Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

Keperawatan Medikal Bedah

KONSEP DASAR DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN TINDAKAN LAPARSCOPY


( CHOLELITIASIS )
Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

Disusun Oleh :

NOOR ASIAH, S.Kep


NIM. P 170688

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA SAMARINDA
KALIMANTAN TIMUR
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini penyakit batu empedu (cholelitiasis) yang terbatas pada kantung empedu biasanya
asimtomatis dan menyerang 10 – 20 % populasi umum di dunia. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan

ultrasonografi abdomen. Kira-kira 20% wanita dan 10 % pria usia 55 sampai 65 tahun memiliki batu
empedu. Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti menderita penyakit batu

empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan indikasi open

Cholesistektomi. Karena teknik minimal invasif memiliki aplikasi diagnosis dan terapi dibanyak

pembedahan, bedah laparoskopi meningkat penggunaannya baik pada pasien rawat inap ataupun

rawat jalan.
Teknik laparoskopi atau pembedahan minimal invasifdiperkirakan menjadi trend bedah masa depan.
Sekitar 70-80 persen tindakan operasi di negara-negara maju akan menggunakan teknik ini. Di

Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS Cedar Sinai
California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta. Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim

Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu dan

kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak 1997, Laparoscopic

Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa rumah

sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.


B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan cholelitiasis

2. Tujuan khusus

a. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan laparoscopy cholelitiasis

b. Merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada klien dengan laparoscopy cholelitiasis

c. Menetapkan perencanaan keperawatan pada klien dengan laparoscopy cholelitiasis


d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan laaprascopy cholelitiasis
e. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan

laparoscopy cholelitiasis
f. Mengetahui instrumen yang dipakai dalam tindakan laparacopy

g. Mengetahui langkah-langkah prosedur laparascopy cholelitiasis

2
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi rumah sakit

Memberikan penanganan yang baik dan benar pada klien dengan laparoscopy cholelitiasis
2. Bagi masyarakat

Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana cara mengatasi masalah


laparoscopy cholelitiasis

3. Bagi perawat

Mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien laparoscopy cholelitiasis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Laparoscopy Cholelithiasis

Definisi
a. Cholelitiasis

Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di
dalam saluran empedu atau kedua-duanya. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa

unsur dari cairan empedu yang mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam

kandung empedu atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin,

garam empedu, fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu bisa

berupa batu kolesterol, batu pigmen yaitu coklat atau pigmen hitam, atau batu campuran.
Lokasi batu empedu bisa bermacam–macam yakni di kandung empedu, duktus sistikus, duktus
koledokus, ampula vateri, di dalam hati. Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti

buah alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yangdisekresi secara terus
menerus oleh hati masuk kesaluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-

kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah

hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus

komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus

koledokus. Pada banyak orang,duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk
ampula vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampula

dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter oddi.

b. Laparoscopy

Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan

memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan

perut dan organ viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum

tersebut.Teknik laparoskopi atau pembedahan minimally invasive diperkirakan menjadi trend


bedah masa depan.
Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS

Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta. Selang setahun kemudian,
Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi

pengangkatan batu dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak

1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung

empedu di beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.
Beberapa keuntungan dari tindakan laparascopy ini antara lain :

4
1) Nyeri pasca bedah jauh lebih ringan
2) Membantu menegakkan diagnosa lebih akurat

3) Proses pemulihan lebih cepat


4) Rawat inap lebih singkat

5) Luka bekas operasi lebih kecil


Posisi pasien operasi Laparascopy Chole adalah pasien tidur terlentang dalam posisi anti

trendelenburg, miring kekiri 30° kearah operator, operator berada disebelah kiri pasien, asisten
dan instrumen sebelah kanan pasien

1. Etiologi

Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling
penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu,
stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Batu empedu dapat terjadi dengan atau tanpa

factor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak factor resiko yang dimiliki seseorang,
semakin besar kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.

a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu empedu dibandingkan dengan

pria. Ini dikarenakan oleh hormone esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi

5
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena batu empedu. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi

hormone (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan


penurunan aktivitis pengosongan kandung empedu.

b. Usia
Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang

dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena batu empedu dibandingkan
dengan orang usia yang lebih muda

c. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi

batu empedu. Ini dikarenakan dengan tingginy BMI maka kadar kolesterol dalam kandung

empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/pengosongan kandung empedu.
d. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat yang cepat (seperti setelah operasi gastrointestinal)
mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan

penurunan kontraksi kandung empedu.

e. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih besar dibandingkan

dengan tanpa riwayat keluarga


f. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadi batu empedu. Ini

mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

g. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crhon disease,

diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik

h. Nutrisi intravena jangka lama


Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko

untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2. Manifestasi Klinis

b. Nyeri daerah midepigastrium


c. Mual dan muntah

6
d. Tachycardia
e. Diaphoresis

f. Demam
g. Flatus, rasa beban epigastrium, heart burn

h. Nyeri abdominal atas kronik


i. Jaundice

3. Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan

pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari 90 % batu

empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (

batu yang mengandung 20-50% kolesterol). 10 % sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana

mengandung <20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain
adalah keadaan stasis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna
dan kosentrasi kalsium dalam kandung empedu.Batu kandung empedu merupakan gabungan

material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.


Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga

solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi

berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk

pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama kelamaan

tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Factor motilitas
kandung empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi pembentukan batu campuran.

4. Komplikasi

Komplikasi dari kolelitiasis diantaranya adalah :

a. Empiema kandung empedu, terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut dengan

sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat disertai

kuman kuman pembentuk pus.

b. Hidrops atau mukokel kandung empedu terjadi akibat sumbatan berkepanjangan duktus
sitikus.
c. Gangren, gangrene kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan

berbercak atau total.


d. Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan oleh adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan

berulang kandung empedu. Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi mengakibatkan

kematian sekitar 30%.

e. Pembentukan fistula

7
f. Ileus batu empedu : obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh lintasan batu
empedu yang besar kedalam lumen usus.

g. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porcelain.


5. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen


Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit

kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian,
hanya 15% hingga 20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat

tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

b. Ultrasonografi.

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostic

pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat serta akurat, dan dapat
digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG
tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang

paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung
empedunya berada dalam keadaan distensi. Penggunaan ultrasound berdasarkan pada

gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli

dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi. Dilaporkan

bahwa USG mendeteksi batu empedu dengan akurasi 95%.

c. Pemeriksaan Radionuklida atau Koleskintografi


Koleskintografi telah berhasil dalam membantu menegakkan diagnosis kolelisistitis. Dalam

prosedur ini, preparat radioaktif disuntikkan melalui intravena. Preparat ini kemudian

diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan dalam system bilier. Selanjutnya

dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan

percabangan bilier. Pemeriksaan ini lebih mahal daripada USG, memerlukan waktu yang

lebih lama untuk mengerjakannya, membuat pasien terpajan sinar radiasi, dan tidak dapat

mendeteksi batu empedu. Penggunaannya terbatas pada kasus-kasus yang dengan


pemeriksaan USG, diagnosisnya masih belum dapat disimpulkan.
d. Kolesistografi.

Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pemeriksaan pilihan, kolesistografi masih
digunakan jika alat USG tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan. Kolangiografi oral

dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung

empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta

mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang diekskresikan oleh
hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu

8
yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu,
bayangannya akan tampak pada foto rontgen.

Preparat yang diberikan sebagai bahan kontras mencakup asam iopanoat (Telepaque),
iodipamie meglumine (Cholografin) dan sodium ipodat (Oragrafin). Semua preparat ini

diberikan dalam dosis oral, 10-12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan sinar-X. sesudah
diberikan preparat kontras, pasien tidak boleh mengkonsumsi apapun untuk mencegah

kontraksi dan untuk pengosongan kandung empedu.


Kepada pasien harus ditanyakan apakah ia mempunyai riwayat alergi terhadap yodium

atau makanan laut. Jika tidak ada riwayat alergi, pasien mendapat preparat kontras oral

pada malam harinya sebelum pemeriksaan radiografi dilakukan. Foto rontgen mula-mula

dibuat pada abdomen kuadaran kanan atas. Apabila kandung empedu tampak terisi dan

dapat mengosongkan isinya secara normal serta tidak mengandung batu, kita dapat
menyimpulkan bahwa tidak terjadi penyakit kandung empedu. Apabila terjadi penyakit
kandung empedu, maka kandung empedu tersebut mungkin tidak terlihat karena adanya

obstruksi oleh batu empedu. Pengulangan pembuatan kolesistogram oral dengan


pemberian preparat kontras yang kedua mungkin diperlukan jika kandung empedu pada

pemeriksaan pertama tidak tampak.

Kolesistografi pada pasien yang jelas tampak ikterik tidak akan memberikan hasil yang

bermanfaat karena hati tidak dapat mengekskresikan bahan kontras radiopaque kedalam

kandung empedu pada pasien ikterik. Pemeriksaan kolesistografi oral kemungkinan besar
akan diteruskan sebagai bagian dari evaluasi terhadap pasien yang telah mendapatkan

terapi pelarutan batu empedu.

6. Penatalaksanaan Medis

Laparoscopy cholelitiasis diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti menderita

penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan

indikasi open Cholesistektomi.Keuntungan melakukan prosedur laparoskopi pada

cholesistektomi yaitu: laparoscopic cholesistektomi menggabungkan manfaat dari


penghilangan gallblader dengan singkatnya lama tinggal di rumah sakit, cepatnya
pengembalian kondisi untuk melakukan aktivitas normal, rasa sakit yang sedikit karena torehan

yang kecil dan terbatas, dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi dibandingkan dengan teknik
open laparotomi.

Namun kerugiannya, trauma saluran empedu lebih umum terjadi setelah laparoskopi

dibandingkan dengan open cholesistektomi dan bila terjadi pendarahan perlu dilakukan

laparotomi.. Kontra indikasi pada Laparoskopi cholesistektomi antara lain: penderita ada resiko
tinggi untuk anestesi umum; penderita dengan morbid obesity; ada tanda-tanda perforasi

9
seperti abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang besar atau curiga keganasan
kandung empedu; dan hernia diafragma yang besar.

B. Teknik Penyimpanan Instrumen Laparascopy


Instrumen- instrumen laparascopy idealnya disimpan dalam almari kaca disertai dengan

penghangat sebesar 45 watt.

Teknik Mensterilkan

Alat medis harus didekontaminasi secara menyeluruh sebelum digunakan, termasuk instrumen
laparascopy. Bahan untuk mensterilkan harus mendapatkan kontak dengan permukaan alat agar proses

sterilisasi pada objek tersebut dapat terjadi. Ada 2 macam sterilisasi yang dapat digunakan, yaitu :

1. Sterilisasi Suhu Tinggi

Teknik sterilisasi suhu tinggi menggunakan uap air sebagai medianya, dengan mekanisme koagulasi

sel protein. Suhu yang digunakan antara 1100 – 1340 C. Tetapi, tidak semua instrumen dapat
disterilkan dengan suhu tinggi, contohnya : instrumen yang terbuat dari kaca/lensa, karet, atau

plastik

Keuntungannya :

- Tidak beracun

- Ramah lingkungan

- Waktu pemrosesan yang cepat

- Ekonomis
- Efektif untuk alat-alat logam dan tenun

10
Mesin Autoclave

2. Sterilisasi Suhu Rendah

Teknik sterilisasi suhu rendah digunakan untuk memproses instrumen yang tidak tahan panas.
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan mesin Sterrad / Plasma (hydrogen Peroxide), mesin EO

gas / ethylene oxide (EtO), atau menggunakan cairan cidex / Glutaraldehyde (Desinfektan Tingkat
Tinggi).

Sterilisasi dengan menggunakan mesin Sterrad / Plasma (hydrogen Peroxide) membutuhkan waktu

selama 45 menit. Sebelumnya, instrumen dikemas dalam kantong medipac.

Sterilisasi dengan mesin EO gas / ethylene oxide (EtO) hanya dapat diterapkan pada instrumen fiber

optic, alat-alat anestesi, alat-alat respirator, dan alat-alat implant. Waktu yang dibutuhkan adalah

3,5 jam.

Sterilisasi dengan menggunakan cairan cidex / Glutaraldehyde (Desinfektan Tingkat Tinggi)

digunakan untuk mensterilkan alat-alat laparascopy. Dilakukan dengan merendam instrumen dalam

11
campuran 16 cc cidex dan 4 liter steril water selama 30 menit. Selama proses merendam, pastikan
semua bagian instrumen terendam, atur posisi agar tidak saling silang, untuk kabel sebaiknya

direndam dalam posisi melingkar. Selanjutnya, tutup bak perendaman, agar tidak terjadi penguapan
konsentrat cidex. Setelah perendaman selesai, bilas dengan steril water, kemudian keringkan dengan

lap kain steril.

Teknik Pencucian

Instrumen habis pakai dibersihkan dari kotoran dan darah. Kemudian dilepas perbagian dengan

hati-hati dan direndam dalam cairan cidex.

12
C. Proses Keperawatan

1. Pengakajian

a. Pengkajian fase Pre Operatif

1. Pengkajian Psikologispasienmeliputi perasaan takut / cemas dan keadaan emosi pasien

2. Pengkajian Fisik pasien pengkajian tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan dan

suhu.
3. Sistem integumen pasien apakah pasien pucat, sianosis dan adakah penyakit kulit di area

badan.
4. Sistem Kardiovaskuler pasien apakah ada gangguan pada sisitem cardio, validasi apakah

pasien menderita penyakit jantung ?, kebiasaan minum obat jantung sebelum operasi.,

Kebiasaan merokok, minum alcohol, Oedema, Irama dan frekuensi jantung.


5. Sistem pernafasan pasien apakah pasien bernafas teratur dan batuk secara tiba-tiba di

kamar operasi.

6. Sistem gastrointestinal pasien apakah pasien diare ?

7. Sistem reproduksi pasien apakah pasien wanita mengalami menstruasi ?


8. Sistem saraf pasien bagaimana kesadaran ?
9. Validasi persiapan fisik pasien. Apakah pasien puasa, lavement, kapter, perhiasan, Make up,

Scheren, pakaian pasien / perlengkapan operasi dan validasi apakah pasien alaergi

terhadap obat ?

Diagnosa keperawatan :

1. Cemas berhubungan dengan krisis situasional operasi.

2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi tentang penyakit dan

proses penyakit.

13
b. Pengkajian fase Intra Operatif
Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi pasien yang diberi anaesthesi total

adalah yang bersifat fisik saja, sedangkan pada pasien yang diberi anaesthesi lokal ditambah
dengan pengkajian psikososial. Secara garis besar yang perlu dikaji adalah :

1) Pengkajian mental pasien : Bila pasien diberi anaesthesi lokal dan pasien masih sadar atau
terjaga maka sebaiknya perawat menjelaskan prosedur yang sedang dilakukan

terhadapnya dan memberi dukungan agar pasien tidak cemas atau takut menghadapi
prosedur tersebut.

2) Pengkajian fisik pasien : Tanda-tanda vital (bila terjadi ketidaknormalan maka perawat

harus memberitahukan ketidaknormalan tersebut kepada ahli bedah).

3) Transfusi dan infuse pasien. Monitor flabot sudah habis apa belum.

4) Pengeluaran urin pasien. Normalnya pasien akan mengeluarkan urin sebanyak 1 cc/kg
BB/jam.
Diagnosa keperawatan :

1. Risiko cedera (combustio) berhubungan dengan pemajanan peralatan kesehatan


(pemasangan arde electrocouter).

2. Risiko perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan.

c. Pengkajian fase Post Operatif

1) Status respirasi pasienMeliputi : kebersihan jalan nafas, kedalaman pernafasaan,


kecepatan dan sifat pernafasan dan bunyi nafas.

2) Status sirkulatori pasienMeliputi : nadi, tekanan darah, suhu dan warna kulit.

3) Status neurologis pasien meliputi tingkat kesadaran.

4) Balutan pasien meliputi : balutan luka

5) Kenyamanan pasien Meliputi : terdapat nyeri, mual dan muntah

6) Keselamatan pasien meliputi : diperlukan penghalang samping tempat tidur, kabel

panggil yang mudah dijangkau dan alat pemantau dipasang dan dapat berfungsi.
7) Perawatan pasien meliputi : cairan infus, kecepatan, jumlah cairan, kelancaran cairan.
8) Nyeri pasien meliputi : waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan faktor yang memperberat

atau memperingan

Diagnosa keperawatan :

1. Kerusakan integritas kulit b.d luka post operasi

2. Nyeri akut b.d proses pembedahan

14
2. Asuhan Keperawatan Perioperatif
N NANDA NOC NIC
O.

1. Pre Operatif Tujuan : cemas dapat Penurunan kecemasan


Cemas b.d krisis terkontrol. 1. Bina hubungan saling percaya
situasional Operasi Kriteria hasil : dengan klien / keluarga
Definisi : Perasaan tidak 1.Secara verbal dapat 2. Kaji tingkat kecemasan klien.

nyaman atau mendemonstrasikan 3. Tenangkan klien dan dengarkan

kekhawatiran yang samar teknik menurunkan keluhan klien dengan atensi


disertai respon otonom; cemas. 4. Jelaskan semua prosedur tindakan

perasaan takut yang 2.Mencari informasi yang kepada klien setiap akan melakukan

disebabkan oleh antisipasi dapat menurunkan tindakan


terhadap bahaya. Hal ini cemas 5. Dampingi klien dan ajak

merupakan isyarat 3.Menggunakan teknik berkomunikasi yang terapeutik


kewaspadaan yang relaksasi untuk 6. Berikan kesempatan pada klien

memperingatkan individu menurunkan cemas untuk mengungkapkan

akan adanya bahaya dan 4. Menerima status perasaannya.


memampukan individu kesehatan. 7. Ajarkan teknik relaksasi

untuk bertindak 8. Bantu klien untuk mengungkapkan

menghadapi ancaman. hal-hal yang membuat cemas.

Batasan karakteristik :

- Gelisah
- Mengekspresikan

kekhawatiran karena

perubahan dalam

peristiwa hidup

- Ketakutan
Faktor yg berhubungan :
- Ancaman pada status

terkini

2. Pre Operatif Tujuan : bertambah-nya Pendidikan kesehatan : proses penyakit

Kurang Pengetahuan b.d pengetahuan pasien 1. Kaji tingkat pengetahuan klien.

keterbatasan informasi tentang penyakitnya.

15
tentang penyakit dan Pengetahuan: Proses 2. Jelaskan proses terjadinya penyakit,

proses operasi. Penyakit tanda gejala serta komplikasi yang

Definisi : Ketiadaan atau Kriteria hasil : mungkin terjadi


difisiensi informasi 1. Pasien mampu men- 3. Berikan informasi pada keluarga
kognitif yang berkaitan jelaskan penyebab, tentang perkembangan klien.

dengan topic tertentu. komplikasi dan cara 4. Berikan informasi pada klien dan

Batasan karakteristik : pencegahannya keluarga tentang tindakan yang


- Kurang pengetahuan 2. Klien dan keluarga akan dilakukan.

Faktor Risiko : kooperatif saat 5. Berikan penjelasan tentang

- Kurang sumber dilakukan tindakan pentingnya ambulasi dini


pengetahuan 6. Jelaskan komplikasi kronik yang

- Kurang informasi mungkin akan muncul

3. Intra Operatif Tujuan : resiko 1. Memasang arde electrocoter sesuai


Risiko cedera combustio dapat prosedur.

( combustio b.d diminimalisir 2. Memfiksasi arde secara adekuat

pemajanan peralatan Ktriteria hasil : 3. Menggunakan power output sesuai

kesehatan (pemasangan tidak terjadi combustio. kebutuhan

arde electrocouter) 4. Mengawasi selama pemakaian alat

Definisi : Rentan

mengalami cedera fisik


akibat kondisi lingkungan

yang berinteraksi dengan


sumber adaptif dan

sumber defensive
individu, yang dapat

mengganggu kesehatan.
Faktor resiko :

- Pajanan peralatan
kesehatan

4 Intra Operatif Blood loss severity Surgical assistance


Risk for bleeding

16
Definisi: Selama tindakan pembed 1. Menentukan peralatan dan instrume

Resiko penurunan ahan berlangsung, pasien n yang dibuthkan saat pembedahan

volume darah yang tidak mengalami 2. Mengecek instrumen dan


dapat digunakan kehilangan darah yang ba mengatur/ menata di meja
untuk kompromi nyak 3. Menyalakan lampu oeprasi

kesehatan. dengan indikator: 4. Membantu memperkirakan

1. kehilangan darah visi jumah kehilangan darah


ble sedikit 5. Menyiapkan dan merawat

Faktor resiko: 2. distensi abdomen ber spesimen

-kurangnya pengetahuan kurang 6. Mengkomunikasikan informasi


- trauma 3. Perdarahan post- kepada tim bedah

-Tindakan pembedahan op dapat dikontrol 7. Mengkomunikasikan status

4. Tidak ada penurunan pasien dan perkembangannya

tekanan darah kepada keluarga

8. Mengatur kembali peralatan


setelah digunakan

9. Mendokumentasikan anestesi

dan tindakan pembedahan


10. Membantu memindahkan

pasien ke recovery room

Shock prevention

1. Monitor status sirkulasi (TD, HR, RR, s


uhu)
2. Monitor tanda-

tanda oksigenasi jaringan tidak adek

uat

3. Monitor hasil laboratorium


4. Monitor nyeri abdomen
5. Monitor respon kompensasi awal (pe

ningkatan HR, penurunan TD, penuru


nan urine output, dan WPK lambat)
6. Mengobservasi dan monitor sumber

kehilangan cairan/ darah

(luka, drainage)

17
7. Mempertahankan kepatenan

jalan nafas

8. Memberikan terapi intravena


9. Menyiapkan PRC untuk persediaan
tranfusi darah

10. Memberikan O2 untuk oksigenasi

5. Post Operatif Tujuan : kerusakan Perawatan luka


Kerusakan integritas kulit integritas kulit tidak 1. Ganti balutan plester dan debris

b.d luka post operasi terjadi. 2. Catat karakteristik luka bekas operasi

Definisi : Kerusakan pada Penyembuhan Luka: 3. Catat katakteristik dari beberapa

epidermis dan/ atau Tahap Pertama 4. Bersihkan luka bekas operasi dengan
dermis. Kriteria hasil : sabun antibakteri yang cocok
Batasan Karakteristik : · Kerusakan kulit tidak 5. Sediakan perawatan luka bekas

- Kerusakan integritas kulit ada operasi sesuai kebutuhan


- Benda asing menusuk · Eritema kulit tidak ada 6. Ajarkan pasien dan anggota keluarga

permukaan kulit. · Luka tidak ada pus prosedur perawatan luka

Faktor yg berhubungan · Suhu tubuh antara

- Faktor mekanik 36°C-37°C

6. Post Operatif Tujuan : Nyeri dapat Manajemen Nyeri :

Nyeri akut b.d proses teratasi. 1. Kaji nyeri secara komprehensif

pembedahan Kontrol Resiko ( lokasi, karakteristik, durasi,

Difinisi : Pengalaman Kriteria hasil : frekuensi, kualitas dan faktor

sensori dan emosional 1. Klien melaporkan presipitasi ).


tidak menyenangkan yg nyeri berkurang dg 2. Observasi reaksi nyeri dari ketidak

muncul akibat kerusakan scala 2-3 nyamanan.


jaringan aktactualau 2. Ekspresi wajah tenang 3. Gunakan teknik komunikasi
potensial atau yang 3. klien dapat istirahat terapeutik untuk mengetahui

digambarkan sebagai dan tidur pengalaman nyeri klien


kerusakan ( internasional v/s dbn 4. Kontrol faktor lingkungan yang
Association For the Study mempengaruhi nyeri seperti suhu

of Pain); awitan yang tiba- ruangan, pencahayaan, kebisingan.

tiba atau lambat dari 5. Pilih dan lakukan penanganan nyeri

intensitas ringan hingga ( farmakologis / non farmakologis ).


berat dengan akhir yang

18
dapat diantisipasi atau 6. Ajarkan teknik non farmakologis

diprediksi. (relaksasi, distraksi dll) untuk

Batasan Karakteristik : mengetasi nyeri.


- Ekspresi wajah nyeri 7. Kolaborasi pemberian analgetik
- Keluhan tentang untuk mengurangi nyeri.

intensitas menggunakan 8. Evaluasi tindakan pengurang nyeri

standart skala nyeri.


- Mengekspresikan

perilaku

Faktor yg berhubungan:
Agens cedera fisik

(proses pembedahan)

DAFTAR PUSTAKA

Laurentius A. Lesmana. 2006. PenyakitBatuEmpedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi Ke-4.h481-483

Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agun
g Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, alih bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC
Mansjoer,Arif M . 2001 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Aesculapius
Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: E
GC
Nanda edisi 10, Jakarta: EGC
Nic, Noc , edisi 6, Jakarta:EGC

19

Anda mungkin juga menyukai