Pendidikan telah melahirkan pengetahuan, bahasa, dan tulisan. Hal itu telah melahirkan
kesadaran baru bagi bumiputera yakni “kemodernan” dan “kebebasan”. Organisasi dan pers
segera berdiri dimana-mana. Terbitan-terbitan berbahasa belanda atau bumiputera mulai
masuk kekantong-kantong kesadaran bumiputera. Perkembangan ini berbarengan dengan
situasi penindasan kolonial yang kian menjadi kesadaran dari segenap kaum muda. Medan
Priayi adalah organ pertama yang didirikan mahasiswa (1909-1912). Disamping itu, Tirto
Adhisuryo mendirikan Serikat Priayi, yang bertujuan memajukan pendidikan anak-anak
bumiputera dan bangsawan bumiputera lainnya.
Di belahan dunia lain, gerakan pembebasan nasional dan gerakan kaum muda bangkit.
Gerakan nasionalis bergolak di Tiongkok menumbangkan dinasti Ch’ing pada oktober 1911.
di Turki juga muncul gerakan nasionalis oleh kaum muda. Dan pengaruh dari revolusi Rusia
1905. Berita-berita tersebut telah memberikan pengaruh kepada kebangkitan gerakan
nasionalis di dalam negeri. Muncullah Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah
menjadi Serikat Islam (SI). Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa
lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo,
E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP).1 Tidak ketinggalan,
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925
mendirikan Perhimpunan Indonesia (PI)—organisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche
Vereeniging2. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa
dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti
Semaun.3
Paska proklamasi kemerdekaan, tugas berat bagi mahasiswa dan kaum muda menunggu.
Kemerdekaan adalah harapan, impian yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat
Indonesia. Akan tetapi, situasi pada saat itu menunjukkan kita memiliki kekurangan yang
cukup besar, disisi lain ada ancaman dari masuknya kembali neokolonialisme. Mahasiswa
dan pemuda bergerak cepat. Instalasi-instalasi penting, seperti jawatan kereta api, Radio,
1
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, hal 246-7.
2
John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S,
Jalarta, hal. 2.
3
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Grafiti, Jakarta. Hal. 368.
Kantor Pos, Gudang Persenjataan, dan gudang-gudang milik Jepang diambil-alih oleh
pemuda dan rakyat. Kemerdekaan harus diisi dan dipertahankan dengan mobilisasi rakyat
dan propoganda. Lagu “darah rakyat” menjadi symbol semangat baru dari rakyat Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan. Leaflet-leaflet dibagikan, mural-mural “merdeka atau
mati” menjejali tembok-tembok dan dinding-dinding gedung/rumah, serta slogan-slogan
yang membakar semangat. Puncak dari mobilisasi-mobilisasi rakyat mempertahankan
kemerdekaan adalah rapat akbar di lapangan Ikada---dimana ratusan ribu rakyat dan pemuda
menghadirinya.
Pada masa itu berdiri organisasi mahasiswa dan pemuda seperti Angkatan Pemuda
Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia
(GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi.
Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan
Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Kedua kongres tersebut sangat
penting artinya, karena: Melahirkan organisasi Gabungan Pemuda Sosialis Indonesia
(PESINDO), yang merupakan peleburan dari API, PRI, GERPRI, dan AMRI. Terbentuknya
Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Kongres I sangat diwarnai semangat
perjuangan bersenjata. Kongres II menghasilkan keputusan: Berpegang teguh pada Undang-
Undang, membentuk dan memperkuat laskar, mengisi jabatan-jabatan penting di
pemerintahan dan mematuhi pemimpin yang mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial.
Disamping organisasi itu, berdiri pula organisasi mahasiswa yang berbasiskan keyakinan
agama dan kedaerahan seperti pada tanggal 5 februari 1947 diresmikan terbentuknya
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa
Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan
pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).4 Kehadiran
mereka tidak lepas dari kelahiran partai-partai politik yang berideologi sejenis seperti
Masyumi, Parkindo, dan Partai Katolik.
Ketika revolusi fisik bergolak, pemuda dan mahasiswa turut membentuk organisasi
perlawanan dan laskar-laskar bersenjata seperti Tentara Pelajar dan PESINDO (Pemuda
Sosialis Indonesia)---merupakan gabungan tujuh organisasi yakni API,AMRI, Angkatan
Muda Gas dan Listrik, Pemuda Republik Indonesia, Angkatan Muda Pos dan Telegraf,dll. Di
pihak lain, Belanda mencoba menarik sismpati Mahasiswa Indonesia. Pada Januari 1946,
perguruan tinggi di masa kolonial dibangun kembali menjadi Universitas Indonesia yang
fakultas-fakultasnya tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Kegiatan ekstrakurukuler
mahasiswa dipolakan persis seperti di Belanda. Publikasi mahasiswa dijauhkan dari berita-
berita politik. Organisasi-organisasi seperti Perhimpunan Mahasiswa de Jakarta (PMD),
Perhimpunan Mahasiswa Jogja, Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpuan mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan
Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpunan Mahasiwa Kristen Indonesia
(PMKI) dan Persatuan Pelajar Peguruan Tinggi Malang (PPPM) setuju membentuk
4
Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan mahasiwa Indonesia dan Badan Koordinasi
Mahasiswa Indonesia (BKMI) khusus didaerah kedudukan Belanda. Yang pada
perjalanannya dianggap kolaborator dan perpanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda,
karena mahasiswa yang tergabung dalam BKMI hanya sibuk menyelesaikan studinya.
Menjelang pemilu 1955, beberapa partai politik memanfaatkan organisasi mahasiswa sebagai
alat mendapatkan dukungan dikalangan mahasiswa. Masuknya mahasiswa dalam
pertarungan politik berdampak positif. Pertentangan dan polarisasi dikalangan kelompok kiri
dan kanan dalam pemilu juga menyebar dikalangan organisasi kampus.
Pertentangan lama antara Front "Kiri" dan "Kanan" mendapat momentum dalam persiapan
menghadapi Pemilu, dan implementasinya disektor mahasiswa adalah peperangan antara
CGMI, GMNI, GMKI di satu pihak dengan HMI, PMKRI dan GMS di lain pihak. Dalam
peperangan itu isu utama dari pihak kiri adalah Kapitalisme, Neo-Kolonialisme, Feodalisme
dan Fasisme. Sedangkan isu dari pihak Kanan adalah Komunisme, Diktator, Satelit
Komunis, Menghalalkan Segala Cara dsb. Sementara itu, PPMI makin condong ke kiri. Sejak
tahun 1956 perpecahan dalam gerakan mahasiswa menjadi lebih terbuka, ditambah
penentangan yang dilakukan oleh beberapa partai didaerah terhadap presiden Soekarno.
Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa
menggalang senat2 mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi
mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Mahasiswa kembali lari dari
persoalan-persoalan yang ada di masyarakat, seperti misalnya: Mahasiswa tidak memandang
perjuangan pembebasan Irian Barat (TRIKORA) sebagai kelanjutan dari perjuangan melawan
kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme (bumi Irian sangat kaya dengan bahan-bahan
tambang, hutan, dan mineral). Mereka tidak turut berpartisiapasi dalam Hari Solidaritas
Internasional Menentang Kolonialisme pada tanggal 24 April 1957 (yang berpartisiapasi
adalah PPMI, FPI dan Perserikatan Pemuda Indonesia/PORPISI, yang tujuannya
memperkuat kerja sama negara Asia-Afrika menuntut klaim Irian Barat sebagai wilayah RI).
Pada tahun 1970-an, beberapa kebijakan Soeharto yang dianggap tidak merakyat (populis)
ditentang oleh mahasiswa. Mahasiswa di kampus UI menentang keputusan pemerintah
menaikkan harga BBM 100%, termasuk mengeritik persoalan korupsi yang kian merajalela
dikalangan pemerintah. Menjelang pemilu 1971, mahasiswa kembali bergerak memprotes
campur tangan pemerintah dalam internal partai politik, serta menentang pengunaan
kekerasan dan intimidasi di wilayah pedesaan terhadap pemilih agar berpihak pada
pemerintah. Mereka menganjurkan pencoblosan diluar pemilu resmi, inilah cikal bakal
gerakan Golput. Pada waktu soeharto berencana menggelontorkan duit sebesar 10,5-20
Milyar untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), mahasiswa kembali
melakukan penentangan. Proyek tersebut disponsori oleh organisasi yang bernama Yayasan
Harapan Kita; istri Presiden Soharto, Tien Soeharto, adalah ketua Yayasan tersebut.
Modal asing mulai membanjiri Indonesia. Persaingan antara kapital asing untuk
mendapatkan lahan berkembang biak di Indonesia turut membelah kepentingan elit politik
di Indonesia dimasa itu. Mahasiswa mulai resah dengan derasnya aliran modal berkontribusi
pada melebarnya gap antara si kaya dan miskin. Disisi lain, beberapa politisi merasa irih
dengan keunggulan modal Jepang. Kedatangan perdana Menteri Tanaka ke Jakarta tanggal 15
Januari 1974 disambut oleh gelombang demonstrasi mahasiswa. Akan tetapi, perlawanan ini
dengan mudah dilindas oleh penguasa Orba. Beberapa pimpinan mahasiswa seperti Hariman
Siregar ditangkap.
Orde baru semakin bergerak mempersempit ruang bagi oposisi. Setelah mengutak-atik partai
politik dan membersihkan unsur-unsur kiri dan nasionalis, Orde baru selangjutnya mencoba
menyederhanakan partai politik. Partai politik yang diakui hanya tiga, itupun dasar politik
dan pengabdiannya harus kepada kesinambungan kekuasaan Orde baru. mahasiswa kembali
bergerak. Kali ini, mereka benar-benar sudah marah dengan Soeharto sehingga isunya
berporos pada penolakan kepada pencalonan Harto sebagai presiden. Di kampus Institut
Tekhnologi Bandung (ITB) yang menjadi pusat perlawanan mereka diserbu tentara dengan
menggunakan panser. Di Jogjakarta, mahasiswa malah dikejar-kejar hingga kedalam kampus
oleh aparat militer. Beberapa tokoh pimpinan mereka ditangkap, seperti Risal Ramli.
Organisasi mahasiswa yang diakui hanya organisasi mahasiswa yang patuh kepada rejim.
Organisasi yang tetap diperbolehkan berdiri antara lain; HMI, PMII, IMM, GMKI, PMKRI,
dan GMNI (tetap di-ijinkan hidup namun sudah dihilangkan nasionalisme progressifnya).
Organisasi-organisasi inipun diharuskan menerapkan azas tunggal dalam organisasinya. Hal
itu memicu keretakan ditubuh HMI. HMI terbelah menjadi dua, yakni HMI yang tetap
mempertahankan azas islam, disebut HMI Majelis Penyelamat Organisi(MPO) dan HMI yang
merubah azas menjadi pancasila, disebut HMI Dipo. Didalam kehidupan kampus, DEMA
yang sudah dibubarkan digantikan dengan sistem Senat Mahasiswa (SMPT), dan secara
hierarki berada dibawah Rektor. Pada dasarnya aktivitas berpolitik dilarang, akan tetapi
pimpinan-pimpinan dari organisasi mahasiswa memiliki afiliasi dengan organisasi
pemerintah. Setelah mereka menyelesaikan study, mereka akan direkrut masuk dalam
pemerintahan. bagi mereka yang tidak berminat dengan politik, diberikan kesempatan untuk
menyalurkan hobbynya lewat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Hal –hal diatas menyebabkan kehidupan politik dikampus menjadi kering dan aktifis
mahasiswa mengalami demoralisasi. Sebagaian diantara mereka beralih studi keluar negeri,
sedangkan yang bertahan akhirnya mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Aktivitas LSM umumnya ditekuni oleh mantan-mantan aktivis mahasiswa yang sudah
menyelesaikan study. Terkadang mereka melibatkan junior-junior mereka dalah aktiftas2
diakar rumput. Disisi lain, rejim orde baru mulai kehilangan kemampuan “memagari”
kelompok-kelompok mahasiswa yang ada, akhirnya kelompok studi mulai bertransformasi
menjadi aktifitas pengorganisiran. Mahasiswa mulai terlibat melakukan advokasi-advokasi
terhadap persoalan yang dialami oleh rakyat, seperti penggusuran, pembasmian tukang
becak, perampasan tanah, kasus “PHK”, dan kasus-kasus lainnya. Pada saat bersamaan,
komite-komite kampus mulai terbangun dengan melepaskan diri dengan organisasi-
organisasi mahasiswa yang status quo. Tahun 1992, mahasiswa turun kejalan memprotes UU
Lalu-lintas yang baru. setahun berikutnya, gerakan mahasiswa kembali memprotes
pemberlakuan SDSB.
Aksi-aksi mahasiswa diberitakan panjang lebar oleh Koran dan media massa, seperti Tempo,
Detik, dan Editor. Koran-koran tersebut dibredel oleh Orde baru, dan mahasiswa diberbagai
daerah melakukan protes. Tahun 1996, di Makassar, mahasiswa melakukan protes atas
kenaikan tariff angkutan umum. Aksi protes ini direspon dengan keji oleh aparat dengan
mendatangkan tank-tank kedalam kampus. Sebanyak 7 orang mahasiswa dinyatakan tewas,
dan beberapa lainnya tidak jelas, tragedy ini kemudian disebut “tragedy amarah”. Kejadian
itu mendapat solidaritas dari mahasiswa dari berbagai kota seperti Jakarta, Jogjakarta,
Surabaya, Lampung, dan Solo.
5
Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA
UGM. Dia diadili karena memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-
buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.
E. Gerakan Mahasiswa 1998
Sentiment anti kediktatoran Orde Baru terus berkembang. Kendati diusahakan untuk
dihentikan orba dengan menjalankan represi dan propokasi berbau SARA, akan tetapi
militansi dan radikalisme rakyat sudah tak tertahankan. Beberapa organisasi rakyat, seperti
Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kerja
Kebudayaan Rakyat(JAKER), Serikat Rakyat Indonesia(SRI), SMID dan beberapa aktifis
lainnya membentuk Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) tahun 1994. Namun, dua tahun
kemudian PRD berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik lewat deklarasinya di kantor
YLBHI, Juli 1996. akan tetapi, dua hari setelah dideklarasikan PRD dan para kadernya
dikejar-kejar karena dituduh terlibat dalam peristiwa “kudatuli” (27 Juli 1996).
Dalam waktu dua bulan, antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei, Edwad Aspinal dalam
tulisannya, The Indonesia Student Uprising of 1998 mencatat terjadi 14 bentrokan antara
mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali, dan Lombok. Bentrokan ini
menunjukkan sikap tegas mereka terhadap militer. Itulah mereka, GM '98 yang sangat
antimiliterisme dan kediktatoran. Eskalasi perlawanan mahasiswa meningkat menjelang mei,
dan puncaknya menjelang peringatan kebangkitan nasional. Ketika hari-hari terakhir
Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa
menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum
Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta --
memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Soeharto, sang diktator akhirnya lengser. Kepemimpinan politik diserahkan kepada Habibie,
salah satu orang kepercayaan Orde Baru. perjuangan mahasiswa menentang Orde Baru terus
berlangjut. Mahasiswa menganggap pemerintahan Habibie masih kelanjutan rejim Orde
baru, beberapa kekuatan politik pendukung Orba (militer dan Orba) masih aman bertengger
dalam kekuasaan. Mahasiswa kemudian melanjutkan perlawanan dengan menekankan
kepada pembersihan terhadap sisa-sisa orde baru. akan tetapi, cakupan mahasiswa yang
menyadari ini masihlah kecil sedangkan mayoritas lainnya menganggap bahwa setelah
soeharto jatuh artinya mereka sudah menang. Habibie mencoba meneruskan kesinambungan
politik Orba dengan menyelenggarakan SI MPR tahun 1999. Hanya kelompok radikal seperti
KOMRAD, KBUI,FAMRED, FORKOT, dll yang merespon SI MPR yang berujung pada
“tragedy semanggi I”.
Kelemahan gerakan Mahasiswa 1998
Kita patut memberikan acungan jempol kepada GM 98. militansi dan keberanian mereka
telah berhasil menyinkirkan Soeharto dari kekuasaan. Akan tetapi, kejatuhan soeharto
hanyalah salah satu bagian dari proses perjuangan strategis menuju Indonesia baru; Indonesia
demokratis yang sejahtera seadil-adilnya. Kenyataan bahwa soeharto jatuh akan tetapi mesin
politiknya masih tetap terjaga. Sehingga ditengah jalan, kekuatan sisa orde baru kembali
mengkonsolidasikan diri dan berhasil terus mendominasi pemerintahan paska reformasi.
Berikut beberapa analisa terhadap GM 1998;
Pertama, kelemahan dalam lapangan konsep strategis (ideology), lemah dalam persoalan
teoritik. Kelemahan ini menyebabkan GM tidak dapat menangkap dan menyimpulkan situasi
objektif yang berkembang, serta mendialektikannya guna menghasilkan perubahan. Seolah
ada dikotomi antara pemahaman teoritik dan praktek lapangan. Sehingga pada saat krisis
revolusioner berlansung, mahasiswa tumpah ruah kejalanan dengan menonjolkan keberanian
dan militansi bertempur, tetapi meninggalkan persoalan konsepsi dan teoritik.
Ketiga, Kelemahan dalam hal Konsepsi (ideology) dan teoritik berujung pada kesalahan
analisa, cara pandang, dan kesimpulan. GM tidak dapat merumuskan taktik-taktik baru
dalam menghadapi perubahan (dinamika) politik yang terjadi. Momentum pemilu 1999, yang
merupakan titik balik kembalinya kekuatan Orde baru, tidak dimanfaatkan oleh GM guna
menjadi lapangan pertempuran menghadapi sisa-sisa kekuatan orde baru.
Keempat, kesadaran umum mahasiswa adalah kesadaran ekonomisme dan bersifat spontan,
sedangkan dalam lapangan praktek sangat “heroistis”. Banyak mahasiswa yang termobilisasi
karena faktor-faktor “ikut-ikutan” atau “trend”, bukan karena kesadaran politik yang benar-
benar muncul.
Kelima, tidak ada penyatuan dalam skala luas (nasional) dan permanent terhadap komite-
komite aksi ataupun organisasi-organisasi tingkatan lokal. Ada usaha dalam bentuk Rembug
Mahasiswa Nasional Indonesi (RMNI) I dan II, akan tetapi ajang itu justru menjadi
perdebatan pada hal-hal yang sifatnya teknis, bukan hal yang ideologis, menyebabkan upaya
penyatuan sulit menyatukan spectrum gerakan mahasiswa.
Sistem politik seolah-olah terbuka, tapi pada dasarnya hanya membolehkan pemain-pemain
yang memiliki modal dan kekuasaan, sedangkan partisipasi politik lansung tetap dipagari.
Sistem demokrasi dipolakan persis dengan demokrasi liberal di barat, dimana hanya sekedar
menjadi instrument stabilisasi bagi kepentingan pemilik modal. Kita menyadari, terjadi
keterbukaan politik paska reformasi terutama dalam aspek kebebasan berserikat, mendirikan
partai politik, menyampaikan pendapat, melakukan protes dan sebagainya. Akan tetapi,
proses-proses keterbukaan politik itu kadang-kadang masih berbeda dilapangan. Masih sering
terjadi pengekangan, diskriminasi, kekerasan, dan berbagai bentuk pembatasan-pembatasan
lainnya.
Inilah lapangan perjuangan baru bagi gerakan mahasiswa. Terlepas dari begitu banyak
persoalan yang muncul setiap hari, tetapi karakter pokok dari perjuangan mahasiswa
haruslah anti-imperialisme. Ada kemajuan-kemajuan kecil dari segi gerakan, seperti tumbuh
dan berkembangnya Aksi Massa dan metode-metode perlawanan rakyat, dalam hal program
dan tuntuan sudah semakin maju meski belum utuh yakni anti-neoliberalisme. Kemajuan-
kemajuan ini merupakan dasar-dasar yang bersifat maju, yang dapat diakumulasikan, guna
memberikan arah perjuangan yang lebih maju dimasa depan. Berhadapan dengan situasi
baru, gerakan mahasiswa tidak boleh kaku dalam menerapkan taktik-taktik dan metode
perjuangan. Peluang-peluang dari perjuangan parlementer harus dimanfaatkan (bahkan bisa
menjadi wajib) dalam situasi tertentu guna mengakumulasi sentimen anti-imperialis dan
anti-neoliberal, serta memunculkan kekuatan politik alternatif. Dunia terus berubah, situasi
terus bergerak, serta kita dituntut menyesuaikan hal itu dengan penemuan taktik-taktik dan
metode-metode baru.
A Luta Continua!