Anda di halaman 1dari 6

MANIFESTASI KLINIS

Infeksi HIV pada bayi, anak-anak, dan remaja memiliki manifestasi klinis yang
sangat bervariasi. Gejala awal seperti limfadenopati, hepatosplenomegali,
keterlambatan pertembuhan, diare kronis dan berulang, pneumonia, atau sariawan
hampir tidak terlihat.

Tabel 1 Klasifikasi WHO berdasarkan penyakit yang secara


klinis berhubungan dengan HIV
Klinis Stadium klinis WHO
Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4

Tabel 2 Klasifikasi Stadium Klinis HIV


Stadium Klinis 1
 Asimtomatik
 Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
 Erupsi pruritik papular
 Infeksi virus wart luas
 Angular cheilitis
 Moluskum kontagiosum luas
 Ulserasi oral berulang
 Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
 Eritema ginggival lineal
 Herpes zoster
 Infeksi saluran napas atau kronis atau berulang (otitis media, ottorrhoea,
sinusitis, tonsilitis)
 Infeksi kuku oleh fungi
Stadium Klinis 3
 Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespon secara adekuat
terhadap terapi standar
 Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih)
 Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5C intermiten
atau konstan, >1 bulan)
 Kandidiasis oral persisten (diluar saat 6-8 minggu pertama kehidupan)
 Oral hairy leukoplakia
 Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
 TB kelenjar
 TB paru
 Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
 Pneumonitis interstitial limfoid simtomatik
 Penyakit paru berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis
 Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl), neutropenia (<500/mm3) atau
trombositopenia (<50000/mm3)
Stadium Klinis 4
 Malnutrisi, wasting, stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
berespon terhadap terapi standar
 Pneumonia pneumosistis
 Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi
tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
 Infeksi herpes simplex kronis (orolabial atau kutaneus >1 bulan atau viseralis
di lokasi manapun)
 TB ekstrapulmonar
 Sarkoma Kaposi
 Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
 Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
 Ensefalopati HIV
 Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain,
dengan onset umur >1 bulan
 Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
 Mikosis endemik deseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
 Kriptokokosis kronik (dengan diare)
 Isosporiasis kronik
 Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
 Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang
simtomatik
 Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
 Progressive multifocal leukoencephalopathy

Darmadi, Ruslie Riska Habriel. 2012. Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi HIV
pada Neonatus. Universitas Andalas No.1 Vol.36
PEMERIKSAAN

Pemeriksaan tes HIV pada anak dan bayi bila termukan:


1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat
atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare
kronis atau berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV
3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis
terinfeksi HIV (pada umur berapa saja)
4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya
didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal oleh sebab
yang tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang
terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain
6. Anak yang mengalami kekerasan seksual

Pemeriksaan yang dilakukan berupa:


A. Virologis
1. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya
setelah umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan
spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
2. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18
bulan.
3. Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah
plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA
dapat digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma
EDTA.
4. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan uji virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang
mampu laksana sesudahnya.
5. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif
maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
6. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan,
maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera
diikuti dengan inisiasi ARV.

B. Uji Serologis
1. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99% dan
spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan
standardisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan
serologis dewasa.
2. Umur <18 bulan – digunakan sebagai uji untuk menentukan ada tidaknya
pajanan HIV
3. Umur >18 bulan – digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
4. 8. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
dilakukan uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur
9 bulan. Bila hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan
pemeriksaan uji virologis untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan
terapi ARV.
5. Jika uji serologis positif dan uji virologis belum tersedia, perlu dilakukan
pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang pada usia 18 bulan.
6. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh
infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji
virologis.
7. Pada anak umur < 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi
HIV tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan
menggunakan diagnosis presumtif.
8. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik
dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
9. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Penerapan Terapi


HIV pada Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia < 18 bulan, dibutuhkan
uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus atau komponennya. Anak dengan
hasil positif pada uji virologi HIV pada usia berapapun dikatakan terkena infeksi
HIV. Untuk menegakkan diagnosis presumptif pada bayi dan anak <18 bulan
dengan ada tanda atau gejala, tetapi perangkat laboratorium untuk PCR HIV tidak
tersedia. Yaitu apabila terdapat 1 kriteria berikut:
• PCP, meningitis kriptokokus, kandidiasis esophagus
• Toksoplasmosis
• Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standar
Atau bila terdapat 2 kriteria berikut:
• Oral thrush
• Pneumonia berat
• Sepsis berat
• Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang lanjut
pada ibu
• CD4+ <20%

Sedangkan untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia  18 bulan,
memakai cara yang sama dengan uji HIV pada orang dewasa. Hal lain yang
diperhatikan saat pemeriksaan yaitu keadaan anak yang masih mendapatkan ASI
dari ibu pada saat dilakukan pemeriksaan. Pemberian ASI harus dihentikan
selama > 6 bulan untuk mendapatkan hasil yang baik dari uji HIV.

Darmadi, Ruslie Riska Habriel. 2012. Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi HIV
pada Neonatus. Universitas Andalas No.1 Vol.36

Anda mungkin juga menyukai