Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Asfiksia Neonatorum

2.1.1 Definisi

Asfiksia neonaturium adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahir tidak

dapat bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Wiknjosastro, 2005).

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas secara

spontan dan teratur (APN, 2007).

Asfiksia merupakan hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis.

Bila proses ini berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan otak atau

kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya

(Saifuddin, 2009).

Asfiksia adalah keadaan bayi yang tidak bernafas secara spontan dan teratur

segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin

akan mengalami asfiksia sesudah persalinan (JNPK-KR, 2008).

WHO (2012) menyebutkan bahwa asfiksia adalah kegagalan bernapas

secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Sedangkan menurut Ikatan Dokter

Anak Indonesia, asfiksia adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada

saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,

hiperkarbia dan asidosis (Depkes RI, 2008).

AAP dan ACOG (2004) dalam IDAI (2012) menyebutkan asfiksia perinatal

pada seorang bayi menunjukkan karakteristik sebagai berikut yaitu asidemia

metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik) yang jelas yaitu PH <7

4
5

pada sampel darah yang diambil dari arteri umbilikal, nilai APGAR 0-3 pada

menit ke-5, manifestasi nerologi pada periode BBL segera, termasuk kejang,

hipotonia, koma atau ensefalopatia hipoksik iskemik dan terjadi disfungsi sistem

multiorgan segera pada periode bayi baru lahir.

2.1.2 Etiologi

Menurut IDAI (2012) terdapat beberapa faktor risiko terjadinya asfiksia

pada bayi baru lahir yaitu:

1. Faktor risiko antepartum meliputi :

Diabetes, hipertensi, anemia janin, perdarahan pada trimester I dan

II, infeksi ibu, ibu dengan penyakit jantung, ginjal, paru dan tiroid,

polihidramnion dan oligohidramnion, ketuban pecah dini, kehamilan

lewat waktu, malformasi/anomali janin dan usia <16 atau >35 tahun.

2. Faktor risiko intrapartum meliputi:

Seksio caesaria, kelahiran dengan forcep/vacum, kelahiran kurang

bulan, korioamniotis, ketuban pecah lama, partus lama, penggunaan

anastesi, hiperstimulus uterus, prolaps tali pusat, solusio plasenta dan

plasenta previa.

Sedangkan etiologi asfiksia neonatorum menurut JNPK-KR (2008) adalah :

1. Beberapa keadaan ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui

plasenta berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin berkurang,

akibatnya terjadi gawat janin. Keadaan ini menyebabkan asfiksia pada

bayi baru lahir. Keadaan ibu meliputi : preeklamsi dan eklamsi,

perdarahan abnormal (plasenta previa dan solusio plasenta, partus lama

5
6

atau partus macet, demam selama persalinan, infeksi berat dan kehamilan

post matur.

2. Keadaan yang berakibat penurunan aliran darah dan oksigen melalui ke

bayi yaitu keadaan tali pusat bayi meliputi : lilitan tali pusat, tali pusat

pendek, simpul tali pusat dan prolaps tali pusat dan keadaan bayi

meliputi : bayi prematur, persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar,

distosia bahu, ekstraksi vakum dan forsep, kelainan kongenital).

2.1.3 Patofisiologi

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan

untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru

janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.

Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena

konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang

bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta. Setelah

lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama

oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru dan

alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan

oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli (Fraser, 2009).

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan

menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan

tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen

dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah

6
7

paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi

akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan (Fraser, 2009)

Bila terdapat gangguan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama kehamilan

dan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan

mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan

kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung

kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu

periode apnu (primary apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung

selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas yang kemudian diikuti oleh

pernafasan teratur.

Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi

selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (secondary apnea). Pada tingkat

ini ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah (Varney, 2008).

Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan

metabolisme dan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama

dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidoris respiratorik, bila

gangguan berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme anaerobik yang

berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada

jantung dan hati akan berkurang, akibat metabolisme ini menyebabkan

tumbuhnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi

perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya

hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung

terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan

termasuk otot jantung sehinga menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian

7
8

udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan akan tingginya

resistensinya pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan kesistem

tubuh lain akan mengalami gangguan. (Varney,2008)

Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh

berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan

kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya (Morales, at. al.

2011).

Dalam garis besar perubahan-perubahan yang terjadi pada asfiksia adalah:

1. Menurunnya tekanan O2 arterial

2. Meningkatnya tekanan CO2

3. Turunnya pH darah

4. Dipakainya simpanan glikogen tubuh untuk metabolismus

anaerobik.

5. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskuler.

(Wiknjosastro, 2005

2.1.4 Diagnosis

2.1.4.1 Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan gangguan/kesulitan bernapas waktu lahir

dan lahir tidak bernafas/menangis. Pada anamnesis juga diarahkan untuk mencari

faktor resiko.

1. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, skor apgar dipakai untuk

menentukan derajat berat ringannya asfiksia yaitu :

8
9

Tabel 1. APGAR Skor


Tanda 0 1 2
Frekuensi Jantung Tidak ada Kurang dari 100/menit Lebih dari 100/menit
Usaha Bernafas Tidak ada Lambat, tidak teratur Menangis kuat
Tonus Otot Lumpuh Ekstrimitas Flexi Sedikit Gerakan Aktif
Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
Warna Biru/ pucat Tubuh kemerahan Tubuh dan ekstremitas
ekstrimitas biru kemerahan
Keterangan :
Skor Apgar 7-10 : Asfiksia ringan
Skor Apgar 4-6 : Asfiksia sedang
Skor Apgar 0-3 : Asfiksia berat

2. Pemeriksaan Penunjang

Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksia terdiri dari :

a. pH (normal 7,35-7,45). Kadar pH cenderung turun terjadi

asidosis metabolik.

b. PCO2 (normal 35-45 mmHg) kadar PCO2 pada bayi post

asfiksia cenderung naik sering terjadi hiperapnea.

c. PO2 (normal 50-70 mmHg), kadar PO2 pada bayi post asfiksia

cenderung turun karena terjadi hipoksia progresif.

2.1.5 Komplikasi

Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan

dapat pula terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan

hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti

otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak

dibandingkan organ lain seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ

rongga abdomen dan rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal dan traktus

gastrointestinal.

9
10

Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk

menghasilkan energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses

glikolisis anerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat)

menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH

darah sehingga terjadilah asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi dan

metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik

sementara ataupun menetap. Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi

akan lebih berat dibandingkan dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya

faktor redistribusi aliran darah terutama aliran darah otak, sehingga risiko

terjadinya gangguan hipoksik iskemik dan perdarahan periventrikular lebih tinggi.

Demikian pula disfungsi jantung akibat proses hipoksik iskemik ini sering

berakhir dengan payah jantung (Morales, at. al, 2011).

1. Disfungsi multi organ

Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh

tersebut sangat bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia,

selang waktu antara pemeriksaan keadaan hipoksia akut. Beberapa

penelitian melaporkan, organ yang paling sering mengalami

gangguan adalah susunan saraf pusat. Pada asfiksia neonatus,

gangguan fungsi susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan

gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure). Kelainan

susunan saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ lain,

hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal.

2. Sistem saraf pusat

Pada keadaan hipoksia, aliran darah ke otak dan jantung lebih

dipertahankan dari pada ke organ tubuh lainnya, namun terjadi

10
11

perubahan hemodinamik di otak dan penurunan oksigenisasi sel

otak tertentu yang selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel otak.

Pada saat timbulnya hipoksia akut atau saat pemulihan pasca

hipoksia terjadi dua proses yang saling berkaitan sebagai penyebab

perdarahan peri/intraventrikular.

Pada proses pertama, hipoksia akut yang terjadi menimbulkan

vasodilatasi serebral dan peninggian aliran darah serebral. Keadaan

tersebut menimbulkan peninggian tekanan darah arterial yang

bersifat sementara dan proses ini ditemukan pula pada sirkulasi

kapiler di daerah matriks germinal yang mengakibatkan

perdarahan. Selanjutnya keadaan iskemia dapat pula terjadi akibat

perdarahan ataupun renjatan pasca perdarahan yang akan

memperberat keadaan penderita. Pada proses kedua, perdarahan

dapat terjadi pada fase pemulihan pasca hipoksia akibat adanya

proses reperfusi dan hipotensi sehingga menimbulkan iskemia di

daerah mikrosirkulasi periventrikular yang berakhir dengan

perdarahan.

3. Sistem pernapasan

Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita

asfiksia neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti.

Beberapa teori mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat

langsung hipoksia dan iskemianya atau dapat pula terjadi karena

adanya disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya

radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan

timbulnya aspirasi mekonium.

11
12

4. Sistem kardiovaskuler

Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi

miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi

miokardium terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai

dengan kerusakan sel miokard terutama di daerah subendokardial

dan otot papilaris kedua bilik jantung.

5. Sistem urogenital

Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan

gangguan perfusi dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi

glomerulus. Aliran darah yang kurang menyebabkan nekrosis

tubulus dan perdarahan medula.

6. Sistem gastrointestinal

Kelainan saluran cerna ini terjadi karena radikal bebas oksigen

yang terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti

gangguan koagulasi dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel

dinding usus. Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan

ringan yang bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan

intoleransi makanan atau adanya darah dalam residu lambung

sampai kelainan perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikans

kolestasis dan nekrosis hepar.

7. Sistem audiovisual

Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat

terjadi secara langsung karena proses hipoksia dan iskemia ataupun

tidak langsung akibat hipoksia iskernia susunan saraf pusat atau

12
13

jaras-jaras yang terkait yang menimbulkan kerusakan pada pusat

pendengaran dan penglihatan.

2.1.6 Prognosa

1. Asfiksia ringan : Baik

2. Asfiksia Sedang tergantung kecepatan pentalaksanaan bila cepat prognosa

baik.

3. Asfiksia berat dapat menimbulkan kematian pada hari-hari pertama, atau

kelainan syaraf permanen. Asfiksia dengan pH 6,9 dapat menyebabkan

kejang, sampai koma dan kelainan neurologis yang permanent, misalnya

cerebral palsy, mental retardation.

2.1.7 Penatalaksanaan

2.1.7.1 Tujuan

Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan

hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul dikemudian

hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi bayi baru

lahir. Prinsip dasar resusitasi adalah memberikan lingkungan yang baik pada bayi

dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya

pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancar dan

memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha

pernafasan lemah. Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi

dalam mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil

membutuhkan berbagai derajat resusitasi (JNPK-KR, 2008).

Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa faktor waktu

sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, perubahan homeostatis yang

13
14

timbul makin berat, resusitasi akan lebih sulit. Riwayat kehamilan dan partus akan

memberikan keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi

pernafasan pada bayi baru lahir. Resusitasi yang dilakukan harus adekuat sesuai

dengan penilaian yang diperoleh pada bayi baru lahir.

2.1.7.2 Prinsip

1. Prinsip Resusitasi Menurut Manuaba (2010)

a. Kepala bayi diletakkan pada posisi yang lebih rendah.

b. Bersihkan jalan napas dari lendir, mulut dan tenggorok, saluran

napas bagian atas.

c. Mengurangi kehilangan panas badan bayi dengan kain hangat.

d. Memberikan rangsangan menangis: menepuk telapak kaki, atau

menekan tendon pada tumit bayi.

e. Dalam ruang gawat darurat bayi selalu tersedia penghisap lendir

bayi dan O2 dengan maskernya.

2. Prinsip Resusitasi Menurut Hidayat (2008)

Merupakan tindakan dengan mempertahankan jalan napas agar

tetap baik, sehingga proses oksigenasi cukup agar sirkulasi darah tetap

baik. Cara mengatasi asfiksia adalah sebagai berikut :

a. Asfiksia Ringan APGAR skor (7 – 10)

Cara mengatasinya:

1) Bayi dibungkus dengan kain hangat

2) Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada

hidung kemudian mulut.

3) Bersihkan badan dan tali pusat.

14
15

4) Lakukan observasi tanda vital, pantau APGAR skor, dan

masukan kedalam incubator.

b. Asfiksia Sedang APGAR skor (4 – 6)

Cara mengatasinya:

1) Bersikan jalan napas.

2) Berikan oksigen 2 liter per menit.

3) Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki.

Apabila belum ada reaksi, bantu pernapasan dengan

masker (ambubag)

4) Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis,

berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Dektrosa

40% sebanyak 4 cc disuntikan melalui vena umbilikus

secara berlahan-lahan untuk mencegah tekanan

intrakranial meningkat.

c. Asfiksia Berat APGAR skor (0 – 3)

Cara mengatasinya :

1) Bersikan jalan napas sambil pompa melalui ambubag.

2) Berikan oksigen 4-5 liter per menit.

3) Bila tidak berhasil, lakukan pemasangan ETT

(endotracheal tube).

4) Bersikan jalan napas dengan ETT.

5) Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis

berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc.

Selanjutnya berikan dekstrosa 40% sebanyak 4 cc.

15
16

3. Prinsip Resusitasi Menurut Benson (2010)

a. Apgar 7 atau lebih

Neonatus tidak perlu bantuan apapun

b. Apgar 4 – 6

1) Lanjutkan stimulasi dengan menggosok kaki, dada atau

vertebra.

2) Pastikan bahwa neonatus kering dan hangat.

3) Memberi bantuan pernapasan dengan ventilasi

menggunakan oksigen 100% dengan masker wajah dan

hati-hati berikan pernapasan dengan kecepatan 40-

50/menit.

4) Lanjutkan observasi komponen Apgar yang lain, terutama

frekuensi jantung, warna, gerakan dan usaha pernapasan.

c. Apgar 0 - 3

Neonatus memerluakan bantuan lebih banyak tindakan resusitasi

bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan

ABC resusitasi:

1) Airway (Memastikan saluran pernafasan terbuka)

a) Mengatur posisi neonatus dengan tepat (Kepala harus

berlahan-lahan diletakkan dalam posisi hiperekstensi

bahu diganjal untuk menghilangkan obstruksi jaringan

lunak trakea yang potensial).

b) Membersihkan saluran pernapasan bayi.

16
17

c) Menghisap hidung dan mulut dengan hati-hati selama

10 – 15 menit.

2) Breathing (Memulai pernafasan)

a) Memakai rangsangan taktil untuk memulai pernafasan.

b) Memberikan oksigen dengan kantung dan masker

dengan kecepatan 40 – 50 pernapasan /menit.

3) Circulation

a) Rangsangan dan pertahanan sirkulasi darah dengan cara

kompresi jantung, dilakukan dengan cara kompresi

dada yang lebih cepat dan memerlukan tenaga yang

ringan.

- Ini harus dilakukan dengan kecepatan 120

denyut/menit.

- Sternum harus ditekan sejauh 1 - 1,5 cm.

- Gunakan ujung jari tangan II dan III pada sepertiga

tengah sternum atau kedua ibu jari tangan

sedangkan kedua tangan menscekram toraks

dengan hati-hati.

b) Pemberian obat-obatan.

2.1.7.3 Algoritma Resusitasi

Menurut IDAI (2012) secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti

algoritma resusitasi neonatal yaitu :

1. Penilaian awal BBL

17
18

Penilaian awal dilakukan pada setiap BBl untuk menetukan apakah

tindakan resusitasi harus segera dimulai. Pada pemeriksaan atau

penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4 pertanyaan yaitu :

apakah bayi cukup bulan, apakah air ketuban jernih, apakah bayi

bernapas atau menangis dan apakah tonus otot bayi baik atau kuat.

Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan

dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi

dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen

kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah

satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa

tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan yaitu :

2. Langkah awal dalam resusitasi

a. Memberikan kehangatan

Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas dalam keadaan

telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan

eksplorasi seluruh tubuh. Bayi dengan BBLR memiliki

kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapat

perlakuan khusus.

b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya.

Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam

posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu

garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini

adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan

sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.

18
19

c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah

bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila

terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar

(bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan

frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan

penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah

sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-

langkah pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam

trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan

daerah mulut, faring dan trakea sampai glottis Bila terdapat

mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar,

pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi

tanpa mekoneum.

d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada

posisi yang benar

Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan

mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk

memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan

sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka

perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau

menyentil telapak kaki atau dengan menggosok punggung, tubuh

atau ekstremitas bayi. Bayi yang berada dalam apnu primer akan

bereaksi pada hampir semua rangsangan, sementara bayi yang

19
20

berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan

menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua

tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung.

3. Penilaian

Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu

tidaknya resusitasi lanjutan.

a. Frekuensi jantung

Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan

bunyi jantung dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian

dikalikan 10 sehingga akan dapat diketahui frekuensi jantung

permenit.

b. Warna kulit

Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh

tubuh. Setelah frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak

boleh ada sianosis sentral yang menandakan hipoksemia. Warna

kulit bayi yang berubah dari biru menjadi kemerahan adalah

petanda yang paling cepat akan adanya pernapasan dan sirkulasi

yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis sentral belum tentu

menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak perlu diberikan

terapi oksigen. Hanya sianosis sentral yang memerlukan intervensi.

Tanda vital yang perlu dinilai adalah pernapasan. Resusitasi

berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan

dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil.

20
21

Pernapasan yang megap-megap adalah pernapasan yang tidak

efektif dan memerlukan intervensi lanjutan.

4. Pemberian oksigen

Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan

oksigen. Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan

menggunakan sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak

mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan selang/pipa oksigen.

Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila

tidak terdapat sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi

oksigen tetap baik walaupun konsentrasi oksigen sama dengan

konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis, maka

pemberian oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang.

Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan

oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal.

5. Ventilasi Tekanan Positif

Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah

resusitasi lanjutan bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi

bernapas atau frekuensi jantungnya tetap kurang dari 100x/menit.

Sebelum melakukan VTP harus dipastikan tidak ada kelainan

congenital seperti hernia diafragmatika, karena bayi dengan hernia

diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat VTP.

Bila bayi diperkirakan akan mendapat VTP dalam waktu yang cukup

lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan selang

21
22

orogastrik untuk menghindari distensi abdomen. Kontraindikasi

penggunaan ventilasi tekanan positif adalah hernia diafragma.

6. Kompresi dada

Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari

60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik.

Tindakan kompresi dada (cardiac massage) terdiri dari kompresi yang

teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke arah tulang

belakang, meningkatkan tekanan intratorakal dan memperbaiki sirkulasi

darah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika

paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan 2 orang untuk melakukan

kompresi dada yang efektif-satu orang menekan dada dan yang lainnya

melanjutkan ventilasi. Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan

frekuensi jantung, dan suara napas selama ventilasi tekanan positif.

Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara bergantian.

7. Intubasi endotrakeal

Intubasi endotrakeal dapat dilakukan pada setiap tahapan resusitasi

sesuatu dengan keadaan, antara lain beberapa keadaan berikut saat

resusitasi. Jika terdapat mekoneum dan bayi mengalami depresi

pernapasan, maka intubasi dilakukan sebagai langkah pertama sebelum

melakukan tindakan resusitasi yang lain, untuk membersihkan

mekoneum dari jalan napas. Jika ventilasi tekanan positif tidak cukup

menghasilkan perbaikan kondisi, pengembangan dada, atau jika

ventilasi tekanan positif berlangsung lebih dari beberapa menit, dapat

dilakukan intubasi untuk membantu memudahkan ventilasi. Jika

22
23

diperlukan kompresi dada, intubasi dapat membantu koordinasi antara

kompresi dada dan ventilasi, serta memaksimalkan efisiensi ventilasi

tekanan positif. Jika epinefrin diperlukan untuk menstimulasi frekuensi

jantung maka cara yang umum adalah memberikan epinefrin langsung

ke trakea melalui pipa endotrakeal sambil menunggu akses intravena.

Obat-obatan jarang diberikan pada resusitasi bayi baru lahir.

Bradikardi pada bayi baru lahir biasanya disebabkan oleh

ketidaksempurnaan pengembangan dada atau hipoksemia, dimana

kedua hal tersebut harus dikoreksi dengan pemberian ventilasi yang

adekuat. Namun bila bradikardi tetap terjadi setelah VTP dan kompresi

dada yang adekuat, obat-obatan seperti epinefrin atau volume ekspander

dapat diberikan.

8. Penghentian resusitasi.

Bila tidak ada upaya bernapas dan denyut jantung setelah 10 menit,

setelah usaha resusitasi yang menyeluruh dan adekuat dan penyebab

lain telah disingkirkan, maka resusitasi dapat dihentikan. Data mutakhir

menunjukkan bahwa setelah henti jantung selama 10 menit, sangat tipis

kemungkinan selamat dan yang selamat biasanya menderita cacat

berat.

23
24

Gambar 2. Algoritma Resusitasi Asfiksia Neonatorum

24
25

2.1.8 Kajian Asuhan Kebidanan Asfiksia Neonatorum

2.1.8.1 Pengkajian

I. Data Subyektif

A. Biodata

Sering terjadi pada bayi baru lahir.

B. Riwayat antenatal

Yang perlu dikaji atau diketahui dari riwayat antenatal pada kasus

asfiksia yaitu :

- Keadaan ibu selama hamil dengan anemia, hipertensi, gizi

buruk, merokok

- Ketergantungan obat-obatan atau dengan penyakit seperti

diabetes mellitus, kardiovaskuler dan paru.

(Wiknjosastro.2005:709)

- Kehamilan dengan resiko persalinan preterm misalnya

kelahiran multiple, inkompetensia serviks, hidramnion,

kelainan kongenital, riwayat persalinan preterm.

- Pemeriksaan kehamilan yang tidak kontinuitas atau periksa

tetapi tidak teratur dan periksa kehamilan tidak pada petugas

kesehatan.

- Gerakan janin selama kehamilan aktif atau semakin menurun.

- Hari pertama hari terakhir tidak sesuai dengan usia kehamilan

(kehamilan postdate atau preterm) (APN, 2007).

C. Riwayat intranatal

Komplikasi persalinan juga mempunyai kaitan yang sangat erat

dengan permasalahan pada bayi baru lahir. Yang perlu dikaji :

25
26

- Kala I : ketuban keruh, berbau, mekoneal, perdarahan

antepartum baik solusio plasenta maupun plasenta previa.

(APN, 2007)

- Kala II : Persalinan atau kelahiran dengan komplikasi atau

sulit, gawat janin,persalinan dengan tindakan (Pamilih, 2007).

- Adanya trauma lahir yang dapat mengganggu sistem

pernafasan.

- Persalinan dengan tindakan bedah caesar, karena pemakaian

obat penenang (narkose) yang dapat menekan sistem pusat

pernafasan (Wiknjosastro, 2005)

D. Riwayat postnatal

Yang perlu dikaji antara lain :

- Apgar score bayi baru lahir 1 menit pertama dan 5 menit kedua

AS (0-3) asfiksia berat, AS (4-6) asfiksia sedang, AS (7-10)

asfiksia ringan. Akan tetapi penilaian bayi harus dimulai

segera sesudah bayi lahir, penilaian untuk resusitasi semata-

mata ditentukan oleh 3 hal yaitu : pernafasan, denyut jantung

dan warna kulit (Saifuddin, 2006).

- Berat badan Lahir : kurang atau lebih dari normal (2500-4000

gram). Bayi kecil atau kurang dari 2,5 kg pada saat lahir atau

lahir sebelum usia gestasi 37 minggu (Pamilih, 2007).

- Adanya kelainan kongenital : Hernia diafragmatika, atresia

saluran pernafasan, hipoplasia paru-paru (Wiknjosastro, 2005).

E. Pola nutrisi

26
27

Yang perlu dikaji pada bayi dengan post asfiksia gangguan

absorbsi gastrointentinal, muntah aspirasi, kelemahan menghisap

sehingga perlu diberikan cairan parentral atau personde sesuai

dengan kondisi bayi untuk mencukupi kebutuhan elektrolit, cairan,

kalori dan juga untuk mengkoreksi dehidrasi, asidosis metabolik,

hipoglikemi disamping untuk pemberian obat intravena.

F. Latar belakang sosial budaya

- Kebiasaan ibu merokok, ketergantungan obat-obatan tertentu

terutama jenis psikotropika

- Kebiasaan ibu mengkonsumsi minuman beralkohol

- Kebiasaan ibu melakukan diet ketat atau pantang makanan

tertentu.

G. Hubungan psikologis

Sebaiknya segera setelah bayi baru lahir dilakukan rawat gabung

dengan ibu jika kondisi bayi memungkinkan. Hal ini berguna

sekali dimana bayi akan mendapatkan kasih sayang dan perhatian

serta dapat mempererat hubungan psikologis antara ibu dan bayi.

Lain halnya dengan asfiksia karena memerlukan perawatan yang

intensif.

H. Eliminasi

Intake makanan mungkin terhambat,warna urine kuning

jernih,warna feses mekonium dengan konsistensi cair.

27
28

Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi

adanya mekonium dalam air ketuban pad presentasi kepala

menunjukkan gangguan oksigenasi (Wiknjosastro, 2005).

II. Data Objektif

A. Keadaan Umum

Pada neonatus post asfiksia berat, keadaannya lemah dan hanya

merintih. Keadaan akan membaik bila menunjukkan gerakan yang

aktif dan menangis keras. Kesadaran neonatus dapat dilihat dari

responnya terhadap rangsangan. Adanya BB yang stabil, panjang

badan sesuai dengan usianya tidak ada pembesaran lingkar kepala

dapat menunjukkan kondisi neonatus yang baik.

B. Tanda-Tanda Vital

- Untuk bayi preterm beresiko terjadinya hipothermi bila suhu

tubuh < 36°C dan beresiko terjadi hipertermi bila suhu tubuh <

37 °C. Sedangkan suhu normal tubuh antara 36,5°C – 37,50C

(Pamilih, 2007).

- Frekuensi jantung normal antara 120-140 kali per menit, tapi

bukan hal yang luar biasa jika frekuensi jantung lebih dari 160

x/menit selama periode waktu yang singkat selama beberapa

hari pertama kehidupan, khususnya jika bayi mengalami

kegawatdaruratan.

- Frekuensi pernafasan yang secara konsisten lebih dari 60

x/menit atau kurang dari 30 x/menit. Apnea/henti nafas

spontan selama lebih dari 20 detik. Sedangkan respirasi normal

28
29

antara 30-60 kali permenit, tanpa tarikan dinding dada ke

dalam atau grunting pada saat ekspirasi

C. Pemeriksaan fisik

- Kulit

Warna kulit tubuh merah, sedangkan ekstrimitas berwarna

biru, pada bayi preterm terdapat lanogo dan verniks.

- Kepala

Kemungkinan ditemukan caput succedaneum atau cephal

haematom, ubun-ubun besar cekung atau cembung

kemungkinan adanya peningkatan tekanan intrakranial.

- Mata

Perdarahan sub konjungtiva atau bintik merah terang dibawah

konjungtiva salah satu atau kedua mata.

- Hidung

Terdapat pernafasan cuping hidung dan terdapat penumpukan

lendir.

- Mulut

Lidah dan bibir biru atau sianosis sentral.

- Telinga

Perhatikan kebersihannya dan adanya kelainan

- Leher

Perhatikan kebersihannya karena leher neonatus pendek.

- Thorax

29
30

Bentuk simetris, terdapat tarikan intercostal, perhatikan suara

wheezing dan ronchi, frekuensi bunyi jantung lebih dari 100

kali per menit.

- Abdomen

Distensi Abdomen.

- Umbilikus

Tali pusat layu, perhatikan ada pendarahan atau tidak, adanya

tanda-tanda infeksi pada tali pusat : yaitu umbilikus berwarna

merah,bengkak, mengeluarkan pus/ berbau busuk. Umbilikus

yang normal berwarna putih kebiruan pada hari ke-1,

kemudian mulai mengering dam menyusut kemudian lepas

setelah 7-10 hari) .

- Genitalia

Pada neonatus aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan

letak muara uretra pada neonatus laki-laki, neonatus

perempuan lihat labia mayor dan labia minor, adanya sekresi

mukus keputihan, kadang perdarahan.

- Anus

Perhatiakan adanya darah dalam tinja, frekuensi buang air

besar serta warna dari feses.

- Ekstremitas

Warna biru, gerakan lemah, akral dingin, perhatikan adanya

patah tulang atau adanya kelumpuhan syaraf atau keadaan jari-

jari tangan serta jumlahnya.

- Refleks

30
31

Pada neonatus preterm post asfiksia berat reflek moro dan

sucking lemah. Reflek moro dapat memberi keterangan

mengenai keadaan susunan syaraf pusat atau adanya patah

tulang.

D. Pemeriksaan Penunjang

Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksi terdiri dari :

- pH (normal 7,35-7,45), kadar pH cenderung turun terjadi

asidosis metabolik.

- PCO2 (normal 35-45 mmHg), kadar PCO2 pada bayi post

asfiksia cenderung naik sering terjadi hiperapnea.

- PO2 (normal 50-70 mmHg), kadar PO2 pada bayi post asfiksia

cenderung turun karena terjadi hipoksia progresif.

2.1.8.2 Mengidentifikasi Diagnosa Dan Masalah

I. Diagnosa : Asfiksia Neonatorum

II. Masalah :

1. Nafas megap-megap

2. Pucat dan sianosis

3. Hipotermi

4. Nutrisi kurang

2.1.8.3 Mengidentifikasi Diagnosa Dan Masalah Potensial

I. Diagnosa potensial :

1. Edema otak & Perdarahan otak

2. Anuria atau Oliguria

3. Kejang

4. Koma

31
32

II. Masalah Potensial : Keadaan yang semakin memburuk.

2.1.8.4 Tindakan dan Kebutuhan Segera

1. Resusitasi

2. Hangatkan Bayi

2.1.8.5 Tujuan

1. Dalam waktu singkat BBL dapat menunjukkan tanda-tanda

peningkatan yang cukup baik dalam bernafas.

2. Keadaan umum bayi stabil

3. Tidak terjadi komplikasi lebih lanjut

2.1.8.6 Kriteria Hasil

1. Sianosis (-)

2. Suara nafas tidak ada(mengorok,ronkhi)

3. BBL tidak mengalami hipotermi

4. BB normal > 2500 gr

5. Keadaan Umum Baik

6. Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5°c)

7. Nadi 120-160 x / menit

8. RR 30-40 x/menit

9. Reflek Hisap baik

10. Reflek telan baik

11. Tangisan kuat

2.1.8.7 Intervensi

No. Intervensi Rasional


1. Cuci tangan sebelum dan sesudah Mencegah resiko terjadinya infeksi silang.
melakukan tindakan.

32
33

2. Selimuti bayi dengan selimut/kain Kain basah didekat tubuh bayi dapat menyerap
bersih dan hangat. panas tubuh bayi melalui proses radiasi.
3. Selimuti bagian kepala bayi. Bagian kepala bayi mempunyai luas
permukaan yang relatif luas dan bayi akan
dengan cepat kehilangan panas jika bagian
tersebut idak tertutup.
4. Tempatkan bayi pada tempat yang Mempertahankan suhu lingkungan agar bayi
hangat atau inkubator. tidak merasa dingin. Penggunaan sinar lampu
untuk pemanasan luar, mengeringkan tubuh
bayi, dan mengurangi evaporasi.
5. Pantau pemberian O2 tiap 30 menit. Membantu mempertahankan ventilasi O2 pada
paru dalam upaya mengatasi asfiksia.
6. Kaji ulang pernafasan dan pola Untuk menentukan derajat gangguangangguan
nafas, perhatikan adanya apnea dan pernafasan dan menentukan tindakan yang
perubahan frekuensi jantung tonus sesuai.
otot dan warna kulit tiap 30 menit.
7. Observasi Keadaan umum dan Untuk mengetahui adanya kelainan kelainan
TTV. pada frekuensi nadi, suhu, sedini mungkin
sehingga dapat segera ditentukan tindakan yang
sesuai.
8. Posisikan bayi dengan posisi Memudahkan drainase mukus.
dorsofleksi kepala.
9. Berikan minum ASI sedikit demi Pemenuhan kebutuhan nutrisi, makanan cukup
sedikit tapi sering. sesuai kebutuhan dapat menunjang peningkatan
BB yang adekuat dan mencegah terjadinya
dehidrasi serta merangsang reflek menghisap
dan menelan. Kemampuan menelan dan
mencerna makanan masih terbatas mengingat
hubungan esophagus bawah dan lambung
masih belum sempurna yang dapat
menyebabkan gumoh dan kapasitasnya terbatas
± 30cc.

2.1.8.8 Implementasi

1. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan

2. Menyelimuti bayi dengan selimut/kain bersih dan hangat .

33
34

3. Menyelimuti bagian kepala bayi

4. Menempatkan bayi pada tempat yang hangat atau inkubator

5. Memantau pemberian O2 tiap 30 menit.

6. Mengkaji ulang pernafasan dan pola nafas, perhatikan adanya apnea

dan perubahan frekuensi jantung tonus otot dan warna kulit tiap 30

menit.

7. Mengobservasi Keadaan umum dan TTV.

8. Memposisikan bayi dengan posisi dorso fleksi kepala

9. Memberikan minum ASI sedikit demi sedikit tapi sering.

2.1.8.9 Evaluasi

1. Kebutuhan oksigen terpenuhi.

2. Bayi tidak mengalami sianosis.

3. Hipotermi teratasi dan bebas dari tanda-tanda stress dingin.

4. Kebutuhan nutrisi bayi baru lahir terpenuhi.

(Hidayat, 2008)

34

Anda mungkin juga menyukai