yaitu
tetap sama adanya hingga sekarang. Eksistensi yang ada pada zaman
dahulu mengandung antusias masyarakat akan adanya pendidikan
tunarungu yang akan dimajukan ke depannya.

SARAN

Guru yang membimbing anak berkebutuhan khusus, khususnya


tunarungu harus diperluas. Karena pada kenyataanya sekarang anak
berkebutuhan khusus sudah sering dijumpai di masyarakat dewasa ini
dengan anak-anak normal lainnya. Guru pun harus menguasai lebih
mengikuti zaman modern dan kebetuhuan sang siswa

19
DAFTAR PUSTAKA

Bunawan, L. & Yuwati, C. S. (2000). Penguasaan Bahasa Pada Anak


Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama. Bunawan, L.

Hekekat Ketunarunguan & Implikasi dalam Pendidikan. 2004

Makalah Pelatihan Dosen Pendidikan Luar Biasa, tidak diterbitkan. Jakarta.


Hallahan, D. P. & Kauffman, J. M. (1991). Exceptionality Childern Introduction
to Special Education (fifth ed.). New Jersey: Prentice Hall International, Inc..
Hardman, M. L. et.al. (1990). Human Exceptionality (third ed.).

Bina Wicara Anak tunarungu fonetik khusus Makalah pada Pelatihan Dosen
Pendidikan Luar biasa, tidak diterbitkan. Jakarta.

http://muna.staff.iainsalatiga.ac.id/wp-
content/uploads/sites/65/2015/09/Sejarah_Kurikulum_PLB.pdf

Anda mungkin juga menyukai