Anda di halaman 1dari 44

TUGAS REFERAT

AIRWAY MANAGEMENT DAN BASIC LIFE SUPPORT

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi
Dokter Bagian Ilmu Anastesi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada :
dr. Ardi Pramono Sp.An M.Kes

Disusun Oleh :
Syarafina Awanis
20100310179

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN


PROFESI DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA BAGIAN
ILMU ANASTESI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Anatomi Jalan Nafas


Ada 2 jalan masuk dari jalan napas manusia, yaitu hidung dan mulut.Keduanya
dipisahkan oleh palatum di anterior, di posterior mereka bertemu di faring.Faring adalah
struktur fibromuskular yang berbentuk U. Batas atas adalah basis cranii sampai cartilago
cricoid sebagai batas bawah, berbatasan dengan esofagus.
Pada ujung lidah sebelah dalam terdapat epiglotis yang secara fungsional memisahkan
orofaring dari hipofaring.Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutup glottis – batas atas
laring – saat menelan.Laring adalah tulang rawan yang disatukan oleh ligamen dan otot.
Laring terbentuk dari 9 kartilago : tirod, cricoid, epiglotis dan sepasang arytenoid, corniculata
dan cuneiformis.

Gambar 1.1 Anatomi jalan nafas


Gambar 1.2 Anatomi jalan nafas

Gambar 1.3 Laring


Saraf sensoris dari jalan napas bagian atas adalah nervus cranialis.Membran mukosa
dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh n. trigeminus cabang oftalmicus (V1) atau n.
ethmoidal anterior dan di posterior dipersarafi oleh n. trigeminus cabang maksilar (V2) atau
n. sphenopalatina.Nervus palatinus mempersarafi sensoris dari palatum durum dan palatum
molle.Nervus lingualis (cabang mandibula dari n. trigeminus) mempersarafi 2/3 anterior lidah
dan n. glossofaringeus mempersarafi 1/3 posterior lidah.Cabang dari n. facialis dan n.
glossofaringeus mempersarafi lidah agar dapat membedakan rasa.Nervus glossofaringeus
juga mempersarafi atap faring, tonsil dan permukaan bawah palatum molle.
Nervus vagus mempersarafi jalan napas dibawah epiglotis.Cabang dari n.vagus yaitu
n. laringeus superior terbagi menjadi n. eksternal (motorik) dan n. internal (sensorik).Saraf ini
mempersarafi laring antara epiglotis dengan pita suara. Cabang lain yaitu n. laringeus recuren
mempersarafi laring (dibawah pita suara) dan trachea. Semua otot laring dipersarafi oleh n.
laryngeal recuren kecuali m cricotiroid oleh n. laringeus eksternal (motorik).Musculus
posterior cricoarytenoid mengabduksi pita suara, sementara m. lateral cricoarytenoid
mengadduksi.
Fonasi merupakan aksi dari beberapa otot laring. Nervus laringeus sup. mempersarafi
hanya motorik dari m. cricotiroid. Kelumpuhan bilateral dari n. laringeus sup. menyebabkan
suara serak atau suara cepat hilang tapi jalan napas tidak dipengaruhi.
Paralisis unilateral dari n.laryngeal recuren menyebabkan paralisis dari pita suara
ipsilateral, meyebabkan deteriorasi kualitas suara.Kelumpuhan akut n. laringeus rekuren
bilateral menyebabkan stridor dan respiratory distress akibat dari tonus otot permanen dari
m. cricotiroid.Problem jalan nafas jarang terjadi pada gangguan kronik dari n. laringeal
recuren bilateral karena timbul mekanisme kompensasi (ct. atrofi m. laringeus).
Trauma bilateral dari n.vagus mempengaruhi n. laringeus superior dan recuren. Jika
terjadi trauma akan mengakibatkan pita suara menutup karena otot tidak berkontraksi (seperti
setelah pemberian succinyl choline).
Gambar 2. 4 syaraf sensoris pada anatomi jalan nafas

Gambar 2.5 Tabel Efek kerusakan saraf laring pada suara

Suplai darah laring didapat dari cabang a.carotis terutama a. tiroid.Arteri tiroid
superior bercabang menjadi a. cricotiroid dan menembus membran cricotiroid bagian atas
yang terbentang dari cartilago cricoid menuju cartilago tiroid.Kadang a. sup.tiroid ditemukan
sepanjang sisi lateral dari membran cricotiroid. Saat melakukan cricothyrotomy, anatomi dari
a. cricotiroid dan a. tiroid darus dipertimbangkan, agar aman, pengerjaannya tetap di garis
tengah, garis tengah antara cartilago cricoid dan tiroid.

2.2 Gangguan airway

Gangguan airwaydapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian,
dan progresif dan/atau berulang. Meskipun sering kali berhubungan dengan nyeri dan/atau
kecemasan, takipnea mungkin merupakan tanda yang samar-samar tetapi dini akan adanya bahaya
terhadap airwayatau ventilasi. Oleh karena itu penting untuk melakukan penilaian ulang yang sering
terhadap kelancaran airwaydan kecukupan ventilasi. Khususnya penderita dengan penurunan kesadaran
mempunyai resiko terhadap gangguan airwaydan sering kali memerlukan pemasangan
airwaydefinitif. Penderita dengan cedera kepala dan tidak sadar, penderita yang berubah
kesadarannya karena alkohol dan/atau obat-obatan yang lain, dan penderita dengan cedera-cedera
toraks mungkin mengalami gangguan pemafasan.
Pada penderita-penderita seperti ini, intubasi endotrakeal dimaksudkan untuk
(1) membuka airway,
(2) memberikan tambahan oksigen,
(3) menunjang ventilasi,
(4) mencegah aspirasi.
Pada penderita trauma terutama bila telah mengalami cedera kepala mąka menjaga
oksigenasi dan mencegah hiperkarbia merupakan hal yang kritis dałam pengelolaan penderita
trauma. Adanya kemungkinan timbulnya muntah pada semua penderita yang cedera dan sudah siąp
untuk kemungkinan itu. Adanya isi lambung di dałam orofaring menandakan adanya bahaya besar
aspirasi. Pada keadaan ini harus segera dilakukan penghisapan dan rotasi seluruh tubuh penderita ke
posisi lateral

2.3 Tanda-tanda objektif - Sumbatan Airway


1. Lihat (Look) apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun. Agitasi memberi
kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia. Sianosis
menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan
melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot
napas tambahan yang, apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.
2. Dengar (Listen)adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara napas tambahan)
adalah pemapasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snorling), berkumur (gurgling), dan bersiul
(crowing sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring.
Suara parau (hoarseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring. Penderita yang melawan
dan berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena
keracunan/mabuk.
3. Rasa (Feel) Tentukan dengan cepat apakah ada hembusan udara yang keluar.

Gambar 2. 6 Look, Listen And Feel

2.4 Pengelolaan Airway


Penilaian bebasnya airwaydan baik-tidaknya pernapasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat.
Pulse Oxymeter penting digunakan. Bila ditemukan masalah atau dicurigai, tindakan-tindakan
sebaiknya dimulai secepatnya untuk memperbaiki oksigenasi dan mengurangi resiko bahaya
pernapasan lebih lanjut. Ini berupa teknik-teknik mempertahankan airway, tindakan-tindakan
airwaydefinitif (termasuk surgical airway), dan cara-cara untuk memberikan tambahan Ventilasi. Karena
semua tindakan-tindakan ini mungkin mengakibatkan pergerakan pada leher, mąka perlindungan
terhadap servikal (cervical spine) harus dilakukan pada semua penderita, terutama bila diketahui adanya
cedera servikal yang tidak stabil atau penderita belum sempat dilakukan evaluasi lengkap serta ber-
resiko. Servikal harus dilindungi sampai kemungkinan cedera spinal telah disingkirkan dengan
penilaian klinis dan pemeriksaan foto ronsen yang sesuai.

Teknik membebaskan jalan nafas:


Dibawah ini terdapat urutan teknik membebaskan jalan nafas pada pasien sumbatan
jalan nafas yang diduga akibat obstruksi benda asing:
1. Pada penderita yang sadar, tanyakan apakah penderita tersedak dan beri dorongan
pada penderita batuk untuk mengeluarkannya dengan cara membatukkan dan
meludahkan benda asing tersebut.
2. Bila penderita tidak sadar, letakan dalam posisi horizontal dan jika diduga terdapat
sumbatan jalan nafas, buka mulut penderita dan lakukan finger sweep (membebaskan
mulut dan faring secara manual). Setelah itu berikan nafas buatan sambil dilakukan
jaw thrust untuk melebarkan hipofaring. Jika tidak berhasil,lakukan 6-10 kali
abdomnal atau chest thrust diikuti finger sweep dan nafas buatan. Bila berhasil, pasien
dimiringkan dan kemudian dilakukan back blow sebanyak 3-5 kali secara perlahan
diikuti dengan finger sweep dan pemberian nafas buatan. Jika belum berhasil lakukan
lagi abdominal thrust-finger sweep nafas buatan-back blow – finger sweep – nafas
buatan selama yang dibutuhkan. Mintalah pertolongan kepada orang lain disekitar
tempat kejadian untuk menghubungi pelayanan medis gawat darurat.

Jika anda mencurigai adanya benda asing di dalam mulut atau tenggorokan dan
menghambat ventilasi ke paru-paru. Menarik mulut terbuka, menggunakan satu dari tiga
manuver :
1. Manuver jari menyilang (crossed finger) untuk rahang yang lebih relaks. Posisikan
anda pada puncak atau samping kepala pasien. Masukan jari telunjuk ke sudut mulut
dan tekan jari telunjuk melawan gigi atas ; kemudian tekan jempol anda, menyilang
dengan jari telunjuk anda, melawan gigi bawah, dimana juga harus menahan mulut
terbuka. Untuk memperluas ruangan untuk instrumentasi, pastikan jari yang masuk ke
sudut terjauh dalam mulut.
2. Manuver jari di belakang gigi (finger behind teeth) untuk rahang yang menutup keras,
masukan satu jari telunjuk diantara pipipasien dengan gigi dan pinggir ujung jari
telunjuk di belakang gigi molar terakhir.
3. Manuver menarik rahang-lidah untuk rahang yang benar-benar relaks. Masukkan
jempol anda ke dalam mulut pasien dan tenggorokan, dan dengan ujung jempol
mengangkat dasar lidah. Jari lainnya menggenggam mandibula pada dagu dan
mengangkat ke arah anterior.

Manuver diatas dapat digunakan juga pada saat memasukkan laringoskop atau saat
melakukan penyedotan. Sapu dengan satu atau dua jari (mungkin dapat menutupi beberapa
gumpalan) melalui mulut dan faring untuk membersihkan. Tarik keluar cairan benda asing
dengan ujung dan tengah jari-jari. Coba untuk mengekstrak benda asing yang solid dari
farang dengan ujung telunjuk dan jari tengah anda seperti menjepit.
Keluarkan cairan asing dengan memiringkan kepala ke sisi samping.Pada korban
kecelakaan, miringkan kepala ke samping atau memflaksikan kepala harus dihindari karena
dapat mengakibatkan kerusakan yang parah pada saraf spinal. Jika kepala ingin diputar ke
samping pada korban kecelakaan maka seluruh badan pasien harus diputar, dengan asisten
memegang kepala, leher dan dada dalam satu garis lurus.

Teknik manuver triple airway (menarik rahang):


Jika korban tidak sadar dan tidak bernafas adekuat maka kepala diekstensikan (atau ketika
apneu, tidaklah mudah memberikan ventilasi dengan cara tersebut) :
 Harus ditambah dengan menarik rahang dan membuka mulut sedikit
 Genggam mandibula bagian atas di depaan dari lobus telinga dengan menggunakan
jari 2-5 (atau 2-4) dengan kedua tangan dan menarik dengan kuat ke arah atas
(foward), menarik mandibula sehingga rahang bawah menonjol keluar di depan dari
rahang atas (dua tangan mengangkat rahang; jaw thrust). Tarik kembali bibir dengan
jempol, jangan menggenggam akar mandibula secara horizontal karena dapat
menutup mulut.

Gambar 2. 7 Triple Manuever

 Jika korban bernafas spontan, posisikan anda di vertex pasien


 Jika korban terjadi hipoventilasi atau tidak bernafas dan anda bermaksud memberi
ventilasi mulut ke mulut, posisikan anda pada samping kepala pasien, posisikan
tangan anda secara nyaman (menopang sikut pada tanah). Tutup rapat mulut korban
dengan menutup secara lebar dengan bibir kita, dan tutup hidung dengan pipi anda
ketika meniup. Pada ventilasi mulut ke hidung, tutup rapat hidung korban dengan
bibir anda, dan tutup mulut dengan pipi anda yang sebelahnya atau dengan jempol
anda.

Jika korban relaks, dapat juga mngekstensikan kepala bersamaan membuka mulut
bersamaan dengan mendorong rahang secara efekti dengan menarik mandibula ke depan
dengan jempol anda di dalam mulut (menarik rahang dengan jempol). Jangan menggunakan
metode ini jika pasien responsif, karena dapat menggigit jempol anda. Selama pemberian
nafas mulut ke mulut, meniup sambil bibir anda menutup rapat sekitar jempol anda dan
mulut.
2.4.1Airway Definitif
Pada airwaydefinitif mąka ada pipa didalam trakea dengan balon (cuff) yang
dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu pernafasan yang
diperkaya dengan oksigen, dan airwaytersebut dipertahankan ditempatnya dengan plester.
Terdapat tiga macam airwaydefinitif, yaitu: pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan
airwaysurgikal (krikotiroidotomi atau trakeostomi).
Penentuan pemasangan airwaydefinitif didasarkan pada penemuan-penemuan klinis
antara lain :
1. adanya apnea;
2. ketidak mampuan mempertahankan airwayyang bebas dengan cara-cara.yang lain;
3. kebutuhan untuk melindungi airwaybagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus;
4. ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti akibat lanjut cedera
inhalasi, patah tulang wajah, hemaioma retrofaringeal, atau kejang-kejang yang
berkepanjangan;
5. adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan napas (GCS 8) 6.
ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian
oksigen tambahan lewat masker wajah.

Rute dan metoda yang digunakan ditentukan oleh tingkat kegawatan dan keadaan
yang menentukan perlunya airway. Bantuan ventilasi (assisted ventilation) yang lama
dipermudah dengan tambahan sedasi, analgesik, atau pelemas otot, sesuai indikasinya.
Penggunaan pulse oyymeter pulsa dapat membantu dałam menentukan perlunya
airwaydefinitif, saat pemasangan airwaydefinitif dan efektivitasnya airwaydefinitif.
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal adalah cara yang paling sering digunakan. Adanya
kemungkinan cedera semkal merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada penderita
yang memerlukan airway.

2.5 Alat-alat Jalan Napas


2.5.1 Oral dan Nasal
Pada pasien teranestesi, kehilangan tonus otot dari jalan napas atas (ct. m.
genioglossus) menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh ke belakang yaitu ke dinding
posterior faring.Alat jalan napas seperti pipa naso / orofaring bisa mencegah hal ini.
Pada pemasangan pipa orofaring hati-hati pada pasien yang sadar atau teranestesi
ringan karena bisa terjadi batuk atau laringospasme saat insersi alat itu. Pada pemasangan
pipa orofaring lidah ditekan dengan spatel lidah. Untuk ukuran dewasa biasanya 80 mm
(Guedel no.3); medium 90mm (G.no4) dan besar 100 mm (G. no. 5).
Panjang dari jalan napas melalui hidung diperkirakan oleh jarak dari cuping
hidung ke lubang telinga, kadang jaraknya 2 – 4 cm lebih panjang dari jalan napas oral.
Karena resiko epistaksis, alat bantu jalan napas hidung tidak boleh digunakan pada
pasien dengan penyakit koagulasi atau pada anak-anak dengan adenoid menonjol juga
jangan digunakan pada pasien fraktur basis cranii.
Alat apapun yang akan dimasukkan ke hidung (ct. pipa nasofaring, kateter
nasogastrik, pipa nasotrakea) harus diberi lubrikasi dan dimasukkan pada sudut yang
tegak lurus dengan wajah untuk menghindari trauma terhadap atap dari hidung. Pada
pasien teranestesi ringan lebih baik digunakan alat bantu jalan napas melalui hidung.
Gam
bar 2. 8
Orophar
yngeal
Airway
2.5.2
Face
Mask
Penggunaan dari face mask dapat memfasilitasi transportasi gas anestesi dari mesin ke
pasien. Face mask menutupi mulut dan hidung dan bisa menyesuaikan terhadap struktur
wajah. Bagian atasnya disambungkan kepada konektor mesin anestesi.Face masktransparan
digunakan untuk mengobservasi gas ekspirasi yang beruap dan melihat jika pasien muntah.
Face mask yang terbuat dari karet hitam bisa menyesuaikan terhadap struktur wajah yang
tidak umum. Hook di sekitar mask berguna untuk mengaitkan jala kepala agar mask tidak
usah dipegang terus oleh ahli anestesi. Mask untuk pediatri dibuat kecil untuk mengurangi
dead space jalan pernapasan dari mask. Ventilasi yang efektif membutuhkan mask yang
bagus dan jalan napas yang terbuka. Kantong pernapasan mesin anestesi yang tidak bisa
menggembung saat dipompa adalah akibat dari face mask yang tidak sempurna menutup
hidung dan mulut (ada kebocoran), jika pengembangan kantong pernapasan baik tapi VBS
menurun dan gerak dada minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan napas.
Ga
mb
ar
2.9
Fac
e
Ma
sk

Cara memegang face mask dan memompa kantong pernapasan adalah, tangan kiri
memegang face mask dan menekannya ke arah wajah selagi tangan kanan memompa
kantong, atau jika 2 tangan memegang face mask, asisten memompa kantong. Face mask
ditekan menutup hidung dan mulut oleh jari jempol dan telunjuk, jari tengah dan jari manis
menekan tulang mandibula ke atas sehingga pasien hiperekstensi dan jari kelingking di
belakang sudut mandibula dan mendorongnya ke depan.
Gambar 2.10 Cara Memegang Face Mask

Pada pasien yang ompong, gigi palsu jangan dicopot atau pipi disumpal dengan kain
kassa. Ventilasi tekanan positif maksimal 20 cm H2O untuk menghindari perut kembung.
Banyak pasien dapat di maintain dengan face mask, alat bantu nasal atau oral dan jala kepala,
tapi jika terlalu lama bisa menyebabkan trauma terhadap cabang n. trigeminus atau n. facialis,
untuk menghindari ini face mask harus dilonggarkan dari jala kepala secara regular selama
operasi. Jangan juga menyebabkan abrasi dari kornea mata.
Indikasi dilakukannya face mask adalah:
1. Untuk menyediakan anestesi inhalasi untuk prosedur singkat pada pasirn
2. Untuk preoksigenasi (denitrogenasi) pada pasien sebelum intubasi endotrakeal
3. Untuk menilai atau mengontrol ventilasi sebagai bagian dari awal resusitasi

2.5.3 Laryngeal Mask (LMA)


LMA berguna untuk memfasilitasi ventilasi, menggantikan fungsi ETT pada pasien
dengan jalan napas yang sulit, dan memventilasi saat fiberoptic bronchoscopy (FOB) juga
membantu penempatan dari broncoscope-nya.
Gambar 2.11 Tabel Ukuran LMA

LMA terdiri dari ujung proksimal disambungkan kepada konektor ukuran 15 mm dan
pd ujung lainnya terdapat balon yang lebar yang bisa dikembangkan. Cara memasukkannya,
ujung yang lebar dimasukkan ke hipofaring (batas depan ujung dalam lidah, lateral sinus
pyriformis dan dibawahnya sphincter atas esofagus) sehingga saat diinflasi balonnya dapat
menutup laring. Ini memerlukan anestesi yang cukup dalam, hati-hati jika esofagus terdapat
di bawah LMA bisa erjadi distensi gastrik dan regurgitasi bisa terjadi.LMA melindungi laring
dari sekret faring tapi bukan terhadap gastrik regurgitasi.Alat ini dicabut jika pasien sudah
kembali refleks jalan napasnya, tandanya batuk dan mulut terbuka sesuai perintah.LMA yang
dapat digunakan kembali terbuat dari silikon dan tersedia banyak ukuran.
Indikasi:
1.sebagai alternative untuk mask ventilasi atauintubasi endotrakela pada manajemen
jalan nafas
2.pada penatalaksanaan dari jalan nafas yang sulit
3.pada penatalaksanaan selama resusitasi pada pasien yang tidak sadar

Gambar 2.12 Keuntungan LMA


dibandingkan Dengan Face Mask/ ETT
Gambar 2.13 LMA

2.5.4 Esophageal-Tracheal Combitu


Memiliki 2 pipa yang bersatu dengan konektor ukuran 15 mm di ujungnya.Di
sepanjang pipa yang berwarna biru ada lubang-lubang yang menyebabkan gas keluar.Pipa
yang bening tidak ada lubang-lubang ini.Cara memasukkannya melalui mulut sampai 2 cincin
hitam ada di antara gigi atas dan gigi bawah. Combitube punya 2 balon (cuff) yang bisa
dikembangkan, yang satu 100 cc cuff proksimal dan 15 cc cuff distal .Lumen distal dari
combitube kadang (95%) berada di atas esofagus, pipa yang panjang ini memiliki lubang-
lubang yang menyebabkan gas masuk ke laring, pipa yang lebih pendek digunakan untuk
dekompresi gaster. Sebaliknya jika memasuki trakea ventilasi melalui pipa bening akan
langsung ke trakea. Biasanya diperlukan 160 cc untuk mengisi cuff proksimal, dan menutup
faring bagian atas. Keuntungannya menutup lebih sempurna dan lebih mencegah regurgitasi
gaster dan aspirasi, tapi hanya tersedia dalam satu ukuran dewasa sekali pakai ( umur > 15
tahun, tinggi badan > 5 kaki) dan harganya mahal. Penggunaannya tidak bisa sebagai
penuntun FOB fleksibel atau pemandu intubasi karena ada lubang-lubang sepanjang lumen
pipa. Tidak boleh digunakan pada pasien dengan gag refleks yang intak, patologi esofagus,
atau riwayat makan makanan pedas.
Gambar 2.14ETT

2.5.5 Pipa Endotracheal (ETT)


ETT dapat digunakan untuk memasukkan gas langsung ke trakea dan dapat
mengontrol ventilasi dan oksigenasi.Dibuat kebanyakan dari polyvinyl chloride.Tanda I.T
atau Z-79 memastikan tidak toksis.Penggunaannya dapat dengan stylet.Murphy tube (Murphy
eye gunanya untuk mengurangi resiko oklusi di trakea.Resistensi tergantung ukuran diameter
ETT, curvatura dan panjang ETT. Satuan diameter dalam mm. Untuk dewasa bagian-
bagiannya terdiri dari valve, pilot balloon, pipa dan cuff.. Cuff berguna untuk fiksasi atau
mencegah aspirasi, untuk anak tidak punya cuff untuk menghindari trauma akibat tekanan
dan croup postintubasi.
Gambar 2.15Pipa ETT

Cuff terdiri dari tekanan besar (volume kecil) dan tekanan kecil (volume besar).
Tekanan besar sering menyebabkan kerusakan iskemi terhadap mukosa trakhea, tidak boleh
pada operasi lama. Tekanan kecil meningkatkan resiko tenggorokan kering, aspirasi,
ekstubasi spontan dan insersi yang susah, tapi karena resiko terhadap mukosa trakhea lebih
kecil jenis ini lebih sering digunakan.
Tekanan cuff tergantung dari beberapa faktor : volume inflasi, diameter cuff,
compliance cuff dan tekanan intrathorax ( tekanan cuff meningkat dengan batuk ).
Tekanannya bisa meningkat pada anesteri general akibat difusi N2O dari mukosa trakhea
menuju ETT cuff.

ETT terdiri dari beberapa jenis fleksibel, spiral wound, wire reinforced ETT (armored
tubes) mencegah kinking dan membuktikan baik pada operasi kepala dan leher,
microlaryngeal tubes, RAE preformed tubes, dan double lumen ETTs.

2.5.5.1 Intubasi Endotrakeal


Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan.Pembersihan
saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi.Pemasangan selang endotrakeal
memungkinkan pasien menerima ventilasi tekanan positif dengan kantung dipegang tangan
atau ventilator mekanis dan saluran nafasnya dihisap serta terlindung dari aspirasi.
Indikasi pemasangan intubasi endotrakeal adalah:
1. Henti kardiopulmonal
2. Gagal nafas yang membutuhkan ventilasi mekanis. Indikasi ventilasi mekanis akan
bervariasi antara pasien. Satu indikasi umum ventilasi mekanis adalah elevasi akut pCO2
dan penurunan pH pada pasien kepayahan, somnolen atau lemah. Ini akan mencakup
pasien dengan asma atau penyakit paru obstruktif menahun yang menjadi fatigue selagi
berusaha bernafas, pasien dengan kelemahan otot atau dosis obat berlebih, pasien pasca
operasi yang masih mengalami depresi saluran nafas berkaitan dengan obat. Indikasi
umum lain untuk ventilasi adalah jika pO2 pasien menurun hingga kurang dari 55 mmHg
meski diberikan oksigen 50%. Ini dapat terjadi pada pasien dengan pneumonia hebat
atau edema paru.
3. Pasien kurang bereaksi yang mungkin muntah dan mengalami aspirasi.
4. Kebutuhan sementara pengisapan bronkial untuk mengeluarkan sekret.

 PETUGAS DAN PERLENGKAPAN


1. Seorang dokter terlatih dan berpengalaman dalam intubasi endotrakeal dan seorang
asisten yang mengetahui tentang peralatannya.
2. Sebelum mengerjakan intubasi endotrakea, dapat diingat kata STATIC.
S = scope, laringoskop dan stetoskop.
T = tubes, pipa endotrakeal.
A = airway tubes, pipa orofaring/nasofaring.
T = tape, plester.
I = introducer, stilet, mandren.
C = connector, sambungan-sambungan.
S = suction, penghisap lendir.

a. Laringoskop
Ada dua jenis laringoskop, yaitu :
 Blade lengkung (Macintosh). Biasanya digunakan pada laringoskop dewasa.
Peganglah gagang dengan tangan kiri. Leher pasien difleksikan dan kepala
diekstensikan. Mulut dibuka dengan jari telunjuk kanan, bibir atas disibakkan
dengan jempol kanan. Ujung blade laringoskop dimasukkan perlahan sampai
mencapai valekula menekan ligamentum hipoepiglotikum dan menggerakkannya
ke atas untuk menampakkan laring dan pita suara. Gigi jangan digunakan sebagai
bantalan untuk mengangkat ujung blade. Lampu laringoskop harus terang.
 Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill)
mempunyai teknik yang berbeda. Ujung blade tidak diletakkan pada valekula
tetapi diteruskan melampaui batas bawah epiglotis. Epiglotis diangkat langsung
dengan blade untuk menampilkan laring. Teknik ini biasa digunakan pada bayi
dan anak karena mempunyai epiglotis relatif lebih panjang dan kaku. Trauma
pada epiglotis lebih sering terjadi pada laringoskop dengan blade lurus.
b. Pipa endotrakeal
Biasanya dibuat dari karet atau plastik.Pipa plastik yang sekali pakai lebih tidak
mengiritasi mukosa trakea.Untuk operasi tertentu, misalnya di daerah kepala dan leher
dibutuhkan pipa yang tidak bisa tertekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.
Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa emdotrakeal
mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon
dengan volume kecil dan besar.Volume balon kecil cenderung bertekanan tinggi pada
sel-sel mukosa, dan mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan
iskemia.Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan
tekanan lebih rendah dibandingkan balon volume kecil.
Pipa tanpa balon (cuff) biasa digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit
jalan nafas adalah pada rawan krikoid.Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan
balon karena bagian tersempit adalah trakea.
Pada orang dewasa, digunakan pipa endotrakeal dengan diameter internal yang
besar untuk mengurangi resistensi pernafasan. Diameter internal pipa untuk laki-laki
dewasa biasanya berkisar 8,0-9,0 mm dan wanita 7,5-8,5 mm. untuk intubasi oral
panjang pipa yang masuk 20-23 cm. Pada anak dipakai rumus :

Panjang pipa yang masuk (mm) = umur (tahun) + 4


4

Rumus di atas merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih
kecil dan lebih besar. Untuk anak yang lebih kecil dapat diperkirakan dengan melihat
kelingkingnya.
c. Pipa orofaring/nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena
jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
d. Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi.
e. Stilet atau forsep intubasi. Stilet (mandren) digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (Magill) digunakan untuk
memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring. Biasanya
dibantu dengan laringoskop.
f. Alat penghisap (suction).Digunakan untuk membersihkan jalan nafas.
3. Satu sumber oksigen dan perlengkapan resusitasi, termasuk satu kantung dan masker
untuk ventilasi.
4. Lidokain 1%, 10 mL, dalam peralatan semprot (spray) bila pasien sadar.

 TINDAKAN
1. Persiapan. Pasien dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan bantal
sehingga kepala dalam posisi ekstensi serta trakea dan laringoskop berada dalam satu
garis lurus.
2. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot lakukan
oksigenasi dengan pemberian O2 100% selama 3 menit. Sungkup dipegang dengan
tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
3. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan mulut.
Lidah pasien didorong dengan daun tersebut ke kiri dan lapang pandang akan terbuka.
Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan
kiri dan akan terlihat uvula, faring, serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan
dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara
yang tampak berwarna keputih-putihan berbentuk huruf V.
4. Pemasangan pipa endotrakeal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu sebelum
memasukkan pipa, asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara tampak jelas. Bila mengganggu, stilet dicabut. Ventilasi/oksigenasi diberikan
dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri menfiksasi pipa. Balon pipa
dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan. Pipa difiksasi dengan plester.
5. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan berkembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
dilakukan ventilasi dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara
nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa udara di pipa endotrakeal. Bila
terjadi intubasi endobronkial akan terdapat tanda-tanda, yaitu suara nafas kanan dan
kiri berbeda, kadang-kadang timbul wheezing, sekret lebih banyak, dan tahanan jalan
nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit
sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke esofagus maka
epigastrium atau gaster mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan
stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien tampak
biru. Untuk hal ini pipa dicabut dan tindakan intubasi dilakukan setelah diberikan
oksigenasi yang cukup.
6. Ventilasi. Pemberian ventilasi sesuai dengan kebutuhan pasien.

Gambar 2.16Pemasangan Larygoscope

KESALAHAN MELETAKKAN ETT


ETT terlalu masuk akan masuk ke bronchus kanan tandanya VBS kiri tidak ada
, hypoxia tidak diharapkan, high peak inspiratory pressures, dan cuff di sternal notch
tidak teraba. Jika terlalu dangkal cuff ETT teraba di cartilago tiroid. Jadi rutin harus
dilakukan auskultasi, perabaan cuff dan capnografi rutin.Jika posisi pasien dirubah
cek lagi posisi ETT.
Gambar 2.17Grade Mallampati

2.5.6 Laringoskop
Alat untuk memeriksa laring dan memfasilitasi intubasi, pegangannya memiliki batre
untuk lampu pada blade.Macintosh dan Miller adalah jenis yang bengkok atau lurus yang
sering digunakan.

Ga
mb
ar
2.1
8L
ary
ngo
sco
pe

2.5.7 Flexible Fiberoptic Brochoscopes


Pada situasi tertentu, seperti pasien dengan vertebrae cervical tidak stabil atau pada
gerakan sendi temporomandibular yang terbatas atau pada kelainan kongenital anomali jalan
napas atas.

Gambar 2.19Flexible Fiberoptic


Brochoscopes

2.5.8 Laringoskopi Direk Dan Intubasi


Indikasi intubasi untuk pasien yang beresiko aspirasi dan untuk yang menjalani
prosedur melibatkan rongga tubuh atau kepala dan leher.LMA untuk prosedur minor seperti
cystoscopy atau pemeriksaan mata dengan anestesi.
Gambar 2. 20ETT

2.6 Intubasi Orotrakheal


Laringoskop dipegang tangan kiri, mulut pasien terbuka lebar, blade digeser dari kiri
ke kanan, ujung dalam di valekula, jika blade lurus epiglotis dijepit.Handle diangkat ke atas
tegak lurus. Jangan bertumpu pada gigi, hati-hati pada bibir pasien.ETT dibawa dengan
tangan kanan, ujung dalam dimasukkan di antara pita suara. Cuff harus berada di trakhea atas
tapi di laring bawah. Laringoskop dikeluarkan, balon ETT dikembangkan dengan jumlah
terkecil yang bisa memfiksasi ETT.
Dada langsung diauskultasi, capnograf dinilai, jika yakin dengan posisi ETT, ETT
difiksasi.Manifestasi awal endobronchial adalah tekanan puncak inspirasi meningkat. Untuk
menilai posisi pipa letakan jari di sternal notchakan terasa balon bergerak jika pilot balon
ditekan. Cuff tidak boleh berada di atas cartilago cricoid, karena suara bisa serak dan bisa
terjadi ekstubasi spontan. Setelah ETT terpasang difiksasi dengan plester dengan kuat. Pada
pasien sadar gunakanlah sedasi intravena, lokal anestesi spray di orofaring, blok saraf
regional dan menyemangati pasien agar poasien mau bekerjasama. Jika intubasi gagal,
perhatikan posisi pasien, ukuran pipa dikurangi, memakai mandrain, blade diganti, melihat
jalur napas hidung, minta tolong kepada dokter anestesi lain. Jika pasien susah menggunakan
face mask, gunakanlah alat bantu nafas lain.
Gambar 2.21Metode ETT

2.7 Intubasi Nasotracheal


Sama dengan orotracheal hanya ETT dimasukkan ke hidung dulu baru dilaringoskopi,
jika ujung ETT terlihat di orofaring dapat digunakan Magill forceps untuk mengarahkannya
ke laring.

Gambar 2.21 Nasotracheal

2.8AirwayDefinitif Surgikal
Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk
membuat airwaysurgikal. Apabila terdapat edema pada glottis, fraktur laring, atau perdarahan
orofaringeal berat yang membuntu airwaydan pipa endotrakeal tidak d?pat dimasukkan melalui
plica, mąka airwaysurgikal harus dibuat. Pada sebagian besar penderita yang memerlukan
airway surgikal, krikotiroidotomi surgikal lebih dianjurkan dari pada trakeostomi.
Krikotiroidotomi surgikal lebih mudah dilakukan, perdarahannya lebih sedikit, dan lebih cepat
dikerjakan dari pada trakeostomi.

2.9 Komplikasi
Komplikasi tindakan intubasi endotrakeal dapat terjadi saat dilakukannya tindakan
laringoskopi dan intubasi, selama pipa endotrakeal dimasukkan, dan setelah ekstubasi.
Komplikasi tindakan laringoskopi dan intubasi
1. Malposisi : intubasi esofagus, intubasi endobronkial, malposisi laryngeal cuff.
2. Trauma jalan nafas : kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah, mukosa mulut,
cedera tenggorok, dislokasi mandibula, dan diseksi retrofaringeal.
3. Gangguan refleks : hipertensi, takikardia, tekanan intrakranial menigkat,
tekanan intraokular meningkat, dan spasme laring.
4. Malfungsi tuba : perforasi cuff.
Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal
1. Malposisi : ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial, malposisi
laryngeal cuff.
2. Trauma jalan nafas : inflamasi dab ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit
hidung.
3. Malfungsi tuba : obstruksi.
Komplikasi setelah ekstubasi
g. Trauma jalan nafas : edema dan stenosis (glotis, subglotis, atau trakea), suara
serak/parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi
laring.
h. Gangguan refleks, spasme laring.

2.10 Kesalahan Meletakkan ETT


ETT terlalu masuk akan masuk ke bronchus kanan tandanya VBS kiri tidak ada ,
hypoxia tidak diharapkan, high peak inspiratory pressures, dan cuff di sternal notch tidak
teraba. Jika terlalu dangkal cuff ETT teraba di cartilago tiroid. Jadi rutin harus dilakukan
auskultasi, perabaan cuff dan capnografi rutin.Jika posisi pasien dirubah cek lagi posisi ETT.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Penanganan jalan napas merupakan hal yang sangat penting untuk menanggulangi
henti napas dan henti jantung. Ada beberapa tahap yang bisa digunakan untuk menangani
keadaan tersebut, yaitu airway control, breathing support, circulation support, drugs and
fluid intervenous infusion, electrocardioscopy (cardiography), fibrillation treatment,
gaughing, human mentation, dan intensive care.
Penanganan jalan napas merupakan hal yang sangat penting untukmenanggulangi henti
napas
1. Pada segala tindakan mengenai airway, servikal harus dilindungi
2. Tanda-tanda klinis yang mengarah ke bahaya terhadap airwaydianjurkan untuk dikelola dengan
membuka airway dan memberikan ventilasi yang adekuat dengan udara yang diperkaya dengan
oksigen
3. Suatu airwaydefinitif harus dipasang apabila terdapat kecurigaan akan integritas airwaypenderita.
4. Suatu airwaydefinitif dianjurkan untuk dipasang secara dini setelah penderita diberi ventilasi
dengan udara yang diperkaya dengan oksigen. Periode apnea yang berkepanjangan harus dicegah
5. Pengelolaan airwaymemerlukan penilaian dan penilaian ulang atas terbukanya airway, posisi
pipa, dan efektivrtas ventilasi.
6. Pemilihan orotrakeal atau nasotrakeal untuk intubasi didasarkan pada pengalaraan dan tingkat
ketrampllan pribadi
7. Airway surgikal mempakan indikasi apabila diperlukan airrway dan intubasi temyata gagal

3.2 Saran
Komplikasi yang dapat terjadi harus diketahui dan dihindari agar tidak merugikan
pasien.

2.1. Anatomi
Saluran nafas bagian atas terdiri dari hidung, mulut, faring, laring, trakea, dan
percabangan bronkus. Mulut dan faring juga merupakan bagian dari saluran
pencernaan bagian atas. Struktur laring merupakan bagian yang berperan dalam
mencegah aspirasi ke dalam trakea.
Terdapat dua pintu pernafasan pada manusia, yaitu hidung yang melanjutkan
ke dalam nasofaring dan mulut yang menghubungkan ke dalam orofaring. Hantaran
udara yang masuk melalui kedua pintu pernafasan ini dipisahkan dibagian depan dan
bergabung dalam faring di bagian belakang. Faring dengan struktur fibromuskular
yang berbentuk U memanjang dari dasar tengkorak ke kartilago krikoid di pintu
masuk ke kerongkongan (esofagus). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis
imajiner yang membentang dari bagian posterior. Di dasar lidah, epiglotis berfungsi
untuk memisahkan orofaring dan laringofaring (atau hipofaring)
Epiglotis juga berfungsi untuk mencegah aspirasi dengan menutup glotis –
pembuka laring saat menelan. Laring adalah kerangka tulang rawan yang disusun oleh
ligamen dan otot. Laring terdiri dari sembilan kartilago; tiroid, krikoid, epiglotis, dan
sepasang arytenoid, corniculata dan cuneiformis. Kartilago tiroid diselubungi oleh
konus elasticus yang membentuk pita suara.
Persarafan saluran pernafasan atas te
2.2. Airway Management
2.2.1. Airway Assesment
2.2.2. Persiapan Airway Management

1) Oraofaringeal dan nasofaringeal

2) Face Mask
2.2.3. Posisi Pasien
2.2.4. Preoksigenasi
2.2.5. Bag and Mask Ventilation
2.2.6. Intubasi

2.2.6.1.Laringeal Mask Airway

Sebuah Laryngeal Mask Airway (LMA) terdiri dari tabung bore lebar yang ujung
proksimalnya dapat terhubung ke sirkuit pernafasan dengan konektor berukuran 15-mm
standar, dan pada ujung distal terdapat cuff elips yang dapat digelembungkan melalui tabung
kendali. Cuffyang masih kempis dilumasi dan dimasukkan ke hipofaring sehingga, sekali
meningkat, cuff dengan tekanan rendah menutup sekitar pintu masuk laring. Ini
membutuhkan anestesi yang dalam dan relaksasi otot yang sedikit lebih besar dari yang
dibutuhkan untuk insersi jalan napas oral. Meskipun insersirelatif sederhana, perhatian
terhadap detail akan meningkatkan tingkat keberhasilan. Sebuah cuff idealnya diposisikan
berbatasan dengan dasar lidah superior, piriformis yang sinus lateral, dan sfingter esofagus
bagian atas inferior.Jika kerongkongan terletak dalam tepi cuff, distensi lambung dan
regurgitasi dapat terjadi.Variasi anatomi dapat menghambat fungsi dari terpasangnya LMA
untuk beberapa pasien.Namun, jika LMA tidak berfungsi dengan baik setelah ukuran dari
LMA telah dicocokan, sebagian besar praktisi akan mencoba LMA lain yang satu ukuran
lebih besar atau lebih kecil. Setelah sesuai dan dapat berfungsi dengan baik, LMA dapat
difiksasi menggunakan plester.LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak untuk
regurgitasi lambung), dan harus tetap di tempat sampai refleks jalan napas pasien kembali
normal.Hal ini biasanya ditandai dengan batuk dan membuka mulut dengan perintah.LMA
tersedia dalam berbagai ukuran.
LMA merupakan alternatif untuk ventilasi dari face mask atau TT. Kontraindikasi relatif
untuk LMA adalah pasien dengan faring patologis (misalnya, abses), obstruksi faring, perut
penuh (misalnya, kehamilan, hernia hiatus), atau penyakit paru (misalnya, penyakit saluran
napas restriktif) membutuhkan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O . Secara
tradisional, LMA tidak disarakan pada pasien dengan bronkospasme atau resistensi jalan
nafas tinggi, namun bukti terbaru menunjukkan bahwa karena LMA tidak ditempatkan di
trakea, penggunaan LMA tidak begitu berkaitan dengan bronkospasme dibandingkan dengan
TT. Meskipun LMA jelas bukan pengganti dari intubasi trakea, LMA telah terbukti sangat
bermanfaat sebagai alternative yang dapat menyelamatkan jiwa pada pasien dengan saluran
pernapasan yang sulit (mereka yang tidak dapat ventilasi atau diintubasi) karena kemudahan
insersi dan tingkat keberhasilan yang relatif tinggi ( 95% sampai 99%). Telah digunakan
sebagai saluran untuk stylet intubasi (misalnya, karet elastis bougie), ventilasi jet stylet, FOB
fleksibel, atau TT dengan diameter kecil (6,0 mm). Beberapa LMA yang tersedia yang telah
dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang lebih besar, dengan atau tanpa
menggunakan FOB a. Insersi dapat dilakukan dengan anestesi topikal dan memblok saraf
laring bilateral atas, jika jalan nafas harus diamankan saat pasien terjaga.
Variasi dalam desain LMA meliputi:
• The ProSeal LMA, yang memungkinkan bagian dari tabung lambung untuk dekompresi
lambung
• The I-Gel, yang menggunakan occluder gel daripada cuff karet
• The Fastrach intubasi LMA, yang dirancang untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal
melalui perangkat LMA
• The LMA CTrach, yang menggabungkan kamera untuk memfasilitasi lewatnya sebuah
tabung endotrakeal
Sakit tenggorokan adalah efek samping yang umum dari digunakannya SAD. Luka pada
lingual, hypoglossal, dan nervus laring berulang sering terjadi. Penggunaan ukuran yang
tepat, menghindari hiperinflasi cuff, dan pergerakan lembut pada rahang selama penempatan
dapat mengurangi kemungkinan cedera tersebut.
Esophageal-Tracheal Combitube
The esophageal-trakea combitube terdiri dari dua tabung menyatu, masing-masing dengan
konektor 15-mm pada ujung proksimalnya. Tabung berwarna biru memiliki ujung distal yang
tertutup yang memaksa gas untuk keluar melalui lubang samping. Tabung transparan lebih
pendek memiliki ujung terbuka dan tidak ada lubang samping. Combitube biasanya
dimasukkan melalui mulut dan masuk sampai dua cincin hitam berada pada poros antara gigi
atas dan bawah. Combitube memiliki dua cuff karet, cuff proksimal 100-mL dan cuff distal
15-mL, yang keduanya harus sepenuhnya meningkat setelah penempatan. Lumen distal
combitube biasanya berada di kerongkongan kira-kira 95% hingga ventilasi melalui tabung
biru akan memaksa gas keluar dari lubangi samping dan ke laring. Semakin pendek, tabung
transparan dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Atau, jika combitube memasuki
trakea, ventilasi melalui tabung transparan akan mengarahkan gas ke dalam trakea.

King Laryngeal Tube


Tabung raja laring (LTs) terdiri dari tabung dengan balon esofagus kecil dan balon
yang lebih besar untuk penempatan di hipofaring. Kedua tabung mengembang melalui satu
baris inflasi. Paru-paru meningkat akibat dari udara yang keluar darikedua balon. Terdapat
sebuah port hisap di bagian distal balon esofagus, memungkinkan untuk dekompresi
lambung. LT dimasukkan dan cuffmeningkat. Apabila ventilasi terbukti sulit, LT
kemungkinan dimasukkan terlalu dalam.

A. Indikasi

1. Alternatif face mask dan intubasi endotrakheal untuk penanganan jalan nafas
2. Penanganan airway selama anastesi umum pada :

a. rutin ataupun emergency


b. radioterapi
c. CT-Scan / MRI
d. Resusitasi lua bakar
e. ESWL
f. Adenotonsilektomy
g. Bronkhoskopi dengan fiberoptik fleksibel
h. Resusitasi neonatal

3. Situasi jalan nafas sulit :

a. Terencana
b. Penyelamatan jalan nafas
c. Membantu intubasi endotrakheal

B. Kontraindikasi

Kondisi-kondisi berikut ini merupakan kontraindikasi penggunaan LMA :

1. Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (tidak puasa)


2. Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya artitis
rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan memasukkan
LMA lebih jauh ke hipopharynx sulit.
3. Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar
4. Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya
5. Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan)
6. Ventilasi paru tunggal.

2.2.6.2.Intubasi Endotrakeal

Intubasi endotrakeal digunakan baik untuk melakukan anestesi umum dan untuk
memfasilitasi manajemen ventilator dari sakit kritis.TT paling sering dibuat dari polyvinyl
chloride.Di masa lalu, TT ditandai "IT" atau "Z-79" untuk menunjukkan bahwa telah diuji
untuk memastikan bahwa TT tersebut tidak beracun.Bentuk dan kekakuan dari TT dapat
diubah dengan memasukkan stylet.Ujung tabung dibentuk miring untuk membantu visualisasi
dan insersi melalui pita suara.Tabung Murphy memiliki lubang (mata Murphy) untuk
mengurangi risiko oklusi, seharusnya tabung pembukaan distal berbatasan carina atau
trakea.Resistensi terhadap aliran udara terutama tergantung pada diameter tabung, tetapi juga
dipengaruhi oleh panjang tabung dan kelengkungan.Ukuran TT biasanya ditunjuk dalam
milimeter diameter, atau, lebih jarang, dalam skala Perancis (diameter luar dalam milimeter
dikalikan dengan 3).Pilihan diameter tabung selalu diperkirakan antara memaksimalkan
aliran dengan ukuran yang lebih besar dan meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran
yang lebih kecil.
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pompa cuff yang terdiri dari katup, balon kendali,
tabung pompa, dan cuff.Katup mencegah bocornya udara setelah cuff dipompa.Balon kendali
memberikan indikasi dari terpompanya cuff.The menggembungkan tabung menghubungkan
katup untuk manset dan dimasukkan ke dalam dinding tabung. Dengan tertutupnya trakea, TT
cuffmembuat ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Tabung
Uncuffed sering digunakan pada bayi dan anak-anak untuk meminimalkan risiko cedera
tekanan dan post-intubation croup; Namun, dalam beberapa tahun terakhir, cuffed pediatric
tubes semakin disukai.
Ada dua jenis utama dari cuff: tekanan tinggi (volume rendah) dan tekanan rendah (volume
tinggi). Cuff tekanan tinggi berhubungan dengan lebih banyak kerusakan iskemik pada
mukosa trakea dan kurang cocok untuk intubasi dengan durasi panjang. Cuff tekanan rendah
dapat meningkatkan kemungkinan sakit tenggorokan (area kontak mukosa yang lebih besar),
aspirasi, ekstubasi spontan, dan insersi yang sulit (karena floppy cuff). Meskipun demikian,
karena insiden lebih rendah dari kerusakan mukosa, cuff tekanan rendah umumnya
digunakan.
Tekanan cuff tergantung pada beberapa faktor: Volume pemompaan, diameter cuff dalam
kaitannya dengan trakea, trakea dan penyesuaian cuff, dan tekanan intratoraks (tekanan cuff
meningkat dengan batuk). Tekanan cuff mungkin meningkat selama anestesi umum dari
difusi nitrous oxide dari mukosa trakea ke dalam cuff TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai aplikasi khusus.Fleksibel, TT yang diperkuat dengan
kawat (tabung lapis baja) tidak mudah terpuntir dan mungkin terbukti berperan penting dalam
beberapa prosedur bedah kepala dan leher atau pada pasien rawan. Jika tabung lapis baja
menjadi tertekuk dari tekanan yang ekstrim (misalnya, pasien terjaga menggigit itu), namun,
lumen akan tetap tersumbat secara permanen, dan tabung perlu diganti. Tabung khusus
lainnya termasuk tabung mikro-laring, tabung double-lumen endotrakeal (untuk memfasilitasi
isolasi paru-paru dan ventilasi satu-paru), tabung endotrakeal dilengkapi dengan blocker
bronkial (untuk memfasilitasi isolasi paru-paru dan ventilasi satu-paru), tabung logam yang
dirancang untuk operasi laser napas untuk mengurangi bahaya kebakaran, dan preformed
tabung melengkung untuk hidung dan intubasi oral bedah kepala dan leher.

Laringoskop
Sebuah laringoskop adalah alat yang digunakan untuk memeriksa laring dan untuk
memfasilitasi intubasi trakea.Pegangan biasanya berisi baterai untuk menyalakan bohlam di
ujung pisau, atau, secara bergantian, untuk daya bundel serat optik yang berakhir di ujung
pisau.Cahaya dari bundel serat optik cenderung lebih tepat diarahkan dan kurang
menyebar.Juga, laryngoscopes dengan bundel cahaya serat optik di pisau mereka dapat dibuat
pencitraan resonansi magnetik yang kompatibel.Pisau Macintosh dan Miller adalah desain
melengkung dan lurus paling populer, masing-masing, di Amerika Serikat.Pilihan pisau
tergantung pada preferensi pribadi dan anatomi pasien.Karena tidak ada pisau yang sempurna
untuk semua situasi, klinisi harus menjadi akrab dan mahir dengan berbagai desain pisau.
Video atau laryngoscopes berbasis optik memiliki sebuah chip video (sistem DCI,
GlideScope, McGrath, Airway) atau lensa / cermin (Airtraq) di ujung pisau intubasi untuk
mengirimkan pandangan glotis ke operator.Perangkat ini berbeda dalam angulasi pisau,
kehadiran saluran untuk memandu tabung untuk glotis, dan penggunaan tunggal atau sifat
serbaguna dari perangkat.Selain itu, digunakan pada manejemen pasien dengan jalan nafas
yan tidak rumit, lebih mudah digunakan pada saat laringoskopi langsung tidak
memungkinkan.

Flexible Fiberoptic Bronchoscopes 


Dalam beberapa situasi, misalnya, pasien dengan cervical yang tidak stabil, keterbatasan
gerak sendi temporomandibular, atau bawaan tertentu.Tabung insersi berisi dua bundel serat,
masing-masing terdiri dari 10.000 sampai 15.000 serat. Satu bundel mentransmisikan cahaya
dari sumber cahaya (sumber cahaya atau bundel koheren), yang baik eksternal ke perangkat
atau terkandung dalam pegangan, sedangkan yang lain menyediakan gambar resolusi tinggi
(gambar atau bundel koheren). Manipulasi directional dari tabung insersi dilakukan dengan
kabel angulasi.Saluran aspirasi memungkinkan pengisapan sekresi, insuflasi oksigen, atau
berangsur-angsur dari anestesi lokal.Saluran aspirasi bisa sulit untuk dibersihkan, dan, jika
tidak dibersihkan dengan benar dan disterilkan setelah digunakan, dapat memberikan celah
untuk infeksi.

Teknik Intubasi
Sebelum melakukan intubasi, perlu dipersiapkan alat-alat yang diperlukan dan diperiksa
keadaannya, misalkan apakah kaf pada intubasi tidak bocor, nyala lampu pada laringoskop,
dan lain-lain.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien
yang benar.Kepala pasien harus sejajar atau lebih
tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk
mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak
perlu selama laringoskopi. Elevasi kepala sedang
(sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari
atlantoocipito join membuat pasien berada pada
posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari
tulang leher dibuat fleksi dengan menempatkan
kepala diatas bantal.
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi
preoksigenasi rutin.Setelah induksi anestesi umum,
Sniffing position mata rutin direkat dengan plester karena anestesi
umum menghilangkan refleks proteksi kornea.
a. Intubasi Orotrakeal

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri.Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade dimasukan
pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi.Geserkan lidah ke kiri
dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade.Puncak dari lengkung blade
biasanya dimasukkan ke dalam vallecula dan ujung blade lurus menutupi epiglotis.Handle
diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita
suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan bladeserta pengungkitan dari gigi harus
dihindari.Orotracheal tube (OTT) diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dilewatkan
melalui pita suara yang terbuka (abduksi).Balon OTT harus berada dalam trakea bagian atas
tapi diluar laring. Lanringoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi.
Balon dikembungkan dengan minimal udara yang dibutuhkan untuk meminimalkan tekanan
yang ditransmisikan pada mukosa trakea.

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf
dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakeal. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan
capnograf yang merupakan konfirmasi terbaik dari letak OTT di trakeal tetapi tidak dapat
mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini dari intubasi bronchial adalah
peningkatan tekanan respirasi puncak.Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada tetapi
ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.Setelah yakin OTT berada dalam posisi yang tepat
pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi.

b. Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan
nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi.Lubang hidung yang dipilih dan
digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih mudah.Tetes hidung
phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan
membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat
digunakan.

NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air dimasukkan ke dasar hidung
dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan
pipa lewat di dasar rongga hidung ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke arah
kepala.Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di
orofaring.Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan.Jika
ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil.Penggunaannya harus dilakukan dengan
hati-hati agar tidak merusakkan balon.Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada
pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.
A. Indikasi

Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan menjadi beberapa hal
sebagai berikut:
a. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya saat resusitasi dan ventilasi
jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Berdasarkan sumber lain, indikasi intubasi dibagi menjadi dua, yaitu indikasi bedah dan
anestesi serta indikasi penyakit kritis.

Tabel 3. Indikasi Intubasi Trakea


B. Kontraindikasi

Intubasi endotrakea tidak bisa dilakukan jika pada pasien ditemukan hal-hal sebagai berikut
a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas.

Penyulit Intubasi Trakea

Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang


dijumpai.Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas.Sedangkan menurut Cormack dan
Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.Kesulitan intubasi umumnya
ditemui pada kondisi-kondisi sebagai berikut
a.Leher pendek dan berotot
b. Mandibula menonjol
c. Maksila/gigi depan menonjol
d. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
e. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
f. Gerak verteba servikal terbatas.

Mallampati Classification and Cormack-Lehanne Classification


2.2.7. Managemen Selama Operasi
2.2.8. Extubasi
Keputusan untuk memindahkan TT ini adalah bagian dan seni anestesiologi yang
berkembang dengan pengalaman. Ini hal penting dalam praktek karena banyak komplikasi
timbul selama ekstubasi dan segera setelahnya dibandingkan dengan setelah intubasi. Secara
umum, ekstubasi paling baik dilakukan ketika pasien dalam keadaan teranestesi dalam atau
sadar. Pada beberapa kasus, pemulihan dari obat neuromuskuler blok harus adekuat sebelum
ekstubasi. Jika digunakan obat blok neuromuskuler dan pasien dilakukan kontrol ventilasi
dan karena itu harus weaning dari ventilator sebelum dilakukan ekstubasi.
Ektubasi saat anestesi dangkal (keadaan antara anestesi dalam dan sadar) harus dihindari
karena meningkatkan resiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan anestesi
dangkal ini biasanya nyata selama pengisapan faring: setiap reaksi terhadap tindakan suction
(misalnya tahan nafas, batuk) merupakan tanda dari anestesi dangkal, sedangkan bila tidak
ada reaksi disebut dalam keadaan anestesi dalam. Buka mata atau melakukan gerakan sesuai
perintah menunjukkan pasien telah sadar.
Ekstubasi pada pasien sadar, biasanya disertai batuk.Reaksi ini meningkatkan denyut jantung,
tekanan intrakranial, tekanan intraokuli, tekanan vena central, tekanan arteri.Ini dapat juga
menyebabkan luka operasi terbuka dan berdarah kembali.Adanya TT pada pasien asmatik,
dapat mencetuskan terjadinya bronchospasme. Walaupun konsekuensi ini dapat menurun
dengan pemberian lidokain 1,5 mg/kg intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi,
ekstubasi dalam anestesi yang dalam mungkin lebih baik pada pasien tidak dapat mengtolerir
efek ini. Sebaliknya, ekstubasi mungkin kontra indikasi pada pasien dengan resiko untuk
aspirasi atau pada orang yang jalan nafasnya sulit untuk dikontrol setelah ekstubasi.

Tanpa membedakan apakah ekstubasi dilakukan saat pasien dalam anestesi dalam atau sudah
sadar, faring pasien harus dibersihkan sebelum ekstubasi untuk mengurangi resiko terjadinya
aspirasi atau spasme laring.Pasien harus diventilasi dengan O2 100% pada kasus dimana
jalan nafas sulit dikendalikan setelah ekstubasi.Tepat sebelum ekstubasi, ETT dilepaskan dari
iktana atau plester dan balon dikemperskan.Apakah ETT diangkat pada akhir ekspirasi atau
inspirasi tidak terlalau pentng. ETT diangkat dalam sekalai narik dengan gerakan yang halus
dan kemudian diberikan O2 100% melalui face mask sampai pasien stabil untuk transportasi
ke ruang pemulihan. Di beberapa pusat pendidikan, oksigen melalui face mask tetap
diberikan selama transportasi.

2.2.9. Komplikasi
Komplikasi Penggunaan LMA

1. Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :


a. Gagal insersi (0,3 – 4%)
b. Ineffective seal (<5%)
c. Malposisi (20 – 35%)
2. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :
a. Tenggorokan lecet (0 – 70%)
b. Disfagia (4 – 24%)
c. Disartria (4 – 47%)
3. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
a. Batuk (<2%)
b. Muntah (0,02 – 5%)
c. Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
d. Regurgitasi klinik (0,1%)
Komplikasi Penggunaan Intubasi ETT

Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik anestesi dan
perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman
dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang
diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi,
membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat dibagi
menjadi:
a. Faktor pasien
1) Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring dan
trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.
2) Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3) Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan
kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis
selama intubasi.
4) Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.
b. Faktor yang berhubungan dengan anestesia
1) Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan, dan kemampuan menangani situasi krisis yang
dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama
tatalaksana jalan napas.
2) Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan peralatan
yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.

c. Faktor yang berhubungan dengan peralatan


1) Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang maksimal
pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut
tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.
2) Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.
3) Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4) Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa
etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5) Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan yang
rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak tepat.
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi
dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan
kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi
maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi
dapat menyebabkan kematian atau hipoksia otak.
Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam keadaan
emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI).
Tabel 3. Komplikasi Intubasi Endotrakeal

Saat Intubasi Saat ETT Sudah Digunakan

Kegagalan intubasi Tension pneumotoraks


Cedera korda spinalis dan kolumna Aspirasi pulmoner
vertebralis
Oklusi arteri sentral pada retina dan kebutaan Obstruksi jalan napas
Abrasi kornea Diskoneksi
Trauma pada bibir, gigi, lidah dan hidung Tube trakeal
Refleks autonom yang berbahaya Pemakaian yang tidak nyaman
Hipertensi, takikardia, bradikardia dan Peletakan yang lemah
aritmia
Peningkatan tekanan intrakranial dan ETT yang tertelan
intraokular
Laringospasme
Bronkospasme
Trauma laring
Avulsi, fraktur dan dislokasi aritenoid
Perforasi jalan napas
Trauma nasal, retrofaringeal, faringeal,
uvula, laringeal, trakea, esofageal dan
bronkus
Intubasi esofageal
Intubasi bronkial

Selama Ekstubasi Setelah Intubasi

Kesulitan ekstubasi Suara mendengkur


Kesulitan melepas kaf Edema laring
Terjadi sutura ETT ke trakea atau bronkus Suara serak
Edema laring Cedera saraf
Aspirasi oral atau isi gaster Ulkus pada permukaan laring
Granuloma laring
Jaringan granulasi pada glotis dan subglotis
Sinekiae laring
Paralisis dan aspirasi korda vokal
Membran laringotrakeal
Stenosis trakea
Trakeomalacia
Fistula trakeo-esofageal
Fistula trakeo-innominata
2.3. Breating and Suplement Oxygen
2.3.1. Tanpa Bantuan Alat
2.3.2. Dengan Bantuan Alat

Anda mungkin juga menyukai