Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awalnya, surveilans epidemiologi merupakan satu macam observasi terhadap


seorang atau orang-orang yang disangka menderita suatu penyakit menular ( kolera, pes,
cacar dsb) dengan cara mengadakan bermacam-macam pengawasan medis, tanpa
membatasi gerak orang-orang tersebut. Kemudian berkembang pengertian mengenai
surveilans epidemiologi ini berkembang menjadi pengumpulan data penyakit tentang
penderitanya, penyebabnya, lingkungan serta semua faktor yang berperan dalam disease
causation . Menurut WHO Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis
dan interprestasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi
kepada Unit yang membutuhkan untuk diambil tindakan.

Tujuan surveilans adalah untuk mendapatkan informasi tentang penyakit atau masalah
kesehatan lainnya, meliputi frekuensi, distribusi, prevalensi, insidensi dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya secara cepat , dengan diperolehnya informasi epidemiologi
penyakit tertentu dan terdistribusinya informasi tersebut kepada program terkait, pusat-
pusat kajian, dan pusat penelitian serta unit surveilans lain. Selain itu, tujuan umum
surveilans epidemiologi yang lain adalah untuk menilai status kesehatan
masyarakat,menentukan prioritas kesehatan masyarakat, mengevaluasi program, dan
melakukan riset.

ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh
infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang
parenkim paru (Alsagaf, 2009). ISPA salah satu penyebab utama kematian pada anak di
bawah 5 tahun tetapi diagnosis sulit ditegakkan. World Health Organization
memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang
dengan angka kejadian ISPA pada balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-
20% pertahun pada 13 juta anak balita di dunia golongan usia balita. Pada tahun 2000,
1,9 juta (95%) anak – anak di seluruh dunia meninggal karena ISPA, 70 % dari Afrika
dan Asia Tenggara (WHO, 2002).
Gejala ISPA sangat banyak ditemukan pada kelompok masyarakat di dunia, karena
penyebab ISPA merupakan salah satu hal yang sangat akrab di masyarakat. ISPA
merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus meliputi infeksi akut saluran
pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA menjadi
perhatian bagi anak-anak (termasuk balita) baik dinegara berkembang maupun dinegara
maju karena ini berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. Anak-anak dan balita akan
sangat rentan terinfeksi penyebab ISPA karena sistem tubuh yang masih rendah, itulah
yang menyebabkan angka prevalensi dan gejala ISPA sangat tinggi bagi anak-anak dan
balita (Riskerdas, 2007).

Kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA (Infeksi Saluran


Pernafasan Akut) di Indonesia pada akhir tahun 2000 sebanyak lima kasus di antara
1.000 bayi/balita. Berarti, akibat pneumonia, sebanyak 150.000 bayi/balita meninggal
tiap tahun atau 12.500 korban per bulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak per jam atau
seorang bayi/balita tiap lima menit (WHO, 2007). Di Indonesia, prevalensi nasional ISPA
25% (16 Provinsi di atas angka rasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada
bayi 2,2%, balita 3%, sedangkan angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8% dan balita
15,5% (Riskerdas, 2007).

Untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, Departemen Kesehatan RI menetapkan


10 program prioritas masalah kesehatan yang ditemukan di masyarakat untuk mencapai
tujuan Indonesia Sehat 2010, dimana salah satu diantaranya adalah Program Pencegahan
Penyakit Menular termasuk penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Depkes RI,
2002). Menurut survey kesehatan Indonesia, angka kematian Balita pada tahun 2007
sebesar 44/1000 kelahiran hidup . Berdasarkan data tersebut dapat dihitung jumlah
kematian balita 196.579. Menurut Riskesdas penyebab kematian balita karena
pneumonia adalah 15,5%. Dan jumlah kematian balita akibat pneumonia setiap harinya
adalah 30.470 atau rata – rata 83 orang balita ( Depkes, 2007).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi ?


2. Apakah pengertian penyakit ISPA pada balita ?
3. Apakah penyebab penyakit ISPA pada balita ?
4. Mengapa kejadian tersebut dapat meningkat ?
5. Bagaimana upaya yang dilakukan puskesmas untuk menangani kejadian tersebut ?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi


2. Untuk mengetahui pengertian penyakit ISPA pada balita
3. Untuk mengetahui penyebab penyakit ISPA pada balita
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kejadian tersebut meningkat
5. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh pihak puskesmas untuk menangani
kejadian tersebut .
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut


2.1.1. Pengertian ISPA
Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi
adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak
sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan adalah organ dimulai dari
hidung sampai alveoli beserta organ adneksa seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura.
Istilah ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan
paru-paru) dan organ adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi
yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002).
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk,
disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah/kedalam (Depkes RI,
2002).

2.2. Epidemiologi
2.2.1. Distribusi dan Frekwensi ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi,
anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga penyebab
kematian anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar 75% dari semua
jumlah kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa pneumonia menyebabkan
28% kematian anak di dunia (Zairil, 2000). Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996
menemukan bahwa sebagian besar kasus ISPA terjadi pada kelompok umur 7 – 12 bulan
(65,23%) dan sebagian besar kasus terjadi pada bayi laki-laki (73, 45 %) (Dewi, 1996).
ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian besar
kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih awam dengan
gangguan ini. Penderita cepat meninggal akibat pneumonia berat dan sering tidak tertolong.
Lambatnya pertolongan ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang gangguan ini
(DepKes RI., 2000).

2.2.2. Determinan ISPA


Terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita disamping adanya bibit
penyakit, juga dipengaruhi oleh faktor anak itu sendiri, seperti anak yang belum mendapat
imunisasi campak dan kontak dengan asap dapur, serta kondisi perumahan yang
ditempatinya. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :
a. Bibit Penyakit (Agent)
ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih jenis virus,
bakteri, ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus,
Stafilococcus, Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus
penyebab ISPA antara lain, golongan Paramyksovirus termasuk didalamnya virus Influenza,
Parainfluenza, dan virus campak, adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan
lain-lain.
Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang tersering
sebagai penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan Haemofilus
influenza. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan
oleh virus.
b. Pejamu (Host)
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit, terutama faktor
yang ada pada dirinya sendiri seperti :
1. Umur
Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita dipengaruhi oleh
faktor usia anak. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan mempunyai resiko yang lebih tinggi
untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan anak umur 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes
RI., 1996). Hasil analisis faktor resiko membuktikan bahwa umur merupakan salah satu
faktor resiko penyebab terjadinya kematian pada balita yang sedang menderita pneumonia.
Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil resiko meninggal
akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia muda (Djaja S, 1999). Insidens ISPA
paling tinggi terdapat pada bayi dibawah satu tahun dan insidens menurun dengan
bertambahnya umur (Kartasamita, 2000).
2. Jenis Kelamin
Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk penanggulangan
pneumonia pada balita (1996), anak jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko yang lebih
tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan (Depkes RI., 1996).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa proporsi
kasus ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki 59% dan
perempuan 41%, terutama pada anak usia muda. Hasil Survei Demografi & Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 1997, menunjukkan adanya perbedaan prevalensi 2 minggu pada
balita dengan batuk dan napas cepat (yang merupakan ciri khas pneumonia) antara anak laki-
laki dengan anak perempuan, dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4% sedangkan
perempuan 8,5% (Depkes RI., 1997).
3. Status Gizi
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk ISPA menurut
Martin yang dikutip oleh Djaja (1999), membuktikan adanya hubungan antara gizi buruk
dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia.
Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa malnutrisi merupakan faktor resiko
penting untuk ISPA. Anak yang menderita malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena
ISPA dibandingkan anak dengan berat badan normal.
Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat
mengakibatkan daya tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit infeksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa status gizi kurang
pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang bergizi baik. Dalam penelitian ini proporsi anak yang bergizi kurang lebih
banyak pada kasus (41,03%) dari pada pembanding (25,64%).

3. Berat Badan Lahir


Berat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari 2500 gram. Bayi
dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian
karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Ibu
yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang cukup dengan gizi seimbang,
kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan berat
badannya rendah. Penyakit anemia defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat
menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur (Sulistyowati
(1999).
Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Menurut Thomson (1959) yang diikutip Pudjiadi
(2000) membuktikan bahwa berat badan lahir bayi naik dan insiden BBLR menurun bila
kandungan energi diet ibu bertambah. Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko
morbiditas maupun mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi
BBLR dan prematur lebih besar (Pudjiadi, 2000).
Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi
dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. ISPA
adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru lahir dengan berat
rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang beratnya diatas 2500 gram (Tuminah, S., 1999).
4. Status ASI dan Makanan Tambahan
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi tanpa tambahan cairan
lain (seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih), dan tanpa makanan
tambahan (seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim).
Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan.
Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan pendamping secara
bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari
buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat.
Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan
sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang tidak memungkinkan untuk
menyusukan, jika memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun (Roesli, 2001).
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun terakhir ini
menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi
bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan
menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan
(imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat
penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang
berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran
pernapasan berat. Angka kematian kasus secara berarti lebih tinggi pada anak yang
telah disapih daripada anak yang masih diberi ASI (Tuminah, S., 1999).
Menurut Roesli (2001) yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie
(1990) bahwa kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 – 6 kali lebih banyak
pada bayi yang diberi susu formula daripada bayi yang mendapat ASI.
Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA
5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak
menderita ISPA.
Bila ASI cukup bayi tidak perlu diberikan makanan tambahan dengan
makanan lain sampai usia 4 bulan atau bahkan 6 bulan. Namun bila ternyata bayi
menangis karena lapar, dapat diberikan makan tambahan sejak kira-kira umur 2
bulan. Sejak 2 bulan dapat diberikan buah-buahan (pisang) atau biskuit, sedangkan
pemberian makanan lumat sampai lembek (bubur susu) pada usia 3-4 bulan sesuai
keperluan bayi masing-masing. Bayi akan lapar dan menangis terus bila ASI kurang
memuaskan. Untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu ditimbang secara berkala.
Pada bulan ke empat biasanya mulai pemberian makanan padat bayi yang pertama,
yaitu makanan lumat misalnya; bubur susu yang dapat dibuat dari tepung, susu dan
gula (Roesli, 2001).
5. Status Imunisasi
Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap
anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1
tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B. (Roesli, 2001).
Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai
penyakit. Anak yang belum pernah diimunisasi campak lebih berisiko terhadap
terjadinya kematian karena pneumonia, terutama pada balita yang sedang menderita
pneumonia (Djaja, S., 1999)
Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan insidens ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat
menentukan dalam tingginya angka insidens ISPA (Depkes RI., 1996).
Menurut The World Health Report 2005, angka kematian balita di Indonesia
sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup, penyebab utama kematian pada anak balita
adalah penyakit infeksi saluran napasan akut, diare, penyakit yang ditularkan
binatang dan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi .
UNICEF menyebutkan bahwa 27 juta anak balita dan 40 juta ibu hamil di
seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibat penyakit
yang dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta
kematian tiap tahun, termasuk 1,4 juta anak balita yang meninggal karena tidak
divaksin. Di Indonesia 2.400 anak meninggal setiap hari termasuk yang meninggal
karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin. Misalnya
tuberculosis, pertusis, difteri dan tetanus (Francais, 2007).
Penelitian yang dilakukan Dewi dkk (1996), diketahui bahwa ketidakpatuhan
imunisasi (imunisasi tidak lengkap) mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak
balita. Jumlah anak pada penelitian ini yang imunisasi tidak lengkap pada kasus
10,25% dan kontrol 5,13%.
6. Vitamin A
Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai
macam infeksi, namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi
tidak begitu jelas (Pudjiadi, 2000).
Vitamin A mulai menarik perhatian para ilmuwan setelah beberapa laporan
penelitian oleh Somar dkk mengenai pentingnya vitamin A. Sejak itu beberapa
penelitian dilakukan untuk mengetahui efek suplementasi vitamin A terhadap
morbiditas, mortalitas dan lamanya ISPA, akan tetapi hasilnya masih saling
bertentangan (Zairil, 2000).
Sampai saat ini satu hal mengenai suplementasi vitamin A yang diterima
secara luas yang juga direkomendasikan oleh WHO adalah untuk memberikan
vitamin A pada penderita campak, didaerah dimana angka kematian akibat penyakit
campak (CFR) lebih dari 1%.
Hasil penelitian prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan tidak adanya
perbedaan bermakna pada insiden dan derajat ISPA diantara anak yang mendapat
vitamin A, juga tidak didapatkan perbedaan ISPA sebelum dan setelah pemberian
vitamin A, hanya didapatkan lama ISPA agak lebih panjang pada anak yang tidak
mendapat vitamin A (Kartasasmita, 2000).

c. Lingkungan (environment)
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan
terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses
terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik,
biologis dan sosial.
Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara
langsung maupun tidak terhadap lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan
sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara, kelembaban,
air, dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA, adalah tergolong air borne
diasease karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke
dalam tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemiologi
mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan.
Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam
ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian
atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis,
bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993).
Secara garis besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap
dalam ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang /
minyak tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh
ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya.

1. Asap Dalam Ruangan

Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas


penghuninya, antara lain ; penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak maupun
memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan minyak
tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan insektisida semprot maupun
bakar. Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan bahan bangunan
sintetis berupa cat dan asbes (Anwar, A., 1992).
Penggunaan bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang
dan minyak tanah muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya infeksi saluran
pernapasan. Saat ini sebagian masyarakat pedesaan masih menggunakan bahan bakar
biomasa untuk memasak (Charles dkk, 1996). Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu
yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap sambil memasak akan
mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan ibu
yang tidak membawa bayi/anak balitanya didapur (Sukar dkk., 1997).
Rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun
sumber penerangan memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali lebih besar
dibandingkan dengan bahan bakar gas (Soesanto, dkk, 2000). Keadaan dapur yang
penuh dan lembab juga merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pernapasan.
(Charles, dkk.,1996)
Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan bakar kimia. Satu batang
rokok dibakar akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, karbon
monoksida, nitrogen oksida, hiydrogen cyanida, amoniak, acrolein, artcresor, peryline
dan lain-lain. Secara umum bahan ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu
komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat atau
partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Bila rokok dibakar maka asapnya akan
berterbangan disekitar perokok. Asap yang berterbangan itu mengandung bahan yang
berbahaya dan bila dihisap oleh orang yang berada disekitar si perokok, maka orang
itu juga akan menghisap bahan kimia berbahaya didalam dirinya walau ia sendiri
tidak merokok. Anak balita misalnya akan lebih berbahaya dibanding orang dewasa
karena daya tahan tubuhnya masih rendah (Aditama, T.Y., 1996).
Menurut Riyadina (1995), bahwa pada anak-anak paparan asap rokok
(sidestream smoke) dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama mempererat
timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan fungsi paru-paru pada waktu
dewasanya nanti.
Paparan asap rokok memperberat timbulnya ISPA, karena dari 1 batang rokok
yang dinyalakan akan menghasilkan asap sampingan selama sekitar 10 menit,
sementara asap utamanya hanya akan dikeluarkan pada waktu rokok itu dihisap dan
biasanya hanya kurang dari 1 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu
ke udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena kadar bahan
berbahayanya lebih tinggi dari pada asap utamanya, maka perokok pasif tetap
menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok orang sekitarnya (Aditama, T. Y.,
1996). Di negara maju, anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah
didapatkan memiliki suatu peningkatan resiko bronkitis dan pnemonia jika
dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak merokok (Tuminah, 1999).

2. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah


menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap
terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar
CO2 menjadi racun Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam
kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007).
Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, dengan
kelembaban sekitar 60% optimum. Untuk memperoleh kenyaman udara seperti
dimaksud diatas diperlukan adanya ventilasi yang baik. Luas lubang ventilasi
insidentil (dapat buka tutup) minimum 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya
adalah 10% dari luas lantai ruangan (Sanropie, D., 1989).
Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat
diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan
masalah ventilasi. Sebuah penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran
pernapasan dengan kondisi ventilasi. Sebab itu kondisi ventilasi dapat dijadikan
indikator rumah sehat (Achmadi, U.F., 1991).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (1996) diketahui bahwa rumah
yang berventilasi buruk lebih banyak anggota keluarganya yang menderita ISPA
dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan.

3. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian

Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.


Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal
jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur,
ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya.
Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
perjubelan (overcrowded). Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 2,5 – 3 m2 untuk setiap anggota keluarga (Notoatmodjo, 2007).

4. Status Ekonomi dan Kependidikan


Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan, serta upaya pencegahan penyakit. Pada
kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya status
ekonominya rendah pula. Mereka sulit untuk menyerap informasi mengenai
kesehatan dalam hal penularan dan cara pencegahannya. Pendidikan yang rendah
menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk memilih makanan yang bergizi dan
pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Soewasti, dkk., 1997).
Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang
meningkatkan kematian ISPA terutama pnemonia. Kekurangpahaman orang tua
terhadap pnemonia juga menyebabkan keterlambatan mereka mambawa anak mereka
yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka beranggapan bahwa bayi/anak balita
mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang sebenarnya merupakan tanda awal
pnemonia. Orang tua hanya memberikan obat batuk tradisional yang tidak
memecahkan masalah (Tuminah, S., 1999).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Djaya (1999), ibu dengan pendidikan
lebih tinggi akan lebih banyak membawakan anak berobat ke fasilitas kesehatan,
sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri maupun
berobat ke dukun ketika anaknya sakit.

2.3 Surveilans ISPA


Untuk melaksanakan kegiatan pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan penyakit termasuk ISPA secara efektif dan efisien, diperlukan data
dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat. Upaya dalam
mendapatkan data atau informasi tersebut diatas dilakukan melalui kegiatan
surveilans epidemiologi ISPA yang aktif dengan diferivikasi oleh survey atau
penelitian yang sesuai.
Surveilans epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan
informasi yang dapat digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan program pemberantasan ISPA secara efektif dan efisien serta
mampu mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang bakal muncul. Data dan
informasi dimaksud meliputi data dan informasi kesakitan dan kematian pnemonia,
sumber penularan, faktor resiko yang berhubungan dengan pnemonia (faktor resiko
lingkungan dan kependudukan) dan data yang berhubungan dengan kinerja program.
Untuk itu mulai tahun 2002 dikembangkan kegiatan autopsi verbal kematian balita
akibat pnemonia dan audit kasus pnemonia.
Dalam pelaksanaanya di lapangan, kegiatan surveilans dapat disesuaikan
dengan situasi dan kebutuhan setempat, baik mekanisme kerja maupun bentuk
instrumennya. Namun demikian secara umum pelaksanaan surveilans Program P2
ISPA mengikuti langkah-langkah surveilans epidemiologi pada umumnya,
sebagaimana diuraikan berikut:

a. Tujuan Surveilans ISPA


Menyediakan informasi tentang situasi dan besarnya masalah penyakit ISPA
khususnya kejadian pnemonia balita dan kematian balita akibat pnemonia di
masyarakat beserta faktor resikonya dan informasi lain yang diperlukan bagi upaya
pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA secara efektif sehingga angka
kesakitan dan kematian balita akibat pnemonia dapat diturunkan sesuai tujuan
pemberantasan penyakit ISPA.

b. Kegiatan
1. Pengumpulan data
Data penyakit ISPA termasuk pnemonia balita dikumpulkan di sarana kesehatan
tingkat pertama (rawat jalan rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Posyandu, serta
pelayanan kesehatan swasta) dengan menggunakan formulir, kartu atau buku
khusus. Selanjutnya kasus pnemonia dari sarana tersebut dilaporkan ke
puskesmas yang menangani wilayah kerja dari sarana kesehatan yang
bersangkutan, secara aktif (melaporkan sendiri) maupun pasif (puskesmas
menjemput laporan dari sarana kesehatan di wilayah kerjanya) dengan
menggunakan instrumen standar yang dibuat oleh puskesmas. Puskesmas
selanjutnya meneruskan laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Untuk
laporan kasus pnemonia dari rumah sakit, laporan langsung ke Dinas Kesehatan
(Subdin P2M).

2. Pengolahan dan Analisa Data


Data yang telah terkumpul, baik dari institusi sendiri maupun dari luar
selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisa. Pengolahan dan analisa data
dilaksanakan baik oleh puskesmas, Kabupaten/kota maupun Propinsi.

3. Penyajian Data Umpan Balik


Sebagai bahan atau dasar bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan atau perbaikan
pelaksanaan kegiatan, hasil kerja survailans ISPA perlu disajikan dan
disebarluaskan atau diumpanbalikan kepada pihak-pihak yang memerlukannya
secara teratur, baik kalangan internal maupun eksternal.

4. Peningkatan Jaringan Informasi

Jaringan informasi antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan pusat sangat diperlukan


untuk membangun sistem informasi kesehatan yang handal sehingga mampu
meningkatkan koordinasi dan keterpaduan pelaksanaannya pemberantasan
penyakit ISPA antar berbagai jenjang dari mulai perencanaan sampai dengan
evaluasi program.

2.4 Pemantauan dan Evaluasi

Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan
(monitoring) dan penilaian (evaluasi).
a. Pemantauan
Pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk
memantau secara teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat
diketahui apakah kegiatan program dilaksanakan sesuai dengan yang telah
direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program.
Pelaksanaan pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA dapat memanfaatkan
kegiatan supervisi dan bimbingan tehnis, Pencatatan Pelaporan
Universitas Sumatera Utara xlvii
Pemberantasan Penyakit ISPA, dan Pemantauan program P2M&PL di
Kabupaten/kota.
b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah
memenuhi target yang diharapkan, mengidentifikasi masalah dan hambatan
yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan selanjutnya
termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi dilaksanakan di
berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi
maupun Kabupaten/Kota.
BAB III
Analisa DATA

PWS Pneumoni Puskesmas Pandanwangi Tahun 2017

Dalam grafik tersebut terdapat peningkatan signifikan jumlah penderita pneumoni yakni
pada bulan April sejumlah 141%. Namun setelah bulan tersebut turun menjadi 84% pada bulan Mei.
Dan pada bulan Juni, Juli, Agustus, September turun menjadi 0% sehingga diharapkan pada bulan
Desember tidak melebihi 44%.

Anda mungkin juga menyukai