OLEH :
Asyfah (P0315143002)
Dedek Fitriana (P0315143005)
Clinical Instructure :
Ns. Yomi Chandra, S.Kep
Clinical Teaching :
Ns. Usraleli, S.Kep, M.Kep
Ns. Dewi Sartika, S.Kep, M.Kep
1
KATA PENGANTAR
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
B. Tujuan ......................................................................................................... 2
1. Anatomi..................................................................................................... 4
2. Fisiologi .................................................................................................... 5
3. Definisi ...................................................................................................... 6
4. Etiologi ...................................................................................................... 6
5. Patofisiologi .............................................................................................. 7
9. Pathway ............................................................................................................ 15
iii
IV. Implementasi Keperawatan ..................................................................... 41
V. Evaluasi ................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 49
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apendisitis adalah salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering
terjadi di dunia. Apendektomi menjadi salah satu operasi abdomen terbanyak di
dunia. Sebanyak 40% bedah emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi
apendisitis akut (Lee et al., 2010; Shrestha et al., 2012).
Data dari WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa insiden
apendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% dari total
populasi penduduk. Di Amerika Serikat, sekitar 250.000 orang telah menjalani
operasi apendektomi setiap tahunnya. Sumber lain juga menyebutkan bahwa
apendisitis terjadi pada 7% populasi di Amerika Serikat, dengan insidens 1,1
kasus per 1000 orang per tahun. Penyakit ini juga menjadi penyebab paling umum
dilakukannya bedah abdomen darurat di Amerika Serikat. Di negara lain seperti
negara Inggris, juga memiliki angka kejadian apendisitis yang cukup tinggi.
Sekitar 40.000 orang masuk rumah sakit di Inggris karena penyakit ini (WHO,
2004; Peter, 2010).
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 menyebutkan bahwa apendisitis
menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia,
gastritis, duodenitis, dan penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat
inap sebanyak 28.040 orang. Kejadian appendisitis di provinsi Sumatera Barat
tergolong cukup tinggi. Angka kejadian apendisitis secara umum lebih tinggi di
negara-negara industri dibandingkan negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya asupan serat serta tingginya asupan gula dan lemak yang dikonsumsi
oleh penduduk di negara industri tersebut. Berbeda dengan negara berkembang
yang konsumsi seratnya masih cukup tinggi sehingga angka kejadian apendisitis
tidak setinggi di negara industri (Depkes RI, 2006; Longo et al., 2012).
Insiden apendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan
pada perempuan dengan rasio 1,4 : 1. Insiden tertinggi terjadi pada umur ini.
(Riwanto et al., 2010; Horn, 2011; Lindseth, 2002).
1
Apendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan komplikasi.
Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi. Perforasi
apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien yang
mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya 1,5%, tetapi ketika telah
mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai 20%-35% (Vasser, 2012;
Riwanto et al., 2010).
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
(Rukmono, 2011).
Tindakan pengobatan terhadap apendiks dapat dilakukan dengan cara
operasi ( pembedahan ). Pada operasi apendiks dikeluarkan dengan cara
apendiktomy yang merupakan suatu tindakan pembedahan membuang apendiks.
Adapun permasalahan yang mungkin timbul setelah dilakukan tindakan
pembedahan antara lain : nyeri, keterbatasan aktivitas, gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, kecemasan potensial terjadinya infeksi. Dengan demikian
peranan perawat dalam mengatasi dan menanggulangi hal tersebut sangatlah
penting dan dibutuhkan terutama perawatan yang mencakup empat aspek
diantaranya : promotif yaitu memberikan penyuluhan tentang menjaga kesehatan
dirinya dan menjaga kebersihan diri serta lingkungannya dalm membantu dalam
menurunkan angka kesakitan akibat dari apendiks.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penulisan asuhan keperawatan pada Tn. I dengan
gangguan system pencernaan Appendisitis Infiltrat adalah agar penyusun dan
pembaca dapat menggambarkan, mengerti, dan mendisksuikan asuhan
keperawatan pada Tn.I dengan gangguan system pencernaan Appendisitis Infiltrat
di ruangan Ambun Suri Lantai 1 Bedah RSUD Achmad Mochtar.
2
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari para penulis asuhan keperawatan Tn.I dengan
gangguan sistem pencernaan Appendisitis Infiltrat adalah :
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan
berpindah dari medial menuju katup ileosekal. Pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 %
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di
belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens.
Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks (Sjamsuhidajat R.. 2004).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula
disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat R..
2004)
2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe
disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan
diseluruh tubuh (Sjamsuhidajat R., 2004)
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa
dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada
jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks
komplit.
5
3. Definisi
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga
membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada
hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa
apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena
daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang (Reksoprodjo, S., dkk.
1995).
4. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi
jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan
cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy
dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat
menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. 2,8 Frekuensi obstruksi
meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40%
dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa
rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture (Schwartz,
1999).
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan
mempermudah terjadinya apendisits akut (Sjamsuhidajat R., 2004).
6
5. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer,A., dkk. 2000).
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangrene atau terjadi perforasi (Schwartz, 1999).
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor (Mansjoer,A.,
dkk. 2000).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer,A., dkk. 2000).
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua
proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak
kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
7
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang
(Mansjoer,A., dkk. 2000).
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Sjamsuhidajat, R., 2004).
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,A.,
dkk. 2000).
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat, R., 2004).
8
6. Manifestasi Klinis
Nyeri kuadran kanan bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam
ruangan, mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik
McBurneg. Bila dilakukan tekanan nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari
nyeri bila tekanan dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme
otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya
infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri
dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumber, bila ujungnya ada pada pelvis,
tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rectal. Nyeri pada
defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum, nyeri pada saat
berkemih atau uretes, adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan
dapat terjadi.
Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri
yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah/
apabila apendiks telah rupture, nyeri menjadi lebih menyebar, distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik, dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan. Menunjukkan obstriksi usus atau
proses penyakit lainnya. pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia
mengalami reptor apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada
lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan
tidak secepat pasien-pasien yang lebih mudah.
9
7. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
a Pemeriksaan Laboratorium
Pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada
apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada
apendisitis perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan
apendisitis.
b Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau
pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan
bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ”ileal atau caecal
ileus” (gambaran garis permukaan air-udara disekum atau ileum).
Patognomonik bila terlihat gambar fekalit (Mansjoer,A., dkk. 2000)
USG atau CT Scan. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan
kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau
wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan ukuran
apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain
pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel desease,
diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s, endometriosis dan pelvic
Inflammatory Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada
hasil USG. Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat
dibanding USG. Selain dapat mengidentifikasi apendiks yang
mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat melihat
adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan
pemeriksaan awal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
karsinoma colon (Anonim, 2006), tetapi untuk apendisitis akut
10
pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat
menyebabkan rupture apendiks (Sjamsuhidajat R., 2004).
a Penatalaksanaan Medis
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa
yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini
dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika
peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga
penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah,
semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya
(Hugh, A.F. Dudley. 1992).
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah
ini adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan
mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam
massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena
massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi
berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah
didrainase (Hugh, A.F. Dudley. 1992).
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.
Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas
disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita
11
boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu
dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit (Sjamsuhidajat, R., 2004).
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi
(Reksoprodjo, S., dkk. 1995).
12
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara
ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik
ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks
dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat
menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila
pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi
sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal
5 hari post operasi.
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang pernah dialami dalam hal
appendiktomi tidak ada tata laksana keperawatan khusus yang diberikan pada
pasien apendisitis. Adapun tindakan non medis yang diberikan adalah persiapan
pasien untuk apendiktomi diantaranya perawat memastikan kepada dokter bahwa
tes darah,cek urin, rontgen, dan puasa sudah dilaksanakan. Kemudian tindakan
keperawatan yang dapat diberikan post-op adalah perawatan luka jahitan dan
mobilisasi pasien secara teratur untuk mencegah dekubitus.
9. Komplikasi
Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
13
Bising usus berkurang
Perut distended
Pelvic Abscess
Subphrenic absess
Intra peritoneal abses lokal
14
10. Pathway
15
B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a dasar pengkajian meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, agama, alamat, diagnosa medis, tindakan medis, nomor
rekam medis, tanggal masuk, tanggal operasi dan tanggal
pengkajian.
b Identitas penganggung jawab meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, hubungan dengan klien dan
sumber biaya.
c Riwayat Penyakit.
16
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang menderita sakit
yang sama seperti klien, dikaji pula mengenai adanya penyakit keturunan atau
menular dalam keluarga.
Riwayat Psikologis.
Riwayat Sosial.
Riwayat Spiritual.
17
peningkatan masukan oral. Pola istirahat klien dapat terganggu ataupu tidak
terganggu, tergantung toleransi klien terhadap nyeri yang dirasakan.
Pemeriksaan Fisik.
18
Kekuatan otot berangsur membaik seiring dengan peningkatan
toleransi aktifitas.
Sistem Integumen akan tampak adanya luka operasi di abdomen
kanan bawah karena insisi bedah disertai kemerahan (biasanya
pada awitan awal). Turgor kulit akan membaik seiring dengan
peningkatan intake oral.
Sistem Persarafan umumnya klien dengan post apendiktomi tidak
mengalami penyimpangan dalam fungsi persarafan. Pengkajian
fungsi persafan meliputi : tingkat kesadaran, saraf kranial dan
refleks.
Sistem Pendengaran pengkajian yang dilakukan meliputi : bentuk
dan kesimetrisan telinga, ada tidaknya peradangan dan fungsi
pendengaran.
Sistem Endokrin umumnya klien post apendiktomi tidak
mengalami kelainan fungsi endrokin. Akan tetapi tetap perlu dikaji
keadekuatan fungsi endrokin (thyroid dan lain –lain).
Intervensi :
Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala 0-10
19
Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan
terhadap nyeri dan respon pasien
Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, imajinasi tebimbing,
terapi musik, terapi bermain, distraksi, kompres hangat atau
dingin sebelum, setelah, dan jika memungkinkan , selama
aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum nyeri terjadi atau
meningkat, dan bersama penggunaan tindakan peredaan nyeri
yang lain.
Lakukan perubahan posisi, massase [punggung dan relaksasi
Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang
menyangkutn aktivitas keperawatan
Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada
nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan
melalui TV, radion, dan interaksi dengan pengunjung
Kolaborasi pemberian analgesik sesuai program terapi
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan muntah
praoperasi
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan
Kriteria Hasil :
Intervensi
20
Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan
cairan (misalnya kadar hematokrit, BUN, albumin, protein total,
osmolalitas serum, dan berat jenis urine).
Pantau status hidrasi misalnya kelembapan membran mukosa,
keadekuatan nadi, dan tekanan darah ortostatik.
Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu
Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur
keseimbangan cairan
Memberikan dan memantau cairan dan obat intravena
Membantu dan menyediakan asupan makanan dan cairan dalam
diet seimbang
Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecendrungannya
Tentukan jumlah cairan yang masuk dalm 24 jam, hitung asupan
yang diinginkan sepanjang sif siang, soreh, dan malam
Anjurkan melakukan higiene oral secara sering
Kolaborasi pemberian terapi IV sesuai program
c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit
Kriteria hasil :
Intervensi :
Pantau TTV
Pantau hidrasi (misalnya turgor kulit, kelembapan membran
mukosa)
Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan
suhu lingkungan.
Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai kebutuhan.
Pantau warna kulit dan suhu
21
Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya 2 liter per hari
Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah
dan mengenali secara dini hipertermia (misalnya sengatan
panas, keletihan akibat panas)
Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan
selimut saja
Berikan kompres hangat untuk mengatasi demam
Kolaborasi pemberian obat antipiretik
4. Implementasi
5. Evaluasi
22
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. I
Umur : 57 Th
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku bangsa : Minang
Penanggung jawab : Ny. O
Hubungan dengan klien : Istri
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Darussalam No 87 D Guguak Panjang
Bukittinggi
Nomor medikal : 492826
Ruang dirawat saat ini : Ambun Suri Lt. 1 (Bedah 3.2)
23
- Makanan :-
- Obat :-
- Lain-lain :-
24
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Provocative / Palliative
Apa penyebabnya : Suka mengkonsumsi
makanan pedas
Hal-hal yang memperbaiki keadaan : Berbaring
Quantity / Quality
Bagaimana dirasakan : Tertusuk-tusuk
Bagaimana dilihat : Pasien tampak meringis
Region
Dimana lokasinya : Perut bagian bawah
Apakah menyebar : Ya, menjalar hingga ke pinggang
Severity
Mengganggu aktivitas : Ya, Sulit bergerak.
Time
Kapan mulai timbul dan bagaimana terjadinya : Tiba-tiba 1 bulan
yang lalu merasakan sakit di bagian perut kemudian dibawa ke
RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi
25
5. Genogram :
Ket
: Laki-laki : Klien
6. Pemeriksaan Fisik
a. Rambut dan Hygiene Kepala
1) Warna Rambut : {√} Hitam { } Coklat
{ } Pirang { } Perak
26
b. Mata
1) Kelengkapan : {√} Ya { } Tidak
2) Simetris : {√} Ya { } Tidak
3) Palpebra : { } Oedema { } Prosis
{ } Peradangan {√} Normal
{ } Lagopthalmus
4) Sklera : { } Icterik {√} Normal
5) Conjungtiva : {√} Tidak anemis { } Anemis
6) Pupil : { } Mengecil { } Melebar
{√} Normal
c. Mulut
1) Rongga : { } Peradangan {√} Berbau
{ } Abnormal (labio palatoschisi)
2) Gigi geligi : { } Caries { } Abses
{ } Karang gigi { } Normal
{ } Perdarahan { } Gigipalsu
{√} Sisa-sisa makanan
3) Lidah : { } Kotor / bercak putih
{ } Tepi hiperemik
{√} Normal
4) Tonsil : { } Meradang {√} Normal
d. Leher
1) Kel. Getah bening, sub-mandibular dan sekitar telinga :
{ } Membesar {√} Normal
2) Kelenjar tyroid
{ } Membesar {√} Normal
e. Dada / Thorak
1) Jenis pernafasan : {√} Dada { } Perut
2) Keluhan : { } Ada {√} Tidak
Jika ada : { } Sesak { } Batuk
{ } Nafas berbunyi
27
f. Cardiovaskular
1) HR : 98 x/i
2) BJ I : Lup
3) BJ II : Dup
4) Murmur : { }Ya {√} Tidak
g. Pencernaan / abdomen
1) Pembesaran : { }Ya {√}Tidak
2) Teraba masa : { }Ya {√}Tidak
3) Keluhan : {-}Mual {-}Muntah
{-}Konstipasi Diare
{√} Nyeri ketok kuadran kanan bawah
h. Genito urinary
1) Lengkap : {√} Ya { } Tidak
2) Terpasang kateter : {√} Ya { } Tidak
3) Keluhan : Tidak ada
4) Kebersihan : Bersih
k. Aktifitas sehari-hari
{ } Dapat ditolong sendiri
{√} Ditolong dengan bantuan maksimum
1) Eliminasi : miksi kali/hari
Ada kesukaran? { } Ya {√} Tidak
28
Bila ada kesukaran, apa ? : Tidak ada
Defekasi : 2 kali/hari
Bila ada kesukaran, apa? : Tidak ada
2) Kebersihan perorangan
Mandi : 2 kali/hari
Menggosok gigi : 1 kali/haris
Cuci rambut : 0 kali/minggu
3) Makan minum
Makan : 3 kali/hari
Pagi jam : 07:00 WIB
Siang jam : 12:00 WIB
Malam jam : 17:00 WIB
Minum : 6 gelas/hari
Makanan dan minuman yang disukai : Bakso dan kopi
4). Tidur
Berapa jam/hari : 7-8 jam
Dengan bantal : {√}Ya { }Tidak
Bila ya, berapa bantal : 1 Bantal
Dengan selimut : Iya
Dengan penerangan : Iya
Bila sukar tidur , apa yang dilakukan : Berbaring
l. Catatan khusus
29
Bagaimana hubungan suami istri sebelum dan sesudah penyakit ?
EKG :
USG :
RONTGEN :
DATA LABOR :
HB : 12,5 Normalnya :
Leukosit : 11.000 Normalnya :
Trombosit : 321 x 103 Normalnya :
KGD : Normalnya :
Protein total : 27,5 Normalnya :
Albumin : 3,1 Normalnya :
Globulin : Normalnya :
Bilirubin total : 3,26 Normalnya :
Bilirubin direct : 2,93 Normalnya :
Bilirubin indirect : Normalnya :
Ureum : 25 Normalnya :
Kreatinin : 0,70 Normalnya :
Asam urat : Normalnya :
SGOT Normalnya :
SGPT Normalnya :
Kolestrol total Normalnya :
Trigeliserida Normalnya :
Kolestrol HDL Normalnya :
30
Kolestrol LDL Normalnya :
Serologi
Imonolgi Normalnya :
Hbs Ag Normalnya :
Anti Hbs Normalnya :
m. Program dokter
IVFD RL 20 tpm
Antibiotik
31
Data Fokus
Data Subjektif
Data Objektif
32
BAB IV
PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang analisis situasi terkait pelaksanaan asuhan
keperawatan luka post op appendiktomi pada Tn. I yang memiliki luka bekas
operasi pada perut bawah bagian kanan di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi.
Analisis yang dilakukan meliputi profil lahan praktek, analisis masalah
keperawatan, analisis intervensi, dan analisis terkait alternative pemecahan
masalah.
Ruang rawat Ambun Suri lantai 1 merupakan salah satu ruang perawatan
medical bedah di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi. Kapasitas total tempat
tidur diruangan ini berjumlah 42 tempat tidur dengan kapasitas perawatan kelas 2
sebanyak 2 tempat tidur, kelas III sebanyak 6 tempat tidur, dan 30 tempat tidur
untuk perawatan kelas III. Ruangan ini merawat pasien laki-laki dengan masalah
keperawatan Pre dan Post Operasi. Ruangan ini dikepalai oleh seorang kepala
ruangan yaitu ibu Ns. Dodi, S.Kep dibantu satu orang CI yaitu Ns. Yomi Chandra,
S.Kep.
45
pada kasus Tn.I adalah Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
peradangan pada apendisitis.
Asuhan keperawatan pada Tn. I yang dilakukan selama 2x24 jam mulai
tanggal 5 Maret sampai 8 Maret 2018 di ruang ambun suri lantai 1 RSUD
Achmad Muchtar. Adapun tindakan yang telah dilakukan pada dasarnya telah
sesuai dengan rencana keperawatan yang telah di buat pada setiap diagnosa
keperawatan dan secara garis besar pelaksanaannya sudah sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab.
Penambahan dan pengurangan tindakan yang dilaksankan penulis
menyesuaikan dengan kondisi klien. Penulis juga melibatkan keluarga di dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien dengan harapan keluarga dapat
merawat klien secara mandiri. Tindakan keperawatan yang dilakukan penulis
yaitu mengajarkan teknik napas dalam untuk mengurangi nyeri serta ditambah
kompres hangat dengan tujuan mengurangi rasa ketidak nyamanan terhadap nyeri
yang di rasakan. Intervensi yang dilakukan perawat untuk mengatasi masalah
Ansietas pada Tn.I berfokus pada pemberian informasi yang jelas mengenai
setiap prosedur tindakan yang diberikan.
46
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
(Rukmono, 2011).
Tindakan pengobatan terhadap apendiks dap€at dilakukan dengan cara
operasi ( pembedahan ). Pada operasi apendiks dikeluarkan dengan cara
apendiktomy yang merupakan suatu tindakan pembedahan membuang apendiks.
Adapun permasalahan yang mungkin timbul setelah dilakukan tindakan
pembedahan antara lain : nyeri, keterbatasan aktivitas, gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, kecemasan potensial terjadinya infeksi. Dengan demikian
peranan perawat dalam mengatasi dan menanggulangi hal tersebut sangatlah
penting dan dibutuhkan terutama perawatan yang mencakup empat aspek
diantaranya : promotif yaitu memberikan penyuluhan tentang menjaga kesehatan
dirinya dan menjaga kebersihan diri serta lingkungannya dalm membantu dalam
menurunkan angka kesakitan akibat dari apendiks.
5.2 Saran
Bagi sistem keilmuan khususnya ilmu keperawatan diharapkan dapa
tmeningkatkan ketersediaan teori-teori mengenai asuhan keperawatan pada klien
dengan luka appendisitis. Hal ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi
untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan asuhan keperawatan luka kanker
appendisitis dan bermanfaat ntuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
dimasa yang akan datang. Diharapkan dalam perawatan luka appendisitis perawat
dapat mengembangkan keterampilan klinisnya dalam melakukan asuhan
keperawatan khusunya Appendisitis.
Pihak manajemen rumah sakit diharapkan juga terus memfasilitasi
pelaksanaan asuhan keperawatan dengan sarana dan prasarana yang memadai, dan
47
terus mendukung keterampilan perawat dengan meningkatkan aktivitas pelatihan,
dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yangdapat diikuti perawat secara berjenjang
dan berkesinambungan.
48
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Penuntun Skills Lab Gangguan Hormon dan Metabolismenya.
Tim Pelaksana Skills Lab. FK Universitas Andalas: Padang.
Doenges Marilynn E, dkk, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III, EGC.
Depkes RI, 2000. Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi Kebijakan dan Strategi
Pembangunan kesehatan. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.
49