Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH MASYARAKAT MADANI

BAB I

PENDAHULUAN

Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil
society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada
simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September
1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa
masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih
jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah
sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.

Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-
sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang
dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan
mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi
“khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan
rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).

Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini.
Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun
persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105).
Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan
hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl
[16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan
hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan
sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam,
menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak
melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan
antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan
tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam
mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah
mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat


beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

BAB II

MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT

2.1 Konsep Masyarakat Madani

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman


konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah
Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan
civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat
muslim modern.

Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society.
Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat.
Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis”
dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara
(state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ.
Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan
masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut
dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).

Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah


dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society
lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan
pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan
ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.

Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society
merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan
Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil
society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan.
Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan.
Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat
yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental
yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).

Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak


arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa
Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi
dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani
sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes
place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).

2.1.1 Pengertian Masyarakat Madani

Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai


kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam
Q.S. Saba’ ayat 15:

Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka
dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.

2.1.2 Masyarakat Madani Dalam Sejarah


Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat
madani, yaitu:

1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.

2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah


SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan
beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi
kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan
kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi,
menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk
memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

2.1.3 Karakteristik Masyarakat Madani

Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:

1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam


masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.

2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi


dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara


dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan


organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.

5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim


totaliter.

6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu


mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.

8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama,


yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan
yang mengatur kehidupan sosial.

9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun


secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.

10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya.

11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan
oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas
pihak lain yang berbeda tersebut.

12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.

13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan


terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk
umat manusia.

14. Berakhlak mulia.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani
adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-
hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-
kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya
bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di
wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali
jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair
yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus.
Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai
masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis)
yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil
yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil
resilience).

Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani
sbb:

1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam


masyarakat.

2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas
kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.

3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga


swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama
dan kebijakan publik dapat dikembangkan.

5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.

6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga


ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.

7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan


kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar
mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada
jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit
yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering
melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang
perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan
Milley, 1992).

Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat


menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe


pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi
kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-
mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan
keadilan sosial.

2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara


berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas
terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka
mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan.
Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya
berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari
penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah
kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap
potensi manusia.”

Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu


kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi
legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya
lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan:
individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras
berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras
terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat
dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.

3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan


terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian
dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau
sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam
masyarakat.

Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan


untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural
merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung
terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan
hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada
sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih
diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih
jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan
kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama
dalam membangun masyarakat bangsa.

Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang
mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson
merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society),
yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil
merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil
menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan
maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang
menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara.
Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral)
dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).

Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam


masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh
lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran
sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama
ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat
komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep
masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari
masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana
pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.

Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal,


dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik
dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan
hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama
lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial.
Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan
dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara
tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang
mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan
yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu
Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara,
maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.

Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat


Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah
secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi
masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan
mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil
tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah
masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil
merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat
dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya),
menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat
Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya
didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi
Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun
masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali.
Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi
kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan
kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu
perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang
sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat
berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama
dalam masyarakat madani adalah Alquran.

Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal
namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan
pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai
cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah
mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.

Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad


Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan
hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap
optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).

Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah


mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau
kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah
mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial
yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani
Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk
Yahudi dan Nasrani.

Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat
madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi
sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah
menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada
dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam
Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.

Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam
kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan
mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga
merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran
yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad
Imarah:1999).

Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang
kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai
kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan
catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.

Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama
Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat
diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang
lain.

Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam
tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga
mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring
dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan
Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat
kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.

Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal
dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep
demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada
wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-
nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).

Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan
terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling
tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-
citakan.

2.2 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam
terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di
bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik
dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan
dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu
Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.

2.2.1 Kualitas SDM Umat Islam

Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110

Artinya:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat
yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan
umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnyadibanding umat non Islam. Keunggulan
kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan
riil.

2.2.2 Posisi Umat Islam

SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul.
Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan
ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang
signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas
SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional.
Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik
dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam
belum mencerminkan akhlak Islam.

2.3 Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat

Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan
ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan
antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan
ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian
realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini
berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada pada
Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi
atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya
melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk
mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus
dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam
sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai
dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak
seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan
kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan
tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam
memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama
derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep
persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka
hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang
memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat.

Allah melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 183:

Artinya:

Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela
di muka bumi dengan membuat kerusakan;

Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan
ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan
dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta
konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat
upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi
ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat,
kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.

Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:

Artinya:
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi
orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada
budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa
mereka mengingkari nikmat Allah.

Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan


kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan penghasilan atau
kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah.

Banyak ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah, antara lain
Q.S. An-nisa ayat 114:

Artinya:

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari
keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.

Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat.
Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hungan itu
hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.

2.4 Manajemen Zakat

2.4.1 Pengertian dan Dasar Hukum Zakat

Zakat adalah memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada
orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Nisab adalah ukuran
tertentu dari harta yang dimiliki yang mewajibkan dikeluarkannya zakat, sedangkan
haul adalah berjalan genap satu tahun. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk
Islam yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat,
wajiblah membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan zakatnya.

Dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah,
tumbuh, bersih, dan baik. Segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut
istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut
“muzakki”,sedangkan orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq” .Zakat
merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk
mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati.

Di dalam Alquran Allah telah berfirman sebagai berikut:

Al-Baqarah: 110

Artinya:

“Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan
bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah
Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.

At-Taubah: 60

Artinya:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya;
sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.

At-Taubah: 103

Artinya:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”.

Adapun hadist yang dipergunakan dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:

Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’az ke Yaman, ia
bersabda: “Sesungguhnya engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli Kitab, oleh karena
itu ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan
sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka taat kepadamu untuk
ajakan itu, maka beritahukannlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada
mereka atas mereka salat lima kali sehari semalam; lalu jika mereka mentaatimu untuk
ajakan itu, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat
atas mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka; kemudian jika mereka taat
kepadamu untuk ajakan itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan harta-harta
mereka, dan takutlah terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara
doa itu dan Allah tidak hijab (pembatas)”.

Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu adalah sebagai berikut:

1. Harta yang berharga, seperti emas dan perak.

2. Hasil tanaman dan tumbuh-tumbuhan, seperti padi, gandum, kurma, anggur.

3. Binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.

4. Harta perdagangan.

5. Harta galian termasuk juga harta rikaz.

Adapun orang yang berhak menerima zakat adalah:

1. Fakir, ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.

2. Miskin, ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan pendapatannya sehingga
ia selalu dalam keadaan kekurangan.

3. Amil, ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat untuk
dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.

4. Muallaf, ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya, diberi zakat
agar menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari agama Islam.

5. Riqab, ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha untuk
menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.

6. Gharim, ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan membayarnya.

7. Fi sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan Islam.

8. Ibnussabil, ialah orang yang kehabisan biaya atau perbekalan dalam perjalanan yang
bermaksud baik (bukan untuk maksiat).
2.4.2 Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia

Sejak Islam memsuki Indonesia, zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber
sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa Indonesia
melawan penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan
digunakan untuk melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4
Agustus 1938 pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk
mengawasi pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib
sepanjang tidak terjadi penyelewengan keuangan. Untuk melemahkan kekuatan rakyat
yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda melarang semua pegawai dan
priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu memberikan
dampak yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di kalangan umat Islam, karena
dengan sendirinya penerimaan zakat menurun sehingga dana rakyat untuk melawan
tidak memadai. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah Kolonial Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, di Aceh satu-satunya badan resmi yang mengurus


masalah zakat. Pada masa orde baru barulah perhatian pemerintah terfokus pada
masalah zakat, yang berawal dari anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan
zakat secara efektif dan efisien serta mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih
luas dengan pengarahan yang lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong
dibentuknya badan amil di berbagai propinsi.

2.4.3 Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif

Sehubungan pengelolaan zakat yang kurang optimal, sebagian masyarakat yang


tergerak hatinya untuk memikirkan pengelolaan zakat secara produktif, sehingga
mampu meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada umumnya dan masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan masyarakat
membentuk Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola dan zakat, infak dan
sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat. Sementara
pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional.

Dalam pengelolaan zakat diperlukan beberapa prinsip, antara lain:

1. Pengelolaan harus berlandasakn Alquran dan Assunnah.


2. Keterbukaan. Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil
zakat, pihak pengelola harus menerapkan manajemen yang terbuka.

3. Menggunakan manajemen dan administrasi modern.

4. Badan amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelolah zakat dengan sebaik-
baiknya.

Selain itu amil juga harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat, antara lain:

1. Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan
dan penderitaan.

2. Membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik

3. Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.

4. Meningkatkan syiar Islam

5. Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara.

6. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.

2.4.4 Hikmah Ibadah Zakat

Apabila prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat dilaksanakan


dipegang oleh amil zakat baik itu berupa badan atau lembaga, dan zakat, infak, dan
sedekah dikelola dengan manajemen modern dengan tetap menerapkan empat fungsi
standar manajemen, tampaknya sasaran zakat, infak maupun sedekah akan tercapai.

Zakat memiliki hikmah yang besar, bagi muzakki, mustahik, maupun bagi
masyarakat muslim pada umumnya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa
manusia untuk suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan
angkuh yang biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih.

Bagi mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan
sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya,
sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan.
Bagi masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat pemerataan pendapatan
dan pemilikan harta di kalangan umat Islam. Sedangkan dalam tata masyarakat
muslim tidak terjadi monopoli, melainkan sistim ekonomi yang menekankan kepada
mekanisme kerja sama dan tolong-menolong.

2.5 Manajemen Wakaf

Wakaf adalah salah satu bentuk dari lembaga ekonomi Islam. Ia merupakan
lembaga Islam yang satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi
lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakf muncul dari satu pernyataan dan perasaan
iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Dalam
fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif di kemudian
hari, karena ia merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya akan terus menerus
mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya,
wakaf merupakan aset amat bernilai dalam pembangunan umat.

2.5.1 Pengertian Wakaf

Istilah wakaf beradal dari “waqb” artinya menahan. Menurut H. Moh. Anwar
disebutkan bahwa wakaf ialah menahan sesuatu barang daripada dijual-belikan atau
diberikan atau dipinjamkan oleh yang empunya, guna dijadikan manfaat untuk
kepentingan sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara’ serta tetap bentuknya dan boleh
dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman
wakafan), perorangan atau umum.

Adapun ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menerangkan tentang wakaf ini ialah:

Al-Baqarah ayat 267:

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Al-Hajj ayat 77

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.

Abu Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia
meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal,
yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan
masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim).

Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasullullah SAW mengutus Umar untuk memungut
zakat…… di dalam hadist itu terdapat pula Khalid mewakafkan baju besi dan perabot
perangnya di jalan Allah.

2.5.2 Rukun Wakaf

Adapun beberapa rukun wakaf ialah:

1) Yang berwakaf, syaratnya:

- Berhak berbuat kebaikan walau bukan Isalam sekalipun

- Kehendak sendiri, ridak sah karena dipaksa

2) Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya:

- Kekal zakatnya, berarti bila diambil manfaatnya, barangnya tidak rusak.

- Kepunyaan yang mewakafkan walaupun musya (bercampur dan tidak dapat


dipisahkan dari yang lain).

3) Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).

4) Lafadz wakaf, seperti: “saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin dan
sebagainya.

2.5.3 Syarat Wakaf

Syarat wakaf ada tiga, yaitu:

1) Ta’bid, yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.

2) Tanjiz, yaitu diberikan waktu ijab kabul.

3) Imkan-Tamlik, yaitu dapat diserahkan waktu itu juga


2.5.4 Hukum Wakaf

1) Pemberian tanah wakaf tidak dapat ditarik kembali sesudah diamalkannya karena
Allah.

2) Pemberian harta wakaf yang ikhlas karena Allah akan mendapatkan ganjaran terus-
menerus selagi benda itu dapat dimanfaatkan oleh umum dan walaupun bentuk
bendanya ditukar dengan yang lain dan masih bermanfaat.

3) seseorang tidak boleh dipaksa untuk berwakaf karena bisa menimbulkan perasaan
tidak ikhlas bagi pemberiannya.

BAB III

KESIMPULAN

Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka
kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain
itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat
sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun
beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah
bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat
akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat
madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta
ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman
Rasullullah.

Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi
manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri
manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin
besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan
semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang
kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh
karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-
latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.

Adapun di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, zakat memiliki dua fungsi baik
untuk yang menunaikan zakat maupun yang menerimanya. Dengan zakat ini kita dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat higga mencapai derajat yang disebut masyarakat
madani. Selain zakat, ada pula yang namanya wakaf. Wakaf selain untuk beribadah kepada
Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang muslim dengan muslim
lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi yakni fungsi ibadah dan fungsi sosial.

Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat
mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni
melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi,
serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat
Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.
Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami sampaikan pada kesempatan kali
ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga tidak
menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaiku wr.wrb.

DAFTAR PUSTAKA

Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim
Indonesia: Jakarta.

Mansur, Hamdan. 2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam. Depag RI: Jakarta.

Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers


Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.

Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.

Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat:
Bandung.

Suryana, A. Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara: Bandung

Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.

Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Prenada Media: Jakarta.
MASYARAKAT MADANI DALAM ALQURAN
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

(Kajian Tafsir Tematik dengan Multi Teknik Interpretasi)

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Term Civil Society atau “Masyarakat Madani”, merupakan wacana dan fokus utama
bagi masyarakat dunia sampai saat ini. Apalagi di abad ke-21 ini, kebutuhan dan tuntutan atas
kehadiran bangunan masyarakat madani, bersamaan dengan maraknya issu demokratisasi dan
HAM. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh manakah Islam merespon masyarakat
tersebut. Jawabannya adalah bahwa Islam yang ajaran dasarnya Alquran, adalah shālih li kulli
zamān wa makān (ajaran Islam senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi). Karena demikian
halnya, maka jelas bahwa Alquran memiliki konsep tersendiri tentang masyarakat madani.

Pluralisme masyarakat menurut perspektif Alquran, harus didasarkan pada prinsip


keutamaan dan kekhasan, serta harus dibina dengan sikap toleran (tasamuh).1[1] Berkenaan ini,
sekurang-kurangnya ada dua ilustrasi yang patut dikemukakan terkait dengan masyarakat madani.
Pertama, tentang persamaan hak bagi masyarakat (nadhāriyah al-mushawah). Persamaan ini
berlaku untuk seluruh masyarakat tanpa melihat perbedaan masing-masing-masing individu,
kelompok, etnis, warna kulit, kedudukan, dan keturunan. Kedua, pengakuan atas eksistensi
masyarakat yang terdiri atas bangsa-bangsa dan suku-suku. Tujuan keberadaannya (mereka) ini,
adalah bukan untuk berbangga-banggaan, apalagi melecehkan pihak lain, tetapi untuk saling
mengenali satu sama lain. Sehingga, pada gilirannya hal itu dapat mendorong terciptanya kondisi di
mana satu sama lain saling menghormati dan saling tolong menolong.

Secara jelas dapat dipahami bahwa ilustrasi tentang masyarakat madani sebagaimana
yang disinggung di atas, terangkum dalam ayat-ayat Alquran. Namun untuk mengetahui
konsepnya secara komprehensif, maka diperlukan kajian tafsir secara tematik.2[2] Di sisi lain,

1[1]Demikian interpretasi ayat yang terkandung dalam QS. al-Hujurat (49): 13

2[2]Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim menegaskan bahwa penggunaan metode tafsir
tematik sangat relevan dengan kebutuhan masa kini, karena dengan metode tersebut dapat
memberikan gambaran yang utuh dari masalah yang dibahas. Metode tematik yang juga
diistilahkan dengan metode mawdhu’iy yang dimaksudkannya adalah tidak mengabaikan
unsur-unsur metode tahlīliy sepanjang hal itu penting dan menyangkut dengan masalah yang
dibahas. Langkah-langkah tafsir mawdhū’iy adalah ; (1) Menentukan masalah yang dibahas;
(2) mengadakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan gambaran mengenai konsep
dan kerangka teori yang akan dijadikan sebagai acuan; (3) menyusun hipotesis bila
tema mayarakat madani menurut Alquran dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh
bilamana tema tersebut, dijabarkan dalam bentuk interpretasi ayat secara akurat dengan
menggunakan teknik-teknik interpretasi.3[3]

B. Rumusan Masalah

Dengan merujuk pada uraian singkat dari latar belakang yang telah dikemukakan,
kelihatan bahwa interpretasi tentang masyarakat madani sangat menarik untuk dikaji
berdasarkan tinjauan tafsir tematik dengan menggunakan multi tekni interpretasi. Sekaitan
dengan ini, maka permasalahan yang dijadikan obyek pembahasan adalah bagaimana pengertian
masyarakat madani, dan bagaimana konsep masyarakat madani dalam perspektif Alquran ?

II. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI

diperlukan; (4) menghimpun data yang relavan dengan masalah, baik berupa ayat -ayat
Alquran ataupun hadis-hadis Nabi saw serta data lainnya yan terkait; (5) menyusun ayat -
ayat menurut tertib turunnya surahnya; (6) menafsirkan kosa kata, frase, klausa dan ayat -
ayat dengan teknik tasir; (6) membahas konsep-konsep yang diperoleh dan mengaitkannya
kerangka acuan yang dipergunakan; (7) menyusun hasil-hasil penelitian menurut kerangka
yang telah disipkan dalam bentuk laporsan hasil penelitian (karya tafsir). Lihat H. Abd. Muin
Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu
Tafsir sebagai Disiplin Ilmu “Orasi Pengukuhan Guru Besar” (Ujungpandang: IAIN Alauddin,
1999), h. 32-33

3[3]Teknik interpretasi yang dimaksud adalah; (1) Teknik Interpretasi Tekstual, yakni
ayat-ayat Alquran yang diteliti dan ditafsirkan dengan menggunakan teks-teks Alquran sendiri
ataupun hadis Nabi saw; (2) Teknik Interpretasi Liguistik, yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan
dengan menggunakan kaedah-kaedah kebahasaan. Teknik ini mencakup interpretasi dalam
bidang semantik etimologis, semantik morfologis, semantik leksikal, semantik gramatikal dan
semantik retorikal; (3) Teknik Interpretasi Sistematis, yakni yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan
berdasarkan analisis dengan melihat perpautannya dengan dengan ayat-ayat atau bagian-bagian
lainnya yang ada disekitarnya; (4) Teknik Interpretasi Sosio Historis, yakni ayat-ayat Alquran
ditafsirkan dengan meng-unakan riwayat mengenai kehidupan sosial politik dan kultural bangsa
Arab pada saat diturunkan Alquran. Dengan kata lain ayat ditafsirkan dengan menggunakan
sebab turunnya ayat; (5) Teknik Interpretasi Teleologis, yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan
dengan menggunakan kaidah-kaidah fikih yang pada hakikatnya merupakan rumusan dari
filsafat hukum Islam yang secara garis besar menghendaki tercapainya kebahagiaan manusia
dengan terwujudnya kesejahteraan dan kedamainan; (6) Teknik Interpretasi Kultural, yakni ayat-
ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan pengetahuan yang mapan dan beracu pada
asumsi bahwa pengetahuan yang benar tidak bertentangan dengan Alquran; (7) Teknik
Interpretasi Logis, yakni yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan prinsip-
prinsip logika dalam memahami kandungan Alquran; (8) Teknik Interpretasi Ganda, yakni ayat-
ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan dua atau lebih teknik interpretasi. Lihat Abd.
Muin Salim, Metodologi Tafsir, ibid., h. 33-36. Bandingkan dengan H. Abd. Muin Salim, Fiqh
Siayasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran (Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1995), h. 23-30.
Untuk memberikan rumusan pengertian yang akurat tentang “masyarakat madani”, maka terlebih
dahulu dikemukakan batasan pengertian “masyarakat” dan pengertian “madani” itu sendiri.

1. Pengertian Masyarakat

Pengertian masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia
dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.4[4]
Kata masyarakat tersebut, berasal dari bahasa Arab yaitu syarikat yang berarti golongan atau
kumpulan.5[5] Dalam al-Munjid dikatakan bahwa al-syarikat adalah “ ‫”اإلختالط‬6[6]
(bercampur). Selain kata ini, istilah masyarakat dalam bahasa Arab, juga biasa disebut dengan
al-mujtama’.7[7] Louis Ma’luf menjelaskan arti al-mujtama’ adalah ‫مجازا على جماعة‬
‫ من الناس خاضعين لقوانين ونظم عامة‬8[8] (suatu kumpulan dari sejumlah manusia
yang tunduk pada undang-undang dan peraturan umum yang berlaku).

Sedangkan dalam bahasa Inggeris, kata masyarakat tersebut diistilahkan dengan society
dan atau community. Dalam hal ini, Abdul Syani menjelaskan bahwa bahwa masyarakat sebagai
community dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, memandang community sebagai
unsur statis, artinya ia terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan batas-batas tertentu, maka
ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga ia dapat disebut
masyarakat setempat. Misalnya kampung, dusun atau kota-kota kecil. Kedua, community
dipandang sebagai unsur yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses yang terbentuk melalui
faktor psikologis dan hubungan antar manusia, maka di dalamnya terkandung unsur
kepentingan, keinginan atau tujuan yang sifatnya fungsional. Misalnya, masyarakat pegawai,
mayarakat mahasiswa.9[9]

4[4]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet II,
Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h. 564.

5[5] Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka


Progressif, 1984), h. 82. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1992) h. 196

6[6]Luwis Ma’luf, al-Munjid fiy al-Lugah (Bairut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 384

7[7] Asad M. AlKalili, Kamus Indonesia Arab (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.
338. Lihat juga Mahmud Yunus, op. cit., h. 91

8[8]Luwis Ma’luf, op. cit., h. 902

9[9] Lihat Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan (Cet. I; Jakarta:Bumi
Aksara, 1994), h. 30.
Secara terminologi, kata masyarakat menurut Kuntjaraningrat adalah kesatuan hidup dari
makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat yang tertentu.10[10]
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab bahwa masyarakat adalah kumpulan sekian banyak
individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum, dan hidup
bersama.11[11]

Selanjutnya, Anderson dan Parker menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Phil
Astrid. S Susanto bahwa ciri dari masyarakat adalah : adanya sejumlah orang; yang tinggal dalam
suatu daerah tertentu (ikatan geografis); mengadakan ataupun mempunyai hubungan satu sama
lain yang tetap/tertentu; sebagai akibat hubungan ini membentuk suatu sistem hubungan antar
manusia; mereka terikat karena memiliki kepentingan bersama; mempunyai tujuan bersama dan
bekerja sama; mengadakan ikatan/kesatuan berdasarkan unsur-unsur sebelumnya; berdasarkan
pengalaman ini, maka akhirnya mereka mempunyai perasaan solidaritas; sadar akan
interdepedensi satu sama lain; berdasarkan sistem yang terbentuk dengan sendirinya
membentuk norma-norma; berdasarkan unsur-unsur di atas akhirnya membentuk kebudayaan
bersama hubungan antar manusia.12[12]

Berdasar pada pengertian dan ciri masyarakat yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang saling berinteraksi, ada tujuan
dan kepentingan bersama dengan norma-norma yang ada dan dengan kebudayaan bersama.

2. Pengertian Madani

Kata madani, menurut hasil analisis morfologis yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abd.
Muin Salim, adalah berasal dari kata dāna yang menurutnya memiliki dua pola pengembangan,
yaitu dain (mengambil utang) dan dīn (ber-agama). Antara makna kedua pola ini (utang dan
agama) terdapat hubungan yang erat.13[13] Utang adalah sesuatu yang harus dibayar, dan
agama pada hakekatnya adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan umat manusia dalam
wujud pengabdiannya kepada Sang Pencipta.

10[10] Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Cet. V; Jakarta: Aksara Baru,


t.th), h. 103.

11[11] Quraish Shihab, Wawasan Alquran Tafsir Mandhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Cet VIII, Bandung: Mizan, 1998), h. 319

12[12] Lihat Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Cet I;
Bandung; Bina Cipta, 1979), h. 19. Lebih jelasnya, lihat Parker dan Anderson, Society its
Organization and Operation (Toronto-London- New York; Mostrand co, Inc 1964), h. 29

13[13] H. Abd. Muin Salim, “Elaborasi Bahasa Politik Islam dalam Alquran ” dalam Al-
Huda; Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Vol. 1 No. 2, 2002, h. 8
Kata dāna yang disebutkan di atas, adalah sesungguhnya berasal dari kata dayana, yadīnu
kemudian dibaca dāna, yadīnu.14[14] Dari sini, kemudian menjadi madīnah sebagai ism makān
yang merupakan perubahan dari kata madyan yang dalam Alquran disebut sebagai kota tempat
nabi Syu’aib.15[15] Dari kata madyan dan madīnah melalui penyesuaian fonem terbentuklah
kata madani sebagai nisbah dari kata madīnah, yakni kota ideal yang dibangun oleh Nabi saw.
Sehingga, dapat dikatakan secara esensial kehidupan madani ditandai dengan adanya supremasi
hukum dalam kehidupan dan tatanan masyarakat.16[16]

Dengan berdasar pada pengertian “masyarakat” dan “madani” yang telah diuraikan maka
istilah “masyarakat madinah” dapat diartikan sebagai kumpulan manusia dalam satu tempa t
(daerah/wilayah) di mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta
tatanan kemasyarakatan yang telah di-tetapkan. Dalam konsep umum, masyarakat madani
tersebut sering disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau al-mujtama’ al-
madani, yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang berkeadilan,
dan berperadaban”.

Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat madani tersebut dikonteks-kan dengan


baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr yang secara harfiyah diarti-kan negeri yang baik dalam
keridhaan Allah. Istilah yang digunakan Alquran sejalan dengan makna masyarakat yang ideal,
dan masyarakat yang ideal itu berada dalam ampunan dan keridahan-Nya. “Masyarakat ideal”
inilah yang dimaksud dengan “masyarakat madani”.

II. KONSEP MASYARAKAT MADANI PERSPEKTIF ALQURAN


Dalam upaya menemukan konsep masyarakat madani dalam perspektif Alquran, maka
masalah ini akan dikaji berdasarkan metode tafsir tematik (manhaj tafsīr bi al-mawdhu’iy),
dengan cara menghimpun ayat-ayat Alquran yang mempunyai maksud yang sama dalam arti
sama-sama membicarakan satu topik masalah. Teknik interpretasi yang digunakan adalah
menganalisis ayat-ayat tersebut dan menyusunnya berdasarkan kronologi, serta sebab turunnya

14[14] Kata kerja dayana, yadīnu ini berat diucapkan dan janggal didengar. Karena
itu, dengan tidak mengubah makna, kata kerja asal itu diubah berda sarkan kaedah isytiqāq
dengan jalan mengganti huruf yā (‘ain) fi’il madhi-nya dengan huruf alīf dan bari sukun pada
huruf dal (fā) fi’il mudhari’-nya dengan baris kasrah. Dengan demikian, fi’il (kata kerja)
dayana, yadīnu menjadi dāna, yadīnu. Al-Sayyed Ahmad al-Hasyimiy, Jawāihr al-Balāgah fī
al-Mah’āniy wa al-bayāni wa al-Badī’iy (Mesir: Dār al-Fikr, 1991), h. 7

15[15] Lihat QS. al-Qashash (28): 22

16[16] Uraian lebih lanjut, lihat H. Abd. Muin Salim, loc. cit. Bandingkan juga dengan
Abd. Muin Salim, Implementasi Manajemen Rabbani menuju Masyarakat Madani “Makalah”
(Ujung Pandang: Panitia Seminar Nasional IAIN Alaudin, 1999), h. 4
ayat-ayat tersebut. Teknik penafsiran seperti ini, disebut dengan teknik interpretasi sosio
historis; kemudian ayat-ayat tentan masyarakat madani tersebut dijelaskan berdasarkan konteks
ayat atau hadis (teknik interpretasi tekstual) dan menguraikan keterkaitannya dengan berbagai
masalah (teknik interpretasi sistemik), lalu mengambil kesimpulan. Sekaitan dengan ini, maka
kajian tentang masyarakat madani yang penulis lakukan, terformulasi dan tersistametis sebagai
berikut :

A. Himpunan Ayat-ayat tentang Masyarakat Madani


Berdasarkan hasil telaahan penulis, ternyata term “masyarakat madani” ( ‫المجتمع‬
‫)المدنى‬ memang tidak ditemukan dalam Alquran. Namun, ada dua kata kunci yang bisa
menghampirkan pada konsep masyarakat madani itu sendiri, yakni term ummah dan term
madīnah. Kedua term ini, menjadi nilai dasar dan nilai-nilai instrumental bagi terbentuknya
masyarakat madani. Kata ummah misalnya bisa dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu,
seperti ummah wasathan, kaheru ummah dan ummah muqtashidah yang merupakan pranata
sosial utama yang dibangun oleh Nabi saw, segera setelah hijrah ke Madinah.

Term ummah dalam bahasa Arab menunjukkan kepada arti tentang komunitas
manusia, sedangkan term madīnah adalah sebagai tempat di mana komunitas manusia itu
berada. Dengan arti seperti ini, dan kaitannya dengan metode tafsir tematik yang dijadikan
acuan, kelihatan bahwa term-term ummah dalam Alquran lebih tepat untuk dihimpun,
kemudian dikaitkan dengan term madīnah untuk mendapatkan konsep masyarakat madani dari
Alquran .

Melalui teknik interpretasi linguistik, diketahui bahwa term ‫أمة‬ (ummah) yang
berbentuk tunggal, dan ‫( أمم‬umam) adalah bentuk jamaknya berasal dari akar kata ‫( أم‬amma)
‫( يؤم‬yaummu), ‫( أما‬ammam) artinya; menjadi, ikutan dan gerakan.17[17] Alquran menyebut
kata ‫( امة‬ummah) sebanyak 50 kali, sedang kata ‫( أمم‬umam) sebanyak 13 kali.18[18]
Penggunaan dua kata tersebut dalam Alquran tidak menunjuk kata tunggal. ‫( أمة‬ummah)
adalah konsep komprehensip yang mengandung sejumlah makna antara lain: Pertama,

17[17] Luwis Ma’luf, op. cit., h. 18

18[18] Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Bāqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-
Karīm (Bairūt: Dār al-Fikr, 1992), h. 102-103. Dari sumber ini, diketahui bahwa kata ‫أمة‬
(ummah) terdapat dalam QS.al-Baqarah: 128, 134, 141, 143, 213; QS. Ali Imran: 104, 110,
113; QS. al-Nisa: 41; QS. al-Maidah: 48, 66; QS. al-An’am: 108. QS.al-A’raf: 34, 38, 159, 164,
181; QS. Yunus; 19, 47, 49; QS. Hud: 8, 118. QS. Yusuf: 45; QS. Arra’d: 30; QS. Al -Hijr: 5; QS.
An-Nahl: 36, 84, 89, 92, 93, 120; QS. Al-Anbiya: 92. S. Al-Haj; 34, 67; QS. Qashas; 23, 75; QS.
Fatir; 24; QS. Ghofir: 5. QS. Asysyura: 8; QS. Al-Zuhruf: 22, 23, 33; QS. al-Jaziah: 28; Untuk
kata ‫( أمم‬uma ‫ ) ة‬dalam QS. al-An’am: 38, 42; QS. al A’raf; 28; QS. Hud; 48, 148; QS. al-Rra’du:
30; QS. al-Nahl: 62; QS. al-Ankabut: 18; QS. Fatir: 42. QS. al-sabat; 25; QS. al-Ahqaf: 18.
bermakna binatang yang ada di bumi atau burung yang terbang dengan dua sayapnya
sebagaimana dalam QS. al-An’am (6): 38 yakni; “ َ ‫بِ َجنَا َح ْي ِه إِ اَل أ َمم … َو ََل‬
‫طائِ ٍر يَ ِطير‬
‫”أ َ ْمثَالك ْم‬. Kedua, bermakna makhluk jin dan manusia, misalnya QS. al-Ahqaf (46) : 18, yakni;
“‫س‬ ِ ْ ‫ت ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم ِمنَ ْال ِج ِن َو‬
ِ ‫اإل ْن‬ ْ َ‫ ”فِي أ َم ٍم قَ ْد َخل‬Ketiga, bermakna imam (pemipin),
misalnya QS. al-Nahl (16) : 120, yakni “ ‫ح نِيف ًا‬ َ ِ ‫يم َكانَ أ امةً قَانِتًا ِ اّلِل‬
َ ‫ ”إِ ان إِب َْرا ِه‬Keempat,
bermakna agama, misalnya dalam QS. al-Anbiya (21):92, yakni “ ً ‫اح د َة‬ ِ ‫إِ ان َه ِذ ِه أ امتك ْم أ امةً َو‬
‫ون‬ِ ‫” َوأَنَا َربُّك ْم فَاعْبد‬.
Penggunaan kata ummah/umam dalam Alquran yang khusus ditujukan kepada
manusia juga mengandung beberapa pengertian antara lain: Pertama, bermakna setiap generasi
yang kepada mereka diutus seorang Nabi atau Rasul, misalnya umat Nabi Nuh, umat Nabi
Ibrahim, umat Nabi Musa, dan umat Nabi Muhammad saw, misalnya dalam QS. al-Nahl (16); 36,
yakni “ ً ‫” َولَقَ ْد بَعَثْنَا فِي ك ِل أ ام ٍة َرس‬.
‫وَل‬ Kedua, bermakna golongan manusia yang
menganut agama tertentu, misalnya umat Yahudi, umat Nasrani dan umat Islam, misalnya dalam
QS. Ali Imran (3) : 110, yakni “ ‫اّلِلِ َولَ ْو‬ ْ ‫ك ْنت ْم َخي َْر أ ام ٍة أ ْخ ِر َج‬
ِ ‫ت ِللنا‬
‫ َوتؤْ ِمنونَ بِ ا‬... ‫اس‬
ِ ‫” َءا َمنَ أ َ ْهل ْال ِكتَا‬. Ketiga, bermakna seluruh manusia adalah umat yang satu, misalnya
... ‫ب‬
dalam QS. Al-Baqarah (2) : 213, yakni “ً ‫اح د َة‬ ِ ‫ ” َكانَ النااس أ امةً َو‬Keempat, bermakna bagian
dari masyarakat yang mengemban fungsi tertentu yakni menyelenggarakan keutamaan dengan
menegakkan yang baik dan mencegeh yang mungkar, misalnya dalam QS. Ali Imran (3) : 104,
yakni “ ‫ع ِن‬ ِ ‫َو ْلتَك ْن ِم ْنك ْم أ امة يَدْعونَ إِلَى ْال َخي ِْر َويَأْمرونَ بِ ْال َم ْعر‬
َ َ‫وف َويَ ْن َه ْون‬
‫” ْالم ْن َك ِر‬.
Dengan mencermati ayat-ayat yang telah dihimpun di atas, diperoleh kesimpulan
bahwa terminologi umat dalam Alquran menunjukkan berbagai komunitas tertentu, yakni;
komunitas binatang, komunitas jin dan manusia, komunitas keagamaan tertentu, yaitu
komunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti komunitas
yang mempunyai basis solidaritas tertentu atau dasar komitmen keagamaan, etnis dan
moralitas. Demikian, interpretasi term-term ummah yang penulis temukan dalam himpunan
ayat-ayat Alquran .

B. Masyarakat Madani dalam Tinjauan Teknik Interpretasi Sosio Historis dan


Teknik Interpretasi Sistemik

Dari ayat-ayat Alquran yang di dalamnya terdapat term ‫( أمة‬ummah) sebagaimana


yang telah diidentifikasi, terklasifikasi atas dua periodesasi ber-dasarkan kronologi
pewahyuannya, yakni makkiyah dan madaniyyah.

1. Ayat-ayat Makkiyah
Berdasarkan telaahan penulis, ditemukan indikasi bahwa bahwa ayat-ayat tentang “ ‫”أمة‬
sebagian besar telah turun pada periode Mekkah (terutama akhir periode). Hampir semua kata
‫( أمة‬ummah) yang turun di Mekkah itu menunjuk pada arti bangsa, bagian dari bangsa atau
generasi dalam sejarah. Rumpun ayat yang pertama kali turun adalah yang terdapat dalam QS. al
A’raf (7) : 34, 38, 159, 160, 164, 168, dan 181. Ayat-ayat ini menurut data yang penulis temukan
dari kitab Mabāhiś al-Qur’ān karya Mannā’ al-Qaththān diturunkan para periode Mekkah.19[19]
Namun, penulis tidak menemukan data lebih lanjut mengenai sabab al-nuzul ayat-ayat
ini.20[20] Sekaitan dengan ini, al-Wāhidi memang menyatakan bahwa tidak semua ayat
memiliki sabab al-nuzul, oleh karena terkadang wahyu datang secara tiba-tiba tanpa sebab,
ditambah lagi dengan bermacam-macamnya cara Nabi saw menerima wahyu.21[21]

Walaupun ayat-ayat periode makkiyah ini, tidak ditemukan sabab nuzul-nya, namun
antara satu ayat dengan ayat yang lainnya memiliki aspek-aspek munāsabah, yakni keterkaitan
kandungan yang terangkai dan sistemik. Bermula dari QS. al-A’raf (7):34, yakni ;

َ‫عةً َو ََل يَ ْست َ ْقدِمون‬ َ َ‫َو ِلك ِل أ ام ٍة أ َ َجل فَإِذَا َجا َء أ َ َجله ْم ََل يَ ْستَأ ْ ِخرون‬
َ ‫سا‬
Terjemahannya :

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.22[22]

Ayat tersebut kebanyakan menafsirkan dengan “batas waktu” seperti halnya dengan
mufasir Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab mengisyaratkan bahwa “ajal” yang dimaks udkan adalah
masa keruntuhan dan kehancuran “umat” atau “masyarakat manusia”,23[23] dan kebenaran
dari ayat tersebut dapat disaksikan dari sejarah bahwa bangsa-bangsa kuno seperti; Babilonia,

19[19] Selengkapnya mengenai klasifikasi surah-surah dan ayat-ayat periode


Makkiyah dan Madaniyah, lihat Mannā’ al-Qaththān, Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān (Bairūt: Dār
al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973), h. 54-55.

20[20] Sumber-sumber yang penulis jadikan rujukan, namun tidak disebutkan sabab
nuzul ayat-ayat tersebut di atas adalah (1) Imām Jalāl al-Dīn al-Suyuti, Lubāb al-Nuqul fī
Asbāb al-Nuzūl (Bairūt: Dār al-Fikr, 1977), h. 209-213; (2) Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad al-
Wāhidi al-Naysāburi, Asbāb al-Nuzūl (Jakarta: Dinamika Utama, t.th), h. 152-156; (3) Abū al-
Fidā Ismail bin Kasīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 211-217

21[21] Demikian pernyataan al-Wahidi, lihat Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad al-
Wāhidi al-naysāburi, ibid., h. 71

22[22] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Alquran , 1992), h. 226

23[23] Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran , volume 2 (Cet III; Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 84-85
Yunani, Mesir, Romawi, Persia dan kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh berbagai dinasti yang
lenyap dari peta bumi politik dan peradaban.24[24] Ayat 34 ini, dimaksudkan sebagai berita
awal tentang akan munculnya suatu masyarakat baru, yang pada waktu itu belum bisa
dibayangkan oleh suku-suku bangsa Arab yang boleh dikata tidak berpemerintahan, maka
sebagai munāsabah-nya dapat ditemukan pada ayat 35 yang merupakan ajakan pada
pembaharuan (ishlah) yakni ;

ْ َ ‫علَ ْيك ْم َءا َيا ِتي فَ َم ِن اتاقَى َوأ‬


‫ص َل َح فَ َال‬ ُّ ‫َيا َب ِني َءادَ َم ِإ اما َيأ ْ ِتيَناك ْم رسل ِم ْنك ْم َيق‬
َ َ‫صون‬
َ‫علَ ْي ِه ْم َو ََل ه ْم َي ْحزَ نون‬
َ ‫خ َْوف‬
Terjemahnya

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.

Ayat di atas merupakan imbauan kepada suku-suku nomaden dan suku elit Quraisy di
Mekkah menyambut ajaran untuk menciptakan keamanan dan kebahagiaan. Alquran
menyampaikan berbagai gejala terdahulu dalam sejarah, contoh, bangsa Israil yang telah
memiliki sejarah panjang dan tradisi bermasyarakat yang mengakar dan mengembangkan
kebudayaan hukum yang tinggi dan pernah memiliki sistem politik yang kuat. Munāsabah
berikutnya, adalah terdapat pada ayat 159 yang dimana ayat tersebut mengantar pada
kemungkinan terbentuknya suatu kelompok yang memimpin yang pernah dibentuk Nabi Musa.
Berita tentang gejala ini diulang dalam konteks yang lebih umum yaitu pada ayat 181, yakni ;

ِ ‫َو ِم ام ْن َخلَ ْقنَا أ امة يَ ْهدونَ بِ ْال َح‬


َ‫ق َوبِ ِه يَ ْع ِدلون‬
Terjemahnya :

Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak,
dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.

Ayat di atas adalah rintisan untuk menghimpun kesepakatan, bahwa kelak perlu ada
suatu lembaga yang berfungsi menjalankan keadilan berdasar pada prinsip-prinsip kebenaran.
Itulah yang disebut pada ayat sebelumnya (ayat 157), yakni “ َ‫ع ِة أَياان‬
َ ‫سا‬ َ ‫يَ ْسأَلون ََك‬
‫ع ِن ال ا‬
‫ساهَا‬
َ ‫ ”م ْر‬sebagai ayat yang menginformasikan akan ada kelompok baru di sekitar Nabi saw.
Menurut Prof. Dr. Quraish Shibab bahwa ayat ini juga mempunyai latar belakang salah satu
tujuan kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagai anugerah kepada Bani Israil.25[25] Diketahui

24[24] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Alquran ; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-


konsep Kunci (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996), h. 487

25[25] Lihat Quraish Shihab. op. cit, h. 273


bahwa sistem hukum bangsa Bani Israil sangat memberatkan pada umat, misalnya hukum qishas
tanpa kesempatan untuk membayar diyah, membuang atau menggunting kain yang terkena
najis dan melakukan taubat dengan bunuh diri.26[26] Karena itu masyarakat harus memberikan
legitimasi terhadap risalah tersebut.

Selanjutnya, ayat yang masih menggunakan term ummah dan turun dalam periode
Mekkah adalah yang tercantum dalam QS. Fāthir (35): 24,27[27] yakni;

‫ِيرا َوإِ ْن ِم ْن أ ام ٍة إِ اَل خ ََال فِي َها نَذِير‬


ً ‫ِيرا َونَذ‬ ِ ‫َاك بِ ْال َح‬
ً ‫ق بَ ش‬ َ ‫س ْلن‬
َ ‫إِناا أ َ ْر‬
Terjemahnya :

Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada
padanya seorang pemberi peringatan.28[28]

Ayat yang disebutkan di atas, juga tidak memiliki sabab al-nuzul.29[29] Term ummah
dalam ayat di atas dikaitkan (munāsabah) dengan seorang rasul atau nabi yang membawa berita
gemira dan memberi peringatan. Umat di sini bisa berarti suatu bangsa atau generasi tertentu,
mereka itu bisa menyambut seruan nabi atau bahkan menolak atau mendustakan ajaran baru
itu. Karena itu, dari segi bahasa, ummah di sini berkonotasi netral, artinya bukan mesti di-
munasabah-kan (dikait-kan) dengan kepercayaan umat tersebut terhadap suatu ajaran atau
agama tertentu, misalnya umat Yahudi, umat Nashrani, sebagaimana dalam QS. Ali Imrān (3):
110 dan ayat-ayat lainnya yang tergolong sebagai ayat periode madaniyyah.

2. Ayat-ayat Madaniyyah

Ayat yang turun di Madinah dan menggunakan term ummah di antaranya adalah QS. Ali
Imran (3): 104, yakni

‫ع ِن ْالم ْن َك ِر‬ ِ ‫َو ْلتَك ْن ِم ْنك ْم أ امة يَ ْدعونَ إِلَى ْال َخي ِْر َويَأْمرونَ بِ ْال َم ْعر‬
َ َ‫وف َويَ ْن َه ْون‬
َ‫َوأولَئِ َك هم ْالم ْف ِلحون‬
Terjemahnya

26[26] Lihat Dawan Raharjo, op.cit, h. 489

27[27] Mannā al-Qaththān, loc. cit.

28[28] Departemen Agama RI, op. cit., h. 699

29[29] Lihat dan periksa ulang Imām Jalāl al-Dīn al-Suyuti, op. cit., h. 403-407. Lihat
juga Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad al-Wāhidi al-Naysāburi, op. cit., h.316-317
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Ayat di atas, memiliki sabab al-wurud. Dalam Tafsīr Ibn Kasīr dijelaskan bahwa
berdasarkan riwayat dari Ahmad, dari Mughīrah, dari Shafwān, dati Azhar, dari Abū Amr, ia
berkata; ketika kami berhaji dan tiba di Mekkah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyān, kami
bershalat zhuhur dengan Nabi saw, lalu beliau bersabda: sesungguhnya ahli kitab akan terpecah
menjadi beberapa millah (golongan), dan umat ini (Islam) juga terpecah menjadi 73 golongan …
maka turunlah ayat tersebut (QS. Ali Imran/:104) sebagai perintah bagi setiap ummah untuk
melakukan dakwah, dan sekiranya perpecahan tersebut tidak dihindari, cukuplah ia menjadi
rahmat.30[30] Bila sabab nuzul ayat ini dicermati, ditemukan konsep bahwa ummah (bangsa-
bangsa dan atau masyarakat) akan mengalami perbedaan dan kekhasan tersendiri. Mereka
memiliki pandangan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan itu, dapat
dilihat pada aspek munāsabah ayat yang menggunakan term ummah dalam ayat 113-114 di
surah yang sama, yakni ;

‫ّللاِ َءانَا َء اللا ْي ِل َوه ْم‬


‫ت ا‬ ِ ‫س َوا ًء ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكتَا‬
ِ ‫ب أ امة قَائِ َمة يَتْلونَ َءايَا‬ َ ‫لَيْسوا‬
َ َ‫وف َويَ ْن َه ْون‬
‫ع ِن‬ ِ ‫اّلِل ِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر َويَأ ْمرونَ بِ ْال َم ْعر‬
‫يَ ْسجدونَ يؤْ ِمنونَ بِ ا‬
‫ت َوأولَئِ َك ِمنَ ال ا‬
. َ‫صا ِل ِحين‬ ِ ‫ارعونَ فِي ْال َخي َْرا‬ ِ ‫س‬َ ‫ْالم ْن َك ِر َوي‬
Terjemahnya :

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka
membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga ber sujud
(sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada
yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai
kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.31[31]

Jelas bahwa ayat di atas secara tegas membedakan antara satu ummah dengan ummah
lainnya, namun persamaan juga ada, yakni sama-sama melaksanan ritual keagamaan, yakni
mengembang suatu fungsi tertentu dalam upaya menyelenggarakan kebenaran. Term ummah
dalam ayat di atas, menunjuk bagian dari masyarakat yang mengemban suatu fungsi tertentu,
yaitu; menyelenggarakan keutamaan dengan menegakkan yang baik dan mencegah yang
munkar. Dalam salah satu hadis, Nabi saw bersabda :

30[30] Lihat Abū al-Fidā Ismail bin Kaśīr, op. cit., juz I; h. 390, teks aslinya adalah :

‫ حججنا مع معا وية بن أبى سفيا ن‬: ‫ حدثى أزهر عن أبى عامر قال‬،‫ حدثنا أبوا المغيرة حدثنا صفوان‬،‫ قال اإلمام احمد‬...
‫ و إن‬،‫ ان اهل الكتاب افترقوا فى د يهم عل ى الملل‬: ‫ إن رسول هللا صلم قال‬: ‫فلما قدمنا مكة قام حين قلى صالة الظهر فقال‬
‫ فنزلت اْلية وستكون رحمة‬....،‫هذه األمة ستفرقون على ثالث وسبعين ملة‬

31[31] Departemen Agama RI, op. cit., h. 94


‫سلا َم يَقول َم ْن َرأَى ِم ْنك ْم‬ َ ‫صلاى اللاهم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ّللا‬ ‫س ِم ْعت َرسو َل ا‬ َ ‫س ِعي ٍد‬ َ ‫قَا َل أَبو‬
‫سانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َوذَ ِل َك‬
َ ‫م ْن َك ًرا فَ ْليغَيِ ْره بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َ ِط ْع فَبِ ِل‬
32[32] )‫ان (رواه مسلم‬ ِ ْ ‫ض ع َف‬
ِ ‫اإل ي َم‬ ْ َ‫أ‬
Artinya :

Abu Sa’id berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda : Barang siapa di antara kamu yang
melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak sanggup
(dengan tangannya), maka hendaklah dia mengubahnya dengan lisan. Jika tidak sanggup
(dengan lisannya), maka hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang demikian ini
(dengan hati) adalah selemah-lemah iman.

Keberhasilan dalam menegakkan kebaikan dan keberhasilan dalam mem-berantas kemungkaran


pada gilirannya akan terwujud suasana yang aman, damai, sejahterah. Susasana-suasana seperti ini,
kesemuanya digambarkan dalam ayat-ayat madaniyah dan tersimpul dalam tiga istilah, yakni
masyarakat yang memiliki nilai-nilai keutamaan (khaer ummah),33[33] masyarakat yang seimbang
(ummah wasath),34[34] dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah).35[35] Dari ketiga istilah
inilah, termuat konsep masyarakat madani dan terimplemenasi di Madinah pada zaman Nabi saw.

C. Analisis tentang Konsepsi Masyarakat Madani

Konsep masyarakat madani sebagaimana yang telah ditekankan oleh Alquran , dan telah dirumuskan
pada uraian terdahulu adalah masyarakat yang terbaik (khairah ummah), masyarakat yang seimbang
(ummatan wasathan), dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah). Berikut ini dikutip ayat-ayat
yang menggunakan istilah-istilah tersebut :

1. Khairah ummah dalam QS. Ali Imran (3): 110, yakni ;

َ‫ع ِن ْالم ْن َك ِر َوتؤْ ِمنون‬ ِ ‫اس تَأْمرونَ ِب ْال َم ْعر‬


َ َ‫وف َوت َ ْن َه ْون‬ ِ ‫ت ِللنا‬ْ ‫ك ْنت ْم َخي َْر أ ام ٍة أ ْخ ِر َج‬
َ‫ب لَ َكانَ َخي ًْرا لَه ْم ِم ْنهم ْالمؤْ ِمنونَ َوأ َ ْكثَرهم ْالفَا ِسقون‬
ِ ‫اّلِلِ َولَ ْو َءا َمنَ أ َ ْهل ْال ِكتَا‬
‫بِ ا‬
Terjemahnya :

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu

32[32] CD. Rom Hadīś al-Syarīf al-Kutub al Tis’ah dalam Shahih, hadis nomor 70,
Kitab Iman

33[33] QS. Ali Imran (3): 110

34[34] QS. al-Baqarah (2): 142

35[35] QS. al-Maidah (5): 66


lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.

2. Ummatan wasathan dalam QS. al-Baqarah (2): 143, yakni ;

‫علَيْك ْم‬
َ ‫الرسول‬ ‫اس َويَكونَ ا‬ ِ ‫علَى النا‬ َ ‫طا ِلتَكونوا ش َهدَا َء‬ ً ‫س‬َ ‫َو َكذَ ِل َك َج َع ْلنَاك ْم أ امةً َو‬
‫علَ ْي َها ِإ اَل ِلنَ ْعلَ َم َم ْن َيت ا ِبع ا‬
‫الرسو َل ِم ام ْن َي ْنقَ ِلب‬ َ ‫ت‬ َ ‫ش ِهيدًا َو َما َج َع ْلنَا ْال ِق ْبلَةَ الاتِي ك ْن‬ َ
‫ضي َع‬ ِ ‫ّللا ِلي‬ ‫علَى الا ِذينَ َهدَى ا‬
‫ّللا َو َما َكانَ ا‬ َ ‫يرة ً ِإ اَل‬ َ ‫َت لَ َك ِب‬ َ ‫علَى‬
ْ ‫ع ِق َب ْي ِه َو ِإ ْن َكان‬ َ
‫اس لَ َرءوف َر ِحيم‬ ِ ‫ّللاَ بِالنا‬ ‫ِإي َمانَك ْم ِإ ان ا‬
Terjemahnya :

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan
agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan
sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

3. Ummah Muqtashidah dalam QS. al-Maidah (5): 66, yakni ;

ِ ْ ‫َولَ ْو أَناه ْم أَقَاموا الت ا ْو َراة َ َو‬


‫اإل ْن ِجي َل َو َما أ ْن ِز َل ِإلَ ْي ِه ْم ِم ْن َر ِب ِه ْم َأل َ َكلوا ِم ْن َف ْوقِ ِه ْم‬
َ‫سا َء َما َي ْع َملون‬ َ ‫صدَة َو َك ِثير ِم ْنه ْم‬ ِ َ ‫ت أ َ ْرج ِل ِه ْم ِم ْنه ْم أ امة م ْقت‬
ِ ‫َو ِم ْن ت َ ْح‬
Terjemahnya :

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang
diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas
mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan
alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

Konsep khairah ummah sebagaimana dalam QS. Ali Imran (3):110, adalah model masyarakat terbaik
dan yang ideal, ditugasi untuk mengembang beberapa fungsi profetik, terutama senantiasa
menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta tidak bercerai berai dan berselisih setelah
memperoleh keterangan yang jelas. Alquran memberi petunjuk beberapa mekanisme damai untuk
memecahkan problem internal, yaitu metode syūrah (musyawarah),36[36] ishlāh

36[36] QS. Ali Imran (3): 159


(rekonsiliasi),37[37] dan berdakwah dengan cara al-hikmah wa al-mujādalah bi allati hiya ahsan
(serua dengan kebijaksanaan serta perundingan dengan cara yang lebih baik).38[38]

Konsep ummatan wasathan sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 143, adalah masyarakat yang
seimbang. Masyarakat seimbang adalah posisi di tengah-tengah (wastah), yakni menggabungkan
yang terbaik dari segala yang bertentangan. Penempatan posisi tengah itu bukan hanya dengan
pernyataan negasi, misalnya, bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme.39[39]

Konsep ummah muqtashidah isebagai dalam QS. al-Maidah (5): 66, adalah masyarakat yang
moderat, yakni entitas tertentu di kalangan ahli kitab, dan posisi ummah disitu adalah minoritas.
Maksudnya, adalah kelompok kecil dalam masyarakat yang tetap setia menebarkan kebaikan dan
perbaikan serta meminimalisir kerusakan. Kelihatan bahwa makna ummah muqtashidah ini hampir
identik dengan ummah wasath, karena keduanya mengandung makna moderat da
ketidakterjebakan pada titik ekstrim. Keduanya juga berfungsi memelhara konsistensi penerapan
nilai-nilai utama di tengah pelbagai komunitas sekitar yang telah menyimpang. Bedanya, cakupan
ummah muqtashid adalah sub komunitas seagama (Yahudi atau Nashrani), sedangkan ummah
wasath adalah komunitas seagama itu sendiri, yakni Islam.

Konsep masyarakat madani yang digambarkan di atas, sungguh telah terpraktik dalam kenegaraan di
Madinah yang diplopori oleh Nabi saw. Konsep ini, bermula sesaat setelah hijrahnya Nabi saw dan
para sahabatnya yang ditandai dengan adanya Sahifah ay Watsiqah Madīnah atau Madinah Charter
yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “Piagam Madinah”. Item-itemnya berisi statement
tentang kemasyarakatan meliputi yang pada intinya adalah :

1. Asas kebebasan beragama, yakni negara mengakui dan melindungi setiap kelompok untuk beribadah
menurut agamanya masing-masing;

2. Asas persamaan, yakni semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat,
wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk, bahkan orang yang
lemah harus dilindungi dan dibantu;

3. Asas kebersamaan, yakni semua anggota masyatakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama
terhadap negara;

37[37] QS. al-Hujurat (49): 9

38[38] QS. al-nahl (16): 125

39[39] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 4


4. Asas keadilan, yakni setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Hukum harus ditegakkan, siapapun yang melanggarnya harus terkena hukuman;

5. Asas perdamaian, yakni warga negara hidup secara berdampingan, tanpa membedakan suku,
agama, dan ras (SARA);

6. Asas musyawarah, yakni semua permasalahan kenegaraan yang pelik mesti dicarikan solusinya
melalui dewan syura.

Kelima asas penting “Piagam Madinah” tersebut ditandatangani oleh seluruh komponen
masyarakat; Nasrani, Yahudi, Muslim (Ansar-Muhajirin). Masyarakat pendukung “Piagam Madinah”
jelas memperlihatkan karakter masyarakat yang majemuk, baik ditinjau dari segi asal keturunan,
maupun segi budaya dan agama. Di dalamnya terdapat Arab Muslim, Yahudi dan Arab non Muslim,
semuanya bersatu membangun madinah.

III. PENUTUP

Berdasar pada permasalahan yang telah ditetapkan, dan kaitannya dengan uraian-uraian yang telah
dipaparkan, maka dapat dirumuskan kesimpulan bahwa Masyarakat madani secara umum adalah
sekumpulan orang dalam suatu bangsa atau negara di mana mereka hidup secara ideal dan taat
pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat
seperti ini sering disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau al-mujtama’ al-madani,
yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang tebaik, berkeadilan, dan
berperadaban”. Dalam istilah Alquran , kehidupan masyarakat madani tersebut dikontekskan
dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr.

Melalui kajian tafsir tematik dengan menggunakan teknik multi interpretasi, maka dipahami bahwa
terminologi masyarakat madani dalam perspektif Alquran, terungkap melalui term ummah pada
ayat-ayat makkiyah dan madaniyah yang walaupun tidak semuanya memiliki sabab al-nuzul, namun
kesemua ayat tersebut saling berkaitan, sehingga melahirkan nilai-nilai dasar kemasyarakatan (al-
mujtama’) dalam arti kumpulan atau komunitas, misalnya; komunitas binatang, komunitas jin dan
manusia. Dari nilai-nilai dasar kemasyarakatan ini, maka lahirlah konsep masyarakat madani, yakni
masyarakat yang ideal yang teriterpretasi dalam tiga istilah, yakni masyarakat yang utama dan
terbaik (khairah ummah), masyarakat yang seimbang (ummatan wasathan), dan masyarakat
moderat (ummah muqtashidah). Konsep masyarakat madani seperti yang disebutkan ini lalu
diimplementasikan oleh Nabi saw, di masyarakat Madinah yang ditandai dengan adanya Sahifah ay
Watsiqah Madīnah atau Madinah Charter, yakni “Piagam Madinah” yang item-itemnya meliputi
enam prinsip, yakni asas kebebasan beragama, asas persamaan, asas kebersamaan, asas keadilan,
asas perdamaian, dan asas musyawarah
Berdasar pada rumusan kesimpulan di atas, kelihatan bahwa kajian tentang masyarakat madani
menurut perspektif Alquran , masih perlu dikembangkan, dan didiskusikan lebih lanjut, sehingga
akan diperoleh rumusan konsepsi tentang masyarakat madani yang lebih akurat dan argumentatif
untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Al-Bāqy, Muhammad Fu’ad ‘Abd.. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm (Bairūt: Dār al-Fikr,
1992

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran , 1992

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet II, Jakarta : Balai Pustaka,
1989

Al-Farmawi, Abd. al-Hayy. al-Bidāyah fī Tafsīr al-Mawdhu’iy diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan
judul Metode Tafsir Mawdhuiy; Suatu Pengantar Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994

Al-Hasyimiy, Al-Sayyed Ahmad. Jawāihr al-Balāgah fī al-Mah’āniy wa al-bayāni wa al-Badī’iy. Mesir: Dār
al-Fikr, 1991

Ibn Kasīr, Abū al-Fidā Ismail. Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm. Semarang: Toha Putra, t.th

Al-Kalili, Asad M.. Kamus Indonesia Arab. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Karni, S. Asrory, Civil Society dan Ummah; Sintesa; Diskursif “Rumah” Demokrasi. Cet. I; jakarta: Logos,
1999.

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi. Cet. V; Jakarta: Aksara Baru, t.th

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997

Ma’luf, Luwis. al-Munjid fiy al-Lugah. Bairut: Dar al-Masyriq, 1977

Al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1984


Parker dan Anderson, Society its Organization and Operation. Toronto-London- New York; Mostrand co,
Inc 1964

Al-Qaththān, Mannā’. Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān. Bairūt: Dār al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Alquran ; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996

Salim, Abd. Muin. Salim, H. Abd. Muin. “Elaborasi Bahasa Politik Islam dalam Alquran ” dalam Al-Huda;
Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Vol. 1 No. 2, 2002

.Fiqh Siayasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran. Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1995.

. Implementasi Manajemen Rabbani menuju Masyarakat Madani “Makalah”. Ujung Pandang:


Panitia Seminar Nasional IAIN Alaudin, 1999.

. Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir


sebagai Disiplin Ilmu “Orasi Pengukuhan Guru Besar”. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1999

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran , volume 2. Cet III; Jakarta:
Lentera Hati, 2005

. Wawasan Alquran Tafsir Mandhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet VIII, Bandung: Mizan,
1998.

Susanto, Astrid S. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Cet I; Bandung; Bina Cipta, 1979

Al-Suyuti, Imām Jalāl al-Dīn. Lubāb al-Nuqul fī Asbāb al-Nuzūl. Bairūt: Dār al-Fikr, 1977

Syani, Abdul. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Cet. I; Jakarta:Bumi Aksara, 1994

Ubaidillah, A.. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani Cet I, Jakarta: IAIN
Syahid Jakarta Press, 2000

Umari, Akram Dhiauddin. Madinan Society at The Time of the Propeht; Its Charcteristics and
Organization, diterjemahkan oleh Mu’im A. Sirry dengan judul. Masyarakat Madani; Tinjauan
Historis Kheiudpan Za,an Nabi saw. Jakarta: Gema Insani Pres, 1999.

Wahid, Hidayat Nur. Mengelolah Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani. Cet. I; Ciputat: Fikri, 2004

Al-Wāhidi al-Naysāburi, Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad. Asbāb al-Nuzūl. Jakarta: Dinamika Utama, t.th.

Anda mungkin juga menyukai