Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN APENDIKS INFILTRAT


DI RUANGAN AMBUN SURI LANTAI I
RSUD ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

OLEH :

Asyfah (P0315143002)
Dedek Fitriana (P0315143005)

Clinical Instructure :
Ns. Yomi Chandra, S.Kep

Clinical Teaching :
Ns. Usraleli, S.Kep, M.Kep
Ns. Dewi Sartika, S.Kep, M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RIAU
PRODI DIV KEPERAWATAN TK. II$I
TAHUN 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan perlindungan dan
kesehatan sehingga penulis dapat menyusun laporan seminar dengan judul
“APPENDISITIS INFILTRAT”. Dimana makalah ini sebagai salah satu syarat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktek Keperawatan Klinik 2. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa selama penyusunan laporan seminar ini penulis
banyak menemui kesulitan dikarenakan keterbatasan referensi dan keterbatasan
penulis sendiri. Dengan adanya kendala dan keterbatasan yang dimiliki penulis
maka, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah dengan
sebaik-baiknya.
Dalam kesempatan ini tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini,
diantaranya :
CI : Ns. Yomi chandra, S.Kep
CT : 1. Ns. Usraleli, S.Kep, M.Kep
2. Ns. Dewi Sartika, S.Kep, M.Kep
Sebagai manusia penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak demi perbaikan yang lebih baik dimasa yang
akan datang.
Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya, Amin.

Bukittinggi, 15 Maret 2018

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Tujuan ......................................................................................................... 2

1. Tujuan Umum ............................................................................................. 2

2. Tujuan Khusus ............................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4

A. Landasan Teoritis Penyakit ....................................................................... 4

1. Anatomi..................................................................................................... 4

2. Fisiologi .................................................................................................... 5

3. Definisi ...................................................................................................... 6

4. Etiologi ...................................................................................................... 6

5. Patofisiologi .............................................................................................. 7

6. Manifestasi Klinis ..................................................................................... 9

7. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik ................................................. 10

8. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan .............................................. 11

9. Pathway ............................................................................................................ 15

B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan ................................................ 16

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KASUS .............................................. 23

I. Identitas Pasien ....................................................................................... 23

II. Analisa data ............................................................................................. 23

III. Rencana Keperawatan ............................................................................. 23

iii
IV. Implementasi Keperawatan ..................................................................... 41

V. Evaluasi ................................................................................................... 43

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 45

5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 47

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 49

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apendisitis adalah salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering
terjadi di dunia. Apendektomi menjadi salah satu operasi abdomen terbanyak di
dunia. Sebanyak 40% bedah emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi
apendisitis akut (Lee et al., 2010; Shrestha et al., 2012).
Data dari WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa insiden
apendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% dari total
populasi penduduk. Di Amerika Serikat, sekitar 250.000 orang telah menjalani
operasi apendektomi setiap tahunnya. Sumber lain juga menyebutkan bahwa
apendisitis terjadi pada 7% populasi di Amerika Serikat, dengan insidens 1,1
kasus per 1000 orang per tahun. Penyakit ini juga menjadi penyebab paling umum
dilakukannya bedah abdomen darurat di Amerika Serikat. Di negara lain seperti
negara Inggris, juga memiliki angka kejadian apendisitis yang cukup tinggi.
Sekitar 40.000 orang masuk rumah sakit di Inggris karena penyakit ini (WHO,
2004; Peter, 2010).
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 menyebutkan bahwa apendisitis
menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia,
gastritis, duodenitis, dan penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat
inap sebanyak 28.040 orang. Kejadian appendisitis di provinsi Sumatera Barat
tergolong cukup tinggi. Angka kejadian apendisitis secara umum lebih tinggi di
negara-negara industri dibandingkan negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya asupan serat serta tingginya asupan gula dan lemak yang dikonsumsi
oleh penduduk di negara industri tersebut. Berbeda dengan negara berkembang
yang konsumsi seratnya masih cukup tinggi sehingga angka kejadian apendisitis
tidak setinggi di negara industri (Depkes RI, 2006; Longo et al., 2012).
Insiden apendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan
pada perempuan dengan rasio 1,4 : 1. Insiden tertinggi terjadi pada umur ini.
(Riwanto et al., 2010; Horn, 2011; Lindseth, 2002).

1
Apendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan komplikasi.
Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi. Perforasi
apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien yang
mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya 1,5%, tetapi ketika telah
mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai 20%-35% (Vasser, 2012;
Riwanto et al., 2010).
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
(Rukmono, 2011).
Tindakan pengobatan terhadap apendiks dapat dilakukan dengan cara
operasi ( pembedahan ). Pada operasi apendiks dikeluarkan dengan cara
apendiktomy yang merupakan suatu tindakan pembedahan membuang apendiks.
Adapun permasalahan yang mungkin timbul setelah dilakukan tindakan
pembedahan antara lain : nyeri, keterbatasan aktivitas, gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, kecemasan potensial terjadinya infeksi. Dengan demikian
peranan perawat dalam mengatasi dan menanggulangi hal tersebut sangatlah
penting dan dibutuhkan terutama perawatan yang mencakup empat aspek
diantaranya : promotif yaitu memberikan penyuluhan tentang menjaga kesehatan
dirinya dan menjaga kebersihan diri serta lingkungannya dalm membantu dalam
menurunkan angka kesakitan akibat dari apendiks.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penulisan asuhan keperawatan pada Tn. I dengan
gangguan system pencernaan Appendisitis Infiltrat adalah agar penyusun dan
pembaca dapat menggambarkan, mengerti, dan mendisksuikan asuhan
keperawatan pada Tn.I dengan gangguan system pencernaan Appendisitis Infiltrat
di ruangan Ambun Suri Lantai 1 Bedah RSUD Achmad Mochtar.

2
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari para penulis asuhan keperawatan Tn.I dengan
gangguan sistem pencernaan Appendisitis Infiltrat adalah :

 Mampu melakukan pengkajian pada Tn.I dengan gangguan sistem


pencernaan : Apendisitis Ilfitrat.
 Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn.I dengan
gangguan sistem pencernaan Appendisitis Ilfitrat.
 Mampu membuat perencanaan tindakan keperawatan yang sesuai
pada Tn. I dengan gangguan system pencernaan Appendisitis Ilfitrat.
 Mampu melakukan tindakan keperawatan terhadap Tn. I dengan
gangguan sistem pencernaan Appendisitis Ilfitrat.
 Mampu mengevaluasi dari tindakan keperawatn yang telah diberikan
pada Tn. I dengan gangguan sistem pencernaan Appendisitis Ilfitrat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teoritis Penyakit


1. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
(analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk
tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm,
dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar
dibagian distal.7 Basis appendiks terletak pada bagian postero medial caecum, di
bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis appendiks
(Jehan, E., 2003).
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang
bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak
yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi
kecil (Anonim, 2005).
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan
serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang
merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke
ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari
jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh
darah dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes.
Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang
disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum
(inner circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh
pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia
anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks (Anonim, 2002).
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8
yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal,

4
pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan
berpindah dari medial menuju katup ileosekal. Pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 %
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di
belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens.
Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks (Sjamsuhidajat R.. 2004).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula
disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat R..
2004)
2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe
disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan
diseluruh tubuh (Sjamsuhidajat R., 2004)
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa
dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada
jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks
komplit.

5
3. Definisi
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga
membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada
hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa
apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena
daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang (Reksoprodjo, S., dkk.
1995).
4. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi
jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan
cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy
dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat
menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. 2,8 Frekuensi obstruksi
meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40%
dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa
rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture (Schwartz,
1999).
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan
mempermudah terjadinya apendisits akut (Sjamsuhidajat R., 2004).

6
5. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer,A., dkk. 2000).
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangrene atau terjadi perforasi (Schwartz, 1999).
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor (Mansjoer,A.,
dkk. 2000).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer,A., dkk. 2000).
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua
proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak
kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate

7
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang
(Mansjoer,A., dkk. 2000).
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Sjamsuhidajat, R., 2004).
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,A.,
dkk. 2000).
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat, R., 2004).

8
6. Manifestasi Klinis
Nyeri kuadran kanan bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam
ruangan, mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik
McBurneg. Bila dilakukan tekanan nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari
nyeri bila tekanan dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme
otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya
infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri
dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumber, bila ujungnya ada pada pelvis,
tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rectal. Nyeri pada
defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum, nyeri pada saat
berkemih atau uretes, adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan
dapat terjadi.
Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri
yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah/
apabila apendiks telah rupture, nyeri menjadi lebih menyebar, distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik, dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan. Menunjukkan obstriksi usus atau
proses penyakit lainnya. pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia
mengalami reptor apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada
lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan
tidak secepat pasien-pasien yang lebih mudah.

9
7. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik

a Pemeriksaan Laboratorium
Pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada
apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada
apendisitis perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan
apendisitis.

Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan


urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih
dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau
vesika (Reksoprodjo, S., dkk.1995).

b Pemeriksaan Radiologi
 Foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau
pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan
bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ”ileal atau caecal
ileus” (gambaran garis permukaan air-udara disekum atau ileum).
Patognomonik bila terlihat gambar fekalit (Mansjoer,A., dkk. 2000)
 USG atau CT Scan. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan
kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau
wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan ukuran
apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain
pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel desease,
diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s, endometriosis dan pelvic
Inflammatory Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada
hasil USG. Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat
dibanding USG. Selain dapat mengidentifikasi apendiks yang
mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat melihat
adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik.
 Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan
pemeriksaan awal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
karsinoma colon (Anonim, 2006), tetapi untuk apendisitis akut

10
pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat
menyebabkan rupture apendiks (Sjamsuhidajat R., 2004).

8. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

a Penatalaksanaan Medis
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa
yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini
dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika
peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga
penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah,
semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya
(Hugh, A.F. Dudley. 1992).
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah
ini adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan
mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam
massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena
massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi
berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah
didrainase (Hugh, A.F. Dudley. 1992).
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.
Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas
disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita

11
boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu
dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit (Sjamsuhidajat, R., 2004).
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi
(Reksoprodjo, S., dkk. 1995).

Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan


bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih
bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit
perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan
atau pun tanpa peritonitis umum. Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah
konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika
secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan
operasi secepatnya (Sjamsuhidajat, R., 2004).
Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang
aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu
sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses,
dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu
kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi
perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa
hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa
mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah
terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.

12
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara
ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik
ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks
dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat
menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila
pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi
sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal
5 hari post operasi.

a. Penatalaksanaan Keperawatan
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang pernah dialami dalam hal
appendiktomi tidak ada tata laksana keperawatan khusus yang diberikan pada
pasien apendisitis. Adapun tindakan non medis yang diberikan adalah persiapan
pasien untuk apendiktomi diantaranya perawat memastikan kepada dokter bahwa
tes darah,cek urin, rontgen, dan puasa sudah dilaksanakan. Kemudian tindakan
keperawatan yang dapat diberikan post-op adalah perawatan luka jahitan dan
mobilisasi pasien secara teratur untuk mencegah dekubitus.

9. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa


perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan
lekuk usus halus. Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun
suatu peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance Muskular yang menyeluruh

13
 Bising usus berkurang
 Perut distended

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :

 Pelvic Abscess
 Subphrenic absess
 Intra peritoneal abses lokal

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk


kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

14
10. Pathway

15
B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a dasar pengkajian meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, agama, alamat, diagnosa medis, tindakan medis, nomor
rekam medis, tanggal masuk, tanggal operasi dan tanggal
pengkajian.
b Identitas penganggung jawab meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, hubungan dengan klien dan
sumber biaya.
c Riwayat Penyakit.

 Riwayat Penyakit Sekarang.

Riwayat penyakit sekarang ditemukan saat pengkajian, yang diuraikan dari


mulai masuk tempat perawatan sampai dilakukan pengkajian. Keluhan sekarang
dikaji dengan menggunakan PQRST (paliatif and provokatif, quality and quantity,
region and radiasi, severity scale dan timing). Klien yang telah menjalani
operasi apendiktomi pada umumnya mengeluh nyeri pada luka operasi yang akan
bertambah saat digerakkan atau ditekan dan umumnya berkurang setelah diberi
obat dan diistirahatkan. Nyeri dirasakan sperti ditusuk –tusuk dengan skala nyeri
lebih dari lima (0-10). Nyeri akan terlokalisasi di area operasi dapat pula
menyebar di seluruh abdomen dan paha kanan dan umumnya menetap sepanjang
hari. Nyeri mungkin dapat mngganggu aktivitas sesuai rentang toleransi masing –
masing klien.

 Riwayat Kesehatan Dahulu.

Berisi pengalaman penyakit sebelumnya, apakah memberi pengaruh pada


penyakit yang diderita sekarang serta apakah pernah mengalami pembedahan
sebelumnya.

 Riwayat Kesehatan Keluarga.

16
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang menderita sakit
yang sama seperti klien, dikaji pula mengenai adanya penyakit keturunan atau
menular dalam keluarga.

 Riwayat Psikologis.

Secara umum klien dengan post apendiksitis tidak mengalami


penyimpangan dalam fungsi psikologis. Namun demikian tetap perlu dilakukan
mengenai kelima konsep diri klien (citra tubuh, identitas diri, fungsi peran, ideal
diri dan harga diri

 Riwayat Sosial.

Klien dengan post apendiktomi tidak mengalami gangguan dalam hubungan


social dengan orang lain, akan tetapi tetap harus dibandingkan hubungan social
klien antara sebelum dan setelah menjalani operasi.

 Riwayat Spiritual.

Pada umumnya klien yang menjalani perawatan akan mengalami


keterbatasan dalam aktivitas begitu pula dalam kegiatan ibadah. Perlu dikaji
keyakinan klien terhadap keadaan sakit dan motivasi untuk kesembuhannya.

 Kebiasaan Sehari – hari.

Klien yang menjalani operasi pengangkatan apendiks pada umumnya


mengalami kesulitan dalam beraktfitas karena nyeri yang akut dan kelemahan.
Klien dapat mengalami gangguan dalam perawatan diri ( mandi, gosok gigi,
keramas dan gunting kuku ), karena adaanya toleransi aktivitas yang mengalami
gangguan.

Klien akan mengalami pembatasan masukan oral sampai fungsi pencernaan


kembali ke dalam rentang normalnya. Kemungkinan klien akan mengalami mual
muntah dan konstipasi pada periode awal post operasi karena pengaruh anastesi.
Intake oral dapat mulai diberikan setelah fungsi pencernaan kembali ke dalam
rentang normalnya. Klien juga dapat mengalami penurunan haluaran urine karena
adanya pembatasan masukan oral. Haluaran urine akan berangsur normal setelah

17
peningkatan masukan oral. Pola istirahat klien dapat terganggu ataupu tidak
terganggu, tergantung toleransi klien terhadap nyeri yang dirasakan.

 Pemeriksaan Fisik.

Pemeriksaan fisik ini mencakup :

 Keadaan Umum klien post apendiktomi mencapai kesadaran penuh


setelah beberapa jam kembali dari meja operasi, penampilan
menunjukkan keadaan sakit ringan sampai berat tergantung pada
periode akut rasa nyeri. Tanda vital pada umumnya stabil kecuali
akan mengalami ketidakstabilan pada klien yang mengalami
perforasi apendiks.
 Sistem Pernapasan klien post apendiktomi akan mengalai
penurunan atau peningkatan frekuensi napas (takipneu) serta
pernapasan dangkal, sesuai rentang yang dapat ditoleransi oleh
klien.
 Sistem Kardiovaskuler umumnya klien mengalami takikardi (
sebagai respon terhadap stres dan hipovolemia), mengalami
hipertensi (sebagai respon terhadap nyeri), hipotensi (kelemahan
dan tirah baring). Pengisian kapiler biasanya normal, dikaji pula
keadaan konjungtiva, adanya sianosis dan, auskultasi bunyi jantung
 Sistem Pencernaan adanya nyeri pada luka operasi di abdomen
kanan bawah saat dipalpasi. Klien post apendiktomi biasanya
mengeluh mual muntah, konstipasi pada awal post operasi dan
penurunan bising usus. Akan tampak adanya luka operasi di
abdomen kanan bawah bekas sayatan operasi.
 Sistem Perkemihan awal post operasi klien akan mengalami
penurunan jumlah output urine, hal ini terjadi karena adanya
pembatasan intak oral selama periode awal post
apendiktomi. Output urine akan berangsur normal seiring dengan
peningkatan intake oral.
 Sistem Muskuloskeletal secara umum, klien dapat mengalami
kelemahan karena tirah baring post operasi dan kekakuan .

18
Kekuatan otot berangsur membaik seiring dengan peningkatan
toleransi aktifitas.
 Sistem Integumen akan tampak adanya luka operasi di abdomen
kanan bawah karena insisi bedah disertai kemerahan (biasanya
pada awitan awal). Turgor kulit akan membaik seiring dengan
peningkatan intake oral.
 Sistem Persarafan umumnya klien dengan post apendiktomi tidak
mengalami penyimpangan dalam fungsi persarafan. Pengkajian
fungsi persafan meliputi : tingkat kesadaran, saraf kranial dan
refleks.
 Sistem Pendengaran pengkajian yang dilakukan meliputi : bentuk
dan kesimetrisan telinga, ada tidaknya peradangan dan fungsi
pendengaran.
 Sistem Endokrin umumnya klien post apendiktomi tidak
mengalami kelainan fungsi endrokin. Akan tetapi tetap perlu dikaji
keadekuatan fungsi endrokin (thyroid dan lain –lain).

2. Rumusan Diagnosa Keperawatan


a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peradangan pada
apendisitis.
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
praoperasi.
c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit.
3. Rumusan Intervensi Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada apendisitis
Tujuan : Distensi jaringan usus oleh inflamasi
Kriteria hasil : Melaporkan nyeri hilang/terkontrol

Intervensi :
 Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala 0-10

19
 Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan
terhadap nyeri dan respon pasien
 Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, imajinasi tebimbing,
terapi musik, terapi bermain, distraksi, kompres hangat atau
dingin sebelum, setelah, dan jika memungkinkan , selama
aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum nyeri terjadi atau
meningkat, dan bersama penggunaan tindakan peredaan nyeri
yang lain.
 Lakukan perubahan posisi, massase [punggung dan relaksasi
 Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang
menyangkutn aktivitas keperawatan
 Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada
nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan
melalui TV, radion, dan interaksi dengan pengunjung
 Kolaborasi pemberian analgesik sesuai program terapi
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan muntah
praoperasi
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan
Kriteria Hasil :

 Memiliki konsentrasi urine yang normal


 Tidak mengalami haus abnormal
 Memiliki asupan cairan oral dan atau intravena yang adekuat
 Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang seimbang
dalam 24 jam.
 Menamilkan hidrasi yang baik (membran mukosa lembap,
mampu berkeringat.

Intervensi

 Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan


 Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi
elektrolit, misalnya diare

20
 Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan
cairan (misalnya kadar hematokrit, BUN, albumin, protein total,
osmolalitas serum, dan berat jenis urine).
 Pantau status hidrasi misalnya kelembapan membran mukosa,
keadekuatan nadi, dan tekanan darah ortostatik.
 Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu
 Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur
keseimbangan cairan
 Memberikan dan memantau cairan dan obat intravena
 Membantu dan menyediakan asupan makanan dan cairan dalam
diet seimbang
 Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecendrungannya
 Tentukan jumlah cairan yang masuk dalm 24 jam, hitung asupan
yang diinginkan sepanjang sif siang, soreh, dan malam
 Anjurkan melakukan higiene oral secara sering
 Kolaborasi pemberian terapi IV sesuai program
c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit

Tujuan : Suhu tubuh dalam batas normal

Kriteria hasil :

 Suhu tubuh dalam rentang normal


 Nadi dan RR dalam rentang normal
 Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

Intervensi :

 Pantau TTV
 Pantau hidrasi (misalnya turgor kulit, kelembapan membran
mukosa)
 Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan
suhu lingkungan.
 Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai kebutuhan.
 Pantau warna kulit dan suhu

21
 Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya 2 liter per hari
 Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah
dan mengenali secara dini hipertermia (misalnya sengatan
panas, keletihan akibat panas)
 Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan
selimut saja
 Berikan kompres hangat untuk mengatasi demam
 Kolaborasi pemberian obat antipiretik
4. Implementasi

Implementasi adalah tahap keempat dalam proses keperawatan dimana


rencana keperawatan dilaksanakan (melaksanakan intervensi yang telah
ditentukan sebelumnya) (Marilyn.E.Doengoe, 1999: 105). Pelaksanaan adalah
inisiatif dan rencana tindakan untuk mencapai tujuan (Iyer et al, 1996) Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan membantu klien mencapai tujuan
yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan
untuk memodifikasi faktor— faktor yang mempengaruhi klien (Iyer et al, 1996).

Pelaksanaan keperawatan merupakan tindakan yang diberikan kepada


klien meliputi pelaksanaan. perencanaan pelayanan keperawatan dan diskusi oleh
pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses
keperawatan.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan dimana


merupakan proses yang kontinyu yang penting untuk menjamin kualitas dan
ketepatan perawatan yang dilakukan dengan meninjau respon klien untuk
menentukan keefektifan rencana perawatan dalam memenuhi kebutuhan klien”
(Marilyn.E.Doengoes 1999: 105). Menurut Griffith dan Chirste, 1986, evaluasi
sebagai suatu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematik pada status
kesehatan klien. Dengan mengukur perkembangan klien dan mencapai suatu
tujuan, maka perawat bisa menentukan efektifitas tindakan keperawatan (Buku
Proses-Proses Keperawatan, Nursalam, 1999).

22
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. I
Umur : 57 Th
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku bangsa : Minang
Penanggung jawab : Ny. O
Hubungan dengan klien : Istri
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Darussalam No 87 D Guguak Panjang
Bukittinggi
Nomor medikal : 492826
Ruang dirawat saat ini : Ambun Suri Lt. 1 (Bedah 3.2)

I. Tanggal masuk : 28 Februari 2018


Diagnosa medik : Appendisitis Infiltrat
Yang mengirim : UGD
Cara masuk : { } Berjalan {√} Brankar
Alasan masuk : Sakit perut melilit menjalar hingga ke
pinggang
TB / BB : 165 cm / 55 kg
Golongan darah : A+
Suhu : 38,7 °C
Nadi : 98 x/i
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Pernafasan : 20 x/i
Alergi : Tidak ada alergi
Bila ya pada :-

23
- Makanan :-
- Obat :-
- Lain-lain :-

II. Alat bantu yang dipakai


{-} Kacamata {-} Alat bantu pendengaran
{-} Lensa kontak

III. Pengobatan yang diberikan sekarang :


 Paracetamol 3 x 500 mg
 Metrodinazole 3 x 500 mg
 Ranitidine 2 x 1 amp
 Katerolac 2 x 1 amp
 IVFD RL 20 tpm

PENGKAJIAN DATA STANDAR


1. Riwayat Kesehatan Sekarang
I. Keluhan Utama : Sakit di bagian perut menjalar hingga ke
pinggang seperti tertusuk-tusuk

II. Keluhan di Data : Sakit di bagian perut

Apakah anda sudah berobat : Belum pernah berobat


Bila ya, berobat kemana :-
Penanganan yang diterima :-
Bila dirawat, dimana :-
Waktu :-
Obat-obat obat yang didapat :-
Rawat jalan :-

24
2. Riwayat Penyakit Sekarang
 Provocative / Palliative
 Apa penyebabnya : Suka mengkonsumsi
makanan pedas
 Hal-hal yang memperbaiki keadaan : Berbaring

 Quantity / Quality
 Bagaimana dirasakan : Tertusuk-tusuk
 Bagaimana dilihat : Pasien tampak meringis

 Region
 Dimana lokasinya : Perut bagian bawah
 Apakah menyebar : Ya, menjalar hingga ke pinggang

 Severity
 Mengganggu aktivitas : Ya, Sulit bergerak.

 Time
 Kapan mulai timbul dan bagaimana terjadinya : Tiba-tiba 1 bulan
yang lalu merasakan sakit di bagian perut kemudian dibawa ke
RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi

3. Riwayat Kesehatan yang lalu


a. Penyakit yang pernah diderita : Tidak ada
b. Pernah dirawat : { } Ya {√} Tidak
Bila ya, alasan dirawat :-
c. Pernah dioperasi : Tidak pernah
Tempat :-
Jenis tindakan operasi :-

4. Riwayat Kesehatan Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang


memiliki riwayat penyakit seperti yang dialami pasien.

25
5. Genogram :

Ket
: Laki-laki : Klien

: Perempuan : Meninggal laki-laki

: Tinggal satu rumah : Meninggal

6. Pemeriksaan Fisik
a. Rambut dan Hygiene Kepala
1) Warna Rambut : {√} Hitam { } Coklat

{ } Pirang { } Perak

2) Bau : { } Ya {√} Tidak


3) Keadaan rambut : {√} Tumbuh subur { } Rontok
{ } Pecah-pecah
4) Kulit kepala : { } Ketombe { } Ada lesi

{ } Pediculosis {√} Bersih


{ } Kotor

26
b. Mata
1) Kelengkapan : {√} Ya { } Tidak
2) Simetris : {√} Ya { } Tidak
3) Palpebra : { } Oedema { } Prosis
{ } Peradangan {√} Normal
{ } Lagopthalmus
4) Sklera : { } Icterik {√} Normal
5) Conjungtiva : {√} Tidak anemis { } Anemis
6) Pupil : { } Mengecil { } Melebar
{√} Normal
c. Mulut
1) Rongga : { } Peradangan {√} Berbau
{ } Abnormal (labio palatoschisi)
2) Gigi geligi : { } Caries { } Abses
{ } Karang gigi { } Normal
{ } Perdarahan { } Gigipalsu
{√} Sisa-sisa makanan
3) Lidah : { } Kotor / bercak putih
{ } Tepi hiperemik
{√} Normal
4) Tonsil : { } Meradang {√} Normal

d. Leher
1) Kel. Getah bening, sub-mandibular dan sekitar telinga :
{ } Membesar {√} Normal
2) Kelenjar tyroid
{ } Membesar {√} Normal

e. Dada / Thorak
1) Jenis pernafasan : {√} Dada { } Perut
2) Keluhan : { } Ada {√} Tidak
Jika ada : { } Sesak { } Batuk
{ } Nafas berbunyi

3) Suara nafas : {√} Vesikuler { } Rales


{ } Wheezing { } Ronchi
{ } Bronchovasicular

27
f. Cardiovaskular
1) HR : 98 x/i
2) BJ I : Lup
3) BJ II : Dup
4) Murmur : { }Ya {√} Tidak
g. Pencernaan / abdomen
1) Pembesaran : { }Ya {√}Tidak
2) Teraba masa : { }Ya {√}Tidak
3) Keluhan : {-}Mual {-}Muntah
{-}Konstipasi Diare
{√} Nyeri ketok kuadran kanan bawah
h. Genito urinary
1) Lengkap : {√} Ya { } Tidak
2) Terpasang kateter : {√} Ya { } Tidak
3) Keluhan : Tidak ada
4) Kebersihan : Bersih

i. Otot sendi dan tulang : { } Tidak ada kelainan


{√ } Gerak Terbatas
{ } Pembengkakan
{ } Kemerahan
{ } Cacat dan lain-lain

j. Sistem persyarafan {√} Compos mentis { } Kejang


{ } Disorientasi { } Paralise
{ } Apatis { } Parase
{ } Semi Koma { } Koma
{ } lain-lain

k. Aktifitas sehari-hari
{ } Dapat ditolong sendiri
{√} Ditolong dengan bantuan maksimum
1) Eliminasi : miksi kali/hari
Ada kesukaran? { } Ya {√} Tidak

28
Bila ada kesukaran, apa ? : Tidak ada
Defekasi : 2 kali/hari
Bila ada kesukaran, apa? : Tidak ada
2) Kebersihan perorangan
Mandi : 2 kali/hari
Menggosok gigi : 1 kali/haris
Cuci rambut : 0 kali/minggu
3) Makan minum
Makan : 3 kali/hari
Pagi jam : 07:00 WIB
Siang jam : 12:00 WIB
Malam jam : 17:00 WIB
Minum : 6 gelas/hari
Makanan dan minuman yang disukai : Bakso dan kopi

4). Tidur
Berapa jam/hari : 7-8 jam
Dengan bantal : {√}Ya { }Tidak
Bila ya, berapa bantal : 1 Bantal
Dengan selimut : Iya
Dengan penerangan : Iya
Bila sukar tidur , apa yang dilakukan : Berbaring

l. Catatan khusus

Apa pasien mengerti tentang penyakitnya ? { }Ya {√} Tidak

Bila dulu pernah dirawat,jenis perawatan yang pernah


didapatkan? Pasien sebelumnya tidak pernah dirawat

Hubungan dengan keluarga ? {√}Harmonis { } Tidak Harmonis

Siapa yang paling dekat dengan pasien ? Istri


Bantuan apa yang diharapkan klien membantunya dalam
beribadah? Mengingat kan untuk beribadah

29
Bagaimana hubungan suami istri sebelum dan sesudah penyakit ?

{ }Ada masalah {√} Tidak ada masalah

Apakah ada pertanyaan yang diajukan ? {√} Ya { } Tidak

Bila ya, pertanyanya ? “Bagaimana cara mengurangi rasa nyeri pada


perut?”

Hasil pemeriksaan penunjang

 EKG :
 USG :
 RONTGEN :
 DATA LABOR :

Kimia klinik I pada tanggal : .........

 HB : 12,5 Normalnya :
 Leukosit : 11.000 Normalnya :
 Trombosit : 321 x 103 Normalnya :
 KGD : Normalnya :
 Protein total : 27,5 Normalnya :
 Albumin : 3,1 Normalnya :
 Globulin : Normalnya :
 Bilirubin total : 3,26 Normalnya :
 Bilirubin direct : 2,93 Normalnya :
 Bilirubin indirect : Normalnya :
 Ureum : 25 Normalnya :
 Kreatinin : 0,70 Normalnya :
 Asam urat : Normalnya :

Kimia klinik II pada tanggal : .........

 SGOT Normalnya :
 SGPT Normalnya :
 Kolestrol total Normalnya :
 Trigeliserida Normalnya :
 Kolestrol HDL Normalnya :

30
 Kolestrol LDL Normalnya :

Serologi

 Imonolgi Normalnya :
 Hbs Ag Normalnya :
 Anti Hbs Normalnya :

m. Program dokter

Rencana Appendiktomi Selasa, 6 Maret 2018

IVFD RL 20 tpm

Antibiotik

 Terapi oral/tablet : Tidak ada

 Terapi lainnya : Tidak ada

31
Data Fokus
Data Subjektif

 Klien mengeluh Nyeri pada bagian perut kanan bawah


 Klien mengatakan nyeri menyebar ke pinggang
 Klien mengatakan nyeri seperti ditusuk-tusuk
 Klien mengatakan nyeri bertambah ketika beraktivitas
 Klien mengatakan cemas karena dioperasi pasti sakit
 Klien mengatakan badannya menggigil

Data Objektif

 Klien tampak menahan rasa sakit


 Klien tampak meringis
 Skala nyeri 4
 Klien tampak melindungi bagian yang sakit
 Nyeri tekan pada daerah perut bagian bawah
 Klien tampak cemas
 Klien tampaj gelisah
 Klien tampak pusing
 Tekanan darah 130/90 mmHg
 Suhu 38,7°C
 Nadi 98 x/i
 RR 20 x/i

32
BAB IV
PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang analisis situasi terkait pelaksanaan asuhan
keperawatan luka post op appendiktomi pada Tn. I yang memiliki luka bekas
operasi pada perut bawah bagian kanan di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi.
Analisis yang dilakukan meliputi profil lahan praktek, analisis masalah
keperawatan, analisis intervensi, dan analisis terkait alternative pemecahan
masalah.

4.1 Profil Lahan Praktek

Ruang rawat Ambun Suri lantai 1 merupakan salah satu ruang perawatan
medical bedah di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi. Kapasitas total tempat
tidur diruangan ini berjumlah 42 tempat tidur dengan kapasitas perawatan kelas 2
sebanyak 2 tempat tidur, kelas III sebanyak 6 tempat tidur, dan 30 tempat tidur
untuk perawatan kelas III. Ruangan ini merawat pasien laki-laki dengan masalah
keperawatan Pre dan Post Operasi. Ruangan ini dikepalai oleh seorang kepala
ruangan yaitu ibu Ns. Dodi, S.Kep dibantu satu orang CI yaitu Ns. Yomi Chandra,
S.Kep.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan

Data diperoleh penulis setelah melakukan wawancara dengan klien secara


langsung dan melakukan wawancara tambahan kepada keluarga klien, data yang
lainnya diperoleh dari status pasien dan perawat yang dinas di ruang ambun suri
lantai 1. Data yang sifatnya obyektif ditemukan penulis melalui observasi dan
pemeriksaan langsung dengan pasien. Terdapat data klien mengatakan perut
sebelah kanan terasa nyeri, klien mengatakan pusing, dan klien cemas terhadap
kondisi kesehatannya. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa masalah
keperawatan yang muncul pada Tn.I terdiri dari Gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan dengan peradangan pada apendisitis, Ansietas b.d tindakan
pembedahan, dan Hipertermi b.d proses infeksi. Masalah yang pertama diangkat

45
pada kasus Tn.I adalah Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
peradangan pada apendisitis.

Sementara masalah kedua yaitu Ansietas berhubungan dengan tindakan


pembedahan. Dan masalah yang ketiga yaitu Hipertermi berhubungan dengan
proses infeksi. Masalah keperawatan yang ditunjukkan oleh Tn. I sesuai dengan
Nanda NIC NIC, (2015) yang menyebutkan bahwa seseorang yang menderita
Appendisitis akan menunjukan masalah keperawatan nyeri karena imflamasi pada
perut bagian bawah sebelah kanan, ansietas adanya tindakan operasi , serta
hipertermi karena adanya infeksi. Evaluasi juga dilakukan untuk menilai
efektifitas strategi yang digunakan untuk membantu klien melakukan koping
terhadap distress psikososial yang timbul akibat luka post operasi.

4.3 Analisis Intervensi

Asuhan keperawatan pada Tn. I yang dilakukan selama 2x24 jam mulai
tanggal 5 Maret sampai 8 Maret 2018 di ruang ambun suri lantai 1 RSUD
Achmad Muchtar. Adapun tindakan yang telah dilakukan pada dasarnya telah
sesuai dengan rencana keperawatan yang telah di buat pada setiap diagnosa
keperawatan dan secara garis besar pelaksanaannya sudah sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab.
Penambahan dan pengurangan tindakan yang dilaksankan penulis
menyesuaikan dengan kondisi klien. Penulis juga melibatkan keluarga di dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien dengan harapan keluarga dapat
merawat klien secara mandiri. Tindakan keperawatan yang dilakukan penulis
yaitu mengajarkan teknik napas dalam untuk mengurangi nyeri serta ditambah
kompres hangat dengan tujuan mengurangi rasa ketidak nyamanan terhadap nyeri
yang di rasakan. Intervensi yang dilakukan perawat untuk mengatasi masalah
Ansietas pada Tn.I berfokus pada pemberian informasi yang jelas mengenai
setiap prosedur tindakan yang diberikan.

46
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
(Rukmono, 2011).
Tindakan pengobatan terhadap apendiks dap€at dilakukan dengan cara
operasi ( pembedahan ). Pada operasi apendiks dikeluarkan dengan cara
apendiktomy yang merupakan suatu tindakan pembedahan membuang apendiks.
Adapun permasalahan yang mungkin timbul setelah dilakukan tindakan
pembedahan antara lain : nyeri, keterbatasan aktivitas, gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, kecemasan potensial terjadinya infeksi. Dengan demikian
peranan perawat dalam mengatasi dan menanggulangi hal tersebut sangatlah
penting dan dibutuhkan terutama perawatan yang mencakup empat aspek
diantaranya : promotif yaitu memberikan penyuluhan tentang menjaga kesehatan
dirinya dan menjaga kebersihan diri serta lingkungannya dalm membantu dalam
menurunkan angka kesakitan akibat dari apendiks.

5.2 Saran
Bagi sistem keilmuan khususnya ilmu keperawatan diharapkan dapa
tmeningkatkan ketersediaan teori-teori mengenai asuhan keperawatan pada klien
dengan luka appendisitis. Hal ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi
untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan asuhan keperawatan luka kanker
appendisitis dan bermanfaat ntuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
dimasa yang akan datang. Diharapkan dalam perawatan luka appendisitis perawat
dapat mengembangkan keterampilan klinisnya dalam melakukan asuhan
keperawatan khusunya Appendisitis.
Pihak manajemen rumah sakit diharapkan juga terus memfasilitasi
pelaksanaan asuhan keperawatan dengan sarana dan prasarana yang memadai, dan

47
terus mendukung keterampilan perawat dengan meningkatkan aktivitas pelatihan,
dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yangdapat diikuti perawat secara berjenjang
dan berkesinambungan.

48
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Penuntun Skills Lab Gangguan Hormon dan Metabolismenya.
Tim Pelaksana Skills Lab. FK Universitas Andalas: Padang.

Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah:


Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Bararah, V.F., 2009. Waspadai Gejala Hipertiroid Pada Wanita.


www.healthdetik.com (Diakses tanggal 18 Mei 2012).

Doenges Marilynn E, dkk, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III, EGC.

Depkes RI, 2000. Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi Kebijakan dan Strategi
Pembangunan kesehatan. Jakarta.

Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis


Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil
Noc. Jakarta: EGC.

49

Anda mungkin juga menyukai