Anda di halaman 1dari 3

Menanggulangi stigma dan diskriminasi pada odha

Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya akan mendorong
munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan keluarganya. Stigma dan diskriminasi
memperparah epidemi HIV & AIDS. Mereka menghambat usaha pencegahan dan perawatan
dengan memelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV & AIDS seperti juga
mendorong keterpinggiran ODHA dan mereka yang rentan terhadap infeksi HIV. Mengingat
HIV & AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak
orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh
lapisan masyarakat.

Stigma dan diskriminasi dapat diatasi dengan cara intervensi berbasis masyarakat, termasuk
keluarga, tempat kerja, layanan kesehatan, agama, dan media. Intervensi diarahkan untuk
membatasi sikap negatif sebagai efek samping dari tujuan lain melalui pendekatan yang
inovatif.

Untuk mengatasi stigma dan diskriminasi, cara yang dapat dilakukan adalah melalui proses
hukum. Di beberapa negara, ODHA kurang memiliki pengetahuan tentang hak-hak yang
seharusnya mereka miliki. Mereka perlu dididik, sehingga mampu mengatasi diskriminasi,
stigma dan penyangkalan yang ditemui dalam masyarakat. Pemantauan dapat memperkuat
hak-hak ODHA dan memberikan alat yang kuat mengurangi pengaruh buruk stigma dan
diskriminasi. Namun stigma dan diskriminasi tidak bisa diatasi hanya dengan hukum, tetapi
diperlukan juga partisipasi masyarakat untuk menganggap ODHA sebagai orang yang normal
dalam masyarakat.

Sebagai respon, beberapa negara menetapkan Undang-Undang untuk melindungi hak dan
kebebasan ODHA dan untuk melindungi mereka dari diskriminasi. Sesungguhnya hak
ODHA sama seperti manusia lain, tetapi karena ketakutan dan kekurangpahaman masyarakat,
hak ODHA sering dilanggar. Menurut hasil penelitian dokumentasi pelanggaran HAM
Yayasan Spiritia, 30% responden menyatakan pernah mengalami berbagai diskriminasi
dalam pelayanan kesehatan dan dalam keluarga.

Hak asasi manusia itu di antaranya adalah memiliki dan mendapatkan privasi, kemerdekaan,
keamanan serta kebebasan berpindah, bebas dari kekejaman, penghinaan (tindakan
menurunkan martabat atau pengucilan), bekerja (termasuk terbukanya kesempatan yang
sama), mendapatkan pendidikan serta menjalin mitra jaringan, keamanan sosial dan
pelayanan, kesetaraan perlindungan dalam hukum, menikah dan berkeluarga, mendapatkan
perawatan, dan masih banyak lagi. Selain hak, ODHA juga mempunyai kewajiban seperti
menjaga kesehatan, tidak menularkan ke orang lain,mencari informasi dan lain-lain.

Perbedaan antara ODHA dan orang yang tidak terinfeksi yaitu ODHA memiliki virus yang
melemahkan sistem kekebalan tubuhnya. Selain itu secara sepintas kita tidak dapat
membedakan antara seseorang yang memiliki status HIV positif dengan orang yang tidak
terinfeksi. Status HIV positif seseorang hanya bisa dibuktikan dengan tes darah dan itu pun
dilakukan dengan VCT (Voluntary Counseling and Testing), yaitu tes secara sukarela. Selain
itu kita hanya bisa tahu jika ODHA membuka status HIV positif-nya kepada kita dan kita
mempunyai kewajiban untuk menjaga konfidensialitas (kerahasiaan) ODHA tersebut.

Satu upaya dalam menanggulangi adanya diskriminasi terhadap ODHA adalah meningkatkan
pemahaman tentang HIV & AIDS di masyarakat, khususnya di kalangan petugas kesehatan,
dan terutama pelatihan tentang perawatan. Ini pada pokok menekankan pentingnya
kewaspadaan universal, agar tidak ada kebingungan. Tambahannya, lebih banyak konselor
harus dilatih agar pelaksanaan tes dan konseling HIV dapat berjalan sesuai prosedur.
Pemahaman tentang HIV & AIDS pada gilirannya akan disusul dengan perubahan sikap dan
cara pandang masyarakat terhadap HIV & AIDS dan ODHA, sehingga akhirnya dapat
mengurangi tindakan diskriminasi terhadap ODHA.

Carilah informasi tentang HIV dan AIDS dari sumber yang tepat sebanyak-banyaknya adalah
sebagai salah satu cara untuk melindungi diri kita dan orang lain. Paling penting adalah
dengan makin banyak informasi yang diserap masyarakat (dari berbagai lapisan), maka
perlahan-lahan stigma dan diskriminasi dapat dilenyapkan, sehingga mempercepat dan
mempermudah usaha pencegahan karena orang tidak takut lagi untuk mengetahui status HIV-
nya, apakah mereka terinfeksi atau tidak.

Semakin banyak masyarakat yang sadar dan peduli akan HIV dan AIDS maka AIDS akan
bisa dihentikan melalui penghapusan stigma dan menghentikan diskriminasi dengan
memulainya dari diri kita sendiri.

Universal Precautions
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat, keluarga dan pasien sendiri
sangat penting. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV. Prinisip-
prinsip universal precautions meliputi:
1. Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila menangani cairan tubuh pasien
gunakan alat pelindung, seperti sarung tangan, masker, kaca mata pelindung, penutup kepala,
apron, sepatu boot. Penggunaan alat pelindung disesuaikan dengan jenis tindakan yang
dilakukan.
2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, termasuk setelah melepas
sarung tangan.
3. Dekontaminasi cairan tubuh pasien.
4. Memakai alat kedokteran sekali pakai atau sterilisasi semua alat kedokteran yang dipakai
(tercemar). Jangan memakai jarum suntik lebih dari satu kali, dan jangan dimasukkan ke
dalam penutup jarum atau dibengkokkan
5. pemeliharaan kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
6. membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara benar dan aman (Depkes
RI, 1997 ).
Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit
Kubler „Ross (1974) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit,
yaitu.
a) Pengingkaran (denial)
Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal
memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau sudah
mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya
di sini istirahat.” Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan
pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium,
atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri
yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk
menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera
berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).

b) Kemarahan (anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah menjadi
kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa
bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya.
Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi
sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien
banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja
sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga
mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk
datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c) Sikap tawar menawar (bargaining)
Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada
artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan,
meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi
lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh
(Achir Yani, 1999).

Anda mungkin juga menyukai