Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH SISTEM KADASTER

Sejarah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan

Disusun Oleh:

Afrida Gitawardani (23115045)

TEKNIK GEOMATIKA
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
LAMPUNG
2018
DAFTAR ISI

Halaman
Daftar Isi ........................................................................... 2
BAB I
1.1.Latar Belakang ............................................................................ 3
1.2.Rumusan Masalah ............................................................................ 3
BAB II
Teori Pendukung ............................................................................ 4
BAB III
Permasalahan ............................................................................ 6
Daftar Pustaka ............................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

Lahirnya Undang – Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 menjadi
suatu perubahan baru dalam bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Ketentuan mengenai
Agraria terdapat dalam Undang – Undang Nomor 5 tahun 1969 tentang Peraturan Dasar
Pokok – Pokok Agraria dalam Lembaran Negara Nomor 104 tahun 1960. Hal yang melandasi
dibentuknya UUPA adalah Pancasila dan Pasal33 ayat 3 UUD 1945.
Undang – Undang Pokok Agraria merupakan undang – undang yang bersifat formal,
yaitu hanya menjelaskan asas – asas dan pokok – pokok yang terkait dengan permasalahan
agraria dan pertanahan di Indonesia, sedangkan peraturan pelaksanaannya akan diatur dalam
peraturan perundang – undangan yang lain. Adapun tujuan pokok dari UUPA adalah :
 Untuk meletakkan dasar – dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional
 Menjadi dasar dalam mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan
 Menjadi dasar dalam mewujudkan kepastian hukum mengenai hak – hak atas tanah
bagi seluruh rakyat Indonesia
Hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari negara disebut hak
primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada
perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai
persamaan, di mana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk
dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain mdalui perjanjian dimana
satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain.
Tugas makalah Sistem Kadaster ini akan menjelaskan Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan yang terdapat dalam hak – hak atas tanah pada Undang – Undang Pokok Agraria
tahun 1960 tersebut.

b. Rumusan masalah

1. Bagaimana sejarah terbentuknya Hak Guna Usaha?


2. Bagaimana sejarah Hak Guna Bangunan dalam reforma agraria?

3
BAB II
TEORI PENDUKUNG

Bab ini akan menjelaskan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan dalam peraturan
yang terdapat pada Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, sebagai sarana
untuk mendukung jawaban atas rumusan masalah terbentuknya hak – hak atas tanah tersebut.
Dasar hukum ketentuan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan diatur dalam
Pasal4 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa : “(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara
sebagai dimaksud dalam Pasal2, ditentukan adanya macam – macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang – orang, baik
sendiri maupun bersama – sama dengan orang – orang lain serta badan – badan hukum. (2)
hak – hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas – batas menurut undang – undang ini dan peraturan
hukum yang lebih tinggi”.
Hak – hak atas tanah yang dimaksudkan dalam Pasal 4 diatas ditentukan dalam Pasal
16 ayat 1, yang bunyinya sebagai berikut : “(1) Hak – hak atas tanah sebagai dimaksud dalam
Pasal4 ayat 1 adalah : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa,
hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak – hak lain yang tidak termasuk dalam
hak – hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang – undang serta hak – hak
yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53”.
Dasar – dasar hukum Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28 – 34 UUPA tahun 1960
yang menjelaskan arti Hak Guna Usaha hingga terhapusnya Hak Guna Usaha tersebut.
Menurut Pasal 28 ayat 1 UUPA tahun 1960, “Hak guna usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”. Menurut
Pasaldiatas Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah melalui keputusan
pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Hak guna usaha merupakan suatu
hak yang diberikan oleh negara kepada subjek hukum tertentu dengan syarat tertentu untuk
mengelola dan mengusahakan tanah negara dengan orientasi yang bergerak dalam bidang
pertanian, perikanan atau peternakan.
Menurut G. Kartasapoetra, hak guna bangunan yaitu hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka

4
waktu paling lama 30 tahun. Selain atas tanah yang di kuasai oleh negara, hak guna bangunan
dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang (G. Kartasapoetra, 1992: 10). Ketentuan
Pasal21 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menentukan bahwa, tanah yang dapat
diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan, tanah hak
milik.
Cara perolehan serta ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas
tanah negara dan tanah hak pengelolaan, diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 22
Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 dan Pasal 35 - 40 UUPA tahun 1960.

5
BAB III
PERMASALAHAN

Veerenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC)


Perkembangan hukum agraria sudah dimulai sejak zaman kerajaan, di mana tanah
bukanlah benda yang diperdagangkan karena masih melimpahnya tanah-tanah yang belum
dimiliki. Masyarakat pada masa kerajaan menjalani kehidupannya berdasarkan ketentuan
raja.Sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah wilayah, raja berdaulat penuh atas semua hal
yang ada dalam wilayah yuridiksinya.Begitupun dalam pengurusan tanah, raja telah
menentukan batas dan bagian masing-masing bagi rakyatnya.Pola pembagian wilayah yang
menonjol pada masa awal-awal kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam
beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat- pejabat yang
ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana (Paigeaud 1960, Moertono 1968).
Sejarah hukum agraria kolonial pun diawali oleh perkumpulan dagang yang disebut
Veerenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC) antara tahun 1602-1799, mereka diberikan
hak untuk berdagang sendiri di Indonesia dari Pemerintah negeri Belanda (Staten General),
VOC mulai menaklukan raja-raja dari kerajaan-kerajaan kecil dengan cara mengharuskan
menandatangani perjanjian (tractaat) bahwa mereka (raja dan rakyatnya) harus tunduk dan
patuh kepada VOC dengan sistem perdagangan Verpelichte Leverantie dan Contingenten,
yaitu menyerahkan hasil bumi dengan harga yang sudah dipatok atau ditentukan dan hasil
bumi yang diserahkan dipandang sebagai pajak tanah (Muchsin,dkk 1962). Hukum perdata
Belanda (Burgerlijk Wetboek) mulai diberlakukan untuk seluruh wilayah kekuasaan VOC,
penekanan praktek penegakkannya adalah pada perolehan tanah untuk hubungan keagrariaan
bagi pengumpulan hasil bumi untuk dijual di pasaran Eropa. Seluruh lahan di daerah kerajaan
yang berada di bawah kekuasaan VOC itu diklaim menjadi milik VOC sehingga bebas
digunakannya, termasuk untuk dijual kepada pihak selain masyarakat Indonesia. Salah satu
bentuk kegiatan penjualan tanah itu dilakukan melalui Lembaga Tanah Partikelir sejak tahun
1621, dengan dominasi pembeli dari pedagang kaya orang Arab dan Cina, namun tidak ada
bukti surat jual beli karena belum ada pejabat notaris pada masa itu, maka tanah partikelir
tersebut dicatat dalam catatan eigendom milik Belanda.
Hak agrarish eigendom adalah suatu hak ciptaan pemerintah Belanda yang bertujuan
akan memberikan kepada orang – orang Indonesia suatu hak atas tanah yang kuat. Hak itu
disebut dalam Pasal51 ayat 7 IS dan diatur lebih lanjut didalam Pasal4 Agrarisch Besluit serta
S. 1872 no. 117 dan S. 1873 no.38. dalam peraturan – peraturan yang berangkutan, hak itu

6
disebut “eigendom”. Nama “Agrarisch eigendom” dipergunakan dalam praktik untuk
membedakannya dari hak eigendom biasa, yaitu hak eigendom yang disebut dan diatur dalam
KUUH Perdata. Menurut S.1872 no.117, seorang Indonesia pribumi yang
menginginkansupaya hak milik atas tanahnya diubah menjadi hak Agrarisch eigendom, harus
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilannegeri dari tempat letak tanah yang
bersangkutan, agar ia ditetapkan sebagai pemilik tanah itu. Cara tersebut merupakan satu –
satunya kemungkinan untuk diluar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain,
meminta kepada pengadilan agar ditetapkan atau dinyatakan sebagai pemilik suatu bidang
tanah Indonesia (Boedi Harsono, 1975).
Tahun 1979 VOC terpaksa dibubarkan karena kas kosong, banyak hutang serta
banyak pesaing dari Inggris dan Perancis. Setahun kemudian, daerah dan hutang-hutang VOC
diserahkan kepada Bataafsche Republiek, serta Indonesia sebagai tanah jajahan dijadikan
bagian dari wilayah Negeri Belanda dengan status sebagai negara jajahan (Nederlands Indie –
Hindia Belanda).

Pemerintahan Raffles
Setelah bangkrutnya VOC pada awal abad ke-19, kekuasaan pemerintah Belanda
dipatahkan oleh balatentara Inggris dan pada tahun 1811 Belanda harus menyerahkan Pulau
Jawa kepada Inggris. Di bawah pemerintahan Raffles dibentuklah sebuah panitia dengan
tugas melakukan penyelidikan statistik mengenai keadaan agraria, dan atas hasil penyelidikan
itu Raffles berkesimpulan bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah Inggris (teori
Domein). Raffles mewujudkan pemikiran tentang pajak yang dikenal dengan nama Landrent
(pajak tanah). Landrent tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, para
kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap
petani. Berdasarkan ketentuannya itu, penduduk pribumi hanya dianggap menumpang dan
dibebani tanggung jawab untuk membayar pajak dalam pemakaian tanah raja atau pemerintah
Inggris.

Sistem tanam paksa (Cultuurstelsel)


Dengan dibentuknya perjanjian pada 13 Agustus 1814 antara Inggris dan Belanda,
maka semua jajahan Belanda yang diwaktu peperangan terakhir diduduki oleh Inggris akan
dikembalikan kepada Belanda. Memasuki masa pemerintahan Van den Bosch, pada tahun
1830 diterapkan sebuah sistem tanam paksa (Cultuurstelsel), yakni dengan peniadaan
pembayaran pajak dari para petani di desa namun digantikan dengan kewajiban menanami

7
1/5 tanahnya dengan tanaman seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan sebagainya untuk
kemudian diserahkan kepada pemerintah (untuk di ekspor ke Eropa). Pelaksanaan sistem
tanam paksa sangatlah membatasi kemungkinan para pengusaha besar swasta untuk berusaha
dibidang perkebunan besar. Politik monopoli negara dalam penguasaan tanaman – tanaman
untuk ekspor, membuat pengusaha besar swasta yang belum memiliki sendiri tanah yang
luas dengan hak eigendom (tanah partikelir), tidak ada kemungkinan untuk memperoleh
tanah yang diperlukannya dengan hak yang kuat dan jangka waktu yang lama (Boedi
Harsono, 1975). Menurut Koninklijk Besluit 7 November 1856 “persewaan tanah boleh
diadakan dengan jangka waktu paling lama 20 tahun, kecuali untuk tanaman kelapa yang
jangka waktunya hingga 40 tahun”. Ketentuan tersebut tidak membawa perkembangan bagi
perusahaan besar Hindia Belanda karena jangka waktu sewa maksimal 20 tahun tidak
mencukupi untuk tanaman – tanaman keras yang berumur panjang.
Berkembanglah paham liberalisme di bidang hukum dengan tujuan agar pemerintah
memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak
(eigendom) untuk memungkinkan penjualan dan penyewaan, serta agar dengan asas domein
pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah
jangka panjang dan murah (erfpacht). Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang
berkembang, dituntut penggantian sistem monopoli negara dan kerjapaksa dalam
melaksanakan cultuur stelsel, dengan sistem persaingan bebas berdasarkan konsepi
kapitalisme liberal. Tuntutan untuk mengakhiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan
tujuan bisnis terebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari
golongan lain di negeri Belanda yang melihat terjadinya penderitaan angat hebat di kalangan
petani di Jawa, sebagai akibat penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan cultuur
stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan. Akhirnya perjuangan para pengusaha besar
tersebut berhasil, setelah melalui perdebatan panjang maka lahirlah suatu undang – undang
yang dikenal dengan sebutan Agrarische Wet.

Agrarische Wet 1870


Agrarische Wet adalah suatu undang – undang yang dibuat untuk tujuan membuka
kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat
berkembang di Hindia Belanda. Salah satu peraturan yang terdapat dalam Agrarische Wet
adalah memberikan kemungkinan untuk memperoleh dari pemerintah tanah yang masih
berupa hutan, untuk dibuka dan dijadikan perkebunan besar dengan hak erfpacht.

8
Menurut Pasal 720 dan 721 KUUHPdt, hak erfpacht merupakan hak kebendaan yang
memberikan kewenangan paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya
akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain. Pemegang hak erfpacht boleh menggunakan
semua kewenangan yang terkandung dalam hak eigendom atas tanah. Jangka waktu
penguasaan dan penggunaan tanahnya selama 75 tahun memungkinkan pengusaha
menyelenggarakan penanaman tanaman – tanaman keras yang berumur panjang dan
memperoleh laba lebih besar daripada hak sewa, yang berjangka waktu pemberiannya hanya
sampai 20 tahun. Ketentuan Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam
berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu yang penting adalah Agararisch Besluit
(keputusan agraria) yang hanya berlaku di Jawa dan Madura, yang diundangkan dalam
Staatsblad 1870 No. 118, di mana dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa “….semua tanah yang
tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom), adalah hak domein
negara.” Domein negara artinya milik mutlak negara, biasa dikenal dengan Domein
Verklaring. Dalam praktik pelaksanaan perundang – udangan pertanahan, Domein Verklaring
berfungsi sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili negara sebagai pemilik
tanah, untuk memberikan tanah dengan hak – hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti
hak erfpacht, hak opstal ( hak numpang karang) dan lain – lainnya (Boedi Harsono, 1975).

Pasca Kemerdekaan
Dalam bidang keagrariaan selama masa penjajahan terdapat dualisme hukum agraria
yang berlaku yakni berdasarkan hukum adat yang melahirkan tanah hak milik adat, tanah
ulayat, tanah yayasan, tanah golongan dan sebagainya, serta berdasarkan hukum barat
(kolonial) yang melahirkan tanah hak eigendom (hak milik), tanah hak opstal, tanah hak
erfpacht, tanah hak gebruik (hak pakai), hak gebruik ( hak pakai ) dan sebagainya.
Pemerintah memfokuskan untuk memperbaiki peraturan agraria pasca kemerdekaan
dengan membuat tatanan peraturan yang lebih baik dan menguntungkan masyarakat.
Beberapa peraturan yang dihasilkan antara lain terdapat Undang-Undang No. 28 Tahun 1956
tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-
Undang No. 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai
Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-
Tanah Partikelir, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1958 tentang Peralihan Tugas dan
Wewenang Agraria.
Usaha pemerintah untuk membentuk hukum agraria yang lebih baik dengan
membentuk panitia agraria yang terus mengalami pergantian selama 12 tahun, maka pada

9
tahun 1960 terbitlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (biasa disebut UUPA) yang disahkan dan diundangkan sebagai induk dari
hukum agraria Indonesia. Dengan berlakunya UUPA, berarti telah dicabut segala peraturan
hukum agraria kolonial yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu (Ridwan Halim, 1988) :
1. "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51
"Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan
ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu
2. "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No.
118); "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A;
"Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No.
94f; "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari
Staatsblad 1877 No. 55; "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling
van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan
peraturan pelaksanaannya
4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya
undang-undang ini

Adapun tujuan dalam pembentukan UUPA ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3), yakni
bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil
dan makmur. Untuk menunjukkan kepemihakan terhadap rakyat dalam pengaturan UUPA
ini, dapat dilihat dalam Pasal 11 dan 13. Dari berbagai ketentuan dasar tersebut, selanjutnya
UUPA juga menentukan mengenai hak-hak masyarakat atas tanah yang dapat dibedakan
menjadi:
a. Hak milik (Pasal 20-27)
b. Hak guna usaha (Pasal 28-34)
c. Hak guna bangunan (Pasal 35-40)
d. Hak pakai (Pasal 41-43)
e. Hak sewa untuk bangunan (Pasal 44-45)
f. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (Pasal 46)

10
g. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (Pasal 53) yakni hak gadai, hak usaha
bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.

Hak Guna Usaha


Hak Guna Usaha diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Agraria Pasal 28 ayat (1) yang menjelaskan bahwa “Hak guna usaha
adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka
waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan”. Peraturan dan kebijakan dalam Hak Guna Usaha secara rinci telah dijelaskan
dalam Undang Undang Pokok Agraria tahun 1960 Pasal 28 – 34 yang menjelaskan bagaiman
perolehan Hak Guna Usaha, kewajiban pemegang Hak Guna Usaha hingga hapusnya Hak
Guna Usaha.
Ketentuan kepemilikan Hak Guna Usaha di atur pada Pasal 29 UUPA tahun 1960
yang menyatakan bahwa Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun dan
untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha
untuk jangka waktu paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang Hak Guna Usaha dan
mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu
paling lama 25 tahun.
Kewajiban pemegang Hak Guna Usaha berdasarkan Pasal 12 ayat 1 PP No. 40 Tahun
1996, pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk :
a. Membayar uang pemasukan kepada Negara
b. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan sesuai
peruntukan pemberian haknya
c. Mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan
usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis
d. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam
lingkungan areal Hak Guna Usaha
e. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga
kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
f. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna
Usaha

11
g. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara
sesudah hak Guna Usaha tersebut dihapus
h. Menyerahkan sertifikat hak Guna Usaha yang telah dihapus kepada Kepala Kantor
pertanahan

Hak Guna Bangunan


Hak guna bangunan dalam pengertian hukum barat sebelum dikonversi berasal dari
hak opstal yang diatur dalam Pasal 71 KUHPerdata bahwa “hak numpang–karang adalah
suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman
di atas pekarangan orang lain (Budi Utomo, 2013). Menurut Ruchiat “apa yang diatur dalam
UUPA barulah merupakan ketentuan-ketentuan pokok saja, sebagaimana terlihat dalam Pasal
50 ayat (2) bahwa ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Guna Bangunan akan
diatur dengan peraturan maupun peraturan menteri.”
Pasal 35 ayat 1 UUPA tahun 1960 menjelaskan bahwa “Hak Guna Bangunan adalah
Hak Milik untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan
20 tahun, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat dijadikan jaminan hutang
dibebani Hak Tanggungan.”. Menurut Pasal 21 PP Nomor 40 Tahun 1996, tanah yang dapat
diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah: Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan dan
Tanah Hak Milik.
Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 30 PP Nomor 40 Tahun
1996 yang menentukan:
a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya.
b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntunannya dan;persyaratannya sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya.
c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
d. Mengarahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada
Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna
Bangunan itu dihapus.
e. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah dihapus kepada kepala kantor
Pertanahan.

12
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 bahwa yang dapat menjadi subjek
hak guna bangunan adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

13
DAFTAR PUSTAKA
Harsono,Boedi.2008.Hukum Agraria Indonesia.Jakarta:Djambatan

Herman Soesangobeng.2012.Filosofi Asas Ajaran Teori Hukum Pertanahan dan


Agraria.Yogyakarta: STPN Press

Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

http://www.jurnalhukum.com diakses pada tanggal 10 Maret 2018 pukul 20:00

http://jurnal.unpad.ac.id diakses pada tanggal 10 Maret 2018 pukul 21:00

Sigit,Tjahjo Surjono.2012.” PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK


GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN DI JAWA TENGAH” Tesis. Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta

14

Anda mungkin juga menyukai