Anda di halaman 1dari 11

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

A. Pengertian trauma Medula Spinalis


Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang di
akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf
parifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan atau inkomplet.
Beberapa yang berhubungan dengan trauma medula spinalis seperti :
a. Quadriplegia adalah keadaan paralisis/kelumpuhan pada ekstermitas dan terjadi akibat trauma
pada segmen thorakal 1 (T1) keatas. Kerusakan pada level akan merusak sistim syaraf otonom
khsusnya syaraf simpatis misalnya adanya gangguan pernapasan.
b. Komplit Quadriplegia adalah gambaran dari hilangnya fungsi modula karena kerusakan diatas
segmen serfikal 6 (C6).
c. Inkomplit Quadriplegia adalah hilangnya fungsi neurologi karena kerusakan dibawah segmen
serfikan 6 (C6).
d. Refpiratorik Quadriplegia (pentaplagia) adalah kerusakan yang terjadi pada serfikal pada bagian
atas (C1-C4) sehingga terjadi gangguan pernapasan.
Paraplegia adalah paralisis ekstermitas bagian bawah, terjadi akibat kerusakan pada
segmen parakal 2 (T2) kebawah.

B. Etiologi dan Faktor Resiko trauma Medula Spinalis


Adapun etiologi dan factor resiko terjadinya trauma medulla spinalis adalah
a. mengkonsumsi alkohol
b. mengkonsumsi obat-obatan saat mengendarai mobil atau sepeda motor.
Sedangkan cedara modulas spinalis dikelompokan akibat trauma dan non trauma
misalnya :
a. kecelakaan lalu lintas
b. terjatuh
c. kegiatan olahraga
d. luka tusuk atau tembak
Adapun non trauma sebagai berikut:
a. spondilitis serfikal
b. ruang miolopati
c. myelitis
d. osteoporosis
e. tumor.
C. Patofisiologi trauma Medula Spinalis
Columna vertebra berfungsi menyokong tulang belakang dan melindungi modula spinalis
serta syaraf-syarafnya. trauma medula spinalis akibat columna vertebra atau ligment. Umumnya
tempat cedara adalah pada segmen C1 -2, C4-6 dan T11 – L2. trauma modula spinalis
mengakibatkan perdarahan pada gray matter medulla, edema pada jam-jam pertama pasca
trauma.
Mekanisme utama terjadi cedera vertebra adalah karena hiperekstensi, hiperfleksi trauma
kompresi vertical dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi. Cedera karena hiperekstensi paling
umum terjadi pada area cerfical dan kerusakan terjadi akibat kekuatan akselerasi sampai
deselerasi. Cedera akibat hiperfleksi terjadi akibat regangan / tarikan yang berlebihan, kopresi
dan perubahan bentuk dan modula spinalis secara tiba-tiba. Trauma kopresi vertical umumnya
terjadi pada area thorak lumbal dari T12 – L2, terjadi akibat kekuatan gaya sepanjang aksis tubuh
dari atas sehingga mengakibatkan kompresi medula spinalis kerusakan akar syaraf disertai
serpihan vertebrata.
Kerusakan medula spinalis akibat kompersi tulang, herniasi disk, hematoma, edema,
regangan dari jaringan syaraf dan gangguan sirkulasi pada spinal. Adanya perdarahan akibat
trauma dari gray sampai white matter menurunkan perfusi vaskuler dan menurunnya kadar
oksigen mengakibatkan iskemia pada daerah cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut mengabatkan
edema sel dan jaringan menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan kembali normal
kurang lebih 24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang terjadi adalah meningkatnya asam
laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar oksigen secara cepat 30 menit setelah trauma,
meningkatnya kosentrasi norepprinehine. Meningkatnya norepprinehine disebabkan karena evek
iskemia rupture vaskuler atau nekrosis jaringan syaraf.
Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock). Jika terjadi
keruskan secara transfersal sehingga mengakibatkan pemotongan komplit rangsangan.
Pemotongan komplit rangsangan menimbulkan semua fungsi refloktorik pada semua sgemen
dibawah garis kerusakan akan hilang. Fase rejatan ini berlangsung beberapa minggu sampai
beberapa bulan (3-6 minggu).
D. Klasifikasi trauma Medula Spinalis
Trauma medula spinalis dapat diklasifikasikan :
1. Komosio modula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi mendula spinalis hilang
sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara sempurna. Kerusakan pada komosio
medula spinalis dapat berupa edema, perdarahan verivaskuler kecil-kecil dan infark pada sekitar
pembuluh darah.
2. Komprensi medula spinalis berhubngan dengan cedera vertebral, akibat dari tekanan pada edula
spinalis.
3. Kontusio adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebrata, ligament dengan terjadinya
perdarahan, edema perubahan neuron dan reaksi peradangan.
4. Laserasio medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadi kerusakan medula
spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, luka tembak. Hilangnya fungsi medula spinalis
umumnya bersifat permanen.
E. Tanda dan Gejala trauma Medula Spinalis
Adapun tanda dan gejala adalah sebagai berikut :
1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Tanda dan gejala trauma medula spinalis tergantung dari tingkat kerusakan dan lokasi
kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya gerakan volunter, hilangnnya
sensasi nyeri, temperature, tekanan dan propriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan
hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom.
2. Perubahan reflex
Setelah trauma medula spinalis terjadi edema medula spinalis, sehingga stimulus reflex
juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas visceral, reflex ejakulasi.
3. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit trans versal, di mana
pasien terjadi ketidak mampuan melakukan pergerakan.
4. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid para lisis di bawah garis kerusakan,
hilangnya sensasi, hilangnya releks reflex spinal, hilangnya tonus vasomotor yang
mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat di bawah garis kerusakan
dan inkontinensia urine dan retensi fases.
5. Autonomic dysreflesia
Autonomic dysreflesia terjadi pada cedera thorakal enam ke atas, di mana pasien
mengalami gangguan reflex autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksimal,
distensi bladder.
6. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya sensasi dan
kesulitan ejakulasi. Pasien dapat dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.
F. Komplikasi trauma Medula Spinalis
Adapun komplikasinya adalah sebagai berikut :
 Neurogenik shock
 Hipoksia
 Gangguan paru-paru
 Instabilitas spinal
 Orthostatic hypotensi
 Ileus paralitik
 Infeksi saluran kemih
 Kontraktur
 Dekubitus
 Inkontinensia bladder
 Konstipasi
G. Test Diagnostik trauma Medula Spinalis
1. Foto rongcen : adanya fraktur vertebrata.
2. CT Scan : adanya edema medula spinalis
3. MRI : kemungkinan adanya kompresi, edema medula spinalis.
4. Serum kimia : adanya hiperglikemia atau hipoglikemia ketidak seimbangan elektrolit,
kemungkinan menurunnya Hb dan hemotoktrit.
5. Urodinamik : proses pengosongan bladder.
H. Penatalaksanaan Medik trauma Medula Spinalis
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan pemasangan collar servical,
atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan pemberian oksigen, cairan
intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi Pengobatan :
 Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
 Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah akibat autonomic hiperrefleksia
akut.
 Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas bladder.
 Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan tonus leher bradder.
 Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra.
 Agen antiulcer seperti ranitidine
 Pelunak fases seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur dengan fragmen
yang menekan lengkung saraf.
6. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan mempersiapkan
pasien untuk hidup di masyarakat.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
 Riwayat keperawatan : trauma; tumor, masalah medis yang lain (misalnya, kelainan paru, kelainan
koogulasi, ulkus );merokok dan penggunaan alcohol.
 Pemeriksaan fisik: fungsi motorik ( pergerakan, kekuatan, tonus): funngsi sensorik; reflex; status
pernapasan; gejala gejala spinal syok; tidakadanya keringat di batas luka; fungsi bowel dan
bldder; gejala autonomic dysreflexia.
 Psikososial: usia, jenis kelamin,gaya hidup, pekerjaan, peran dan tanggung jawab, sistim
dukungan, strategi koping, reaksi emositerhadap ciddera.
 Pengetahuan klien dan keluarga: anatomi dan fisiolgimedula spinalis: pengobatan, progonosis/
tujuan yang di harapkan tingkat pengetahuan, kemampuan belajar dan pengetahuan, kemampuan
membaca dan kesiapan beljar.
2. Diagnosis keperawatan
1. Tidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketiadak efektifan reflex batuk,
imobilisasi.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot pernapasan.
3. Menurunya cardia output berhubungan dengan hilangnya tonus vaso motor.
4. Gannguan perfusi jaringan berhubungan dengan kompersi, kontusio dan edema.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, deficit neurologic
(qudrikplegia/ paraplegia).
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, deficit sensasi/ motorik, gangguan
sirkulasi, penggunaan traksi.
7. Gagnguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol spinter untuk
berkemih.
8. Gangguan eiminasi bowel berhubungan dengan menurunnya control spinter bowel, imobilisasi.
3. Intervensi keperawatan.
1. Tidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketiadak efektifan reflex batuk,
imobilisasi.
 Intervensi:
a. Kaji kemampuan batuk klien dan produksi secret.
b. Pertahankan jalan napas (hindari fleksi leher, bersikan secret)
c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi secret, lakukan kultur.
d. Lakukan suction jika perlu.
e. Auskultasi bunyi napas.
f. Lakukan latihan napas.
g. Berikan minum hangat jika ridak kontra indikasi.
h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah.
i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi.
 Rasional:
a. Hilangnya kemampuan motorik otot interkosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan
batuk.
b. Menutup jalan napas.
c. Hilangnya reflex batuk beresiko menimbulkan pneumonia.
d. Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
e. Mendeteksi adanya secret dalam paru paru.
f. Mengembangkan alveoli dan menurunkan produksi secret.
g. Mengencerkan secret.
h. Meningkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar oksigen dalam darah.
i. Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi lebih dini.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot pernapasan.
 Intervensi:
a. Auskultasi bunyi napas setiap 2 jam.
b. Suction jika perlu
c. Berikan oksigen 100% selama 1 menit sebelum dan sesudah suction.
d. Pertahankan kepatenan jalan napas.
e. Monitor ventilator jika pasien di pasang.
f. Monitor dan analisa gas darah.
g. Monitor tanda vital selama 2 jam
h. Lakukan posisi semivouler, jika tidak ada kontra indikasi.
i. Hindari obat obatan sedative jika memungkinkan.
 Rasional:
a. Mengetahui adanya kelainan paru paru
b. Membersihkan secret dan membuka jalan napas.
c. Mencegah hipoksemia.
d. Pemasangan intubasi atau trakeostomi jika memang di butuhkan.
e. Mengukur tidal volume konsentrasi oksigen.
f. Mengetahui keseimbangan gas darah dan memonitor adekuatnya ventilasi
g. Mendeteksi perubahan tand vital lebih awal
h. Memungkinkan pengembangan paru lebih optimal
i. Menghindari efek depresi pernapasan.
3. Menurunya cardia output berhubungan dengan hilangnya tonus vaso motor.
 Intervensi:
a. Lakukan perubahan posis dengan pelan pelan
b. Kaji funsi kardiavaskuler dan cegah spinal schok.
c. Monitor secara berkala postural hipotensi, bradikardia, distrimia, menurunnya output urine,
monitor tekanan darah.
d. Laksanakan program atropine misalnya atropine.
e. Lakukan ROM setiap 2 jam.
 Rasional:
a. Menurunnya postural hipotensi.
b. Cedera ( T 6 ke atas) kemungkinan terjadi spinal shock dengan hilangnya reflex autonom
sehingga berpengaruh terhadap kerja jantung, temperature tubuh.
c. Mengkaji kardia output.
d. Untuk efek bradikardia
e. Mencegah emboli vena dan mempertahankan gerak sendi.
4. Gannguan perfusi jaringan berhubungan dengan kompersi, kontusio dan edema.
 Intervensi:
a. Lakukan pengkajian neurologic setiap 4 jam
b. Pertahankan traksi skeletal
c. Jaga posisi tubuh dengan kepala dan tumbuh lurus, hindari maneuver.
d. Berikan pengobatan sesuai program seperti steroid, vitamin k, antacid.
e. Ukur intake dan output setiap jam, catat output urine kurang dari 30 ml/ jam.
 Rasional:
a. Monitor perubahan status neurologi dan mendeteksi perkembangan trauma spinal
b. Sebagai penyangga dan menjaga kerusakan spinal
c. Mencegah tarauma medulla spinalis.
d. Steroid dapat mengontrol edema, vitamin k dapat menghentikan pendarahan, antacid sebagai anti
ulcer.
e. Monitor fungsi ginjal dan volume cairan.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, deficit neurologic
(qudrikplegia/ paraplegia).
 Intervensi:
a. Kaji fungsi sensori dan motorik klien setiap 4 jam
b. Ganti posis klien tiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien.
c. Gunakan alat ortopedrik, colar, handspilts
d. Lakukan ROM pasif setelah 48-72 jam setelah cedera 4-5 kali / hari
e. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien
f. Konsultasikan kepada fisioterapi untuk latihan dan penggunaan alat seperti spilints.
 Rasional:
a. Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam pergerakan.
b. Mencegah terjadinya footdrop
c. Mencegah kontraktur
d. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah kontraktur.
e. Menunjukakan adanya aktivitas yang berlebihan.
f. Memberikan penangan yang sesuai.
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, deficit sensasi/ motorik, gangguan
sirkulasi, penggunaan traksi.
 Intervensi:
a. Kaji factor resiko terjadinya gangguan integritas kulit.
b. Kaji keadaan kulit pasien setiap 8 jam
c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis.
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tidurpasien.
f. Lakukan pemijatan lembut di atas daerah tulang yang menonjol swetiap 2 jam dengan gerakan
memutar.
g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein.
h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari.
 Rasional:
a. Factor yang mempengaruhi gangguan integrritas kulit adalah imobilisasi, hilangnya sensasi,
inkontinensia bladder/ bowel.
b. Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
c. Mengurangi tahanan / tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitus.
d. Daerah tekanan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah.
e. Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit.
f. Meningkatkan sirkulasi darah.
g. Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
h. Mempercepat proses penyembuhan.
7. Gagnguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol spinter untuk
berkemih.
 Intervensi:
a. Kaji tanda infeksi saluran kemih.
b. Kaji intake dan output cairan.
c. Lanjutkan pemasangan kateter sesuai program.
d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari.
e. Cek bledder pasien setiap 2 jam.
f. Lakukan pemerikasaan urinalisa, kultur dan sensibilitas.
g. Monitor temperature tubuh setiap 8 jam.
 Rasional:
a. Efek darib tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih.
b. Mengetahui adekuatnya fungsi ginjal dan efektifnya bledder.
c. Efek trauma medulla spinalis adanya gangguan reflex berkemih sehinggah perlu bantuan dalam
pengeluaran urine.
d. Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya batu.
e. Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrfleksia.
f. Mengetahui adanya infeksi.
g. Temperature yang meningkat inddikasi adanya infeksi.
8. Gangguan eiminasi bowel berhubungan dengan menurunnya control spinter bowel, imobilisasi.
 Intervensi:
a. Kaji pola eliminasi bowel.
b. Berikan diet tinggi serat
c. Berikan minum 1800-2000 ml/ hari jika tidak kontra indikasi
d. Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen.
e. Hindari pengguanaan laksativ oral
f. Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
g. Berikan suppositeria sesuai program
h. Evaluasi dan catat adanya perdarahan pada saat eliminasi.
 Rasional:
a. Menetukan adanya perubahan eliminasi
b. Serat meningkatkan konsistensi fases
c. Mencegah konstipasi
d. Bising usus menentukan pergerakan peristaltic.
e. Kebiasaan menggunakan laksativ akan terjadi ketergantungan
f. Meningkatkan pergerakan peristaltic
g. Pelunak fases sehingga memudahkan eliminasi
h. Kemungkinan perdarahanakibat iritasi penggunaansupositoria.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang di
akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf
parifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan atau inkomplet.
Faktor resiko terjadinya trauma medula spinalis yaitu mengonsumsi alkohol dan obat
obatan saat mengendarai kendaraan sedangkan etiolaginya di sebabkan oleh trauma dan non
trauma. Mekanisme utama terjadi cedera vertebra adalah karena hiperekstensi, hiperfleksi trauma
kompresi vertical dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi.
B. Saran
Jadikanlah makalah ini sebagai media tulis yang dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan kita janganlah jadikan sebagai media tulis biasa yang tidak bermanfaat dan penulis
juga mengharapkan kritik dana saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tugas
berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Tarwato, dkk. 2007. Keperawatan Medical Bedah Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: Sagung Seto.
Tambayong, J, 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Widagdo, wahyu. 2008. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistim persarafan , Jakarta:
TIM

Anda mungkin juga menyukai