IKTERUS NEONATORUM
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO
Disusun Oleh :
Fatimatus Solekhah
20120310152
Diajukan Kepada :
dr. Sir Panggung, Sp.A
1
IKTERUS NEONATORUM
Disusun Oleh :
Fatimatus Solekhah
20120310152
Dokter Penguji :
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-
baiknya.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Sir Panggung Sp.A selaku konsulen
yang telah memberi bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya.
Penulis berharap makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca sekalian pada umumnya. Semoga makalah ini dapat memberi masukan bagi
rekan-rekan yang ingin mengetahui masalah Ikterus Neonatorum.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi,
metabolisme bilirubin, etiologi, faktor resiko, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
diagnosis banding, penatalaksanaan serta prognosis dari ikterus neonatorum.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Ikterus neonatorum
Ikterus (‘Jaundice’) keadaan klinis pada bayi baru lahir yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang
berlebihan. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin
darah 5-7 mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia. 1,7
Hiperbilirubinemia
Adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih
kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Biasanya istilah
hiperbilirubinemia dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang
menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses
fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya.1
Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang maupun
cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensi pada bayi cukup bulan dan
kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada
minggu pertama > 2 mg/dL. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali
pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24
jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya
antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih
rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan
ikterus fisiologis dan untuk kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa
pengobatan, hal ini terjadu akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan
sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.1
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit
lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya
mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan
diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai
6
pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl
tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.
Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL
tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin, kadar tersebut tidak melewati kadar yang
membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernikterus” dan tidak menyebabkan suatu
morbiditas pada bayi.7
Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai akibat
hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan
ekskresi bilirubin oleh hati.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan
menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan
laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari
14 mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.
7
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi
(muntah,letargis, malas menetek, penurunan berat badan bayi yang cepat,
apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.
6. Ikterus yang disertai:
- Berat lahir < 2.000 g
- Masa gestasi < 36 minggu
- Asfiksia, hipoksia, sindroma gawat nafas pada neonatus
- Infeksi
- Trauma lahir pada kepala
- Hipoglikemia, hiperkarbia
Kernikterus
Adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin
indirek/tak terkonjugasi pada beberapa daerah diotal terutama di ganglia basalis, pons dan
serebelum. Kern Ikterus adalah digunakan untuk keadaan klinis kronik dengan skuele yang
permanen karena toksik bilitubin.1,7
1. Produksi
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolime heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah
oksidasi pertama kali adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim
heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagaian besar terdapat dalam sel hati, dan
organ lain. Dalam pembentukkan itu akan terbentuk besi yang digunakan kembali
untuk pembentukkan hemoglobin dan karbonmonosida (CO) yang diekskresikan
kedalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim
8
biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah
menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan
terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengekskresikan, diperlukkan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. Pada bayi
baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolime heme haemoglobin
dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
hemoglobin karena eritopoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan
yang mengandung protein heme dan heme bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi
bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosit yang pendek (70-90 hari),peningkatan degradasi
heme,turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang
meningkat.
2. Transportasi
Pembentukkan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutkan
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir memiliki
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin
yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang pada albumin
serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air kemudian akan
ditransferkan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki
susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Saat kompleks bilirubin-albumin mencapai
membran plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian
bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y),
mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah
bilirubin yang masuk ke sirkulasi, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan
bilirubin oleh sel hati dan konjugasi bilirubin akan menentukkan konsentrasi bilirubin
tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Walaupun demikian defisiensi
ambilan ini dapat menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu
kedua kehidupan saat konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang
sama dengan orang dewasa.1
3. Konjugasi
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air diretikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospat glucoronosyl
9
transferase (UDPG-T). katalisa oleh enzim ini akan merubah bentuk bilirubin
monoglukoronide menjadi diglukoronide. Bilirubin kemudian diekskresikan ke dalam
kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali
ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan
beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi
seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah
bilirubin monoglukoronida.
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di
ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian memasuki saluran pencernaan dan
diekskresikan melalui feses. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian
kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini
disebut siklus enterohepatis. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril
sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk
yang tidak dapat diabsorbsi).
5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus
Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu,
kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh,
kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis.
Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana
bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan
besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan
neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari
sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi.
Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan
mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam
keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi
bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus
mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan
oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin
dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau
bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat
kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin
indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat
10
tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar
albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu
dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang
dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’
dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg%
pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang
mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.
2.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :3,5,6
11
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi
enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan
diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
12
yang mungkin bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan dari
hubungan yang sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-
terkonjugasi, yang diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu
pada ibu.(3-4)
Tabel 1. Faktor etiologi yang mungkin berhubungan dengan hiperbilirubinemi pada bayi yang
mendapatkan ASI1,7
Asupan cairan :
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan eksresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase free fatty acid
Unidentified inhibitor
Intestinal reabsorption of bilirubin
Pasase mekonium terlambat
Pembentukkan urobilinoid bakteri
Beta-glukorinidase
Hidrolisis alkaline
Asam empedu
b. Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom,ekimosis)
- Infeksi (bakteri,virus,protozoa)
13
c. Faktor Neonatus
- Prematuritas
- Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat ( streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya ikterus dikatakan non fisiologis atau
patologis jika pigmennya dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah
disebutkan pada ikterus fisiologis. Walaupun kadar bilirubin masi dalam batas-batas
fisiologis, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda Kern Ikterus, maka keadaan ini disebut
ikterus non fisiologis atau patologis.2,4
14
Karena produksi bilirubin yang meningkat yang terjadu pada hemolisis sel darah
merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: Kelainan sel darah merah.
Infeksi seperti malaria,sepsis. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat-obatan,
maupun berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan eritroblastosis
fetalis.
b. Ikterus pascahepatik
Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peningkatan bilirubin konjugasi
yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin meningkat akan mengalami regurgitasi kembali
kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh
ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan
pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna
dempul karena tidak mengandung sterkobilin.
c. Ikterus Hepatoselular
Kerusakan sel hati dapat menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin
direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan ke dalam hati sehingga bilirubin
darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan
peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan:
hepatitis,sirosis hepatis,tmor,bahan kimia dan lainya.
2.5 Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar
yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari
sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan
proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau
dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase)
atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
15
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak
ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih
dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus
sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan
susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.1,3
16
Gambar 2. Pembagian ikterus menurut Kramer.
17
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh mananpun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkaim tangan dan kaki pada hari keduam maka digolongankan sebagai ikterus
sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatmya. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan kadar bilurbin serum untuk memulai terapi sinar.
18
IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut. Hepatitis B
akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.
- Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler dan
beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik
akibat obat-obatan (drug induced).
- Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk mendiagnosis penyakit infiltratif dan
kolestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering bisa menemukan metastasis dan
penyakit fokal pada hati.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar. 3
2.8 Diagnosis
Berbagai faktor resiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat.
Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai resiko, terutama untuk bayi-bayi yang
pulang leboh awal. Selain itu juga dilakukan pencatatan medis bayi dan disosialisasikan pada
dokter yang menangani bayi tersebut selanjutnya.5
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis ikterus pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai
riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi
sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam
diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi
Tampilan ikterus ikterus harus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam
ruangan pencahayaan yang baik dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat
warna kulit dan jaringan subkutan dan pemeriksaan fisik harus difokuskan pada identifikasi
dari salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat,
petekie,ektravasasi darah, memar kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan
berat badan dan bukti adanya dehidrasi. Guna mengantisipasi komplikasi yang timbul, maka
perlu diketahui daerah letak kadar bilirubin serum total beserta faktor resiko yang terjadinya
hiperbilirubinemia yang berat. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan
komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
19
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin,
infeksi intranatal, dan lain-lain.
20
2. Infeksi intrauterin (rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau
sepsis bakterial)
3. Defisiensi G6PD
Pada breast milk jaundice terjadi hiperbilirubinemia pada 1 % dari bayi yang
diberikan ASI. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada hari kelima dan kadar bilirubin
21
mencapai puncak pada hari ke-14 dan kemudian turun dengan pelan. Kadar normal tidak
akan tercapai sebelum umur 12 minggu atau lebih lama. Jika pemberian ASI distop dan
fototerapi singkat diberikan, kadar bilirubin akan menurun dengan cepat dalam waktu 48
jam.1-2
22
2.9 Diagnosis Banding
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan
mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela
atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam
uterus, mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya.
Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat “fisiologik”, tetapi
dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan
hiperbilirubinemia neonatus. Ikterus nonhemolitik familial (sindroma Criggler-Najjar) pada
permulaannya juga terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke
3, dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai
penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain terutama sifilis,
toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus yang timbul sekunder akibat
ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama kelahiran atau
sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus dini.
Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan, memberi
petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog,
rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia
hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti
defisiensi enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia
non-sperosit herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti
pada defisiensi kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase,
glutation reduktase atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.5
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa
yang dinamakan “inspissated bile syndrome” (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada
bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus
nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus
koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total.
Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa
minggu, seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia
yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap, yang mencakup
penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung
leukosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi.
Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya
23
penghancuran eritrosit, memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat
ketidakcocokan golongan darah, maka harus dipertimbangkan kemungkinan adanya
hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis,
kelainan metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu
kemungkinan diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk normal, maka
mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik.1,4,6
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus
atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin
tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan
nukleus batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi
antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat,
kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan
sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi
risiko terjadinya kern icterus.5,7
Pada bayi sehat yang menyusu, kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL
dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi
dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara lain :7
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus,
retrocollis, demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus,
tremor), gangguan pendengaran.
Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan
tindak lanjut sebagai berikut: 2
24
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa
2.11 Penatalaksaan
MANAJEMEN
Berbagai cara telah dilakukan untuk mengelola bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia indirek. Strategi tersebut termaksud : pencegahan, penggunaan
farmakologi, fototerapi, dan transfusi tukar.5
25
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu
dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.
26
c. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut 2
a. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL
b. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL
c. Peningkatan bilirubin >1 mg/dL
Gambar 4. Kurva pandauan transfusi tukar pada bayi usai kehamilan > atau sama dengan 35
minggu berdasarkan America Association of Pediatry 5
27
b. Infus cairan dengan dosis rumatan.
2.12 Pencegahan
28
mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisis.
Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk
mengindentifikasi adanya kolestasis. Juga dilakukan penyaringan terhadap tiroid
dan galaktosemia.
Pemeriksaan terhadap G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus yang
mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis yang
menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon
terhadap fototerapi yang buruk.
29
Saat tindak lanjut : berdasarkan tabel dibawah ini
Bayi keluar RS Harus dilihat saat umur
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 72 jam 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 120 Jam
Tabel 5. Saat tindak lanjut5
Selainan itu pencegahan juga dilakukan dengan cara :
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada bayi pada
masa kehamilan dan kelahiran, mislnya sulfafurazol, novobiotin, oksitosin, dan
lain-lain.
c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
d. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
e. Pemberian makanan yang dini
f. Pencegahan infeksi
g. Pemberian ASI eksklusif
Pengelolaan ikterus dini (early jaundice) pada bayi yang mendapat ASI7
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika
feses tidak keluar dalam waktu 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu
yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi
yang jaranh walaupun total waktu yang diberikan adalah sama
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dekstrosa atau formula penganti
4. Observasi berat badan, bak dan bab yang berhubungan dengan pola menyusui
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang
pengeluaran/produksi ASI dengan cara memompa dan menggunakan protokol penggunaan
fototerapi yang dikeluarkan AAP
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI,
sehingga penghentian menyusui sebagai suatu asupan upaya hanya diindikasikan jika
ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat di atas 20 mg/dL atau ibu memiliki
riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.
30
MONITORING
2.13. Prognosis
Ikterus baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru
tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan
dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi
mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan
adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian.
Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia
dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun
perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.3,8
31
BAB III
KESIMPULAN
Ikterus merupakan disklorisasi pada kulit atau organ lain akibat penumpukan
bilirubin. Bila ikterus terlihat pada hari ke 2-3 dengan kadar bilirubin indirek 5-6 mg/dl dan
untuk selanjutnya menurun hari ke 5-7 kehidupan maka disebut ikterus fisiologis sedangkan
ikterus patologis yaitu bila bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5
mg/dl / 24 jam pertama kehidupan yang selanjutnya dapat terjadi kernikterus bila tidak
didiagnosa dan ditangani secara dini.
Gejala klinik yang dapat ditimbulkan antara lain letargik, nafsu makan yang menurun
dan hilangnya refleks moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim ditemukan tanda-tanda
kernikterus jarang timbul pada hari pertama terjadinya kernikterus.
Pengobatan yang diberikan pada ikterus bertujuan untuk mencegah agar konsentrasi
bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan neurotoksitas,
pengobatan yang sering diberikan adalah fototerapi dan transfusi tukar. Prognosis ikterus
tergantung diagnosa secara dini dan penatalaksanan yang cepat dan tepat.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Pengurus Pusat
Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta
2. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2004
Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI: Jakarta
3. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. 2004.
Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo – Surabaya
4. Kliegman, Robert M. 2004. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics.
17Th Edition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders.
5. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004.
Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks
Of Gestation. Pediatrics; 114;297-316.
6. Glaser K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Pediatrics, in
www.medstudents-pediatrics.htm, 2001; page 1-3.
7. Blackburn ST, penyunting.Bilirubin metabolism. Maternal, fetal & neonatal
physiology, a clinical perspective. Edisi ke-3.Saunders;2007.
8. Medline Plus. Bilirubin. Http://www.nlm.nih.gov.
9. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 422-425.
33