Anda di halaman 1dari 6

Apakah Putus Kontrak Harus Blacklist?

samsulramli.com/apakah-putus-kontrak-harus-blacklist/

Samsul Ramli January 22, 2018

Perpres 54/2010 dan seluruh perubahannya pada Pasal


94 ayat 2 disebutkan bahwa dalam hal pemutusan
Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia
Barang/Jasa:

1. Jaminan Pelaksanaan dicairkan;


2. Sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia
Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan;
3. Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan
4. Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.

Keberadaan kata sambung “dan” memunculkan kesimpulan bahwa sanksi pada peristiwa
pemutusan kontrak bersifat kumulatif hingga dimasukkannya penyedia ke dalam daftar
hitam.

Pemutusan kontrak adalah peristiwa perdata yang muncul karena adanya perikatan yang
kerap disebut dengan kontrak. Asas hukum pacta sunt servanda yaitu setiap perjanjian
menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian berlaku. Para
pihak yang berikat janji adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Penyedia. Dengan
demikian kewajiban yang diperintahkan oleh pasal 93 adalah kewajiban PPK kepada
penyedia.

Ketika pemutusan kontrak terjadi karena kesalahan penyedia maka PPK, diperintahkan
Perpres 54/2010 sebagaimana tertuang dalam kontrak, mencairkan jaminan pelaksanaan,
menagih pelunasan uang muka atau mencairkan jaminan uang muka, menagih
pembayaran denda keterlambatan dan memasukkan penyedia ke dalam daftar hitam.

Pasal inilah yang memunculkan pertanyaan “apakah putus kontrak harus blacklist?”
Untuk mencari kesimpulan maka ada baiknya dilakukan komparasi pasal-pasal lain yang
juga membahas tentang sanksi kepada penyedia barang/jasa, diantaranya pada Bagian
Sanksi pasal 118 s/d 121

Perbuatan/Tindakan Sanksi Keterangan

1/6
1. Berusaha Sanksi administratif, sanksi Sanksi Administratif
mempengaruhi pencantuman dalam Daftar Hitam, dilakukan Oleh
Kelompok Kerja gugatan secara perdata, dan/atau Pokja/PPK/Pejabat
ULP/Pejabat pelaporan secara pidana kepada Pengadaan.
Pengadaan/pihak lain pihak berwenang.
yang berwenang. Pencantuman Daftar Hitam
oleh PA/KPA setelah
mendapat masukan dari
1. Melakukan PPK/Kelompok Kerja
persekongkolan ULP/Pejabat Pengadaan.
dengan Penyedia
Barang/Jasa lain Perdata dan Pidana sesuai
ketentuan Hukum yang
Berlaku
1. Membuat dan/atau
menyampaikan
dokumen dan/atau
keterangan lain yang
tidak benar untuk
memenuhi persyaratan

1. mengundurkan diri
setelah batas akhir
pemasukan penawaran
atau mengundurkan diri
dari pelaksanaan
Kontrak

1. tidak dapat
menyelesaikan
pekerjaan sesuai
dengan Kontrak secara
bertanggung jawab

1. ketidaksesuaian dalam Sanksi administratif, sanksi


penggunaan pencantuman dalam Daftar Hitam
Barang/Jasa produksi dan sanksi finansial
dalam negeri

1. penipuan/pemalsuan pembatalan sebagai calon


pemenang, dimasukkan dalam
Daftar Hitam, dan jaminan
Pengadaan Barang/Jasa dicairkan

1. Penyedia Barang/Jasa Denda keterlambatan Oleh PPK


yang terlambat
menyelesaikan
pekerjaan

1. Konsultan perencana Menyusun kembali perencanaan Oleh PPK


yang tidak cermat dan dengan beban biaya dari konsultan
mengakibatkan yang bersangkutan, dan/atau
kerugian negara tuntutan ganti rugi.

1. Mengalihkan pekerjaan Denda Oleh PPK


utama (Pasal 87 ayat
3)

2/6
Dari bagan di atas, fakta menarik adalah tentang kewenangan. Penetapan daftar hitam
tegas disebutkan adalah kewenangan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
(PA/KPA) setelah mendapat masukan dari PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
(pasal 118 ayat 4).

Mari kita hubungkan dengan pasal 93 ayat 2, meski sanksi pemutusan kontrak karena
kesalahan penyedia bersifat kumulatif namun khusus untuk penetapan daftar hitam adalah
kewenangan PA/KPA bukan PPK.

Lalu perintah pasal 93 ayat 2 tentang Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar
Hitam adalah perintah untuk PPK atau PA?

Secara keperdataan jika tertuang dalam kontrak maka perintah tersebut adalah untuk PPK.
Namun demikian sesuai batasan kewenangan PPK sebagaimana diatur pasal 118 ayat 4,
dimasukkannya penyedia ke dalam daftar hitam oleh PPK, adalah hanya sebatas masukan
atau usulan kepada PA/KPA.

Dengan kalimat lain ketika terjadi pemutusan kontrak karena kesalahan penyedia PPK
wajib mengusulkan agar penyedia dimasukkan ke dalam daftar hitam, kepada PA/KPA.
Sedangkan penetapan penyedia dalam daftar hitam adalah kewenangan penuh PA/KPA.

Untuk sementara jelas bahwa sanksi blacklist dalam peristiwa pemutusan kontrak tidak
bersifat otomatis. Tetapi ada proses yang harus dilewati sebelum putusan bersifat tetap
oleh PA/KPA.

Sesuai amanat Perpres 54/2010 pasal 134 ayat 2 disebutkan ketentuan lebih lanjut
mengenai teknis operasional tentang Daftar Hitam, pengadaan secara elektronik, dan
sertifikasi keahlian Pengadaan Barang/Jasa, diatur oleh Kepala LKPP. Untuk itu proses
penetapan daftar hitam harus dilihat dalam Peraturan Kepala LKPP-RI nomor 18 tahun
2014 (Perka 18/2014).

Alur Pencantuman/Pemasukan dalam Daftar Hitam

3/6
Perka LKPP 18/2004 pada pasal 5 kembali memperkuat bahwa hanya PA/KPA berwenang
menetapkan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam kepada Penyedia Barang/Jasa
melalui Surat Keputusan Penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam.

Yang menjadi titik kunci keyakinan PA/KPA menetapkan daftar hitam adalah pemeriksaan
usulan dari Aparatur Pemeriksa Internal Pemerintah (APIP). Pada Perka LKPP 18/2014
pasal 11 ayat 1 disebutkan APIP menindaklanjuti usulan penetapan dan/atau keberatan
sebagaimana dimaksud dengan cara melakukan pemeriksaan dan klarifikasi kepada
PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan, Penyedia Barang/Jasa dan/atau pihak
lain yang dianggap perlu paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak surat usulan penetapan
sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam dan/atau keberatan diterima.

Alur Penetapan Daftar Hitam

Rekomendasi APIP hanya 2 yaitu :

1. Ditetapkan jika memenuhi kriteria daftar hitam atau keberatan penyedia ditolak.
2. Tidak ditetapkan jika tidak memenuhi kriteria daftar hitam atau keberatan penyedia
diterima.

PA/KPA menerbitkan Surat Keputusan Penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar


Hitam atau Penolakan atas usulan penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam
berdasarkan rekomendasi APIP paling lambat 5 (lima) hari sejak rekomendasi diterima,
dan pada hari yang sama Surat Keputusan Penetapan atau Penolakan sanksi
pencantuman dalam Daftar Hitam disampaikan kepada Penyedia Barang/Jasa dan
PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan. Kemudian surat penetapan ini menjadi
dasar PA/KPA memasukkan penyedia ke dalam daftar hitam.

4/6
Dari ketentuan pemeriksaan usulan dapat disimpulkan bahwa pemutusan kontrak tidak
selalu beujung pada penetapan daftar hitam. Jika ada keberatan atas penetapan daftar
hitam maka ada proses pemeriksaan dan klarifikasi dengan
mempertimbangkan seluruh aspek termasuk tata nilai pengadaan (prinsip dan etika
pengadaan barang/jasa). Disinilah peran dari APIP memberikan pertimbangan manfaat
dan mudharat dari penetapan daftar hitam.

Sedikit benchmarking pada proses pengambilan keputusan oleh hakim terkait pembatalan
kontrak. Terdapat kekuasaan Discretionair yaitu kekuasaan dari Hakim untuk menilai
besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan
perjanjian yang mungkin menimpa si debitur.

Pertimbangan Discretionair ini


pulalah yang mestinya digunakan APIP dalam memberikan rekomendasi. Beberapa hal
yang patut menjadi pertimbangan yaitu :

1. Penetapan daftar hitam pada penyedia dapat berdampak kepada keberlangsungan


pelaksanaan pembangunan;
2. Penetapan daftar hitam juga dapat berdampak sosial dan ekonomi. Bagi penyedia
dengan core business proyek pemerintahan dan mempunyai track record
sebelumnya sangat baik tidak beroperasi selama 2 tahun dapat berdampak pada
pemutusan kerja massal yang pada ujungnya dapat merugikan perekonomian
negara;
3. Pemasukan daftar hitam oleh PA/KPA memunculkan risiko gugatan hukum Tata
Usaha Negara (TUN). Proses gugatan TUN adalah biaya tersendiri dalam kerangka
value for money pelaksanaan tugas pemerintahan; dan/atau
4. Pertimbangan-pertimbangan obyektif lainnya.

Selain itu APIP, sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008
(PP 60/2008) Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, mempunyai tugas dan
fungsi menjamin terselenggaranya Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam kerangka
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang
efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan
ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sistem Pengendalian Internal
Pemerintah (SPIP) salah satu unsur utamanya adalah penilaian risiko (PP 60/2008 pasal
3) atas kebijakan yang diambil oleh pimpinan dan seluruh pegawai pemerintahan.

Tidak salah kiranya jika diambil kesimpulan bahwa pertimbangan APIP, dalam hal sanksi
daftar hitam, tidak selalu mendukung penetapan daftar hitam, tetapi bisa juga penolakan
berdasarkan pertimbangan penilaian risiko.

Atas uraian di atas sedikit kesimpulan yang dapat disampaikan sebagai berikut :

1. Dalam peristiwa pemutusan Kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa , PPK


wajib mengusulkan kepada PA/KPA untuk memasukkan penyedia ke dalam Daftar
Hitam.
2. Hanya PA/KPA yang berwenang menetapkan dan memasukkan penyedia ke dalam
daftar hitam.
3. Proses penetapan daftar hitam oleh PA/KPA melalui pemeriksaan usulan oleh APIP.
5/6
4. APIP berdasarkan proses pemeriksaan dan klarifikasi dapat merekomendasikan
penetapan penyedia dalam daftar hitam ataupun tidak ditetapkan dalam daftar hitam.

Demikian sedikit pemikiran dalam rangka membuka diskusi yang lebih mendalam terkait
dampak dan konsekwensi pemutusan kontrak.

Daftar Pustaka

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem


Pengendalian Intern Pemerintah
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
3. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor
18 Tahun 2014 Tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
4. https://sariioktavia.wordpress.com/2014/04/03/hukum-perikatan

6/6

Anda mungkin juga menyukai