1 Syari’at Islam
Syariat Islam (Arab: شريعة إسالميةKata syara' secara etimologi berarti "jalan-jalan yang
bisa di tempuh air", maksudnya adalah jalan yang di lalui manusia untuk menuju allah. Syariat
Islamiyyah adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
Islam. Selain berisi hukum, aturan dan panduan peri kehidupan, syariat Islam juga berisi kunci
penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
a) Al-Quran
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga
akhir zaman.[1] Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al Qur'an disebut juga sebagai
sumber pertama atau asas pertama syara'.
Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci
lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an dari
waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak ada yang
saling bertentangan.
b) Al-Hadist
Hadits terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, diantaranya adalah:
-Shaheh
-Hasan
-Dhaif (lemah)
-Maudu' (palsu)
Hadits yang dijadikan acuan hukum hanya hadits dengan
derajat shaheh dan hasan, kemudian hadits dhaif menurut kesepakatan ulama salaf
(generasi terdahulu) selama digunakan untuk memacu gairah beramal (fadhilah amal)
masih diperbolehkan untuk digunakan oleh ummat Islam. Adapun hadist dengan
derajat maudu dan derajat hadist yang di bawahnya wajib ditinggalkan, namun tetap perlu
dipelajari dalam ranah ilmu pengetahuan.
Perbedaan al-qur'an dan al-Hadist adalah al-qur'an, merupakan kitab suci yang
berisikan kebenaran, hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan menjadi
satu bundel, untuk seluruh umat manusia. Sedangkan al-hadist, merupakan kumpulan
yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah al Qur'an berisikan aturan
pelaksanaan, tata cara ibadah, akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammadf
saw. Walaupun ada beberapa perbedaan ulama ahli fiqih dan ahli hadist dalam
memahami makna di dalam kedua sumber hukum tersebut tapi semua merupakan upaya
dalam mencari kebenaran demi kemaslahatan ummat , namun hanya para
ulama mazhab (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi dan dipercaya ummat yang bisa
memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.
c) Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan
hukum Islam, berdasarkan al Qur'an dan al Hadist. Ijtihad dilakukan setelah Nabi
Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada dia tentang sesuatu
hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal ibadah tidak bisa di
ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :
-Ijma', kesepakatan para ulama
-Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
-Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
d) 'Urf, kebiasaan
Terkait dengan susunan tertib syariat, al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36
mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara,
maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara
implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan rasul-Nya
belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri
ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat al Qur'an dalam Surat Al
Maidah[2] yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah
dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani
hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa
yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara'
(ibadah Mahdhoh) dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara' (Ghoir
Mahdhoh).
Satu bukti nyata dari sikap kenegaraan sejati kenegarawannya Rasulullah dalam Piagam
Madinah yang 46 pasal itu kita tidak akan menemenukan kata-kata Islam, bahkan jika kita
melihat dari segi hukum Piagam Madinah ini masuk ke dalam syariah, bukan fiqh.
Di Indonesia, hukum Islam tidak bisa dimatikan dalam sistem hukum kenegaraan
kita."kita akan kaji bahwa Islam tidak pernah meninggalkan negara. Dalam konteksnya, terdapat
3 pandangan posisi agama dan negara yaitu;
Pertama, agama tidak mendapat tempat sama sekali dalam kehidupan bernegara. Agama
dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagaikan candu bagi masyarakat. Agama dipandang
sebagai ilusi belaka yang diciptakan kaum agamawan yang berkolaborasi dengan penguasa
borjuis, dengan tujuan untuk meninabobokkan rakyat sehingga rakyat lebih mudah ditindas
dieksploitir dan. Agama dianggap khayalan, karena berhubungan dengan hal-hal ghaib yang non-
empirik. Segala sesuatu yang ada, dalam pandangan ini, adalah benda (materi) belaka. Inilah
pandangan ideologi Komunisme-Sosialisme, yang menganut ideologi serupa- sudah
bermetamorfosis menjadi kapitalisme.
Kedua, Agama Terpisah dari Negara. Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi hanya
menolak peran agama dalam kehidupan publik. Agama hanya menjadi urusan pribadi antara
manusia dengan Tuhan, atau sekedar sebagai ajaran moral atau etika bagi individu, tetapi tidak
menjadi peraturan untuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat, seperti peraturan untuk sistem
pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya.
Pandangan ini dikenal dengan Sekularisme, yang menjadi asas ideologi Kapitalisme yang dianut
negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa serta negara-negara lain pengikut
mereka.
Ketiga, Agama Tidak Terpisah dari Negara, sebab agama mengatur segala aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Agama bukan sekedar urusan
pribadi atau ajaran moral yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi seluruh
interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi manusia dengan Tuhan,
manusia dengan dirinya sendiri, maupun manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Keberadaan negara bahkan dipandanng sebagai syarat mutlak agar seluruh peraturan agama
dapat diterapkan. Inilah pandangan ideologi Islam, yang pernah diterapkan sejak Rasulullah
Saw. berhijrah dan menjadi kepala negara Islam di Madinah