Anda di halaman 1dari 21

PEREBUTAN HEGEMONI NEGARA-NEGARA DI ASIA TENGGARA

Hegemoni adalah kelompok yang mendominasi.Berhasil mempengaruhi kelompok yang


didominasi untuk menerima moral-moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan.
Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat
menyebar dan dipraktikkan. Nilai-nilai dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan dan
dipertahankan oleh pihak dominan sedemikian sehingga pihak yang didominasi tetap diam dan
taat terhadap kepemimpinan kelompok penguasa. Hegemoni bisa dilihat sebagai strategi untuk
mempertahankan kekuasaan.Negara Eropa yang dapat digolongkan sebagai negara yang paling
awal dalam melakukan upaya untuk melakukan penguasaan hegemoni dalam kaitannya dengan
perdagangan di Asia Tenggara adalah Portugis.

Dengan dilandasi oleh semangat 3-G (Gold, Glory, and Gospel) Portugis mencari rute
pelayaran menuju tempat-tempat penghasil rempah-rempah. Mereka awalnya memiliki
keyakinan bahwa tempat tempat tersebut adalah India. Namun ternyata India hanyalah tempat
penjualan rempah-rempah saja, bukan produsen utama. Produsen utama rempah-rempah ternyata
adalah wilayah Hindia Timur yang berada di Asia Tenggara. Karenanya, seketika Portugis di
bawah pimpinan Alfonso de Albeqorque mencapai Malaka yang menjadi bandar dagang dan
tempat transit utama di Asia Tenggara, Portugis berusaha untuk melakukan monopoli
perdagangan rempah-rempah.Secara teknis, Portugis memiliki corak layaknya kerajaan maritim
dengan basis berupa perbentengan yang tersebar dari pantai timur Afrika hingga laut Timor.
Basis-basis yang kecil ini memudahkan Portugis dan relatif tidak mendatangkan masalah
sebagaiman yang dihadapi oleh Spanyol, Inggris dan Belanda dikarenakan negara-negara
tersebut berusaha memperluas wilayah kekuasaan mereka. Meski demikian, kedatangan Portugis
di Malaka memicu berbagai penolakan. Kesultanan Aceh dan Jepara terbukti melancarkan
serangan-serangan ke Malaka untuk mengusir Portugis. Tidak sampai di situ saja, Portugis pada
akhirnya harus diusir dari Malaka setelah terjadi persaingan dengan Belanda.Lika-liku politik
dan ekonomi Portugis di Malaka tidak luput dari perhatian Spanyol. Bermula dari ekspedisi yang
dilakukan oleh Ferdinand Magellan ke arah barat, Spanyol pada akhirnya langsung menemukan
tempat yang menjadi sumber utama rempah-rempah yaitu Maluku. Namun ternyata Spanyol
terlambat karena Portugis sudah berada di sana lebih dulu. Akhirnya Spanyol harus
meninggalkan Maluku dan mendirikan basis di tempat yang tidak jauh dari Maluku namun sudah
tidak asing lagi.

Pulau Luzon di Filipina dijadikan basis utama yang sangat kuat baik secara politik
maupun ekonomi. Elemen militer dan misionaris Katholik dikirim ke Luzon dan pulau-pulau
sekitarnya untuk membantu pemerintahan. Eksistensi perekonomian yang kuat dibuktikan
dengan adanya jalinan perdagangan perak, porselen, dan sutera yang sangat menguntungkan
Spanyol.Inggris dan Belanda juga tidak tinggal diam dengan aktivitas Portugis dan Spanyol di
Asia Tenggara. East India Company (EIC) dan Verenidge Oost Indisch Compangie (VOC)
segera bergerak dan mulai melakukan persaingan dagang. Sebenarnya daerah yang menjadi
fokus operasi mereka adalah Hindia Timur (Indonesia). Hal tersebut berlangsung pada awal abad
ke-17. Tujuan Inggris dan Belanda yang lain adalah menyingkirkan pengaruh Portugis dan
Spanyol dari Asia Tenggara. Hal tersebut dapat dicapai oleh Belanda pada tahun 1641 dengan
terusirnya Portugis dari Malaka. Meskipun Inggris dan Belanda punya tujuan yang sama terkait
penyingkiran Portugis dan Spanyol, sebernarnya terjadi pertentangan yang hebat antara Inggris
dan Belanda. Kajadian pada tahun 1623 ketika sekumpulan tentara yang berada di bawah
perintah EIC habis dibantai oleh pasukan VOC saat mereka hendak melakukan perebutan
benteng milik VOC menjadi konflik nyata di antara Belanda dengan Inggris. Hal tersebut
berlanjut kepada perang Inggris-Belanda (1652-1654). Ditambah lagi, ketika kesultanan Banten
memberikan izin kepada Belanda (VOC) untuk mengusir Inggris dari Jawa, maka praktis, Inggris
terpaksa harus memusatkan perhatian kembali ke India.

 Kerajaan-Kerajaan Yang Ada Di Indonesia yang Kekuasaan Dan Perlawanan Bangsa-


Bangsa Di Asia Tenggara Terhadap Hegemoni:
1. Perlawanan Kesultanan Demak

Dikuasainya Malaka pada tahun 1511 oleh orang-orang Portugis merupakan ancaman
tersendiri bagi Kesultanan Demak. Ketika itu, demak sebagai kesultanan Islam dan kesultanan
maritim yang sedang mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan Islam di pelosok Nusantara.
Karena itu, sejak hadirnya orang-orang Portugis di Malaka, maka Kesultanan Demak bertekad
mengusirnya.
Pada tahun 1512, Kesultanan Demak dibawah pimpinan Pati Unus (Pangeran Sabrang
Lor) dengan bantuan Kesultanan Aceh menyerang Portugis di Malaka. Namun, serbuan demak
tersebut mengalami kegagalan. Kegagalan serangan Demak itu tidak membuat putus asa. Untuk
itu dilakukan penyerangan sekali lagi bersam kesultanan Johor dan kesultanan Aceh, tetapi tetap
berhasil di patahkan oleh portugis. Hal ini karna persenjataan orang-orang portugis lebih kuat
dan lengkap dari pada prajurit demak

Perjuangan Kesultanan Demak terhadap orang-orang Portugis semakin sengit ketika


Portugis berusaha menguasai bandar dagang Demak. Kesultanan Demak pasti berhasil
menyerang dan menghancurkan semua kapal dagang Portugis yang melewati jalur Laut Jawa.
Karena itulah kapal dagan Portugis yang membawa rempah-rempah dari Maluku (Ambon) tidak
berani berlayar melalui Laut Jawa, tetapi melalui Kalimantan bagian utara.

Meskipun Kesultanan Demak berhasil membendung masuknya pengaruh Portugis di


Jawa Barat, tetapi Kesultanan Demak gagal mencegah hubungan dagang antara Portugis dengan
kerajaan-kerajaan Hindu di daerah Jawa Timur. Bahkan Sultan Trenggana dari tahun 1521
sampai dengan tahun 1546 yang memimpin langsung penyerangan itu turut gugur di Pasuruan,
Jawa Timur.

2. Perlawanan Kerajaan Aceh

Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh benyak
mengahasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh kerena itu, Belanda brambisi untuk
mendudukinya. Namun sebaliknya orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan
kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan
yang merdeka. Situasi ini mulai berubah dengan adanya traktat Sumatra yang di tandatangani
antara Inggris dan Belanda pada tannggal 2 November 1871. Isi dari Traktat Sumatra 1871 itu
adalah pemberian kebebesan belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk
Aceh. Dengan demikian, Traktat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh. Karena itu
Aceh berusaha untuk memperkuat diri yakni dengan mengadakan hubungan Turki,Konsul Utara,
dan bahkan dengan konsul Amerika serikat di Singapura. Tindakan aceh ini sangat
mengawatirka pihak Belanda, karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Dan
Belanda pun memberikan ultimatum namun Aceh tidak ,menghiraukannya.Selanjutnya pada
tanggal 26 Maret 1873 Belanda memaklumkan perang kepada Aceh.

Sebelum terjadi peperangan,Aceh telah menduga dengan melakukan persiapan-persiapan


yakni mempersiapkan 3000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4000 orang
dipersiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di pimpinan
Mayor Jendral J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturahman Aceh.
Pda tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh, dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan di
sertai pengorbanan besar, yakni tewasnyaMayor Jendral Kholer

Setelah Masjid Raya Aceh berhasil di kuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan
pasukan aceh di pusatkan untuk mempertahankan istana SultanMahmud Syah. Dengan
dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda. tampilan tokoh-tokoh seperti Panglima
Polim, Teuku Imam Lueng Bata,Cut Banta, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Dan Istrinya Cur
Nyak Dien. serdadu belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan
terjadilah pertempuran di istana kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad,
para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga belanda gagal untuk menduduki istana. Pada akhir
tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara besar-besaran di bawah
pimpinan Letnan Jendral J, Van Swieten dengan kekuatan 8000 orang tentara. Pertempuran seru
berkobar lagi pada tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan dan
sultan besar dan para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan
perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal dan
kemudian digantikan olehh putranya yakni Muhammad daud Syah.

Sementara itu ketika utusan Aceh dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurracman tiba
kembali di Aceh pada tahun 1879, maka kegiatan penyerangan di pos-pos Belanda di perhebat.
Habib Abdurrachman bersam Teuku Cik Di Tiro dan Imam Leung Bata mengatur taktik guna
mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda. Menyadari betapa sulitnya mematahkan
perlawanan Aceh, pihak Belanda berusaha mengatahui rahasia kekuatanAceh, terutama yang
menyangkut sosial-budayannya. Oleh kerena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr.
SnouckHurgronye (seorang ahli tentang islam) untuk meneliti tentang kehidupan sosial budaya
masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama "Abdul Gafar" hingga
akhirnya ia punmasuk ke Aceh. Hingga akhir meneliti tentang orang-orang aceh ia pun
membukukan penelitinnya dengan judul "De Acehers" (Orang Aceh).Dari hasiul penelitiannya
dapat diketahui bahwa:

1. Sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa persetujuan para kepala dibahwanya


2. Ulama mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat
Dengan demikian langka yang ditempuh oleh Belanda ialah dengan melakukan politik
"devide et impera" (memecah belah dan menguasai). cara yang ia tempuh adalah:
1. Kaum ulama yang melawan harus dihadapi dengankekerasan senjata
2. Kaum bangsawan dan keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korp pamong praja
dilingkungan pemerintah kolonial.
Belanda mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada Belanda
hingga akhirnya pada bulan Agustus 1893,Teuku Umar menyatakan tundauk kepda pemerintah
belanda dan kemudian diangkat menjadi panglima milter Belanda. Teuku Umar memimpin 250
orang pasukan dengan persenjataan lengkap, namun bersekutu dengan panglima Polim untuk
menghamtam Belanda. Tentara Belanda dibawah pimpinan J.B Van Heutz berhasil memukul
perlawanan Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan
panglima Polim menyinkir ke Aceh Timur dimana dalam pertempuran di meulaboh pada tanggal
11 Februari 1899 Teuku Umar pun gugur. Sementara itupanglima Polim dan Sultam Muhammad
Daud Syah, masih melakukan perlawanan di Aceh Timur. Belanda pun berusaha untuk
melakukan penangkapan. Pada tanggal 6 September 1903 Panglima Polim berserta 150 orang
prajuritnya menyerah setalah Belanda melakukan penangkapan terhadap keluarganya, hal yang
sama juga di lakukan terhadap Sultan muhammah Daud Syah.
Pada tahun 1904, Aceh dipaksa untuk menandatangani "plakat Pendek" yangisinya:
1. Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya
2. Aceh tidak di perbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan Belanda
3. Aceh menaati perintah dan peraturan belanda
Pada 1905, Cut Nyak Dhien tertangkap di hutan, Cut Nyak Meutia gugur pada 1910.
Baru pada 1912, perang Aceh benar – benar berakhir.
3. Perang Bali

Pulau Bali dikuasai oleh kerajaan Klungkung yang mengadakan perjanjian dengan
Belanda pada 1841 yang menyatakan bahwa kerajaan Klungkung di bawah pemerintahan Raja
Dewa Agung Putera adalah suatu negara yang bebas dari kekuasaan Belanda.
Pada 1844, perhu dagang Belanda terdampar di Prancak, wilayah kerajaan Buleleng dan terkena
hukum Tawan Karang yang memihak penguasa kerajaan untuk menguasai kapal dan isinya. Pada
1848, Belanda menyerang kerajaan Buleleng, namun gagal. Serangan ke – 2 pada 1849, di
bawah pimpinan Jendral Mayor A.V Michies dan Van Swieeten berhasil merbut benteng
kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini diberi nama Puputan Jagaraga. Setelah Buleleng
ditaklukkan, banyak terjadi perang puputan antara kerajaan – kerajaan Bali dengan Belanda
untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan. Diantaranya Puputan Badung (1906),
Puputan Kusamba (1908), dan Puputan Klungkung (1908).

4. Perlawanan Kesultanan Ternate dan Tidore

Setelah merebut Malaka pada tahun 1511, Portugis melanjutkan pelayarannya ke Maluku.
Pada tahun 1513, Portugis berhasil menguasai Ternate dan Tidore. Pada waktu itu, Ternate dan
Tidore sedang bermusuhan. Kedua kesultanan tersebut saling bersaing agar bisa menguasai
kawasan Maluku. Untuk memperoleh kekuatan baru sehingga dapat mengalahkan lawan maka
Ternate bersekutu dan menerima dengan baik kedatangan Portugis. Bahkan orang-orang Portugis
diperbolehkan mendirikan benteng di Ternate. Dengan bantuan Portugis, Akhirnya Tidore dapat
dikalahkan. Pada tahun 1521, datanglah kapal Spanyol. Armada ini adalah sebgian dari armada
Magelhaens. Kedatangan kapal Spanyol tersebut dianggap sebagai musuh dan saingan oleh
Portugis. Pada tahun 1524, Spanyol datang lagi ke Maluku. Kedatangan Spanyol diterima
dengan baik oleh Kesultanan Tidore. Pada waktu itulah di Maluku berkembang persaingan tajam
antara Ternate yang bersekutu dengan Portugis dan Tidore yang bersekutu dengan Spanyol.
Akhirnya, pecahlah perang antara Terjate dan Tidore. Pda tahun 1529, Portugis bersama Ternate
menyerang Tidore. Dalam peperangan ini, pasukan Portugis dan Ternate mengalahkan pasukan
Tidore yang didukung Spanyol. Pada tahun 1534, diadakan perjanjian antara Spanyol dan
Portugis untuk membagi daerah operasi. Perjanjian ini dikenal dengan nama Perjanjian
Tordesillas. Sejak saat itu, kapal-kapal Spayol tidak lagi berlayar di perairan Maluku. Dengan
demikian, orang-orang Portugis bebas mengembangkan kekuasaan dan memonopoli
perdagangan di Maluku. Sikap kasar dan motif penyeberangan agama dari orang portugis
menimbulkan rasa tidak senang dikalangan rakyat Maluku Ternate yang semula bersekutu
dengan Portugis akhirnya memusuhi Portugis. Dala suatu pertempuran, rakyat Ternate berhasil
membakar benteng Portugis. Perlawanan terhadap Portugis juga datang dari rakyat Tidore.
Puncak pertempuran terjadi setelah diketahui bahwa Sultan Hairun dibunuh oleh Portugis.

Sultan Hairun dibunuh dalam suatu jamuan makan yang diadakanPortugis pada tahun
1570. Akibat dari peristiwa tersebut, maka di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putra Sultan
Hirun), rakyat Maluku menuntut balas dengan menyerang Portugis. Rakyat Maluku berhasil
mengusir Portugis dari perairan Maluku Utara setelah berperang selama lima tahun (1570-
1575).Kemenangan Sultan Sultan Baabullah tersebut membawa arti penting bagi masyarakat
Maluku. Secara perlahan-lahan sistem monopoli perdagangan dihilangkan. Orang-orang Portugis
terpaksa pindah ke pulau lain di Ambon sampai 1605. Secara perlahan, Kedudukan bangsa
Portugis di Maluku terdesak oleh Belanda. Akhirnya, orang-orang Portugis meninggalkan
Maluku. Mereka menetap di Pulau Timor bagian timur (Timor Timur).

5. Perlawanan Rakyat Maluku

Karena ulah orang-orang Portugis yang serakah, maka hubungannya dengan Ternate
yang semula baik menjadi retak. Portugis ingin memaksakan monopoli perdagangan kepada
rakyat Ternate. Tentu saja hal itu ditentang oleh rakyat Ternate. Perlawanan terhadap kekuasaan
Portugis di Ternate berkobar pada tahun 1533. Untuk menghadapi Portugis, Sultan Ternate
menyerukan agar rakyat dari Irian sampai ke Pulau Jawa bersatu melawan Portugis. Maka
berkobarlah perlawanan umum di Maluku terhadap Portugis. rakyat Maluku bangkit melawan
Portugis. Kerajaan Ternate dan Tidore bersatu. Akibatnya Portugis terdesak. Karena merasa
terdesak, Portugis lalu mendatangkan pasukan dari Malaka, di bawah pimpinan Antonio Galvao.
Pasukan bantuan tersebut menyerbu beberapa wilayah di kerajaan Ternate.

Rakyat Maluku di bawah pimpinan kerajaan Ternate berjuang penuh semangat


mempertahankan kemerdekaannya. Tetapi kali ini Ternate belum berhasil mengusir Portugis.
Untuk sementara Portugis dapat menguasai Maluku. Pada tahun 1565 rakyat Ternate bangkit
kembali melawan Portugis di bawah pimpinan Sultan Hairun. Portugis hampir terdesak, tetapi
kemudian melakukan tindakan licik. Sultan Hairun diajak berunding. Untuk itu Sultan Hairun
diundang agar datang ke benteng Portugis. Dengan jiwa kesatria dan tanpa perasaan curiga
Sultan memenuhi undangan Portugis.

Setiba di benteng Portugis Sultan Hairun dibunuh. Peristiwa itu membangkitkan


kemarahan rakyat Maluku. Perlawanan umum berkobar lagi di bawah pimpinan Sultan
Baabullah, pengganti Sultan Hairun. Pada tahun 1574 benteng Portugis dapat direbut oleh
Ternate. Dengan demikian rakyat Ternate berhasil mempertahankan kemerdekaannya dari
penjajahan Portugis. Pasukan bantuan dari Malaka di bawah pimpinan Antonio Galvao tidak
hanya menyerbu Ternate, tetapi juga Tidore. Armada Portugis mengepung pelabuhan Tidore.
Rakyat Tidore telah siap. Orang-orang Tidore mulai menembaki armada Portugis. Pertempuran
pun berkobar dengan sengitnya. Orang-orang Portugis berhasil mendarat dan merebut kota
Tidore.

Setelah kota Tidore diduduki Portugis, orang-orang Tidore pun mengadakan penyerbuan
dari laut dengan perahu kora-kora. Usaha ini juga belum berhasil. Maka dilaksanakan serangan
serempak dari darat maupun laut. Tetapi ternyata bahwa armada Portugis lebih unggul. Oleh
karena itu perlawanan rakyat Tidore pun tidak berhasil.

6. Pelawanan Rakyat Mataram

Sultan Agung yang memiliki cita – cita mempersatukan pulau Jawa, berusaha
mengalahkan VOC di Batavia. Penyerangan yang dilakukan pada 1628 & 1629 mengalami
kegagalan, karena selain persiapan pasukannya yang belum matang, juga tidak mampu membuat
blok perlawanan bersama kerajaan lainnya.

7. Perlawanan Rakyat Banten

Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dibangkitkan oleh Abdul Fatah (Sultan Ageng
Tirtayasa) dan puteranya bernama Pangeran Purbaya (Sultan Haji). Sultan Ageng Tirtayasa
dengan tegas menolak segala bentuk aturan monopoli VOC dan berusaha mengusir VOC dari
Batavia. Pada tahun 1659, perlawanan rakyat Banten mengalami kegagalan, yaitu ditandai oleh
keberhasilan Belanda dalam memaksa Sultan Ageng Tirtayasa untuk menandatangani perjanjian
monopoli perdagangan. Pada tahun 1683, VOC menerapkan politik adu domba (devide et
impera) antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya yang bernama Sultan Haji, sehingga
terjadilah perselisihan antara ayah dan anak, yang pada akhirnya dapat mempersempit wilayah
serta memperlemah posisi Kerajaan Banten. Sultan Haji yang dibantu oleh VOC dapat
mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa. Kemenangan Sultan Haji atas bantuan VOC tersebut
menghasilkan kompensasi dalam penandatanganan perjanjian dengan kompeni.

Perjanjian tersebut menandakan perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dapat


dipadamkan, bahkan Banten dapat dikuasai oleh VOC. Pertikaian keluarga di Kerajaan Banten
menunjukkan bahwa mudahnya rakyat Banten untuk diadu domba oleh VOC. Pada tahun 1750,
terjadi perlawanan rakyat Banten terhadap Sultan Haji (yang menjadi raja setelah menggantikan
Sultan Ageng Tirtayasa), atas tindakan Sultan Haji (rajanya) yang sewenang-wenang terhadap
rakyatnya sendiri. Perlawanan rakyat Banten ini dapat dipadamkan oleh Sultan Haji atas bantuan
VOC. Sebagai imbalan jasa, VOC diberi hak untuk memonopoli perdagangan di seluruh wilayah
Banten dan Sumatera Selatan.

8. Pemberontakan Untung Surapati (1686–1706)

Untung Surapati bersekutu dengan Sunan Amangkurat II untuk melawan VOC. Untuk
meredam pemberontakan Untung Surapati, VOC mengutus Kapten Tack ke Mataram, namun
gagal. Sunan Amangkurat II berterima kasih kepada Untung Surapati dengan memberikan daerah
Pasuruan dan menetapkannya menjadi Bupati di sana dengan gelar Adipati Wiranegara. Pada
1803 Sunan Amangkurat II meninggal dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan
Amangkurat III, pamannya yang bernama Pangeran Puger menginginkan tahta raja di Mataram.
Dia kemudian bersekutu dengan VOC, dan kemudian membuat perjanjian dengan VOC, dengan
menyerahkan sebagian wilayah kekuasaan Mataram. Pada 1705 Pangeran Puger dinobatkan
menjadi Sunan Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwana I, setelah itu dimulailah peperangan
antara Sunan Pakubuwana I dengan Untung Surapati yang dibantu Sunan Amangkurat III. Pada
1706, VOC berhasil melumpuhkan Untung Surapati di Kartasura.
9. Pelawanan Pattimura

Dimulai dengan penyerangan terhadap benteng Duurstede di Saparua, dan berhasil


merebut benteng tersebut dari tangan Belanda. Perlawanan ini meluas ke Ambon, Seram, dan
tempat-tempat lainnya. Untuk menghadapi serangan tersebut, Belanda harus mengerahkan
seluruh kekuatannya yang berada di Maluku. Akhirnya Pattimura berhasil ditangkap dalam suatu
pertempuran dan pada 16 Desember 1817, dia dan kawan – kawannya dihukum mati di tiang
gantungan. Perlawanan lainnya dilakukan oleh pahlawan wanita, Martha Christina Tiahahu.

10. Perang Paderi (1821–1837)

Dilatar belakangi konflik antara kaum agama dan tokoh-tokoh adat Sumatera Barat.
Kaum agama (Pembaru/Paderi) berusaha untuk mengajarkan Islam kepada warga sambil
menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, yang bertujuan untuk memurnikan
Islam di wilayah Sumatra Barat serta menentang aspek-aspek budaya yang bertentangan dengan
aqidah Islam. Tujuan ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena kaum adat yang tidak ingin
kehilangan kedudukannya, serta adat istiadatnya menentang ajaran kaum Paderi, perbedaan
pandangan ini menyebabkan perang saudara serta mengundang kekuatan Inggris dan Belanda.
Kaum adat yang terdesak saat perang kemudian meminta bantuan kepada Inggris yang sejak
1795 telah menguasai Padang, dan beberapa daerah di pesisir barat setelah direbut dari Belanda.
Golongan agama pada saat itu telah menguasai daerah pedalaman Sumatra Barat dan
menjalankan pemerintahan berdasarkan agama. Pada tahun 1819, Belanda menerima Padang dan
daerah sekitarnya dari Inggris. Golongan adat meminta bantuan kepada Belanda dalam
menghadapi golongan Paderi.

Pada Februari 1821, kedua belah pihak menandatangani perjanjian. Sesuai perjanjian
tersebut Belanda mulai mengerahkan pasukannya untuk menyerang kaum Paderi. Pertempuran
pertama terjadi pada April 1821 di daerah Sulit air, dekat danau Singkarak, Solok. Belanda
berhasil menguasai Pagarruyung, bekas kedudukan kerajaan Minangkabau, namun gagal
merebut pertahanan Paderi di Lintau, Sawah Lunto dan Kapau, Bukittinggi. Untuk mensiasati hal
ini, belanda mengajak berunding Tuanku Imam Bonjol (pemimpin Paderi) pada 1824, namun
perjanjian dilanggar oleh Belanda. Saat pertempuran Diponegoro, Belanda menarik pasukannya
di Sumatra Barat untuk menunda penyerangan pada kaum Paderi, dan memusatkan perhatian di
Sumatra Barat untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol. Dengan serangan yang gencar, kota
Bonjol jatuh ke tangan Belanda pada September 1832, dan pada 11 Januari 1833, dapat direbut
kembali oleh kaum Paderi. Pertempuran berkobar di mana-mana, dan golongan adat berbalik
melawan. Sehingga Belanda memerintahkan Sentot Alibasha Prawirodirjo (bekas panglima
perang diponegoro) untuk memerangi Paderi, tetapi tidak mau dan bekerja sama dengan kaum Pa
deri. Pada 25 Oktober 1833, Belanda melakukan Maklumat Plakat Panjang, yang berisi ajakan
kepada penduduk Sumatra Barat untuk berdamai dan menghentikan perang. Namun pada Juni
1834, Belanda kembali menyerang kaum Paderi. Pada 16 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol
jatuh ke tangan Belanda, dan berhasil meloloskan diri. Pada 25 Oktober 1837, Tuanku Imam
Bonjol berunding di Palupuh. Namun Belanda berhianat dengan menangkap dan membuangnya
ke Cianjur, Ambon, dan terakhir kota dekat Manado. Dia wafat pada usia 92 tahun dan
dimakamkan di Tomohon, Sulawesi Utara.

11. Perang Diponegoro (1825–1830)

Penyebab perang ini adalah rasa tidak puas masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan
yang dijalankan pemerintah Belanda di kesultanan Yogyakarta. Belanda seenaknya mencampuri
urusan intern kesultanan. Akibatnya, di Keraton Mataram terbentuk 2 kelompok, pro dan anti
Belanda.Pada pemerintahan Sultan HB V, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi anggota
Dewan Perwalian. Namun dia jarang diajak bicara karena sikapnya yang kritis terhadap
kehidupan keraton yang dianggapnya terpengaruh budaya barat dan intervensi Belanda. Oleh
karena itu, dia pergi dari keraton dan menetap di Tegalrejo. Di mata Belanda, Diponegoro adalah
orang yang berbahaya. Suatu ketika, Belanda akan membuat jalan Yogyakarta – Magelang. Jalan
tersebut menembus makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Dia marah dan mengganti patok
penanda jalan dengan tombak. Belanda menjawab dengan mengirim pasukan ke Tegalrejo pada
25 Juni 1825. Diponegoro dan pasukannya membangun pertahanan di Selarong. Dia mendapat
berbagai dukungan dari daerah-daerah. Tokoh – tokoh yang bergabung antara lain : Pangeran
Mangkubumi, Sentot Alibasha Prawirodirjo, dan Kyai Maja. Oleh karena itu Belanda
mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Utara yang dipimpin Jendral Marcus de
Kock. Sampai 1826, Diponegoro memperoleh kemenangan. Untuk melawannya, Belanda
melakukan taktik benteng Stelsel. Sejak 1826, kekuatannya berkurang karena banyak
pengikutnya yang ditangkap dan gugur dalam pertempuran. Pada November 1828, Kyai Maja
ditangkap Belanda. Sementara Sentot Alibasha menyerah pada Oktober 1829. Jendral De Kock
memerintahkan Kolonel Cleerens untuk mencari kontak dengan Diponegoro. Pada 28 Maret
1830, dilangsungkan perundingan antara Jendral De Kock dengan Diponegoro di kantor
karesidenan Kedu, Magelang. Namun Belanda berhianat, Diponegoro dan pengikutnya
ditangkap, dia dibuang ke Manado dan Makasar. Dengan demikian, berakhirlah perang
Diponegoro.

12. Perlawanan kerajaan Banjar

Perlawanan yang terjadi di Kalimantan Selatan, di wilayah kerajaan Banjar berlangsung


hampir setengah abad lamanya. Jika dilihat coraknya, perlawanan dapat dibedakan antara
perlawanan ofensif yang berlangsung dalam waktu relatif pendek (1859-1863), dan perlawanan
defensif yang mengisi seluruh perjuangan selanjutnya (1863-1905). Perlawanan ini meletus pada
tahun 1859 karena rakyat dan beberapa bangsawan di Banjar merasa tidak senang dengan
pengangkatan Pangeran Tamjidillah. Kalau ditinjau lebih jauh, di kalangan rakyat sudah lama
terpendam rasa tidak senang karena persoalan pajak dan kerja wajib yang memberatkan. Pajak
yang semakin berat ini berhubungan dengan semakin kecilnya daerah kekuasaan
kesultanan.Penyempitan daerah Banjar, dari waktu ke waktu berdasarkan perjanjian dengan
Belanda, berpangkal pada adanya hasil tertentu di daerah kesultanan yang dapat diperdagangkan.
Hasil tersebut adalah lada, rotan, damar, emas dan intan. Hasil-hasil ini yang mengundang orang
asing (Belanda dan Inggris) datang ke tempat daerah Banjarmasin.

Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah di bawah pimpinan


Pangeran Antasari yang berhasil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan menyerbu pos-
pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron diserang oleh pasukan Antasari pada
tanggal 28 April 1859. Pada saat Pangeran Antasari mengepung benteng Belanda di Pengaron,
Kiai Demang Leman dengan pasukannya telah bergerak di sekitar Riam Kiwa dan mengancam
benteng Belanda di Pengaron. Bersama-sama dengan Haji Nasrun pada tanggal 30 Juni 1859,
Kiai Demang Leman menyerbu pos Belanda yang berada di istana Martapura. Dalam bulan
Agustus 1859 bersama Haji Buyasin dan Kiai Langlang, Kiai Demang Leman berhasil merebut
benteng Belanda di Tabanio. Selain itu yang terlibat dalam perang Banjar melawan Belanda
diantaranya Tumenggung Surapati di Lambang, Tumenggung Jalil di Amuntai dan Negara.
Karena kedekatannya dengan rakyat Pangeran Hidayat diturunkan dari kedudukannya sebagai
mangkubumi oleh Belanda. Pangeran Hidayat melakukan perlawanan dari daerah satu ke daerah
lainnya bersama orang-orang yang setia kepadanya. Pangeran Hidayat ditangkap dan kemudian
diasingkan ke Jawa pada tanggal 3 Februari 1862.

Pangeran Antasari makin giat melakukan perlawanan, terlebih setelah mendengar kabar
tentang pengasingan Pangeran Hidayat saudara sepupunya ke Jawa. Kemahirannya dalam
bertempur cukup memberi kepercayaan kepada pengikut atas kepemimpinanya. Karena
kepercayaan ini, pada tanggal 14 Maret 1862 rakyat mengangkat Antasari sebagai pemimpin
tertinggi agama dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin yang membawa
pengaruh besar bagi kepemimpinan Pangeran Antasari. Pangeran Antasari memimpin
perlawanan terhadap Belanda sampai akhir hayatnya pada tanggal 11 Oktober 1862 di Hulu
Teweh, tempat pertahanannya yang cukup kuat. Setelah Pangeran Antasari meninggal,
perlawanan rakyat masih terus berlangsung dipimpin teman-teman seperjuangan dan putra-putra
Pangeran Antasari antara lain Pangeran Muhammad Seman (Gusti Matseman). Belanda
menyadari bahwa kekuatan perlawanan rakyat terletak pada para pemimpin-pemimpin mereka.
Oleh karena itu, para pemimpin itu selalu dicari untuk ditangkap ataupun dibunuh. Dengan
menyerahnya ataupun meninggalnya pemimpin-pemimpin mereka, perlawanan rakyat Banjar
terhadap Belanda lumpuh dan akhirnya padam sama sekali yaitu setelah gugurnya Gusti
Matseman pada tahun 1905.

13. Perlawanan Goa-Makasar.

Di Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan oleh Kerajaan


Gowa dan Tallo, yang kemudian bergabung menjadi Kerajaan Makasar. Dilihat dari letak
geografisnya, letak wilayah Kerajaan Makasar sangat strategis dan memiliki kota pelabuhan
sebagai pusat perdagangan di Kawasan Indonesia Timur. Kerajaan Makassar, dengan didukung
oleh pelaut-pelaut ulung, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan
Hasanudin antara tahun 1654 – 1669. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Makasar menjadi
pesaing berat bagi kompeni VOC pelayaran dan perdagangan di wilayah Indonesia Timur.
Persaingan dagang tersebut terasa semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin
membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. Upaya VOC yang sepertinya terlihat
baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas.
Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC
mulai menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan
Hasanuddin. Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk
perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu,
kompeni selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah
beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar melawan VOC.

Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran kedua terjadi pada tahun
1654. Kedua pertempuran tersebut diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-
halangi pedagang yang masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut
mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan sengit terhadap kompeni.
Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 – 1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC
menyerbu Makasar, pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan
Pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang dipimpin oleh
Speelman, menyerang pelabuhan Makasar dari laut, sedangkan pasukan Aru Palaka mendarat di
Bonthain dan berhasil mendorong suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan
Hasanudin serta melakukan penyerbuan ke Makasar.

Peperangan berlangsung seru dan cukup lama, tetapi pada saat itu Kota Makassar masih dapat
dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Pada akhir kesempatan itu, Sultan Hasanudin terdesak dan
dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Perlawanan rakyat Makasar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor penyebab
kegagalan rakyat Makasar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan
Hasanudin dengan Aru Palaka. Perlawanan rakyat Makasar selanjutnya dilakukan dalam bentuk
lain, seperti membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap
VOC. Peperangan terhadap VOC yang dipimpin oelh Sultan Hasanudin adalah yang terbesar
sepanjang sejarah di Makassar.

14. Perlawanan Rakyat Bone

Penguasa Kerajaan Bone merasa tertipu dengan hadirnya Inggris di Sulawesi Selatan.
Menurut penguasa Kerajaan Bone, tindakan menyerahkan wilayah Sulawesi Selatan tidak sesuai
dengan Perjanjian Bungaya. Salah satu isi dari Perjanjian Bungaya 1667/1669, pasal 6 yang
berisi antara lain bahwa orang-orang Inggris harus diusir dari Celebes (Stapel,1922:356). Isi
perjanjian itu menunjukkan bahwa tidak ada satu kuasa pun yang diperbolehkan bercokol di
wilayah ini kecuali Belanda. Oleh karena itu, tindakan Belanda memberi kewenangan kepada
Inggris mendapat tantangan dari Bone. Kehadiran Inggris di mana-mana mendapat penolakan.
Bangsa Inggris yang menganggap bahwa kehadirannya di wilayah ini atas restu Belanda, tidak
tinggal diam atas perlakuan yang dilakukan oleh para penguasa Bone dan para sekutunya. Inggris
tidak habis pikir bagaimana mungkin Kerajaan Bone dapat bertindak sangat arogan terhadap
kehadirannya. Penguasa Kerajaan Bone dipandang terlalu berani melakukan penolakan secara
terbuka terhadap kehadiran Inggris. Melihat sikap politik penguasa Bone itu, Inggris melakukan
penelitian untuk mencari tahu mengapa sikap itu muncul. Hasil penyelidikan itu menunjukkan
bahwa sikap arogan itu muncul karena kekuasaan Kerajaan Gowa merosot sejak kekalahannya
melawan VOC pada tahun 1667. Oleh karena itu, Pemerintah Inggris mencoba membangun
kembali kekuasaan Kerajaan Gowa. Langkah pertama yang dilakukan adalah meminta penguasa
Bone untuk mengembalikan kalompoang Kerajaan Gowa yang ketika itu berada di tangan
penguasa Kerajaan Bone. Pengambil alihan kalompoang itu menjadikan sebagian besar rakyat
Gowa yang berada di daerah pedalaman menolak untuk mengakui raja Gowa dan beralih
kesetiaannya kepada raja Bone.
Penolakan penguasa Kerajaan Bone terhadap kehadiran Inggris di wilayah bekas
kekekuasaan VOC tidak semata persoalan kalompoang. Jauh sebelumnya, ketika La Tenritappu
berkuasa (1775-1812), telah memperlihatkan rasa ketidak senangannya terhadap penjajah,
terutama VOC ketika itu. Penolakan itu ditunjukkan ketika raja Bone tidak mengakui lagi
Perjanjian Bungaya. Selain itu, raja Bone mulai melakukan campur tangan di dalam beberapa
kerajaan seiring dengan makin melemahnya kekuasaan VOC. Pihak Kerajaan Bone juga
memberi isyarat bersyarat kepada Inggris yang berkuasa. Raja Bone pengganti La Tenritappu, La
Mappatunru To Appasessu, meminta kepad Inggris untuk mengakui keberadaan hak-hak
istimewa yang selama ini dipegang oleh Belanda (VOC). Hak istimewa itu adalah kewajiban
bagi setiap penguasa di wilayah ini yang ingin bertemu dengan perwakilan Inggris (dahulu VOC)
harus ditemani atau setidaknya meminta izin dengan penguasa Bone. Atas keinginan Bone,
Inggris menolak karena hal itu dianggap hanya berlaku di masa kekuasaan VOC tetapi tidak bagi
Inggris. Beberapa kebi jakan yang sudah berlangsung, seperti halnya pembayaran pajak
persepuluh yang dipungut oleh Belanda dan diterima juga oleh Bone, mulai dipersoalkan. Bagi
Kerajaan Bone tindakan yang dilakukan oleh VOC dapat diterima karena kerjasama yang sudah
berlangsung lama. Namun penguasa Kerajaan Bone menolak jika penarikan pajak itu dilakukan
oleh Inggris. Penguasa Kerajaan Bone menghasut agar para petani di Maros tidak lagi membayar
pajak persepuluh itu. Tindakan yang dilakukan oleh penguasa Kerajaan Bone itu membangkitkan
kemarahan pihak Inggris, karena apa yang dilakukan Inggris itu hanyalah melanjutkan apa yang
sudah terjadi sebelumnya. Kehadiran Inggris di bekas wilayah kekuasaan VOC sebelumnya,
sedikit banyak menghambat keinginan para penguasa Kerajaan Bone untuk merangkul Kerajaan
Gowa dalam satu ikatan pengaruh. Pada waktu terjadi kemelut sehubungan dengan kalompoang
yang sempat berada di tangan Arung Mampu dan sebagian rakyat Gowa memberikan kepatuhan
kepadanya, raja Bone memberi lampu hijau mendukung Arung mampu untuk menjadi raja di
Kerajaan Gowa. Meskipun demikian, Inggris menolak dengan pertimbangan bahwa hal itu
membuat Kerajaan Gowa semakin terpuruk dan perimbangan kekuasaan di daerah ini semakin
pincang. Jika dilihat secara keseluruhan, maka dapat diberi catatan bahwa perlawanan Kerajaan
Bone terhadap Inggris disebabkan oleh beberapamasalah antara lain:
1. Bone menuntut supaya raja-raja di Sulawesi Selatan yang hendak menemui residen atau
pembesar Inggris harus melalui raja Bone hal yang demikian ini ditolak oleh Inggris.
2. Bone menentang pajak persepuluh yang dipungut oleh Belanda yang kemudian
diteruskan oleh pihak Inggris pada daerah kekuasaannya seperti yang tercantum di dalam
Perjanjian Bungaya.
3. Mengembalikan pusaka Kerajaan Gowa (kalompoang) yang ada di tangan raja Bone.
4. Raja Bone La Mappatunru Aru Palakka menghendaki dan mengakui Arung Mampu
sebagai raja Gowa, sedang Inggris tidak setuju yang merasa khawatir jangan sampai
Bone mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Gowa.
5. Raja Bone tidak mengakui hak yang dipertuan orang Inggris di daerah-daerah Maros,
Bantaeng, dan Bulukumba.
6. Raja Bone menuntut kedudukan yang wajar dan layak dalam soal pemerintahan di
Sulawesi Selatan di samping wakil pemerintah Inggris (Sagimun,1964:156).
15. Perlawanan Kerajaan Buton

Negri Buton di kenal dengan bidang pertahanannya yang menetapkan sistem pertahanan
rakyat semesta dengan berpijak pada filosofi, yaitu sebagai berikut:
1. Yinda yindamo arata somanamon kuro( harta rela di korbankan demi keselematan diri)
2. Yinda yindamo karo somanamon lipu ( raga rela di korbankan demi keselematan diri)
3. Yinda yindamo lipu somanamon sara ( negeri rela di korbankan demi keselematan
pemerintah)
4. Yinda yindamo sara somanamon agama ( pemerintah rela di korbankan demi
keselamatan agama)
Di sampin mempertahankan sistem pertahanan rakyat, Kesultanan Buton juga
membentuk sistem pertahanan berlapis yang di kenal dengan 4 barata (wuna, tiworo, kulisusu,
kalidupa), 4 matana sorumba (wabula, lapandewa, watumotobe, dan mawasangka), serta 4 bhisa
pertamiana. Empat orang yang ditugaskan dibidang pertahanan kebatinan
Di dalam memperkokoh pertahanan di dalam negri, Kesultanan Buton membangun
benteng dan kubu-kubu untuk melinndungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala
ancaman eksternal. Meskipun demikian, Buton mengalami masa surutnya sesudah terealisasinya
perjanjian dengan Belanda (1873), Rja Konawe-Laiwui (1858-1885), dan Datu Luwu (1861 dan
1887).
Dari isi perjanjian dengan Belanda, Raja Konawe-Laiwui dan Datu Luwu sangat
merugikan bagi kesultanan Buton. Berpijak dari alasan ini, Buton berjuangan uantuk
mempertahankan diri melawan Belanda sampai titik darah penghabisan. Karena kuatnya pasukan
Buton, Belanda baru bisa menempatkan pasukannya ddi wilayah Buton pada tahun 1906

16. Perlawanan Yogyakarta.

Perlawanan terhadap VOC dilakukan oleh pangeran Mangkubumi yang resmi bergelar
Hamengkubuwono I pada tahun 1757. meskipun idak sebesar Mataram, namun perlawanan
kerajaan Yogyakarta cukup merepotkan VOC.

17. Perlawanan Kerajaan Surakarta.

Kerajaan Surakarta adalah pecahan dari Mataram. Dalam sejarah Indonesia, Surakarta
Surakarta tidak segarang daerah lainnya dalam melawan VOC. Meskipun demikian, banyak
tokoh terkemuka seperti Mas Said atau Mangkunegaran I (Kartodirjo, 1999:234).
18. Perlawanan Rakyat Riau

Ambisi untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai daerah di


Nusantara terus dilakukan oleh VOC. Di samping menguasai berbagai daerah di Nusantara terus
dilakukan oleh VOC. Dengan politik memecah belah VOC mulai berhasil menanamkan
pengaruhnya di Riau. Kerajaan-kerajaan kecil seperti Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar
semakin terdesak oleh pemaksaan monopoli dan tindakan sewenang-wenang dari VOC. Oleh
karena itu, beberapa kerajaan mulai melancarkan perlawanan.

Raja Siak sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1744) memimpin rakyatnya untuk
melawan VOC. Setelah berhasil merebut Jolor kemudian ia membuat benteng pertahanan di
pulau Bintan. Dari pertahanan di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan
di bawah Komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka. Dalam suasana konfrontasi
dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syeh wafat. Sebagai gantinya diangkatlah puteranya
yang bernama Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746-1760). Raja ini juga memiliki naluri
seperti ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka dan sebagai komandan
perangnya adalah Raja Indra Pahlawan.

Dalam suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat.
Sebagai gantinya diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah
(1746-1760). Raja ini juga memiliki naluri seperti ayahandanya yang ingin selalu memerangi
VOC di Malaka dan sebagai komandan perangnya adalah Raja Indra Pahlawan. Tahun 1751
berkobar perang melawan VOC. Sebagai strategi menghadapi serangan Raja Siak, VOC
berusaha memutus jalur perdagangan menuju siak. VOC mendirikan benteng pertahanan di
sepanjang jalur yang menghubungkan Sungai Idragiri, Kampar, sampai pulau Guntung yang
berada di Muara Sungai Siak.

Sultan Siak bersama para panglima dan penasihat mengatur siasat baru. Disepakati bahwa VOC
harus dilawan dengan tipu daya. Sultan diminta berpura-pura berdamai dengan cara memberikan
hadiah kepada Belanda. Oleh Karena itu, siasat ini dikenal dengan “siasat hadiah sultan”. VOC
setuju dengan ajakan damai ini. Perundingan damai diadakan di loji di Pulau Guntung.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.plengdut.com/perlawanan-rakyat-dan-bangsa-indonesia/872/

https://lathifahirbah.wordpress.com/2014/10/28/perlawanan-rakyat-nusantara-terhadap-portugis-
dan-voc/

Hall, D.G.E, Sejarah Asia Tenggara, ( terjemahan dari “ A History of South East Asia “),
Macmillan & Co., London, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pelajaran Malaysia, Kuala
Lumpur, 1972.

Http//:www. Gerakan nasionalisme di Indochina.html.com (diakses pada tgl 20 Maret 2016).


Tugas Individu

SEJARAH NASIONALISME INDONESIA


"Cara Kerjaan Atau Rakyat Indonesia Mempertahankan Kekuasaan Dan Daerahnya"

OLEH:
RIKKI OKTAVIAN
A1N216092
IPS.B

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH KONSENTRASI PENDIDIKAN IPS


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018

Anda mungkin juga menyukai