Selain disiplin fiqih, sufisme juga menempati posisi sentral yang mengajarkan budaya toleransi di
lingkungan pesantren. Nuansa sufistik yang kental di pesantren juga memengaruhi pandangan
pluralistic dan toleran Wahid. Sufisme mengajarkan toleransi, moderatisme, koeksistensi, dan nilai-
nilai humanistic lainnya. Hal ini karena pandangan metafisik dalam sufieme mengimplikasikan
bahwa terdapat kesatuan di antara semua hal yang eksis.
Sedangkan perbedaan, kebhinekaan, dan pertentangan antara kelompok manusia dan semua hal
yang eksis hanyalah ilusi. Jika keragaman hanyalah ilusi, maka perbedaan di antara manusia, adat
sistiadat, dan budaya juga bersifat superfisial. Oleh sebab itu, sufisme mengajarkan sikap rendah hati
dan menghormati perbedaan. (Masduqi: 135-136). Penghormatan terhadap perbedaan inilah yang
menjadi basis kedua dalam pendidikan perdamaian ala Gus Dur.
Sikap-sikap toleran dan pluralis Gus Dur berakar dari penghayatan terhadap teks-teks inklusif al-
Qur’an, Allah berfirman bahwa “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256).
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun [109]: 6). “Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa
berselisih pendapat.” (QS. Hud [11]: 119). Ayat-ayat toleransi ini kerap dikutip oleh Gus Dur
dalam esai-esai dan ceramah-ceramahnya.
Dalam hal pendidikan perdamaian itu sendiri ayat paling fundamental yang kerap dikutip oleh Gus
Dur adalah QS. Al-Hujarat [49]: 13 yang juga menjadi spirit multikulturalisme dalam al-Qur’an. Entah
sudah berapa kali Gus Dur mengulang-ulang ayat ini dalam berbagai ceramahnya. Ia begitu
menghayati ayat ini secara mendalam dan semakin yakin bahwa kebhinekaan suku dan bangsa
bukan untuk saling berperang, melainkan untuk saling mengenal dalam dialog antarbudaya dan
peradaban.
Ayat tersebut ditafsirkan oleh Gus Dur sebagai prinsip Bhineka Tunggal Ika. Prinsip ini pulalah yang
menjadi basis ketiga bagi pendidikan perdamaian Sang Guru Bangsa yang telah meninggalkan kita
enam tahun silam.
Ahmad Nurcholish, penulis buku “Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gus Dur” (Elexmedia,
2015)
Tulisan ini pernah dimuat di icrp-online.org pada 3 Desember 2015
Pendidikan perdamaian seperti digagas oleh Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,
Pendidikan Perdamaian bukan saja soal perdamaian itu sendiri sebagai konsep,
sebagai ide melainkan bagaimana gagasan dan konsep tentang perdamaian itu
disebarkan, ditanam, dipupuk, dan ditumbuhkan di tengah-tengah masyarakat.
Sebab, segala sesuatu memang harus dirawat, sebagaimana tumbuhan yang ada di
kebun atau taman kita tak akan tumbuh dan besar manakala kita biarkan tanpa
perawatan dan kepedulian, begitu juga nilai, sikap dan prilaku. kesemuanya itu tak
akan tumbuh jika tidak disebarkan melalui pendidikan. (Ulil Abshar Abdallah, Ketua
Umum ICRP)