Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat
mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya
penyakit akibat kerja. Potensi bahaya fisik yaitu, potensi bahaya yang dapat
menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang
terpapar, misalnya terpapar kebisingan intensitas tinggi (Tarwaka, 2008).

Berdasarkan data dari International Labour Organization (ILO), satu pekerja


di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja atau penyakit akibat
kerja. ILO juga mencatat, 153 pekerja di dunia mengalami kecelakaan kerja
setiap 15 detik. Diperkirakan 2,3 juta pekerja meninggal setiap tahun akibat
kecelakaan dan penyakit kerja. Lebih dari 160 juta pekerja menderita penyakit
akibat kerja dan 313 juta pekerja mengalami kecelakaan non-fatal per tahunnya.
Dari sudut pandang ekonomi, ILO memperkirakan lebih dari 4% Produk
Domestik Bruto (PDB) digunakan untuk kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Biaya tersebut dihabiskan untuk hilangnya waktu kerja, gangguan produksi,
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta ganti rugi kepada keluarga korban.
Maka dari itu ILO menghimbau kepada seluruh negara dan perusahaan untuk
menanamkan kesadaran terkait keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Perusahaan harus menciptakan kondisi kerja yang aman untuk para pekerjanya
dan menumbuhkan kesadaran kepada para pekerja untuk mengikuti prosedur K3
sesuai ketentuan yang berlaku. Salah satu upayanya, perusahaan wajib

1
melaksanakan pelatihan, pemasangan safety sign sesuai standar di area kerja,
atau melakukan kampanye K3 kreatif untuk disosialisasikan kepada pekerja.

Banyak penderitaan terjadi disebabkan oleh kondisi fisik dan lingkungan kerja
yang berbahaya dimana pekerjaan dilakukan oleh pekerja. Salah satu kondisi
fisik dan lingkungan kerja yang membahayakan adalah kebisingan. Kebisingan
yang melebihi nilai ambang batas dapat menimbulkan penyakit akibat kerja yaitu
dapat berupa gangguan pendengaran atau kerusakan pada telinga baik bersifat
sementara ataupun permanen setelah terpapar untuk jangka waktu tertentu tanpa
proteksi yang memadai.

1.2 Masalah
PT Perkebunan Nusantara merupakan perusahaan industri yang bergerak di
bidang perkebunan, salah satunya pengolahan kelapa sawit yang mana dalam
proses produksi menggunakan mesin-mesin dan peralatan mempunyai intensitas
kebisingan tinggi yang dapat menyebabkan adanya gangguan pekerjaan ataupun
penyakit akibat kerja yang berupa gangguan pendengaran akibat kebisingan. Dari
permasalahan ini, perlu dilakukan identifikasi terhadap bahaya potensial bising
yang ada di tempat ini.

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini antara lain adalah:
1. Mengidentifikasi bahaya potensial lingkungan kerja khususnya kebisingan
yang ditemukan pada pekerja di pabrik pengolahan kelapa sawit PTPN 7 unit
Bekri, Lampung Tengah.

1.4 Metodologi
1. Survey kebisingan dan evaluasi
2. Pengisian kuesioner terhadap pekerja yang terpapar kebisingan >85dB.

2
3. Anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pekerja yang memiliki potensi
gangguan pendengaran.
4. Penelusuran kepustakaan

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Bunyi

Menurut Ganong W.F. (1992) suara adalah sensasi yang dihasilkan apabila
getaran longitudinal molekul-molekul dari lingkungan luar, yaitu fase pemadatan
dan peregangan dari molekul-molekul yang silih berganti, mengenai membrane
timpani. Pola dari gerakan ini digambarkan sebagai perubahan-perubahan
tekanan pada membran timpani tiap unit waktu merupakan sederetan gelombang
dan gerakan ini dalam lingkungan sekitar kita umumnya dinamakan gelombang
suara.

2.2 Kebisingan

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-
alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran (Kepmenaker No. 51 Tahun 1999).
Menurut Suma’mur, 1996. intensitas kebisingan atau arus energi persatuan luas
biasanya dinyatakan dalam satuan logaritmis yang disebut decibel (dB) dengan
memperbandingkan dengan kekuatan dasar 0,0002 dyne/cm2 yaitu kekuatan dari
bunyi dengan frekuensi 1.000 Hz yang tepat didengar oleh telinga normal.
Dinyatakan dalam rumus: dB = 20 10 log p/po Dimana: p = tegangan suara yang
bersangkutan po = tegangan suara standar (dyne/cm2 ).

4
2.3 Gangguan Kebisingan di Tempat Kerja

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia yang terpapar


dan dapat dikelompokan secara bertingkat sebagai berikut:

a) Gangguan Fisiologis

Seseorang yang terpapar bising dapat menggangu, lebih-lebih yang


terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba dan tak terduga. Gangguan
dapat terjadi seperti, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi,
basa metabolisme, kontraksi pembuluh darah kecil, dapat menyebabkan
pucat dan gangguan sensoris, serta dapat menurunkan kinerja otot.

b) Gangguan Psikologis

Seseorang yang terpapar bising dapat teganggu kejiwaanya, berupa stres,


sulit berkonsentrasi dan lain-lain, dengan akibat mempengaruhi kesehatan
organ tubuh yang lain.

c) Gangguan komunikasi

Yaitu gangguan pembicaraan akibat kebisingan sehingga lawan bicara


tidak mendengar dengan jelas. Untuk rnengatasi pembicaraan perlu lebih
diperkeras bahkan berteriak.

d) Gangguan keseimbangan

Kebisingan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan gangguan


keseimbangan yang berupa kesan seakan-akan berjalan di ruang angkasa.

5
e) Ketulian

Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh kebisingan,


maka gangguan yang paling serius adalah ketulian. Ketulian akibat bising
ada tiga macam yaitu
1) Tuli sementara
2) Tuli menetap
3) Trauma akustik

2.4 Jenis Kebisingan

Bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran


melalui media elastis dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki,
maka dinyatakan sebagai kebisingan.
Pegukuran kebisingan bertujuan untuk memperoleh data kebisingan dan
menguranginya sehingga tidak mengganggu, sedangkan jenis-jenis Kebisingan
yang sering dijumpai adalah:
a) Kebisingan kontinue dengan spektrurn frekuensi yang luas (=steady state,
wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar, dan lain-
lain;
b) Kebisingan kontinue dengan spektrum frekuensi yang sempit (=steady state
narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas, dan lain-lain;
c) Kebisingan terputus-putus (=intermittent), misalnya lalu lintas, suara kapal
terbang di lapangan udara;
d) Kebisingan impulsif (=impact or impulsive noise), seperti pukulan tukul,
tembakan bedil atau meriam, ledakan;
e) Kebisingan impuisif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan.
Pengaruh utama kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan jaringan
pendengaran yang menyeb abkan ketulian progresif. Sedangkan NAB yang
doperbolehkan adalah 85 dB(A), (Suma’mur,1996).

6
2.5 Sumber Bising

Sumber bising ialah sumber bunyi yang kehadirannya dianggap mengganggu


pendengaran baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Umumnya
sumber kebisingan dapat berasal dari kegiatan industri, perdagangan,
pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat pengangkut dan kegiatan rumah
tangga. Di Industri, sumber kebisingan dapat di klasifikasikan menjadi 3 macam,
yaitu:
1. Mesin
Kebisingan yang ditimbulkan oleh aktifitas mesin.

2. Vibrasi
Kebisingan yang ditimbulkan oleh akibat getaran yang ditimbulkan akibat
gesekan, benturan atau ketidak seimbangan gerakan bagian mesin. Terjadi
pada roda gigi, roda gila, batang torsi, piston, fan, bearing, dan lain-lain.

3. Pergerakan udara, gas dan cairan


Kebisingan ini di timbulkan akibat pergerakan udara, gas, dan cairan dalam
kegiatan proses kerja industri misalnya pada pipa penyalur cairan gas, outlet
pipa, gas buang, jet, flare boom, dan lain-lain.

2.6 Upaya Pengendalian Bising

Berdasarkan teknik pelaksanaannya, pengendalian kebisingan dapat dibedakan


dalam:
1. Survey dan evaluasi sumber bahaya
2. Pengendalian secara teknik
Bila bising telah teridentifikasi melalui analisa kebisingan yaitu dengan walk
trough survey, yang pertama-tama harus dilakukan adalah pengendalian

7
secara teknik. Konsep yang digunakan adalah mengurangi paparan terhadap
pekerja dengan mengendalikan 2 komponen:
a) Mengurangi tingkat kebisingan pada sumbernya
1) Pemelihanan dan pelumasan mesin-mesin dengan teratur.
2) Pemilihan dan pemasangan mesin dengan tingkat kebisingan
rendah.
b) Menghilangkan transmisi kebisingan terhadap manusia.
1) Menutup atau menyekat mesin atau alat yang mengeluarkan
bising.
2) Mengurangi bunyi yang diterima pekerja. Penggunaan alat
pelindung telinga untuk menurunkan intensitas kebisingan yang
mencapai alat pendengaran.

3. Pengendalian secara administratif


Pengendalian secara administratif merupakan prosedur yang bertujuan
untuk mengurangi waktu paparan pekerja terhadap bising, dengan merotasi
dan menyusun jadwal kerja berdasarkan perhitungan dosis paparan sesuai
Nilai Ambang Batas serta pemeriksaan kesehatan awal, berkala maupun
pemerikasaan kesehatan secara khusus.

4. Pengendalian secara medis


Pemeriksaan kesehatan kerja ditetapkan dalam peraturan menteri tenaga
kerja dan transmigrasi No. Per 02/Men/1980 (Pungky, W, 2002) tentang
pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan keselamatan
kerja meliputi:

a. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja Pemeriksaan kesehatan sebelum


kerja adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter
sebelum seorang tenaga kerja diterima untuk melakukan pekerjaan,
antara lain:

8
1) Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja ditujukan agar tenaga kerja
yang diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-
tingginya, tidak mempunyai penyakit menular yang akan
mengenai tenaga kerja lainnya dan cocok untuk pekerjaan yang
akan dilakukan sehingga keselamatan dan kesehatan tenaga kerja
yang bersangkutan dan tenaga kerja lainnya dapat terjamin.
2) Semua perusahaan sebagaimana tersebut dalam undang-undang
No. 1 tahun 1970, harus mengadakan pemeriksaan kesehatan
sebelum kerja.
3) Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja meliputi pemeriksaan
kesehatan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru
(bila mungkin) dan laboratorium rutin serta pemeriksaan lain yang
dianggap perlu.
4) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu perlu dilakukan pemeriksaan
yang sesuai dengan kebutuhan guna mencegah bahaya yang
diperkirakan timbul.
5) Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman
pemeriksaan kesehatan sebelum kerja yang menjamin penempatan
tenaga kerja sesuai dengan kesehatan dan pekerjaan yang akan
dilakukannya dan pedoman tersebut mendapatkan persetujuan
terlebih dahulu oleh direktur.
6) Pedoman pemeriksaan kesehatan sebelum kerja dibina dan
dikembangkan mengikuti kemampuan perusahaan dan kemajuan
kedokteran dalam keselamatan kerja.
7) Jika 3 (tiga) bulan sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan
kesehatan oleh dokter, tidak ada keragu-raguan maka perlu
dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelum kerja.
b. Pemeriksaan kesehatan berkala Pemeriksaan kesehatan berkala adalah
pemeriksaan kesehatan pada waktuwaktu tertentu terhadap tenaga
kerja yang dilakukan oleh dokter.

9
1) Pemeriksaan kesehatan berkala dimaksudkan untuk
mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerja sesudah berada
dalam pekerjaannya serta menilai kemungkinan adanya pengaruh-
pengaruh dari pekerjaan seawal mungkin yang perlu dikendalikan
dengan usaha-usaha pencegahan.
2) Semua perusahaan harus melakukan pemeriksaan kesehatan
berkala bagi tenaga kerja sekurang-kurangnya 1 tahun sekali,
kecuali ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan
Perlindungan Tenaga Kerja.
3) Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman
pemeriksaan kesehatan berkala sesuai dengan kebutuhan menurut
jenis-jenis pekerjaan yang ada.
4) Pedoman pemeriksaan kesehatan dikembangkan mengikuti
kemampuan perusahaan dan kemajuan kedokteran dan
keselamatan kerja.
5) Dalam hal ditemukan kelainan atau gangguan kesehatan pada
tenaga kerja pada pemeriksaan berkala, pengurus wajib
mengadakan tindak lanjut untuk memperbaiki kelainan-kelainan
tersebut dan sebabsebabnya untuk menjamin terselenggaranya
keselamatan dan kesehatan kerja.
6) Agar pemeriksaan kesehatan berkala mencapai sasaran yang luas,
maka pelayanan kesehatan di luar perusahaan dapat dimanfaatkan
oleh pengurus menurut keperluan.
7) Dalam melaksanakan kewajiban pemeriksaan kesehatan berkala,
Direktur Jenderal Pembina Hubungan Perburuhan dan
Perlindungan Tenaga Kerja dapat menunjuk satu atau beberapa
Badan sebagai penyelenggara yang akan membantu perusahaan
yang tidak mampu melakukan sendiri pemeriksaan kesehatan
berkala.

10
c. Pemeriksaan kesehatan khusus Pemeriksaan kesehatan khusus adalah
pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter secara khusus
terhadap tenaga kerja tertentu, meliputi:
1) Pemeriksaan kesehatan khusus dimaksudkan untuk menilai adanya
pengaruh-pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja
atau golongan-golongan tenaga kerja tertentu.
2) Pemeriksaan kesehatan khusus dilakukan pula terhadap:
a) Tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau penyakit
yang memerlukan perawatan lebih dari 2 (dua) minggu.
b) Tenaga kerja yang berusia diatas 40 tahun atau tenaga kerja
wanita dan tenaga kerja cacat, serta tenaga kerja muda yang
melakukan pekerjaan tertentu.
c) Tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu mengenai
gangguan-gangguan kesehatannya perlu dilakukan
pemeriksaan khusus sesuai dengan kebutuhan.

Pemeriksaan kesehatan khusus diadakan pula apabila terdapat


keluhankeluhan diantara tenaga kerja, atau atas pengamatan Pegawai
Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja, atau atas penilaian Pusat
Bina Hiperkes dan Balai-balainya atau atas pendapat umum masyarakat.

Menurut Forum Komunikasi K3LH/BUMNIS 1996 pengujian kesehatan


adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pemeriksaan kesehatan dan
penilaian kesehatan yang dilakukan terhadap tenaga kerja ataupun calon
tenaga kerja.

Macam pengujian kesehatan dan peruntukannya meliputi:


a. Pengujian kesehatan sebelum kerja, dikenakan terhadap calon tenaga
kerja khususnya calon yang:
1) Akan melaksanakan masa percobaan,
2) Akan diangkat menjadi tenaga kerja.

11
b. Pengujian kesehatan berkala, dikenakan terhadap tenaga kerja yang
telah bekerja atau melaksanakan tugasnya sekurang-kurangnya
selama 6 bulan atau selama-lamanya 2 tahun terus menerus tanpa
terputusputus dan diulang sekurang-kurangnya tiap 2 bulan.

c. Pengujian kesehatan khusus, dikenakan terhadap tenaga kerja tertentu


yaitu tenaga kerja yang menurut pendapat pejabat yang berwenang
mengajukan permintaan pengujian kesehatan, diduga:
1) Menderita suatu penyakit, baik penyakit yang berhubungan
ataupun penyakit yang tidak berhubungan dengan pekerjaanya.
2) Tidak dapat melanjutkan pekerjaanya sehubungan dengan
keadaan kesehatannya.
3) Karena suatu hal mengalami perubahan kondisi mental dan atau
kesehatan jasmani dan atau kemampuan fisik sehingga sudah
tidak sesuai dengan persyaratan kesehatan untuk pekerjanya.

2.7 Penyuluhan dan Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri (APD)

Penggunaan APD adalah upaya terakhir apabila secara teknis dan admnistratif
tidak dapat lagi mengurangi paparan alat pelindung telinga pada umumnya. Ada
dua jenis alat perlindungan telinga:
a) Ear muff
b) Ear plug.

2.8 Nilai Ambang Batas

Nilai Ambang Batas kebisingan adalah besarnya tingkat suara dimana sebagian
besar tenaga kerja masih berada dalam batas aman untuk bekerja 8 jam/ hari.

12
Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 51/MEN/1999,
tanggal 16 april 1999 tentang nilai ambang batas kebisingan ditempat kerja
adalah 85 dB(A).

Adapun data intensitas dan jam kerja yang diperkenankan tersebut adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Nilai Ambang Batas Kebisingan

2.9 PAK Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Menurut Nasri, 1999. Kebisingan dapat menimbulkan gangguan pendengaran


pada manusia yang terpapar diantaranya adalah sebagai berikut:

13
1) Tuli sementara (Temporary Treshold Shift = TTS)

Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang


akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara dan
biasanya waktu pemaparan terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan
waktu istirahat secara cukup, daya dengarnya akan pulih kembali.

2) Tuli menetap (Permanent Treshold Shift = PTS)

Diakibatkan waktu paparan yang lama (kronis), besarnya PTS di pengaruhi


faktor-faktor sebagai berikut :
a. Tingginya level suara
b. Lama paparan
c. Spektrum Suara
d. Temporal pattern, bila kebisingn yang kontinyu maka kemungkinan
terjadi TTS akan lebih besar
e. Kepekaan individu
f. Pengaruh obat-obatan, beberapa obat-obatan dapat memperberat
(pengaruh synergistik) ketulian apabila diberikan bersamaan dengan
kontak suara, misalnya quinine, aspirin dan beberapa obat lainnya
g. Keadaan kesehatan

3) Trauma akustik

Trauma akustik adalah setiap perlukaan yang merusak sebagian atau seluruh
alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau
beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-
ledakan atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang
dapat memecahkan gendang telinga, merusakkan tulang pendengaran atau
saraf sensoris pendengaran.

14
4) Prebiacusis

Prebycusis (menurunnya daya dengar dengan nada tinggi), merupakan


penurunan daya dengar sebagai akibat pertambahan usia yang biasanya terjadi
pada orang tua dan hal ini terjadi karena adanya kelumpuhan syaraf
pendengaran. Gejala ini harus diperhitungkan jika menilai penurunan daya
dengar akibat pajanan bising ditempat kerja.

5) Tinitus

Tinnitus merupakan suatu tanda gejala awal terjadinya gangguan


pendengaran. Gejala yang ditimbulkan yaitu telinga berdenging. Orang yang
dapat merasakan tinnitus dapat merasakan gejala tersebut pada saat keadaan
hening seperti saat tidur malam hari atau saat berada diruang pemeriksaan
audiometri.

2.10 Penyakit Akibat Kerja

Dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi no. Per 01/MEN/1981
(Pungky W, 2002), yang dimaksud dengan penyakit akibat kerja adalah setiap
penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Definisi lain
dari penyakit akibat kerja adalah hubungan dengan faktor penyebab spesifik di
tempat kerja, sepenuhnya dipastikan dan faktor tersebut dapat diidentifiksi,
diukur dan selanjutnya dapat dikendalikan (WHO, 1985 dalam A.M. Sugeng
Budiono, 2001). Penyakit akibat kerja atau lebih dikenal sebagai man made
diseases dapat timbul setelah seorang karyawan yang tadinya terbukti sehat
memulai pekerjaannya.

15
Dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi no. 1 tahun 1981 pasal
4 (pungki w, 2002), kewajiban pengusaha dalam menghadapi penyakit akibat
kerja adalah:
1) Pengurus wajib dengan segera melakukan tindakan-tindakan preventif agar
penyakit akibat kerja yang sama tidak terulang kembali diderita oleh tenaga
kerja yang berada di bawah pimpinanya.
2) Apabila terdapat keragu-raguan terhadap hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan oleh Dokter, pengurus dapat meminta bantuan Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi dalam hal ini aparatnya untuk menegakkan diagnosa
penyakit akibat kerja.
3) Pengurus wajib menyediakan secara cuma-cuma semua alat pelindung diri
yang diwajibkan penggunaannya oleh tenaga kerja yang berada dibawah
pimpinannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

Sedangkan kewajiban dan hak tenaga kerja dalam menghadapi penyakit akibat
kerja, antara lain:

a. Tenaga kerja harus memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan bila


diperiksa oleh dokter atau pengawas keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Tenaga kerja harus memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan
untuk pencegahan penyakit akibat keja.
c. Tenaga kerja harus memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat untuk
pencegahan penyakit akibat kerja.
d. Tenaga kerja berhak meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua sysrat-
syarat pencegahan penyakit akibat kerja.
e. Tenaga kerja berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan pada
pekerjaan yang diragukan keadaan pencegahannya terhadap penyakit akibat
kerja.

16
2.11 Usaha pencegahan

Menurut bennet silalahi dan rumondang silalahi (1995), langkah-langkah


kearah pencegahan penyakit akibat kerja terdiri dari kesadaran manajemen
untuk mencegah penyakit akibat kerja dan pengaturan tata cara pencegahan.
Manajemen harus sadar bahwa peningkatan produktivitas kerja sangat erat
kaitannya dengan efisiensi dan prestasi kerja. Kedua hal tersebut tidak terlepas
dari tenaga kerja yang sehat, selamat dan sejahtera. Jadi, peningkatan
kesejahteraan dan keselamatan kerja harus dilengkapi oleh lingkungan yang
sehat.

Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pengendalian penyakit akibat kerja


menurut Depnaker RI (1999), adalah:

a. Memberikan penerangan, bimbingan dan penyuluhan kepada tenaga kerja


pada waktu mulai masuk bekerja maupun secara periodik mengenai:
1. Cara-cara bekerja yang benar dalam mengutamakan kesehatan dan
keselamatan kerja,
2. Selalu menjaga kebersihan diri sendiri dengan cara:
a) Memakai pakaian kerja yang bersih pada waktu bekerja,
b) Mencuci tangan, muka maupun mulut sebelum makan, minum ataupun
merokok,
c) Sehabis bekerja harus mandi memakai sabun khusus pelarut logam
dan menggunakan pakaian kerja dengan pakaiannya sendiri yang
bersih.
3. Disiplin memakai alat-alat proteksi pada waktu sedang bekerja.

b. Menyediakan sarana-sarana dan peralatan yang berkaitan dengan


pengendalian penyakit akibat kerja (PAK) seperti:
1. Pakaian kerja,

17
2. Tempat mandi,
3. Tempat mencuci tangan, muka, mulut, yang dekat ruangan kerja,
4. Tempat mencuci pakaian kerja,
5. Alat pelindung diri (APD),
6. Memasang papan-papan peringatan,
7. Jika perlu, memberikan sangsi bagi yang melanggar ketentuan.

c. Menyediakan makan siang yang cukup nilai gizinya.


Sedangkan penerapan teknologi pengendalian faktor penyebab pada
lingkungan kerja dibedakan dalam:
1. Eliminasi atau meniadakan/menghilangkan sama sekali faktor penyebab
sehingga dianggap sebagai cara yang paling “ideal” meskipun dalam
pelaksanaannya perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan
dengan produksi. Sebagai contoh, bila dalam proses produksi digunakan
bahan atau cara yang sangat berbahaya maka alternatifnya adalah hindari
atau hilangkan sama sekali,

2. Substitusi yaitu mengganti semua proses atau bahan yang berbahaya


namun menghasilkan produk atau manfaat yang tidak berbeda, misalnya
mengganti asbestos dengan fibre glass, bahan karbon tetra klorida dengan
bahan hidrokarbon, perubahan penggunaan wadah yang lebih kecil untuk
mengganti wadah yang besar dalam proses pengepakan. Dalam
pelaksanaannya cara substitusi ini perlu senantiasa dievaluasi kembali
mengingat proses atau bahan pengganti dapat juga manimbulkan pengaruh
lain,

3. Pengendalian teknis meliputi modifikasi atau penerapan cara teknis guna


meminimalkan pemajanan pada tenaga kerja, missal melalui cara
isolasi/pemisahan atau pemasangan penyekat, ventilasi local atau umum
serta penyelenggaraan tata rumah tangga yang baik. Metode pengendalian

18
teknis ini banyak dilakukan di tempat kerja dan sangat bermanfaat dalam
upaya mencegah kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Pemasangan
20 alat pengaman mesin, tersedianya ruang panel/kendali, exhaust fanatau
penyedot lainnya, tata letak yang memenuhi syarat, kebersihan dan
kerapian di tempat kerja merupakan contoh lebih rinci dari pengendalian
teknis tersebut.

4. Pengendalian administratif, melalui peningkatan higene perorangan atau


penyediaan fasilitas saniter, tanda peringatan, pertimbangan aspek
keselamatan dan kesehatan kerja dalam proses pembelian bahan/peralatan,
petunjuk cara kerja yang sehat dan aman, penerapan system rotasi untuk
mengurangi pemajanan,

5. Penggunaan APD oleh tenaga kerja sebagai alternatif paling akhir atau
diterapkan bersamaan dengan teknologi pengendalian lainnya. Kesulitan
atau problem tertentu yang dikeluhkan baik oleh perusahaan atau tenaga
kerja sering pula terjadi, misalnya telah disediakan namun tidak
digunakan, tidak tersedia atau terpelihara dengan baik, terasa kurang
nyaman, kurang cocok, mengganggu kerja dan sebagainya. Pedoman
umum untuk alat pelindung diri perlu diperhatikan, antara lain adalah
pemilihannya yang benar sesuai untuk potensi bahaya yang dihadapi,
pemeliharaan dilakukan secara teratur, dipakai secara benar atau apabila
diperlukan, disimpan secara aman dan dipahami benar manfaatnya,

6. Pelatihan yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan, tidak hanya


mengenai penyakit akibat kerja melainkan juga mengenai berbagai aspek
higene perusahaan, ergonomic, kesehatan kerja dan juga berbagai segi
keselamatan kerja serta pengetahuan yang terkait. Pelatihan ini dapat 21
diselenggarakan secara khusus maupun langsung pada saat sebelum,

19
selama dan sesudah bekerja atau melalui forum komunikasi, diskusi,
pertemuan, dan sebagainya,

7. Pemantauan dan evaluasi pada penerapan sistem pencegahan yang


disebutkan diatas melalui audit untuk menjawab berbagai pertanyaan
seperti apakah resiko masih belum berkurang bagimana keluhan atau
gangguan kesehatan yang, adakah penurunan kejadian kecelakaan atau
penyakit sejauh mana efektivitas alat pengendali yang digunakan,
mungkinkah terdapat perubahan sikap atau persepsi terhadap penerapan
kesehatan dan keselamatan kerja dan sebagainya.

20
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Informasi Umum

PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 7 Unit Bekri terletak di desa Sinar Banten


Kec.Bekri Kab.Lampung Tengah, kurang lebih 62 km dari kota Bandar
Lampung. Pada umumnya merupakan dataran dengan kemiringan rata-rata 5
meter terletak pada ketinggian 48 – 62 meter diatas permukaan laut dengan
iklim B, curah hujan rata-rata 2000 – 2500 mm, hari hujan 100 – 150 HH.
Jenis tanah Latosal Aluvial dan Padsolik Merah Kuning. Lokasinya
berbatasan dengan beberapa desa lain, yaitu sebelah utara berbatasan dengan
Padang Ratu dan Gunung Sugih. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Bangun Rejo dan Natar, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Desa
Gunung Sugih dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Padang Ratu dan
Bangun Rejo.

PTPN 7 Unit Bekri merupakan perusahaan industri yang bergerak di bidang


perkebunan, yaitu pengolahan sawit yang mana dalam proses produksi
menggunakan mesin-mesin dan peralatan mempunyai intensitas kebisingan
tinggi yang dapat menyebabkan adanya gangguan pekerjaan ataupun penyakit
akibat kerja yang berupa gangguan pendengaran akibat kebisingan. Budi daya
yang dikembangkan di Unit Bekri adalah Kelapa Sawit. Dengan Produk yang
dihasilkan antara lain: Minyak Sawit (CPO/Crude Palm Oil), Inti Sawit,
Minyak Inti Sawit (PKO/Palm Kernel Oil), Bungkil Inti Sawit.

21
3.1.2 Alur Produksi

(Proses Pengolahan Kelapa Sawit (PPKS)


Tahapan proses sebagai berikut :
a. Jembatan timbang
Fungsi : Alat ukur berat yang berfungsi untuk menimbang/mengetahui
jumlah berat dari tandan yang akan diolah dan untuk menimbang hasil
produksi lainnya.
b. Station Loading Ramp
Loading Ramp adalah tempat penimbunan sementara dan pemindahan
tandan buah segar kedalam lori rebusan.
c. Station Stelirizer (rebusan)
Setelah lori-lori diisi dengan TBS, selanjutnya lori-lori dimasukkan kedalam
rebusan, untuk direbus dengan tujuan :
 Mengurangi kadar air yang terkandung dalam TBS
 Menghentikan kegiatan enzim dan non enzim dalam buah
 Mempermudah lepasnya buah dari tandan
 Menguraikan zat prekat didalam buah
d. Station Hoisting Crane
Hoisting Crane digunakan untuk mengangkat lori yang berisikan TBS
matang untuk dicurahkan ke Auto Feeder
e. Station Penebah
Berfungsi sebagai tempat penampung buah matang dan buah diatur masuk
sebagai umpan Thresher yang kecepatannya diatur secara variable speed agar
kontinu.
f. Station Screw Press
Berfungsi sebagai alat kempa brondolan matang hasil dari pengadukan
Digester, sehigga didapat crude oil dan press cake.

22
g. Station Pemurnian Minyak (Klarifikasi)
Minyak kasar hasil pengepresan yang masih banyak mengandung air dan
kotoran diproses melalui beberapa peralatan sehingga hasil akhirnya menjadi
produksi minyak sawit dengan mutu yang baik.
Peralatan tersebut antara lain :
- Continous Setting tank / CST
Adalah tanki penimbun minyak, untuk pemisah antara minyak dengan
sludge
- Oil Tank
Adalah tanki minyak hasil pemisah CST
- Sludge Tank
Adalah tanki sludge/endapan hasil CST
- Oil Purifier
Adalah alat untuk mengurangi kadar kotoran dan kadar air minyak sawit
- Vacuum Drier
Adalah alat untuk mengurangi kadar air minyak sawit
h. Station Pemecah Biji
Setelah Nut diperam didalam Nut Silo, selanjutnya Nut dipecah
menggunakan Nut Cracker atau Ripple Mill, Nut lebih dulu disortir melalui
perforasi plat, sehingga kondisi besar Nut untuk pemecahan diatur putaran
Nut Cracker /Ripper Mill yang tepat.
i. Station Boiler
Berfungsi sebagai penghasil uap yang berguna bagi pengolahan dan
pembangkit tenaga listrik
j. Station Water Treatment
Berfungsi sebagai alat proses pengolahan air, yang hasilnya digunakan
sebagai bahan baku ketel uap/boiler dan sebagai air kebutuhan proses
pengolahan.

23
k. Station Pembangkit Tenaga
Berfungsi sebagai penghasil tenaga listrik untuk mensuply kebutuhan listrik
pabrik dan emplasment.
l. Station Penimbunan Minyak (Tanki Timbun)
Berfungsi sebagai penimbun hasil pemurnian minyak dari station klarifikasi
yang telah menjadi minyak produksi dengan mutu yang sesuai standard.

Proses Pengolahan Inti Sawit (PPIS)


Tahapan Proses sebagai berikut :

a. Kernel Konveyor
Sebagai alat mentransfer bahan baku Inti Sawit yang masuk ke kernel
elevator.

b. Kernel Elevator

Sebagai alat yang berfungsi untuk menaikkan bahan baku Inti Sawit ke Top
Conveyor Hopper Inti

c. Kernel Top Conveyor


Suatu alat yang berfungsi untuk memasukkan inti ke Hopper penampungan

d. Hopper Inti

Berfungsi sebagai penampung inti bahan baku, sementara belum diolah dan
sebagai alat taksasi produksi awal.

e. Hopper Press Inti

Berfungsi sebagai penampung inti bahan baku sementara sebelum di press


(Kempa)

f. Press Inti
Sebagai alat kempa inti sehingga didapat crude oil dan bungkil inti

24
g. Hopper Press Bungkil

Berfungsi sebagai penampung bungkil hasil dari press inti

h. Press Bungkil
Sebagai alat kempa bungkil hasil dari proses press

i. Filter/Penyaring

Sebagai alat penyaring minyak kotor sehingga dapat dihasilkan menjadi


minyak produksi yang murni dan bersih.

3.1.2 Identifikasi Faktor Resiko

Pada study kasus di PTPN 7 Unit Bekri telah dilakukan identifikoasi mengenai
faktor-faktor yang dapat menyebabkan kebisingan, didapatkan hasil sebagai
berikut :

Tabel 1. Faktor Penyebab Kebisingan


No. Faktor Penyebab Tingkat Kebisingan (dB)
1. Policy drum 90
2. Kamar Mesin 80-90
3. Boiler 82-87
4. Perebusan 74-79

Dari table diatas menunjukkan terdapat beberapa penyebab kebisingan. Selanjutnya


dilakukan skrining dengan kuisioner Noise Induced Hearing Loss (NIHL) pada
pekerja yang terpapar bising di PTPN 7 Unit Bekri. Berikut format kuisioner yang
diberikan :
Tabel 2. Kuisioner NIHL

NO Pertanyaan Ya/ Tidak

1. Apakah pada jarak 1 depa/1 meter pekerja harus


berteriak jika ingin berkomunikasi/ berbicara dengan

25
pekerja lain disampingnya?

2. Apakah pekerja sering merasa telinga berdenging saat


sudah pulang kerja?

3. Apakah pekerja bisa mendengar dengan baik dan


mengerti pembicaraan dengan keluarga dirumah?

4. Apakah pekerja sering membesarkan volume televisi


atau radio saat dirumah?

5. Apakah dalam pmbicaraan dengan orang lain pekerja


sering meminta lawan bicara untuk mengulang
perkataannya?

Kuisioner diberikan kepada 7 responden yang bekerja disekitar area bising. Berikut
hasil kuisioner dan paparan bising yang diterima :

Tabel 3. Hasil Kuisioner NIHL


No Responden/ Lama Jabatan Paparan Jumlah Jumlah
usia Kerja Bising jawabanYa Jawaban
(dB) Tidak
1. Suisno/53 th 15 th Mandor 87 5 0
Besar
PPIS
2. Sigit/ 28 th 4 th Petugas 90 1 4
Kamar
Mesin
3. Untoro/52 th 30 th Mandor 90 5 0
Tengah
4. Alwin/54th 30 th Operator 87 5 0
Boiler
5. Hiring/33 th 9 th Operator 82 2 3
IEDC &
EDC
6. Situmorang/47 25 th Operator 79 0 5
th Sterilisator
7. Joko/ 44 th 2 th Roating 74 4 1
Room

26
3.2 Pembahasan

PTPN 7 Unit Bekri merupakan perusahaan industri yang bergerak di bidang


perkebunan, yaitu pengolahan sawit yang mana dalam proses produksi menggunakan
mesin-mesin dan peralatan mempunyai intensitas kebisingan tinggi yang dapat
menyebabkan adanya gangguan pekerjaan ataupun penyakit akibat kerja yang berupa
gangguan pendengaran akibat kebisingan. Study kasus ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor penyebab kebisingan dan efek yang ditimbulkan pada
pekerja. Studi kasus dilakukan dengan mengukur tingkat kebisingan di pabrik
menggunakan alat pengukur kebisingan yaitu Sound Level Meter, kemudian
dilanjutkan dengan skrining paparan kebisingan dengan menggunakan kuiosioner
NIHL pada pekerja yang terpapar bising.

Setelah dilakukan studi kasus didapatkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab
kebisingan policy drum, kamar mesin, mesin boiler, alam terbuka dan perebusan.
Keempat faktor tersebut memiliki tingkat kebisingan yang berbeda, namun yang
memiliki tingkat kebisingan paling tinggi adalah policy drum, kamar mesin dan
boiler. Didapatkan tingkat kebisingan policy drum 90 dB, kamar mesin 80-90 dB, dan
boiler 87 dB. Ketiga sumber bising tersebut sudah melewati ambang kebisingan yaitu
>85 dB. Nilai Ambang Batas kebisingan adalah besarnya tingkat suara dimana
sebagian besar tenaga kerja masih berada dalam batas aman untuk bekerja 8 jam/
hari. Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 51/MEN/1999,
tanggal 16 april 1999 tentang nilai ambang batas kebisingan ditempat kerja adalah 85
dB. Jenis kebisingan yang ditimbulkan dari mesin mesin tersebut termasuk dalam
kebisingan kontinue dengan spektrurn frekuensi yang luas.

Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan secara langsung oleh kebisingan, maka
dilakukan skrining gangguan pendengaran dengan kuisioner NIHL. Kuisioner
diberikan pada 7 orang pekerja yang setiap harinya bekerja diarea bising. Dari hasil
skrining kuisioner NIHL didapatkan 4 dari 7 orang pekerja mengalami gangguan

27
pendengaran. Pekerja mengatakan bahwa mereka harus berbicara dengan kuat
terhadap lawan bicara, kesulitan mendengar percakapan orang lain, sering meminta
lawan bicara untuk mengulang ucapannya, merasa telinga berdenging, dan harus
membesarkan volume TV atau radio agar terdengar. Keempat pekerja tersebut
bekerja pada bagian mandor besar PPIS, mandor tengah, operator boiler, dan roating
room. Hal ini berkaitan dengan paparan kebisingan yang diterima oleh pekerja. Para
pekerja pabrik bekerja dibagi menjadi dua shit, dimana masing-masing shit bekerja
selama 12 jam perhari.

Pada pekerja khususnya yang bekerja disekitar area bising telah diberikan alat
pelindung diri berupa ear muff dan ear plug. Namun para pekerja tidak menggunakan
alat pelindung diri yang diberikan. Pekerja hanya menggunakan penutup telinga
berupa kapas. Hal tersebut dilakukan karena merasa tidak nyaman, tidak cocok dan
mengganggu saat bekerja dengan menggunakan alat pelindung diri yang telah
disediakan. Kapas yang digunakan untuk menutup telinga juga tidak digunakan
sepenuhnya selama 12 jam, hanya beberapa jam saja sudah dilepas. Pekerja juga
mengatakan saat merasa telinga nya berdengung, mereka keluar dari ruangan mesin
untuk sementara.

Masalah ini seharusnya bisa diatasi dengan meningkatan kepatuhan pekerja dalam
menggunakan APD. Penggunaan APD pada pekerja harus diperhatikan dengan cara
memberikan edukasi manfaat, kegunaan dan akibat yang ditimbulkan jika APD tidak
digunakan. Selain itu dilakukan pemeriksaan berkala untuk mengetahui adanya
gangguan pendengaran pada semua pekerja. Menurut bennet silalahi dan rumondang
silalahi (1995), langkah-langkah kearah pencegahan penyakit akibat kerja terdiri dari
kesadaran manajemen untuk mencegah penyakit akibat kerja dan pengaturan tata cara
pencegahan. Manajemen harus sadar bahwa peningkatan produktivitas kerja sangat
erat kaitannya dengan efisiensi dan prestasi kerja. Kedua hal tersebut tidak terlepas
dari tenaga kerja yang sehat, selamat dan sejahtera. Jadi, peningkatan kesejahteraan
dan keselamatan kerja harus dilengkapi oleh lingkungan yang sehat.

28
Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pengendalian penyakit akibat kerja menurut
Depnaker RI (1999), adalah: a) Memberikan penerangan, bimbingan dan penyuluhan
kepada tenaga kerja pada waktu mulai masuk bekerja maupun secara periodik
mengenai: Cara-cara bekerja yang benar dalam mengutamakan kesehatan dan
keselamatan kerja, selalu menjaga kebersihan diri, dan disiplin memakai alat-alat
proteksi pada waktu sedang bekerja. b) Menyediakan sarana-sarana dan peralatan
yang berkaitan dengan pengendalian penyakit akibat kerja (PAK).

29
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari
alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu
dapat menimbulkan gangguan pendengaran
2. Pekerja bagian kamar mesin memiliki resiko tinggi untuk mengalami
gangguan pendengaran akibat terpapar bising dengan intensitas 90 dB selama
12 jam
3. Penggunaan alat pelindung diri, khususnya earplug diwajibkan terutama pada
pekerja yang terpapar bising lebih dari 85dB
4. Belum ada pemeriksaan berkala, khususnya pemeriksaan audiometri pada
pekerja yang terpapar bising dengan intensitas tinggi.

SARAN

1. Pemberian tanda (sign) pada mesin yang menghasilkan bunyi dengan


intensitas lebih dari 85dB
2. Agar mencegah terjadinya penyakit akibat kerja, para pekerja sebaiknya
melakukan pekerjaannya mengikuti prosedur dan norma yang berlaku,
sehingga hal hal yang tidak diinginkan dapat dicegah.
3. Mengaktifkan peran P2K3 yang memiliki tugas diantaranya melakukan
penjadwalan penyuluhan atau memberikan edukasi khusus dan dilakukan
secara berkala tentang keselamatan kerja pada para pekerja agar
meningkatkan kualitas sumber daya manusia para pekerja sehingga para

30
pekerja memahami bahaya yang akan terjadi apabila mereka tidak melakukan
pekerjaannya sesuai prosedur dan norma yang berlaku.
4. Perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, khususnya audiometri
pada pekerja yang terpapar bising dengan intensitas tinggi.

31
DAFTAR PUSTAKA

A.M. Sugeng Budiono, 2001. Tuli Akibat Kebisingan. Jakarta:Rineka Cipta Singgih
Santosa.

Bennet N.B. Silalahi dan Rumondang B. Silalahi, 1995. Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Pustaka Binawan Pressindo.

Depkes R.I, 1999. Kepustakaan Menteri Kesehatan dan Keputusan Direktur Jenderal
PPM dan PLP Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja. Jakarta:
Depkes RI.

Forum Komunikasi K3LH/BUMNIS, 1996. Pedoman Pengujian Kesehatan Tenaga


Kerja. Surabaya: Pelabuhan Tiga Indonesia.

Ganong W.F, 1992. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Moh. Nasir, 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nasri, 1999. Tehnik
Pengukuran dan Pemantauan Kebisingan di Tempat Kerja

Pungky. W, 2002. Himpunan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:


Sekretariat ASEAN-OSHNET dan Direktorat PNKK. Suma’mur P.K., 1996.
Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV. Gunung Agung.
Syukri Sahab, 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Jakarta: PT Bina Sumber Daya Manusia.

Tarwaka, 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja manajemen dan Implementasi K3


di Tempat Kerja.Surakarta: PT Harapan Press.

32

Anda mungkin juga menyukai