Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL PENELITIAN SWAKELOLA 2018

DUKUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI


MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
(STUDI PENGELOLAAN MEMPAWAH MANGROVE PARK)

1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Provinsi Klimantan Barat tahun 2013-2018, dikemukakan bahwa
Kalimantan Barat memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah.
Apabila potensi tersebut dikelola dengan tepat, maka akan sangat
mendukung untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Salah satu
potensi SDA yang dimiliki Kalimantan Barat adalah bentang hutan hujan
tropika basah (tropical rainforest) yang cukup luas yang didalamnya
terkandung berbagai biodiversity endemik. Ini sangat bermanfaat bagi
pengembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk
kepentingan kerjasama dengan pihak luar negeri. Namun, degradasi
lingkungan dan deforestasi sumber daya hutan masih terus terjadi
sebagai akibat dari kegiatan perambahan hutan, pertambangan emas
tanpa izin, serta kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, lemahnya
sinergitas dan koordinasi antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota misalnya adanya peraturan dan perundang-undangan
yang bersifat kontraproduktif menyebabkan kurang optimalnya
pengelolaan sumber daya dan lingkungan tersebut.

Pada Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2005 terutama Bab 32 tentang


Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup, dikemukakan permasalahan pokok dalam pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia. Menurunnya kondisi hutan di Indonesia
secara terus menerus, habitat ekosistem pesisir dan laut yang semakin
semakin rusak, tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati
(biodiversity), sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan belum
optimal, pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan
belum jelas, serta masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam
pemeliharaan lingkungan merupakan permasalahan pengelolaan
lingkungan yang dapat menghambat perwujudan percepatan
pembangunan yang berkelanjutan.

Dengan bergulirnya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2004 melalu


ketetapan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, L.H. Simanjuntak (2007) menyebutkan Pemerintah Daerah
(Pemda) sesuai kewenangannya dapat menentukan kebijakan
pengelolaan SDA dan lingkungan hidup sebagai salah satu potensi
daerah. Dengan memperhatikan pentingnya aspek keberlanjutan dalam
pembangunan, terlebih setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014, maka diharapkan Pemda dapat menentukan berbagai
kebijakan yang merupakan pendekatan dan pandangan strategis dan
mendasar untuk mengoptimalisasi segenap potensi tersebut dalam
pencapaian tujuan pembangunan. Sunoto (1997) dan A Syahrin (1999)
dalam E. Siregar (2007) menjelaskan kebijakan lingkungan hidup tersebut
haruslah merupakan perwujudan dari pengelolaan dan pemanfaatan SDA
dan lingkungan hidup yang berkelanjutan (sustainability) dan berkeadilan
seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam lingkungan
yang lebih baik dan sehat. Hal ini berarti penyediaan, penggunaan,
peningkatan kemampuan sumber daya alam dan peningkatan taraf
ekonomi, perlu menyadari pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup,
kesamaan derajat antar generasi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban
masyarakat, pencegahan terhadap pembangunan yang merusak
(destruktif) yang tidak bertanggung jawab lingkungan.
Salah satu wilayah di Kalimantan Barat yang memiliki potensi besar untuk
dimanfaatkan dan perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan
lingkungan hidup adalah wilayah pesisir. D. Marlina, dkk. (2013)
menyebutkan berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 Ayat
(2)*, wilayah pesisir diartikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah
pesisir merupakan kawasan yang sangat potensial untuk dikembangkan
dan dijaga kelestariannya dengan melakukan pendayagunaan sumber
daya pesisir serta pemanfaatan fungsi wilayah secara terencana, rasional,
bertanggung jawab, serasi dan seimbang dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Wilayah pesisir di sepanjang daerah tropik salah satunya dicirikan dengan


keberadaan ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove adalah
komunitas vegetasi pantai tropis yang khas, tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang surut, terutama di laguna, muara sungai dan pantai
yang terlindung dengan subtrat lumpur atau lumpur berpasir (Kementerian
Kehutanan, 2014). Mangrove merupakan salah satu ekosistem esensial di
dunia. Pada sektor perekonomian, mangrove menjadi sumber mata
pencaharian bagi jutaan orang misalnya untuk pengembangan usaha
perikanan dan logging. Mangrove juga memiliki fungsi ekologi yaitu
mencegah abrasi pantai dan banjir, menjaga kualitas air pesisir serta
sebagai habitat flora fauna yang beberapa diantaranya adalah spesies
endemik. Tidak kalah penting, mangrove sangat berperan sebagai
ekosistem yang berfungsi sebagai penyimpanan karbon.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam sambutannya pada


Konferensi Internasioal Ekosistem Mangrove Berkelanjutan di Bali tanggal
18 April 2017(1) menyampaikan bahwa luas ekosistem mangrove didunia
mencapai 15,2 juta Ha yang tersebar di 124 negara. Berdasarkan data
One Map Mangrove, ekosistem mangrove di Indonesia seluas
3.489.140,68 Ha atau 23% ekosistem mangrove dunia yang terdiri atas
2,2 juta Ha dalam kawasan dan 1,3 juta Ha di luar kawasan yang
kesemuanya tersebar di 257 Kabupaten/Kota. Informasi yang
disampaikan Direktur Bina Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial,
Antung Deddy Radiansyah pada komunikasi publik di Gedung
Manggala Wanabakti, di Jakarta pada Selasa 14 Maret 2017(2),
disampaikan bahwa diketahui seluas 1.671.140,75 Ha dalam kondisi
baik, sedangkan areal sisanya seluas 1.817.999,93 Ha sisanya dalam
kondisi rusak. Kerusakan ekosistem mangrove tersebut disebabkan
antara lain oleh adanya konversi lahan mangrove untuk perluasan tambak
dan praktek budidaya yang tidak berkelanjutan, adanya illegal loging dan
atau pencemaran lingkungan. Laju deforestasi dan degradasi hutan
mangrove mencapai 5% sampai dengan 6% setiap tahunnya. Kerusakan
hutan mangrove sangat berkontribusi pada perubahan iklim dunia.

Untuk di Provinsi Kalimantan Barat, berdasarkan data Statistik


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016 (hal. 90 dan
92), dipublikasikan bahwa Kalimantan Barat memiliki 68,2 Ha Mangrove
Primer dengan tingkat deforestasi di luar kawasan hutan mencapai 145,8
Ha dan deforestasi di dalam dan diluar kawasan hutan mencapai 214,0
Ha. Pada hutan mangrove sekunder, deforestasi dalam kawasan hutan
mangrove sekunder mencapai 479,4 Ha, dan deforestasi di luar kawasan
hutan mencapai 1.352,4 Ha. Total deforestasi pada hutan mangrove
sekunder adalah 1.831,8 Ha dari luas hutan mangrove sekunder 28.903,3
Ha. Sedangkan untuk daerah ekosistem mangrove yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah Daerah (berupa daerah Area Penggunaan
Lain) khususnya untuk Kabupaten Mempawah berdasarkan data
penelitian B. Khairuddin (2016) luasnya pada tahun 1989 mencapai
816,05 Ha namun mengalami penyusutan menjadi 739,31 Ha pada tahun
2014. Deforestasi yang terjadi disebabkan oleh kegiatan aquaculture,
perkebunan warga, pembangun/pengembang untuk membuka lahan
perumahan dan masyarakat yang menebang mangrove untuk kayu dan
arang dan diperparah dengan rencana pembangunan pelabuhan
internasional Temajo dengan mangakuisisi wilayah pesisir yang ditumbuhi
mangrove dengan harapan akan mendapat ganti rugi dari pemerintah.

Tekanan terhadap kelestarian ekosistem mangrove yang terus


berlangsung memerlukan perubahan paradigma terhadap pemanfaatan
ekosistem mangrove yang ada. Ekosistem ini harus dikelola dan
dimanfaatkan secara bijak dan berkelanjutan. Untuk melestarikannya
tidaklah cukup dengan pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove saja.
Upaya untuk mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove lestari dan
masyarakat sejahtera berkelanjutan sebagaimana amanat Presiden pada
Perpres No. 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove, maka untuk di tingkat pusat, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan(1) saat ini sedang menyusun Strategi
Nasional (Stranas) Mangrove. Untuk mendukung pengelolaan ekosistem
mangrove lestari dan masyarakat sejahtera di tingkat daerah seyogyanya
dapat dilakukan langkah-langkah konkrit dan implementatif, yaitu
penetapan kebijakan dan kerangka regulasi pengelolaan ekosistem
mangrove yang disesuaikan dengan kondisi dan kearifan lokal, adanya
promosi manfaat mangrove yang bersinergi dengan peningkatan
perekonomian masyarakat maupun jasa lingkungan, peningkatan
kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove,
meningkatkan produktivitas mangrove melalui pengembangan teknologi
serta meningkatkan upaya penegakan hukum yang adil dan transparan
selain melaksanakan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove(1).

1.2. PERMASALAHAN
Ekosistem mangrove tengah menghadapi tantangan utama berupa alih
fungsi lahan. Direktur Konservasi Tanah dan Air, Muhammad Firman (2)
menyampaikan berbagai kepentingan seperti tambak, pemukiman,
perkebunan, industri dan infrastruktur pantai/pelabuhan seringkali
mengorbankan keberadaan mangrove. Kondisi ini diperburuk dengan
pencemaran oleh limbah plastik, limbah rumah tangga dan tumpahan
minyak. Bencana alam menjadi faktor lain yang tidak bisa dihindari di
tengah upaya meningkatkan vegetasi mangrove. Illegal logging juga
menjadi ancaman nyata eksistensi mangrove. Sumber masalah yang
juga sangat penting adalah dari faktor sosial yaitu pemahaman
masyarakat tentang mangrove yang masih rendah. Tumpang tindih
kebijakan di tingkat nasional hingga daerah juga menjadi sumber
permasalahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove.

Guru Besar Ekologi dan Silvikultur Mangrove Institut Pertanian Bogor


(IPB), Prof. Cecep Kusmana menjelaskan (2) berdasarkan penelitian,
laju degradasi mangrove lebih cepat dibanding waktu yang dibutuhkan
untuk merehabilitasinya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah gerakan
masyarakat secara nasional untuk mengatasi hal ini. Disamping itu
harus ada koordinasi dan komitmen yang sama antar
Kementerian/Lembaga dalam penyediaan data guna tercapainya
pengelolaan mangrove berkelanjutan. Pada tingkat daerah, perlu
dicermati sehingga kebijakan dan strategi pengelolaan harus saling
mendukung antara pihak instansi terkait, pihak pengelola, dan
masyarakat. kegiatan pengelolaan dan pengembangan mangrove harus
dilaksanakan dengan melihat potensi hutan secara tepat, disertai adanya
peraturan desa yang mendukung dan respon masyarakat yang baik.

Sehingga pada penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan yang


akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Apa saja kebijakan dan stategi yang telah ditetapkan Pemerintah
Daerah pada pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten
Mempawah?
2. Bagaimana dampak implementasi kebijakan dan strategi Pemerintah
Daerah terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Mempawah?
3. Bagaimana Persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove?
4. Apa saja bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
ekosistem mangrove?
5. Apa saja yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap
pengelolaan ekosistem mangrove?

1.3. TUJUAN
Penelitian ini memiliki secara umum memiliki tujuan sebagai analisa
sinergitas pembangunan daerah dengan pengelolaan lingkungan
khususnya ekosistem mangrove yang lestari. Sehingga capaian tujuan
penelitian yang akan dicapai adalah :
1. Mengetahui kebijakan dan strategi Pemerintah Daerah dalam
mendukung pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten
Mempawah;
2. Mengetahui dampak implementasi kebijakan dan stategi Pemerintah
Daerah pada pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten
Mempawah terhadap aspek kelestarian lingkungan serta sosial dan
ekonomi masyarakat;
3. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove;
4. Mengetahui bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan ekosistem mangrove;
5. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepedulian dan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.

1.4. KELUARAN
Keluaran penelitian ini adalah berupa dokumen yang memuat informasi
tentang kebijakan Pemerintah Daerah dan peran masyarakat dalam
pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Mempawah Provinsi
Kalimantan Barat.

1.5. MANFAAT
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tata kelola
lingkungan lestari yang bersinergi dengan pembangunan khususnya
dalam kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang tepat dan
melibatkan partisipasi masyarakat. Diharapkan informasi-informasi yang
terbangun di dalam penelitian dapat menjadi alternatif model tata kelola
lingkungan yang baik dan kemudian dapat menjadi alternatif acuan atau
diadaptasi oleh daerah lainnya dalam pengelolaan wilayah pesisir
terutama ekosistem mangrove.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. EKOSISTEM MANGROVE
2.1.1. Pengertian dan Fungsi Ekosistem Mangrove
Soemarwoto (1994:23-24) dalam L. Tijow (2013) mengatakan bahwa
bahwa suatu konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem, yaitu suatu
sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk
hidup dengan lingkungannya.” Ekosistem merupakan salah satu
komponen yang juga mempunyai hubungan yang erat dengan ekologi.
Ekosistem adalah kesatuan makhluk dalam suatu daerah tertentu (abiotic
community) di mana di dalamnya tinggal suatu komposisi organisme hidup
(biotic community) yang di antara keduanya terjalin suatu interaksi yang
harmonis dan stabil, terutama dalam jalinan bentuk-bentuk sumber energi
kehidupan. Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya
dan bekerja dengan baik, keteraturan ekosistem itu terjaga.

Salah satu ekosistem yang terdapat di dunia dan mempunyai keunikan


adalah ekosistem hutan mangrove. Ekosistem ini merupakan salah satu
sumberdaya alam yang memiliki ekosistem yang setimbang, profosional
dan adaptif yang berbeda dengan tipe hutan lainnya. Keanekaragaman
flora yang hidup pada ekosistem ini antara lain Avicennia, Rhizophora,
Bruguiera, dan tumbuhan lainnya yang mampu bertahan hidup disalinitas
air laut. Hutan mangrove juga merupakan habitat fauna seperti burung,
reptilia, mamalia, kepiting, ikan, jenis Molusca, dan lain-lain.

Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung garis


pantai, mencegah intrusi air laut (Kustanti, 2011 dalam R. Davinsy, dkk,
2015). Selain itu, ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan
(spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) untuk
beberapa jenis ikan, udang dan kerang. Sisa-sisa tumbuhan mangrove
berupa serasah dedaunan, ranting, dan biomassa lainnya dapat menjadi
sumber pakan biota perairan dan unsur hara pada ekosistem ini. Fungsi
ekonomi ekosistem mangrove adalah sumber penghasil kayu bangunan,
kapal, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap
ikan dan bahan pewarna (A. Madjid, 2013).

Pada kondisi mangrove yang baik, selain manfaat berupa kayu,


mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta perlindungan wilayah
pesisir lain, vegetasi ini mampu menyumbang setidaknya sebesar USD
1.5 milyar dari perikanan untuk perekonomian nasional. The Nature
Conservancy (TNC) dan Wetlands International (WI) tahun 2012
mengungkap bahwa mangrove dengan ketebalan minimal 100 meter
ke arah darat dapat mengurangi ketinggian gelombang antara 13%
sampai 66%. Penelitian Murdiyarso et al pada 2015, Indonesia dapat
memenuhi seperempat dari 26% target reduksi emisi pada 2020 (2).

2.1.2. Pola Pemanfaatan Mangrove


Pada penelitian Indra G Febryano, dkk. (2014), khususnya di Kabupaten
Pesawaran, pola penggunaan lahan mangrove yaitu tambak udang
intensif, pembibitan mangrove, dan ekowisata. Pada hasil penelitiannya
dikemukakan bahwa nilai pola penggunaan lahan mangrove terutama jika
diusahakan menjadi tambak udang menjadi salah satu alasan mengapa
pengusaha memiliki kepentingan tinggi untuk menguasai sumber daya
mangrove.
Menurut Rahardjo Adisasmita (2010) dalam A. Madjid (2013), beberapa
Beberapa permasalahan yang terjadi yang perlu mendapat perhatian dari
pemerintah daerah dalam pengelolaan ekosistem mangrove adalah :
1. Perambahan atau intervensi ekosistem untuk kegiatan eksploitasi
pemanfaatan lahan, sehingga menyebabkan semakin melusnya
lahan-lahan kritis,
2. Hilangnya eksisting fungsi lindung mangrove disertai kegiatan
budidaya yang telah lama berkembang,
3. Adanya pemukiman.

2.2. KEBIJAKAN
2.2.1. Pengertian Kebijakan
Menurut Suharto (2005) dalam Syahruddin (2010), kebijakan (policy)
adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan
pengambilan keputusan. Richard dalam Winarno (2007) dalam N.
Amaniyah (2015) menjelaskan bahwa kebijakan dipahami sebagai
serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan serta
konsekuensi-konsekuensi bagi meraka yang bersangkutan sebagai
keputusan yang berdiri sendiri. Frederick dalam Agustino (2008) dalam N.
Amaniyah (2015) secara lebih detail mendefinisikan kebijakan sebagai
serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-
hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan
kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

kebijakan publik diartikan sebagai serangkaian tindakan yang dipilih dan


atau dilakukan oleh pemerintah atau negara secara paksa (sah) kepada
seluruh anggota masyarakat, yang mempunyai tujuan tertentu demi
memecahkan masalah-masalah publik. Kebijakan publik merupakan
kewenangan pemerintah untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam
hubungannya dengan masyarakat dan dunia usaha. Kebijakan publik
dibuat bertujuan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi
publik dengan memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk
memecahkan masalah-masalah yang ada. (H. Purnaweni, 2014).

Tahap-tahap kebijakan publik menurut Dunn (Winarno, 2007 dalam N.


Amaniyah, 2015) adalah sebagai berikut :
1. Tahap penyusunan agenda
2. Tahap formulasi kebijakan
3. Tahap adopsi kebijakan
4. Tahap implementasi kebijakan
5. Tahap evaluasi kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dilakukan akan dinilai atau
dievaluasi untuk melihat sejauhmana kebijakan yang dibuat untuk
meraih dampak yang diinginkan.

Menurut Dunn (2003) dalam S. Ekawati (2013), evaluasi kebijakan


mendiskripsikan hubungan antara operasi program kebijakan dan
hasilnya, sehingga sumber utama evaluasi kebijakan adalah implementasi
kebijakan. Evaluasi kebijakan memberi informasi tentang kinerja
kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan publik (Nugroho,
2006). Evaluasi kebijakan menghasilkan kesimpulan yang jelas selama
dan setelah kebijakan diadopsi dan diimplementasikan (ex post facto).

Lester dan Steward Jr (2000) dalam S. Ekawati (2013), mengelompokkan


evaluasi implementasi kebijakan menjadi :
1. Evaluasi proses, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses
implementasi,
2. evaluasi dampak, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan hasil
dan/ataupengaruh dari implementasi kebijakan,
3. evaluasi kebijakan, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya,
4. evaluasi meta evaluasi, yaitu berkenaan dengan evaluasi dari
berbagai implementasi kebijakan yang ada untuk menemukan
kesamaan-kesamaan tertentu.

Memerlukan referensi tambahan kebijakan menurut Dunn

Islamy (1997) dalam Syahruddin (2010) menambahkan bahwa elemen


penting dalam kebijakan publik adalah bentuk peraturan berupa tindakan-
tindakan pemerintah yang dilaksanakan dalam bentuk yang nyata dan
mempunyai tujuan tertentu untuk kepentingan seluruh masyarakat.

Langkah pertama bagi pembuat kebijakan publik adalah merumuskan


masalah dan menempatkannya dalam agenda kebijakan. Dari sekian
banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan, dipilih yang mungkin terbaik
dan selanjutnya mencari dukungan dari pihak legislatif dan yudikatif.
Apabila suatu kebijakan sudah mendapatkan dukungan publik dan telah
disusun dalam bentuk program panduan rencana kegiatan, maka
kebijakan tersebut harus dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
maupun oleh unit kerja pemerintah di tingkat bawah. Setelah kebijakan
dilaksanakan perlu adanya penilaian untuk melihat sampai sejauh mana
kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah yang dihadapi
oleh masyarakat (Syahruddin, 2010).

2.2.2. Implementasi Kebijakan


proses implementasi kebijakan dipengaruhi oleh berbagai variabel baik
yang individual maupun variabel organisasional dan masing-masing
variabel tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
Menurut Edwards III (1980) dalam Syahruddin (2010), implementasi
kebijakan adalah salah satu tahap antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhi
oleh empat variabel :
1. adanya komunikasi atau penyampaian pesan dari pembuat
kebijakan kepada pelaksana kebijakan. Suatu komunikasi yang baik
tergantung oleh tiga faktor yang menentukan, yaitu
1) transmisi (transmission), apabila suatu kebijakan telah
ditetapkan, maka itu menjadi perintah untuk dilaksanakan; oleh
karena itu kebijakan perlu untuk dikomunikasikan;
2) kejelasan (clarity), apabila kebijakan akan diimplementasikan,
maka harus diikuti oleh petunjuk pelaksanaan yang jelas
diterima oleh pelaksana kebijakan; sehingga diperlukan
instruksi-instruksi seperti kapan dan bagaimana suatu program
dilaksanakan yang diteruskan untuk disampaikan kepada
pelaksana-pelaksana; dan
3) konsistensi (consistency), suatu implementasi kebijakan akan
efektif dan berdayaguna apabila perintah pelaksanaannya
konsisten, yakni petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak saling
bertentangan.
2. Sumber daya (resources) yang dalam hal ini adalah staf yang
memadai. Staf ini harus memiliki keahlian yang terampil dan
kompeten dalam melaksanakan tugasnya, wewenang dan fasilitas-
fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul guna
melaksanakan pelayanan publik.
3. Adanya variabel sikap yaitu jika para pelaksana bersikap baik
terhadap suatu kebijakan, berarti ada dukungan sehingga mereka
akan melaksanakan kebijakan sesuai dengan yang diinginkan.
Tipikal kepribadian atau pandangan antara pembuat kebijakan
dengan pelaksana kebijakan memiliki korelasi positif dengan
keberhasilan implementasi kebijakan. Hal ini terjadi karena ada
kesesuaian pandangan mengenai isi dan tujuan kebijakan yang akan
diterapkan oleh pelaksana di lapangan. Ada dua hal penting
berkenaan dengan sikap (dispositions), yaitu pengangkatan birokrasi
(staffing bureaucracy) dan insentif bagi pelaksana kebijakan.
Pengangkatan birokrasi menekankan pada pentingnya pembuat
kebijakan untuk menyusun atau menempatkan staf-staf yang
sepaham dalam struktur organisasi demi menjamin pelaksanaan
sesuai dengan yang direncanakan.
4. Adanya struktur birokrasi (bureaucratic structure), yang sangat
mempengaruhi implementasi kebijakan publik. Struktur birokrasi
diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola-
pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan
eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata
dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan.
5. Evaluasi implementasi kebijakan
Pada penjelasannya, Edwards III (1980) dalam Syahruddin (2010)
menyebutkan bahwa suatu kebijakan sekalipun diimplementasikan
dengan baik, namun bila tidak tepat atau tidak dapat mengurangi
masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu
mungkin akan mengalami kegagalan. Demikian juga apabila suatu
kebijakan yang telah direncanakan sangat baik namun dalam
implementasinya kurang baik, maka bisa saja kebijakan tersebut
mengalami kegagalan.

Edwards III (1980) dalam Syahruddin (2010) mengidentifikasikan dua


karakteristik utama birokrasi dalam pelaksanaan implementasi:
1. Adanya standard operating procedures (SOP). Hal ini penting untuk
pedoman keseragaman dalam bekerja dalam organisasi yang
kompleks dan tersebar luas, yang selanjutnya dapat menimbulkan
fleksibilitas dan kesamaan dalam menerapkan peraturan. Apabila
SOP telah ditetapkan dan berlaku, maka memudahkan para
pelaksana kebijakan karena telah jelas tugas pokok dan fungsi
masing-masing elemen organisasi (unit kerja) dan bagaimana
melaksanakan pekerjaan tersebut.
2. Fragmentasi berasal dari tekanan dan pengaruh eksternal
organisasi, seperti politisi, pemangku kepentingan (stakeholder), dan
lembaga sosial masyarakat (nongovernment organitation).
Fragmentasi birokrasi menimbulkan konsekuensi lemahnya
koordinasi antar instansi akibat intervensi faktor eksternal.

2.2.3. Kebijakan Pengelolaan Kehutanan, Lingkungan Hidup, Wilayah Pesisir


dan Ekosistem Mangrove
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Penelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan lingkungan hidup
merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya, namun yang berciri khas
yaitu merupakan upaya terpadu pelestarian fungsi limgkungan hidup yang
meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan
hidup. Oleh karena itu, mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan
terutama oleh Pemerintah, maka kebijakan dan hukum lingkungan
sebagian besar terdiri atas peraturan hukum pemerintah. Peraturan
tersebut merupakan instrumen yuridis pengelolaan lingkungan hidup.
Aparat pemerintah perlu memperhatikan asas-asas umum pemerintahan
yang baik (good governance) pada pelaksanaannya agar dalam
pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan
lingkungan hidup.

Prinsip pengelolaan lingkungan suatu wilayah dapat dilakukan dengan


menggunakan empat indikator POAC yaitu Planning, Organizing,
Actuating dan Controlling (Asdak, 2004 dalam H. Purnaweni, 2014).
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Planning (Perencanaan) adalah kegiatan perencanaan yang disusun
dalam rangka pengelolaan lingkungan secara terpadu terhadap
suatu wilayah. Perencanaan Pemerintah yang matang diharapkan
dapat menghasilkan kebijakan publik yang baik bagi semua pihak
dan tidak ada yang dirugikan.
2. Organizing (Pengorganisasian), yaitu pelaksanaan kegiatan
pengelolaan lingkungan suatu wilayah secara efektif dan efisien,
dalam arti masing-masing pihak yang terlibat dapat menjalankan
tugasnya dengan baik dan bertanggungjawab;
3. Actuating (Pelaksanaan). Pada tahap pelaksanaan, program-
program yang dirancang harus menunjukkan adanya: optimatisasi
pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien, dorongan
pelaksanaan konservasi sumberdaya alam dalam penambangan,
meningkatnya peran stakeholders dan kelembagaan yang terlibat.

i. Aspek Kegagalan Kebijakan


Aspek kegagalan dalam merumuskan kebijakan terutama kebijakan
pengelolaan lingkungan adalah masih banyaknya kebijakan
pembangunan yang tidak holistik yang tidak menyentuh aspek
perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup,
kebijakan tenurial yang tidak memberikan jaminan hak pada masyarakat
adat, dan kebijakan yang sentralistis, serta kebijakan yang tidak
mendukung pemerintah yang terbuka.

b. PARTISIPASI MASYARAKAT
Permasalahan lingkungan pada aspek kelembagaan terjadi pada tataran
di tingkat legislatif, eksekutif pusat dan daerah, dan juga kelembagaan di
dalam masyarakat itu sendiri. Persoalan kelembagaan dalam
pemerintahan tersebut dapat bersumber dari bentuk kelembagaan,
keterbatasan mandat, cakupan kewenangan dan lemahnya koordinasi.
Pada permasalahan lingkungan pada aspek penerapan kebijakan
diantaranya adalah pengurasan sumber daya alam, pengingkaran hak
masyarakat adat, dan pencemaran yang merugikan masyarakat luas
dapat berlangsung terus tanpa tersentuh hukum karena pemberian
konsesi bagi pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya alam serta
mengabaikan aspek daya dukung ekosistem dan kepentingan
masyarakat lokal. Pengawasan juga diabaikan disebabkan aparat
pemerintah sebagai regulator pada umumnya menjalankan kepentingan
yang bertentangan dengan kepentingan hajat hidup orang banyak (public
interest). Pertentangan kepentingan ini disebabkan oleh pengaruh-
pengaruh atau tekanan elit politik, kroni, atau kepentingan untuk
memperkaya diri pribadi atau kelompoknya (L. Tijow, 2013).

Dalam kaitan dengan perwujudan good governance, sesungguhnya


perwujudan konsep open government mengakui public right to observe
(hak publik mengamati dan memantau perilaku pejabat publik dalam
proses pengambilan keputusan), public right to access to information dan
public right to participate dalam pembentukan kebijakan publik, hak publik
untuk mengajukan keberatan apabila hak-hak berpartisipasi diabaikan
(right to appeal). Dengan menciptakan pemerintah yang terbuka,
masyarakat akan terpacu untuk melakukan kontrol (pengawasan)
terhadap penentu kebijakan serta pelaksana kekuasaan terkendali untuk
tidak melakukan penyimpangan yang merugikan kepentingan publik (L.
Tijow, 2013).

Pada pengelolaan ekosistem hutan mangrove, pelibatan masyarakat


merupakan salah satu langkah awal dalam mewujudkan pelestarian hutan
mangrove yang berkelanjutan. Sebagai langkah awal pengelolaan, maka
perlu diketahui presepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan
mangrove di sekeliling mereka.

Masih memerlukan referensi


3. METODOLOGI
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Kabupaten Mempawah dengan spesifik
lokasi bahasan adalah ekosistem Mangrove Desa Pasir Kecamatan...

3.2. Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada triwulan I dan triwulan II Tahun Anggaran
2018 selama 5 (lima bulan), meliputi tahapan penyusunan proposal,
desain riset, pengumpulan informasi di lapangan, analisa data dan hasil
penelitian, serta pelaporan.

3.3. Metode Penelitian


Untuk mencapai tujuan 1 sampai dengan 4, metode pendekatan penelitian
yang akan digunakan adalah dengan metode kualitatif. Untuk mencapai
tujuan 5, pendekatan penelitian menggunakan metode kuantitatif.

Pada tujuan 1 dan 2, penelitian yang digunakan bersifat eksplanatif


dengan menggunakan metode penelitian normatif, yang dilakukan
dengan studi pustaka terhadap kebijkan-kebijakan daerah terkait
pengelolaan lingkungan hidup, khususnya untuk kawasan ekosistem
mangrove.

3.4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Sumber data penelitian tujuan 1 dan 2 adalah data sekunder
berupa kebijakan dan strategi Pemerintah Daerah dalam mendukung
pengelolaan ekosistem mangrove, diantaranya Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Kab. Mempawah, Rencana Tata Ruang dan
Wilayah (RTRW) Kab. Mempawah, Rencana Strategis (Renstra) dan
program-program kerja pada Instansi-Instansi yang terkait pada
pengelolaan ekosistem mangrove dan pemberdayaan masyarakat pesisir.
Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi: observasi,
wawancara, dokumentasi.
Untuk mencapai tujuan 3 sampai dengan 5, informasi berupa data primer.
Teknik akan dikumpulkan melalui :
1. pengamatan/analisis langsung di lapangan;
2. wawancara langsung dengan tokoh masyarakat dan ketua pokdarwis
Mempawah Mangrove Conservation (MMC). Teknik pengambilan
sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling) yaitu pada
masyarakat yang ada di sekitar ekosistem mangrove;
3. survei komunitas MMC dan perwakilan masyarakat untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi.

3.5. Teknik Analisa Data


Untuk mencapai tujuan 1 dan 2, data primer dan sekunder diperoleh dari
publikasi yang berasal dari stakeholder dan berbagai informasi yang yang
langsung diperoleh dari lapangan dan studi literatur terkait dengan
kawasan mangrove di lokasi kajian. Analisis data memiliki sifat deskriptif,
evaluatif dan perspektif yang disajikan/diinterpretasikan pada
pembahasan.

3.6. Alur Pikir Penelitian


4. Gambaran Umum Ekosistem Mangrove di Mempawah
4.1. Kondisi Bentang Alam Mempawah
4.2. Demografi Kabupaten Mempawah
4.3. Kondisi Kawasan Mangrove Mempawah
4.3.1. Data Luasan Kawasan Mangrove
4.3.2. Data Luasan Kawasan Mangrove Kritis
(pendekatan deskriptif eksploratif)

5. Pembahasan
5.1. Karakteristik Responden
Jenis kelamin
Tingkat pendidikan
Jenis pekerjaan

5.2. Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Kerusakan Ekosistem Mangrove


di Kabupaten Mempawah

(literasi dari penelitian sejenis)  Beberapa permasalahan internal


kerusakan mangrove yang dapat terjadi menurut hasil penelitian A. Madjid
(2013) :
1. Tidak jelasnya batas kawasan hutan mangrove,
2. Adanya budidaya perikanan darat (pola tamabak) disekitar kawasan
hutan mangrove,
3. Adanya pembukaan/penguasaan lahan oleh masyarakat yang
diperkuat oleh administrasi kepemilikan lahan oleh pemerinah desa
dan kecamatan tanpa sepengetahuan pemerintah daerah,
4. Minimnya personil polhut serta belum adanya PPNS pada dinas
kehutanan,
5. Masih kurangnya pengawasan oleh pemerintah desa, kecamatan
dinas kehutanan dan instansi terkait terutama BKSDA,
6. Masih minimnya anggaran sarana dan prasarana untuk
perlindungan hutan,
7. Belum terjalinnya koordinasi lintas sektor,
8. Masih kurangnya penyuluhan,
9. Belum adanya perda yang mengatur khusus daerah pesisir pantai
kawasan hutan mangrove

(literasi dari penelitian sejenis)  Beberapa permasalahan eksternal


kerusakan mangrove yang dapat terjadi menurut hasil penelitian A. Madjid
(2013) :
1. Masih rendahya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya hutan manggrove serta peraturan perundang-
undangan,
2. Adanya pengkaplingan lahan mangrove oleh masyarakat setempat
dan diperjual belikan kepada pengusaha tambak,
3. Perkembangan jumlah penduduk diwilayah Kabupaten Pohuwato,
4. Adanya migrasi penduduk dari dan luar Kabupaten Pohuwato
Provinsi Gorontalo yang berinvestasi pada usaha tambak,
5. Masih rendahnya ekonomi masyarakat pesisir kawasan hutan
mangrove,
6. Masih rendahnya partisipasi masyarakat terhadap rehabilitasi hutan
mangrove.

5.3. Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Mempawah


Kebijakan pengelolaan kawasan hutan mangrove perlu adanya
pendekatan terintegrasi antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian
sumber daya alam.

5.4. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Mempawah


(literasi dari penelitian sejenis)  (N. Muhammad. 2007. Analisis
Kebijakan Tata Ruang Kawasan Bencana Kecamatan Panti Kabupaten
Jember Kaitannya dengan Konsep Tata Ruang Tanggap Bencana.
Jember : Universitas Jember)
dampak kebijakan perubahan tata ruang kawasan melalui empat variabel
aspek meliputi:
(1) variabel lingkungan; meliputi pernyataan :
kebijakan perubahan tata ruang kawasan mengakibatkan perubahan
fungsi lahan,
penataan tata ruang juga berdampak pada munculnya
ketidakseimbangan ekosistem (unbalance ecosystem) yang ada,
dan
penataan tata ruang meningkatkan fungsi keindahan yang dirasakan
masyarakat.

(2) variabel sosial;


”perubahan tata ruang menyebabkan perubahan ke arah penurunan
tingkat kualitas modal sosial masyarakat kawasan”
”...modal sosial masyarakat tetap, tidak mengalami perubahan sedikit
pun, yang berubah justru pola pikir masyarakat pascabencana”
penataan kawasan bencana Pantibelum berdampak pada
peningkatan kualitas keamanan masyarakat.
”perubahan kebijakan tata ruang membawa pada tingkat partisipasi
masyarakat yang lebih tinggi”

(3) variabel ekonomi; meliputi pernyataan :


”kebijakan penataan ulang tata ruang berakibat pada menurunnya
tingkat pendapatan masyarakat kawasan”
”kebijakan perubahan tata ruang membawa dampak lanjutan
terciptanya ruang investasi”
”Penataan ulang ruang menciptakan beragam kesempatan kerja
baru masyarakat kawasan.”
”Kebijakan perubahan tata ruang kawasan berakibat pada
pergerakan barang dan jasa.”
“Kebijakan perubahan tata ruang berdampak pada berkurangnya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.

(4) variabel infrastruktur, meliputi pernyataan :


”Kebijakan perubahan tata ruang kawasan belum optimal dalam
pembanguan permukiman yang berkualitas.
Beberapa permukiman masih berada pada area rawan bencana”
”Penataan ulang ruang Kecamatan Panti kurang memperhatikan
penataan daerah aliran sungai (DAS).”
”Kebijakan perubahan tata ruang kawasan bencana membawa
dampak tersedianya fasilitas umum. Meski cenderung jauh dari
standar kelayakan.”
”Kebijakan perubahan tata ruang kawasan memberikan dampak
terbangun dan tertatanya beberapa ruas jalan.”
“Dampak lain dari kebijakan perubahan tata ruang kawasan adalah
terbangunnya bangunan publik yang baik secara kualitas dan
kuantitas.”

(literasi dari penelitian sejenis)  Analisis Kebijakan Dunn / Analisis


SWOT dan deskriptif / Analisis SWOT dengan IFAS dan EFAS
Analisis faktor strategi meliputi analisis faktor internal dan faktor external.
Analisis faktor internal menggunakan matriks faktor strategi internal
(internal factor analysis summary/IFAS). Sedangkan untuk analisis faktor
eksternal menggunakan faktor strategi eksternal (external factor analysis
summary/EFAS). Berdasarkan matriks IFAS dan EFAS selanjutnya dibuat
diagram SWOT (Rangkuti, 2014 dalam R. Davinsy, dkk., 2015).
Faktor internal kekuatan :
1. Keadaan hutan mangrove yang terjaga kelestariannya
2. Terdapatnya lembaga masyarakat yangdidampingi LSM
3. Penerapan pendidikan ekskulpada sekolah dasar tentang
pengelolaan hutan mangrove
4. Adanya pembagian zonasi pada hutan mangrove
5. Pengelolaan hasil hutan nonkayu pada mangrove

Faktor internal weakness


1. Tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut mengelola hutan
mangrove kurang
2. Kurangnya teknologi tepat guna untuk pengelolaan hutan
mangrove
3. Kurangnya pelatihan atau penyuluhan tentang pengelolaan
mangrove
4. Pemahaman dan pengetahuan tentang pengelolaan hutan
mangrove masih kurang
5. Minat masyarakat kurang dalam pelaksanaan di lapangan

Faktor eksternal peluang


1. Adanya rencana rehabilitasi hutan mangrove di daerah
2. Tersedianya peraturan pengelolaan mangrove desa
3. Potensipengembangan wisata konservasi mangrove
4. Respon masyakarat dalam mendukung pelestarian hutan
mangrove
5. Aksesbilitas yang menarik dikunjungi

Faktor Eksternal ancaman


1. Terganggunya zonasi inti hutan mangrove
2. Kepedulian masyarakat akan kebersihan di sekitar dermaga
3. Minat masyarakat kurang
4. Pertumbuhan penduduk
5. Adanya pihak yang ingin membuat tambak

5.5. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove


(literasi dari penelitian sejenis)  Menurut Rahardjo Adisasmita (2010)
dalam A. Madjid (2013), beberapa hal yang dapat menjadi alternatif
kebijakan Pemerintah Daerah adalah :
1. Mempertahankan kelestarian kawasan hutan mangrove,
2. Lahan tambak yang terdapat dilokasi APL akan ditetapkan menjadi
kawasan budidaya perikanan pola tambak dengan merehabilitasi
pematang tambak,
3. Usulan taman hutan raya (Tahura) ke pemerintah pusat dimana
tahura tersebut dikelola dengan sistem pembagian zona yaitu zona
perlindungan, zona budidaya, zona wisata alam,
4. Usulan perubahan fungsi kawasan hutan secara persial ke
pemerintah pusat.

(literasi dari penelitian sejenis)  Madjid (2013) pada hasil penelitiannya,


menyampaikan upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah daerah
terkait dengan pelestarian kawasan hutan mangrove yaitu:
1. Sosialisasi, pengawasan pembinaan dan penerbitan perusakan
mangrove,
2. Instruksi pelarangan pembukaan lahan tambak baru dan
penggunaan alat berat dikawasan hutan mangrove,
3. (Monitoring bersama DPRD Kabupaten Pohuwato,
4. Rehabilitasi hutan mangrove dari tahun 2004 sampai dengan 2011
seluas 1.700 ha,
5. Pemberian rekomendasi perbaikan pematang tambak,
6. Di heiring pansus mangrove oleh DPRD Provinsi,
7. Di heiring oleh komisi II DPRD Kabupaten Pohuwato,
8. Pelaporan perusakan mangrove,
9. Pemeriksaan oleh polri kepada masyarakat dan aparatur,
10. Operasi gabungan dengan polri, satpol, dan dishut,
11. Pendataan kepemilikan tambak;

(literasi dari penelitian sejenis)  Beberapa usulan dari pemerintah


daerah dalam rencana pengelolaan pelestarian kawasan hutan mangrove
menurut hasil penelitian A. Madjid (2013) yaitu:
1. Rencana Makro
1) Penunjukkan dan penataan kawasan taman hutan raya (tahura):
a. Taman hutan raya (tahura) merupakan kawasan yang
memiliki ciri khas pada kawasan yang ekosistemnya masih
utuh ataupun ekosistemnya yang sudah berubah,
b. Taman hutan raya (tahura) memiliki keindahan alam atau
gejala alam,
c. Taman hutan raya (tahura) mempunyai luas yang
memungkinkan pembangunan tumbuhan dan satwa.
2) Pengawetan kawasan hutan raya (tahura):
a. Melakukan perlindungan dan pengamanan,
b. Melakukan invertarisasi kawasan,
c. Melakukan penelitian dengan pengembangan yang
menunjang pengelolaan sumberdaya hutan,
d. Melakukan pembinaan dan pengembangan tumbuhan atau
satwa.
2. Rencana Mikro
1) Restorasi atau rehabilitasi hutan mangrove
Restorasi atau rehabilitasi merupakan usaha untuk
mengembalikan kondisi lingkungan yang sudah rusak kepada
kondisi semula secara alami.
2) Hutan desa
Didalam penjelasan undang-undang No 41 tahun 1999 tentang
pokok kehutanan pasal 5, hutan desa adalah hutan negara yang
dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Selanjutnya PP no 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan. Hutan desa didefinisikan
sebagai hutan negara yang belum dibebani ijin atau hak yang
dikelola oleh desa untuk kesejahteraan desa. Pengelolaan hutan
desa merupakan suatu alternatif pengelolaan, pemanfaatan,
penanggulangan, kerusakan hutan mangrove di Kabupaten
Pohuwato.
3) Hutan kerakyatan
Sistem hutan kerakyatan menggambarkan hutan bukan sekedar
tegakan kayu melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan
diantaranya hutan alam, hutan sekunder. Kerakyatan menegaskan
aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal.

5.6. Partisipasi masyarakat


(literasi dari penelitian sejenis)  Hasil Survei
1. Pengetahuan masyarakat tentang Hutan Mangrove
mengetahui bagaimana keadaan fisik hutan mangrove
Menurut Subhan (2014) dalam R. Davinsy, dkk. (2015) dalam
pengelolaan hutan mangrove tidak lepas terhadap respon
masyarakat dalam mendukung rencana pengelolaan, akan tetapi
pentingnya pengetahuan juga berpengaruh.
2. Pemahaman Masyarakat tentang Pengelolaan Hutan Mangrove
tahu tentang pengelolaan
hanya sedikit tahu pengelolaan
tidak mengetahuinya pengelolaan
Menurut Tambunan (2005) dalam R. Davinsy, dkk. (2015)
mengatakan bahwa keterlibatan dan juga pemahaman akan
pentingnya pengelolaan harus ada dalam kelompok masyarakat
yang berada di sekitar mangrove.
3. Aspek Sumber Daya (keunggulan hutan mangrove)
Aspek ekologi  pembentuk iklim mikro
Habitat flora fauna
4. Aspek manajemen
a. Aspek perencanaan : ikut membahas perencanaan; siap
melestarikan hutan mangrove. Menurut Novianty (2011),
menjelaskan bahwa pelibatan masyarakat dalam perencanaan
perlu diperhatikan, karena keterlibatan masyarakat akan
menciptakan rasa tanggung jawab bersama sehingga diperoleh
hasil kerja yang terbaik.
b. Aspek Pelaksanaan : keaktifan dalam pelaksanaan kegiatan
pelestarian; penanaman, pelatihan. Kustanti, dkk (2012) dalam
R. Davinsy, dkk. (2015), menyatakan peningkatan pengetahuan
dan keterampilan dalam pengelolaan mangrove secara berkala,
akan berpengaruh terhadap masyarakat, sehingga mereka tahu
manfaat dan fungsi hutan mangrove bagi kehidupan, juga
mengenal berbagai tanaman mangrove.
c. Aspek Pengawasan : pensosialisasian/ mendukung aturan
pelanggaran hutan. Menurut Kaimuddin (2008) dalam R.
Davinsy dkk (2015), mengungkapkan bahwa aspek
pengawasan dapat berjalan dengan baik apabila terdapatnya
perlengkapan yang memadai dan pengetahuan yang cukup.
Kemudian dalam peranannya masyarakat berperan dalam
menjaga kelestarian hutan tersebut, meski mereka juga
kadang-kadang saja mengikuti pelaksanaannya. Menurut
Kustanti, dkk (2012) dalam R. Davinsy dkk (2015),
mengungkapkan pengawasan yang dapat dilakukan adalah
patroli rutin baik dari sisi dan masyarakat dari Dinas Kehutanan
di sekitar hutan.
d.
e.
f.
g.
6. Daftar Pustaka
Ekawati, S. 2013. Evaluasi Implementasi Kebijakan Desentralisasi
Pengelolaan Hutan Produksi. doi : ejournal.forda-mof.org/ejournal-
litbang/index.php/JAKK/.../327
Indra Gumay Febryano, ML Salampessy, AC Ichsan,C Asmarahman,
Riba’i. 2014. Analisis Finansial Pola Penggunaan Lahan Mangrove. J
: Hutan Tropis Vol. 2(3) November 2014. doi :
http://ppjp.unlam.ac.id/journal/index.php/jht/article/view/2251;
Khairuddin, B. 2016. Disertasi : Strategi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan Di Kabupaten
Pontianak Propinsi Kalimantan Barat. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Doi :
repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/.../1/2016bkh.pdf;
Madjid, A. 2013. Analisis Yuridis Kebijakan Pemerintah Terhadap Alih
Fungsi Kawasan Hutan Mangrove Di Kab Pohuwato. Doi :
kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIS/article/download/3124/3100;
Marlina, D., Sarwono, M Rozikin, 2013, Kebijakan Pengelolaan Wilayah
Pesisir Berbasis Sustainable Development Di Kabupaten Sampang
(Studi Pada Bappeda Kabupaten Sampang), Jurnal Administrasi
Publik (JAP), Vol.1. No.3. h. 80-86. Akses :
administrasipublik.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jap/article/.../9...;
Purnaweni, H. 2014. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Di Kawasan
Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah. J : Ilmu Lingkungan, Vol.
12(1) : 53-65. Doi :
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan/.../5848;
R, Davinsy. A, Kustanti. R, Hilmanto. 2015. Kajian Pengelolaan Hutan
Mangrove DiDesa Pulau Pahawang Kecamatan Marga Punduh
Kabupaten Pesawaran. J : Sylva Lestari, Vol : 3(2) September, 2015.
Doi :
download.portalgaruda.org/article.php?...STUDY%20OF%20MAN..;
Simanjuntak, L,H. 2007. Analisis Kebijakan Lingkungan dalam
Pengelolaan Tata Ruang Di Kota Pematangsiantar. Medan :
Universitas Sumatera Utara. doi :
http://repository.usu.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/5102/08
E00193.pdf? Sequence=1;
Siregar, E., 2007, Tesis : Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut UU No. 23 Tahun 1997 Di Kota Binjai, akses :
repository.usu.ac.id › ... › Law › MT - Ilmu Hukum;
Syahruddin. 2010. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan
Kawasan Industri. J: Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol 17(1)
2010. Doi : ...........

Tijow, L., 2013, Kebijakan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup di


Indonesia, doi :
http://repository.ung.ac.id/hasilriset/show/1/315/kebijakan-hukum-
pengelolaan-lingkungan-hidup-di-indonesia.html,

(1) ksdae.menlhk.go.id/.../SbtMenteriLHK%20Konference%20Mangro.;
(2) Siaran Pers No. SP. 58/HUMAS/PP/HMS.3/03/2017. doi :
http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/561;

Anda mungkin juga menyukai