Anda di halaman 1dari 127

PEMBERIAN PURSED LIP BREATHING EXERCISE TERHADAP

PENURUNAN TINGKAT SESAK NAPAS PADA ASUHAN


KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU
OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RUANG
ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA

DISUSUN OLEH:
DWI LESTARI
NIM. P.13081

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
PEMBERIAN PURSED LIP BREATHING EXERCISE TERHADAP
PENURUNAN TINGKAT SESAK NAPAS PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU
OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RUANG
ANGGREK 1 DI RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA

Karya Tulis Ilmiah


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan

DISUSUN OLEH:
DWI LESTARI
NIM. P.13081

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016

i
ii
iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena

berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya

Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Pursed Lip Breathing Exercise Terhadap

Penurunan Tingkat Sesak Napas pada Asuhan Keperawatan Tn. A dengan

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr.

Moewardi Surakarta”.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat

bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada yang terhormat :

1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada

Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di

STIKes Kusuma Husada Surakarta.

2. Ns. Meri Oktari M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang

telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma

Husada Surakarta.

3. Ns. Alfyana Nadya R, M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII

Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat

menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.

4. Ns. Galih Setia Adi, M.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai

penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-

iv
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi

demi sempurnanya studi kasus ini.

5. Ns. Fakhrudin Nasrul Sani, M.Kep, selaku dosen penguji yang telah

membimbing denga cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,

perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya

studi kasus ini.

6. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada

Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasan serta

ilmu yang bermanfaat.

7. Kedua orang tuaku (Bapak Marmin dan Ibu Sumarni), yang selalu menjadi

inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.

8. Teman-temman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes

Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.

Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu

keperawatan dan kesehatan. Amin.

Surakarta, Mei 2016

DWI LESTARI
NIM. P.13081

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………..………………x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1


B. Tujuan Penulisan................................................................................ 4
C. Manfaat Penelitian ............................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. TinjauanTeori ....................................................................................7

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis .................................................... 7


2. Pursed Lip Breathing Exercise ................................................... 36
B. Kerangka Teori ................................................................................ 39
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET

A. Subjek Aplikasi Riset....................................................................... 40


B. Tempat dan Waktu ........................................................................... 40
C. Media atau Alat yang digunakan ..................................................... 40
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset .............................. 40
E. Alat Ukur Evaluasi Tindakan Aplikasi Riset .................................. 41
BAB IV LAPORAN KASUS

A. Identitas Klien .................................................................................. 43


B. Pengkajian ........................................................................................ 43
C. Perumusan Masalah Keperawatan ................................................... 53
D. Perencanaan ..................................................................................... 56
vi
E. Implementasi .................................................................................... 60
F. Evaluasi ............................................................................................ 69
BAB V PEMBAHASAN

A. Pengkajian ........................................................................................ 79
B. Perumusan Masalah Keperawatan ................................................... 86
C. Perencanaan ..................................................................................... 92
D. Implementasi .................................................................................... 97
E. Evaluasi .......................................................................................... 106
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .................................................................................... 108


B. Saran .............................................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 KerangkaTeori………………………………………………………39

Gambar 3.1 TeknikMenghirupdanMenghembuskanNafas………………………41

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tingkat Keparahan PPOK……………………………………………..11

Tabel 2.2 Skala Borg……………………………………………………………..15

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Usulan Judul Aplikasi Jurnal

Lampiran 2. Lembar konsultasi Karya tulis Ilmiah

Lampiran 3. Surat Pernyataan

Lampiran 4. Jurnal Utama

Lampiran 5. Asuhan Keperawatan

Lampiran 6. Log book

Lampiran 7. Lembar Pendelegasisan

Lampiran 8. Lembar Observasi Aplikasi Jurnal

Lampiran 9. Daftar Riwayat Hidup

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan sejumlah

gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru.

Gangguan yang paling sering adalah bronchitis kronis, emfisema, dan asma

bronkhial (Muttaqin, 2014).

Menurut World Health Organization (WHO) 2010 PPOK termasuk

didalamnya emfisema telah menempati peringkat keempat sebagai penyakit

penyebab kematian, dan penyakit paru ini semakin menarik untuk dibicarakan

oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat

(Windrasmara, 2012). Di Indonesia Prevalensi kasus PPOK menurut

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014) menyebutkan di Provinsi

Jawa Tengah tahun 2013 sebanyak 3,4%. Dan pada tahun 2014 menurut

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2015) di Provinsi Jawa Tengah

mengalami penurunan menjadi 2,14%.

PPOK merupakan penyakit yang disebabkan oleh asap rokok,

pekerjaan, polusi udara, usia, dan faktor resiko lainnya. Gejala yang paling

sering muncul diantaranya batuk kronis, produksi sputum berlebih dan sesak

nafas (Ikawati, 2013). Mekanisme sesak nafas pada PPOK oleh karena

ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia,

hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penelaan pergerakan saluran nafas,

1
2

hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh

karena efek sistemik, deconditioning dan nutrisi yang buruk (Ardiyansyah,

2012).

Penatalaksanaan medis untuk PPOK (Muttaqin, 2014) antara lain

dengan pengobatan farmakologi: Anti–inflamasi (kortikosteroid, natrium

kromolin, dan lain-lain), bronkodilator, adrenergik (afedrin, epeneprin, dan

beta adrenegik agonis selektif), non adrenegik (aminofilin, teofilin),

Antihistamin, Steroid, Antibiotik Penicillin, tetraciklin, ampicilin dan

Ekspektoran: Amnium karbonat, acetilsistein, bronheksin, bisolvon, tripsin,

serta indikasi oksigen : pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau

menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan jangka pendek

dengan eksaserbasi akut dan serangan akut pada asma (Muwarni, 2011).

Pasien dengan PPOK dapat dberikan penatalaksanaan non farmakologi

diantaranya adalah rehabilitasi yaitu dengan melakukan tehnik pursed lips

breathing exercise yang dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan

mandiri (Smeltzer, 2008). Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan

pernafasan untuk mengatur frekuensi dan pola pernafasan sehingga

mengurangi air trapping, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki

pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, mengatur dan

mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas lebih efektif dan

mengurangi sesak nafas (Smeltzer, 2008). Ramos dkk (2009 dalam khasanah,

2013) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pursed lips breathing secara

signifikan dapat menurunkan sesak nafas dan heart rate serta meningkatkan
3

saturasi oksigen pada pasien dengan PPOK. Hasil penelitian Hafiizh (2013)

pursed lips breathing dapat menurunkan respiratory rate (RR) dan

meningkatkan pulse oxygen saturation (SpO2) pada penderita PPOK.

Hasil penelitian Bakti (2015) yang dilakukan di Balai Besar Kesehatan

Paru Masyarakat (BBKPM) di Surakarta pada pasien PPOK kelompok

control dan kelompok perlakuan dengan sesak nafas yang di beri intervensi

Pursed Lip Breathing Exercise dimana kelompok control ada pengaruh

nebulizer. Hasil penelitian selisih mean dari kelompok control sebesar 0,4

sedangkan mean selisih kelompok perlakuan sebesar 0,87. Dilihat dari selisih

mean, kelompok perlakuan lebih besar dan lebih bagus.

Hasil wawancara dengan rekam medik RSUD Dr. Moewardi.

Didapatkan informasi penderita PPOK rawat inap pada tahun 2013-2015,

pada tahun 2013 sebanyak 93 orang, pada tahun 2014 sebanyak 129 orang

dan pada tahun 2015 sebanyak 123 orang. Rata-rata penderita dirawat dengan

keluhan sesak nafas yang sangat berat dan sebagian dari mereka datang

dengan serangan sesak nafas berulang.

Berdasarkan studi kasus yang dilakukan penulis di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta, penulis menemukan kasus Penyakit Paru Obstruksi

Kronik (PPOK) yang terjadi pada Tn. A dengan tanda dan gejala sesak nafas,

batuk berdahak, sesak nafas setelah melakukan aktivitas, nafas pendek,

ekspirasi memanjang dan tampak menggunakan otot bantu pernafasan.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menyusun

karya tulis ilmiah yang berjudul “Pemberian Pursed Lip Breathing Exercise
4

Terhadap Penurunan Tingkat Sesak Napas pada Asuhan Keperawatan Tn. A

dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD

Dr.Moewardi Surakarta.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Melaporkan studi kasus pengaruh Pursed Lip Breathing Exercise terhadap

penurunan tingkat sesak napas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD

Dr.Moewardi Surakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. A dengan Penyakit

Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. A dengan

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn. A

dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. A dengan Penyakit

Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. A dengan Penyakit Paru

Obstruksi Kronik (PPOK).


5

f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian pursed lips breathing

exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada Tn. A dengan

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi Rumah Sakit

Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan

dalam melakukan pemberian pursed lips breathing exercise pada asuhan

keperawatan khususnya bagi pasien dengan diagnosa Penyakit Paru

Obstruksi Kronik.

2. Bagi Institusi

Dapat memberikan kontribusi laporan hasil pemberian pursed lips

breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada pasien

dengan PPOK bagi pengembangan praktik keperawatan dan pemecahan

masalah khususnya dalam bidang atau profesi keperawatan.

3. Bagi Perawat

a. Mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif kepada

pasien dengan penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

b. Melatih berfikir dalam melakukan asuhan keperawatan, khususnya

pada pasien dengan diagnosa Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

4. Bagi Penulis

Dapat melakukan tindakan pemberian pursed lips breathing

exercise pada asuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronik


6

secara langsung dan optimal pada praktek klinik keperawatan dan

sebagai tambahan ilmu bagi penulis.

5. Bagi Pembaca

Memberikan kemudahan bagi pembaca sebagai saran dan

prasarana dalam pengembangan ilmu keperawatan, diharapkan setelah

pembaca membaca buku ini dapat mengetahui tentang pursed lips

breathing exercise dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dan

menjadi acuan atau ada sebuah penelitian untuk kasus ini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

a. Definisi Penyakit Paru Obtruksi Kronis

Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global

Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2010

(Ikawati, 2011), Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) didefinisikan sebagai

penyakit yang dikarakteristikan oleh adanya obstruksi saluran

pernapasan yang tidak reversibel sepenuhnya. Menurut Suradi

(2009) Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah suatu penyumbatan

menetap pada saluran pernafasan disebabkan oleh emfisema dan

bronkhitis kronik. Gangguan pernafasan kronis ini secara progresif

memperburuk fungsi paru-paru dan membuat aliran udara menjadi

terbatas, khususnya saat ekspirasi. Keadaan ini akan mengakibatkan

komplikasi gangguan pernafasan dan jantung. Penderita PPOK pada

umumnya mengalami sesak nafas dan batuk. Keadaan ini terjadi

secara berulang-ulang, memberikan gejala klinis kronis (menahun)

kemudian perlahan-lahan semakin bertambah berat.

Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan sejumlah

gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar

7
8

paru. Gangguan yang paling sering adalah bronkhitis kronis,

emfisema, dan asma bronkhial (Muttaqin, 2014). Price & Wilson

(2006) menjelaskan bronkhitis kronis merupakan gangguan klinis

yang ditandai dengan pembentukan mukus yang berlebihan didalam

bronkhus dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta

membentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, minimal 2 tahun

berturut-turut. Muttaqin (2014) menjelaskan emfisema adalah

perubahan anatomi parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding

alveolus, duktus alveolar, dan destruksi dinding alveolar. Dan Asma

bronkhial merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan tanggapan

reaksi yang meningkat dari trakhea dan bronkhus terhadap berbagai

rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang

disebabkan oleh penyempitan menyeluruh dari saluran pernapasan.

b. Etiologi

Penyakit Paru Obstruksi kronik disebabkan oleh faktor

lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah.

Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus

PPOM. Faktor resiko lain termasuk keadaan sosial-ekonomi dan

status pekerjaan yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena

dekat dengan lokasi pertambangan, perokok pasif atau terkena polusi

udara dan konsumsi alkohol yang berlebih, laki-laki dengan usia

antara 30 sampai 40 tahun paling banyak menderita PPOM (Padila,

2012).
9

1) Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya

PPOK, dengan resiko 30 kali lebih besar pada perokok

dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari

85-90% kasus PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan

banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status

merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun

demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang

lebih 10% orang yang tidak merokok juga mungkin menderita

PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap

rokok) juga beresiko menderita PPOK (Ikawati, 2011).

2) Pekerjaan

Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri

gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang

terpapar debu katun dan debu gandum, serta asbes, mempunyai

resiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain

yang disebutkan diatas (Ikawati, 2011).

3) Polusi udara

Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin

memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi udara

ini bisa berasal dari rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan

bermotor, dll, maupaun polusi dari dalam rumah misalnya asap

dapur (Ikawati, 2011).


10

4) Usia

Pada penderita PPOK jarang menyebabkan gejala yang

dikenali secara klinis sebelum usia 40 tahun. Kasus-kasus yang

termasuk perkecualian yang jarang dari pernyataan umum ini

seringkali berhubungan dengan sifat yang terkait dengan

defisiensi bawaan dari antitripsin alfa-1. Ketidakmampuan ini

dapat mengakibatkan seseorang mengalami emfisema dan

PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang beresiko menjadi

semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008).

5) Berbagai faktor lainnya menurut Rab (2013), yakni :

a) Jenis kelamin,

Dimana laki-laki lebih beresiko terkena PPOK dari

pada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok

pada pria.Namun ada kecenderungan peningkatan

prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah

wanita yang merokok (Ikawati, 2011).

b) Infeksi bronkhus yang berulang.

c) Faktor genetik

Defisiensi alfa1-antitripsin atau AAT ini terutama

dikaitkan dengan kejadian emfisema, yang disebabkan oleh

hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara

progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim

proteolitik dan faktor protektif. Pada keadaan normal faktor


11

protektif AAT menghambat enzim proteolitik sehingga

mencegah terjadinya kerusakan. Karena itu, kekurangan

AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap

kerusakan paru (Ikawati, 2011).

c. Klasifikasi PPOK

Klasifikasi derajat PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala

yang menggambarkan keterbatasan saluran udara dan tingkat

keparahan penyakit (GOLD, 2010 dalam Ikawati, 2011) :

Tabel 2.1
Tingkat keparahan PPOK

Tingkat Nilai FEV1 dan gejala


I • FEV1/ FVC <70%, FEV1 ≥80%.
Ringan • Ada gejala batuk kronis dan produksi sputum.
• Pasien tidak menyadari ada penurunan fungsi
paru
II • FEV1/FVC <70%, 50% < FEV1< 80%.
Sedang • Gejala biasanya mulai progresif atau
memburuk, nafas pendek-pendek, batuk
kronis, sputum produktif, sesak nafas saat
aktivitas.
• Pada tahap ini pasien mulai mencari
pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas
atau serangan penyakit.
III • FEV1 / FVC <70%, 30% < FEV1< 50%.
Berat • Terjadi eksaserbasi berulang, mengurangi
kualitas hidup
• Batuk kronis, sputum produktif, sesak nafas
sangat berat, mengurangi aktifitas, kelelahan
IV • FEV1 / FVC <70% , FEV1 < 30% atau < 50%
Sangat berat dan kegagalan respirasi kronis.
• pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
FEV1 > 30%,tapi pasien mengalami kegagalan
pernafasan atau gagal jantung kanan atau cor
pulmonale.
• kualitas hidup sangat terganggu dan serangan
mungkin mengancam nyawa.
12

Keterangan : FEV1: Forced Expiratory Volume atau Volume


Ekpirasi Paksa dalam satu detik.
FVC : Forced Vital Capacity atau Kapasitas Vital
Paksa.
d. Manifestasi Klinis

Menurut Ikawati (2011), diagnosa PPOK ditegakkan

berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum,

dispnea, dan riwayat paparan suatu resiko. Selain itu, adanya

obstruksi saluran pernafasan juga harus dikonfirmasi dengan

spirometri. Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis

PPOK adalah sebagai berikut :

1) Batuk kronis

Batuk merupakan suatu refleks protektif yang timbul

akibat iritasi percabangan trekeobronkial (Muttaqin, 2014). Pada

pasien PPOK batuk kronis terjadi berulang setiap hari, dan

seringkali terjadi sepanjang hari (tidak seperti asma yang

terdapat gejala batuk malam hari) (Ikawati, 2011).

2) Produksi sputum secara kronis

Produksi sputum yang berlebihan, proses pembersihan

mungkin tidak efektif lagi sehingga sputum akan tertimbun

(Muttaqin, 2014). Semua pola produksi sputum dapat

mengindikasikan adanya PPOK (Ikawati, 2011).


13

3) Bronkhitis akut

Pada pasien PPOK terjadi bronkhitis kronis secara berulang

(Ikawati, 2011).

4) Sesak nafas (dispnea)

Sesak nafas merupakan manifestasi dasar penyakit.

Dengan berbagai cara digambarkan sebagai haus udara, napas

pendek, tidak mampu menarik napas dalam, dan banyak

keluhan lainnya. Sesak napas merupakan suatu manifestasi

gangguan interprestasi keseimbangan otak diantara banyak

aferen dan eferen, yang mengendalikan pengiriman oksigen ke

jaringan (Ringel, 2012). Otak merupakan hubungan tertentu di

antara tekanan oksigen darah, tekanan karbondioksida jaringan,

reseptor regang dinding dada, kebutuhan oksigen jaringan,

pengiriman oksigen, dan kerja pernapasan. Gangguan

keseimbangan menyebabkan sesak napas (Ringel, 2012).

Mekanisme sesak nafas pada PPOK oleh karena

ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi

fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat,

penelaan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan otot

nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek

sistemik, deconditioning dan nutrisi yang buruk (Ardiyansyah,

2012). Begitu juga jika terjadi tahanan jalan nafas maka


14

pertukaran gas juga akan terganggu dan juga dapat

menyebabkan dispnea (Price dan Wilson, 2006).

Menurut Irianto (2014) gejala-gejala awal dari PPOK,

yang bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok adalah batuk dan

adanya lendir. Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak

napas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan.

Akhirnya sesak napas akan dirasakan saat melakukan kagiatan

rutin sehari-hari, seperti dikamar mandi, mencuci baju,

berpakaian dan menyiapkan makanan. Sepertiga penderita

mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai

makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga

penderita jadi malas tidak nafsu makan. Menurut Ikawati

(2011) sesak nafas pada pasien PPOK bersifat progresif

sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk jika

berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan.

Untuk mengukur derajat sesak nafas dapat

menggunakan prinsip psikofisik. Dua tujuan untuk mengukur

sesak nafas adalah untuk membedakan pasien sesak nafas yang

lebih ringan dan sesak nafas yang lebih berat dan untuk

mengevaluasi perubahan sesak nafas setelah pemberian

pengobatan (Donal, 2006). Untuk mengukur sesak nafas dapat

menggunakan nilai skala Borg (Bakti, 2015). Skala Borg yang

dimoidifikasi berupa garis vertical yang diberi nilai 0 sampai


15

10 dan tiap nilai mempunyai deskripsi verbal untuk membantu

penderita menderajatkan intensitas sesak nafas dari derajat

ringan sampai berat. Nilai tiap deskripsi verbal tersebut dibuat

skor sehingga tingkat aktivitas dan derajat sesak nafas dapat

dibandingkan antar individu (Subagyo, 2013).

Tabel 2.2
Skala Borg

SCALE SEVERITY

0 Tidak ada sesak napas yang sama sekali

0.5 Sesak sangat ringan sekali

1 Sesak sangat ringan

2 Sesak ringan

3 Sesak sedang

4 Sesak kadang berat

5 Sesak berat

6-7 Sesak napas sangat berat

8-9 Sangat-sangat parah (Hampir Maksimum)

1O Maksimum

(Sumber: Subagyo, 2013)

5) Riwayat paparan terhadap faktor resiko

Faktor resiko pada pasien PPOK diantaranya: merokok,

pertikel dan senyawa kimia, asap dapur (Ikawati, 2011).


16

e. Patofisiologi

Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologi

berikut biasanya terjadi secara berurutan : hipersekresi mukus,

disfungsi silia, ketrbatasan aliran udara, hiperflamasi pulmonal,

abnormalitas pertukaran gas, hipertensi pulmonal. Jalan nafas

perifer menjadi tempat utama obstruksi pada pasien PPOK.

Perubahan struktural dinding jalan nafas adalah penyebab

terpenting peningkatan tahanan jalan nafas perifer. Perubahan

inflamasi seperti edema jalan nafas dan hipersekresi mukus juga

menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer. Hipersekresi mukus

disebabkan oleh stimulasi pembesaran kelenjar yang menyekresi

mukus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh mediator inflamasi

seperti leukosilia mengalami metaplasia skuamosa, yang

menyebabkan gangguan pembersihan mukosilia, yang biasanya

merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali terjadi pada

PPOK (Morton, 2012).

Keterbatasan aliran udara ekspirasi adalah temuan penting

pada PPOK. Ketika proses penyakit berkembang, volume ekspirasi

kuat dalam satu detik (foced expiratory volume in 1 second, FEV 1)

dan kapasitas vital kuat (forced vital capacity, FPC) menurun, hal

in berhubungan dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas,

penurunan kelekatan alveolar dan penurunan recoil eastis paru.

Sering kali tamda pertama terjadi keterbatasan aliran uadra adalah


17

penurunan rasio FEV1 pasca bronkodilator kurang dari 80% dari

nilai prediksi yang dikombinasikan (Morton, 2012).

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis menurut Muttaqin (2014) yang dapat

diberikan kepada klien dengan PPOK, yakni :

1) Pengobatan farmakologi

a) Anti – inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolin, dan lain-

lain) (Muttaqin, 2014).

b) Bronkodilator.

Golongan adrenalin : adrenalin, isoprote Ncl, ossiprenalin.

Golongan xantin : aminopilin, teopilin (Murwani, 2011).

c) Antibiotik

Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi

PPOK, dengan pemilihan antibiotik bergantung kepada

kebijakan lokal, terapi secara umum berkisar pada

penggunaan yang disukai antara amoksilin, klaritromisin,

atau trimetopri. Biasanya lama terapi tujuh hari sudah

mencukupi (Francis, 2008).

d) Ekspektoran : Amnium karbonat, acetil sistein, bronheksin,

bisolvon, tripsin (Murwani, 2011).


18

e) Vaksinasi

Vaksinasi yang dapat diberikan pada pasien PPOK

antara lain vaksin influenza dan pneumococcus regular

(Brashers, 2007). Vaksinasi infuenza dapat mengurangi

angka kesakitan yang serius. Jika tersedia, vaksin

pneumococcus direkomendasiakn bagi penderita PPOK

yang berusia diatas 65 tahun dan mereka yang kurang dari

65 tahun tetapi nilai FEV1-nya <40% prediksi (Ikawati,

2011).

f) Indikasi oksigen

Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut

atau menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat.

Serangan jangka pendek dengan eksaserbasi akut dan

serangan akut pada asma (Murwani, 2011). Pengobatan

oksigen bagi yang memerlukan, O2 arus diberikan dengan

aliran lambat 1-2 liter/menit (Padila, 2012). Terapi oksigen

yang jangka panjang akan memperpanjang hidup penderita

PPOK yang berat dan penderita dengan kadar oksigen darah

yang sangat rendah (Ringel, 2012). Oksigen diberikan 12

jam/hari, hal ini akan mengurangi kelebihan sel darah

merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam

darah. Terapi oksigen juga dapat memperbaiki sesak napas

selama beraktivitas (Irianto, 2014).


19

2) Pengobatan Non farmakologi :

a) Rehabilitasi

Pada pasien PPOK dapat dilakukan rehabilitasi, ada

beberapa teknik lebih efektif dari lainnya tetapi semuanya

berpotensi membantu, teknik kontrol pernapasan, fisioterapi

dada, terapi okupasional, latihan olahraga, latihan otot

pernapasan (Brashers, 2007). Program aktivitas olahraga

yang dapat dilakukan oleh penderita PPOK antara lain:

sepeda ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan

diatur waktu, dan frekuensinya dapat berkisar dari setiap

hari sampai setiap minggu (Morton, 2012). Latihan

bertujuan untuk meningkatkan kebugaran dan melatih

fungsi otot skeletal agar lebih efektif, dilaksanakan jalan

sehat (Muttaqin, 2014).

b) Konseling nutrisi

Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan

terjadi pada lebih dari 50% pasien PPOK yang masuk

rumah sakit. Insiden malnutrisi bervariasi sesuai dengan

derajat abnormalitas pertukaran gas (Morton, 2012). Perlu

diberikan hidrasi secukupnya (minum air cukup : 8-10 gelas

sehari), dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya protein dan

mencegah makanan berat menjelang tidur. Susu dapat


20

menyebabkan sekresi bronkus meningkat, sebaiknya

dicegah (Ikawati, 2011).

c) Penyuluhan

Berhenti merokok adalah metode tunggal yang

paling efektif dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK

dan memperlambat kemajuan tingkat penyakit. Sesi

konseling singkat untuk mendorong perokok berhenti

merokok menyebabkan angka berhenti menjadi 5% sampai

10% (Morton, 2012). Berhenti merokok banyak modalitas

yang tersedia, termasuk hipnosis, penggantian nikotin

(nasal, oral, dermal), buspiron, dan kelompok pendukung

(Brashers, 2007).

g. Komplikasi

Menurut Muwarni (2011), komplikasi yang dapat terjadi pada

PPOK adalah :

1) Kegagalan respirasi akibat seak nafas atau dispnea.

2) Kardiovaskuler yaitu cor pulmonal aritmia jantung.

3) Ulkus peptikum sukar diketahui.

4) PPOK umumnya berjalan secara progresif dalam jangka waktu

yang lama, penderita jadi cacat dan tidak dapat melakukan

kegiatan sehari-hari.

5) Kematian biasanya terjadi karena kegagalan respirasi, dan

kematian mendadak karena aritmia jantung.


21

h. Pemeriksaan Diagnostik

1) Uji fungsi paru

Pada pasien PPOK uji fungsi paru dapat menunjukkan

keterbatasan aliran udara yang merupakan hal yang paling

penting secara diagnostik. Hal ini biasanya dilakukan

menggunakan laju aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow

atau PEF). Pada beberapa kasus dimana PPOK dicurigai, perlu

dipertimbangkan untuk menggunakan peak expiratory flow

pediatrik. Ini bermanfaat untuk mencatat volume keluaran yang

lebih kecil dengan menyediakan skala tepat untuk akurasi yang

lebih baik. Hal ini sangat berguna jika sebelumnya peak

expiratory flow dewasa menunjukan angka lebih rendah dan

berubah-ubah atau jika pasien mengalami kesulitan merapatkan

mulut disekitar mouthpiece pada peak expiratory flow dewasa.

Penting untuk dicatat bahwa, sementara nilai laju aliran

ekspirasi puncak yang normal saja tidak dapat menyingkirkan

diagnosis PPOK, niali FEV1 normal yang diukur dengan

spirometer akan menyingkirkan diagnosis PPOK (Francis,

2008). Menurut Muttaqin (2014) pengukuran fungsi paru pada

pasien PPOK diantaranya akan terdapat kapasitas inspirasi

menurun, volume residu meningkat pada emfisema, bronkhitis

kronis, dan asma; FEV1 selalau menurun, FCV awal normal dan

menurun pada bronkhitis serta asma.


22

2) Spirometri

Spirometri merupakan alat kuantitatif yang kuat saat uji

reversibilitas digunakan untuk mematikan diagnosis yang tepat.

Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan diagnosis yang

tepat. Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan hasil

spirometri yang didapat saat episode debilitas respirasi dengan

hasil yang didapat setelah beberapa saat pemulihan. Pada kasus

asma uji reversibilitas akan menunjukkan bahwa terjadi

perbaikan setelah pemuihan, data numerik yang diperoleh dapat

berada diantara batas normal atas dan bawah. Hal ini tidak khas

pada PPOK dimana akan menunjukkan terjadinya sedikit

perbaikan (Francis, 2008).

3) Analisa gas darah

Analisa gas darah merpakan pemeriksaan untuk

mengukur keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida

dalam darah, meliputi PO2, PCO2, pH, HCO3, dan saturasi

oksigen (Muwarni, 2012).

4) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada

pasien PPOK menurut Muttaqin (2014), antara lain :

a) Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada

polisitemia sekunder.

b) Jumlah sel darah merah meningkat.


23

c) Eosinofil dan total IgE serum meningkat.

d) Pulse oksimetri : SaO2 oksigenasi menurun.

e) Elektrolit menurun karena pemakain obat diuretik.

5) Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan gram kuman atau kultur adanya infeksi

campurn. Kuman patogen yang biasa ditemukan adalah

Strepcoccus pneumoniae, Haemophylus influenza, dan

Moraxella catarrhalis (Muttaqin, 2014). Pewarnaan dan biakan

sputum berguna untuk mendiagnosis bronkitis kronis dan untuk

mengevaluasi eksaserbasi akut PPOK (Brashers, 2007).

6) Pemeriksaan radiologi thoraks foto

Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran

jantung, dan bendungan area paru.Pada emfisema paru

didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan mendatar,

ruang udara retrosternal lebih besar (foto lateral), jantung

tampak bergantung memanjang dan menyempit (Muttaqin,

2014). Menurut Murwani (2012) pada foto thorak pasien PPOK

akan tampak bayangan lobus, corakan paru bertambah

(Bronkhitis kronis), defisiensi arterial corakan paru bertambah

(emfisema).
24

i. Asuhan Keperawatan

1) Pengkajian

Pengkajian adalah proses mengumpulkan informasi atau

dasar tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal

masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien,

baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Tujuan dari pengkajian

adalah untuk memperoleh informasi tentang kesehatan klien,

menentukan masalah keperawatan klien, menilai keadaan

kesehatan klien, membuat keputusan yang tepat dalam

menentukan langkah-langkah berikutnya (Dermawan, 2012).

Pengkajian yang dilakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi

Kronis (PPOK) :

a) Biodata Pasien

Biodata pasien setidaknya berisi tentang nama,

umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan. Umur

pasien dapat menunjukkan tahap perkembangan baik pasien

secara fisik maupun psikologis. Jenis kelamin dan pekerjaan

perlu dikaji untuk mengetahui hubungan dan pengaruhnya

terhadap terjadinya masalah atau penyakit, dan tingkat

pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan klien

masalah atau penyakitnya (Muttaqin, 2014).


25

b) Riwayat Kesehatan

Riwayat kesehatan yang perlu dikaji meliputi data

saat ini dan masalah yang lalu.Perawat mengkaji klien atau

keluarga dan berfokus kepada manifestasi klinik dari

keluhan utama, kejadian yang membuat kondisi sekarang

ini, riwayat kesehatan masa lalu, dan riwayat kesehatan

keluarga (Muttaqin, 2014).

c) Keluhan Utama

Keluhan utama akan menentukan prioritas intervensi

dan mengkaji pengetahuan klien tentang kondisinya saat ini.

Keluhan utama yang biasa muncul pada klien PPOK adalah

sesak nafas yang sudah berlangsung lama sampai bertahun-

tahun, dan semakin berat setelah beraktivitas. Keluhan

lainnya adalah batuk, dahak berwarna hijau, sesak semakin

bertambah, dan badan lemah (Muttaqin, 2014).

d) Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien dengan serangan PPOK datang mencari

pertolongan terutama dengan keluhan utama sesak nafas,

kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain seperti wheezing,

penggunaan otot bantu pernafasan, terjadi penumpukan

lendir, dan sekresi yang sangat banyak sehingga

menyumbat jalan nafas (Muttaqin, 2014).


26

e) Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pada PPOK dianggap sebagai penyakit yang

berhubungan dengan interaksi genetik dengan

lingkungan.Misalnya pada orang yang sering merokok,

polusi udara dan di tempat kerja (Muttaqin, 2014).

f) Riwayat Kesehatan Keluarga

Menurut Muttaqin (2014) tujuan menanyakan

riwayat kesehatan keluarga dan sosial penyakit paru-paru

sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu:

(1) Penyakit infeksi tertentu, manfaaat menyakan riwayat

kontak dengan orang terinfeksi akan dapat diketahui

sumber penularannya.

(2) Kelainan alergi.

(3) Tempat tinggal pasien, kondisi lingkungan misalnya

adanya polusi udara.

g) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik fokus pada klien PPOK, yakni:

(1) Inspeksi

Pada klien dengan PPOK, terlihat adanya

peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta

penggunaan otot bantu pernafasan. Pada saat inspeksi,

biasanya dapat terlihat klien mempunyai bentuk dada

barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan


27

massa otot, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan

pernafasan abnormal yang tidak efektif (Muttaqin,

2014).

(2) Palpasi

Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus

biasanya menurun (Muttaqin, 2014).

(3) Perkusi

Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai

hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau

menurun (Muttaqin, 2014).

(4) Auskultasi

Pada auskultasi, sering didapatkan bunyi suara napas

ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan

obstruktif pada bronkhiolus(Muttaqin, 2014).

2) Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yaitu proses keperawatan yang

mencakup 2 fase analisis atau sintesis dasar menjadi pola yang

bermakna dan menuliskan pernyataan diagnosa (Dermawan,

2012). Setelah melakukan analisis atau sintesis dan muncul

diaognosa keperawatan, maka perawat harus melakukan

prioritas diagnosa keperawatan menurut kebutuhan dasar

manusia. Banyak ahli filsafat, psikologi dan fisiologi

menguraikan kebutuha manusia dan membahasnya dari berbagai


28

segi. Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika

mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia

maslow. Hierarki tersebut meliputi lima kategori kebutuhan

dasar, yakni :

a) Kebutuhan fisiologis, kebutuhan fisiologis memiliki

prioritas tertinggi dalam hierarki maslow, kebutuhan

fisiologis merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia

untuk bertahan hidup. Manusia memiliki delapan macam

kebutuhan, yaitu : kebutuhan oksigen, kebutuhan makanan,

kebutuhan eliminasi urin dan alvi, kebutuhan istirahat dan

tidur, kebutuhan aktivitas, kebutuhan kesehatan temperatur

tubuh, kebutuhan seksual.

b) Kebutuhan keselamatan dan rasa aman.

c) Kebtutuhan rasa cinta.

d) Kebutuhan harga diri.

e) Kebutuhan aktualisasi diri.

(Mubarok dan Cahyatin, 2008)

Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa

keperawatan utama yang dapat muncul pada Penyakit Paru

Obstruktif Kronik menurut Muttaqin (2014), antara lain :

a) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan

hiperventilasi, keletihan otot pernafasan.


29

b) Ketidakefektifan bersihan bersihan jalan napas berhubungan

dengan adanya bronkokontriksi, akumulasi sekret jalan

napas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.

c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan

kerja napas, hipoksemia secara reversibel atau menetap.

d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan penurunan napsu makan, faktor

biologis.

e) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

f) Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan

fisik dan lingkungan.

g) Resiko tinggi infeksi pernapasan berhubungan dengan

akumulasi sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan

batuk efektif.

h) Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi yang

tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

3) Intervensi Keperawatan

Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa

keperawatan, menentukan hasil akhir perawatan klien,

mengidentifkasi tindakan keperawatan dan klien yang sesuai dan

rasional ilmiahnya, dan memetapkan rencana asuhan


30

keperawatan, diagnosa diprioritaskan sesuai dengan keseriusan

atau mengancam jiwa (Dermawan, 2012).

a) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan

hiperventilasi, keletihan otot pernafasan.

Kriteria hasil :

(1) Pasien menunjukkan jalan napas yang paten (irama

napas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal,

tidak ada suara abnormal).

(2) Tanda - tanda vital dalam rentang normal (tekanan

darah, nadi, pernapasan).

Intervensi keperawatan :

(1) Observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi

pernapasan dan suhu) pasien

Rasional: untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien

dalam rentang normal atau tidak.

(2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal

posisi semi fowler.

Rasional: untuk membantu pengembangan rongga

dada secara maksimal, peninggian kepala tempat tidur

mempermudah fungsi pernafasan dengan

menggunakan gravitasi.

(3) Ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing

exercise
31

Rasional : menurunkan tingkat sesak nafas dan skala

Borg

(4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi

obat.

Rasional: dengan rasional memberikan terapi

farmakologi.

b) Ketidakefektifan bersihan bersihan jalan napas

berhubungan dengan adanya bronkokontriksi, produksi

mukus dalam jumlah berlebih, dan menurunnya

kemampuan batuk efektif.

Kriteria hasil :

(1) Pasien dapat melakukan batuk efektif.

(2) Pasien dapat mengeluarkan sekret.

(3) Pada pemeriksaan auskultasi paru , memiliki suara

napas yang jernih.

Intervensi keperawatan :

(1) Pantau frekuensi pernafasan pasien

Rasional: dengan rasional untuk mengetahui frekuensi

pernafasan pasien sudah dalam rentang normal atau

belum

(2) Auskultasi suara nafas dan catat adanya suara

tambahan
32

Rasional: untuk mengetahui adanya suara nafas

tambahan

(3) Ajarkan cara batuk efektif

Rasional : mempermudah mengeluarkan sputum

(4) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat,

Rasional: untuk memberikan pengobatan farmakologis.

(Nurarif, 2013)

c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan

kerja napas, hipoksemia secara reversibel atau menetap.

Kriteria hasil :

(1) Pasien dapat mendemonstrasikan peningkatan ventilasi

dan oksigenasi yang adekuat.

(2) Tanda-tanda vital dalam rentang normal.

Intervensi keperawatan :

(1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat

penggunaan otot aksesori, napas bibir, dan

ketidakmampuan berbicara.

Rasional: berguna dalam evaluasi derajat distres

pernapasan dan atau kronisnya proses penyakit.

(2) Dorong pengeluaran sputum, penghisapan bila

diindikasikan.

Rasional: banyaknya sekresi yang kental dan tebal

merupakan sumber utama gangguan pertukaran gas


33

pada jalan napas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila

batuk tidak efektif.

(3) Awasi tanda vital dan irama jantung.

Rasional: takikardia, disritmia, dan perubahan tekanan

darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik

pada fingsi jantung.

(4) Aktivitas kolaboratif : pemberian oksigen tambahan

yang sesuai dengan indikasi analisa gas darah dan

toleransi pasien.

Rasional: dapat memperbaiki atau mencegah

memburuknya hipoksia.

(Nurarif, 2013)

d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan penurunan napsu makan, faktor

biologis.

Kriteria hasil :

(1) Peningkatan napsu makan.

(2) Tidak ada penurunan berat badan yang berarti.

Intervensi keperawatan :

(1) Kaji intake makanan

Rasional: untuk mengetahui pola makan/kebiasaan

makan pasien karena pasien dengan distress


34

pernafasan sering anoreksia sehingga cenderung berat

badan menurun.

(2) Berikan perawatan oral hyiegene

Rasional: kebersihan oral dapat meningkatkan nafsu

makan karena makanan akan terasa lebih enak.

(3) Anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan

dalam keadaan hangat

Rasional : membantu mencegah distensi gaster dan

ketidaknyamanan, serta meningkatkan nafsu makan

(4) Kolaborasi dengan ahli gizi

Rasional: gizi rasionalnya untuk menentukan diit

pasien yang memenuhi asupan kalori dan nutrisi yang

optimal.

(Nurarif, 2013)

e) intoleransi aktivitas berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

Kriteria hasil:

(1) pasien tidak merasa sesak nafas dan letih lemah setelah

beraktivitas

(2) Pasien mampu melakukan aktivitas sehari- hari secara

mandiri
35

Intervensi keperawatan :

(1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan

aktivitas dan latihan

Rasional: untuk mengetahui kemampuan pasien dalam

beraktivitas

(2) Pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah

melakukan aktivitas

Rasional: dapat mengetahui ada tidaknya perubahan

status pernafasan sebelum dan sesudah beraktivitas

(3) Bantu pasien identifikasi penyebab keletihan

Rasional : untuk mengetahui penyebab keletihan

(4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

Rasional : untuk memberikan terapi farmakologi.

(Nurarif, 2013)

f) Gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan

fisik dan lingkungan.

Kriteria hasil:

(1) jumlah jam tidur pasien dalam batas normal 6-8 jam per

hari

(2) kualitas tidur pasien baik atau nyenyak

Intervensi keperawatan :

(1) Pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari


36

Rasional: untuk mengetahui jam tidur pasien dalam

rentang normal atau tidak

(2) Berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung,

posisikan yang nyaman)

Rasional :untuk menunjang tidur pasien agar nyenyak,

(3) Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat

Rasional: agar pasien tahu akan pentingnya tidur yang

adekuat untuk kesehatan

(4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat

Rasional: untuk memberikan terapi farmakologis.

(Nurarif, 2013)

(1) Pursed Lip Breathing Exercise

a. Definisi

Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan pernapasan

dengan cara penderita duduk dan inspirasi dalam saat ekspirasi

penderita menghembuskan melalui mulut hampir tetutup seperti

bersiul secara (Smeltzer, 2008).

b. Tujuan

Tujuan dari Pursed Lip Breathing Exercise untuk mencapai

ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja

pernapasan, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot

dan menghilangkan ansietas dan mencegah pola aktivitas otot

pernapasan yang tidak berguna, melambatkan frekuensi pernapasan,


37

mengurangi uadara yang terperangkap, serta mengurangi kerja

bernafas (Smeltzer, 2008).

Pursed Lip Breathing Exercise dapat mencegah atelektasis

dan meningkatkan fungsi ventilasi pada paru, pemulihan

kemampuan otot pernafasan akan meningkatkan compliance paru

sehingga ventilasi lebih adekuat dan menunjang oksigenasi jaringan

(Westerdhal, 2005 dalam Bakti, 2015).

Latihan pernafasan denganPursed Lip Breathing Exercise

memmbantu meningkatkan compliance paru untuk melatih kerja otot

pernafasan berfungsi dengan baik serta mencegah distress pernafasan

(Ignantivus dan Workman, 2006 dalam Bakti, 2015).

c. Langkah – langkah tindakan Pursed Lip Breathing Exercise

Langkah-langkah atau teknik pursed lip breathing exercise

diantaranya meliputi: mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat

tidur atau kursi, meletakkan satu tangan pasien di abdomen (tepat

dibawah proc.sipodeus) dan tangan lainnya ditengah dada untuk

merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernafas, kemudian

menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan

abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup

selama inspirasi dan tahan nafas selama 2 detik, dan hembuskan

nafas melalui bibir yang dirapatkan serta sedikit terbuka sambil

mengkontraksikan otot-otot abdomen selama 4 detik dalam sehari

dilkakuakn 1 kali dengan 5 kali pengulangan (Smeltzer, 2008).


38

Pursed Lip Breathing Exercise adalah suatu latihan bernafas

yang terdiri dari dua mekanisme yaitu inspirasi secara dalam serta

ekspirasi aktif dalam dan panjang. Proses ekspirasi seacara normal

merupakan proses mengeluarkan nafas tanpa menggunakan energi

berlebih. Bernafas Pursed Lip Breathing Exercise melibatkan proses

ekspirasi secara panjang. Inspirasi dalam dan ekspirasi panjang

tentunya akan menigkatkan kekuatan kontraksi otot intra abdomen

sehingga tekanan intra abdomen meningkat melebihi pada saat

ekspirasi pasif. Tekanan intra abdomen yang meningkat lebih kuat

lagi tentunya akan meningkatkan pergerakan diafragma ke atas

membuat rongga thorak semakin mengecil. Rongga thorak yang

semakin mengecil ini menyebabkan tekanan intra alveolus semakin

meningkat sehingga melebihi takanan udara atmosfer. Kondisi

tersebut akan menyebabkan udara mengalir keluar dari paru ke

atmosfer. Ekspirasi panjang saat bernafas Pursed Lip Breathing

Exercise juga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas dihilangkan

sehingga resistensi pernafasan menurun. Penurunan resistensi

pernafasan akan memperlancar udara yang dihirup dan dihembuskan

sehinggga akan mengurangi ssesak nafas (Smeltzer, 2008).


39

B. Kerangka Teori

- Merokok Penyakit Paru Obstruksi


- Polusi udara Kronik

- Infeksi
pernapasan - Batuk
- Riwayat kerja - Adanya Sputum

Obstruksi Jalan Nafas

Pursed Lip Breathing Exercise


Sesak Nafas

Obstruksi Jalan Nafas


Hilang

Penurunan Resistensi pernafasan


Pernapasan
Sesak Nafas berkurang

Gambar 2.1 (Kerangka Teori)

Sumber : (Ikawati, 2011; Smeltzer, 2008; Bhakti, 2015).


BAB III

METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET

A. Subjek Aplikasi Riset

Tindakan dilakukan pada pasien Tn. A di Rumah Sakit Umum Daerah

Dr.Moewardi Surakarta.

B. Tempat dan Waktu

1. Tempat : Di Ruang Anggrek 1 dan Rumah Tn. A

2. Waktu : Terapi diberikan pada tanggal 12-14 Januari 2016, tanggal

12-13 Januari 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi

Surakarta dan pada tanggal 14 Januari 2016 di rumah Tn. A.

C. Media dan Alat yang Digunakan

Dalam aplikasi riset ini media dan alat yang akan digunakan adalah :

1. Lembar observasi yang digunakan untuk mencatat hasil pengukuran

atau pemeriksaan tingkat sesak nafas.

2. Stetoskop yang digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat sesak

napas.

D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset

1. Mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat tidur atau kursi.

2. Meletakkan satu tangan pasien di abdomen (tepat dibawah

proc.sipodeus) dan tangan lainnya ditengah dada.

3. Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan

abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup

selama inspirasi dan tahan napas selama 2 detik.

40
41

4. Hembuskan nafas melalui bibir dirapatkan dan sedikit terbuka seperti

bersiul sambil mengkontraksikan otot-otot abdomen selama 4 detik.

5. Dilakukan sehari 1 kali dengan 5 kali pengulangan (Smeltzer, 2008).

Gambar 3.1
Teknik menghirup dan menghembuskan napas
E. Alat Ukur Evaluasi dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset

Lembar observasi yang didalamnya adalah :

1. Frekuensi normal pernapasan 16-24 kali per menit (Muttaqin, 2014).

2. Penggunaan otot bantu pernapasan (Ganong, 2008) :

a. Musculus Strenokleidomastoideus

b. Musculus Scalenus

c. Musculus Pektoralis Mayor

d. Musculus Serratus Anterior

e. Musculus Abdominalis
42

3. Nilai skala Borg.

SKALA BORG

SCALE SEVERITY

0 Tidak ada sesak napas yang sama sekali

0.5 Sesak sangat ringan sekali

1 Sesak sangat ringan

2 Sesak ringan

3 Sesak sedang

4 Sesak kadang berat

5 Sesak berat

6-7 Sesak napas sangat berat

8-9 Sangat-sangat parah (Hampir Maksimum)

1O Maksimum

(Sumber: Subagyo, 2013)


BAB IV

LAPORAN KASUS

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang resume pengaruh pemberian

pursed lip breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak nafas pada asuhan

keperawatan Tn. A dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) di ruang

anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Resume asuhan keperawatan pada Tn.

A meliputi identitas, pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi sesuai masalah

keperawatan, implementasi yang telah dilakukan dan evaluasi. Pengkajian

dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016 jam 14.00 WIB, pada kasus ini dilakukan

dengan metode autoanamnesa dan alloanamnesa.

A. Identitas Pasien

Pengkajian didapatkan identitas pasien dengan nama pasien Tn. A

berumur 62 tahun, beragama islam, pasien lulusan Sekolah Dasar (SD), Tn. A

sebagai kepala rumah tangga yang beralamat di Karanganyar. Tn. A datang

ke RSUD Dr. Moewardi pada tanggal 07 Januari 2016 dengan diagnosa

medis penyakit paru obstruksi kronik dengan nomor rekam medis 01325720.

Identitas penanggung jawab bernama Sdr. T berumur 27 tahun, bekerja

sebagai karyawan swasta, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas

(SMA), beralamat di Karanganyar, hubungan dengan Tn. A sebagai anak.

B. Pengkajian

Hasil dari pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pasien

mengeluhkan sesak nafas. Riwayat penyakit sekarang, pasien datang ke IGD

RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 07 Januari 2016 jam 21.00

43
44

WIB, pasien rujukan dari UPT Puskesmas Ngargoyoso dengan keluhan batuk

darah bercampur dahak dan buih sebanyak 1 sendok makan, 1 minggu

sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk berdahak dengan

dahak putih encer.

Pasien juga mengeluhkan sesak nafas memburuk 8 bulan ini, sesak

nafas tidak dipengaruhi oleh debu atau cuaca, sesak nafas jika aktivitas berat,

ada suara tambahan nafas mengi, tidak ada nyeri dada, kedua kaki pasien

sering bengkak jika sesak nafas, pasien tidur dengan satu bantal dan sering

terbangun karena sesak nafas, panas baru 1 hari, mual, tidak muntah, badan

lebih kurus kurang lebih dari 2 tahun yang lalu. Pada pasien BAB dan BAK

tidak ada keluhan, dari hasil pemeriksaan di dapatkan tekanan darah 130/90

mmHg, nadi 90 kali per menit, pernafasan 29 kali per menit, suhu 37,2 °C

dan saturasi oksigen 98 %. Pasien di IGD mendapat oksigen nasal kanul 2

liter per menit, infus Nacl 0,9% 20 tetes per menit, injeksi methyl prednizolon

62,8gram, injeksi furosemid 40mg, injeksi asam traneksamat 1gr, injeksi

ceftriaxon 2 gr (skin test), dan obat oral N. asetil sistein 200mg, sucralfat

sirup 5ml. Pasien dari IGD Tulip di pindah ke ruang anggrek 1 pada tanggal 8

Januari 2016 jam 05.00 WIB, untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.

Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan selama ± 2 tahun sudah

merasakan sesak nafas, pasien batuk sejak 2 tahun yang lalu tetapi tidak

berdahak, pasien perokok berat sejak kelas 2 Sekolah Dasar atau ± 55 tahun

karena meniru bapak yang merokok dan lingkungannya dulu yang banyak

perokok, tetapi sudah 2 tahun pasien berhenti merokok. Pasien pernah dirawat
45

10 hari dirumah sakit RSUD Karanganyar 1 tahun yang lalu operasi hernia.

Pasien mengatakan saat masih kecil sudah mendapatkan imunisasi dasar

lengkap. Pasien tidak ada alergi debu, makanan maupun obat, pasien tidak

ada riwayat penyakit asma, diabetes melitus, dan hipertensi.

Riwayat kesehatan keluarga, dikeluarga pasien tidak memiliki

penyakit yang menurun seperti hipertensi, jantung dan diabetes melitus.

Pasien juga mengatakan dikeluarganya tidak ada yang menderita penyakit

yang sama seperti pasien.

Genogram keluarga Tn. A

Gambar 4.1 (Genogram)

Keterangan :

: Laki- laki : Tinggal satu rumah

: Perempuan : Ikatan pernikahan

: Pasien : Keturunan

: Meninggal
46

Riwayat kesehatan lingkungan pasien, pasien mengatakan sekitar

rumahnya bersih, terdapat saluran pembuangan air, ventilasi, rumahnya jauh

dari jalan raya dan pabrik. Pada saat dilakukan kunjungan ke rumah Tn. A

pada tanggal 14 Januari 2016, rumah Tn. A tampak beralas dengan tanah,

bersih, tidak ada genangan air, banyak tanaman hijau disekitar rumah, dan di

depan rumah di tanami sayuran.

Hasil pengkajian menurut pola Gordon, pola persepsi dan

pemeliharaan kesehatan, pasien mengatakan kesehatan itu sangat penting, jika

ada anggota keluarga yang sakit segera dibawa ke puskesmas. Keluarga

pasien mengatakan saat Tn. A sakit segera dibawa ke puskesmas Ngargoyoso.

Pola nutrisi dan metabolik, sebelum sakit pasien dan keluarga pasien

mengatakan ±2 tahun yang lalu badan pasien tidak sekurus sekarang ini, tapi

dulu tidak tahu berapa berat badan pasien karena jarang menimbang berat

badan, pasien juga mengatakan makan 3 kali sehari, jenis nasi, sayur, lauk, 1

porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air

putih dan teh, serta tidak ada keluhan. Selama sakit antropometri berat badan

pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) Berat badan

(Kg)/Tinggi badan (m2), 46 kg/(2,56 m2) hasilnya 17,96 kg/m2 (tidak normal

atau Underweight), biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium

pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau

kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), clinical Sign

pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva

anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit
47

TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8

gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, dengan keluhan nafsu makan

menurun karena sesak nafas dan batuk, ada riwayat mual.

Pola eliminasi, sebelum sakit pasien mengatakan buang air besar 1 kali

per hari setiap pagi dengan konsistensi lunak berbentuk, berbau khas, warna

kuning dan tidak ada keluhan. Buang air kecil 6-7 kali per hari, warna kuning

pucat, berbau amoniak, dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien

mengatakan buang air besar 1 kali per hari, konsistensi lunak berbentuk,

berbau khas, warna kuning kecoklatan dan tidak ada keluhan. Buang air kecil

6-7 kali per hari, warna kuning keruh, berbau amoniak, dan tidak ada

keluhan. Saat buang air besar dan buang air kecil pasien harus dibantu oleh

keluarga.

Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan dapat

beraktivitas secara normal dan mandiri (skor penilaian 0). Selama sakit pasien

mengatakan hampir semua aktivitas seperti makan minum, toileting,

berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan ambulasi atau ROM

harus dibantu orang lain (skor penilaian 2), disamping itu pasien merasa sesak

nafas setelah melakukan aktivitas.

Pola istirahat tidur, sebelum sakit pasien mengatakan kebiasaan tidur

6-8 jam sehari dari jam 21.00-05.00, tidur siang 2 jam, kualitas tidur nyenyak

dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan tidur 4-5 jam sehari,

dari jam 22.00-03.00, tidur siang 1 jam, kualitas tidur tidak nyenyak sering
48

terbangun karena sesak nafas, pasien nyaman dengan posisi tidur bersandar

atau miring ke kanan, tampak palpebra kehitaman.

Pola kognitif dan perseptual, pasien mengatakan mengalami gangguan

pendengaran pada telinga kanan terjadi penurunan fungsi pendengaran sejak 5

tahun yang lalu, pasien hanya menggunakan telinga kiri untuk mendengar.

Pasien mengidentifikasi tes raba, pasien dapat melihat dan dapat menjawab

pertanyaan dari perawat, pasien tampak kesulitan bicara karena batuk

produktif, dan pasien juga terlihat tidak menggunakan alat bantu penglihatan

maupun pendengaran.

Pola persepsi konsep diri, gambaran diri pasien mengatakan tetap

bersyukur masih diberi anggota tubuh yang lengkap meskipun saat ini pasien

sedang sakit. Ideal diri, pasien mengatakan ingin cepat sembuh dari

penyakitnya. Harga diri, pasien mengatakan merasa dihargai dan disayangi

oleh keluarga dan tetangganya karena dijenguk. Peran diri, pasien

mengatakan tidak bisa menjalani tugasnya sebagai suami dan kepala rumah

tangga yang baik untuk istri dan anak-anaknya selama sakit. Identitas diri,

pasien mengatakan menyadari sebagai suami dan orang tua yang memiliki

tanggung jawab menjadi kepala keluarga.

Pola hubungan peran, pasien mengatakan dirinya sebagai suami dan

ayah dari 4 orang anak, hubungan dengan keluarga dan masyarakat

baik,selama sakit pasien juga mempunyai hubungan baik dengan tenaga

medis, saat dilakukan tindakan keperawatan pasien kooperatif.


49

Pola seksualitas reproduksi, pasien mengatakan menikah usia 27 tahun

dan mempunyai 4 orang anak, pasien tidak menderita penyakit kelamin tetapi

sudah tidak terlalu memikirkan hubungan seksual lagi dengan istrinya karena

mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi, sehingga selama dirawat dan

sakit seperti ini tidak ada masalah bagi pasien dan istrinya.

Pola mekanisme koping, pasien mengatakan menerima dengan tabah

penyakit yang dialami saat ini sebagai cobaan dari tuhan, jika ada masalah

pasien selalu mendiskusikan dengan keluarga termasuk dengan penyakit yang

dialami saat ini. Pola nilai dan keyakinan, pasien mengatakan sebelum sakit

dan selama sakit tetap melaksanakan ibadah sholat 5 waktu, saat sakit

beribadah dengan berbaring.

Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik,

dengan kesadaran composmentis. Tanda – tanda vital tekanan darah 120/80

mmHg, nadi frekuensi 85 kali per menit, irama teratur, isi kuat, pernapasan

frekuensi 27 kali per menit, irama tidak teratur, terpasang O2 nasal kanul 2

liter per menit, suhu tubuh 36,5 °C. Pada pemeriksaan kepala bentuk kepala

mesochepal, kulit kepala bersih tidak ada lesi, rambut beruban. Pada

pemeriksaan mata didapatkan data palpebra kehitaman dan tidak oedema,

konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter mata kanan –

kiri simetris, reflek terhadap cahaya baik, tidak menggunakan alat bantu

penglihatan. Pada pemeriksaan hidung didapatkan hasil hidung simetris, tidak

ada polip, bersih, terdapat nafas cuping hidung, terpasang O2 nasal kanul 2

liter per menit dan tidak ada lendir. Pada pemeriksaan mulut didapatkan data
50

bibir simetris, mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis. Pada pemeriksaan

gigi didapatkan data gigi bersih, masih utuh, tidak memakai gigi pasangan.

Pada pemeriksaan telinga di dapatkan hasil telinga bersih, simetris, ada

penurunan fungsi pendengaran telinga yang kanan tetapi pasien tidak

memakai alat bantu pendengaran. Pada pemeriksaan leher di dapatkan hasil,

tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ditemukan ditensi vena

jugularis.

Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan inspeksi

bentuk dada barel chest, simetris kanan kiri, respirasi 27 kali per menit, nafas

pendek dengan ekspirasi memanjang, terdapat penggunaan otot bantu

pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus

anterior, serta otot-otot abdominalis. Saat dilakukan palpasi vocal fremitus

kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi sonor, saat dilakukan auskultasi

vesikuler pada dada kanan dan terdengar suara tambahan whezzing pada dada

kiri. Pada pemeriksaan fisik jantung inspeksi didapatkan hasil ictus cordis

tidak tampak, saat dilakukan palpasi ictus cordis teraba pada intercosta 5 mid

clavicula, saat dilakukan perkusi pekak, saat dilakukan auskultasi terdengar

suara Bj 1 dan Bj 2 reguler. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil

inspeksi perut datar simetris, ada lesi di kwadran 4 bekas operasi hernia, saat

diauskultasi terdengar bising usus 8 kali per menit, saat perkusi didapatkan

hasil suara pekak di kuadran 1, suara tympani di kuadran 2, 3, 4, saat

dilakukan palpasi didapatkan hasil tidak teraba massa dan tidak ada nyeri

tekan.
51

Pada pemeriksaan genetalia didapatkan hasil pasien tidak terpasang

kateter. Pada pemeriksaan rektum didapatkan hasil rektum bersih, tidak ada

nyeri saat buang air besar dan tidak ada hemoroid.

Pemeriksaan data penunjang laboratorium yang dilakukan pada

tanggal 07 Januari 2016, yaitu : Hemoglobin 13,1 g/dl (13,5-17,5 g/dl),

Hematokrit 38 % (33-45%), Leukosit 14,9 ribu/uL (4,5-11 ribu/uL),

Trombosit 185 ribu/uL (150-450 ribu/uL), Eritrosit 3,93 juta/uL (4,50-5,90

juta/uL), MCV 95,7 /um (80,0-96,0 /um), MCH 33,3 Pg (28,0-33,0 Pg),

MCHC 34,8 g/dl (33,0-36,0 g/dl), RDW 12,7 % (11,6-14,6 %), MPV 8,4 Fl

(7,2-11,1 Fl), PDW 16 % (25-65 %), Eosinofil 0,10 % (0,00-4,00 %), Basofil

0,10 % (0,00-2,00 %), Netrofil 81,90 % (55,00-80,00 %), Monosit 9,70 %

(0,00-7,00 %), Golongan darah B, PT 16,0 detik (10,0-15,0 detik), APTT

33,7 detik (20,0-40,0 detik), Albumin 2,9 g/dl (3,2-4,6 g/dl), Creatinin 0,9

mg/dl (0,8-1,3 mg/dl), Ureum 38 mg/dl (<50 mg/dl), Natrium darah 133

mmol/l (136-145 mmol/l), Kalium darah 3,7 mmol/l (3,7-5,4 mmol/l),

Klorida darah 103 mmol/l (98-106 mmol/l). Data analisa gas darah pH darah

7,430 mmol/l (7,310-7,420 mmol/l), BE 9,9 mmol/l (-2 - +3 mmol/l), PCO2

51,0 mmHg (27,0-41,0 mmHg), PO2 106,0 mmHg (80,0-100,0 mmHg),

Hematokrit 43 % (37-50%), HCO3 31,3 mmol/l (21,0-28,0 mmol/l), Total

CO2 36,0 mmol/l (19,0-24,0 mmol/l), O2 saturasi 98,0 % (94,0-98,0 %),

Arteri 1,50 mmol/l (0,36-0,75 mmol/l), HbsAg nonreactive (nonreactive),

Troponin 1 <0,01 Ug/l (0,00-1,50 Ug/l), CKMB 3,17 ng/ml (< 4,9 ng/ml).

dapat kesimpulan alkalosis metabolik terkompensasi sempurna. Hasil


52

pemeriksaan pada tanggal 11 Januari 2016, yaitu : Hemoglobin 12,4 g/dl

(13,5-17,5 g/dl), Hematokrit 38 % (33-45%), Leukosit 5,6 ribu/uL (4,5-11

ribu/uL), Trombosit 241 ribu/uL (150-450 ribu/uL), Monosit 3,83 Juta/uL

(4,50-5,90 Juta/uL), SGOT 41 U/L (<35 U/L), SGPT 22 U/L (<45 U/L),

Albumin 3,5 U/L (3,2-4,6 U/L).

Pemeriksaan data penunjang laboratorium mikrobiologis pada tanggal

11 Januari 2016 dengan bahan sputum, hasil mikroskopis direk pengecatan

gram ditemukan kuman gram positif Coccus, leukosit 3-8/ LPB, 0-2/ LPB,

pada pengecatan BTA dari sputum sewaktu hasil negatif, pagi hasil negatif,

sewaktu negatif.

Pemeriksaan data penunjang foto thorax pada tanggal 07 Januari yaitu,

klinisnya hemoptisis, dengan foto thorax PA/Lat, Cor membesar dengan CTR

71 %, Pulmo tak tampak infiltrat dikedua suprahiler kanan kiri. Sinus

Costphrenicus kanan kiri antero posterior tajam, Hemidiaphragma kanan kiri

normal, Trakea ditengah, sistema tulang baik, kesimpulannya Cardiomegaly,

tak tampak jelas gambaran TB paru.

Selama diruang anggrek 1 pasien mendapatkan terapi parenteral infus

Nacl 0,9% 20 tpm. Terapi intravena injeksi Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam

merupakan golongan obat hemostatik, fungsinya untuk mengatasi pendarahan

abnormal dan gejala penyakit lainnya seperti hemoptisis. Injeksi Ranitidine

50 mg/ 12 jam merupakan golongan antasida, fungsinya mengobati tukak

lambung, duodenum, dan mengurangi refluks esofagus. Injeksi Ceftriaxon 2

gr/ 24 jam yang merupakan golongan antimikroba atau antibakteri, fungsinya


53

mengobati infeksi saluran pernafasan bawah. Pasien juga mendapat terapi

peroral Furosemid 40 mg/ 24 jam (pagi) termasuk dalam golongan obat

diuretik, fungsinya mengobati udema karena gangguan jantung, ginjal dan

melancarkan pengeluaran urine. Diovan 80 mg/24 jam termasuk golongan

antihipertensi, fungsinya menurunkan tekanan darah tinggi. Bisoprolol 1,25

mg/ 24 jam (pagi) merupakan golongan antihipertensi, fungsinya untuk

pengobatan hipertensi. N. Asetil sistein 200 mg/ 8 jam, golongan obat untuk

saluran pernafasan, fungsinya untuk mengencerkan dahak. Codein 100 mg/ 8

jam golongan analgesik, fungsinya untuk mengobati batuk. Vitamin C 250

mg/ 8 jam golongan vitamin dan mineral, fungsinya untuk pencegahan dan

mengatasi kekurangan vitamin C, memperkuat daya tahan tubuh. Curcuma 20

mg/ 12 jam golongan obat saluran cerna, fungsinya menambah nafsu makan,

membantu pengobatan gangguan fungsi hati dan memelihara kesehatan.

C. Masalah Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pukul

14.00 WIB pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subyektif, pasien

mengatakan sesak nafas, sesak nafas dirasakan kurang lebih sejak 2 tahun

yang lalu, sedangkan data objektifnya pasien tampak bernafas dengan cuping

hidung, dari data pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan

inspeksi bantuk dada barel chest, simetris kanan kiri, respirasi 27 kali per

menit, irama tidak teratur, nafas pendek dengan ekspirasi memanjang,

terdapat penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,

pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis. Saat


54

dilakukan palpasi vocal fremitus kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi

sonor, saat dilakukan auskultasi vesikuler pada dada kanan dan terdengar

suara tambahan whezzing pada dada kiri, pasien terpasang O2 nasal kanul 2

liter per menit. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi frekuensi 85 kali per

menit, suhu tubuh 36,5 °C. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan

yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.

Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pukul

14.05 WIB pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien

mengatakan saat batuk akan muncul sesak nafas dan mengeluarkan dahak,

batuk sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu namun tetapi tidak berdahak,

sedangkan data objektifnya ditandai dengan terdapat suara tambahan

whezzing, frekuensi pernapasan 27 kali per menit, irama tidak teratur,

kesulitan bicara karena batuk produktif, produksi sputum berlebih warna

putih kekuningan dan kental tidak ada darah. Maka penulis merumuskan

masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan

dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih.

Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pukul

14.10 WIB pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien

mengatakan sesak nafas, mudah lelah dan lemas setelah melakukan aktivitas,

data objektif pasien tampak letih dan terengah-engah setelah beraktivitas,

frekuensi pernapasan 27 kali per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi

frekuensi 85 kali per menit, dari data aktivitas latihan antara lain, seperti

makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan


55

ambulasi atau ROM harus dibantu orang lain (skor penilaian 2). Maka penulis

merumuskan masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

Pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.15 WIB hasil dari pengkajian

didapatkan data subjektif, sebelum sakit pasien mengatakan kebiasaan tidur

6-8 jam sehari dari jam 21.00-05.00, tidur siang 2 jam, kualitas tidur nyenyak

dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan tidur 4-5 jam sehari,

dari jam 22.00-03.00, tidur siang 1 jam, kualitas tidur tidak nyenyak sering

terbangun karena sesak nafas, pasien nyaman dengan posisi tidur bersandar

atau miring ke kanan. Data objektif terdapat perubahan jam tidur pasien,

pasien tampak letih, palpebra kehitaman. Maka penulis merumuskan masalah

keperawatan gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik

dan lingkungan.

Pada 12 Januari 2016 pukul 14.20 WIB hasil dari pengkajian di

dapatkan data subjektif, sebelum sakit pasien dan keluarga pasien

mengatakan ±2 tahun yang lalu badan pasien tidak sekurus sekarang ini, tapi

dulu tidak tahu berapa berat badan pasien karena jarang menimbang berat

badan, pasien juga mengatakan makan 3 kali sehari, jenis nasi, sayur, lauk, 1

porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air

putih dan teh, serta tidak ada keluhan, selama sakit pasien mengatakan nafsu

makan menurun karena sesak nafas, batuk dan dulu ada mual. Data objektif

hasil dari pengkajian nutrisi ABCD, Data objektif Antropometri berat badan

pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) Berat badan
56

(Kg)/Tinggi badan (m2), 46 kg/(2,56 m2) hasilnya 17,96 kg/m2 (tidak normal

atau Underweight), Biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium

pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau

kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), Clinical Sign

pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva

anemis, Dietary pasien makan 3 kali sehari dengan diit TKTP, jenis nasi,

sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per

hari, jenis air putih dan teh. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

faktor biologis.

Berdasarkan masalah keperawatan yang muncul, penulis

memprioritaskan masalah keperawatan yaitu, ketidakefektifan pola nafas

berhubungan dengan hiperventilasi, ketidakefektifan bersihan jalan nafas

berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih, intoleransi

aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen, gangguan pola tidur behubungan dengan

ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, ketidakseimbangan nutrisi kurang

dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis.

D. Rencana Keperawatan

Berdasarkan rumusan masalah yang didapatkan, maka penulis

menyusun rencana keperwatan untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas

berhubungan dengan hiperventilasi dengan tujuan setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam diharapkan sesak nafas pasien dapat berkurang
57

atau hilang. Dengan kriteria hasil, pasien menunjukan jalan nafas yang paten

(irama nafas teratur, frekuensi pernafasan dalam rentang normal), tidak ada

pernafasan cuping hidung, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan

sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,

serta otot-otot abdominalis, tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan

darah, nadi, pernafasan, suhu) (Nurarif, 2013).

Intervensi atau rencana keperawatan yang diberikan adalah airway

management (3140) : observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi

pernapasan dan suhu) pasien dengan rasional untuk mengetahui tanda-tanda

vital pasien dalam rentang normal atau tidak, posisikan pasien untuk

memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler dengan rasional untuk

membantu pengembangan rongga dada secara maksimal, peninggian kepala

tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan

gravitasi. Ajarkan teknik non farmakologi pursed lips breathing exercise

dengan rasional menurunkan tingkat sesak nafas dan skala Borg, kolaborasi

dengan dokter dalam pemberian terapi obat (injeksi Ceftriaxon 2gr/ 24 jam),

dengan rasional memberikan terapi farmakologi untuk mengobati infeksi

saluran nafas bawah (Nurarif, 2013; ISO, 2013).

Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan

nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih dengan

tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan

bersihan jalan nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien dapat

mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum,


58

pasien mampu menunjukan jalan nafas yang paten (tidak ada suara nafas

tambahan whezzing) (Nurarif, 2013).

Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah

airway management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, dengan

rasional untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien sudah dalam rentang

normal atau belum, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan,

dengan rasional untuk mengetahui adanya suara nafas tambahan, ajarkan cara

batuk efektif, dengan rasional untuk mempermudah mengeluarkan sputum,

kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat (injeksi asam

traneksamat 500mg/ 8jam, Injeksi Ranitidine 50 mg/ 12 jam, obat oral N.

asetil sistein 200mg/ 8jam, codein 10mg/ 8jam), dengan rasional untuk

memberikan pengobatan farmakologis, mengatasi pendarahan

abnormal/hemoptisis, mengobati tukak lambung, duodenum, dan mengurangi

refluks esofagus, terapi hipersekresi mukus, mengobati batuk (Nurarif, 2013;

ISO, 2013).

Rencana keperawatan untuk diagnosa intoleransi aktivitas

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan pasien dapat menunjukan penurunan toleransi aktivitas dengan

kriteria hasil pasien tidak merasa sesak nafas dan letih lemah setelah

beraktivitas, pasien mampu melakukan aktivitas sehari- hari secara mandiri

(Nurarif, 2013).
59

Intervensi keperawatan yang akan dilakukan adalah activity therapy

(0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan

latihan dengan rasional untuk mengetahui kemampuan pasien dalam

beraktivitas, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan

aktivitas dengan rasional dapat mengetahui ada tidaknya perubahan status

pernafasan sebelum dan sesudah beraktivitas,bantu pasien identifikasi

penyebab keletihan dengan rasional untuk mengetahui penyebab keletihan,

kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat (obat oral Diovan

80mg/ 12jam, Furosemid 40mg/ 24jam, Bisoprolol 1,25mg/24jam) dengan

rasional untuk memberikan terapi farmakologi (menurunkan tekanan darah,

mengobati udema, mengobati hipertensi (Nurarif, 2013; ISO, 2013).

Rencana keperawatan untuk diagnosa gangguan pola tidur

berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan dengan tujuan

setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan

kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi dengan baik, dengan kriteria

hasil jumlah jam tidur pasien dalam batas normal 6-8 jam per hari, kualitas

tidur pasien baik atau nyenyak, lingkar hitam diarea sekitar mata berkurang

atau hilang, pasien tampak segar tidak letih setelah bangun tidur (Nurarif,

2013).

Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah

sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, dengan

rasional untuk mengetahui jam tidur pasien dalam rentang normal atau tidak,

berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang


60

nyaman) dengan rasional untuk menunjang tidur pasien agar nyenyak,

jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, dengan rasional agar pasien tahu

akan pentingnya tidur yang adekuat untuk kesehatan, kolaborasi dengan

dokter dalam pemberian obat (Vitamin C 250mg/8jam), dengan rasional

untuk memberikan terapi farmakologis(memperkuat daya tahan tubuh)

(Nurarif, 2013; ISO, 2013).

Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis dengan

tujuan setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan

kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi, dengan kriteria hasil berat badan

meningkat, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti, nafsu makan

meningkat, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, dan hasil laboratorium

dalam batas normal (hemoglobin nilai normal 13,5-17,5 g/dl) (Nurarif,

2013).

Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah

Nutrition Management (1100) : kaji intake makanan dengan rasional untuk

mengetahui pola makan/kebiasaan makan pasien karena pasien dengan

distress pernafasan sering anoreksia sehingga cenderung berat badan

menurun. Timbang berat badan pasien dengan rasional untuk mengetahui

berat badan pasien. Anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan

dalam keadaan hangat dengan rasional membantu mencegah distensi gaster

dan ketidaknyamanan, serta meningkatkan nafsu makan. Kolaborasi dengan

ahli gizi dan dokter (diit TKTP, obat Curcuma 20mg/ 12jam) rasionalnya
61

untuk menentukan diit pasien yang memenuhi asupan kalori dan nutrisi yang

optimal dan memberikan terapi farmakologis (menambah nafsu makan)

(Nurarif, 2013; ISO, 2013).

E. Implementasi

Tindakan keperawatan yang dilakukan hari pertama pada tanggal 12

Januari 2016 jam 15.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital pasien dengan

respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas. Respon objektif Tn. A

tampak nafas cuping hidung, nafas dangkal,irama tidak teratur, menggunakan

otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor,

dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, pasien terpasang O2 nasal

kanul 2 liter per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernafasan 27

kali per menit, frekuensi nadi 85 kali per menit, suhu 36,5°C.

Pada tanggal 12 Januari 2016 jam 15.05 WIB implementasi

selanjutnya adalah memposisikan pasien semi fowler dengan respom

subjektif Tn. A mengatakan nyaman, respon objektif pasien tampak nyaman

dengan posisi semi fowler. Pada jam 15.10 mengajarkan tehnik non

farmakologi pursed lips breathing exercise dengan respon subjektif Tn. A

mengatakan sesak kadang berat skala Borg 4, respon objektif pasien tampak

bernafas menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus,

scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot

abdominalis, belum ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah

latihan yaitu 27 kali per menit, skala Borg sebelum dan sesudah latihan juga

belum ada perubahan yaitu sesak kadang berat (skala 4).


62

Pada jam 15.25 memantau frekuensi pernafasan pasien dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas saat batuk, respon objektif Tn. A

tampak sesak saat batuk, frekuensi pernafasan 27 kali per menit. Pada jam

15.35 melakukan auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan

dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas dan batuk berdahak,

respon objektif Tn. A tampak sering batuk, suara paru vesikuler pada dada

kanan dan terdengar suara tambahan whezzing pada dada kiri. Pada jam 15.45

mengajarkan batuk efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan

lumayan nyaman dahak bisa keluar, respon objektif sputum keluar berwarna

putih kekuningan kental kurang lebih 1 sendok makan dan sudah tidak ada

darah. Pada jam 16.00 berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat

injeksi asam traneksamat 500mg, obat oral N. Asetil sistein 200 mg dan obat

oral vitamin C 250 mg dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bersedia

diberi obat, respon objektif Tn. A tampak kooperatif, obat sudah masuk

semua obat injeksi asam traneksamat 500mg, obat oral N. Asetil sistein 200

mg dan obat oral vitamin C 250 mg.

Pada jam 16.05 mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan

aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan belum bisa

beraktivitas mandiri pasti dibantu istrinya atau anaknya karena setelah

beraktivitas pasti sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak dalam

beraktivitas selalu dibantu oleh istri atau anaknya. Pada jam 16.10 memantau

frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas dengan

respon subjektif Tn. A mengatakan masih sesak nafas, respon objektif Tn. A
63

tampak masih terpasang oksigen nasal kanul 2 liter per menit, frekuensi

pernafasan 27 kali per menit. Pada jam 16.15 mengidentifikasi penyebab

keletihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak, letih dan lemas

setelah beraktivitas, respon objektif Tn. A beraktivitas dibantu oleh

kelurganya.

Pada jam 16.20 mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena

sesak nafas, sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari, tidur siang 2 jam,

selama sakit tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, Tn. A nyaman dengan

posisi tidur bersandar atau miring ke kanan, respon objektifnya Tn. A tampak

letih, lingkar hitam di area sekitar mata. Pada jam 16.25 menjelaskan

pentingnya tidur yang adekuat dengan respon subjektif Tn. A mengatakan

sudah mengerti pentingnya tidur yang cukup, respon objektif Tn. A tampak

mengerti akan pentingnya tidur yang adekuat. Pada jam 16.35 WIB mengkaji

intake makanan pasien dengan respon subjektif pasien mengatakan makan 3

kali sehari dari rumah sakit, jenis nasi, sayur, lauk, habis 1/2 porsi piring saja

karena kurang nafsu makan, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari,

jenis air putih dan teh, respon objektif pasien tampak tampak kurus, turgor

kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis. Pada jam 16.40 WIB

menganjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan

hangat dengan respon Tn. A mengatakan suka dengan makanan yang masih

hangat dan akan memakan makanan sedikit tapi sering, respon objektif pasien

tampak kooperatif dan paham. Pada jam 17.00 berkolaborasi dengan ahli gizi
64

(memberikan makan malam pada pasien) dengan respon subjektif Tn. A

mengatakan sudah makan 1 porsi habis karena makanan masih hangat, respon

objektif pasien tampak nafsu makan sudah bertambah dengan menghabiskan

1 porsi piring makanan dari rumah sakit.

Pada jam 20.00 WIB berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian

obat injeksi Asam traneksamat 500mg dengan respon subjektif Tn. A

mengatakan bersedia di beri obat, respon objektif obat sudah masuk semua

injeksi Asam traneksamat 500 mg. Pada jam 20.35 WIB memberikan

lingkungan yang nyaman (membatasi pengunjung, memposisikan pasien

yang nyaman) dengan respon subjektif Tn. A mengatakan nyaman dengan

tidur posisi terlentang bersandar atau miring ke kanan kalau miring kekiri

terasa sesk nafas, respon objektif Tn. A tampak nyaman tidur dengan posisi

bersandar atau miring ke kanan.

Tindakan keperawatan yang dilakukan hari kedua pada tanggal 13

Januari 2016 jam 07.30 WIB mengobservasi tanda-tanda vital pasien dengan

respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas. Respon objektif Tn. A

tampak nafas cuping hidung, nafas dangkal, irama tidak teratur,

menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,

pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta musculus abdominalis, pasien

terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit, tekanan darah 120/80 mmHg,

frekuensi pernapasan 26 kali per menit, frekuensi nadi 80 kali per menit, suhu

36,5°C. Pada jam 08.00 WIB implementasi selanjutnya adalah berkolaborasi

dengan dokter dalam pemberian obat injeksi asam traneksamat 500 mg, obat
65

oral furosemid 40mg, Diovan 80 mg, N.Asetil sistein 200mg, Codein 10mg,

Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg, Bisoprolol 1,25 mg dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan bersedia diberi obat, respon objektif Tn. A

tampak kooperatif, obat sudah masuk semua injeksi Asam traneksamat 500

mg, obat oral furosemid 40 mg, Diovan 80 mg, N.Asetil sistein 200 mg,

Codein 10 mg, Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg, Bisoprolol 1,25 mg.

Pada jam 08.20 WIB memposisikan pasien semi fowler dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan nyaman, respon objektif pasien tampak nyaman

dengan posisi semi fowler. Pada jam 08.35 WIB mengajarkan tehnik non

farmakologi pursed lips breathing exercise dengan respon subjektif Tn. A

mengatakan sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan

sesak sedang (skala 3). Objektif : pasien tampak nafas tanpa cuping hidung,

ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,

pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, ada

perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan

sesudah latihan sesak sedang (skala 3), dan ada perubahan frekuensi

pernafasan, sebelum latihan 26 kali per menit, setelah latihan 25 kali

permenit. Pada jam 08.40 WIB memantau frekuensi pernafasan pasien

dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang sudah tidak

seperti kemarin, tadi sudah bertemu dengan dokter R dan di ijinkan pulang

nanti siang tetapi latihan lepas selang oksigen dulu, respon objektif Tn. A

frekuensi pernafasan 25 kali per menit, sudah tidak memakai selang oksigen

sesuai advice dari dokter R jam 08.00 . Pada jam 09.45 WIB memantau batuk
66

efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan lumayan nyaman dahak

bisa keluar, dahak lebih sedikit dari kemarin terasa lega plong, respon objektif

pasien tampak sudah bisa melakukan batuk efektif dengan keluarnya sputum

berwarna putih tidak kental kurang lebih 1/4 sendok makan dan sudah tidak

ada darah. Pada jam 09.50 WIB melakukan auskultasi bunyi nafas dan

mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan

sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan didada terasa

plong, respon objektif Tn. A tampak batuk nya sudah jarang, suara paru

vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar suara tambahan

whezzing. Pada jam 09.55 WIB memposisikan pasien semi fowler dengan

respon subjektif Tn. A mengatakan nyaman, sesak nafas berkurang, respon

objektif pasien tampak nyaman dengan posisi semi fowler, frekuensi

pernafasan 25 kali per menit.

Pada jam 10.00 mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan

aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bisa makan

minum secara mandiri dan mau mencoba untuk mandi sendiri sesuai perintah

dokter M tadi pagi, mandi tidak boleh pakai gayung karena berat diganti

pakai selang, respon objektif Tn. A tampak mandiri dalam makan minum,

mandi masih dijaga istrinya dan aktivitas yang lain masih dibantu oleh istri

atau anaknya. Pada jam 10.05 WIB memantau frekuensi pernafasan sebelum

dan sesudah melakukan aktivitas dengan respon subjektif Tn. A mengatakan

sesak nafas berkurang, respon objektif Tn. A tidak ada perubahan frekuensi

pernafasan sebelum dan setelah aktivitas frekuensi pernafasan 25 kali per


67

menit. Pada jam 10.10 WIB mengidentifikasi penyebab keletihan dengan

respon subjektif Tn. A mengatakan sesak muncul lagi kalau letih dan lemas

setelah beraktivitas, respon objektif Tn. A tampak sedang duduk tidak

beraktivitas hanya berbincang-bincang dengan anaknya.

Pada jam 10.15 memantau kebutuhan tidur pasien dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur nyenyak, ada penambahan jam

tidur dari tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, menjadi 5-6 jam sehari dan

tidur siang 2 jam, respon objektifnya Tn. A tampak masih ada lingkar hitam

di area sekitar mata. Pada jam 10.20 memberikan lingkungan yang nyaman

(membatasi pengunjung, memposisikan pasien yang nyaman) dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan masih nyaman dengan tidur posisi miring ke

kanan dan bed ditinggikan, respon objektif Tn. A tampak nyaman dan bersiap

untuk istirahat tidur. Pada jam 11.20 WIB memantau intake makanan pasien

dengan respon subjektif pasien mengatakan sudah nafsu makan, makan habis

1 porsi piring, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih

dan teh, respon objektif pasien tampak kurus, turgor kulit baik, mukosa bibir

lembab, konjungtiva tidak anemis. Pada jam 12.10 WIB berkolaborasi dengan

dokter dalam pemberian obat Injeksi Ranitidine 50 mg, obat oral n. Asetil

sistein 200 mg, Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg dengan respon subjektif

Tn. A mengatakan bersedia di beri obat, respon objektif obat sudah masuk

semua ranitidine 50 mg, N. Asetil sistein 200 mg, Vitamin C 250 mg,

Curcuma 20 mg. Pada jam 12.20 berkolaborasi dengan ahli gizi (memberikan

makan pada pasien) dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sudah makan
68

1 porsi piring habis, respon objektif pasien tampak nafsu makan sudah

bertambah dengan menghabiskan 1 porsi piring makanan dari rumah sakit.

Pada jam 12.30 mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan baru saja bangun tidur, sudah bisa tidur hampir 2

jam dan tidak terbangun karena sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak

masih ada lingkar hitam di area sekitar mata. Jam 12.50 melakukan auskultasi

bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn.

A mengatakan sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan

didada terasa plong, respon objektif Tn. A tampak batuknya sudah jarang,

suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar suara

tambahan whezzing pada dada kiri. Pada jam 13.20 mengobservasi tanda-

tanda vital pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas

sudah sangat berkurang dan diijinkan pulang oleh dokter. Respon objektif Tn.

A tampak senang sudah boleh pulang, tekanan darah 120/80 mmHg,

frekuensi pernapasan 25 kali per menit, frekuensi nadi 80 kali per menit, suhu

36,5°C.

Tindakan keperawatan yang dilakukan hari ketiga pada tanggal 14

Januari 2016 jam 10.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital pasien dengan

respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas sudah berkurang. Respon

objektif Tn. A tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi pernafasan 25 kali per

menit, frekuensi nadi 72 kali per menit, suhu 35°C. Pada jam 10.15

memberikan terapi non farmakologi pursed lip breathing exercise respon

subjektif Tn. A mengatakan sebelum latihan sesak nafas sedang (skala 3) dan
69

setelah latihan menjadi sesak nafas ringan (skala 2), respon obyektif Tn. A

tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan

sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,

serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan

skala Borg 3 (sesak sedang), dan setelah latihan skala Borg 2 (sesak nafas

ringan), ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 25 kali per

menit dan setelah latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit.

Pada jam 10.30 memantau cara batuk efektif respon Tn. A mengatakan

sudah bisa melakukan batuk efektif, batuk sangat jarang, dahak sangat sedikit

putih encer, respon objektif Tn. A tampak sudah bisa melakukan batuk

efektif, dahak keluar sangat sedikit ¼ sendok makan tidak ada darah, warna

putih, encer seperti air liur. Jam 10.45 WIB melakukan auskultasi bunyi

nafas dan catat adanya suara tambahan respon subjektif Tn. A mengatakan

merasa sudah lega, respon objektif suara vesikuler, tidak ada suara tambahan

whezzing. Jam 10.55 mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan

aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan semua aktivitas

sudah bisa mandiri tetapi tetap di awasi oleh istri atau anaknya, respon

objektif Tn. A tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi

istri dan anaknya. Jam 11.10 mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur

siang 2 jam, baru saja bangun tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan

minum obat siang tidur lagi, respon objektif Tn. A tampak masih ada lingkar

hitam di area sekitar mata.


70

F. Evaluasi

Setelah dilakukan perencanaan keperawatan dan tindakan keperawatan

hasil dari masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan

hiperventilasi pada tanggal 12 Januari 2016 jam 21.00 WIB adalah Subjektif :

pasien mengatakan masih sesak nafas kadang berat (skala 4). Objektif :

pasien tampak nafas cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan

sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,

serta otot-otot abdominalis, belum ada perubahan frekuensi pernafasan

sebelum dan sesudah latihan yaitu 27 kali per menit, skala Borg sebelum dan

sesudah latihan juga belum ada perubahan yaitu sesak kadang berat (skala 4),

irama tidak teratur, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 85 kali per menit,

pernafasan 27 kali per menit, suhu 36,5°C. Analisa: masalah keperawatan

ketidakefektifan pola nafas belum teratasi. Planning: airway management

(3140): observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan

suhu) pasien, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi

semi fowler, ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise,

kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat.

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan

jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih pada

tanggal 12 Januari 2016 jam 21.05 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan

sesak nafas saat batuk dan dahak bisa keluar. Objektif : pasien tampak bisa

melakukan batuk efektif dan dahak bisa keluar warna putih kekuningan,

kental, tidak ada darah, kurang lebih 1 sendok makan, suara tambahan
71

whezzing masih terdengar. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan

bersihan jalan nafas teratasi sebagian, yaitu pasien dapat mendemonstrasikan

batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum. Planning: airway

management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, auskultasi suara

nafas dan catat adanya suara tambahan, pantau cara batuk efektif, kolaborasi

dengan dokter dalam pemberian terapi obat.

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

pada tanggal 12 Januari 2016 jam 21.10 WIB adalah Subjektif: pasien

mengatakan belum bisa beraktivitas mandiri pasti dibantu istrinya atau

anaknya karena setelah beraktivitas pasti sesak nafas. Objektif: pasien tampak

dalam beraktivitas selalu dibantu oleh istri atau anaknya, frekuensi pernafasan

27 kali per menit. Analisa: masalah keperawatan intoleransi aktivitas belum

teratasi. Planning: activity therapy (0224): kaji tingkat kemampuan pasien

untuk melakukan aktivitas dan latihan, pantau frekuensi pernafasan sebelum

dan sesudah melakukan aktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab

keletihan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat.

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, gangguan pola tidur

behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada tanggal 12

Januari 2016 jam 21.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan

mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena sesak nafas,

sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari, tidur siang 2 jam, selama sakit

tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, pasien nyaman dengan posisi tidur
72

bersandar atau miring ke kanan. Objektif : pasien tampak letih, lingkar hitam

di area sekitar mata. Analisa : masalah belum teratasi. Planning: sleep

enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan

lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang nyaman),

jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian obat (Vitamin 250 mg/ 8 jam).

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Pada

tanggal 12 Januari 2016 jam 21.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan

nafsu makan sudah bertambah, suka dengan makan makanan yang masih

hangat dan habis 1 porsi piring. Objektif: pasien tampak nafsu makan

meningkat, habis 1 porsi piring makanan dari rumah sakit, turgor kulit masih

kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis, berat badan 46 kg tidak ada

penurunan. Analisa: masalah masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan teratasi sebagian, yaitu nafsu

makan meningkat, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti. Planning

: Nutrition Management (1100) : kaji intake makanan, timbang berat badan

pasien, anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan

hangat, kolaborasi dengan ahli gizi.

Evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan

dengan hiperventilasi pada tanggal 13 Januari 2016 jam 14.00 WIB adalah

Subjektif : pasien mengatakan sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4)

dan sesudah latihan sesak sedang (skala 3). Objektif : pasien tampak nafas
73

tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan

sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,

serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan

sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan sesak sedang (skala 3), ada

perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 26 kali per menit dan setela

latihan 25 kali per menit, irama tidak teratur, tekanan darah 120/80 mmHg,

nadi 80 kali per menit, suhu 36,5°C. Analisa: masalah keperawatan

ketidakefektifan pola nafas teratasi sebagian, yaitu: tidak ada nafas cuping

hidung, penurunan frekuensi pernafasan dan penurunan skala Borg. Planning

: airway management (3140) : observasi tanda–tanda vital (tekanan darah,

nadi pernapasan dan suhu) pasien, posisikan pasien untuk memaksimalkan

ventilasi misal posisi semi fowler, pantau pasien dalam melakukan pursed

lips breathing exercise, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi

obat.

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan

jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih pada

tanggal 13 Januari 2016 jam 14.05 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan

sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan didada terasa

plong, nanti siang dijinkan pulang tetapi latihan lepas selang oksigen dulu.

Objektif : pasien tampak tidak memakai selang oksigen, batuk nya sudah

jarang, suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar

suara tambahan whezzing, dahak bisa keluar warna putih, kental, tidak ada

darah, kurang lebih 1/4 sendok makan. Analisa: masalah keperawatan


74

ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi, yaitu pasien dapat

mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum,

sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing. Planning: airway

management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, auskultasi suara

nafas dan catat adanya suara tambahan, ajarkan cara batuk efektif, kolaborasi

dengan dokter dalam pemberian terapi obat.

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

pada tanggal 13 Januari 2016 jam 14.10 WIB adalah Subjektif : pasien

mengatakan bisa makan minum secara mandiri dan mau mencoba untuk

mandi sendiri sesuai perintah dokter M tadi pagi, mandi tidak boleh pakai

gayung karena berat diganti pakai selang. Objektif : pasien tampak mandiri

dalam makan minum, mandi masih dijaga istrinya dan aktivitas yang lain

masih dibantu oleh istri atau, frekuensi pernafasan 25 kali per menit. Analisa :

masalah keperawatan intoleransi aktivitas teratasi sebagian, yaitue :

peningkatan aktivitas mandiri (makan minum). Planning : activity therapy

(0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan

latihan, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan

aktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab keletihan, kolaborasi dengan

dokter dalam pemberian terapi obat

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, gangguan pola tidur

behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada tanggal 13

Januari 2016 jam 14.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sudah bisa
75

tidur nyenyak, ada penambahan jam tidur dari tidur 3-4 jam sehari, tidur siang

1 jam, menjadi 5-6 jam sehari dan tidur siang 2 jam. Objektif : pasien tampak

letih, lingkar hitam di area sekitar mata. Analisa: masalah keperawatan

gangguan tidur teratasi sebagian, yaitu ada peningkatan jam tidur. Planning :

sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan

lingkungan yang nyaman (posisikan yang nyaman), jelaskan pentingnya tidur

yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Pada

tanggal 13 Januari 2016 jam 14.20 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan

nafsu makan sudah bertambah, suka dengan makan makanan yang masih

hangat dan habis 1 porsi piring. Objektif: pasien tampak nafsu makan

meningkat, habis 1 porsi piring makanan dari rumah sakit, turgor kulit baik,

mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis, berat badan 46 kg tidak ada

penurunan. Analisa: masalah masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan teratasi, yaitu nafsu makan

meningkat, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti, turgor kulit baik,

mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis. Planning : Nutrition

Management (1100) : pantau intake makanan, pantau berat badan pasien,

anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat.

Evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan

dengan hiperventilasi pada tanggal 14 Januari 2016 jam 12.00 WIB adalah

Subjektif : mengatakan sesak nafas sudah berkurang, sebelum latihan sesak


76

nafas sedang (skala 3) dan setelah latihan menjadi sesak nafas ringan (skala

2), obyektif Tn. A tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot

bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan

serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg

yaitu, sebelum latihan skala Borg 3 (sesak sedang), dan setelah latihan skala

Borg 2 (sesak nafas ringan), ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum

latihan 25 kali per menit dan setelah latihan frekuensi pernapasan 24 kali per

menit. tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi nadi 72 kali per menit, suhu

35°C Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas teratasi yaitu:

tidak ada nafas cuping hidung, penurunan frekuensi pernafasan dan

penurunan skala Borg. Planning : airway management (3140) : observasi

tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien,

posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler,

ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise, kolaborasi

dengan dokter dalam pemberian terapi obat.

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan

jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih pada

tanggal 14 Januari 2016 jam 12.05 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan

sudah bisa melakukan batuk efektif, batuk sangat jarang, dahak sangat sedikit

putih encer, Objektif : pasien tampak sudah bisa melakukan batuk efektif,

dahak keluar sangat sedikit ¼ sendok makan tidak ada warna putih, encer

seperti air liur, suara vesikuler, tidak ada suara tambahan whezzing. Analisa:

masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi, yaitu


77

pasien dapat mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan

sputum, sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing. Planning: airway

management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, auskultasi suara

nafas dan catat adanya suara tambahan, ajarkan cara batuk efektif, kolaborasi

dengan dokter dalam pemberian terapi obat.

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

pada tanggal 14 Januari 2016 jam 12.10 WIB adalah Subjektif : pasien

mengatakan semua aktivitas sudah bisa mandiri tetapi tetap diawasi oleh istri

atau anaknya. Objektif : pasien tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan

masih diawasi istri dan anaknya, frekuensi pernafasan 24 kali per menit.

Analisa : masalah keperawatan intoleransi aktivitas teratasi sebagian, yaitu :

peningkatan aktivitas mandiri (makan minum). Planning : activity therapy

(0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan

latihan, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan

aktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab keletihan, kolaborasi dengan

dokter dalam pemberian terapi obat.

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, gangguan pola tidur

behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada tanggal 14

Januari 2016 jam 12.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sudah bisa

tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru saja bangun tidur 1 jam

yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang tidur lagi. Objektif :

pasien tampak lingkar hitam di area sekitar mata. Analisa: masalah


78

keperawatan gangguan tidur teratasi sebagian, yaitu ada peningkatan jam

tidur. Planning : sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien

setiap hari, berikan lingkungan yang nyaman (posisikan yang nyaman),

jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian obat.
BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan pada Tn. A

dengan PPOK di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pembahasan

pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara

teori dengan kasus. Terkait dengan hal tersebut pada bab ini penulis akan

melakukan pembahasan tentang pemberian pursed lips breathing exercise

terhadap penurunan tingkat sesak napas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr.

Moewardi Surakarta. Mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,

implementasi dan evaluasi keperawatan.

A. Pengkajian

Pengkajian adalah proses mengumpulkan informasi atau dasar tentang

klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan

kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan.

Tujuan dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang

kesehatan klien, menentukan masalah keperawatan klien, menilai keadaan

kesehatan klien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-

langkah berikutnya (Dermawan, 2012). Dalam pengkajian terhadap Tn. A

penulis menggunakan metode autoanamnesa dan alloanamnesa, observasi

serta catatan rekam medis. Pengkajian didapatkan data, pasien bernama Tn.

A, nomor rekam medis 01325720 dengan diagnosa medis penyakit Paru

Obstruksi Kronik (PPOK). Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu

79
80

kondisi kronis yang berkaitan dengan sekelompok penyakit : emfisema, asma,

bronchitis kronis, dan bronkietasis (Deborah, 2008).

Pengkajian Tn. A pada tanggal 12 Januari 2016 dengan keluhan utama

sesak nafas. Sesak nafas merupakan suatu manifestasi gangguan interprestasi

keseimbangan otak diantara banyak aferen dan eferen, yang mengendalikan

pengiriman oksigen ke jaringan (Ringel, 2012). Sesak nafas pada pasien

PPOK terjadi karena adanya mekanisme kebutuhan ventilasi yang meningkat

akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal

asidosis laktat, penekanan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan

otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek sistemik, nutrisi

yang buruk (Ardiyansyah, 2012).

Riwayat penyakit sekarang Tn. A (62 tahun) mengatakan keluhan

batuk darah bercampur dahak dan buih sebanyak 1 sendok makan. Batuk

sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu tetapi tidak berdahak, 1 minggu sebelum

masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk berdahak dengan dahak putih

encer. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas yang sudah terjadi ± 2 tahun dan

memburuk 8 bulan ini, sesak nafas tidak dipengaruhi oleh debu atau cuaca.

Hal ini sesuai dengan teori, dimana tanda dan gejala yang muncul pada pasien

PPOK yaitu, sesak napas yang semakin berat, batuk, mengi dan produksi

sputum, biasanya terjadi pada pasien berusia lebih dari 45 tahun (Gleadle,

2007).

Ada beberapa penyebab dari penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK),

yaitu merokok, pekerjaan, polusi udara, usia (Ikawati, 2011). Pada Tn. A
81

memiliki riwayat sebagai perokok berat sejak kelas 2 Sekolah Dasar atau ± 55

tahun karena meniru bapak yang merokok dan lingkungannya dulu yang

banyak perokok, pasien merasa sesak nafas ± 2 tahun yang lalu dan batuk

dirasakan sejak 2 tahun yang lalu, sejak itu pasien berhenti merokok. Asap

rokok menyebabkan inflamasi epitel bronkus dan penghancuran radikal

oksigen pada antielastase yang pada gilirannya, megakibatkan kerusakan

alveolus dan bronkus. Kerusakan pada dinding bronkus mengakibatkan

obstruksi jalan nafas karena kehilangan elastisitas jalan nafas, peningkatan

produksi mukus atau karena keduanya. Obstruksi ekspirasi dengan

terperangkapnya udara, meningkatkan beban kerja pernafasan, dan ventilasi

yang tidak merata mengakibatkan penurunan volume pernafasan per menit.

Pasien dengan obstruksi jalan nafas akan datang dengan keluhan dispnea,

pemanjangan ekspirasi dan mengi atau whezzing (Brasher, 2008). Penulis

mendapatkan hasil tidak ada kesenjangan antara teori dengan kasus Tn. W,

yaitu penyebab dari PPOK salah satunya merokok.

Pada pola kesehatan fungsional Gordon didapatkan data pola aktivitas

dan latihan didapatkan data sebelum sakit Tn. A dapat melakukan aktivitas

secara mandiri namun selama sakit aktivitas Tn. A dibantu oleh keluarganya.

Salah satu efek sistemik pada PPOK adalah kelemahan otot yang

menyebabkan kehilangan massa otot berjalan lambat yang menunjukan

terjadi perubahan struktur dan fungsi otot skeletal pada penderita PPOK.

Dengan bertambah parahnya penyakit, penderita PPOK kehilangan banyak

otot, khususnya otot paha dan lengan atas. Selanjutnya penderita kehilangan
82

kekuatan latihan dan mengeluh lemah, sesak nafas dan berkurang aktifitas.

Tidak mengherankan bila kelemahan otot skeletal berpengaruh pada

menurunnya status kesehatan penderita PPOK (Sugiono, 2010). Penulis

menyimpulkan tidak ada kesenjangan teori dengan kasus Tn. A yaitu

penyebab kelemahan otot pada pasien PPOK.

Pada pola nutrisi dan metabolik, antropometri berat badan pasien 46

kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) 17,96 kg/m2 (tidak normal

atau Underweight), biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium

pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau

kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), clinical Sign

pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva

anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit

TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8

gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, dengan keluhan nafsu makan

menurun karena sesak nafas dan batuk, ada riwayat mual.

Pada pasien didapatkan data hemoglobin menurun dibawah normal

yaitu 12,4 g/dl nilai normalnya 13,5-17,5 g/dl, konjungtiva anemis, mukosa

bibir kering dan turgor kulit kering. Berdasarkan hasil pemeriksaan

laboratorium, diketahui kadar hemoglobin Tn. A mengalami penurunan.

Dalam teori hemoglobin berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut

oksigen serta nutrisi. Proses penghantaran oksigen ke organ atau jaringan

dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor hemodinamik berupa cadiac output

serta distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah yaitu


83

konsentrasi hemoglobin dan oxygen extration yaitu perbedaan saturasi

oksigen antara darah arteri dan vena, oleh karena itu kapasitas peghantar

oksigen akan menurun jika kadar hemoglobin kurang dari 7 g/dl (Paniselvan,

2011). Menurut Irianto (2014) gejala-gejala dari PPOK sering timbul sesak

napas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Akhirnya sesak

napas akan dirasakan saat melakukan kagiatan rutin sehari-hari, seperti

dikamar mandi, mencuci baju, berpakaian dan menyiapkan makanan.

Sepertiga penderita mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai

makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga penderita jadi

malas tidak nafsu makan. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah

didapatkan, penulis menyimpulkan tidak ada kesenjangan antara teori dengan

kasus Tn. A.

Hasil dari pemeriksaan fisik paru yang telah dilakukan penulis pada

Tn. A didapatkan bentuk dada barel chest, simetris kanan kiri, nafas pendek,

produksi sputum putih kekuningan sudah tidak ada darah, terdapat

penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,

pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis. Saat

dilakukan palpasi vocal fremitus kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi

sonor, saat dilakukan auskultasi vesikuler pada dada kanan dan terdengar

suara tambahan whezzing pada dada kiri. Pada pemeriksaan fisik paru pada

pasien PPOK didalam teori meliputi inspeksi terlihat adanya peningkatan

usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan,

bentuk dada barrel chest, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, pada
84

palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun, perkusi

didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar

atau menurun, Pada auskultasi, sering didapatkan bunyi suara napas ronkhi

dan whezzing sesuai tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus (Muttaqin,

2014). Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik paru dengan teori tidak ada

kesenjangan teori dengan kasus Tn. A.

Pada Tn. A dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan

laboratorium yang dilakukan pada tanggal 07 Januari 2016 : Hemoglobin 12,4

g/dl (13,5-17,5 g/dl), Hematokrit 38 % (33-45%), Leukosit 5,6 ribu/uL (4,5-

11 ribu/uL), Trombosit 241 ribu/uL (150-450 ribu/uL), Monosit 3,83 Juta/uL

(4,50-5,90 Juta/uL), SGOT 41 U/L (<35 U/L), SGPT 22 U/L (<45 U/L),

Albumin 3,5 U/L (3,2-4,6 U/L), pada pemeriksaan sputum hasil mikroskopis

direk pengecatan gram ditemukan kuman gram positif Coccus, leukosit 3-8/

LPB, 0-2/ LPB, pada pengecatan BTA dari sputum sewaktu hasil negatif,

pagi hasil negatif, sewaktu negatif, dan pada pemeriksaan foto thorax

klinisnya hemoptisis, dengan foto thorax PA/Lat, Cor membesar dengan CTR

71 %, Pulmo tak tampak infiltrat dikedua suprahiler kanan kiri. Sinus

Costphrenicus kanan kiri antero posterior tajam, Hemidiaphragma kanan kiri

normal, Trakea ditengah, sistema tulang baik, kesimpulannya Cardiomegaly,

tak tampak jelas gambaran TB paru.

Pada pasien PPOK perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu,

pengukuran fungsi paru, analisa gas darah, pemeriksaan laboratorium

(hemoglobin, hematokrit, jumlah sel darah merah, eosinofil, pulse oxymetri),


85

pemeriksaan sputum, pemeriksaan radiologi thoraks foto (Muttaqin, 2008).

Berdasarkan teori diatas penulis menyimpulkan adanya kesenjangan teori

dengan kasus Tn. A karena tidak dilakukan pemeriksaan uji fungsi paru.

Selama di ruang anggrek I pada tanggal 12-14 Januari 2016 Tn. A

mendapatkan terapi parenteral infus Nacl 0,9% 20 tpm. Terapi intravena

injeksi Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam merupakan golongan obat

hemostatik, fungsinya untuk mengatasi pendarahan abnormal dan gejala

penyakit lainnya seperti hemoptisis (ISO, 2013). Injeksi Ranitidine 50 mg/

12 jam merupakan golongan antasida, fungsinya mengobati tukak lambung,

duodenum, dan mengurangi refluks esofagus (ISO, 2013). Injeksi Ceftriaxon

2 gr/ 24 jam yang merupakan golongan antimikroba atau antibakteri,

fungsinya mengobati infeksi saluran pernafasan bawah (ISO, 2013). Pasien

juga mendapat terapi peroral Furosemid 40 mg x 1 (pagi) termasuk dalam

golongan obat diuretik, fungsinya mengobati udema karena gangguan

jantung, ginjal dan melancarkan pengeluaran urine (ISO, 2013). Diovan 80

mg x 1 termasuk golongan antihipertensi, fungsinya menurunkan tekanan

darah tinggi(ISO, 2013). Bisoprolol 1,25 mg x 1 (pagi) merupakan golongan

antihipertensi, fungsinya untuk pengobatabn hipertensi. N. Asetil sistein 200

mg x 3 golongan obat untuk saluran pernafasan, fungsinya untuk

mengencerkan dahak(ISO, 2013). Codein 100 mg x 3 golongan analgesik,

fungsinya untuk mengobati batuk (ISO, 2013). Vitamin C 250 mg x 3

golongan vitamin dan mineral, fungsinya untuk pencegahan dan mengatasi

kekurangan vitamin C, memperkuat daya tahan tubuh (ISO, 2013). Curcuma


86

20 mg x 2 golongan obat saluran cerna, fungsinya menambah nafsu makan,

membantu pengobatan gangguan fungsi hati dan memelihara kesehatan(ISO,

2013).

B. Perumusan Masalah

Diagnosa keperawatan yaitu pernyataan yang menggambarkan respon

manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi aktual atau potensial)

dari individu atau kelompok tempat perawat secara legal untuk

mengidentifikasi dan perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk

menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, meyingkirkan, atau

mencegah perubahan (Rohmah & Walid, 2012).

Dari data pengkajian yang sudah didapat penulis, tidak semua

diagnosa yang ada dalam teori muncul pada Tn. A. Diagnosa yang tidak

muncul adalah gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya

suplai oksigen dengan alasan karena pada pengkajian batasan karakteristik

gangguan pertukaran gas belum terjadi pada Tn. A tidak didapat data klien

kebingungan, klien mengalami sakit kepala saat bangun, gangguan

penglihatan, gelisah, klien juga dalam keadaan sadar. Sedangkan pengertian

dari gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau kekurangan pada

oksigenasi dan atau eliminasi pada membran alveolar-kapiler (Herdman,

2010).

Diagnosa pertama yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan

dengan hiperventilasi. Ketidakefektifan bersihan pola nafas adalah inspirasi

atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat (Nurarif, 2013).
87

Hiperventilasi merupakan peningkatan jumlah udara yang masuk ke dalam

paru-paru karena kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan metabolik untuk

pembuangan karbondioksida yang ditandai dengan peningkatan denyut nadi,

nafas pendek, dada nyeri dan penurunan konsentrasi karbodioksida (Jamilah,

2013).

Pada Tn. A penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan data subjektif

pasien mengatakan sesak nafas, sesak nafas dirasakan kurang lebih sejak 2

tahun yang lalu, sedangkan data objektifnya pasien tampak bernafas dengan

cuping hidung, menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus,

scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot

abdominalis, pasien terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit, tekanan darah

120/80 mmHg, frekuensi pernapasan 27 kali per menit, irama tidak teratur,

nafas dangkal, nadi frekuensi 85 kali per menit, suhu tubuh 36,5 °C.

Berdasarkan (Herdman, 2011), data pada Tn. A sesuai dengan batasan

karakteristik ketidakefektifan pola nafas perubahan kadalaman pernafasan,

perubahan ekskursi dada, melakukan posisi tiga titik bradipnea, penurunan

tekanan ekspirasi, penurunan tekanan inspirasi, penurunan ventilasi semenit,

penurunan kapasitas vital paru, dispnea, peningkatan diameter anterior

posterior, pernapasan cuping hidung, ortopnea, fase ekspirasi memanjang,

pernafasan bibir mencucu, takipnea, penggunaan otot aksesorius untuk

bernafas. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Berdasarkan

pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian antara teori
88

dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis dan teori

tidak ada kesenjangan.

Diagnosa kedua ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan

dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih. Ketidakefektifan bersihan

jalan nafas adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau

obstruksi dari saluran nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas

(Nurarif, 2013). Mukus dalam jumlah berlebih selain karena infeksi, keadaan

tertentu yang bersifat kongenital atau defisiensi alfa-anti-protease inhibitor

akan menyebabkan bronkus terus menerus menghasilkan sekret yang

berlebihan (Danusantoso, 2011).

Pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien

mengatakan saat batuk akan muncul sesak nafas dan mengeluarkan dahak,

batuk sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu namun tetapi tidak berdahak,

sedangkan data objektifnya ditandai dengan terdapat suara tambahan

whezzing, frekuensi pernapasan 28 kali per menit, irama tidak teratur,

kesulitan bicara, produksi sputum berlebih warna putih kekuningan dan

kental tidak ada darah. Data pada Tn. A sesuai dengan batasan karakteristik

yang ada pada masalah keperawatan ini yaitu, tidak ada batuk, ada suara

nafas tambahan (ronkhi, whezzing), perubahan frekuensi nafas, perubahan

irama nafas, sianosis, kesulitan bicara karena batuk produktif, penurunan

bunyi nafas, ortopnea, gelisah, dan produksi sputum (Herdman, 2011). Maka

penulis merumuskan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan

nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih.


89

Berdasarkan pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian

antara teori dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis

dan teori tidak ada kesenjangan.

Untuk menegakkan diagnosa yang ketiga yaitu intoleransi aktivitas

berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen. Intoleransi aktivitas

adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan

atau menyelesaiakan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang

ingin dilakukan (Nurarif, 2013). Ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan

oksigen menyebabkan intoleransi aktivitas karean dengan pasien gagal

jantung akan cepat merasa lelah dan hal ini terjadi akibat curah jantung yang

berkurang yang dapat menghambat pembuangan sisa hasil metabolisme,

perfusi yang kurang pada otot-otot rangka yang menyebabkan kelemahan dan

keletihan (Muttaqin, 2013).

Pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien

mengatakan sesak nafas, mudah lelah dan lemas setelah melakukan aktivitas,

data objektif pasien tampak letih dan terengah-engah setelah beraktivitas,

frekuensi pernapasan 27 kali per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi

frekuensi 85 kali per menit, dari data aktivitas latihan antara lain, seperti

makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan

ambulasi atau ROM harus dibantu orang lain ( skor penilaian 2). Maka

penulis merumuskan masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan

dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Dari data

yang didapatkan sesuai dengan batasan karateristik dari intoleransi aktivitas


90

menyatakan merasa lemah, merasakan letih, dispnea setelah beraktivitas,

ketidaknyamanan setelah beraktifitas (Nurarif, 2013).

Diagnosa keperawatan yang keempat adalah gangguan pola tidur

behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Gangguan pola

tidur merupakan gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur (Nurarif, 2013).

Batasan karakteristik gangguan pola tidur yaitu perubahan pola tidur

abnormal, keluhan verbal kurang istirahat dan kurang puas saat tidur,

melaporkan sering terjaga (Herdman, 2011).

Dari data pengkajian yang didapatkan data subjektif Tn. A

mengatakan pasien mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena

sesak nafas, sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari dari jam 21.00-05.00,

tidur siang 2 jam, kualitas tidur nyenyak dan tidak ada keluhan. Selama sakit

pasien mengatakan tidur 4-5 jam sehari, dari jam 22.00-03.00, tidur siang 1

jam, pasien nyaman dengan posisi tidur bersandar atau miring ke kanan,

sedangkan data objektifnya pasien tampak letih, lingkar hitam di area sekitar

mata. Berdasarkan pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya

kesesuaian antara teori dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara

diagnosis penulis dan teori tidak ada kesenjangan.

Diagnosa keperawatan yang kelima adalah ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis.

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh merupakan kondisi

dimana asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.

Batasan karateristik dari ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan


91

tubuh, yaitu penurunan berat badan, tidak nafsu makan, turgor kulit kering,

membran mukosa pucat, tonus otot menurun, cepat kenyang setelah makan

(Nurarif, 2013).

Untuk mengkaji status nutrisi pasien, dapat dilakukan dengan

pengkajian berdasarkan ABCD yaitu A (Anthropometric) yaitu mengkaji

status nutrisi dan ketersediaan energi otot, yang terdiri dari tinggi badan, berat

badan, lingkar lingan, dan tebal lipatan tubuh. B (Biochemical) yaitu

mengkaji status nutrisi yang ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium,

terdiri dari hemoglobin, hematokrit, dan albumin. C (Clinical sign of

nutritional status) yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda abnormal secara

fisiologisnya seperti melihat rambut, kulit, otot, mata, aktivitas dan neurologi.

D (Dietary history) yaitu mengkaji riwayat pola makan, masalah diet dari

pasien meliputi pengetahuan tentang nutrisi, kebiasaan makan, masalah diet,

dan riwayat kesehatan (Asmadi, 2008).

Dari data pengkajian didapatkan data subjektif, pasien mengatakan

nafsu makan menurun karena sesak nafas, batuk dan dulu ada mual. Data

objektif Antropometri berat badan pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks

masa tubuh (IMT) Berat badan (Kg)/Tinggi badan (m2), 46 kg/(2,56 m2)

hasilnya 17,96 kg/m2 (tidak normal atau Underweight), Biochemical dari data

hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin

12,4 g/dl (Tidak normal atau kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5

U/L (Normal), Clinical Sign pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa

bibir kering, konjungtiva anemis, Dietary pasien makan 3 kali sehari dengan
92

diit TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih

8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh. Berdasarkan pegkajian

pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian antara teori dengan

tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis dan teori tidak ada

kesenjangan.

Untuk memprioritaskan diagnosa keperawatan pada Tn. A penulis

menggunakan prioritas Teori Hierarki Maslow yaitu terdapat lima kebutuhan

dasar manusia yang harus terpenuhi, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan

rasa aman dan keselamatan, kebutuhan rasa cinta dan kasih sayang,

kebutuhan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri (Asmadi, 2008).

Masalah keperawatan gangguan oksigenasi yang termasuk dalam kebutuhan

fisiologis menjadi prioritas utama yang dipilih penulis dari beberapa masalah

yang muncul pada pasien. Sehingga pada Tn. A diagnosa utama adalah

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, alasan penulis

karena kebutuhan oksigenasi berperan penting dalam proses metabolisme sel,

kebutuhan oksigen harus terpenuhi apabila kebutuhan oksigen dalam tubuh

berkurang maka akan menimbulkan dampak yang bermakna bagi tubuh salah

satunya kematian. Masalah kebutuhan oksigenasi merupakan masalah utama

dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Mubarok, 2007).

C. Intervensi

Perencanaan atau Intervensi keperawatan adalah pengembangan

strategi desain untuk mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah

yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan. Desain perencanaan


93

menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan cara

menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien (Rohmah & Walid, 2012).

Pedoman penuisan kriteria hasil berdasarkan SMART (Spesific, Measurable,

Achieveble, Reasonable, dan Time). Spesific adalah berfokus pada klien,

measurable dapat diukur, dilihat, diraba, dirasakn dan dibau. Achieveble

adalah tujuan yang harus dicapai, sedangkan reasonable merupakan tujuan

yang harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Time adalah batasan

pencapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan waktunya

(Dermawan, 2012).

Pada diagnosa pertama, penulis mencantumkan diagnosa keperawatan

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, dengan tujuan

dalam waktu 3 kali 24 jam setelah diberikan intervensi diharapkan sesak

nafas berkurang atau hilang dengan kriteris hasil berdasarkan NOC (Nursing

Outcomes Classification) : pasien menunjukan jalan nafas yang paten (irama

nafas teratur, frekuensi pernafasan dalam rentang normal), tidak ada

pernafasan cuping hidung, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan

sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,

serta otot-otot abdominalis, dan tanda-tanda vital dalam rentang normal

(tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu) (Nurarif, 2013).

Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis

menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention

Classification) : airway management (3140) : observasi tanda–tanda vital

(tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien dengan rasional untuk
94

mengetahui tanda-tanda vital pasien dalam rentang normal atau tidak,

posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler

dengan rasional untuk membantu pengembangan rongga dada secara

maksimal, ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise

dengan rasional menurunkan tingkat sesak nafas, kolaborasi dengan dokter

dalam pemberian terapi obat, dengan rasional memberikan terapi

farmakologi.

Menurut Smeltzer (2008) bahwa tehnik pursed lips breathing exercise

dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan mandiri dengan tujuan

untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi

kerja pernapasan, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan

menghilangkan ansietas dan mencegah pola aktivitas otot pernapasan yang

tidak berguna, melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi uadara yang

terperangkap, serta mengurangi kerja bernafas.

Diagnosa keperawatan kedua ketidakefektifan bersihan jalan nafas

berhubungann dengan produksi mukus berlebih, dengan tujuan dalam waktu

3 kali 24 jam setelah diberikan intervensi diharapkan produksi sputum

berkurang bahkan hilang dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing

Outcomes Classification) : suara nafas tambahan paru seperti whezzing

hilang, menunjukan batuk efektif, produksi sputum menurun, mempunyai

jalan nafas yang paten (Nurarif, 2013).

Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis

menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention


95

Classification) : airway management (3140): pantau frekuensi pernafasan

pasien, dengan rasional untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien sudah

dalam rentang normal atau belum, auskultasi suara nafas dan catat adanya

suara tambahan, dengan rasional untuk mengetahui adanya suara nafas

tambahan, ajarkan cara batuk efektif, dengan rasional untuk mempermudah

mengeluarkan sputum, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi

obat, dengan rasional untuk memberikan pengobatan farmakologis (Nurarif,

2013).

Diagnosa ketiga intoleransi aktivitas berhubungan dengan

ketidakseimbangan suplai oksigen, penulis membuat tujuan yaitu setelah

dilakukan intervensi selama 3 kali 24 jam diharapkan pasien menunjukan

peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil berdasarkan

NOC (Nursing Outcomes Classification) : menurunnya keluhan tentang sesak

nafas setelah melakukan aktivitas, mampu melakukan ADL secara mandiri,

menyeimbangan aktivitas dan istirahat (Nurarif, 2013).

Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis

menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention

Classification) : activity therapy (0224) : kaji tingkat kemampuan pasien

untuk melakukan aktivitas dan latihan dengan rasional untuk mengetahui

kemampuan pasien dalam beraktivitas, pantau frekuensi pernafasan sebelum

dan sesudah melakukan aktivitas dengan rasional dapat mengetahui ada

tidaknya perubahan status pernafasan sebelum dan sesudah beraktivitas, bantu

pasien identifikasi penyebab keletihan dengan rasional untuk mengetahui


96

penyebab keletihan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

dengan rasional untuk memberikan terapi farmakologi (Nurarif, 2013).

Diagnosa keempat gangguan pola tidur behubungan dengan

ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, penulis membuat tujuan yaitu setelah

dilakukan intervensi selama 3 kali 24 jam diharapkan kebutuhan dan kualitas

tidur pasien terpenuhi dengan baik, dengan kriteria hasil jumlah jam tidur

pasien dalam batas normal 6-8 jam per hari, kualitas tidur pasien baik atau

nyenyak, lingkar hitam diarea sekitar mata berkurang atau hilang, pasien

tampak segar tidak letih setelah bangun tidur (NANDA, 2013).

Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis

menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention

Classification) : sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien

setiap hari, dengan rasional untuk mengetahui jam tidur pasien dalam rentang

normal atau tidak, berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung,

posisikan yang nyaman) dengan rasional untuk menunjang tidur pasien agar

nyenyak, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, dengan rasional agar pasien

tahu akan pentingnya tidur yang adekuat untuk kesehatan, kolaborasi dengan

dokter dalam pemberian obat, dengan rasional untuk memberikan terapi

farmakologis (Nurarif, 2013).

D. Implementasi

Implementasi adalah realisasi tindakan untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan


97

data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah

pelaksanaan tindakan, serta melinilai data yang baru (Rohmah & Walid,

2012).

Penulis melakukan implementasi berdasarkan intervensi yang telah

disusun sedemikian rupa dengan memperhatikan aspek tujuan dan kriteria

hasil dalam rentang normal yang diinginkan. Diagnosa keperawatan yang

pertama adalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan

hiperventilasi. Implementasi yang dilakukan selama 3 hari berturut-turut

antara lain : mengobservasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan

dan suhu) pasien, memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal

posisi semi fowler, mengajarkan tehnik non farmakologi pursed lips

breathing exercise, berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

(Nurarif, 2013).

Pada diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan

hiperventilasi, penulis menekankan pada pemberian pursed lips breathing

exercise untuk menurunkan tingkat sesak nafas pada penderita Penyakit Paru

Obstruksi Kronik (PPOK). Dari pemberian pursed lips breathing exercise

selama 3 hari berturut-turut dan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 5

pengulangan didapatkan hasil sebagai berikut :

Pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016 jam 15.10 WIB pemberian

pursed lips breathing exercise, sebelum latihan respon subjektif Tn. A

mengatakan sesak kadang berat skala Borg 4, respon objektif pasien tampak

bernafas menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus,


98

scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot

abdominalis, frekuensi pernafasan 27 kali per menit. Setelah diberikan latihan

respon subjektif Tn. A mengatakan sesak kadang berat skala Borg 4, respon

objektif pasien tampak bernafas dengan cuping hidung dan menggunakan otot

bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan

serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 27 kali

permenit. Pada hari pertama pemberian pursed lips breathing exercise belum

ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah latihan yaitu 27 kali

per menit, skala Borg sebelum dan sesudah latihan juga belum ada perubahan

yaitu sesak kadang berat (skala 4), serta masih bernafas dengan cuping

hidung dan penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus,

scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot

abdominalis.

Pada hari kedua tanggal 13 Januari 2016 jam 08.35 WIB pemberian

pursed lips breathing exercise, sebelum latihan respon subjektif Tn. A

mengatakan sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4). Objektif : pasien

tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan

sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,

serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 26 kali per menit. Setelah

latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sebelum latihan sesak sedang

(skala 3). Objektif : pasien tampak nafas tanpa cuping hidung, masih terdapat

penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,

pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis,


99

frekuensi pernafasan 25 kali per menit. Ada perubahan skala Borg yaitu,

sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan sesak

sedang (skala 3), dan ada perubahan frekuensi pernafasan, sebelum latihan 26

kali per menit, setelah latihan 25 kali permenit.

Pada hari ketiga tanggal 14 Januari 2016 jam 10.00 WIB pemberian

pursed lips breathing exercise, sebelum latihan respon subjektif Tn. A

mengatakan sesak nafas sedang (skala 3). Respon obyektif Tn. A tampak

nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan

sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,

serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 25 kali per menit. setelah

latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas ringan (skala 2).

Respon obyektif Tn. A tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan

otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor,

dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 24

kali per menit. Ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan skala Borg 3

(sesak sedang), dan setelah latihan skala Borg 2 (sesak nafas ringan), ada

perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 25 kali per menit dan setelah

latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit.

Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan pernapasan

dengan cara penderita duduk dan inspirasi dalam saat ekspirasi penderita

menghembuskan melalui mulut hampir tetutup seperti bersiul secara perlahan

(Smeltzer, 2008).
100

Pursed Lip Breathing Exercise adalah suatu latihan bernafas yang

terdiri dari dua mekanisme yaitu inspirasi secara dalam serta ekspirasi aktif

dalam dan panjang. Proses ekspirasi seacara normal merupakan proses

mengeluarkan nafas tanpa menggunakan energi berlebih. Bernafas Pursed Lip

Breathing Exercise melibatkan proses ekspirasi secara panjang. Inspirasi

dalam dan ekspirasi panjang tentunya akan meningkatkan kekuatan kontraksi

otot intra abdomen sehingga tekanan intra abdomen meningkat melebihi pada

saat ekspirasi pasif. Tekanan intra abdomen yang meningkat lebih kuat lagi

tentunya akan meningkatkan pergerakan diafragma ke atas membuat rongga

thorak semakin mengecil. Rongga thorak yang semakin mengecil ini

menyebabkan tekanan intra alveolus semakin meningkat sehingga melebihi

takanan udara atmosfer. Kondisi tersebut akan menyebabkan udara mengalir

keluar dari paru ke atmosfer. Ekspirasi panjang saat bernafas Pursed Lip

Breathing Exercise juga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas dihilangkan

sehingga resistensi pernafasan menurun. Penurunan resistensi pernafasan

akan memperlancar udara yang dihirup dan dihembuskan sehinggga akan

mengurangi ssesak nafas (Smeltzer, 2008).

Teknik Pursed Lip Breathing Exercise yaitu, mengatur posisi pasien

dengan duduk ditempat tidur atau kursi, meletakkan satu tangan pasien di

abdomen (tepat dibawah proc.sipodeus) dan tangan lainnya ditengah dada

untuk merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernafas, kemudian

menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan

abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup selama
101

inspirasi dan tahan nafas selama 2 detik, dan hembuskan nafas melalui bibir

yang dirapatkan serta sedikit terbuka sambil mengkontraksikan otot-otot

abdomen selama 4 detik. Latihan ini dilakukan sehari 1 kali dengan 5 kali

pengulangan (Smeltzer, 2008; Bakti, 2015).

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, tindakan pemberian pursed lip

breathing exercise yang dilaksanakan pada Tn. A sudah sesuai jurnal yang

mendukung. Pasien mengalami penurunan tingkat sesak nafas yang dilihat

dari penurunan frekuensi pernafasan dan skala Borg. Selisih rata-rata

penurunan frekuensi pernafasan sebesar 0,67 dan selisih rata-rata penurunan

skala Borg sebesar 0,67 selama 3 hari pemberian tindakan.

Implementasi diagnosa yang kedua yaitu ketidakefektifan bersihan

jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih, pada

hari pertama tanggal 12 Januari 2016, yaitu jam 15.35 melakukan auskultasi

bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn.

A mengatakan sesak nafas dan batuk berdahak, respon objektif Tn. A tampak

sering batuk, suara paru vesikuler pada dada kanan dan terdengar suara

tambahan whezzing pada dada kiri. Pada jam 15.45 mengajarkan batuk efektif

dengan respon subjektif Tn. A mengatakan lumayan nyaman dahak bisa

keluar, respon objektif sputum keluar berwarna putih kekuningan kental

kurang lebih 1 sendok makan dan sudah tidak ada darah.

Pada implementasi hari kedua tanggal 13 Januari 2016, jam 09.45

WIB memantau batuk efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan

lumayan nyaman dahak bisa keluar, dahak lebih sedikit dari kemarin terasa
102

lega plong, respon objektif pasien tampak sudah bisa melakukan batuk efektif

dengan keluarnya sputum berwarna putih tidak kental kurang lebih 1/4

sendok makan dan sudah tidak ada darah. Pada jam 09.50 WIB melakukan

auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak

sangat sedikit dan didada terasa plong, respon objektif Tn. A tampak batuk

nya sudah jarang, suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak

terdengar suara tambahan whezzing.

Pada implementasi hari ketiga tanggal 14 Januari 2016, jam 10.30

memantau cara batuk efektif respon Tn. A mengatakan sudah bisa melakukan

batuk efektif, batuk sangat jarang, dahak sangat sedikit putih encer, respon

objektif Tn. A tampak sudah bisa melakukan batuk efektif, dahak keluar

sangat sedikit ¼ sendok makan tidak ada warna putih, encer seperti air liur.

Jam 10.45 WIB melakukan auskultasi bunyi nafas dan catat adanya suara

tambahan respon subjektif Tn. A mengatakan merasa sudah lega, respon

objektif suara vesikuler, tidak ada suara tambahan whezzing.

Tindakan batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan benar

dan pasien dapat mengeluarkan dahak dengan maksimal, namun latihan ini

hanya bisa dilakukan pada orang yang sudah bisa diajak kerja sama

(koperatif) (Potter & Pery, 2005). Pemberian latihan batuk efektif terutama

pada infeksi saluran pernafasan bawah yang berhubungan dengan akumulasi

sekret pada jalan nafas yang sering diakibatkan oleh kemampuan batuk yang

menurun atau adanya nyeri sehingga malas untuk melakukan batuk


103

(Muttaqin, 2013). Berdasarkan hasil studi kasus, tindakan yang telah

dilakukan sudah sesuai dengan teori dimana pasien dapat mengeluarkan

sputum. Maka penulis menyimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan antara

teori dengan kasus pada Tn. A.

Tindakan yang dilakukan pada Tn. A untuk diagnosa ketiga penulis

sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa

intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen

dengan kebutuhan tubuh. Tindakan pada hari pertama tanggal 12 Januari

2016 jam 16.05 penulis mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan

aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan belum bisa

beraktivitas mandiri pasti dibantu istrinya atau anaknya karena setelah

beraktivitas pasti sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak dalam

beraktivitas selalu dibantu oleh istri atau anaknya. Pada jam 16.10 penulis

memantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas

dengan respon subjektif Tn. A mengatakan masih sesak nafas, respon objektif

Tn. A tampak masih terpasang oksigen nasal kanul 2 liter per menit, tekanan

darah 120/80 mmHg, nadi 85 kali permenit, pernafasan 27 kali per menit,

suhu 36,5°C.

Pada hari kedua implementasi tanggal 13 Januari 2016, jam 10.00

penulis mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan aktivitas latihan

dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bisa makan minum secara mandiri

dan mau mencoba untuk mandi sendiri sesuai perintah dokter M tadi pagi,

mandi tidak boleh pakai gayung karena berat diganti pakai selang, respon
104

objektif Tn. A tampak mandiri dalam makan minum, mandi masih dijaga

istrinya dan aktivitas yang lain masih dibantu oleh istri atau anaknya. Pada

jam 10.05 WIB memantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah

melakukan aktivitas dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas

berkurang, respon objektif Tn. A tidak ada perubahan frekuensi pernafasan

sebelum dan setelah aktivitas frekuensi pernafasan 25 kali per menit.

Pada hari ke tiga implementasi tanggal 14 Januari 2016, Jam 10.55

penulis mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas

latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan semua aktivitas sudah bisa

mandiri tetapi tetap di awasi oleh istri atau anaknya, respon objektif Tn. A

tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi istri dan anaknya.

Tindakan yang dilakukan pada Tn. A untuk diagnosa keempat penulis

sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa

gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan

lingkungan. Tindakan pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016 jam 16.20

penulis mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A

mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena sesak nafas,

sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari, tidur siang 2 jam, selama sakit

tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam. Pada hari kedua tanggal 13 Januari

2016 jam 10.15 penulis memantau kebutuhan tidur pasien dengan respon

subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur nyenyak, ada penambahan jam

tidur dari tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, menjadi 5-6 jam sehari dan

tidur siang 2 jam, respon objektifnya Tn. A tampak masih ada lingkar hitam
105

di area sekitar mata. Pada hari ketiga tanggal 14 Januari 2016, Jam 11.10

penulis mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A

mengatakan sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru

saja bangun tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang

tidur lagi, respon objektif Tn. A tampak masih ada lingkar hitam di area

sekitar mata.

Tindakan yang dilakukan pada Tn. A untuk diagnosa kelima penulis

sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

faktor biologis. Tindakan pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016, jam

16.35 WIB penulis mengkaji intake makanan pasien dengan respon subjektif

pasien mengatakan makan 3 kali sehari dari rumah sakit, jenis nasi, sayur,

lauk, habis 1/2 porsi piring saja karena kurang nafsu makan, minum kurang

lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon objektif pasien

tampak tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva

anemis. Pada hari kedua tanggal 13 Januari 2016, Pada jam 11.20 WIB

penulis memantau intake makanan pasien dengan respon subjektif pasien

mengatakan sudah nafsu makan, makan habis 1 porsi piring, minum kurang

lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon objektif pasien

tampak kurus, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak

anemis.
106

E. Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan

keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang

dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah & Walid, 2012). Tujuan evaluasi

anata lain untuk menentukan perkembangan kesehatan klien, menilai

efektivitas dan efisiensi tindakan keperawtan, mendapatkan umpan balik dari

respon klien, dan sebagai tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan

kesehatan (Dermawan, 2012).

Hasil akhir evaluasi diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan

dengan hiperventilasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24

jam masalah teratasi dimana terjadi penurunan sesak nafas dari frekuensi

pernafasan 27 kali per menit, skala Borg 4 (Sesak nafas kadang berat)

menjadi frekuensi pernafasan 24 kali per menit, skala Borg 2 (Sesak nafas

ringan). Tetapi selama 3 hari pemberian pursed lips breathing exercise pada

Tn. A tampak masih menggunakan otot bantu pernafasan

sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,

serta otot-otot abdominalis karena pasien tampak sangat kurus dengan IMT

17, 96 kg/ m2.

Hasil akhir evaluasi diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas

berhubungan dengan produksi mukus berlebih, setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam, masalah kebersihan jalan nafas sudah teratasi

dimana Tn. A dapat mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu


107

mengeluarkan sputum ¼ sendok makan tidak ada darah, warna putih, encer

seperti air liur, dan sudah tidak terdengar suara whezzing.

Hasil evaluasi akhir diagnosa intoleransi aktifitas berhubungan dengan

ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh, setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah intoleransi aktivitas teratasi

sebagian dimana Tn. A mengatakan semua aktivitas sudah bisa mandiri tetapi

tetap di awasi oleh istri atau anaknya, respon objektif Tn. A tampak

beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi istri dan anaknya.

Hasil evaluasi akhir diagnosa gangguan pola tidur berhubungan

dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam, masalah gangguan pola tidur teratasi sebagian

dimana jam tidur pasien sudah bertambah, kualitas tidur nyenyk tetapi lingkar

hitam di area sekitar mata masih tampak. Respon subjekttif Tn.A mengatakan

sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru saja bangun

tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang tidur lagi.

Objektif : pasien tampak lingkar hitam di area sekitar mata.

Hasil evaluasi akhir diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 2x24 jam, masalah gangguan nutrisi teratasi

dimana Tn. A mengatakan sudah nafsu makan, makan habis 1 porsi piring,

minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon

objektif pasien tampak kurus, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab,

konjungtiva tidak anemis.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnosa,

implementasi dan evaluasi tentang pemberian pursed lip breathing exercise

terhadap penurunan tingkat sesak nafas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan

Penyakit Paru Obstruksi Kronik di ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi

Surakarta secara metode studi kasus, maka dapat ditarik kesimpulan

A. KESIMPULAN

Dari uraian bab pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Pengkajian

Pengkajian pada Tn. A diperoleh data mengeluh sesak nafas, sesak

nafas dirasakan kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu, pasien tampak

bernafas dengan cuping hidung, menggunakan otot bantu pernafasan

sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus

anterior, serta otot-otot abdominalis, pasien terpasang O2 2 liter per menit,

tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernapasan 27 kali per menit,

irama tidak teratur, nafas dangkal, nadi frekuensi 85 kali per menit, suhu

tubuh 36,5 °C.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada kasus Tn. A adalah

ketidakefektifan bersihan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,

108
109

ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi

mukus dalam jumlah berlebih, intoleransi aktivitas berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, gangguan pola

tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan,

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan faktor biologis.

3. Intervensi

Intervensi untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas Tn. A

diberikan adalah airway management (3140): observasi tanda–tanda vital

(tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien, posisikan pasien untuk

memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler, ajarkan tehnik non

farmakologi pursed lips breathing exercise, kolaborasi dengan dokter

dalam pemberian terapi obat. Intervensi untuk ketidakefektifan bersihan

jalan nafas adalah airway management (3140): pantau frekuensi

pernafasan pasien, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan,

ajarkan cara batuk efektif, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian

terapi obat. Intervensi untuk intoleransi aktivitas adalah activity therapy

(0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan,

pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan,bantu pasien

identifikasi penyebab keletihan dengan, kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian terapi obat. Intervensi untuk gangguan pola tidur adalah sleep

enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan

lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang nyaman),


110

jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian obat. Intervensi untuk ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh adalah Nutrition Management (1100) : kaji intake

makanan, timbang berat badan pasien, anjurkan pasien untuk makan

sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat,kolaborasi dengan ahli gizi

dan dokter.

4. Implementasi

Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn. A penulis lakukan sesuai

dengan di intervensi yang telah disusun sebelumnya. Pemberian Pursed

Lips Breathing Exercise selama 3 hari yaitu pada tanggal tanggal 12-14

Januari 2016. Pemberian Pursed Lips Breathing Exercise merupakan

tindakan utama untuk menurunkan tingkat sesak nafas.

5. Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan selama tiga hari pada tanggal 12-14 Januari 2016

sudah dilakukan secara komprehensif dengan acuan rencana asuhan

keperawatan, serta telah berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya,

yang didasarkan pada kriteria hasil yang diharapkan yaitu

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sudah

teratasi. Diagnosa kedua ketidakefektifan bersihan jalan nafas

berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih sudah

teratasi. Diagnosa ketiga intoleransi aktivitas berhubungan dengan

ketidakseimbangan suplai oksigen teratasi sebagian. Diagnosa keempat

gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan


111

lingkungan teratasi sebagian. Diagnosa kelima ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis teratasi.

6. Analisa

Hasil pengaruh pemberian Pursed Lips Breathing Exercise terhadap

penurunan tingkat sesak nafas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan

diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi

yaitu pasien mengatakan sesak nafas sudah berkurang, sebelum latihan

sesak nafas sedang dan setelah latihan menjadi ringan. Objektif: pasien

tampak bernafas tanpa cuping hidung, masih menggunakan otot bantu

pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan

serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, sebelum latihan frekuensi

pernapasan 25 kali per menit dan skala Borg 3 (sesak sedang), setelah

latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit dan skala Borg 2 (sesak

nafas ringan) tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi nadi 72 kali per

menit, suhu 35°C. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bakti (2015)

dengan pengeruh pursed lip breathing exercise terhadap penurunan tingkat

sesak nafas pada penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Pada asuhan

keperawatan Tn. A dengan penyakit paru obstruksi kronik mengalami

penurunan tingkat sesak nafas setelah diberikan pursed lip breathing

exercise selama tiga hari dimana ada penurunan frekuensi pernafasan dari

27-24 kali per menit, skala Borg dari 4 (sesak nafas kadang berat) – 2

(sesak nafas ringan), selisih rata-rata penurunan frekuensi pernafasan

sebesar 0,67 dan selisih rata-rata penurunan skala Borg sebesar 0,67
112

selama 3 hari pemberian tindakan. Namun pasien masih tampak

menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,

pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis

karena pasien tampak sangat kurus dengan IMT 17, 96 kg/ m2.

B. SARAN

Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis memberi saran sebagai

berikut :

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan Rumah Sakit Umum khususnya RSUD Dr. Moewardi

Surakarta dapat memberikan elayanan kesehatan dan mempertahankan

hubungan kerja sama baik anatara tim kesehatan maupun klien sehingga

dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatn yang optimal

pada umumnya dan dapat mengaplikasikan pemberian pursed lip

breathing exercise terhadap pasien sesak nafas, khusunya pasien dengan

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

2. Bagi tenaga kesehatan khususnya Perawat

Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya dalam

memberikan asuhan keperawatan agar lebih maksimal, khususnya pada

klien dengan gangguan ketidakefektifan pola nafas dengan Penyakit Paru

Obstruksi Kronik (PPOK). Perawat diharapkan dapat mengaplikasikan

pemberian pursed lip breathing exercise terhadap pasien dengan keluhan

sesak nafas.
113

3. Bagi institusi Pendidikan

Diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas

dan profesional agar tercipta perawat yang profesional, terampil, inovatif,

aktif dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawtan secara

menyeluruh berdasarkan kode etika eperawatan. Dan dapat

mengaplikasikan pursed lip breathing exercise terhadap pasien sesak

nafas.

4. Bagi Penulis

Diharapkan bisa memberikan pursed lip breathing exercise dan

memberikan pengelolaan selanjutnya pada pasien dengan ketidakefektifan

pola nafas pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

5. Bagi Pembaca

Diharapkan dapat meberikan kemudahan bagi pembaca untuk sarana

prasarana dalam pengembangan ilmu keperwatan, diharapakan setelah

pembaca membaca bukuini dapat mengetahui tentang teknik pemberian

pursed lip breathing exercise dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik

(PPOK), serta menjadi acuan atau ada sebuah penelitian untuk kasus ini..
DAFTAR PUSTAKA

Ardiyansyah, Muhamad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Cetakan


Pertama.. Jogjakarta : Diva Press (Anggota IKAPI).
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Konsep & Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Penerbit Salemba.
Brashers, L. Valentina. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan Fisik &
Managemen. Jakarta: EGC.
Deborah, Marrelli. 2008. Buku Saku Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3. Dialih
bahasakan oleh Egi Komara Yudha. Jakarta : EGC.
Dermawan. D. 2012. Proses Keperawatan Perencanaan Konsep dan Kerangka
kerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Buku Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2014. Mei. Dinkesjateng. Semarang.
Donal. 2006. Mechanisme and Measurement of Dyspnea in Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Proc Am Thorac.
Francis, caia. 2008. Perawatan respiratori. Erlangga : Jakarta.
Gleadle Jonathan. 2007. At Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Hafiizh. Edwin Muhammad. 2013. Pengaruh Pursed Lip Breathing Terhadap
Peburunan Respiratory Rate (RR) dan Peningkatan Pulse Oxygen Sturation
(SpO2) Pada Penderita PPOK. Skripsi. Program Studi S1 Fisioterapi
Fakultas Kesehatan Universits Muhammadiyah Surakarta.
Hilmi, N. 2013. Gambaran Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya
PPOK. Universitas RIAU.
Herdman. T.H. 2010. Nanda International Diagnosis Keperawatan Defini dan
Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Ikawati. Zullies. 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya.
Bursa Ilmu. Yogyakarta.
Irianto Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan
Klinis. Alfabeta cv. Bandung.
ISO. 2013. Iso_informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2013. Juli. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
Khasanah. S. (2013). Efektifitas Condong Kedepan (CKD) dan Pursed Lip
Breathing Terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pasien Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK). Prosding Seminar Nasional. Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Harapan Bangsa. Purwokerto. Diakses pada tanggal 16
Maret 2016, Pukul 10.00 WIB.
Morton, dkk. 2012. Keperawatan Kritis Volume I. Gosyen Publishing.
Yogyakarta.
Muttaqin Arief. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jilid 1. Salemba Medika. Jakarta.
Murwani Arita. 2011. Perawatan Pasien Peyakit Dalam. Edisi I. Gosyen
Publishing. Yogyakarta.
Nurarif Huda Amin & Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC_NOC. Edisi Revisi. Jilid 2.
Medi Action. Yogyakarta.
Paniselvan, Paramasundari. 2011. Hubungan derejat Gagal Jantung Kronis
Dengan Derajat Anemia di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan. Karya TulisIlmiah.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31664/8/Cover.pdf .
Diakses pada tanggal 21 April 2016.
Potter, A, P & Porry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktik. Jakarta : EGC.
Rab. T, 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Trans Info Media.
Ringel, Edward. 2012. Buku Saku Hitam Kedokteran Paru. PT Indeks. Jakarta.
Rini. I.S., 2011. Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Kualitas Hidup Pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di
RS Paru Batu dan RSU DR. Saiful Anwar Malang Jawa Timur. Tesis.
Universitas Indonesia. Depok.
Rohmah. N & Walid. S. 2012. Proses Keperawatan Teori dan Aplikasi. Yogkarta
: AR-RUZZ Media.
Rubenstein, dkk. 2008. Kedokteran Klinis. Jakarta : Erlangga.
Safitri, Refi & Annisa. 2011. Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler
Terhadap Penurunan Sesak Nafas pada pasien Asma di Ruang Rawat Inap
Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Gaster, Vol.8. Skripsi. Prodi S1
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah. Surakarta.
Suradi. 2009. Deskripsi Penyakit Sistem Sirkulasi. Jakarta : Cermin Dunia
Kedokteran.
Wilkinson. J & Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Windrasmara, Oni Juniar. 2012. Hubungan antara Derajat Merokok dengan
Prevalensi PPOK dan Bronkitis Kronik Di BBKPM Surakarta. Skripsi.
Fakultas Kedokteran : Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai